IV.
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN, INDUSTRI GULA INDONESIA DAN DUNIA
Pabrik gula yang diteliti antara lain PTPN X terdiri dari 11 pabrik yaitu Cukir, Gempolkrep, Jombang Baru, Krembong, Lestari, Merican, Mojopanggung, Ngadirejo, Pesantren Baru, Tulangan, Watutulis. PTPN XI terdiri dari 16 pabrik yaitu: Asembagoes, Gending, Jatoroto, Kanigoro, Kedawung, Olean, Pagotan, Pajarakan, Panji, Purwodadi Prajekan, Rejosari, Semboro, Sedhono, Wonolangan, Wringinanom; PG PT Madu Baru. PTPN IX terdiri dari 8 pabrik yaitu Jatibarang, Pangka, Sumberharjo, Sragi, Rendeng, Gondang Baru, Mojo, Tasikmadu, Cepiring.
RNI I
terdiri dari 5 pabrik yaitu Candi, Krebet Baru I dan II, Rejoagung Baru, Madukismo. RNI II terdiri dari 5 pabrik yaitu Jatitujuh, Karang Suwung, Sindanglaut, Subang, Tersana Baru; PG Swasta yaitu PT Gunung Madu Plantation; sedangkan untuk gula rafinasi yaitu PT Jawa Manis. Pada penelitian ini jumlah pabrik gula yang diteliti 45 buah dari 61 buah pabrik yang aktif atau sekitar 73%. Adapun pabrik gula yang belum sempat diteliti yaitu PT. Kebon Agung (Kebon Agung Trangkil), PT. Bapippundip (Pakis Baru); PTPN II (Sei Semayang, Kuala Madu), PTPN VII (Bunga Mayang, Cintamanis); PTPN XIII (Pelaihari); PTPN XIV (Bone, Caming, Takalar); PT. Gula Putih Mataram; RNI III (Tolanghua); PT. Sweet Indolampung; PT. Indolampung Perkasa. 4.1
Masalah yang Dihadapi Pabrik Gula di Lokasi Penelitian Hasil penelitian ini memperlihatkan adanya berbagai permasalahan yang
dihadapi oleh pabrik gula yang diteliti, adapun permasalahan tersebut antara lain adalah: 1. Masalah-masalah On farm: a. Sulitnya penambahan areal baru dan mempertahankan lahan yang sudah ada b. Penyediaan agro input untuk budidaya tebu belum tepat jumlah, waktu, harga, dan mutu c. Kurangnya sarana irigasi/pengairan, terutama untuk wilayah pengembangan di lahan kering d. Keterbatasan alat pengolahan tanah terutama di lahan kering e. Keterbatasan infrastruktur (jalan produksi, jembatan) terutama untuk wilayah pengembangan di luar Jawa
60 f. Fungsi kelembagaan petani belum optimal dalam mendukung peningkatan produksi dan produktivitas g. Penerapan teknologi budidaya oleh petani yang belum optimal terkait dengan keterbatasan permodalan h. Manajemen tebang muat angkut (TMA) belum mencapai standar manis bersih segar (MBS) i. Penataan varietas tebu yang masih terhambat
2. Masalah-masalah Off farm: a. Tingkat efisiensi pabrik (overall recovery) masih jauh dibawah standar b. Kinerja mesin dan peralatan pabrik gula yang kurang memadai c. Rendahnya tingkat otomatisasi pabrik yang mempengaruhi efisiensi dan daya saing usaha d. Pengalihan teknologi proses sulfitasi menjadi karbonatasi belum menjadi pertimbangan oleh perusahaan gula e. Belum
berkembangnya
diversifikasi
produk
termasuk
energi
untuk
meningkatkan daya saing industri gula.
3. Masalah lainnya yang dihadapi industri gula antara lain: a. Belum terjaminnya pendapatan petani dari aspek penetapan harga gula b. Belum optimalnya peran lembaga riset dalam upaya peningkatan kinerja pergulaan nasional c. Belum optimalnya dukungan lembaga keuangan/perbankan dalam mendukung revitalisasi industri gula nasional d. Masih
lemahnya
peran
dan
fungsi
kelembagaan
usaha/koperasi
dan
kelembagaan organisasi petani tebu dalam mendukung upaya peningkatan produksi dan pendapatan e. Kebijakan fiskal (tarif bea masuk, pajak, retribusi serta berbagai pungutan) belum sepenuhnya mendukung pengembangan industri gula f. Belum adanya kebijakan terpadu untuk industri pergulaan nasional g. Belum terealisasinya SNI wajib untuk standar gula kristal putih (GKP)
61 Sebagai tuntutan akademis, agar didapat data yang lebih mikro telah dilakukan penelitian ke lapangan secara berkala yaitu ke Pabrik Gula Jati Tujuh yang termasuk dalam group RNI II. Pabrik gula Jatitujuh memiliki areal yang luasnya sebesar 11,821 ha tersebar di Kabupaten Majalengka. Lokasi kegiatan Pabrik Gula Jati Tujuh yang dibahas dalam studi AMDAL berada di Kabupaten Majalengka yaitu di Kecamatan Jati Tujuh, Kecamatan Kertajati. Letak lokasi kegiatan cukup strategis karena mudah dicapai dari berbagai arah baik dari arah Indramayu dan Majalengka maupun dari arah Cirebon. 4.2
Kondisi Umum Pabrik Gula di Lokasi Penelitian Pabrik gula pada dasarnya telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
daya saing, meningkatkan keuntungan, dan sebagainya. Namun hingga saat ini belum pernah ada yang memotret apakah pabrik gula sudah berlanjut atau belum. Selain hal tersebut juga belum diketahui parameter apa yang paling dominan yang dapat meningkatkan keberlanjutan pabrik gula. Hal lainnya adalah belum ada yang membuat kajian, alternatif apa yang terbaik untuk mengembangkan pabrik gula tersebut, serta skenario apa yang dapat membuat pabrik gula menjadi pabrik yang secara ekonomi menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan dan makmur serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan, dan model seperti apa yang dapat menciptakan pabrik gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Hasil penelitian di beberapa pabrik gula yaitu: 1.
