PERBEDAAN STATUS DIALEK GEOGRAFIS BAHASA JAWA SOLO-YOGYA (KAJIAN DIALEKTOLOGI) Sri Andayani Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Filsafat, Universitas Panca Marga, Jalan Yos Sudarso Pabean Dringu, Probolinggo 67271, Telepon 0335-422715, Faks. (0335) 427923
Abstrak: Bahasa Jawa Solo dan bahasa Jawa Yogya selama ini dianggap sebagai satu dialek yang biasanya disebut sebagai bahasa Jawa Solo-Yogya. Namun, sampai saat ini belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan anggapan tersebut. Apalagi dengan adanya perkembangan budaya yang begitu pesat, benarkah dan masihkah bahasa Jawa Solo-Yogya merupakan dialek yang sama. Untuk menentukan status dialek geografis antara bahasa Jawa yang digunakan di Solo dan di Yogya, sebuah penelitian dialektologi dilakukan. Hal ini juga dimaksudkan untuk menambah pendokumentasian penelitian bahasa-bahasa nusantara. Dari kedua wilayah tersebut, diambil empat daerah pengamatan (DP) yang menjadi lokasi penelitian, masing-masing terdiri dari DP kota dan desa. Selanjutnya penentuan daerah yang akan dibandingkan secara geografis dilakukan dengan membuat segitiga dialektometri. Penetapan perbedaan dan persamaan status isoleknya digambarkan pada garis segibanyak dialektometri yang berbeda-beda dan didukung dengan pemetaan berkas isoglos. Penelitian deskriptif kuantitatif ini menggunakan penghitungan dialektometri terhadap beda leksikal dari data observasi sebagai dasar penghitungan status isolek bahasa Jawa Solo-Yogya secara geografis. Penelitian dialektologi ini membuktikan bahwa secara geografis bahasa Jawa Solo dan Yogya merupakan dialek-dialek yang berbeda. Sementara status dialek geografis antara daerah kota dan desa di wilayah yang sama adalah beda subdialek. Kata Kunci: Dialek Geografis, Beda Leksikal, Bahasa Jawa, Solo-Yogya, Dialektologi Abstract: The Javanese of Solo and Yogya is considered as a same dialect. It is commonly known as the Solo-Yogya Javanese. However, so far there is no scientific study that proves the assumption. Moreover, with the so fast development of the culture, is it true that Solo and Yogya Javanese have been considered as the same dialect? To determine the status of geographical dialect of Javanese used in Solo and Yogya, a dialectology study is conducted. It is also to make more documentation of Indonesia vernaculars. From both regions, four observation areas are taken as the research locations, each consisting of urban and rural areas. Furthermore, the dialectometry triangles are made to determine the areas that will be compared. The determination of the differences and similarities of the isolect status is illustrated on the various lines of dialectometry polygon. It is also supported by the isogloss lines mapping. This quantitative descriptive study uses a dialectometry calculation to the lexical differences of the data observed in determining the isolect status of SoloYogya Javanese geographically. This Dialectology research determines that geographically, the Javanese of Solo and Yogya are different dialects. The geographical dialect statuses between urban and rural in the same areas are different sub-dialects. Keywords: Geographical Dialect, Lexical Difference, Javanese, Solo-Yogya, Dialectology
46
