V KERAGAAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO 5.1 Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kakao Indonesia Pentingnya pengembangan agroindustri kakao di Indonesia tidak terlepas dari besarnya potensi yang dimiliki, terutama sebagai penghasil bahan baku. Produksi biji kakao Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada Tahun 2010, produksi kakao mencapai 844.626 ton. Jumlah ini meningkat hampir 5 kali lipat dari produksi pada tahun 1990 yang hanya sebesar 142.347 ton (Gambar 19). Pada periode tersebut terjadi peningkatan produksi rata-rata per tahun sebesar 11,3 persen. Tren peningkatan produksi terbesar dihasilkan dari perkebunan rakyat dimana terjadi peningkatan produksi rata-rata sebesar 13,42 persen per tahun. Perkebunan besar negara dan swasta juga mengalami tren peningkatan produksi, walaupun besarannya relatif kecil yaitu masingmasing 2,44 dan 4,57 persen per tahun. Proporsi produksi kakao sebagian besar disumbang oleh perkebunan rakyat dengan pangsa sebesar 91,6 persen dari total produksi kakao Indonesia pada tahun 2010. Sedangkan perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta masing-masing hanya menyumbang 4,36
900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010*)
(Dalam Ribu Ton)
dan 4,03 persen.
PR
PBN
PBS
Total
Gambar 19 Produksi kakao Indonesia menurut status pengusahaan, Tahun 1990 - 2010. (Sumber: Ditjenbun, 2011) Pertumbuhan produksi biji kakao tidak terlepas dari tingginya pertumbuhan luas areal pertanaman kakao Indonesia (Gambar 20). Pada tahun 2010, luas real
60
kakao Indonesia adalah sebesar 1.651.539 ha, meningkat tajam dari tahun 1990 yang hanya seluas 357.490 ha. Pertumbuhan luas areal pada periode 1990-2010 lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan produksi yaitu sebesar 8,49 persen per tahun. Perkebunan rakyat mengalami pertumbuhan terbesar yaitu 10,38 persen per tahun, diikuti perkebunan besar swasta sebesar 1,06 persen per tahun. Sedangkan perkebunan besar negara justru mengalami penurunan
1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010*)
(Dalam Ribu Hektar)
luas areal rata-rata per tahun sebesar 0,13 persen per tahun.
PR
PBN
PBS
Total
Gambar 20 Luas areal kakao Indonesia menurut status pengusahaan, Tahun1990 - 2010. (Sumber: Ditjenbun, 2011) Jika dibandingkan antara pertumbuhan luas areal dan produksi dapat dilihat bahwa produksi kakao Indonesia meningkat lebih cepat dibandingkan dengan luas areal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada periode 1990-2010 terjadi tren peningkatan produktivitas kakao nasional. Pada tahun 1990, produktivitas kakao nasional hanya sebesar 398,18 kg/ha, sedangkan pada tahun 2010, produktivitasnya meningkat tajam sehingga mencapai 511,41 kg/ha. Namun demikian, tingkat produktivitas tersebut masih jauh di bawah potensi produksi kakao yang mencapai 2 ton/ha/tahun. Walaupun terjadi tren peningkatan produktivitas sebesar 2,07 persen per tahun pada periode 1990-2010 seperti yang disajikan pada Gambar 21, jika dilihat dalam 5 tahun terakhir justru terjadi kecenderungan menurun. Secara nasional, pada periode 2005-2010, terjadi tren penurunan produktivitas kakao
61
nasional sebesar 3,34 persen per tahun. Tren penurunan tersebut disumbang oleh perkebunan rakyat yang mengalami tren penurunan sebesar 3,77 persen per tahun. Walaupun perkebunan besar negara dan swasta menunjukkan tren meningkat masing-masing sebesar 1,92 dan 3,92 persen per tahun, namun karena pangsanya yang hanya sekitar 8 persen dari total perkebunan kakao nasional membuat perkebunan besar negara dan swasta tidak mampu mendongkrak peningkatan produktivitas kakao secara nasional. Jika tren tersebut dibiarkan, maka pada masa yang akan datang, produksi kakao Indonesia akan mengalami penurunan. 900
Produktivitas (kg/ha)
800 700 600 500 400 300 200 100 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010*)
0
PR
PBN
PBS
Total
Gambar 21 Produktivitas kakao Indonesia menurut status pengusahaan, Tahun 1990-2010. (Sumber: Ditjenbun, 2011) Perkebunan kakao tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Wilayah yang menjadi sentra produksi kakao adalah Kawasan timur Indonesia, khususnya Pulau Sulawesi (Tabel 9). Pada tahun 2010, Pulau Sulawesi menyumbang 59,24 persen dari total luas areal kakao nasional. Sedangkan dari sisi produksi, pulau ini menghasilkan 66,51 persen. Provinsi yang menjadi sentra adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Sementara itu, di luar Pulau Sulawesi, provinsi yang menjadi sentra utama kakao adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh dan Jawa Timur.
62
Tabel 9 Luas areal dan produksi kakao menurut provinsi, Tahun 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Provinsi
Luas Areal (Ha)
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Indonesia
Produksi (Ton)
82.016 95.794 85.263 7.187 2 1.381 7.008 272 16.669 65.382 12.936 6.640 6.870 4.820 61.229 13.392 6.082 47.059 10.454 975 618 35.054 14.989 11.622 234.096 279.135 189.277 249.214 25.050 36.439 29.705 14.910 1.651.539
30.339 69.978 34.806 4.694 0 532 1.781 98 5.297 27.059 4.176 2.213 3.039 1.243 23.166 7.117 1.568 12.569 2.374 285 35 12.552 3.629 3.799 144.049 171.443 101.002 137.833 9.688 13.689 11.522 3.047 844.622
Sumber: Ditjenbun, 2010
5.2 Perkembangan Industri Kakao Indonesia Sebagai salah satu produsen kakao terbesar dunia, sudah selayaknya Indonesia menjadi kekuatan industri kakao dunia. Namun, jika dilihat dari volume grinding kakao, Indonesia hanya menempati peringkat ke-8 di bawah Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Pantai Gading, Malaysia, Ghana dan Brasil (Gambar 22). Hal tersebut menunjukkan bahwa negara dengan volume grinding terbesar justru dimiliki oleh negara-negara yang bukan produsen biji kakao sehingga harus mengimpor biji kakao untuk memenuhi industri dalam negerinya. Namun, jika dibandingkan dengan produsen utama biji kakao seperti Pantai Gading dan Ghana, volume grinding kakao Indonesia juga jauh tertinggal yang menandakan bahwa industri kakao dalam negeri belum berkembang dengan baik.