PTPN X (10 PG), dengan profile sebagai berikut: a. Status perusahaan, dibentuk berdasarkan PP No. 15 Tahun 1996, tanggal 14 Pebruari 1996. Perusahaan yang berstatus sebagai badan usaha milik negara (BUMN) ini merupakan penggabungan kebun-kebun di Jawa Tengah dan Jawa Timur dari eks PTP XIX, PTP XXI-XXII dan PTP XXVII. b. Komoditi usaha yaitu tebu, tembakau dan tanaman serat. Tanaman tebu ditanam pada areal lahan sawah dan lahan kering seluas 65.320 ha yang terdiri dari areal tebu sendiri seluas 2.857,10 ha dan areal tebu rakyat 62.462,90 ha. c. Kebun-kebun,
yaitu di PG. Kria, PG. Watoetoelis, PG. Toelangan, PG.
Kremboong, PG. Gempolkrep, PG. Djombang Baru, PG. Tjoekir, PG. Lestari, PG. Meritjan, PG. Pesantren Baru, PG. Ngadiredjo dan PG. Modjopanggoong.
62 d. Produksi tebu pertahun: Gula: 213.219 ton, Gula Industri: 19.138 ton Tetes : 229.033 ton e. Alamat Jl. Jembatan Merah No. 3-5, Tromol Pos 5077, Surabaya 60175 ; Telepon: (031) 3523143, 3522848 ; Fax (031): 3523167, 3539744 Email
[email protected]. Perwakilan Jakarta: Jl. Perum Taman Gandaria Blok F/12.A. Kebayoran Baru Jakarta Selatan; Telp (021)7396565, fax (021): 7396565. 2.
PTPN XI (16 PG), dengan profile perusahaan: a. Status perusahaan adalah badan usaha milik negara (BUMN) agribisnis perkebunan dengan core business gula. Perusahaan ini bahkan satu-satunya BUMN yang mengusahakan komoditas tunggal, yakni gula, dengan kontribusi sekitar16-18% terhadap produksi nasional. Sebagian besar bahan baku berasal dari tebu rakyat yang diusahakan para petani sekitar melalui kemitraan dengan pabrik gula (PG). PT Perkebunan Nusantara XI (Persero), disingkat PTPN XI, berstatus sebagai badan usaha milik negara (BUMN) ini merupakan penggabungan kebun-kebun di Jawa Timur. Pendirian perusahaan sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 1996 tanggal 14 Pebruari 1996 dan merupakan gabungan antara PT Perkebunan XX (Persero) dan PT Perkebunan XXIV-XXV (Persero) yang masing-masing didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 1972 dan No. 15 Tahun 1975. Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan yang dibuat berdasarkan Akte Notaris Harun Kamil SH, No. 44 tanggal 11 Maret 1996, telah dilakukan perubahan dan mendapat persetujuan sesuai Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. C-21048HT.01.04.Th.2002 tanggal 29 Oktober 2002. Persetujuan perubahan anggaran dasar tersebut sesuai dengan format isian Akta Notaris Model II yang tersimpan dalam database Salinan Akta Nomor 02 tanggal 02 Oktober 2002, yang dibuat oleh Notaris Sri Rahayu Hadi Prasetyo SH, berkedudukan di Tangerang. Secara umum sebagian besar unit usaha di lingkungan PTPN XI telah beroperasi sejak masa kolonial berkuasa di Hindia Belanda. Kantor Pusat PTPN XI sendiri merupakan peninggalan HVA yang dibangun pada tahun 1924 dan merupakan
63 lambang konglomerasi industri gula saat itu. Bentuk perusahaan berulang kali mengalami perubahan dan restrukturisasi terakhir terjadi pada tahun 1996 bersamaan dengan penggabungan 14 PTP menjadi 14 PTPN. b. Komoditi usaha, mengusahakan hanya satu macam komoditi yaitu tebu. Tanaman tebu ditanam pada areal lahan sawah dan lahan kering seluas 69.516 ha yang terdiri dari areal tebu sendiri seluas 27.946 ha dan areal tebu rakyat 41.570 ha. Hasil olahan tanaman tebu tersebut dalam bentuk gula tebu/pasir, tetes, alkohol dan spiritus. c. Kebun-kebun yang dimiliki 16 unit usaha kebun yang dilengkapai dengan pabrik pengolahan (PG), yaitu: PG. Soedhono; PG. Poerwodadie; PG. Redjosarie PG. Pagottan; PG. Kanigoro; PG. Kedawung; PG.Wonolangan; PG. Gending; PG Padjarakan; PG. Djatiroto; PG. Semboro; PG. D Maas; PG. Wringin Anom; PG. Olean; PG. Panji; PG. Asembagoes; PG. Pradjekan d. Produksi
pertahun:
gula: 291.894,4 ton, tetes : 208.980,2 ton, alkohol :
459.000,0 ton, spiritus: 274.993,2 ton
3.
PT Jawa Manis (1 PG) PT Jawamanis Rafinasi merupakan salah satu perusahaan gula rafinasi yang
memproduksi gula putih berkualitas tinggi. Di tingkat nasional, produk-produk terkenal dengan kualitasnya yang tinggi, berkelas internasional dan proses pembuatan gulanya di atur sedemikian rupa agar sesuai dengan standard management kualitas global. Pabrik yang berlokasi di Ciwandan, Propinsi Banten, dekat dengan pelabuhan Ciwandan dan Cigading, yang memudahkan fasilitasi proses pembuatan gula. Akses yang mudah ke Jalan Tol Jakarta membuat pergerakan produk yang cepat pula ke seluruh Jawa. PT Jawa Manis Rafinasi didirikan pada tahun 2002 sebagai perusahaan joint venture antara perusahaan lokal dan investor asing. Pada saat itu, dibutuhkan produsen lokal agar produksinya dapat menggantikan produk-produk impor. Kapasitas awal yang hanya 150.000 ton per tahun, meningkat menjadi 340.000 ton gula setiap tahunnya. Pasar produksi ini pada prinsipnya difokuskan kepada kualitas.
64 4.