PENGANTAR Selama ini bahasa Jawa yang digunakan di wilayah Surakarta dan Yogyakarta banyak dianggap sebagai satu dialek, baik oleh kebanyakan oleh masyarakat awam maupun oleh para ahli bahasa, yaitu yang banyak dikenal sebagai bahasa Jawa dialek Mataraman atau dialek Solo-Yogya. Salah satunya oleh Sumarsono (2007:2223) yang menyatakan bahwa bahasa Jawa memiliki beberapa dialek, antara lain dialek Bagelen (di daerah Jawa Tengah bagian selatan), dialek Solo-Yogya, dialek Jawa Timur (Surabaya, Malang, Mojokerto, Pasuruan), dialek Osing (Banyuwangi). Padahal selama ini belum ada penelitian yang membuktikan bahwa bahasa Jawa Solo-Yogya itu merupakan satu dialek tanpa beda. Apalagi dengan perkembangan kebudayaan yang sedemikian pesat, menimbulkan pertanyaan benarkah dan masihkah Bahasa Jawa tersebut termasuk satu dialek. Berdasarkan kenyataan tersebut, penelitian dialektologi terhadap bahasa Jawa ngoko yang dituturkan oleh penduduk Solo-Yogya usia dewasa dilakukan untuk mengetahui status isolek bahasa Jawa Solo-Yogya. Dipilihnya bahasa Jawa Ngoko Dewasa (BJND) sebagai objek penelitian karena BJND dianggap sebagai parameter bahasa Jawa yang dituturkan di wilayah Solo-Yogya saat ini. Penelitian tersebut dilakukan pada empat daerah pengamatan (DP) di wilayah Surakarta dan Yogyakarta, masing-masing di daerah perkotaan dan pedesaan. Keempat DP tersebut adalah Kelurahan Pucang Sawit, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta mewakili Solo kota (DP 1); Dusun Sambirejo, Desa Wonokerto, Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri mewakili Solo desa (DP 2); Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron, D.I. Yogyakarta mewakili Yogya kota (DP 3); dan Dusun Sorogenen, Kelurahan Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul mewakili Yogya desa (DP 4). Penelitian ini dilakukan pada Januari-April 2012. Sampai saat ini, tidak banyak penelitian dialektologi dilakukan. Ada beberapa peneliti sebelumnya yang mengkaji masalah dialektologi, khususnya bahasa Jawa, antara lain: Kisyani Laksono dengan judul Isolek Bahasa Jawa di Keduwung Tengger . Dalam penelitiannya, Kisyani menyimpulkan adanya variasi fonologis, variasi morfologi, variasi leksikon, dan penguasaan tingkat tutur pada bahasa Jawa di Keduwung Tengger. Selanjutnya, tahun 2000 Kisyani juga meneliti isolek di wilayah Tuban dan Bojonegoro, Jawa Timur dengan judul Isolek Bahasa Jawa di Tuban dan Bojonegoro. Penelitian dialektologi lainnya berjudul DzPemetaan Bahasa di Kabupaten Kebumen Kajian Dialektologi yang dilakukan oleh mahasiswa Linguistik Deskriptif 2006 Program Pascasarjana UNS. Penelitian ini membahas perhitungan dialektometri, perhitungan permutasi, dan berkas isoglos. Dari penelitian tersebut diperoleh simpulan adanya perbedaan dialek pada empat daerah pengamatan (DP) di Desa Pekuntan, Kecamatan Mirit. Penelitian dialektologi juga pernah dilakukan oleh Mahasiswa Linguistik Deskriptif 2007 Program Pascasarjana UNS dengan judul Bahasa Jawa di Kabupaten Wonogiri Kajian Dialektologis . Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa di kecamatan Wonogiri dan Giriwoyo tidak ada perbedaan leksikal bahasa Jawa Ngoko yang berarti sehingga kedua DP termasuk satu daerah bahasa. Perhitungan permutasi leksikal kedua DP ditemukan persentasi perbedaan leksikal sebesar 14,74% berdasarkan jumlah leksem yang berbeda, yaitu 118 leksem. Berdasarkan peta berkas isoglos tampak adanya dua daerah penggunaan bahasa Jawa berbeda leksikal, tetapi belum sampai beda dialek ataupun subdialek. Selanjutnya, penelitian dialektologi juga dilakukan oleh mahasiswa Linguistik Deskriptif Program Pascasarjana UNS, yang berjudul Isolek Bahasa Jawa Lereng Merapi Kajian Dialektologi . (asil akhir yang diperoleh menentukan status isolek lereng Merapi menunjukkan adanya perbedaan subdialek.
