KAJIAN AWAL PENELUSURAN HUBUNGAN BAHASA JAWA DIALEK BANYUMAS DAN BAHASA JAWA DIALEK USING
Satwiko Budiono, S.Hum., Fajar Erikha, S.Psi., dan Eko Reza Pahlevi, S.Pd. Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Posel:
[email protected],
[email protected], dan
[email protected]
Abstrak Ada kecenderungan bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek Using memiliki kemiripan dalam hal fitur linguistiknya. Hal ini didasarkan pada pendapat Arifin (1995: 289) dalam Babad Blambangan yang menyebutkan bahwa akhiran konsonan pada bahasa Jawa dialek standar /g/, /b/, dan /d/ berubah menjadi /k/, /p/, dan /t/ pada bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Using. Selain itu, dalam Tata Bahasa Jawa Mutakhir (2006: 18—21) dari Balai Bahasa Jawa Tengah juga memperlihatkan adanya kesamaan antara bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek Using melalui kesamaan dalam hal kekhasan fonem vokal dan ciri silabisnya jika dilihat dalam komparasi bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar dan bahasa Jawa dialek standar dengan bahasa Jawa dialek Using. Atas dasar tersebut, penulis menjadi tertarik untuk melihat seberapa jauh kesamaan antara bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek Using berdasarkan pendekatan dialektologi dari kosakata dasar Swadesh (Lauder, 2007: 138). Dalam hal ini, adanya keterbatasan penelitian membuat penulis pada kajian awal ini akan mencoba melihat komparasi pola antara bahasa Jawa dialek Using dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timur yang didapat dari penelitian Budiono (2015) berdasarkan hasil komparasi antara bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar. Hasilnya, terdapat adanya kesamaan pola komparasi antara bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar dan bahasa Jawa dialek Using dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timur dalam hal fonem vokal dan ciri silabisnya. Hal tersebut membuat perlu adanya penelitian lanjutan yang dapat mengkomparasikan secara langsung antara bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Using yang mengarah kepada penelusuran dugaan adanya migrasi bahasa Jawa dialek Banyumas ke daerah Banyuwangi. Peneliti menduga adanya kesamaan pola atau karakteristik kedua dialek bahasa Jawa yang berada jauh dari pusat bahasa. Kata kunci: kesamaan, bahasa Jawa dialek Banyumas, bahasa Jawa dialek Using, fitur linguistik, dan migrasi bahasa.
1
I.
Pendahuluan
Bahasa Jawa sebagai induk dari bahasa Jawa dialek Using merupakan klasifikasi bahasa Austronesia (Mardiwarsito dan Kridalaksana, 2012:15; Robson dan Wibisono, 2012: 12), subrumpun Malayo-Polynesian (Ethnologue, 2015). Bahasa ini memiliki penutur sekitar 300.000 jiwa dan berkembang dengan baik di timur pulau Jawa. Meskipun dialek ini mulai mengukuhkan diri sebagai bahasa sejak 1980-an (Arps, 2004; 2009) melalui serangkaian upaya revitalisasi bahasa (Arps, 2010: 244), sejumlah pakar seperti H.N. Van der Tuuk, J.W. De Stoppelaar, Dwijawara, dan Natadiningrat yang merupakan seorang bupati Banyuwangi (1912-1919) (Arps, 2009) tetap menyebutkan Using bagian dari bahasa Jawa. Berikut ini peta penyebaran bahasa Jawa dialek Using:
Gambar 1 : Peta persebaran bahasa Jawa dialek Using (hak cipta: Joshua Project)
Demikian halnya dengan bahasa Jawa dialek Banyumasan yang sama-sama diklasifikasikan bahasa Austronesia (Ethnologue, 2015). Bahasa yang termasuk dalam area Jawa Tengah ini juga tidak diklasifikasikan secara terpisah dari bahasa Jawa, melainkan masih dalam satu rumpun. Di bawah ini merupakan peta penyebaran bahasa Jawa Dialek Banyumasan.
