83
V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk menghasilkan gula hablur yang tinggi. Gula hablur ini merupakan sukrosa yang dikristalkan, dimana dalam sistem produksi gula pembentukan gula terjadi di dalam proses metabolisme tanaman. Pabrik gula sebenarnya hanya berfungsi sebagai alat ekstraksi untuk mengeluarkan nira dari batang tebu dan mengolahnya menjadi gula kristal. Perkembangan luas areal perkebunan tebu dan produktivitas gula hablur di Indonesia dari tahun 2005-2011 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Luas Areal (ha) Tahun
PBN
PBS
Produktivitas (ton/ha) PR
PBN
PBS
PR
2005
80 383
89 924
211 479
5.27
6.95
5.64
2006
87 227
95 338
213 876
5.20
6.58
5.74
2007
81 655
96 657
249 487
5.20
7.08
6.07
2008
82 222
101 500
252 783
4.82
7.25
6.08
2009
74 185
105 549
243 219
4.81
7.90
5.46
2010
76 250
114 494
243 513
4.13
5.94
5.32
79 302
114 554
280 067
5.89
8.25
6.24
*)
2011
Keterangan : PBN PBS PR *) Sumber
: Perkebunan Besar Negara : Perkebunan Besar Swasta : Perkebunan Rakyat : Angka sementara : Ditjenbun (2011)
Saat ini perkebunan rakyat mendominasi luas areal perkebunan tebu di Indonesia. Berdasarkan data dari tahun 2005-2011 terlihat bahwa perkebunan rakyat memiliki luas areal yang terbesar dibandingkan luas areal perkebuan besar negara dan swasta. Pada tahun 2010 dari total areal perkebunan tebu nasional seluas 434 257 ha, sekitar 243 513 ha (56.08 persen) diusahakan oleh perkebunan rakyat, sedangkan 76 250 ha (17.56 persen) diusahakan oleh perkebunan besar negara dan sisanya 114 494 ha (26.37 persen) diusahakan oleh perkebunan besar swasta. Pada periode 2005-2011 pertumbuhan luas areal perkebunan besar swasta selalu mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan 4.48 persen per tahun,
84
sedangkan luas areal perkebunan rakyat mencapai 6.46 persen per tahun, sementara luas areal perkebunan besar negara hanya 0.37 persen per tahun. Luas areal perkebunan rakyat mengalami penurunan pada tahun 2009. Hal ini dipicu oleh anjloknya harga gula pada periode tersebut sehingga menurunkan minat petani untuk menanam tebu, sedangkan pada perkebunan besar negara, anomali cuaca yang tidak kondusif menyebabkan banyak tebu yang tidak berbunga sehingga tanaman tebu banyak yang mati. Selain itu, terjadinya konflik hak guna usaha pada perkebunan besar negara VII Unit Usaha Cinta Manis Sumatera Selatan yang berujung pada pembakaran luas areal perkebunan sehingga mengurangi luas areal perkebunan besar negara. Apabila ditinjau dari sisi produktivitasnya, selama kurun waktu 2005-2011 rata-rata tingkat produktivitas gula hablur pada perkebunan besar swasta jauh lebih tinggi dibandingkan pada perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara. Produktivitas perkebunan rakyat dan negara cenderung mengalami penurunan, sedangkan swasta mengalami peningkatan. Namun, pada tahun 2010 seluruh perkebunan mengalami penurunan produktivitas sebelum akhirnya kembali mengalami peningkatan pada tahun 2011. Produktivitas perkebunan rakyat meningkat sebesar 6.24 ton per hektar, perkebunan besar negara meningkat 5.89 ton per hektar, sedangkan perkebunan besar swasta meningkat 8.25 ton per hektar. Produktivitas perkebunan besar swasta lebih baik karena lahan perkebunan tebunya berstatus Hak Guna Usaha (HGU) yang didukung dengan pola manajemen budidaya tebu yang integratif dan dikelola dengan baik. Dalam rangka mendukung target swasembada gula nasional pada 2014, pemerintah mencanangkan program revitalisasi dengan memperluas tanaman tebu dan peningkatan produktivitas melalui penataan komposisi varietas, percepatan pembibitan dengan menerapkan metode colombia, rehabilitasi, dan revitalisasi pabrik gula serta peningkatan efisiensi pabrik serta peningkatan kualitas hasil produksi (Tim Nasional Revitalisasi Industri Gula, 2010). Target perluasan areal tebu dalam rangka program revitalisasi adalah seluas 600 ribu hektar. Akan tetapi sampai saat ini masalah yang dihadapi oleh industri perkebunan tebu adalah masih kurangnya areal perkebunan dalam rangka mendukung program tersebut.