47
TEORI Dialektologi adalah cabang ilmu pengetahuan bahasa yang secara sistematis menangani berbagai kajian yang berkenaan dengan distribusi dialek atau variasi bahasa dengan memperhatikan faktor geografi, politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dialektologi juga sering disebut sebagai geographical linguistics, geolinguistics, atau areal linguistics (lauder, 2009:234-235). Berbeda dengan Sosiolinguistik, kajian Dialektologi selalu membandingkan dua atau lebih variasi bahasa, baik secara geografis maupun sosial. Penelitian Dialektologi bersumber pada fakta lingual yang senyatanya digunakan oleh penutur, bukan fakta lingual yang dipikirkan oleh si penutur yang menjadi narasumber. Kajian Dialektologi tidak hanya terfokus pada satu tataran, tetapi mencakup semua tataran kebahasaan seperti fonologi, morfologi, leksikal, sintaksis, semantik, dan wacana. Pada penelitian ini dibatasi pada bidang leksikal, yaitu jika leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari satu etimon proto bahasa maka perbedaan tersebut selanjutnya disebut beda leksikal (BL). Objek kajian pada penelitian pada Dialektologi adalah dialek geografis dan dialek sosial. Dialek geografis merupakan cabang linguistik yang bertujuan mengkaji semua gejala kebahasaan secara cermat yang disajikan bedasarkan peta bahasa yang ada. Keraf (1996:143) menyebutkan dengan istilah Geografi dialek. Dialek sosial adalah ragam bahasa yang dipergunakan oleh kelompok tertentu yang membedakannya dari kelompok masyarakat lainnya. Kelompok itu terdiri atas pekerjaan, usia, kegiatan, jenis kelamin, pendidikan dan sebagainya. Pada penelitian ini, objek kajiannya dibatasi hanya pada dialek geografis. Selain istilah dialek, dikenal pula istilah isolek. Isolek merupakan istilah netral yang dapat digunakan untuk menunjuk pada bahasa, dialek atau subdialek (Nadra & Reniwati, 2009:3). Jadi, isolek digunakan untuk mengacu pada bentuk bahasa tanpa memperhatikan statusnya sebagai bahasa atau sebagai dialek. Dengan kata lain, isolek merupakan penyebutan suatu bahasa yang belum jelas statusnya, sebagai satu dialek yang sama, subdialek atau beda dialek. Salah satu penentuan status isolek yaitu berdasarkan pada penghitungan dialektometri terhadap BL dari data observasi, selain terhadap beda fonologisnya (BF), berdasarkan rumus dan kriteria yang berlaku dalam penelitian dialektologi. Satu istilah lagi yang perlu diketahui pada penelitian dialektologi, yaitu isoglos. Isoglos atau watas kata, yaitu garis yang memisahkan dua lingkungan dialek atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan yang berbeda, yang dinyatakan dalam peta bahasa (Dubois, 1973:270). Perkembangan suatu bahasa atau dialek sangat tergantung kepada sejarah daerah yang bersangkutan (Guiraud, 1970:19). Untuk menguji kebenaran anggapan tersebut, para ahli berhasil menemukan alat bantu yang sangat penting artinya dalam usaha memperjelas persoalan ini. Alat bantu ini disebut isoglos atau garis wasta kata, kadang disebut juga heteroglos (Kurath, 1972:24). Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran yang benar mengenai batas-batas dialek, harus dibuat watas kata yang merangkum segala segi kebahasaan (fonologi, semantik, leksikal, dan sintaksis). Jadi, isoglos adalah garis imajiner yang ditorehkan di atas peta bahasa (Laksono dan Savitri, 2009:91). Konsep awal isoglos pertama kali bertujuan untuk mendefinisikan garis imajiner yang menghubungkan setiap daerah pengamatan yang menampilkan gejala kebahasaan yang serupa atau mirip. Selanjutnya, konsep itu berkembang menjadi garis imajiner yang menyatukan daerah pengamatan yang menampilkan gejala kebahasaan yang serupa (cf. Keraf, 1984 dalam Laksono & Savitri, 2009). Garis ini mulai ditarik di salah satu titik pengamatan dan dilanjutkan
48