2
Gambar 2 : Peta persebaran bahasa Jawa dialek Banyumas (hak cipta: Joshua Project)
Meskipun area pemakaian bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Using secara geografis saling berjauhan, ternyata kedua dialek ini memiliki beberapa persamaan dalam aspek linguistiknya. Persamaan ini merupakan temuan yang terhitung baru dan menarik untuk dilihat lebih jauh. Bahasa Jawa dialek Banyumas dan dialek Banyuwangi (area pemakaian bahasa Jawa dialek Using) tergolong pencabangan bahasa Jawa yang jauh dari pusat bahasa Jawa standar. Berdasarkan kondisi ini penulis menduga bahwa bahasa Jawa yang jauh dari pusat bahasa Jawa standar memiliki kecenderungan yang sama mengingat secara geografis yang jauh dari keraton, tempat yang dianggap pusat bahasa Jawa. Saat bahasa di daerah pusat bahasa mengalami banyak perkembangan, bahasa-bahasa di daerah yang jauh dari pusat keraton berkemungkinan tidak mengalami atau merasakan perkembangan tersebut. Tentu penyebabnya adalah faktor geografis. Dengan kata lain, daerah yang jauh dari pusat bahasa dianggap masih menggunakan ciri bahasa yang relatif murni atau belum berkontak dengan bahasa-bahasa dari luar. Kondisi ini tidak mengherankan jika akhirnya bahasa Jawa yang berada di daerah jauh dari pusat bahasa akan tampak berbeda. Hal tersebut sekiranya wajar terjadi sesuai dengan proses penyebaran inovasi linguistik mengikuti teori gelombang yang dikemukakan oleh John Schemidt dalam Keraf (1984: 106). Schemidt menjelaskan bahwa bahasa-bahasa yang digunakan secara berantai dalam suatu wilayah dipengaruhi oleh perubahan pada suatu tempat tertentu. Perubahan tersebut menyebar ke semua arah seperti sebuah gelombang sehingga daerah persebaran sebuah bahasa semakin jauh. Ini berdampak perbedaan antara bentuk bahasa pada pusat bahasa dengan bahasa yang tidak terkena persebaran perubahan tersebut. Bila dikaitkan dengan teori gelombang di atas, bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Using sama-sama berada jauh dari pusat bahasa. Ada kemungkinan kedua masyarakat di dua wilayah tersebut masih menggunakan variasi bahasa Jawa yang lama, variasi yang sudah tidak digunakan lagi pada daerah pusat bahasa. Dalam hal ini, daerah pusat bahasa Jawa adalah bahasa Jawa standar yang digunakan di Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta menjadi pusat 3
kebudayaan Jawa sekaligus menjadi pusat persebaran bahasa Jawa. Meskipun sama-sama berada jauh dari pusat bahasa, tidak berarti bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Using memiliki bentuk yang sama. Jika ditelusuri lebih lanjut tetap saja terdapat perbedaaan di antara keduanya. Dari perbedaan di antara kedua dialek tersebut, dapat dikatakan bahwa bahasa Jawa dialek Using bisa saja dikategorikan sebagai bahasa Jawa yang paling sedikit mengalami perkembangan atau perubahan. Hal ini didasarkan pada lokasi Kabupaten Banyuwangi yang sangat jauh dari pusat bahasa yang berada di Yogyakarta sehingga ada kemungkinan bahasa di lokasi ini sangat sedikit terkena kontak bahasa maupun perkembangan dari pusat bahasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Soetoko (1981: 44) yang mengatakan bahwa dalam bahasa Jawa dialek Banyuwangi atau Using terdapat banyak kosakata yang berasal dari bahasa Kawi. Seperti yang diketahui bersama, bahasa Kawi merupakan bahasa Jawa Kuno. Hal ini dapat menjadi penanda bahwa perkembangan bahasa Jawa di Banyuwangi tidak secepat bahasa Jawa standar di pusat bahasa. Hal tersebut terbukti dari masih banyaknya kosakata bahasa Kawi atau Jawa Kuno pada bahasa Jawa dialek Using. Selain dilihat dari segi geografisnya, kesamaan bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek Using dapat diketahui dari fitur linguistiknya. Dalam Babad Blambangan (1995: 289) tertulis bahwa akhiran konsonan pada bahasa Jawa dialek standar /k/, /p/, dan /t/ dalam bahasa Jawa dialek Banyumas berubah menjadi /g/, /b/, dan /d/. Kondisi demikian juga sama dengan bahasa Jawa dialek Using yang akhiran konsonannya menjadi /g/, /b/, dan /d/. Selain itu, bukti adanya kesamaan antara bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Using dengan bahasa Jawa standar telah diperlihatkan pada Tata Bahasa Jawa Mutakhir (2006: 18—21), yaitu sama-sama memiliki kekhasan