85
5.2. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Impor, dan Stok Gula Indonesia 5.2.1. Produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan telah ditetapkan sebagai salah satu komoditas strategis sebagaimana yang tertuang dalam Kepres No. 57 Tahun 2004. Indonesia pernah menjadi negara produsen gula terbesar kedua setelah Kuba yang mampu memasok kebutuhan gula negaranegara lain. Namun, saat ini fakta tersebut telah berbalik, dan Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor gula terbesar di dunia. Hal ini terjadi karena produksi gula Indonesia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Pabrik gula di Indonesia tidak hanya memproduksi gula kristal putih, tetapi sejak tahun 2003 juga memproduksi gula kristal rafinasi. Gula kristal putih ditujukan untuk konsumsi rumah tangga, sedangkan gula kristal rafinasi untuk konsumsi industri. Berikut ini adalah perkembangan produksi gula kristal putih dan rafinasi di Indonesia tahun 2003-2010. Tabel 7. Perkembangan Produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010 Produksi (ton) Tahun Gula Kristal Putih Gula Kristal Rafinasi 2003
1 631 919
329 547
2004
2 051 643
439 990
2005
2 241 742
759 708
2006
2 307 027
1 100 228
2007
2 448 143
1 441 501
2008
2 668 428
1 256 435
2009
2 299 504
2 031 843
2010
2 214 488
2 356 805
2011
2 228 259
2 192 109
Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2012
Produksi gula kristal putih merupakan produksi gula yang berbahan baku tebu petani, sedangkan produksi gula kristal rafinasi sebagian besar bahan bakunya masih berupa gula mentah yang berasal dari impor. Berdasarkan Tabel 7 tampak bahwa produksi gula kristal putih Indonesia dari tahun 2003 hingga 2010 mengalami pertumbuhan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan produksi
86
gula kristal rafinasi yang baru berdiri sejak tahun 2003. Sejak awal berdirinya, hanya terdapat tiga pelaku usaha gula kristal rafinasi. Selama periode 2003-2005, ketiga pelaku usaha tersebut mampu memasok kebutuhan gula kristal rafinasi untuk industri hingga 759.71 ribu ton per tahun. Kemudian pada 2006-2008, pelaku usaha di industri gula kristal rafinasi ini bertambah menjadi tujuh pelaku usaha dengan total kemampuan pasokan meningkat jadi sekitar 1.1 juta ton hingga 1.4 juta ton per tahun. Pada 2009 hingga sekarang, total pelaku usaha dalam industri gula kristal rafinasi menjadi delapan, sehingga kemampuan pasokan industri rafinasi mencapai lebih dari 2 juta ton per tahun. Pertumbuhan produksi gula kristal rafinasi paling tinggi adalah pada tahun 2009 yaitu tumbuh 61.71 persen menjadi 2.031 juta ton gula, sedangkan gula kristal putih, yang mayoritas diproduksi oleh pabrik gula BUMN dan swasta yang berjumlah 62 unit hanya mampu berproduksi 2.228 juta ton pada tahun 2011. Produksi gula kristal putih bahkan tidak mampu tumbuh lebih dari 10 persen dalam setiap tahunnya. Pada tahun 2009 produksi gula kristal putih mengalami penurunan paling besar, yaitu 13.83 persen dari 2.668 juta ton pada tahun 2008 menjadi hanya sebesar 2.299 juta ton pada tahun 2009. Bahkan pada tahun 2010 produksi gula kristal putih masih mengalami penurunan hingga menyebabkan produksinya lebih rendah dibandingkan gula kristal rafinasi. Ketidakmampuan produksi gula kristal putih dalam meningkatkan laju produksinya, disebabkan pabrik-pabrik gula yang memproduksi gula kristal putih tersebut mayoritas adalah pabrik-pabrik tua peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang dalam prosesnya kurang memenuhi standar sebagai produsen bahan pangan.