ke titik pengamatan lain yang mempunyai bentuk berian yang sama, garis ini akhirnya menyatukan titik pengamatan-titik pengamatan yang memiliki berian yang sama tersebut. Isoglos dibutuhkan pada setiap peta berian. Isoglos-isoglos yang terdapat di setiap peta berian disalin ke sebuah peta. Penyalinan ini mengakibatkan terjadinya penumpukan isoglos yang bergerak ke suatu irama yang sama. Inilah yang disebut berkas isoglos. Selanjutnya, berkas isoglos didefinisikan sebagai kumpulan isoglos yang memperlihatkan suatu irama atau gerak garis yang hampir sama. Berkas ini dibuat berdasarkan unsur bahasa yang memperlihatkan variasi, salah satunya unsur leksikal. Berkas isoglos akan memperlihatkan suatu pola sebar berian. Pola sebar ini sejalan dengan angka persentase hasil penghitungan metode dialektometri. Semakin tebal berkas isoglosnya, berarti juga semakin tinggi angka persentasenya. Untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan pemakaian bahasa secara sinkronis, sesuai dengan kenyataan dan keadaan geografissnya, perlu dilakukan pemetaan daerah pengamatan yang dibandingkan. Dalam penelitian ini, pemetaan DP dilakukan dengan membuat segitiga dan segibanyak dialektometri pada keempat DP sesuai dengan letaknya pada peta Jawa Tengah. Pemetaan berdasarkan segitiga dialektometri dilakukan sebelum melakukan pemetaan berdasarkan segibanyaknya. Penetapan segitiga dialektometri dilakukan dengan beberapa ketentuan. Ketentuan-ketentuan itu menurut Laksono & Savitri (2009:70) sebagai berikut. 1) DP yang diperbandingkan hanya DP yang berdasarkan letaknya masing-masing mungkin melakukan komunikasi. 2) Setiap DP yang mungkin berkomunikasi secara langsung dihubungkan dengan sebuah garis sehingga diperoleh segitiga yang beragam bentuknya. 3) Garis-garis pada segitiga dialektometri tidak boleh saling berpotongan. Sebaliknya dipilih satu kemungkinkan yang letaknya lebih dekat daripada yang lain (Mahsun, 1995:119). Berdasarkan ketentuan tersebut, didapatkan peta dasar segitiga dialektometri dari keempat DP, yaitu Pucang Sawit, Surakarta (Solo kota) sebagai DP 1; Wonokerto, Wonogiri (Solo desa) sebagai DP 2; Mantrijeron, Yogyakarta (Yogya kota) sebagai DP 3; dan Sorogenen, Bantul (Yogya desa) sebagai DP 4 seperti berikut ini.
49
Gambar 1 Peta Segitiga Dialektometri Solo-Yogya
Pada peta segitiga dialektometri, didapatkan daerah-daerah pengamatan yang dibandingkan pada keempat DP. Daerah yang dibandingkan adalah daerah yang dihubungkan oleh garis segitiga dialektometri (Laksono & Savitri, 2009:71). Berdasarkan peta segitiga dialektometri di atas, daerah yang dibandingkan pada keempat DP berjumlah lima perbandingan, yaitu: 1 : 2, 1 : 3, 2 : 3, 2 : 4, dan 3 : 4. Dengan berpedoman pada peta segitiga dialektometri tersebut, selanjutnya dilakukan penghitungan jarak kosakata. Untuk menentukan ada atau tidaknya perbedaan dan jenis perbedaan, Lauder dalam Laksono & Savitri (2009:72) mengemukakan beberapa pedoman sebagai berikut. a) Jika di suatu DP dikenal lebih dari satu berian, dan salah satu lainnya dikenal di DP lain yang dibandingkan, perbedaan itu dianggap tidak ada. b) Jika di DP-DP yang dibandingkan itu salah satunya di antaranya tidak ada beriannya, perbedaan itu dianggap tidak ada. c) Jika di DP-DP yang dibandingkan itu semua tidak ada beriannya, DP-DP itu dianggap sama. d) Dalam penghitungan dialektometri pada tataran leksikal, perbedaan fonologis dan morfologis yang muncul dianggap tidak ada. e) Hasil penghitungan itu dipetakan dengan sistem konstruksi peta segibanyak dialektometri pada peta segitiga dialektometri. Peta segibanyak dialektometri lebih nyata memvisualisasikan batas-batas antar-DP atau memisahkan DP-DP daripada peta segitiga dialektometri karena segitiga dialektometri lebih bersifat menghubungkan DP, sedangkan peta segibanyak dialektometri bersifat memisahkan DP (Laksono, 2000:14). Berdasarkan peta segitiga dialektometri yang ditentukan sebelumnya, ditetapkan segibanyak dialektometrinya sebagai berikut
50
Gambar 2 Peta Segibanyak Dialektometri Solo-Yogya