PT RNI II (5 PG) PT. PG Rajawali II yang bergerak dibidang agro industri sebelumnya mengelola
8 PG dan 1 PSA ex PTP XIV – Cirebon, setelah pengalihan kepada PT RNI pada tahun 1989, dalam perjalanannya 3 PG yang berlokasi di Kabupaten Majalengka dan Cirebon yaitu PG Kadipaten, PG Jatiwangi dan PG Gempol ditutup karena kekurangan bahan baku. Berdasarkan RUPS tanggal 15 Januari 2003, telah diangkat Dewan Komisaris dan Direksi PT.PG. Rajawali II yang berstatus sebagai anak perusahaan PT RNI dan beroperasi hingga sekarang. Manajemen PT PG Rajawali II dalam kurun waktu 2003 sampai 2005, seiring dengan kebijakan yang ditetapkan oleh PT RNI Holding, telah melakukan berbagai tindakan terobosan yang inovatif guna meningkatkan kinerja perusahaan secara signifikan yaitu dengan melakukan restrukturisasi organisasi, konsolidasi SDM, penataan portofolio bisnis, revitalisasi peralatan pabrik dan lain-lain sehingga mampu meningkatkan daya saing produk-produk yang dihasilkan. Dalam 3 tahun terakhir PT Rajawali II telah mencapai kinerja terbaik sejak perusahaan ini didirikan. Sebagai perusahaan dengan kinerja terbaik dalam bidang agro industri berbasis tebu di Indonesia, siap menghadapi tantangan, unggul dalam kompetisi global dan bertumpu pada kemampuan sendiri (own capabilities). Jika pabrik gula akan direstrukturisasi atau dipermodern, memerlukan biaya yang sangat mahal, walaupun demikian mau tidak mau harus diteliti lebih lanjut tingkat keuntungan jangka panjangnya.
Dengan demikian, diharapkan akan memperkecil
ketergantungan terhadap luar negeri, penghematan devisa, nilai usaha menjadi meningkat, industri pendukung (industri permesinan, industri logam) menjadi tumbuh, pemberdayaan masyarakat sekitar dan masyarakat konsumen, dan yang lebih penting yaitu kelestarian lingkungan, baik masyarakat petani maupun pada industri gula itu sendiri. Dalam memperoleh dukungan finansial, industri gula belum mendapat preferensi yang menguntungkan, baik untuk modal kerja maupun dalam rangka revitalisasi mesin peralatan produksi. Tingkat suku bunga sama dengan pinjaman umum, berkisar antara 14 sampai 24% pertahun. Hal tersebut sangat menyulitkan berkembangnya industri gula di dalam negeri. Sistem perpajakan terhadap industri gula, baik tata niaga maupun bea masuk dan PPn impor terhadap mesin perlatan produksi pada umumnya belum berpihak kepada dukungan revitalisasi idustri. Namun demikian ada celah yang agak meringankan yaitu
65 seperti yang termaktub dalam Keppres 80/2003 dan yang diatur dalam SK Menperin No. 11/2004 yang mengatur tingkat komponen dalam negeri (TKDN) mengamanatkan bahwa dalam pengadaan barang-barang yang telah mencapai tingkat tertentu diberikan preferensi harga sampai 30%. Iklim usaha di sektor industri gula belum sepenuhnya menjanjikan, akibat beberapa faktor yang sangat berpengaruh seperti penyelundupan, penimbunan, kualitas gula lokal yang lebih rendah dari gula impor. Berbagai faktor ini
juga sangat
berpengaruh pada harga eceran. Disamping itu hingga saat ini belum ada kebijakan yang melindungi (proteksi) bagi para pelaku industri gula dalam arti luas dan layak (Soentoro et al., 1999; Adisasmito, 1998; Sudana et al., 2000). Kemampuan penyediaan lahan oleh industri gula tidak sepenuhnya oleh pabrik gula itu sendiri, akan tetapi banyak pula industri gula yang lahan tebunya punya masyarakat. Pola tanaman tebu rakyat yang dilakukan oleh pemerintah tahun 80-an, yaitu pola TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) dimana pola plasma dan inti dikembangkan, pada awalnya memperoleh antusiasme oleh berbagai fihak, termasuk penyediaan dana oleh perbankan. Akan tetapi selanjutnya sistem yang secara teoritis sangat bagus, selalu ada perubahan yang pada akhirnya mengganggu terhadap program dimaksud. Sebagai contoh bahwa masyarakat yang mengelola/menanam tebu tidak lagi mendapat harga yang baik, karena dengan perubahan kondisi tanah yang terus-menerus dieksplorasi menyebabkan kurangnya daya dukung terhadap hasil panen. Disamping itu, para petani dengan keterbatasan dana tidak mungkin mengubah sistem pola tanam yang harus bergantian jenis tebunya sesuai dengan kondisi tanah ataupun irigasi yang sangat dibutuhkan oleh tanaman tebu yang semakin hari berebutan dengan alih konversi lahan. Oleh karena itu, maka partisipasi masyarakat dalam mendukung industri gula nasional masih perlu diperhitungkan dengan seksama. Prinsip kemitraan/partisipasi masyarakat adalah prinsip yang kuat membantu yang lemah dalam berbagai aspek seperti aspek produktivitas, aspek pemasaran dan aspek kelembagaan (Purnaningsih, 1991 dalam Sitorus, 1994). Hal yang sama terjadi pada peralatan giling langsung tebu yang terbuat dari tembaga, setiap selesai giling pasti mengalami keausan. Untuk memperbaikinya tidak langsung di ”inhouse workshop”, tetapi dilakukan diluar pabrik seperti di PT Barata Indonesia (Surabaya), PT Boma Bisma Indra (Surabaya) dan PT Rekayasa Industri (Jakarta), yang pada gilirannya akan memakan ongkos tinggi dilihat dari transportasi
66 maupun waktu penyelesiannya. Disamping itu perlatan produksi yang sifatnya ”electrical system”, teknologinya sangat bervariatif tergantung pada merek asal unit peralatan produksi tersebut; misalnya dari Belanda, Perancis atau Jerman. Disamping itu kebutuhan untuk mengkonsumsi gula secara langsung maupun tidak langsung terjadi peningkatan, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan tingkat daya beli masyarakat. Pembuatan makanan (kue-kue) yang memerlukan gula sangat bervariatif sesuai dengan temuan-temuan teknologi dan cita rasa yang berkembang dengan pesat, sehingga memerlukan jumlah tonase gula yang meningkat pula dan besarnya mencapai 2,96%. Padahal kenyataan tersebut tidak sejalan dengan terjadinya penurunan produktivitas industri gula yang besarnya mencapai -6,14% (Dewan Gula Indonesia, 2002). Dalam melaksanakan kegiatannya, Pabrik Gula Jatitujuh memanfaatkan sumberdaya yang ada disekitarnya baik berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kegiatan pemanfaatan kedua sumber daya ini memperhatikan aspek lingkungan sekitarnya yang meliputi komponen fisik, kimia, biologi, sosial budaya, ekonomi, dan budaya serta komponen kesehatan masyarakat. Namun sebaliknya, bila terdapat kegiatan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, maka akan berdampak negatif. Masa hak guna usaha (HGU) pabrik gula Jatitujuh adalah 25 tahun. Umur kegiatan berlaku selama hak guna usaha berlaku yaitu berdasarkan SK Kepala Badan Pertahanan Nasional No. 12/HGU/BPN/2004. Lokasi kegiatan afleding (kebun) tebu terbagi menjadi 4 (empat) afdeling yaitu di Jatimunggul, Cibenda, Kerticala dan Jatitujuh. Lokasi kebun ini berada pada elevasi + 25-50 m dpl. Letak lokasi secara geografis berada pada 108o 6’ 3” BT dan 6o 6’ 3” LS. Adapun penggunaan lahan di Pabrik Gula Jati Tujuh luasnya mencapai 12 ha, dengan penggunaan lahan rincinya dapat dilihat pada Tabel 3.