5.2.2. Konsumsi Gula Rumah Tangga dan Industri Indonesia merupakan negara yang masih menganut dualisme gula, dimana di Indonesia konsumsi gula di Indonesia dibedakan berdasarkan penggunaannya, yaitu konsumsi gula langsung atau rumah tangga dan konsumsi gula industri. Gula kristal putih adalah gula yang ditujukan untuk konsumen rumah tangga, sedangkan gula kristal rafinasi tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi rumah tangga sehingga hanya sektor industri yang mempergunakan gula jenis ini. Sektor
87
industri yang paling banyak menggunakan gula kristal rafinasi adalah sektor industri makanan dan minuman. Namun, kurangnya pengawasan membuat tidak sedikit gula kristal rafinasi merembes pada pasar konsumsi. Berikut ini adalah perkembangan konsumsi gula kristal putih dan gula kristal rafinasi di Indonesia tahun 2003-2007. Tabel 8. Konsumsi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010 Konsumsi (ton) Tahun Gula Kristal Putih Gula Kristal Rafinasi 2003
2 309 570
845 918
2004
2 441 279
904 203
2005
2 616 480
1 373 403
2006
2 719 956
1 532 837
2007
2 618 679
2 084 737
2008
2 693 559
1 647 555
2009
3 011 971
2 280 139
2010
2 288 025
2 519 232
2011
2 768 831
2 246 705
Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2012
Konsumsi gula kristal putih di Indonesia berfluktuasi dalam setiap tahunnya. Konsumsi gula kristal putih mengalami penurunan 24.04 persen dari tahun 2009 sebesar 3.012 juta ton menjadi 2.288 juta ton pada tahun 2010. Seiring dengan peningkatan produksinya, pertumbuhan konsumsi gula kristal rafinasi juga lebih tinggi dibanding pertumbuhan gula kristal putih. Gula kristal rafinasi meningkat 38.40 persen pada tahun 2009 dengan total konsumsi mencapai 2.280 juta ton. Bahkan pada tahun 2010, konsumsi gula kristal rafinasi meningkat 10.49 persen atau sebesar 2.519 juta ton lebih tinggi dari konsumsi gula rumah tangga.
5.2.3. Impor Gula Indonesia Berdasarkan Tabel 7 dan 8 dapat dilihat bahwa kebutuhan gula di Indonesia baik gula kristal putih maupun rafinasi seringkali lebih tinggi daripada produksi gula di Indonesia. Adanya gap atau selisih antara produksi dan konsumsi ini yang menyebabkan Indonesia selalu membuka kran impornya untuk memenuhi kekurangan konsumsi gula dalam negeri. Peningkatan tersebut selain karena
88
peningkatan jumlah penduduk dan tingkat perekonomian masyarakat yang mengalami peningkatan juga karena meningkatnya kebutuhan gula karena industri makanan dan minuman juga mengalami kemajuan. Perkembangan impor gula Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 9. Tabel 9. Impor Gula Kristal Putih, Gula Mentah, dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010 Impor (ton) Tahun Gula Kristal Gula Kristal Putih Gula Mentah Rafinasi 2003 647 908 350 582 516 371 2004
256 589
478 250
464 213
2005
453 160
808 200
629 615
2006
216 490
952 387
462 741
2007
448 681
1 255 522
715 930
2008
49 025
1 213 470
453 743
2009
13 000
1 670 000
149 837
2010
446 894
2 265 000
158 384
2011
143 479
2 268 954
60 412
Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2012
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa laju pertumbuhan impor gula kristal putih relatif berfluktuasi dipengaruhi oleh kebijakan impor yang diterapkan oleh pemerintah. Impor gula kristal putih mempunyai komposisi yang lebih kecil dibanding impor gula kristal rafinasi dan gula mentah karena impor gula kristal putih dilakukan hanya untuk memenuhi kekurangan kebutuhan gula didaerah non sentra produksi. Daerah sentra produksi gula di Indonesia berada pada wilayah Indonesia bagian barat sehingga kekurangan gula pada non sentra produksi atau wilayah timur Indonesia seringkali dipenuhi melalui impor karena distribusi dari daerah sentra produksi membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya transportasi yang tinggi apabila menunggu distribusi gula dari wilayah barat. Sejak tahun 2007 impor gula kristal putih telah mengalami penurunan namun pada tahun 2010 impor gula kristal putih meningkat kembali menjadi 446.89 ribu ton karena faktor cuaca yang menyebabkan penurunan produksi.
89
Impor gula mentah digunakan oleh pelaku-pelaku dalam industri gula kristal rafinasi di Indonesia untuk kemudian diolah menjadi gula kristal rafinasi. Berdasarkan Tabel 9 seiring dengan bertambahnya jumlah pabrik gula kristal rafinasi maka permintaan akan impor gula mentah juga terus meningkat. Peningkatan impor gula mentah terjadi sejak tahun 2007 yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Impor gula mentah tahun 2011 mencapai 2.268 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan gula kristal rafinasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun pemerintah juga melakukan impor langsung gula kristal rafinasi untuk diserap oleh industri yang menggunakan bahan baku gula kristal rafinasi. Perkembangan impor gula kristal rafinasi menunjukkan tren penurunan seiring dengan peningkatan pabrik gula kristal rafinasi. Hingga tahun 2011 impor langsung gula kristal rafinasi hanya 60.412 ribu ton.