Berdasarkan peta hasil segibanyak dialektometri dan kemudian dilanjutkan dengan penghitungan dialektometri dapat diinterpretasikan perbedaan-perbedaan status isolek daerah-daerah yang dibandingkan, yang dihasilkan melalui tampilan dalam garis segibanyak sebagai berikut. = beda bahasa = beda dialek = beda subdialek = beda wicara = tanpa beda Penetapan status isolek geografis bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Solo-Yogya dilakukan sesuai dengan daerah yang dibandingkan menurut segitiga dan segibanyak dialektometri. Selanjutnya dilakukan penghitungan dialektometri secara keseluruhan untuk perbedaan leksikal dan perbedaan fonologis. Namun dalam penelitian ini hanya dipilih penghitungan dialektometri terhadap perbedaan leksikal, karena data perbedaan fonologis yang didapat kurang signifikan sebagai dasar penghitungan. Rumus yang digunakan dalam dialektometri ialah sebagai berikut (Guiter dalam Mahsun, 1995: 118). =d% S = jumlah beda dengan DP lain n = jumlah peta yang dibandingkan d = jarak kosakata dalam persentase Hasil yang diperoleh dari penghitungan dialektometri terhadap perbedaan dalam tataran leksikal ini akan digunakan untuk menentukan hubungan antar-DP dengan kriteria sebagai berikut. 81% ke atas : perbedaan bahasa 51% - 80% : perbedaan dialek 31% - 50% : perbedaan subdialek 21% - 30% : perbedaan wicara
51
di bawah 20% : tidak ada perbedaan
METODE PENELITIAN Penelitian dialektologi ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Furchan (2004:447) mengungkapkan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan. Dalam hal ini, penelitian ini mencoba untuk menjawab persamaan dan perbedaan status dialek geografis bahasa Jawa Solo-Yogya. Penelitian kuantitatif (dialektometri) karena data penelitian selanjutnya ditabulasi dan dihitung dengan mengunakan penghitungan dialektometri. Penelitian deskriptif quantitatif ini memiliki sumber data berupa sumber data lisan yang berasal dari narasumber yang dipilih dari daerah penelitian, yaitu tuturan bahasa Jawa di wilayah Solo dan Yogyakarta. Narasumber atau informan yang dimaksud adalah penutur bahasa Jawa yang dipilih untuk mewakili penutur bahasa Jawa di empat DP. Sumber data tertulis berasal dari angket atau daftar kosakata sebanyak 829 glos yang dikembangkan oleh Nothofer kemudian dimodifikasi oleh Kisyani-Laksono (2009) sebagai pengembangan dari daftar kosakata dasar Morris Swadesh. Berdasarkan situasi dan kondisi di lapangan, 829 glos ini dikembangkan lagi menjadi 843 glos dengan pertimbangan ada satu glos yang memiliki lebih dari satu BL. Sampel penelitian dialektologis dari sisi komunitas tutur berwujud keterwakilan penutur bahasa yang ada di tiap daerah pengamatan atau di singkat DP (Laksono & Savitri, 2009:29). Sampel penelitian ini ditentukan berdasarkan sampling bertujuan (teknik purposive sampling). Sampel dipilih sesuai tujuan penelitian untuk memperoleh data penelitian yang tepat dan dapat mewakili data yang diharapkan dalam penelitian. Dengan demikian, penentuan narasumber harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan pada penelitian dialektologi. Adapun syarat narasumber yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut. (a) berjenis kelamin laki-laki atau wanita; (b) usia di atas 40 tahun (tidak pikun); (c) penduduk asli yang dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua yang tinggal di daerah pengamatan, atau telah tinggal di DP selama lebih dari 30 tahun; (d) pendidikan relatif rendah; diutamakan tidak berpendidikan; (e) status sosial menengah ke bawah dengan harapan mobilitas rendah; (f) dapat berbahasa Indonesia, minimal pasif; dan (g) sehat rohani dan jasmani dalam arti tidak cacat organ bicaranya. Data lisan yang didapat melalui metode simak dan catat ini (Sudaryanto, 1993:133-139) ditranskripsikan ke dalam transkripsi fonetis IPA (International Phonetics Association) untuk selanjutnya dilakukan tabulasi data guna mengetahui jumlah BL yang didapat. Kemudian dilakukan penghitungan dialektometri untuk mendapatkan status isolek bahasa Jawa Solo-Yogya, apakah beda bahasa, beda dialek, beda subdialek, beda wicara, atau tanpa beda. Penetapan status isolek geografis bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Solo-Yogya tersebut dilakukan sesuai dengan daerah yang dibandingkan menurut segitiga dan segibanyak dialektometri.