fonem vokal dan ciri silabisnya. Kekhasan fonem vokal pada bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek Using diperlihatkan pada aspek tegang kendurnya bunyi. Misalnya, fonem /i/ pada suku kata tertutup diucapkan [i] pada bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Using seperti pada kata [tipis]. Adapun pada bahasa Jawa dialek standar hal tersebut diucapkan [I] sehingga menjadi [tIpIs]. Kemudian, kesamaan ciri silabisnya juga ditandai dengan silabe atau suku kata pada bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Using yang memiliki karakteristik lebih panjang bila dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek standar. Misalnya, [kecipir] dalam bahasa Jawa dialek Banyumas sedangkan [cipir] dalam bahasa Jawa dialek standar. Kemudian, [solaki-lakiet] dalam bahasa Jawa dialek Using dan [solet] dalam bahasa Jawa dialek standar. Di sisi lain, adanya hubungan atau kesamaan antara masyarakat penutur bahasa Jawa dialek Banyumas maupun masyarakat penutur bahasa Jawa dialek standar dengan masyarakat penutur bahasa Jawa dialek Using juga tampak dalam hal keseniannya. Masyarakat Jawa memiliki kesenian Tari Ronggeng. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan kesenian masyarakat Using yang memiliki nama Tari Gandrung. Selain itu, ada pula kesamaan cerita rakyat antara masyarakat Jawa dengan masyarakat Using mengenai cerita Minakjinggo, meskipun karakter Minakjinggo ditampilkan berbeda di kedua masyarakat tersebut. Menurut Abimanyu (2013) kemiripan ini tidak terlepas dari hubungan Kerajaan Blambangan yang merupakan bagian Kedaton Wetan dari
4
Kerajaan Majapahit sehingga tidak mengherankan bila keseniannya pun terbilang sama atau ada kemiripan dengan bagian Kedaton Kulon yang ada di daerah Jawa Tengah. Atas dasar beberapa temuan kemiripan tersebut, penulis tertarik untuk melihat lebih jauh terkait kesamaan bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek Using dengan menggunakan pendekatan dialektologi dari kosakata dasar Swadesh (Lauder, 2007: 138) yang diambil dari hasil penelitian Budiono (2015). Dari hasil penelitian tersebut, kosakata bahasa Jawa dialek Using dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timur akan dikomparasikan seperti halnya komparasi bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar pada Wedhawati (2006). Hal ini disebabkan adanya keterbatasan penulis sehingga kajian awal ini ingin melihat terlebih dahulu apakah ada kemiripan pola dari komparasi bahasa Jawa dialek Using dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timur berdasarkan pola komparasi bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar. Lebih lanjut, 200 kosakata Swadesh yang terdokumentasikan dari penelitian Budiono (2015) diambil data bahasa Jawa dialek Using dan bahasa Jawa dialek Jawa Timurnya untuk dikomparasikan layaknya komparasi bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek standar pada Wedhawati (2006: 18—21). Komparasi tersebut akan melihat persamaan dan perbedaan di antara keduanya. Data bahasa Jawa dialek Using yang diambil adalah data informan dari Kecamatan Glagah. Sementara itu, data bahasa Jawa dialek Jawa Timur diambil dari data informan di Kecamatan Purwoharjo. Pemilihan hasil informan dari dua lokasi tersebut disebabkan kedua wilayah tersebut merupakan wilayah yang dominan akan bahasa Jawa dialek Using dan bahasa Jawa dialek Jawa Timur. Untuk Kecamatan Glagah merupakan wilayah dominan bahasa Jawa dialek Using, sedangkan Kecamatan Purwoharjo merupakan wilayah dominan bahasa Jawa dialek Jawa Timur. Komparasi tersebut akan menjadi pembuktian kesamaan pola dari bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar dan bahasa Jawa dialek Using dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timur. Kemudian, hasil dari pengomparasian itu akan dikaitkan dengan bidang lain di luar linguistik seperti dari aspek sejarah. Hal ini sekiranya memunculkan suatu pemahaman yang dapat menjelaskan hubungan antara bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Using. Kajian awal ini diharapkan pula dapat menjadi pemicu kajian sejenis yang lebih mendalam sehingga menampilkan pembuktian data yang lebih komprehensif terkait perubahan bahasa atau migrasi bahasa Jawa.
II.