67 Tabel 3. Penggunaan lahan di Pabrik Gula Jati Tujuh
No. 1.
2.
Penggunaan Lahan Lahan tertutup bangunan/ kedap air a. Emplasemen b. Jalan c. Kantong air d. Pertamina e. Sungai/daerah genangan f. Luas lahan tertutup
Luas 2
m
%
135,4 682,4 479,5 66,5 105,7 1.469,5
11,4 5,72 4,02 0,56 0,89 12,33
Lahan terbuka a. Penghijauan dan hortikultura b. Kebun produksi: - Tebu giling - Tebu bibit c. Lahan terbuka Luas lahan terbuka
253,0
2,12
8.400 1.000 799,05 10.452,05
70,46 8,37 6,70 87,67
Total luas lahan yang dikuasai
11.921,55
100
Sumber: PT. PABRIK GULA. Rajawali II 4.3
Gambaran Umum Industri Gula Dunia Produksi dunia gula menurun sebesar 9 juta ton pada tahun 2008/09.
FAO telah merevisi perkiraan 158,5 juta ton, yaitu 2,5 juta ton dibawah perkiraan pertama yang dirilis pada November 2008, dan 9 juta ton atau 5,4% kurang dari pada 2007/08. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh produksi di India, di mana output gula sekarang sudah menurun drastis 45%. Penurunan terjadi dari luas tanaman, seperti banyak produsen mengalokasikan tanah untuk alternatif yang lebih menguntungkan seperti jagung dan kedelai. Selain India, produksi gula di Australia, Uni Eropa, Pakistan, Thailand dan Amerika Serikat juga mengalami penurunan yang relatif kecil. Namun, di Amerika Latin dan kawasan Karibia, produksi gula di Brasil (Oktober/September) meningkat menjadi 39,6 juta ton pada tahun 2008/09, sekitar 29% lebih tinggi dari pada 2007/08, meskipun hujan lebat pada saat panen, yang menurunkan hasil panen. Produksi dunia mencapai 566 juta ton, yang berarti ada kenaikan 15% dari tahun lalu, dengan ekspansi luas tanaman tebu 12%. Diperkirakan kurang lebih 60% dari
68 panen 2008/09 Brazil diolah menjadi etanol berbasis tebu yang didukung pasar ekspor yang lebih tinggi. Namun jika harga gula internasional terus naik, sedangkan harga minyak mentah tidak mengalami kenaikan, maka gula berbasis tebu diarahkan untuk ditingkatkan. Di tempat lain di wilayah ini, produksi gula di Kolombia meningkat sebesar 3 % pada tahun 2008/09, sementara itu di Argentina relatif tetap / tidak berubah dan di Peru sedikit penurunan. Di Eropa, Perancis menduduki peringkat pertama dengan menjadi produsen gula terbesar yang memproduksi sebanyak 22.60% dari total produksi pada tahun 2004/2005, yaitu sebesar 4,5 juta ton. Posisi selanjutnya diisi oleh Jerman, Polandia dan Inggris. Di negara-negara Eropa Timur, seperti Latvia dan Slovenia hanya memiliki share 0,3% dan 0,2 % dari total produksi Eropa, yang berkisar 19,9 juta ton (Tabel 4). Tabel 4. Produksi dan konsumsi gula dunia (juta ton) Keseimbangan (World Balance) Produksi Perdagangan Pemakaian Persediaan (stock) Indikator Suplai & Demand Konsumsi perkapita Dunia (kg/th) LIFDC (kg/th) World stock-touse ratio (%)
2006-2007
2007-2008
2008-2009
166.1 46.7 154.0
167.6 47.3 158.4
158.5 50.2 162.2
Perubahan 2008-2009 thd tahun 20072008 -5.4 6.0 2.4
73.3
80.9
76.3
-5.7
22.5 12.9
23.1 13.4
23.4 13.7
1.3 1.8
47.6
51.1
47.0
Harga di AS 10.08 12.80 13.78 8.8 (US $ (cent/lb) Sumber: United States Department of Agriculture Supply and Distribution Foreign Agricultural Service Sugar, 2009 Di Meksiko (Januari-Mei 2009), produksi gula mencapai 5,8 ton, relatif tidak berubah dari musim lalu. Pemakaian pupuk tanaman dan peternakan sangat sedikit, cukup untuk mengimbangi insentif produksi yang ditawarkan oleh program Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), yang memberikan Gula Meksiko akses
69 bebas ke Pasar Kanada maupun Amerika Serikat. Guatemala, produsen gula terbesar kedua di wilayah tersebut yang memperluas juga tingkat pasar, sebagai akibat dari meningkatnya areal tebu, karena didorong oleh harga gula tebu yang lebih tinggi. Di Kuba, produksi gula sekarang mengalami penurunan dibanding 2008/2009 sebagai akibat dari kerusakan oleh Badai Ike dan Gustave, yang melanda negeri tersebut pada bulan September 2008. Agregat produksi gula di Afrika naik sebesar 8,3% menjadi 11 juta ton pada tahun 2008/2009, melampaui pertumbuhan tahunan 3% selama tiga tahun terakhir. Ekspansi terutama disebabkan oleh peningkatan lahan tanam dan kapasitas pengolahan baru. Investasi ini berlangsung sebagian besar untuk mengantisipasi ekspor yang lebih besar ke pasar dan harga gula yang lebih tinggi. Uni Eropa di bawah Everything-But Arms Initiative (EBA), yang memungkinkan negara-negara paling terbelakang di Afrika mempunyai akses bebas kuota ke Pasar Uni Eropa. Di Afrika Selatan, produsen gula terbesar benua itu, produksi gula mencapai 2,3 juta ton pada tahun 2008/09, naik 6,6% dari 2007/08, karena cuaca baik meskipun peningkatan biaya pupuk sebesar 100% sejak 2007/08. Pada saat yang sama, devaluasi rand terhadap Dolar Amerika Serikat sejak 2007/08 telah memberikan beberapa keuntungan kepada eksportir gula. Produksi gula di Mesir diperkirakan 1,9 juta ton, hanya 1,4% lebih banyak daripada di 2007/2008, karena harga sereal lebih menarik, terutama perluasan wilayah untuk gandum. Produksi di Sudan naik 3,6% dari 2007/2008, karena kondisi cuaca yang menguntungkan dan kondusif berkat dukungan publik juga. Produksi direncanakan untuk dikembangkan secara signifikan di tahun-tahun mendatang, terutama dengan selesainya Proyek Gula Nil (Nile Sugar Project), yang menyediakan infrastruktur irigasi untuk meningkatkan kawasan tebu. Keuntungan sekitar 8% juga di Kenya meskipun subsektor gula negara menghadapi persaingan kuat dari produsen yang lebih efisien dalam anggota lain dari pasar bersama Common Market for Eastern and Southern Africa (COMESA). Peningkatan produksi gula pada tahun 2008/09 juga dialami oleh Mauritius, Mozambik, Swaziland dan Republik Tanzania. Program EBA adalah sebuah inisiatif Uni Eropa yang memberikan akses bebas terbatas kepada 50 negara-negara berkembang untuk melemparkan produksinya ke pasar Uni Eropa. Program EBA diberlakukan pada tahun 2001 untuk semua produk, kecuali untuk pisang segar dan beras. Impor komoditas ini dari negara-negara berkembang sangat menarik walaupun tunduk pada kuota yang secara bertahap berakhir