PEMBAHASAN Awal penentuan status dialek geografiss ditetapkan melalui pemetaan segitiga dialektometri pada peta lokasi keempat DP Solo-Yogya untuk mendapatkan daerah-daerah yang dibandingkan. Berdasarkan peta segitiga dialektometri Solo-
52
Yogya didapatkan lima daerah yang dibandingkan. Kelima daerah yang dibandingkan tersebut adalah kota Solo dan kabupaten Wonogiri (1 : 2), kota Solo dan kota Yogya (1 : 3), kabupaten Wonogiri dan kota Yogya (2 : 3), kabupaten Wonogiri dan kabupaten Bantul (2 : 4), serta kota Yogya dan kabupaten Bantul (3 : 4). Setelah ditetapkan lima daerah perbandingan melaui peta segitiga dialektometri, ditentukan peta segibanyak dialektometri untuk menentukan perbedaan status dialek geografiss pada kelima daerah perbandingan tersebut. Perbedaan status antar DP tersebut dinyatakan melalui tampilan garis yang berbeda-beda. Penetapan status tersebut dilakukan melalui penghitungan dialektometri terhadap data perbedaan leksikal yang didapat. Penghitungan dialektometri dan penetapan status dialek geografiss bahasa Jawa Solo-Yogya ngoko pada penutur usia dewasa, berdasarkan data perbedaan leksikal yang didapat, dapat dilihat pada tabel 1. Penghitungan dialektometri bahasa Jawa Solo-Yogya ngoko dewasa dijabarkan pada tabel 2. Selanjutnya perbedaan status tersebut digambarkan pada peta segibanyak dialektometri dengan tampilan garis yang berbeda (gambar 3). Tabel 1 Jumlah Perbedaan Leksikal bahasa Jawa Solo-Yogya No. DP yang dibandingkan Jumlah BL 1.
1:2
98
2.
1:3
132
3.
2:3
142
4.
2:4
138
5.
3:4
100
Jumlah BL
198
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa berdasarkan perbedaan leksikal (BL), perbandingan penggunaan bahasa Jawa Solo-Yogya berjumlah 198 BL. Pada perbandingan DP 1 : 2 berjumlah 98 BL, perbandingan DP 1 : 3 berjumlah 132 BL, perbandingan DP 2 : 3 berjumlah 142 BL, perbandingan DP 2 : 4 berjumlah 138 BL, dan perbandingan DP 3 : 4 berjumlah 100 BL. Tabel 2 Tabel Penghitungan Dialektometri BL Bahasa Jawa Solo-Yogya No. DP yang Penghitungan Hasil Status dibandingkan Dialektometri (%) 1 1:2 49,5% Beda Subdialek 2
1:3
66,7%
Beda Dialek
3
2:3
71,8%
Beda Dialek
53
4
2:4
69,7%
Beda Dialek
5
3:4
50,5%
Beda Subdialek
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan perbedaan leksikal, perbandingan penggunaan bahasa Jawa ngoko dewasa pada DP 1 : 2 memiliki persentase sebesar 49,5%. Jadi status bahasa Jawa di DP 1 : 2 adalah beda subdialek. Perbandingan DP 1 : 3 adalah sebesar 66,7%, dengan status beda dialek. Perbandingan DP 2 : 3 adalah sebesar 71,8% dengan status beda dialek. Perbandingan DP 2 : 4 adalah sebesar 69,7% dengan status beda dialek. Perbandingan DP 3 : 4 adalah sebesar 50,5% dengan status beda subdialek. Kemudian perbedaan status tersebut digambarkan pada peta segibanyak di bawah ini.