Kerangka Teori dan Metode Penelitian
Pada penelitian ini penulis tidak akan melakukan penelitian lapangan untuk meneliti 200 kosakata Swadesh dari bahasa Jawa dialek Using dan bahasa Jawa dialek Jawa Timur secara langsung. Akan tetapi, penelitian ini akan mengambil hasil pengambilan data 200 kosakata Swadesh hasil penelitian dari bahasa Jawa dialek Using dan bahasa Jawa dialek Jawa Timur yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam hal ini, data 200 kosakata Swadesh bahasa Jawa dialek Using maupun bahasa Jawa dialek Jawa Timur diambil dari data skripsi Budiono (2015). Pengambilan data dari penelitian sebelumnya disebabkan keterbatasan penulis dalam melakukan 5
penelitian secara langsung dan juga faktor keterbatasan waktu. Maka dari itu, pada penelitian ini penulis menyebut sebagai kajian awal karena topik ini masih harus dilanjutkan dengan lebih mendalam dan lebih komprehensif lagi. Dasar untuk melakukan penelitian yang lebih dalam dapat didasarkan pada beberapa temuan yang terdapat pada penelitian ini. Dilihat dari sudut metode penelitian, pada tulisan ini mengarah kepada metode kualitatif dari beberapa data yang ada. Menurut Creswell (1994: 4—7), metode kualitatif lebih mengutamakan penggunaan logika induktif dari kategorisasi penjumpaan peneliti dengan informan di lapangan atau data-data yang ditemukan. Penelitian kualitatif bercirikan informasi yang berupa ikatan konteks yang menggiring pada pola atau teori yang akan menjelaskan fenomena sosial. Hal tersebut yang akan mendasari penelitian ini dan dilengkapi dengan metode sejarah untuk menjelaskan fenomena sosial yang terjadi berdasarkan temuan data yang ada. Metode sejarah dilakukan dengan menginterpretasi data kemudian direkonstruksi menjadi satu alur narasi historigrafi. Penulisan ini bercorak deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial dengan tujuan menampilkan aspek sejarah sebagai sebuah realitas yang kompleks, lengkap dengan segala strukturnya (Kuntowijoyo, 2003). Meskipun demikian, aspek linguistik yang dibahas pada penelitian akan tidak jauh berbeda dengan komparatif yang terdapat dalam buku Tata Bahasa Jawa Mutakhir (2006). Dalam buku yang ditulis oleh Wedhawati, dkk (2006: 18—21) tertera adanya komparatif antara bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar dan bahasa Jawa dialek Using dengan bahasa Jawa dialek standar berdasarkan kekhasan fonem vokal, kekhasan fonem konsonan, kekhasan afiks, maupun kekhasan reduplikasi. Pada komparatif antara bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar diketahui adanya kekhasan fonem vokal. Kekhasan tersebut terdapat pada fonem /i/, /u/, dan /a/. Berikut tabel di bawah ini yang memperlihatkan kemhasan fonem vokal. Fonetik
Glos
Dialek Banyumas
Dialek Standar
[pitik]
[pitIʔ]
Ayam
[abʰuh]
[abʰUh]
Bengkak
[laraʔ]
[lͻrͻ]
Sakit
Pada komparatif antara bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar di atas diketahui adanya kekhasan fonem vokal. Kekhasan tersebut terdapat pada fonem /i/, /u/, dan /a/. Fonem /i/ yang berposisi pada suku ultima tertutup diucapkan [i], tetapi pada dialek standar diucapkan [I]. Fonem /u/ yang berposisi pada suatu suku ultima tertutup diucapkan [u], tetapi pada dialek standar diucapkan [U], dan fonem /a/ yang berposisi pada suku ultima terbuka diuapkan [a], 6
tetapi pada dialek standar diucapkan [ͻ]. Selain itu terdapat pula kekhasan fonem konsonan dialek Banyumas, yang di antaranya terlihat pada fonem /b, d, g, k/, dan /ʔ/. Jika dipertentangkan dengan dialek standar, fonem itu diucapkan [p], [t], [k], [ʔ], dan [Ø]. Berikut ini tabel yang menggambarkan kekhasan fonem konsonan. Fonetik
Glos
Dialek Banyumas
Dialek Standar
[әnḍʰog] [abʰabʰe] [bʰabʰd]
[әnḍʰͻk] [abʰape] [bʰabʰt]
Telur Bau Mulut (Daging) Babat
Pada bahasa Jawa dialek Banyumas juga memiliki silabe atau suku kata yang berciri lebih panjang jika dibandingkan dengan dialek standar seperti contoh berikut.
Fonetik
Glos
Dialek Banyumas
Dialek Standar
[tәmәnan] [gʰәmiyƐn] [kәcipir]
[tәnan] [mbʰiyƐn] [cipir]
Sungguh Dahulu Kecipir
Selain kekhasan fonem, dialek ini juga memiliki kekhasan gramatikal. Hal ini direfleksikan pada tersedianya bentuk-bentuk gramatikal yang berbeda dengan dialek lain, termasuk dialek standar. Kekhasan gramatikal ini terdiri atas kekhasan afiks dan kekhasan reduplikasi. Pada kekhasan afiks ditunjukkan pada bentuk {-aken} dan pasif persona II. Afiks -aken dalam dialek Banyumas berkorespondesi dengan afiks {-aké} dalam dialek standar, baik dalam pemakaian verba aktif maupun pasif. Tabel berikut merupakan contoh kekhasan afiks pada bentuk {-aken} dan pasif persona II.