70 pada tahun 2009. Dalam kasus gula, tidak ada tarif atau pembatasan kuantitatif diterapkan pada impor dari negara-negara berkembang. Sejauh ini, investasi besar yang telah dibuat oleh negara-negara berkembang, khususnya di Afrika, untuk memperluas kapasitas produksi gula dan pengolahan di tingkat pertanian dan pabrik untuk mengantisipasi peningkatan akses pasar ke Uni Eropa. Pada tahun 2008, gula negaranegara berkembang diekspor ke Uni Eropa sebesar 400.000 ton, meningkat 33,6 % dari tahun 2007. Terlepas dari itu semua ekspornya sekitar 100% lebih rendah untuk negara-negara berkembang daripada pemasok Most Favoured Nation (MFN) lain, sekitar 66% dari peningkatan impor Uni Eropa di tahun 2008 diisi oleh pengiriman dari Brazil. Suplainya terkendala, termasuk kurangnya kapasitas penyimpanan gula, yang terus menghalangi kemampuan negara-negara berkembang guna memperluas ekspor. Penelitian menunjukkan hasil yang bertolak belakang pada efek kemungkinan EBA mengimpor dari Uni Eropa dari negara-negara berkembang, walaupun akses pasar telah penuh diberikan kepada mereka pada Oktober 2009. Beberapa penelitian memperkirakan mereka tidak melampaui 1 juta ton, dengan alasan biaya usaha (production cost) besar, sementara yang lain proyek mereka untuk lebih dari 2 juta ton. Selain dari kesenjangan yang ada dalam infrastruktur fisik, konvergensi harga internal Uni Eropa dan harga gula dunia dalam beberapa tahun terakhir secara substansial mengurangi daya tarik pasar Uni Eropa, yang dapat menyebabkan negara-negara berkembang untuk memikir ulang beberapa atau semua dari mereka menggunakan Uni Eropa untuk lain wilayah baik regional dan atau pasar internasional. Prospek produksi gula di Asia menunjukkan penurunan tajam dari tingkat dicapai dalam 2007/2008, karena pengurangan substansial di India dan Pakistan. Output gula di Negara-negara Asia tersebut, sekarang diperkirakan mencapai 15,8 juta ton, turun 45% dari tahun lalu, mengingat curah hujan tidak teratur dan perubahan alokasi tanah untuk konversi lahan lainnya. Akibatnya, produksi India diperkirakan jatuh, dan hanya untuk konsumsi dalam negeri, untuk pertama kalinya sejak 2004/05. Harga domestik telah meningkat sejak awal tahun 2009, memaksa pemerintah untuk merekomendasikan
perubahan
harga
minimum
resmi/the
statutory
minimum
price (SMP) untuk tebu, yang dapat menyebabkan kenaikan harga 54% untuk musim 2009/2010. Demikian pula, produksi gula di Pakistan menurun sebanyak 23%, terutama karena harga yang diberikan tidak memberikan insentif yang cukup untuk produsen,
71 sementara pengurangan akses ke kredit membuatnya sulit bagi beberapa pabrik untuk membeli dan memproses tebu. Di Thailand meskipun produksi gula diperkirakan naik 2%, tetapi kenyataannya mengalami penurunan, walaupun sebelumnya berprospek untuk dikembangkan lebih dari 5% kerena cuaca yang tidak menguntungkan dan lahan tebu berkurang. Para industri gula menyalahkan situasi kredit yang ketat, sehingga mengalami penurunan utilisasi kapasitas pabrik sehingga turun pula produksinya. Ekspansi sedang dilakukan di Turki, sementara produksi di Cina mungkin mengalami penurunan karena cuaca dingin tiba-tiba melanda di daerah selatan yang pada saat kritis sedang dalam pengembangan tanaman. Produksi gula di Uni Eropa 14,4 juta ton, sesuai dengan target produksi, setelah mencapai 17,4 juta ton pada tahun 2007/2008. Penurunan produksi konsisten dengan pelaksanaan program reformasi rezim gula Uni Eropa, yang dimulai tahun 2006/2007, dalam hal ini produksi gula Uni Eropa harus dipotong 6 juta ton selama empat tahun. Sejauh ini, pemotongan total telah mencapai 5,8 juta ton. Produksi gula sekarang terkonsentrasi di 18 negara anggota sebagaimana jumlah anggota Uni Eropa sebanyak 23 sebelum dimulainya reformasi. Di sisi lain, produksi diperkirakan naik di Federasi Rusia meskipun ada pengurangan lahan, di tingkat pertanian dan pabrik. Produksi di Ukraina mengalami penurunan, di mana petani mengurangi lahan untuk menanam biji bunga matahari yang lebih menguntungkan. Produksi gula di Amerika Serikat di bawah level 2007/08, menyusul penurunan 13% produksi gula bit, mencerminkan pergeseran ke tanaman lain. Perkiraan awal 2009/10 menunjukkan bahwa pemulihan lahan sebanyak 28%, akan membawa prospek yang lebih tinggi. Di Australia, kondisi cuaca yang kurang menguntungkan dalam bentuk banjir bisa menekan produksi sebesar 6,4 % menjadi 4,7 juta ton. Harga gula dunia yang kuat sesuai permintaan global, sejak isu terakhir dari kebutuhan makanan pada bulan November 2008. Harga gula internasional pada tiga tahun belakangan ini mengikuti kecenderungan stabil, bergerak dari US$ 12,10 sen per pound pada November 2008 menjadi US$ 13,65 sen per pond pada bulan April 2009 dan mencapai harga tertinggi US$ 16,06 sen per pound pada Mei 2009. Pola harga terutama mencerminkan pengurangan ketersediaan ekspor global, menyusul penurunan tajam dalam produksi gula India pada 2008/2009. Harga bisa bergerak lebih tinggi, itu bukan karena penurunan ekonomi dunia, yang dibatasi permintaan, dan melemahnya