5.3. Stok Gula Indonesia Peningkatan impor gula yang terus meningkat dari tahun ke tahun karena ketidakmampuan industri gula dalam meningkatkan produksinya semakin diperparah dengan tidak adanya peran BULOG dalam importasi gula Indonesia. Hal ini menyebabkan stok gula mengalami peningkatan setiap tahunnya. Stok gula yang tercatat kini merupakan data stok gula yang terdapat pada perusahaanperusahaan gula. Berikut ini adalah data yang menunjukkan perkembangan stok gula di Indonesia tahun 2003-2011. Tabel 10. Stok Awal Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2003-2010 Stok Awal Tahun (ton) Tahun Gula Kristal Putih Gula Kristal Rafinasi 2003 391 701 75 000 2004 528 986 75 000 2005 397 219 75 000 2006 617 581 90 920 2007 446 142 121 052 2008 888 485 193 746 2009 947 926 256 369 2010 352 852 157 910 2011 876 102 153 868 Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2012
90
Berdasarkan data pada Tabel 10 tampak bahwa pasokan gula yang tidak tersalurkan berfluktuasi setiap tahunnya. Menyikapi data tersebut, seharusnya dengan tingkat stok gula kristal putih yang tinggi tersebut pemerintah tidak perlu melakukan atau mengurangi impor gula kristal putih pada tahun-tahun berikutnya. Namun, berdasarkan data impor gula kristal putih pada Tabel 8 menunjukkan bahwa impor gula kristal putih tetap dilakukan oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan ketidakcermatan pemerintah dalam menghitung stok gula kristal putih yang membuat impor terus dilakukan. Terlebih lagi, data stok tersebut belum termasuk gula selundupan atau ilegal dan rembesan gula kristal rafinasi yang beredar pada pasar konsumsi. Peningkatan stok gula kristal putih paling besar terjadi pada tahun 2008 dan 2010. Pada tahun 2008 stok gula kristal putih meningkat sebesar 99.15 persen menjadi sebesar 888.48 ribu ton, sedangkan pada tahun 2011 meningkat 148.28 persen atau sebesar 876.10 ribu ton. Stok gula kristal rafinasi cenderung lebih rendah dibandikan cadangan gula kristal putih. Hal ini menunjukkan distribusi dan impor gula kristal rafinasi lebih efektif dibandingkan impor gula kristal putih. Gula kristal rafinasi diimpor oleh beberapa produsen gula kristal rafinasi yang jumlahnya lebih sedikit dari produsen gula kristal putih. Gula kristal rafinasi mengalami peningkatan paling besar tahun 2008 sebesar 60.05 persen atau sebesar 193.75 ribu ton dan meningkat kembali 32.32 persen atau sebesar 256.37 ribu ton pada tahun 2010. Sejak 2 tahun terakhir stok gula kristal rafinasi menunjukkan tren penurunan. Perhitungan neraca gula yang tidak cermat inilah yang membuat impor gula dan produksi gula yang sebenarnya mencukupi untuk kebutuhan nasional tidak terserap oleh pasar. Kelebihan stok gula kristal putih yang cukup besar dari tahun ke tahun diduga disebabkan diluar musim giling stok gula kristal putih dikuasai oleh beberapa pedagang besar saja. Hal ini yang membuat pemerintah melakukan impor gula untuk menjaga stabilitas harga gula didalam negeri. Penguatan peran BULOG tampaknya dibutuhkan sebagai lembaga yang berwenang mengatur impor gula dan lembaga buffer stock untuk komoditas strategis seperti gula, sehingga perhitungan kekurangan pasokan gula dapat dilakukan secara cermat.