7
Fonetik
Glos
Dialek Banyumas
Dialek Standar
[ńjʰukutakә]
[ńjʰupUʔakә]
Mengambilkan
[ditʰukᴐkakәn]
[ditukᴐʔkake]
dibelikan
Adapun kekhasan reduplikasi atau kata berulang pada bahasa Jawa dialek Banyumas yang diperlihatkan dalam reduplikasi penuh, sedangkan pada bahasa Jawa dialek standar dapat berupa reduplikasi parsial. Tabel berikut ini adalah contoh reduplikasi tersebut. Fonetik
III.
Glos
Dialek Banyumas
Dialek Standar
[rәga-rәga]
[rәrәʰan, rәgʰᴐ-rәgʰᴐ]
harga-harga
[luŋa-luŋa]
[lәluŋan, luŋᴐ-luŋᴐ]
berpergian, pergi-pergi
Komparasi Bahasa Jawa Dialek Using dengan Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur
Seperti yang telah disebutkan pada kerangka teori, komparasi bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar didasarkan pada kekhasan fonem vokal, kekhasan fonem konsonan, kekhasan afiks, maupun kekhasan reduplikasi. Ini tidak berbeda jauh dengan komparasi bahasa Jawa dialek Using dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timur. Keadaan ini disebabkan hasil komparasi bahasa Jawa dialek Using dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timur juga menunjukkan adanya kekhasan fonem vokal, kekhasan fonem konsonan, dan kesamaan ciri silabisnya. Berikut contoh dari adanya kekhasan fonem vokal pada bahasa Jawa dialek Jawa Timur dengan bahasa Jawa dialek Using. Fonetik
Glos
Dialek Using
Dialek Jawa Timur
[tipis] [gәdi]
[tIpIs] [gәde]
Tipis Besar 8
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa kekhasan fonem vokal pada bahasa Jawa dialek Using dan bahasa Jawa dialek Jawa Timur terletak pada tegang kendurnya bunyi dan adanya perubahan vokal. Pada perbedaan tegang kendurnya bunyi pada bahasa Jawa dialek Using cenderung mengeluarkan bunyi tegang seperti /i/ pada [tipis], sedangkan pada bahasa Jawa dialek Jawa Timur cenderung mengeluarkan bunyi kendur seperti /I/ pada [tIpIs]. Tidak berbeda jauh dengan hal sebelumnya, kekhasan fonem vokal juga terlihat pada perubahan /i/ pada [gәdi] menjadi /e/ pada [gәde]. Hal ini dapat menandakan adanya pasangan minimal di antara keduanya dan sama dengan pola kekhasan vokal pada komparasi antara bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar. Pada komparasi bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar tertera bahwa bahasa Jawa dialek Banyumas juga cederung mengeluarkan bunyi vokal yang tegang dan bahasa Jawa dialek standar memiliki kecenderungan mengeluarkan bunyi kendur. Selain kekhasan pada fonem vokal, pada bahasa Jawa dialek Using dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timur juga memiliki kekhasan pada konsonan. Kekhasan ini pun tidak jauh berbeda kondisinya dengan komparasi bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar. Berikut komparasi bahasa Jawa dialek Using dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timur yang mirip kondisinya dengan komparasi bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar.
Fonetik
Glos
Dialek Using
Dialek Jawa Timur
[ulᴐɁ]
[ulᴐ]
Ular
[apik]
[apiɁ]
Bagus
Pada tabel di atas, dapat terlihat bahwa kekhasan fonem konsonan pada bahasa Jawa dialek Using memiliki kecenderungan adanya penambahan glotal bila dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timur bila konsonan akhirnya kendur. Hal tersebut terlihat pada bahasa Jawa dialek Using [ulᴐɁ] dan pada bahasa Jawa dialek Jawa Timur [ulᴐ]. Selain itu, jika pada bahasa Jawa dialek Jawa Timur kata diakhiri dengan /Ɂ/ maka pada bahasa Jawa dialek Using akan diakhiri dengan /k/. Kondisi tersebut terlihat pada bahasa Jawa dialek Using [sitik] dan pada bahasa Jawa dialek Jawa Timur [sitIɁ]. Kekhasan fonem konsonan yang terdapat pada komparasi bahasa Jawa dialek Using dan bahasa Jawa dialek Jawa Timur ada yang sama dengan kekhasan fonem konsonan pada komparasi bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar. Hal yang sama tersebut adalah adanya perubahan konsonan /k/ pada bahasa Jawa dialek Banyumas menjadi /Ɂ/
9
pada bahasa Jawa dialek standar. Contoh katanya adalah [bʰapak] pada bahasa Jawa dialek Banyumas dan [bʰapaʔ] pada bahasa Jawa dialek standar. Kekhasan terakhir yang terdapat pada komparasi bahasa Jawa dialek Using dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timur yang sama dengan pola kekhasan komparasi bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar adalah pada unsur ciri silabisnya. Hal tersebut dapat terlihat pada tabel di bawah ini.