63
G Gambar 22 Volume grinding kakao dunia. (Sumber: ICCO, 2011) engan kapasitas Perkembangan an industri kakao Indonesia ditandai den erasi. Data Ditjen terpasang dan realisa lisasi industri pengolahan kakao yang beroper engolahan kakao Agrokim menunjukka kkan bahwa kapasitas terpasang industri pen ksi kkakao nasional. Indonesia masih ren endah jika dibandingkan dengan produksi mampu menyerap Pada tahun 2010, ka kapasitas terpasang industri kakao hanya ma jika dibandingkan 38,6 persen dari total tal produksi biji kakao nasional. Sedangkan jik antara produksi biji iji kakao dengan realisasi produksi
stri, maka industri industri
o. kakao hanya mampu u mengolah 21,13 persen produksi biji kakao.
600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 200 2005
2006
2007
2008
K Kapasitas Terpasang Industri
2009
2010
2 2011
Realisasi Produk uksi
si iindustri Gambar 23 3 Kapasitas terpasang dan realisasi produksi 1. pengo golahan kakao Indonesia, Tahun 2005 - 2011. (Sumber: Ditjen Agrokim, 2011)
64
Pada tahun 2005, kapasitas terpasang industri pengolahan kakao adalah sebesar 313.400 ton dengan realisasi produksi sebesar 132.730 ton (Gambar 23). Pada tahun 2008 dan 2009, terjadi penurunan kapasitas terpasang menjadi 297.000 ton dari tahun sebelumnya yang mencapai 353.900 ton. Sedangkan realisasi produksi juga turun dari 198.200 ton pada tahun 2007 menjadi 178.000 ton pada tahun 2008 dan 178.500 ton pada tahun 2009. Adanya kebijakan pemerintah untuk mengembangkan industri kakao menyebabkan kapasitas terpasang industri kembali mengalami peningkatan menjadi 326.700 ton pada tahun 2010. Namun, peningkatan kapasitas terpasang tersebut tidak berdampak pada realisasi produksinya karena ketersediaan bahan baku untuk industri masih rendah
akibat
kecenderungan
pedagang
untuk
mengekspor
biji kakao
dibandingkan dengan menjual ke industri. Tabel 10 Kapasitas terpasang industri pengolahan kakao Indonesia, Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Nama Perusahaan
PT.General Food Industry PT.Bumitangerang Mesindotama PT. Cocoa Ventures Indonesia PT. Asia Cocoa Indonesia PT. Teja Sekawan Cocoa Industries PT. Kakao Mas Gemilang PT. Mas Ganda PT. Tri Keeson Utama PT. Effem/PT. Mars Syimbioscience Indonesia PT. Budidaya Kakao Lestari PT. Jaya Makmur Hasta PT. Unicom Kakao Makmur Sulawesi PT. Davomas Abadi, Tbk PT. Maju Bersama Cocoa Industries PT. Poleko Cocoa Industry/PT. Hope Indonesia PT. Kopi Jaya kakao PT. Industri Kakao Utama Jumlah Sumber: Kemenperin, (2011)
Kapasitas Terpasang (ton) 100.000 96.000 14.000 65.000 24.500 450 5.000 7.800 17.000 15.000 15.000 10.000 140.000 20.000 4.000 24.000 25.000 582.750
Penerapan bea ekspor biji kakao pada pertengahan tahun 2010 mendorong minat investor untuk berinvestasi di bidang industri pengolahan kakao. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa pada tahun 2011, kapasitas terpasang industri pengolahan kakao mencapai 582.750 ton yang melibatkan 17 perusahaan (Tabel 10). Kementerian Perindustrian (2011) juga menyebutkan bahwa peningkatan kapasitas terpasang tersebut masih terus
65
berlanjut dengan m masuk beberapa investor baru. Asosiasi si Industri Kakao memproyeksikan ba bahwa pada tahun 2015, kapasitas terp erpasang industri pengolahan kakao In Indonesia akan mencapai 750.000 ton yang ng melibatkan 25 perusahaan. 5.3 Perkembangan nH Harga Kakao Indonesia dan Dunia Pola perkemba bangan harga kakao dunia dan domestik stik menunjukkan kecenderungan yang ng hampir sama (Gambar 24). Harga dunia a ttertinggi dicapai pada Januari 2010 ya yang menembus USCent 353 per kg. Pada a sa saat yang sama harga kakao domesti stik di spot Makassar mencapai Rp. 28.836,6,- per kg. Harga kakao domestik tertin rtinggi justru terjadi pada Februari 2009 yang ng mencapai Rp. 29.237 per kg. Kon ondisi tersebut terjadi karena pengaruh nil nilai tukar rupiah terhadap dollar Amer erika Serikat dimana pada bulan tersebut ni nilai tukar rupiah mencapai Rp. 11.85 852,75 per USD. Sedangkan jika dikonversi rsi menjadi harga dalam US cent, harg Januari 2010 yaitu arga domestik tertinggi juga terjadi pada Jan sebesar USCent 31 n hasil penelitian 310,89 per kg. Kondisi ini sesuai dengan Firdaus dan Ariyoso a kkakao domestik so (2010) yang menyebutkan bahwa harga sangat dipengaruhii ol ika Serikat. oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
Gambar 24 Perkemb ahun 2005-2011. mbangan harga kakao dunia dan domestik, Tah (Su Sumber: World Bank, 2011; Bappebti; 2011) Pada periode enunjukkan tren e 2005 - 2010, harga kakao dunia men peningkatan yang cu o tersebut terjadi cukup signifikan. Peningkatan harga kakao karena terjadinya kkonflik di Pantai Gading (Bappebti, 20 2011a) sehingga
66
mengganggu pasokan biji kakao dunia. Sementara itu, sejak awal tahun 2011, terjadi tren penurunan harga kakao akibat turunnya permintaan, khususnya negara-negara yang berada di kawasan Uni Eropa akibat terjadinya krisis keuangan serta meningkatnya kembali ekspor biji kakao dari Pantai gading dan Ghana (Bappebti, 2011b). Hal ini sesuai dengan pendapat Shamsudin, et al., (1992) yang menyebutkan bahwa stabilitas harga kakao dunia dipengaruhi oleh kondisi stok dan konumsi kakao dunia. Tren penurunan harga kakao diperkirakan akan terus berlanjut. World Bank (2012) memperkirakan bahwa pada harga kakao akan terus mengalami penurunan hingga mencapai USCent 212 per kg pada tahun 2025 (Gambar 25).