91
5.3. Perkembangan Harga Patokan Petani, Harga Lelang, Harga Domestik, dan Harga Dunia Gula Sejak tahun 2004 pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam industri gula yang lebih mengarah untuk melindungi petani dan meningkatkan kesejahteraan dalam rangka mewujudkan swasembada gula. Perlindungan tersebut berupa penetapan harga patokan petani (HPP) yang besarnya ditentukan oleh pemerintah dan direvisi setiap tahunnya. HPP ini menjadi tolak ukur dalam pembentukan harga gula awal pada tingkat petani yang dikenal sebagai harga lelang. Di Indonesia dikenal istilah “the seven samurai” yaitu tujuh pengusaha yang bermain dalam industri pergulaan Indonesia. Kelompok pengusaha tersebut beroperasi melalui sistem pembelian gula melalui lelang. Tidak hanya adanya pengusaha besar yang mempengaruhi pergerakan harga gula di Indonesia, keterlibatan Indonesia dalam perdagangan internasional membuat harga gula domestik tidak lagi ditentukan oleh harga gula petani melainkan harga gula dunia turut mempengaruhi pergerakan harga gula domestik. Pergerakan harga gula baik pada pasar domestik maupun pada pasar dunia disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Perkembangan Harga Patokan Petani, Harga Lelang, Harga Domestik, dan Harga Dunia Gula Tahun 2004-2011 Harga Gula (Rp/Kg) Tahun HPP Lelang Domestik Dunia 2004
3 410
3 609
5 489.70
1 417.10
2005
3 800
4 585
5 979.80
2 114.38
2006
4 000
5 380
6 341.90
2 984.80
2007
4 900
5 382
6 190.80
2 030.86
2008
5 100
5 255
8 205.00
2 729.76
2009
5 350
7 056
8 752.00
4 132.77
2010
6 350
8 732
10 502.00
4 270.42
2011
7 000
8 142
9 981.20
5 040.18
Sumber : Data HPP, Harga Lelang, dan Harga Domestik : Dewan Gula Indonesia, 2012 Data harga gula dunia : International Sugar Organization (ISO), 2012
Harga nominal gula baik pada pasar domestik maupun dunia menunjukkan tren peningkatan. Berdasarkan Tabel 11 HPP gula setiap tahunnya direvisi oleh pemerintah dan menunjukkan tren peningkatan. Presentase peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2007 dimana HPP gula meningkat 22.50 persen atau Rp 900.00
92
dan pada tahun 2010 yang meningkat Rp 1 000.00 atau 18.7 persen. Namun, harga lelang gula yang diterima petani mengalami fluktuasi, dan memiliki laju pertumbuhan yang menurun. Pada tahun 2008 harga lelang yang diterima petani menurun 2.36 persen dari harga lelang tahun sebelumnya. Demikian pula yang terjadi pada tahun 2011, dimana petani menerima harga lelang hanya Rp 8 142.00 atau menurun 6.76 persen dari tahun sebelumnya. Harga gula dunia secara umum mengalami peningkatan. Penurunan harga gula terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar Rp 2 030.86 per kilogram atau menurun 31.96 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan menurunnya produksi gula Brazil yang merupakan eksportir utama gula dunia. Namun setelah tahun 2007 harga gula dunia terus melambung. Pergerakan harga gula domestik cenderung mengikuti pergerakan harga gula dunia. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan impor gula, harga gula di pasar dunia berpengaruh cukup signifikan terhadap harga gula domestik baik pada harga lelang yang diterima petani maupun harga domestik. Harga gula domestik mengalami peningkatan setiap tahunnya kecuali pada tahun 2011 yang mengalami penurunan menjadi Rp 9 981.20. Penurunan ini diakibatkan oleh banyaknya gula impor yang diperparah dengan impor gula ilegal yang masuk ke pasar konsumen. Penurunan harga gula ini juga berimbas pada penurunan harga lelang gula yang diterima petani.
5.4. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia 5.4.1. Produksi Gula Dunia Sebagai salah satu komoditas pangan yang berguna sebagai sumber kalori yang penting bagi manusia, gula banyak diproduksi oleh beberapa negara yang mempunyai kesesuaian lahan dan iklim untuk budidaya tebu. Negara-negara penghasil gula terbesar adalah negara-negara dengan iklim hangat seperti Brazil, Australia, dan Thailand. Perkembangan produksi gula pada negara-negara penghasil gula cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya seiring dengan kemajuan teknologi dalam budidaya tebu dan tingkat efisiensi pabrik gula dalam memproduksi gula. Berikut ini pada Tabel 12 dapat dilihat perkembangan 10 negara produsen gula utama di dunia pada periode 2008-2010.
93
Tabel 12. Produksi Gula di Beberapa Negara Produsen Terbesar Gula Dunia Tahun 2008-2010 Tahun (ton) No Produksi 2008 2009 2010 1. Brazil 29 517 295 31 864 673 36 680 773 2.
India
26 338 546
14 673 413
18 985 281
3.
China
12 490 322
10 788 040
10 515 179
4.
Thailand
7 190 929
6 611 398
6 374 158
5.
Amerika Serikat
6 286 109
6 514 259
6 535 419
6.
Mexico
5 464 397
4 565 317
4 439 319
7.
Australia
4 382 190
4 263 109
4 157 314
8.
Pakistan
3 829 807
3 206 992
3 606 256
9.