72 mata uang nasional relatif terhadap dolar Amerika Serikat, yang ditopang ekspor dari negara-negara seperti Brazil, produsen/pengekspor gula terbesar dunia. Harga gula juga dapat meningkatkan volatilitas (mudah berubah) mengingat ketidak-pastian terkait dengan sejauh mana India akan memanfaatkan pasar dunia untuk menebus defisit produksinya. Konsumsi global terus berkembang, tetapi pada tingkat yang lebih lambat dari kecenderungan tren jangka panjang, di tahun 2008/2009 meningkat menjadi 162 juta ton atau 2,4% lebih banyak daripada di 2007/2008. Lambatnya peningkatan tersebut jika dibandingkan masing-masing dengan 3,4% dan tingkat 4,7% ekspansi dialami dalam 2007/2008 dan 2006/2007. Konsumsi gula perkapita diperkirakan meningkat dari 23,1 kg pada 2007/08 menjadi 23,4 kg pada 2008/09. Harga gula domestik meningkat dan prospek ekonomi tidak banyak, sehingga mengalami perlambatan konsumsi. Penurunan ekonomi, menekan penggunaan gula oleh industri olahan makanan, termasuk industri minuman, yang sangat sensitif terhadap variasi dalam pendapatan. Konsumsi gula di negara-negara berkembang diramalkan tumbuh sebesar 3,2% menjadi 113,2 juta ton, didukung pertumbuhan penduduk dan oleh pendapatan perkapita. Konsumsi gula di India, bisa mencapai 25,3 juta ton, naik dari 24,6 juta pada 2007/08, sedikit meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun sisa ceruk pasar, diantisipasi juga oleh Brazil, Cina dan Indonesia. Di sisi lain perubahan konsumsi diperkirakan meningkat dinegara-negara maju, khususnya Australia, Jepang dan Uni Eropa, mengingat sudah tinggi konsumsi perkapitanya, sementara adanya perlambatan pertumbuhan penduduk. Konsumsi di Amerika Serikat agak tumbuh, tapi relatif masih banyak ketidak pastian terhadap ukuran ekspansinya karena penurunan ekonomi saat ini. Perdagangan gula dunia mencapai 50,2 juta ton pada tahun 2008/2009, 6% lebih tinggi dari perkiraan 2007/2008, yang didorong oleh permintaan impor yang kuat oleh negara-negara yang menghadapi kekurangan produksi, khususnya Uni Eropa, India dan Pakistan. Karena ketidakpastian jumlah impor gula oleh India guna menutup kekurangan produksi yang tajam pada tahun 2008/2009. Berdasarkan informasi saat ini, FAO memperkirakan impor India berkisar sekitar 3 juta ton, dengan bebas bea. Uni Eropa berubah menjadi importir net-gula, sebagai penurunan produksi sejalan dengan reformasi industri gula dalam negerinya. Impor resmi tercatat sebesar 4,9 juta ton, setara
73 dengan 53,6 %, atau 1,7 juta ton lebih tinggi dari musim lalu, yang berasal dari negara yang memiliki akses khusus ke Uni Eropa, mengingat tarif MFN sangat tinggi. Di tempat lain di Eropa, impor oleh Federasi Rusia, importir gula terbesar di tahun 2007/2008, yang menurun sebesar 14% menjadi 2,8 juta ton, karena ekspansi produksi. Saat ini jumlah impornya jauh telah kurang dari tahun-tahun sebelumnya, karena bea masuk yang sangat tinggi sebesar US$ 220 per ton. Di Asia, pembelian oleh India, Malaysia dan Pakistan meningkat, terutama karena permintaan domestik yang kuat atau penurunan produksi. Di seluruh dunia, pengiriman ke Amerika Serikat diperkirakan sebesar 2,7 juta ton, yaitu 800.000 ton lebih banyak dari pada 2007/08, terutama untuk melayani pasar domestik. Sekaligus mengadakan kembali cadangan, mengingat rasio stock yang digunakan relatif rendah. Impor oleh negara-negara di Afrika yang diramalkan diperluas sekitar 4,3% menjadi 9,2 juta ton, jauh lebih rendah daripada yang dibayangkan sebelumnya, sebagai persediaan yang diproduksi secara lokal untuk bisa menggantikan impor. Kekurangan produksi di 2008/2009, terutama di India, telah mendorong pasokan terhadap permintaan situasi di pasar dunia. Meskipun demikian, ketersediaan stok yang relatif baik di Thailand. Disamping itu pertumbuhan yang baik di Brazil dan Guatemala akan membantu mempertahankan ekspansi 6,2% diekspor dunia. Brazil, eksportir terbesar di dunia, bisa memperoleh manfaat besar dari meningkatnya kucuran gula internasional. Brazil bisa meningkatkan pengiriman sebesar 28% menjadi 24,1 jta ton, setelah kenaikan di tahun 2007/08, terutama karena biaya pengangkutan agak murah yang memungkinkan negara tersebut mendapatkan kembali pangsa pasar, khususnya di Asia. Secara keseluruhan dari Asia, ekspor turun sebesar 8% menjadi 10,7 juta ton pada tahun 2008/09, terutama karena pengiriman yang lebih kecil dari India dan Pakistan. Didorong oleh tingginya harga gula internasional, pengiriman dari Thailand meningkat sebesar 41% menjadi 5 juta ton, sebagian besar disalurkan kepada negara-negara tetangga. Di tempat lain, ekspor Meksiko 600.000 ton, meningkat 20% selama 2007/08, bahkan bisa mencapai 1 juta ton, didukung karena akses bebas ke pasar Amerika Utara. Harga gula internasional berdasarkan Perjanjian Gula Internasional/International Sugar Agreement (ISA), yang dihasilkan oleh Organisasi Gula Internasional/International Sugar
Organization
(ISO),
dihitung
sebagai
rata-rata
sederhana
dengan Intercontinental Exchange Sugar Contract (IESC) No. 11.