Fonetik
Glos
Dialek Using
Dialek Jawa Timur
[gәmuyu]
[ɳguyu]
Tertawa
[seriway]
[sriwi]
Sayap
[ƱwIt]
[wIt]
Pohon
Setelah melihat tabel di atas, dapat diketahui bahwa bahasa Jawa dialek Using memiliki suku kata yang lebih panjang dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timur. Misalnya, [gәmuyu] pada bahasa Jawa dialek Using yang memiliki suku kata lebih panjang dari [ɳguyu] pada bahasa Jawa dialek Jawa Timur. Kondisi ini bisa saja disebabkan bahasa Jawa dialek Jawa Timur sudah mengalami perkembangan bahasa karena biasanya masyarakat akan membuat sederhana kata yang digunakan dan jika masyarakatnya masih mengucapkan dalam bentuk yang panjang ada kemungkinan bentuk panjang tersebut memang bentuk awal dari kata tersebut yang belum mengalami perkembangan. Kondisi serupa juga terlihat pada komparasi bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek standar. Bahasa Jawa dialek Banyumas cenderung memiliki ciri silabis yang lebih panjang dibandingkan pada bahasa Jawa dialek standar. Keadaan tersebut terlihat pada /kәcipir/ pada bahasa Jawa dialek Banyumas dan /cipir/ pada bahasa Jawa dialek standar. Melihat gejala kesamaan antara bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek Using membuat perlu dikaitkannya temuan secara linguistik tersebut ke dalam bidang sejarah. Pengaitan ini sekiranya akan membuat pemahaman atau dugaan semakin menjadi lebih berterima dan dapat menjadi salah satu pertimbangan yang mendasari penelitian berikutnya. Dalam hal ini, adanya kesamaan pola antara bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek Using menjadikan adanya kecurigaan bahwa asal bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek Using memiliki kemiripan pula. Jika melihat bukti sejarah yang ada, dapat diinterpretasikan bahwa bisa saja ada kemungkinan bahasa Jawa dialek Using berasal dari bahasa Jawa dialek Banyumas. Ini sesuai beberapa bukti yang dapat mengarah kepada interpretasi bahasa Jawa dialek Using berasal dari bahasa Jawa dialek Banyumas. Salah satunya dapat terlihat dari pendapat Sri 10
Margana (2012) yang mengatakan bahwa cerita Damarwulan dan Menakjinggo yang ditulis dalam buku Serat Kanda/ Serat Damarwulan oleh sastrawan keraton Surakarta dipentaskan dalam bentuk Langendrian (Operate) oleh Mangkunegara IV (1853 s.d. 1881) dan dipopulerkan oleh penguasa Banyuwangi yang masih berdarah Mataram pada masa penjajahan VOC. Dapat disimpulkan bahwa memang adanya kontak antara Mataram yang berada di tengah Jawa dan Blambangan yang berada di timur Jawa. Adanya kontak antara masyarakat Mataram dan Blambangan tersebut sekiranya juga akan memengaruhi aspek kebahasaannya. Jika memang asumsi tersebut dianggap benar, alasan yang dapat berterima untuk menginterpretasikan adanya perbedaan antara bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Using selain faktor geografis yang dikaitkan dengan teori gelombang juga karena faktor kepercayaannya. Maksudnya, bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Using memang memiliki kemiripan pola tetapi tetap saja keduanya memiliki perbedaan. Adanya perbedaan tersebut menurut Purwadi (2007) disebabkan kebudayaan Jawa pada abad ke-17 yang sudah mulai ada intervensi Islam, sedangkan pada kebudayaan Using pada abad ke-17 masih memegang kepercayaan Hindu sehingga tidak mengherankan jika ada perbedaan yang cukup jauh dan hanya beberapa saja yang masih sama. Sebab, faktor agama secara tidak langsung ikut memengaruhi pemakaian kosakata masyarakat. Kalau memang benar bahasa Jawa dialek Using berasal dari bahasa Jawa dialek Banyumas, kedatangan Islam membuat bahasa yang awalnya sama menjadi tidak sama dan tentunya kontak di antara keduanya semakin berkurang karena adanya perbedaan agama pada dua wilayah tersebut. Lebih lanjut, pernyataan tersebut didukung oleh Susanti (2010: 3—4) yang menjelaskan bahwa daerah Banyuwangi merupakan daerah yang kebudayaannya