(Dalam US Cent/kg)
350 300 250 200 150 100 50
Harga Aktual
2020
2018
2016
2014
2012
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
Harga Ramalan
Gambar 25 Proyeksi harga kakao dunia. (Sumber: World Bank, 2012) 5.4 Perkembangan Perdagangan Kakao Indonesia Kakao merupakan salah satu andalan ekspor Indonesia, baik dalam bentuk biji maupun produk olahan, yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu pemasok utama di pasar internasional. Pada tahun 2010, Indonesia merupakan eksportir ketiga terbesar biji kakao setelah Pantai Gading dan Nigeria dengan pangsa pasar sekitar 15 persen (Tabel 11). Sementara itu, untuk produk olahan berupa kakao pasta, Indonesia menempati peringkat ke-7 dengan pangsa pasar 3 persen. Untuk produk olahan lainnya seperti kakao butter dan kakao bubuk, posisi Indonesia berada pada peringkat 5 dan 6, dengan pangsa pasar masingmasing 6 persen dan 5 persen. Rendahnya pangsa pasar produk-produk kakao
67
olahan Indonesia menunjukkan bahwa industri hilir kakao belum berkembang dengan baik. Tabel 11 Negara eksportir biji kakao dan produk olahan kakao di pasar internasional, Tahun 2010 No
1801: Biji kakao Negara Volume
1803: Kakao pasta Negara Volume
1804: Kakao butter Negara Volume
1805: Kakao bubuk Negara Volume
1 Pantai Gading
790.912 Belanda
148.735 Belanda
219.411 Belanda
251.578
2 Nigeria
588.438 Pantai Gading
147.371 Malaysia
104.407 Malaysia
95.524
3 Indonesia
432.427 Jerman
63.190 Perancis
74.730 Jerman
82.726
4 Ghana
281.437 Malaysia
41.168 Pantai Gading
63.506 Spanyol
48.302
5 Kamerun
193.881 Indonesia
20.014 Indonesia
46.687 Indonesia
36.354
6 Dunia
2.960.522
Dunia
599.046 Dunia
739.087 Dunia
762.966
Sumber: Intracen, 2011 (diolah)
5.4.1 Neraca Perdagangan Biji Kakao dan Produk Kakao Olahan Neraca perdagangan kakao Indonesia menunjukkan bahwa ekspor dan impor biji kakao maupun produk kakao olahan mengalami peningkatan pada periode 1999-2010, namun secara keseluruhan masih mengalami surplus (Tabel 12). Ekspor biji kakao mengalami peningkatan rata-rata 4,20 persen per tahun. Namun ekspor biji kakao Indonesia umumnya bermutu rendah (terkontaminasi jamur, serangga, kadar kotoran tinggi) dan tidak difermentasi sehingga harganya dikenakan diskon (automatic detention), khususnya di pasar Amerika Serikat yang merupakan negara tujuan ekspor biji kakao terbesar kedua setelah Malaysia (Wahyudi dan Misnawi, 2007; Goenadi, et al., 2007; Panggabean dan Satyoso, 2008). Walaupun kualitasnya rendah, peningkatan ekspor terjadi karena biji kakao asal Indonesia digunakan sebagai bahan pencampur (blending) oleh negara-negara industri coklat (Nurasa dan Muslim, 2005). Di sisi lain, impor biji kakao juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi dengan rata - rata 14,4 persen per tahun. Tingginya peningkatan impor biji kakao ini disebabkan oleh bertambahnya kebutuhan industri hilir kakao domestik terhadap biji kakao yang difermentasi. Muttaqin (2011) menyebutkan bahwa produksi kakao fermentasi nasional hanya 15 persen dari produksi sehingga hanya memenuhi sekitar 60 persen dari kebutuhan industri pengolahan. Ekspor kakao olahan dalam bentuk intermediate product seperti kakao pasta, kakao butter dan kakao bubuk (kode HS 5 digit: 18031, 18032, 18040, 18050) juga mengalami peningkatan, kecuali untuk kakao bubuk yang
68
mengandung bahan tambahan (kode HS 18061). Namun pertumbuhan ekspor tersebut juga diikuti oleh pertumbuhan impor yang jauh lebih tinggi. Ekspor kakao pasta dalam periode 1999-2010 mengalami pertumbuhan rata-rata 33,43 persen per tahun, namun pertumbuhan impornya mencapai 147,56 persen per tahun. Tingginya pertumbuhan rata-rata impor tersebut terjadi karena fluktuasi impor tahunan yang sangat tinggi. Misalnya jumlah pada tahun 2004 hanya sebesar 6.466 ton, kemudian meningkat pada tahun 2005 menjadi 63.619 ton. Pada tahun 2006, volume impor meningkat tajam hampir 9 kali lipat menjadi 275.555 ton dan tahun 2007 meningkat lagi menjadi 443.940 ton. Namun, jika dilihat ratarata pertumbuhan dalam periode 2006 - 2010, pertumbuhan impor rata - rata hanya sebesar 67,7 persen per tahun. Pola pertumbuhan impor yang sama juga terjadi untuk produk kakao dengan kode HS 18032, 18040 dan 18061. Tabel 12 Pertumbuhan ekspor dan impor biji dan produk kakao Indonesia, Tahun 2000 - 2010 Kode HS (5 Digit)
Volume (ribu ton) Uraian
Ekspor Impor Ekspor 18031 Impor Ekspor 18032 Impor Ekspor 18040 Impor Ekspor 18050 Impor Ekspor 18061 Impor Sumber: BPS, 2011 (diolah) 18010
2000
2005
2010
333.619 12.625 2.614 99 3.020 1.360 32.072 27 22.117 2.779 14.292 186
367.426 30.292 948 64 20.971 472 40.388 53 26.265 5.177 1.405 11.605
432.427 24.831 6.253 173 13.761 2.118 46.687 5 36.354 11.556 101 1.646
Pertumbuhan rata-rata /tahun 4,20% 14,40% 33,43% 147,56% 24,04% 681,77% 5,45% 190,87% 8,83% 24,49% -26,52% 258,00%