Perancis
3 529 899
3 980 681
3 557 498
3 347 185
3 870 708
3 349 052
10. Jerman Sumber : FAO, 2012
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa Brazil masih menduduki peringkat pertama produsen gula dunia. Produksi gula Brazil selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa produksi gula Brazil pada tahun 2010 sebanyak 38.68 juta ton atau mampu menguasai 25.74 persen produksi gula dunia yang meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mampu menguasai 23.29 persen produksi gula dunia. Keberhasilan Brazil dalam industri gula ini karena dukungan teknologi yang lebih maju baik dalam pembibitan, pemeliharaan, dan pemanenan tebu dibanding negara lainnya. India juga merupakan negara produsen terbesar kedua di dunia. Namun tren produksi gula India mengalami penurunan. Produksi gula India sebesar 26.34 juta ton pada tahun 2008 dan mengalami penurunan sebesar 7.03 persen menjadi hanya sebesar 14.673 juta ton pada tahun 2009. Kemudian kembali mengalami peningkatan sebesar 18.985 juta ton. Penurunan gula India ini dikarenakan cuaca yang sangat ekstrim dan bencana kekeringan yang melanda negara ini. Demikian juga dengan China yang menjadi negara dengan penduduk terbesar di dunia juga merupakan produsen gula ketiga terbesar di dunia. Produksi gula China menguasai 7.38 persen produksi gula dunia atau sebesar 18.985 juta ton. Thailand menjadi salah satu produsen gula terbesar di Asia Tenggara. Produksinya mencapai 7.190 juta
94
ton atau menguasai 4.85 persen produksi gula dunia. Akan tetapi, produksi gula Thailand mengalami penurunan dari tahun 2009 hingga 2010.
5.4.2. Konsumsi Gula Dunia Kebutuhan akan gula sebagai salah satu sumber kalori di dunia terus meningkat. Peningkatan ini dapat ditunjukkan dari pertumbuhan konsumsi gula dunia yang meningkat dengan laju 0.97 persen pada tahun 2008 (FAO, 2012). Peningkatan konsumsi gula terutama sangat berkaitan dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan kesejahteraan, dan perkembangan industri makanan dan minuman. India, Amerika Serikat, dan China pada Tabel 9 ditunjukkan sebagai negara produsen gula terbesar di dunia, ternyata tidak hanya mempunyaii kemampuan produksi yang tinggi, ketiga negara tersebut juga menjadi negara terbesar untuk konsumsi gula di dunia. Lebih lanjut mengenai perkembangan konsumsi gula negara konsumen terbesar gula di dunia disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Konsumsi Gula di Beberapa Negara Konsumen Terbesar Gula Dunia Tahun 2007-2009 Tahun (ton) No.
Negara 2007
2008
2009
19 121 765.41
20 536 276.91
22 039 492.18
9 297 591.54
9 281 262.19
9 379 266.79
1.
India
2.
Amerika Serikat
3.
China
10 216 894.20
8 922 887.76
7 424 276.91
4.
Brazil
6 901 473.78
7 000 953.08
7 001 940.20
5.
Mexico
4 549 092.00
4 628 262.19
4 740 655.93
6.
Rusia
5 950 532.66
5 470 660.53
4 166 477.46
7.
Pakistan
3 803 080.04
4 259 600.74
3 612 639.37
8.
Jerman
2 903 215.27
2 900 541.86
2 900 598.90
9.
Indonesia
2 779 690.89
2 752 919.04
2 814 996.32
10.
Perancis
1 918 126.95
2 290 520.70
2 155 808.65
Sumber : FAO, 2012
Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa mayoritas negara konsumen gula terbesar di dunia merupakan negara produsen gula. Negara yang mengonsumsi gula terbesar di dunia selama tiga tahun terakhir adalah India.
95
Posisi India tidak tergeser dan semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2009 share konsumsi gula India adalah 16.67 persen konsumsi gula dunia. Peningkatan konsumsi gula India sangat berkaitan dengan pertambahan jumlah penduduknya yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan pada posisi kedua adalah Amerika dengan share 7.10 persen konsumsi gula dunia. Pada tahun 2007 China menjadi konsumen gula terbesar kedua di dunia. Namun tren konsumsi gula China mengalami penurunan dari tahun ke tahun sehingga China menempati urutan ketiga dalam konsumsi gula dunia. Konsumsi gula di China diperkirakan akan terus menurun seiring dengan progam pemerintah China yang tengah menekan laju pertumbuhan penduduknya. Indonesia juga masuk ke dalam sepuluh negara konsumen gula terbesar dunia. Hal ini dikarenakan gula juga merupakan penduduk terbesar di dunia. Konsumsi gula Indonesia memiliki share 2.13 persen dari konsumsi gula dunia pada tahun 2009. Apabila ditinjau dari sisi produksi, dimana Indonesia bukan merupakan negara produsen gula terbesar di dunia tingkat konsumsi tersebut sangat tinggi. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia mengejar angka konsumsi dengan terus berupaya meningkatkan produksinya.