terbentuk dari hasil akulturasi budaya dari berbagai masyarakat yang pindah dan akhirnya mendiami Banyuwangi sehingga membentuk suku baru yang diduga menjadi suku asli Banyuwangi, yaitu suku Using. Hal tersebut membuatnya memiliki ciri tersendiri, seperti bahasa, adat istiadat, sistem masyarakatnya, kesenian, dan sebagainya. Ciri tersendiri tersebut terbentuk dari penyesuaian masyarakat dengan daerah atau letak geografis dari Banyuwangi yang berbeda dengan daerah lainya. Dari pernyataan Susanti tersebut dapat diketahui bahwa suku Using di Banyuwangi berasal dari suatu masyarakat yang berpindah tempat dari suatu daerah ke Banyuwangi. Dapat dikatakan di sini bahwa adanya masyarakat yang berpindah ini disebabkan salah satunya adanya pengaruh Islam di Jawa. Berkaitan dengan hal tersebut, Sutiyono (2013) memaparkan bahwa keberadaan kerajaan Islam pertama kali di Jawa yang dipusatkan di Demak membuat masyarakat Jawa Hindu menyingkir ke Tengger, Blambangan, dan Bali. Dalam hal ini, ketika Islam datang masyarakat Jawa yang masih menganut kepercayaan Hindu mau tidak mau menyingkir mencari daerah baru. Salah satu daerah baru tersebut adalah Banyuwangi sebagai daerah Blambangan. Kondisi ini menandakan bahwa masyarakat Jawa memang melakukan migrasi, khususnya masyarakat Jawa Hindu di Jawa Tengah karena kerajaan Islam pertama ada di daerah tersebut. Lebih mendalam lagi, temuan ini membuat penulis semakin yakin bahwa bisa saja masyarakat Jawa Hindu yang bermigrasi ke Blambangan atau Banyuwangi merupakan masyarakat Jawa yang berbahasa Jawa dialek Banyumas yang pada akhirnya membentuk identitas baru karena mereka telah berbeda dari 11
segi kepercayaan dan tidak adanya kontak di antara keduanya semenjak itu dengan menamakan dirinya sebagai masyarakat Using. Hal tersebut juga yang membuat bahasa di Banyuwangi menjadi berbeda dengan bahasa dari daerah asalnya. Di sisi lain, Van der Tuuk, seorang ahli bahasa terkemuka, menemukan adanya keanehan dengan kosakata bahasa Banyuwangi dengan melihat perbedaan antara kosakata bahasa Banyuwangi dengan Surakarta (bahasa Jawa dialek standar) dari tahun 1879 dan 1880. Dari perbandingan tersebut menurut pemaparan Dwijawara, Van Der Tuuk menyatakan bahwa orang Banyuwangi itu tetap orang Jawa, menggunakan kosakata Jawa, tetapi kosakatanya kuno (ing nagari Banyuwangi punika tiyangipun bangsa Jawi, pitembunganipun inggih Jawi nanging cara kina). Natadiningrat pun menambahkan pada khususnya orang Banyuwangi mengikuti sejumlah kebiasaan yang kuno di tempat lain (dalam Arps, 2009). Pernyataan tersebut ikut menguatkan dugaan migrasi masyarakat Jawa yang pada akhirnya masih menggunakan cara lama atau bahasa yang lama sehingga adanya keterbatasan akses lokasi daerah Banyuwangi membuat masyarakat Jawa di Banyuwangi tidak turut merasakan perkembangan seperti daerah Jawa lainnya dan terkesan berbeda pula dengan daerah lainnya. Bahkan, pada aspek kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Banyuwangi ini pun menandakan adanya proses migrasi masyarakat Jawa dari barat ke timur. Kesenian yang dapat dikatakan sebagai bawaan masyarakat Jawa dari arah barat ke Banyuwangi adalah kesenian barong. Dalam hal ini, Beatty (2001:76) mengungkapkan bahwa barong di Banyuwangi tepatnya di Desa Kemiren dibawa oleh Buyut Cili yang merupakan pendeta Hindu dari Mataram. Kedatangan Buyut Cili ke Desa Kemiren ini sebagai upaya melarikan diri dari ekspansi pengaruh Islam yang semakin kuat di tanah Jawa. Saat di Desa Kemiren inilah, Buyut Cili mempertunjukkan kesenian barong yang memang lekat dengan unsur Hindu. Temuan Beatty ini membuat semakin kuat dugaan masyarakat Banyuwangi sebenarnya merupakan masyarakat Jawa yang bermigrasi karena adanya intervensi Islam dan perbedaan di antara masyarakat Jawa lain karena faktor geografis sehingga masyarakat Jawa di Banyuwangi tidak terkena perkembangan layaknya masyarakat Jawa pada umumnya.