sesuai
Di dalam
74 produksinya, Uni Eropa menggunakannya untuk konsumsi domestik yaitu 68%, India dan Amerika Serikat sekitar 60% dan Brazil 48%. Brazil dan Thailand berkontribusi lebih terhadap perdagangan dunia, sedangkan WTO memaksa Uni Eropa untuk mengurangi ekspor gula mereka sampai dengan 80%. Hampir 75% produksi gula dunia merupakan hasil perkebunan tebu di zona tropis yang berlokasi di bumi bagian selatan. Produsen gula tebu terkemuka yaitu Brazil, India, China, Thailand, Pakistan, dan Meksiko. Sisanya diproses dari gula bit yang tumbuh di daerah bersuhu dingin, di bumi bagian utara. Perancis, Jerman, USA, Rusia, Ukraina, dan Turki merupakan produsen terbesar dari gula bit. Tidak semua negara produsen menjual gula mereka di perdagangan internasional. Saat ini, 70% gula dunia dikonsumsi di negara produsen. Hanya 30% saja yang di perdagangkan di luar negara asalnya. Konsumsi gula global meningkat sekitar 2% per tahunnya, dan mengalami peningkatan17% dari 128 juta ton di tahun 2000 menjadi 150 juta di tahun 2006. Konsumsi gula tertinggi terdapat di Brazil (59 kg gula per tahun), Meksiko (53), dan Australia (50).
Tabel 5. Produsen gula terkemuka dunia No.
Negara
Jumlah (juta ton)
Rasio dari produksi gula global (%) 20
1
Brazil
30
2
Uni Eropa
22
14.7
3
India
20
13.33
4
China
10
6.6
5
USA
7
4.6
6
Meksiko
6
4
7
Afrika Selatan
5.7
3.8
8
Australia
5.4
3.6
9
Thailand
5
3.3
10
Rusia
2.7
1.8
Sumber: Top Ten Sugar Exporters (2010)
75 Tabel 5 menyajikan produsen gula terkemuka untuk tahun 2005-2006. Produsenprodusen tersebut memiliki kontribusi hampir 80% dari produksi gula global yang berjumlah 150 juta ton di tahun 2005-2006. (Musim gula international berjalan dari September sampai dengan Agustus). Produsen yang juga mengekspor dengan persentase tertinggi dari produksi gula mereka, adalah Australia (76%), Brazil (59%), dan Uni Eropa (37%). Sebaliknya, India dan Meksiko masing-masing hanya mengekspor 5% saja, sedangkan China dan Rusia tidak menjual produksi gula mereka ke pasar internasional. Tabel 6 memperlihatkan 10 eksportir gula terkemuka dunia untuk tahun 2005-2006.
Tabel 6 Produsen gula terkemuka dunia yang mengekspor No.
Negara
Jumlah (juta ton) 17,7
Rasio dari ekspor gula global (%) 39
1
Brazil
2
Uni Eropa
8,1
18
3
Australia
4,1
9
4
Thailand
2,6
5,8
5
1,6
3,6
6
SADC (South Africa Development Community) Guatemala
1,5
3,3
7
India
1,4
3,1
8
Teluk Persia
1,3
2,9
9
Afrika Selatan
1,3
2,9
10
Kuba
1,2
2,7
Sumber: Top Ten Sugar Exporters (2010) 4.4
Perdagangan Gula Internasional Brazil terus mendominasi pasar gula internasional, dipacu oleh permintaan
ethanol bebasis gula. Di tahun 2006-2007, Thailand diharapkan dapat meningkatkan ekspor gula sampai mendekati 30% dikarenakan luasnya perkebunan tebu disana. Meskipun India telah meningkatkan produksi gula sebanyak 12%, pemerintah setempat melarang ekspor gula sampai April 2007 sebagai langkah untuk meningkatkan harga gula domestik.
76 Uni Eropa gagal menjalankan tanggung jawab untuk melaksanakan Persetujuan Uruguay (The Uruguay Agreement on Agriculture), Organisasi Perdagangan Dunia (The World Trade Organization) yang saat ini membatasi ekspor gula bersubsidi Uni Eropa sebanyak 1.4 juta ton per tahunnya. Adanya penurunan dramatis ekspor gula Uni Eropa, kenaikan ekspor dari Brazil, Thailand dan India diharapkan dapat mengurangi efek kerugian
di
pasar
gula
internasional.
(http://world-trade-organization.suite101.
com/article.cfm/ top_ten_sugar_exporters; Top Ten Sugar Exporters, 31 Mei 2010) 4.5
Gambaran Umum Industri Gula di Indonesia Dalam perekonomian Indonesia, gula merupakan salah satu komoditas strategis.
Dengan luas areal sekitar 350 ribu ha pada periode 2000-2005, industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1,5 juta orang. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori yang relatif murah. Karena merupakan kebutuhan pokok, maka dinamika harga gula mempunyai pengaruh langsung terhadap laju inflasi. Pada periode 1991-2001, industri gula Indonesia mulai menghadapi berbagai masalah yang signifikan. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat dengan laju 16,6% per tahun pada periode tersebut. Hal ini terjadi karena ketika konsumsi terus meningkat dengan laju 2,96% per tahun, produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3,03% per tahun. Pada lima tahun 1997-2002, produksi gula bahkan mengalami penurunan dengan laju 6,14 % per tahun (Dewan Gula Indonesia, 2002). Di Indonesia, luas areal penanaman tebu pada musim tanam tahun 2003/2004 mencapai 321.530,1 hektar. Luas areal perkebunan di Pulau Jawa lebih luas dibandingkan dengan perkebunan tebu di luar Pulau Jawa.
Perincian luas areal
penanaman tebu di Indonesia pada musim tanam 2003/2004 disajikan pada Tabel 7. Dilihat dari sisi luasan bahwa tanah milik perusahaan gula yaitu 151.011,6 ha atau hanya 46,97%; sedangkan tanah (kebun) milik rakyat luasnya 170.518,5 ha atau 53,03%.