Namun demikian, adanya lonjakan impor yang tajam tidak mempengaruhi neraca perdagangan untuk produk - produk tersebut. Jika dibandingkan antara volume ekspor dengan impor, masih terjadi surplus perdagangan. Nilai surplus perdagangan biji kakao (Kode HS 18010) pada tahun 2010 adalah sebesar US$ 1.101 juta, kakao pasta berlemak (kode HS 18031) sebesar US$ 21,9 juta, kakao pasta tidak berlemak (kode HS 18032) sebesar 87,2 juta, kakao butter (kode HS 18040) sebesar US$228,75 juta, dan kakao bubuk tanpa tambahan (kode HS
69
18050) sebesar US$ 90,1 juta. Sedangkan untuk kakao bubuk dengan tambahan (kode HS 18061), terjadi defisit perdagangan sebesar US$ 1,29 juta. Selain terjadi defisit, produk ini juga mengalami penurunan ekspor pada periode 1999 2010 dengan rata-rata penurunan 26,52 persen per tahun, serta pertumbuhan impor yang cukup tinggi yaitu sebesar 258 persen per tahun. Secara
keseluruhan,
Indonesia
mengalami
peningkatan
surplus
perdagangan produk kakao. Pada tahun 2006, neraca perdagangan produk kakao Indonesia menghasilkan surplus sebesar US$ 784,5 juta dan terus mengalami peningkatan setiap tahun sebesar 17,67 persen, sehingga pada tahun 2010, surplus perdagangan produk kakao menembus nilai US$ 1.479 juta. Hal tersebut menunjukkan bahwa kakao sebagai produk ekspor andalan Indonesia terus menunjukkan peningkatan. 5.4.2 Posisi Perdagangan Biji Kakao dan Produk Kakao Olahan Posisi perdagangan kakao Indonesia diukur dengan menggunakan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) sehingga dapat dilihat tahap perkembangan atau tingkat
pertumbuhan
produk
kakao
dalam
perdagangan.
ISP
dapat
mengidentifikasi tingkat pertumbuhan suatu produk dalam perdagangan ke dalam 5 tahap sebagai berikut: (1) tahap pengenalan, jika nilai ISP antara -1 sampai -0,50; (2) tahap substitusi impor, jika nilai ISP antara -0,50 sampai 0,00; (3) tahap pertumbuhan, jika nilai ISP antara 0,01 sampai 0,80; (4) tahap kematangan, jika nilai ISP antara 0,81 sampai 1,00; dan (5) tahap kembali mengimpor, jika nilai ISP kembali menurun dari 1,00 sampai 0,00. Nilai ISP untuk biji kakao, kakao pasta berlemak, kakao pasta tanpa lemak, kakao butter, kakao bubuk tanpa tambahan dan kakao bubuk dengan tambahan disajikan pada Gambar 26. Nilai ISP untuk perdagangan biji kakao sudah mencapai pada tahap kematangan pada periode 1999-2011, walaupun sempat berada pada tahap pertumbuhan pada tahun 2004. Demikian juga untuk kakao butter dan kakao bubuk tanpa tambahan yang memiliki nilai ISP sebesar 1 pada periode 19992011. Tingginya nilai ISP tersebut menunjukkan bahwa kedua produk ini sudah berada pada tahap sangat matang, yang mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan negara net eksportir. Sementara itu, nilai ISP kakao pasta tanpa lemak mengalami fluktuasi dalam periode analisis. Pada awal periode analisis, produk ini berada pada tahap pertumbuhan, kemudian pada periode 2002-2007,
70
sudah mencapai tahap kem kematangan dengan nilai ISP di sekitar 1. Nam amun, pada periode 2008-2011 kembal bali mengalami penurunan, sehingga produkk ini berada ngimpor. Sedangkan untuk kakao pasta berle rlemak tetap pada tahap kembali mengi berada pada tahap pertumb mbuhan dengan nilai ISP berada pada kisaran an 0,02-0,36 selama periode analisis. Sa Satu-satunya produk kakao yang dianalisis yan yang berada adalah kakao bubuk dengan tambahan.. Walaupun pada tahap pengenalan a kematangan pada tahun 1999 dan 2000, se sejak tahun sempat mencapai tahap ke 2002, produk ini turun ke tahap pengenalan. Hal ini terjadi kare rena terjadi o b bubuk dengan tambahan yang sangat taja ajam, diikuti penurunan ekspor kakao sangat signifikan. peningkatan impor yang sa
akao dan angan indeks spesialisasi perdagangan biji kak Gambar 26 Perkembang kao olahan Indonesia, Tahun 1999 - 2011. produk kakao sia memiliki Secara umum, jika d dilihat dari nilai ISP, produk kakao Indonesia pengekspor, daya saing karena mem emiliki kecenderungan sebagai negara pe pasta tanpa khususnya untuk produk b biji kakao, kakao pasta berlemak, kakao pa ntuk produk lemak, kakao butter dan ka kakao bubuk tanpa tambahan. Sedangkan unt g. kakao bubuk dengan tamba bahan, Indonesia belum memiliki daya saing. 5.5 Perkembangan Produ duksi Kakao Dunia dunia juga Seperti halnya di Ind Indonesia, luas areal dan produksi kakao d n 2 2010, luas menunjukkan tren yang ter terus meningkat (Gambar 27). Pada Tahun
71
areal kakao dunia mencapai 8,9 juta ha dengan produksi 4,2 juta ton (Tabel 13). Negara dengan luas areal kakao terbesar ditempati oleh Pantai Gading, Ghana, Nigeria dan Indonesia. Sedangkan untuk produksi, Indonesia mampu menempati
10,000
5,000
9,000
4,500
8,000
4,000
7,000
3,500
6,000
3,000
5,000
2,500
4,000
2,000
3,000
1,500
2,000
1,000
1,000
500
(Ribu ton)
(Ribu ha)
peringkat kedua di atas Ghana dan Nigeria.