5.5. Ekspor dan Impor Gula Dunia 5.5.1. Ekspor Gula Dunia Gula merupakan sumber kalori bagi kebutuhan pangan dunia. Namun tidak semua negara mampu memenuhi kebutuhan penduduknya melalui produksinya sendiri. Oleh karena itu, beberapa produsen gula juga melakukan ekspor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi negara lain yang kekurangan pasokan gula. Namun, tidak semua negara produsen menjadi negara eksportir gula. Negara produsen yang juga mempunyai share ekspor gula yang cukup besar diantaranya Brazil, Thailand, dan Australia. India juga memiliki share ekspor yang besar namun beberapa tahun terakhir karena bencana yang menyebabkan kegagalan panen India beralih menjadi importir gula. Perkembangan sepuluh negara eksportir gula terbesar di dunia dari tahun 2008 hingga 2010 dapat dilihat pada Tabel 14.
96
Tabel 14. Negara Eksportir Gula Dunia Tahun 2008-2010 Tahun (ton) No. Negara 2008 2009 1.
Brazil
2.
2010
18 382 053
22 859 395
26 323 624
Thailand
4 773 471
4 864 634
4 334 643
3.
Australia
2 356 240
2 434 819
2 842 163
4.
France
1 969 642
2 242 702
2 338 397
5.
Guatemala
1 193 134
1 463 969
1 602 653
6.
India
3 214 025
40 853
1 268 418
7.
Mexico
952 832
965 060
855 339
8.
Colombia
408 477
897 519
791 184
9.
Cuba
741 314
684 765
497 267
10.
South Africa
647 933
854 694
404 857
Sumber : FAO, 2012
Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun Brazil masih menjadi eksportir gula terbesar di dunia, yang kemudian diikuti oleh Thailand, Australia, Perancis, Guatemala, India, dan Mexico. Ekspor gula Brazil yang selalu mengalami peningkatan membuat posisi Brazil sebagai negara eksportir terbesar di dunia semakin tidak tergantikan oleh negara lain. Brazil mampu menguasai 57.11 persen ekspor gula dunia atau sebesar 26.32 juta ton pada tahun 2010. Posisi kedua ekspor terbesar adalah Thailand, dengan share lebih dari 10 persen yang relatif stabil dalam tiga tahun terakhir. Ekspor gula Thailand meningkat pada tahun 2009 dan menurun menjadi 1.15 persen pada tahun 2010 menjadi sebesar 4.33 juta ton. Australia juga merupakan negara eksportir gula dengan share ketiga terbesar di dunia yang relatif konsisten dengan volume ekspornya. Australia mampu menguasai kurang lebih dari 5 persen ekspor gula dunia. Demikian halnya dengan India, pada tahun 2008 India merupakan negara pengekspor gula terbesar keempat di dunia dengan share 6.97 persen. Namun, seiring dengan bencana kekeringan yang pernah melanda India dan menyebabkan penurunan produksi ekspor India pada tahun 2009 mengalami penurunan dan hanya menguasai 0.09 persen pasar ekspor gula dunia. Namun, pada tahun 2010 share ekspor gula India kembali meningkat dengan menguasai 2.75 persen pasar ekspor gula dunia.
97
5.5.2. Impor Gula Dunia Gula sebagai bahan pemanis utama dibutuhkan sebagai sumber energi bagi sebagian besar penduduk dunia. Ketidakmampuan suatu negara dalam memenuhi kebutuhan gula dalam negerinya membuat negara tersebut harus melakukan impor gula. Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui perkembangan negara-negara pengimpor gula terbesar di dunia dari tahun 2008-2010. Tabel 15. Negara Importir Gula Dunia Tahun 2008-2010 Tahun (ton) No Negara 2008 2009
2010
1.
United States of America
2 479 994
2 368 537
2 754 799
2.
Russian Federation
2 291 500
1 251 821
2 017 788
3.
China
1 151 821
1 526 660
1 896 877
4.
India
355 056
2 387 959
1 105 008
5.
Indonesia
972 317
1 384 150
1 675 116
6.
Iran (Islamic Republic of)
837 679
502 532
1 668 933
7.
Malaysia
1 335 290
1 442 227
1 578 382
8.
Republic of Korea
1 515 922
1 519 310
1 508 975
9.
Saudi Arabia
1 387 473
1 072 659
1 446 650
10.