Gambar 3 Perbedaan Status Dialek Geografis Bahasa Jawa Solo-Yogya Ngoko Dewasa
Sesuai gambar di atas, dapat dilihat bahwa bahasa Jawa Solo-Yogya ngoko dewasa pada lima daerah perbandingan pada keempat DP memiliki dua status beda subdialek, yaitu subdialek 1 : 2 (kota Solo : kabupaten Wonogiri) dan subdialek 3 : 4 (kota Yogya : kabupaten Bantul); dan tiga status beda dialek, yaitu dialek 1 : 3 (kota Solo : kota Yogya), dialek 2 : 3 (kabupaten Wonogiri : kota Yogya), dialek 2 : 4 (kabupaten Wonogiri : kabupaten Bantul). Selanjutnya pemetaan berkas isoglos dilakukan terhadap seluruh BL yang didapatkan untuk mendukung atau memperkuat penetapan status isolek pada lima daerah perbandingan pada keempat DP berdasarkan penghitungan dialektometri terhadap bahasa Jawa Solo-Kromo ngoko dewasa sebelumnya. Torehan berkas isoglos ini akan menunjukkan perbedaan dan persamaan status bahasa suatu DP dengan DP lainnya.
54
Gambar 4 Pemetaan Berkas Isoglos Bahasa Jawa Solo-Yogya
Berdasarkan gambar diatas, peta berkas isoglos bahasa Jawa Solo-Yogya dapat diinterpretasikan sebagai berikut. Penebalan berkas isoglos yang paling besar terdapat pada bagian atas dan bagian bawah, yaitu yang melintang di antara daerah perbandingan 1 : 3 dan 2 : 4. Penebalan yang besar juga terjadi pada garis diagonal di tengah, yaitu yang membentuk daerah perbandingan 2 : 3 . Hal ini menunjukkan adanya perbedaan status isolek yang cukup nyata pada daerah-daerah perbandingan tersebut. Dengan demikian isolek pada bagian atas, bawah dan tengah memiliki perbedaan cukup besar dengan daerah lainnya. Penebalan berkas isoglos juga terjadi pada bagian kanan dan kiri, yaitu yang membujur pada daerah perbandingan 1 : 2 dan 3 : 4. Penebalan ini juga cukup signifikan walaupun tidak sebesar penebalan berkas isoglos pada bagian atas, bawah, dan tengah. Pada daerah kanan dan kiri juga terjadi penyebaran garis-garis isoglos. Ini menunjukkan bahwa perbedaan juga terjadi pada daerah perbandingan di kanan dan kiri namun tidak sebesar perbedaan yang terjadi di daerah atas, bawah, dan tengah. Ini juga berarti bahwa pada daerah kanan dan kiri masih menggunakan isolek yang cenderung sama daripada daerah atas, bawah, dan tengah. Jika hasil ini dibandingkan dengan peta segibanyak, penebalan pada daerah kanan yaitu pada daerah perbandingan 1 : 2; dan daerah kiri, yaitu pada daerah perbandingan 3 : 4 menunjukkan bahwa pada daerah-daerah perbandingan tersebut memiliki perbedaan status, yaitu beda subdialek. Sementara penebalan pada daerah atas, yaitu pada daerah perbandingan 1 : 3; daerah bawah, yaitu pada daerah perbandingan 2 : 4; dan daerah tengah, yaitu pada daerah perbandingan 2 : 4 menunjukkan bahwa pada daerah-daerah perbandingan tersebut memiliki perbedaan status, yaitu beda dialek. Penebalan yang signifikan pada daerah kanan dan kiri juga didukung bahwa kedua daerah perbandingan tersebut memiliki persentase penghitungan dialektometri yang cukup besar yaitu pada angka batas akhir beda subdialek (49,5%) pada daerah perbandingan 1 : 2, dan pada angka hampir mendekati batas awal beda dialek (50,5%) pada daerah perbandingan 3 : 4.