1961 1964 1967 1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2009
-
Luas Areal
Produksi
Gambar 27 Perkembangan luas areal dan produksi kakao dunia. (Sumber: FAO, 2011)
Tabel 13 Luas areal dan produksi kakao menurut negara, Tahun 2008 - 2010 No
Luas Areal (Ha)
Negara
Produksi (Ton)
2008
2009
2010
2008
2009
2010
2,300,000
2,176,160
2,150,000
1,382,440
1,223,150
1,242,300
990,052
984,000
1,026,000
792,761
800,000
810,100
1
Pantai Gading
2
Indonesia
3
Ghana
1,822,500
1,656,000
1,625,000
680,781
710,638
632,037
4
Nigeria
1,349,130
1,354,340
1,344,500
367,020
363,610
427,800
5
Kamerun
590,000
600,000
670,000
229,203
235,500
264,077
6
Brazil
641,337
635,975
653,921
202,030
218,487
233,348
7
Ekuador
376,604
398,104
360,025
94,300
120,582
132,100
8
Togo
146,000
138,160
133,500
111,000
105,000
101,500
9
Papua Nugini
132,000
128,000
128,000
51,500
51,000
56,800
Lainnya
748,406
818,915
828,537
316,980
313,624
330,728
Jumlah
9,096,029
8,889,654
8,919,483
4,228,015
4,141,591
4,230,790
10
Sumber: (FAO, 2011)
72
Luas areal pertanam man kakao di negara-negara produsen utam tama seperti pantai gading, Ghana dan Nigeria) cenderung mengalami penurun unan dalam angkan di Indonesia, Kamerun dan Brasil men enunjukkan periode 2008-2010. Sedan tren meningkat. Namun, se secara keseluruhan, luas areal kakao dunia p pada tahun 2010 sedikit lebih rendah d dibandingkan dengan luas areal tahun 2008. 8. Walaupun mengalami peningkatan dalam periode terseb sebut. demikian, produksi kakao m
nsumsi Kakao Indonesia dan Dunia 5.6 Perkembangan Konsu unia cenderung mengalami peningkatan pad ada periode Konsumsi kakao dun tahun 2000 sampai 2009 09. Pada periode 2000/2011, konsumsi kak akao dunia on, jumlah ini meningkat sebesar 17,2 perse adalah sebesar 3 juta ton, sen menjadi riode 2008/2009. Pada periode 2007/2008, 3,516 juta ton pada perio 8, konsumsi kakao dunia bahkan menca capai 3,633 juta ton. Konsumsi kakao tertinggi gi berada di kawasan Eropa, dimana pa pada periode 2008/2009 mengkonsumsi kaka kao sebesar 1,73 juta ton, diikuti kawasa asan Amerika sebesar 1,15 juta ton. Kondisi disi tersebut menyebabkan lebih dari 80 persen kakao dikonsumsi di kedua kawasan san ini.
onsumsi kakao perkapita, Tahun 2000 - 2009. Gambar 28 Kon 9. (Sumber: ICCO, 2010)
73
Peningkatan konsumsi kakao dunia terjadi karena pertumbuhan konsumsi perkapita (Gambar 28). Pada periode tahun 2000/2001, konsumsi perkapita kakao dunia adalah sebesar 0,549 kg, meningkat menjadi 0,587 kg per kapita pada periode 2008/2009. Dengan demikian, dalam periode tersebut terjadi peningkatan sebesar 6,92 persen. Peningkatan konsumsi per kapita tertinggi terjadi di kawasan Afrika dan Asia & Oceania. Pada periode 2000-2009, kedua kawasan ini mengalami peningkatan konsumsi kakao perkapita masing-masing 40,44 persen dan 26,36 persen. Sementara itu, pertumbuhan konsumsi perkapita kawasan Eropa adalah sebesar 13,56 persen, sedangkan kawasan Amerika justru mengalami penurunan sebesar 0,62 persen. Namun demikian, kawasan Eropa dan Amerika tetap memiliki konsumsi perkapita tertinggi yang pada periode 2008/2009 mencapai 2,127 kg dan 1,285 kg. Konsumsi perkapita kakao Indonesia juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Jika pada periode 2000/2001 konsumsi kakao Indonesia hanya sebesar 9 ribu ton, pada periode 2008/2009, konsumsinya meningkat menjadi 15,5 ribu ton atau mengalami peningkatan sebesar 72,22 persen. Sedangkan jika dilihat dari sisi konsumsi perkapita, pada periode 2000/2001, konsumsi perkapita kakao Indonesia adalah sebesar 0,043 kg, meningkat sebesar 55,81 persen pada periode 2008/2009 menjadi 0,057 kg. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi kakao Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Adanya tren peningkatan konsumsi kakao baik di Indonesia maupun dunia menunjukkan
bahwa
permintaan
kakao
dunia
akan
terus
mengalami
peningkatan. Hal tersebut sudah selayaknya mampu dimanfaatkan sebagai potensi bisnis yang sangat menjanjikan. Kondisi tersebut juga sudah selayaknya mampu dimanfaatkan oleh industri pengolahan kakao dalam negeri mengingat Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar biji kakao dunia. Apalagi peningkatan konsumsi yang tinggi di kawasan Asia & Oceania dengan jumlah penduduk yang sangat besar merupakan potensi pasar yang sangat tinggi. 5.7 Daya Saing Produk Kakao Indonesia 5.7.1 Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) Keunggulan komparatif perdagangan kakao Indonesia baik dalam bentuk biji maupun produk olahan diukur dengan revealed comparative advantage (RCA). Ukuran RCA didasarkan pada konsep keunggulan komparatif Ricardian (Moenius, 2006). RCA mengukur pangsa ekspor suatu negara dalam kelompok
74
industri yang sama dengan negara eksportir lainnya, sehingga banyak digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif (Serin and Sivan, 2008). Dalam analisis ini, akan dibandingkan nilai RCA biji kakao dan produk kakao olahan Indonesia dengan negara produsen utama lainnya di pasar dunia. Semakin tinggi nilai RCA, maka negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi. Sedangkan jika nilai RCA lebih kecil dari 1, maka negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif. 1. Keunggulan komparatif perdagangan biji kakao Sebagai negara eksportir biji kakao terbesar ketiga di dunia, Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang relatif tinggi. Pada periode 2001 - 2010, nilai RCA rata-rata biji kakao Indonesia adalah sebesar 14,41 (Tabel 14). Namun, pada tahun 2009 dan 2010 terjadi penurunan RCA dibanding tahun 2008 karena peningkatan nilai ekspor biji kakao Indonesia relatif lebih lambat dibandingkan dengan peningkatan nilai ekspor biji kakao dunia. Tabel 14 Nilai RCA negara eksportir utama biji kakao, Tahun 2001 - 2010 Pantai Ghana Gading 2001 761,67 t.a.d 2002 t.a.d t.a.d 2003 623,13 590,48 2004 528,90 t.a.d. 2005 503,91 641,52 2006 478,10 830,47 2007 513,53 730,63 2008 470,00 669,93 2009 362,67 308,36 2010 438,45 292,91 Keterangan: t.a.d : tidak ada data Tahun