United Kingdom
1 399 846
1 322 014
1 331 261
Sumber : FAO, 2012
Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa negara importir gula terbesar di dunia antara lain Amerika, Rusia, China, India, dan Indonesia. Impor gula Amerika merupakan yang terbesar setiap tahunnya. Pada tahun 2010, impor gula Amerika mencapai 2.75 juta ton atau menguasai 5.42 persen impor gula dunia. Rusia juga merupakan negara pengimpor gula yang cukup besar setelah Amerika karena menguasai 3.97 persen impor gula dunia pada tahun 2010. China yang merupakan negara produsen gula juga telah menjadi negara pengimpor gula karena produksi gula domestik yang kurang mencukupi. Impor gula China dari tahun 2008-2010 cenderung mengalami peningkatan. China mengimpor gula sebesar 1.15 juta ton pada tahun 2008, meningkat menjadi 1.53 juta ton pada tahun 2009 dan meningkat kembali sebesar 1.89 juta ton pada tahun 2010. Demikian halnya dengan India, pada tahun 2008 India hanya mengimpor sebesar 355.06 ribu ton, namun seiring dengan bencana kekeringan yang menurunkan
98
produksi hingga mengurangi ekspornya membuat negara ini juga melakukan impor gula. Bahkan negara ini menjadi importir gula terbesar di dunia pada tahun 2009 dengan total impor gula sebesar 2.39 juta ton. Jumlah gula yang diimpor oleh suatu negara dipengaruhi pula oleh kebijakan pada perdagangan gula yang diterapkan oleh pemerintah masing-masing negara.
5.6. Impor Gula Indonesia Masalah pokok dalam pergulaan nasional adalah ketidakmampuan produksi gula Indonesia dalam memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Hal inilah yang kemudian membuat pemerintah selalu memenuhi kekurangan tersebut dengan melakukan impor gula. Bahkan, Indonesia termasuk negara yang cukup besar dalam melakukan importasi gula. Adapun perkembangan impor gula Indonesia tahun 2001-2010 dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Impor Gula Indonesia dari Thailand, China, Singapura, dan Australia Tahun 2001-2010 Total Partner Impor Gula Indonesia Tahun Impor Thailand China Singapura Australia ROW Indonesia 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
651 522 460 124 517 971 758 693 690 082 177 888 1 086 935 800 040 572 684 421 150
27 635 43 340 13 356 28 16 022 23 018 3 500 201 250 299
30 240 22 823 2 031 6 220 874 1 226 7 202 49 553 8 074 3 760
60 562 82 089 139 330 116 030 249 345 407 259 654 920 3 601 172 804 167 354
430 900 308 881 275 858 195 385 565 171 716 586 696 350 100 117 517 803 694 600
1 200 858 917 258 948 546 1 076 356 1 521 494 1 325 977 2 448 907 953 512 1 271 615 1 287 162
Sumber : FAO, 2012
Ketergantungan impor gula Indonesia setiap tahun semakin meningkat menurunkan pertumbuhan industri gula di dalam negeri. Hal ini juga turut menjadi ancaman terhadap kemandirian pangan Indonesia yang mempunyai penduduk yang besar dengan daya beli yang masih rendah. Nainggolan (2010) menyatakan bahwa kemandirian pangan mensyaratkan agar pemenuhan kebutuhan pangan pokok semaksimal mungkin dipenuhi oleh produksi dalam negeri mengingat Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya
99
alam yang memadai dan mempunyai potensi untuk berproduksi lebih baik dari saat ini. Impor gula Indonesia banyak berasal dari negara Thailand, Singapura, China, Australia, serta negara lain. Sesuai dengan Tabel 16 dapat dilihat bahwa impor gula Indonesia paling banyak berasal dari Thailand. Pada periode 2001-2010 diperoleh bahwa proporsi (share) rata-rata impor gula Indonesia dari Thailand sebesar 47.38 persen dan dari Australia sebesar 15.85 persen sehingga proporsi kedua negara tersebut sebesar 63 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kedua negara tersebut merupakan eksportir utama gula di Indonesia. Selain dari kedua negara tersebut, impor gula Indonesia juga banyak berasal dari China, dan Singapura. Sekalipun China masih melakukan impor gula untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, namun negara ini masih melakukan ekspor gulanya ke Indonesia. Indonesia merupakan negara utama tujuan ekspor gula China. Demikian juga dengan Singapura, sekalipun negara ini bukan negara produsen gula dan bahkan juga melakukan impor gula untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, sebagian besar impor gula Indonesia berasal dari negara ini. Ditinjau dari sisi impornya, fluktuasi impor gula Indonesia juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang mengatur ketentuan impor gula. Selama satu dekade terakhir impor gula Indonesia paling tinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 2.45 juta ton dengan impor terbeesar dari Thailand sebesar 1.09 juta ton.