55
Berdasarkan data yang didapat, penghitungan dialektometri, pemetaan berkas isoglos, dan hasil analisis pada bahasa Jawa Solo-Yogya Ngoko Dewasa sebagai parameter bahasa Jawa Solo-Yogya yang digunakan saat ini, didapatkan temuan bahwa bahasa Jawa Solo-Yogya yang dipakai sekarang ini bukan merupakan bahasa Jawa satu dialek, dengan kata lain merupakan dialek bahasa Jawa yang berbeda. Bahasa Jawa Solo merupakan dialek yang berbeda dengan bahasa Jawa Yogya, bukan seperti anggapan yang berkembang selama ini. Sementara pada perbandingan satu wilayah Solo atau Yogya pun antara desa dan kota juga didapatkan temuan merupakan subdialek yang berbeda. Dengan kata lain, bahasa Jawa Solo kota dan Solo desa; serta bahasa Jawa Yogya kota dan Yogya desa merupakan subdialek yang berbeda.
SIMPULAN Setelah melalui penetapan segitiga dan segibanyak dialektometri, serta penghitungan dialektometri terhadap perbedaan leksikal yang didapat terhadap kelima daerah yang dibandingkan dapat disimpulkan bahwa status geografis bahasa Jawa Solo-Yogya sebagai berikut. Bahasa Jawa Solo-Yogya Ngoko Dewasa pada kelima daerah yang dibandingkan memiliki status dua beda subdialek, yaitu subdialek kota Solo : kabupaten Wonogiri dan subdialek kota Yogya : kabupaten Bantul; dan tiga beda dialek, yaitu dialek kota Solo : kota Yogya, dialek kabupaten Wonogiri : kota Yogya, dan dialek kabupaten Wonogiri : kabupaten Bantul. Jadi status subdialek hanya terdapat pada bahasa Jawa Ngoko Dewasa yang digunakan pada satu wilayah, yaitu Solo kota dan Solo desa serta Yogya kota dan Yogya desa, sedangkan perbandingan beda wilayah pada Solo dan Yogya menghasilkan status beda dialek. Bahasa Jawa Ngoko Dewasa Solo kota dan Solo desa merupakan dialek yang berbeda dengan bahasa Jawa Yogya kota maupun Yogya desa. Pemetaan berkas isoglos yang dilakukan terhadap bahasa Jawa Solo-Yogya Ngoko Dewasa juga mendukung penetapan status yang dilakukan melalui penghitungan dialektometri terhadap perbedaan leksikal yang didapatkan pada kelima daerah yang dibandingkan. Akhirnya, secara dialektometri dapat dinyatakan bahwa bahasa Jawa Solo dan bahasa Jawa Yogya secara geografis merupakan dialek-dialek yang berbeda, bukan seperti anggapan selama ini yang menganggap bahwa bahasa Jawa SoloYogya merupakan bahasa Jawa dalam satu dialek atau dialek yang sama. Status subdialek hanya didapatkan pada perbandingan satu wilayah, yaitu antara Solo kota dan desa, serta antara Yogya kota dan desa. Penghitungan dialektometri terhadap beda leksikal dari data observasi hanya merupakan salah satu komponen penentu status isolek bahasa Jawa SoloYogya ini. Alangkah baiknya penelitian-penelitian selanjutnya juga melibatkan penghitungan beda fonologisnya, sehingga validitas atas simpulan tentang adanya perbedaan status dialek geografis bahasa Jawa Solo-Yogya ini bisa lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Dubois, Jean, dkk. 1973. Dictionnaire De Linguistique. Paris: Laraousse. Furchan, Arief. 2004. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Guiraud, Pierre. 1970. Patois, Et Dialectes Francaises. Paris: Universitaires de France. Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Djambatan.
56
Kurath, Hans. 1972. The Study of Area Linguistics. Bloomington: Indiana University Press. Lauder, dkk. 2009. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Laksono, Kisyani. 2000. Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan: Kajian Dialektologis. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Laksono, Kisyani dan Savitri, Agusniar Dian. 2009. Dialektologi. Surabaya: Unesa University Press. Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nadra dan Reniwati. 2009. Dialektologi: Teori dan Metode. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sumarsono dan Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
57