IV.
Kesimpulan
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada dugaan bahwa telah terjadi proses migrasi dari masyarakat berbahasa Jawa dialek Banyumas ke daerah Banyuwangi yang pada akhirnya membentuk identitas baru menjadi masyarakat Using sehingga bahasa yang digunakan pun menjadi bahasa Jawa dialek Using. Dugaan tersebut dibuktikan dengan adanya kesamaan pola dari aspek kekhasan fonem vokal, kekhasan fonem konsonan, dan ciri silabisnya saat bahasa Jawa dialek Banyumas dikomparasikan dengan bahasa Jawa dialek standar dan bahasa Jawa dialek Using dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timur. Bahasa Jawa dialek Banyumas memiliki pola yang sama dengan bahasa Jawa dialek Using, sedangkan bahasa Jawa dialek standar memiliki kesamaan pola dengan bahasa Jawa dialek Jawa Timur. Selain itu, dari aspek sejarah juga diketahui adanya dugaan migrasi masyarakat berbahasa Jawa dialek Banyumas ke daerah Banyuwangi karena 12
adanya intervensi Islam sehingga masyarakat Jawa Hindu yang berbahasa Jawa dialek Banyumas pindah ke Banyuwangi yang dapat dikatakan daerah baru karena tempatnya yang berada di ujung timur Pulau Jawa. Hal ini membuat perlu adanya penelitian lanjutan untuk dapat membuktikan secara lebih dalam melalui penelitian dengan mengkomparasikan bahasa Jawa dialek Banyumas dengan bahasa Jawa dialek Using secara langsung sehingga dapat diperoleh pemahaman mengenai kesamaan dan perbedaan antara kedua dialek bahasa Jawa tersebut. Selain itu, bukti sejarah juga perlu diperkuat untuk dapat menambah tajam dugaan dan temuan data secara linguistiknya.
Daftar Pustaka
Abimanyu, Seodjipto. 2013. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Laksana. Arifin, Winarsih Partaningrat. 1995. Babad Blambangan. Yogyakarta: Ecole Francaise d‘Extreme-Orient bekerja sama dengan Yayasan Bentang Budaya. Arps, Bernard. 2004. Conversation as a curiosity Performing autochthonous talk in the media of Banyuwangi (Java,Indonesia). Draf prosiding dari Conference Media performance and practice across cultures (University of Wisconsin–Madison, 14–17 Maret 2002). Arps, Bernard. 2009. Osing Kids and the banners of BlambanganEthnolinguistic identity and the regional pastas ambient themes in an East Javanese town. Wacana, Vol. 11 No. 1 (April 2009): 1—38. Arps, Bernard. 2010. Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik di Dalamnya (Selayang Pandang 1970-2009). Dalam Mikihiro Moriyaman dan Manneke Budiman (Ed.) Geliat Bahasa Selaras Zaman: Perubahan bahasa-bahasa di Indonesia pasca-Orde Baru. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Beatty, Adrew. 2001. Variasi Agama di Jawa, Suatu Pendekatan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Budiono, Satwiko. 2015. Variasi Bahasa di Kabupaten Banyuwangi: Penelitian Dialektologi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. California: Sage Publications, Inc. Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: PT Gramedia. Kuntowijoyo. 2003. Metode Sejarah. Edisi Kedua.Yogyakarta: Tiara Wacana. Lauder, Multamia RMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. Mardiwarsito, L. dan Kridalaksana, Harimurti. 2012. Struktur Bahasa Jawa Kuna. Depok: Komunitas Bambu. Margana, Sri. 2012. Ujung Timur Jawa 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan. Yogyakarta: Pustaka Ifada. 13
Purwadi dan Niken. 2007. Dakwah Wali Songo. Yogyakarta: Shaida. Raffles, Thomas Stanford. 2008. The History of Java. Yogyakarta: Narasi. Robson, Stuart dan Wibisono, Singgih. 2012. Javanese English Dictionary. Singapura: Periplus. Susanti, Ninie. 2010. Biografie Raja Pembaru Jawa Abad XI. Depok: Komunitas Bambu. Wedhawati, dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir (Edisi Revisi). Yogyakarta: Kanisius. Sumber gambar: Persebaran bahasa Jawa dialek Banyumasan: https://joshuaproject.net/assets/media/profiles/maps/m12331.pdf Persebaran bahasa Jawa dialek Using: https://joshuaproject.net/assets/media/profiles/maps/m10666.pdf Sumber daring: http://www.ethnologue.com/statistics/size
14