Nigeria t.a.d. 0,02 0,00 t.a.d. t.a.d. 0,23 20,14 16,34 35,97 21,90
Indonesia 13,33 16,54 13,64 11,12 13,53 16,81 15,72 16,34 13,40 13,65
Malaysia 0,47 0,56 0,42 0,23 0,25 0,35 0,57 0,24 0,34 0,77
Jika dibandingkan dengan eksportir utama biji kakao lainnya, keunggulan komparatif ekspor biji kakao Indonesia jauh di bawah Pantai Gading, Ghana dan Nigeria. Dalam 10 tahun terakhir, nilai RCA pantai Gading dan Ghana sangat tinggi sehingga menempatkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yang sangat tinggi sebagai pengekspor biji kakao. Sedangkan Malaysia yang terus mengalami penurunan produksi kakao dalam dua dasawarsa terakhir tidak memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terjadi karena produksi biji kakao
75
Malaysia juga terus mengalami penurunan akibat konversi penggunaan lahan perkebunan kakao ke komoditas lain seperti kelapa sawit. 2. Keunggulan komparatif perdagangan kakao pasta Seperti yang diuraikan sebelumnya, Indonesia memiliki pangsa ekspor yang relatif kecil untuk kakao pasta di pasar dunia dimana Indonesia hanya menempati peringkat ketujuh eksportir terbesar dengan pangsa pasar sebesar 3 persen. Namun jika dibandingkan dengan Jerman yang merupakan eksportir terbesar ketiga dunia dengan pangsa pasar hampir 11 persen, Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang lebih baik (Tabel 15). Jerman bahkan tidak memiliki keunggulan komparatif sebelum tahun 2010. Nilai RCA kakao pasta Indonesia masih di atas satu, bahkan pada tahun 2010 meningkat cukup tinggi dari tahun sebelumnya yaitu dari 1,17 menjadi 2,51. Tabel 15 Nilai RCA negara eksportir utama kakao pasta, Tahun 2001 - 2010 Pantai Belanda Gading 2001 469,91 4,77 2002 t.a.d 5,52 2003 285,34 5,19 2004 292,74 6,90 2005 339,17 7,52 2006 328,23 7,01 2007 420,49 6,88 2008 463,68 7,57 2009 317,65 7,06 2010 350,28 8,21 Keterangan: t.a.d : tidak ada data Tahun
Jerman 0,43 0,23 0,26 0,30 0,52 0,92 0,88 0,87 0,97 1,26
Indonesia 1,63 1,86 1,36 1,22 1,37 1,37 1,50 1,85 1,17 2,51
Malaysia 2,22 2,47 3,06 3,17 3,11 3,09 3,93 4,09 3,78 4,51
Keunggulan komparatif tertinggi untuk kakao paste masih dimiliki oleh Pantai Gading yang pada tahun 2010 mencapai 350,28. Produsen utama lainnya seperti Belanda dan Malaysia juga memiliki keunggulan komparatif yang lebih baik dari Indonesia. Sebagai produsen utama biji kakao, keunggulan komparatif Indonesia berada sangat jauh di bawah Pantai Gading. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan pengolahan biji kakao menjadi kakao pasta jauh lebih berkembang di Pantai Gading dibandingkan dengan Indonesia. Minimnya pengolahan kakao di Indonesia justru dapat dimanfaatkan oleh Malaysia yang merupakan negara tujuan ekspor biji kakao utama Indonesia sehingga negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yang lebih baik. Hal ini mengindikasikan
76
bahwa industri hilir kakao terutama proses grinding jauh lebih berkembang di Malaysia dibandingkan Indonesia. 3. Keunggulan komparatif perdagangan kakao butter Kakao butter merupakan produk kakao ekspor kedua terbesar Indonesia setelah biji. Pada tahun 2010, kakao butter dari 552,84 ribu ton ekspor kakao Indonesia, 8,44 persen merupakan kakao butter dan menyumbang 14,41 persen dari total nilai ekspor kakao. Namun, jika dilihat dari nilai RCA, sejak tahun 2002, kakao butter Indonesia baru memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2010 (Tabel 16). Tabel 16 Nilai RCA negara eksportir utama kakao butter, Tahun 2001 - 2010 Pantai Belanda Gading 2001 130,42 10,37 2002 t.a.d 9,77 2003 129,35 9,14 2004 108,90 9,60 2005 93,64 10,21 2006 99,31 10,31 2007 110,17 9,35 2008 106,61 9,46 2009 95,77 9,12 2010 104,20 9,72 Keterangan: t.a.d : tidak ada data Tahun
Perancis 2,72 2,60 2,78 2,50 2,35 3,02 2,82 2,81 2,93 2,80
Indonesia 0,84 1,15 0,90 0,58 0,49 0,54 0,57 0,65 0,53 1,49
Malaysia 5,26 4,57 6,02 7,15 8,58 9,92 10,70 11,66 10,61 10,96
Pantai Gading yang merupakan eksportir kakao butter keempat terbesar memiliki keunggulan komparatif tertinggi diantara negara eksportir utama lainnya. Sementara itu, pada periode 2001-2010 Malaysia terus mengalami peningkatan nilai RCA. Belanda sebagai eksportir utama kakao butter juga memiliki keunggulan komparatif yang cukup besar dengan rata-rata 9,71 dan Perancis sebagai eksportir terbesar ketiga memiliki nilai RCA rata-rata sebesar 2,73 pada periode 2001-2010. Adanya peningkatan RCA kakao butter Indonesia dari tahun 2009 ke 2010 menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan kinerja ekspor kakao butter. 4. Keunggulan komparatif perdagangan kakao bubuk Untuk produk kakao bubuk, Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang cukup baik. Pada periode 2001-2010, nilai RCA kakao bubuk Indonesia
77
adalah sebesar 3,97, jauh di atas Jerman yang merupakan negara dengan nilai ekspor kakao bubuk terbesar ketiga setelah Belanda dan Malaysia dengan nilai RCA rata-rata hanya 0,66 (Tabel 17). Bahkan Jerman baru memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2010. Sementara itu, Pantai Gading yang merupakan produsen kakao terbesar tetap memiliki keunggulan komparatif tertinggi seperti produk-produk kakao yang telah dianalisis sebelumnya. Secara umum, jika dilihat keunggulan komparatif perdagangan biji kakao dan produk kakao olahan di pasar internasional dengan menggunakan indikator RCA, maka dapat diketahui bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif tertinggi untuk perdagangan biji kakao. Sementara itu, keunggulan komparatif terendah adalah perdagangan kakao butter. Namun, pada tahun 2010, semua produk kakao yang dianalisis memiliki keunggulan komparatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Manggabarani (2010) yang menyebutkan bahwa kakao Indonesia memiliki indeks komposit daya saing tertinggi dan memiliki prospek pengembangan di masa depan diukur dari daya saing ekspor melalui pendekatan parameter komparatif. Tabel 17 Nilai RCA negara eksportir utama kakao bubuk, Tahun 2001 - 2010 Pantai Belanda Gading 2001 64,05 12,55 2002 t.a.d 11,14 2003 88,89 11,08 2004 63,83 12,11 2005 67,01 12,46 2006 73,92 12,17 2007 96,76 10,95 2008 80,99 10,88 2009 64,42 10,23 2010 60,85 10,58 Keterangan: t.a.d : tidak ada data Tahun
Jerman 0,53 0,38 0,41 0,54 0,62 0,69 0,64 0,70 0,85 1,26
Indonesia 3,90 5,51 4,85 3,92 3,70 3,83 3,63 3,49 3,28 3,61
Malaysia 3,77 3,93 3,33 5,64 6,39 6,70 9,35 11,67 8,68 9,45
Pantai Gading sebagai produsen terbesar kakao dunia secara konsisten memiliki keunggulan komparatif untuk seluruh produk kakao yang dianalisis, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa selain sebagai eksportir biji kakao terbesar dunia yang merupakan bahan baku industri kakao/coklat, Pantai Gading juga mengembangkan industri hilir sehingga mampu menjadi negara dengan keunggulan komparatif tertinggi untuk produk-produk kakao olahan yang dianalisis. Di sisi lain, negara-negara industri
78
kakao/coklat yang secara tradisional bukan merupakan produsen biji kakao dapat memiliki keunggulan komparatif yang cukup tinggi dalam perdagangan kakao olahan. Hal ini terjadi karena negara-negara tersebut bisa mengembangkan industri kakao/coklat dengan baik, sehingga menghasilkan nilai tambah yang besar dan dapat dijadikan sebagai andalan ekspor. Selain
itu, tingginya
keunggulan komparatif dari negara-negara tersebut juga terkait dengan sistem perdagangan yang dianut. Goldin (1990) menyebutkan keunggulan komparatif dengan menggunakan metode RCA sangat dipengaruhi oleh liberalisasi perdagangan serta dukungan pemerintah, karena nilai RCA hanya didasarkan pada kinerja ekspor. Nilai RCA juga dapat bias ketika ukuran negara menjadi sangat penting (Utkulu and Seymen, 2004). 5.7.2 Analisis Export Product Dynamics (EPD) Metode EPD merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk menganalisis daya saing produk kakao melalui identifikasi produk-produk yang kompetitif dan dinamis dalam ekspor produk kakao Indonesia. Untuk mengetahui daya saing suatu produk dengan metode ini dapat dilihat dari posisi suatu produk dalam kuadran matriks EPD dimana posisi daya saing produk kakao berada pada salah satu kuadran tersebut. Posisi dalam kuadran merepresentasikan kekuatan bisnis (sumbu X) dan daya tarik pasar (sumbu Y) dari produk kakao (Estherhuizen, 2006). Posisi daya saing produk kakao untuk setiap kuadran dalam matriks EPD adalah: (1) kuadran I menunjukkan posisi rising star yang menunjukkan bahwa negara tersebut memperoleh tambahan pangsa pasar pada produk mereka yang bertumbuh cepat (fast-growing products).; (2) kuadran II menunjukkan posisi lost opportunity atau kesempatan yang hilang, terkait dengan penurunan pangsa pasar pada produk-produk yang kompetitif; (3) kuadran III menunjukkan posisi retreat atau kemunduran; dan (4) kuadran IV menunjukkan posisi falling star atau bintang jatuh, merupakan posisi lebih baik jika dibandingkan dengan lost opportunity, karena pangsa pasarnya tetap meningkat. Dari Gambar 29 dapat dilihat bahwa 4 dari 5 produk kakao yang dianalisis yaitu biji kakao (HS 1801), kakao pasta (HS 1803), kakao butter (HS 1804) dan kakao bubuk tanpa tambahan (HS 1805) berada dalam kuadran I (Rising Star). Hal ini menandakan bahwa keempat produk tersebut memiliki daya saing yang tinggi dan dinamika perdagangan positif. Selain itu, posisi rising star tersebut juga mengindikasikan bahwa produk kakao tersebut memperoleh tambahan
79
pangsa pasar yang g tumbuh dengan cepat. Sedangkan kakao ao bubuk dengan tambahan dan kelom ompok makanan yang mengandung coklat (H (HS 1806) masuk pada kuadran II (Lo Lost Opportunity) dimana terjadi kehilangan an pangsa pasar produk di pasar dunia nia.
0.025
HS 1806
-0.025
HS 1804 HS 1803 HS 1805
0.000 0.000
HS 1801
0.025
-0.025
Gambar 29 Day aya saing produk kakao Indonesia dengan me etode EPD, Periode 2001-2010. 5.7.3 Constant Mark arket Share Analysis (CMSA) Constant marke rket share analysis (CMSA) merupakan meto etode yang dapat digunakan untuk men enganalisis daya saing sebuah produk atau b beberapa produk pada beberapa pasa sar tujuan ekspor (Rifin, 2010). Untuk analisis isis CMSA produk kakao, digunakan hasi asil perhitungan dari Kementerian Perdaganga ngan (Kemendag). Dalam perhitunganny nnya, Kemendag (2011) menggunakan deko komposisi CMSA menjadi 3 kriteria a yaitu competitiveness effect, initial spe specialization dan adaptation. Hasil perh erhitungan Kemendag terhadap beberapa pro roduk kakao yaitu kode HS 180100, 180 180310, 180320, 180400, 180500 dan 180610 10 disajikan pada Tabel 18. Sedangka kan tujuan pasar ekspor yang dianalisiss a adalah ASEAN, Amerika Serikat, Uni ni Eropa dan China, yang merupakan pasar sar utama produk kakao Indonesia.
80
Tabel 18 CMSA biji dan produk olahan Indonesia di pasar ASEAN, Amerika Serikat dan China
Keterangan: - t.a.d. - Competitiveness effect - Initial specialization - Adaptation
: Tidak ada data : 1) Tidak berdaya saing; 2) Berdaya saing; 3) Berdaya saing tinggi : 1) Tidak dapat dikembangkan; 2) Dapat dikembangkan : 1) Tidak responsif thd permintaan dunia; 2) Responsif thd permintaan dunia
Sumber: Kementerian Perdagangan , 2011 (diolah) Hasil analisis CMSA untuk biji kakao (kode HS 180100) menunjukkan bahwa ekspor biji kakao Indonesia tidak memiliki daya saing, baik untuk pasar ASEAN, Amerika Serikat, Uni Eropa dan China. Hal ini terjadi karena produk biji kakao Indonesia dikenal memiliki kualitas rendah sehingga hanya dijadikan sebagai bahan campuran di negara-negara industri kakao serta memiliki harga yang lebih rendah dari negara eksportir lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Athanasoglou, et al., (2010) yang menyatakan bahwa ukuran daya saing dengan metode CMSA sangat terkait dengan faktor harga dan non harga seperti kualitas produk, pelayanan aktivitas ekspor, waktu dan lain-lain. Namun jika dilihat dari initial specialization, biji kakao Indonesia untuk keempat pasar tujuan ekspor tersebut berada dalam kategori dapat dikembangkan. Hal ini berarti untuk dapat meningkatkan daya saing ekspor biji kakao, Indonesia harus meningkatkan kualitas produk melalui proses fermentasi dan penanganan pasca panen lainnya agar biji kakao tidak mengandung jamur, serangga dan kotoran lainnya. Dari sisi kemampuan produk dalam merespon perubahan permintaan pasar, biji kakao Indonesia dianggap tidak responsif untuk pasar ASEAN dan
81
Amerika Serikat, sementara untuk pasar Uni Eropa dan China dianggap cukup responsif. Kondisi tersebut menjadi sangat ironis, sebab pasar ASEAN dan Amerika Serikat menyerap 81,2 persen ekspor biji kakao Indonesia pada tahun 2010. Sedangkan pasar Uni Eropa dan China hanya menyerap masing-masing 4,7 persen dan 3,6 persen. Secara umum, produk biji kakao Indonesia belum memiliki daya saing akibat rendahnya kualitas yang dimiliki serta belum mampu menyesuaikan diri dengan kondisi permintaan pasar. Jadi, untuk meningkatkan daya saing ekspor, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas biji sesuai dengan kondisi permintaan pasar dunia, khususnya negara-negara yang menjadi tujuan ekspor utama biji kakao Indonesia. Kakao pasta berlemak (kode HS 180310) sudah memiliki daya saing di pasar China. Sedangkan untuk pasar ASEAN, Amerika Serikat dan Uni Eropa belum mampu bersaing. Hal ini terjadi karena ekspor kakao pasta berlemak Indonesia masih memiliki pangsa yang relatif kecil dari total ekspor produk kakao. Produk ini juga tidak memiliki peluang untuk dikembangkan di pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun demikian, indicator adaptation menunjukkan bahwa produk ini memiliki kemampuan untuk merespon perubahan permintaan di pasar ASEAN, Uni Eropa dan China. Produk kakao Indonesia yang memiliki daya saing yang tinggi di pasar Amerika Serikat, Uni Eropa dan China adalah kakao pasta tanpa lemak (kode HS 180320). Walaupun belum memiliki daya saing di pasar ASEAN, produk ini masih dapat dikembangkan. Produk ini juga memiliki respon yang baik terhadap perubahan permintaan di pasar Amerika Serikat dan China. Kakao butter (kode HS 180400) yang merupakan andalan ekspor produk kakao setelah biji kakao belum memiliki daya saing untuk pasar tujuan ekspor yang dianalisis, namun masih berada pada kategori dapat dikembangkan. Sementara itu, kakao bubuk tanpa tambahan (kode HS 180500) memiliki daya saing yang tinggi di pasar ASEAN, memiliki daya saing di pasar Uni Eropa dan China, namun tidak berdaya saing di pasar Amerika Serikat. Produk ini memiliki ciri khas yang dapat dikembangkan di pasar China, serta memiliki respon yang baik terhadap perubahan permintaan di pasar Amerika Serikat, Uni Eropa dan China. Kakao bubuk dengan tambahan (kode HS 180610) juga memiliki daya saing yang tinggi dan respon terhadap perubahan permintaan di pasar ASEAN. Sedangkan untuk pasar China, produk ini belum berdaya saing, namun masih dapat dikembangkan.
82
Secara umum, produk kakao olahan Indonesia memiliki daya saing di pasar-pasar tujuan ekspor utama, sedangkan biji kakao menunjukkan kondisi sebaliknya. Perdagangan biji kakao Indonesia juga bersifat inelastis sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengembangkan industri hilir
kakao
(Arsyad and Yusuf, 2008). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lubis dan Nuryati (2011) menyebutkan bahwa diperlukan kebijakan untuk mendorong perkembangan industri hilir kakao. Hal ini berarti diperlukan upaya untuk mendorong industrialisasi kakao nasional untuk dapat meningkatkan daya saing ekspor produk kakao dalam arti luas. Pengembangan industri hilir menjadi sangat penting karena akan mampu mendorong peningkatan output (Susilowati, 2007), pendapatan petani (Susilowati, et al., 2007); Sundari, 2000); Winarti, et al., 2005). Potensi pengembangan industri hilir kakao masih sangat besar jika dilihat dari berlimpahnya bahan baku yang tersedia serta peluang untuk memperoleh nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja yang sangat besar sehingga harus dimanfaatkan oleh pelaku bisnis kakao di Indonesia (Wahyudi dan Rahardjo, 2008). Namun, strategi pengembangan industri hilir kakao di Indonesia seharusnya dilakukan melalui pendekatan sistem sehingga pendekatannya lebih menyeluruh, terintegrasi dan bersinergi antar komponen yang terkait (Syam, et al., 2006).