Dengan kata lain bahwa kontribusi dan partisipasi masyarakat terhadap
industri gula nasional sangat tingi. Lokasi atau tempat di Pulau Jawa merupakan mayoritas dari jumlah luasan tanah dari seluruh tanah/kebun yaitu 208.167,3 ha atau 64,74%. Ini merupakan kondisi yang patut terus diperhatikan, mengingat Pulau Jawa
77 dengan penduduk mayoritas memerlukan kegunaan tanah untuk berbagai keperluan seperti perumahan, industri, sarana prasarana jalan dan kegiatan ekonomi lainnya (Tabel 7).
Tabel 7 Luas areal tebu per perusahaan Luas (Ha) No
1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6 7 8
PTPN / PT
Total (Ha)
% thd Total Ind.
Tanah Sendiri
Tanah Rakyat
12.250,0 181,0 4.049,0 23.566,8 1.008,3 2.529,7 111,0 43.695,8
9.022,0 29.137,0 47.669,0 39.236,3 19.865,6 1.571,2 17.970,4 164.471,5
21.272,0 29.318,0 51.718,0 62.803,1 20.873,9 4.100,9 18.081,4 208.167,3
6,62 9,12 16,08 19,53 6,49 1,28 5,62 64,74
6.482,3 17.244,9 8.946,1 21.416,0 17.309,2 6.500,0 12.795,5 16.621,8
711,0 5.287,6 48,4 -
7.193,3 22.532,5 8.946,1 21.416,0 17.309,2 6.548,4 12.795,5 16.621,8
2,24 7,01 2,78 6,66 5,38 2,04 3,98 5,17
Jumlah Luar Jawa
107.315,8
6.047,0
113.362,8
35,26
Total (Indonesia) %
151.011,6 46,97
170.518,5 53,03
321.530,1
Pulau JAWA PT. RNI II PTPN IX PTPN X PTPN XI PT. Kebon Agung PT. Madu Baru PT. RNI I Jumlah Jawa Luar Pulau JAWA PTPN II PTPN VII PTPN XIV PT. GMP PT. GPM PT. RNI III PT. Sweet Indo Lamp PT. ILP
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2009) Industri gula nasional memiliki peran yang strategis dalam bidang sosial budaya, ekonomi dan politik. Di bidang sosial budaya pengusahaannya melibatkan lebih dari 1,5 juta tenaga kerja baik sebagai karyawan tetap, musiman dan petani tebu. Di bidang ekonomi dari produk utamanya berupa gula yang mencapai 2,2 juta ton pada tahun 2005 bernilai sekitar ± Rp.11 trilyun, belum termasuk produk samping berupa tetes 1,3 juta ton/tahun senilai Rp. 0,7 trilyun rupiah. Kontribusi tersebut akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya produksi. Di bidang politik, dengan banyaknya masyarakat yang terlibat dalam kegiatan on farm dan off farm, memiliki posisi tawar yang tinggi dalam mempengaruhi penetapan kebijakan-kebijakan pemerintah (AGI, 2006).
78 Pemerintah telah mencanangkan swasembada gula pada tahun 2014, dengan demikian kondisi pada tahun itu dan seterusnya, diharapkan konsumsi gula nasional dapat dipasok dari produksi dalam negeri, atau tidak menggantungkan dengan gula konsumsi asal impor. Dalam rangka hal tersebut diatas, perkembangan konsumsi gula nasional saat ini terus mengalami peningkatan baik untuk kebutuhan masyarakat umum yang dikenal dengan gula putih/pasir ataupun gula untuk kebutuhan industri yang disebut gula rafinasi. Tahun 2006 konsumsi gula putih mencapai 2,66 juta ton, sedangkan gula rafinasi 1,5 juta ton. Seiring dengan peningkatan kebutuhan gula tersebut, maka pabrik gula terus memacu kapasitas produksinya dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat umum ataupun industri. Produksi gula putih/pasir sebesar 2,015 juta ton (2004) meningkat sebesar 2,3 juta ton (2006), sementara produksi gula rafinasi sebesar 380.500 ton (2004) dan meningkat sebesar 1,125 juta ton (2006). Saat ini pabrik gula tebu di Indonesia tercatat 70 buah PG, 55 PG diantaranya adalah warisan kolonial yang dinasionalisasi tahun 1957, dan 15 buah merupakan pembangunan setelah kemerdekaan, namun yang aktif beroperasi tinggal 61 PG yang terdiri dari 47 PG merupakan PG lama (warisan kolonial) yang telah berumur antara 67176 tahun dan hanya 14 PG yang berumur 10-31 tahun. Dimungkinkannya PG-PG tua masih beroperasi karena pada periode akhir tahun 1970-an s.d 1980-an, rehabilitasi secara besar-besaran telah dilakukan dengan mendapat dukungan dana dari pemerintah dan pinjaman luar negeri. Dari 61 PG yang beroperasi tersebut dengan total kapasitas riil 195.800 TCD, dengan tingkat produksi yang dicapai pada tahun 2005 sebesar 2,2 juta ton hablur serta tahun 2006 sebesar 2,42 juta ton, ternyata belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang terus meningkat, sehingga impor masih terus dilakukan dengan besaran berkisar 1,3 juta ton setahun (AGI, 2006). Pada tahun 2005 total konsumsi gula nasional tercatat 3,3 juta ton terdiri dari 2,6 juta ton konsumsi langsung/rumah tangga dan 0,7 juta ton konsumsi industri. Dengan pertumbuhan konsumsi gula nasional 2% per tahun yang terdiri dari konsumsi rumah tangga 1,2 % mengikuti jumlah penduduk dan 5% konsumsi industri, maka kebutuhan konsumsi gula nasional pada tahun 2009 sebesar 3,65 juta ton dan tahun 2014 sebesar 3,9 juta ton. Pemerintah bertekad untuk mandiri dalam memenuhi kebutuhan gula
79 (swasembada), sehingga ke depan peranan pabrik gula dalam menyediakan bahan berupa gula semakin penting. Dengan kapasitas yang ada, potensi PG untuk memproduksi gula hanya sebesar 2,5 juta ton hablur, sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan produksi nasional yang dilakukan secara simultan melalui rehabilitasi tanaman, diikuti rehabilitasi dan pengembangan kapasitas pabrik serta pembangunan PG baru. Sejak krisis ekonomi tahun 1998 upaya pemeliharaan pabrik gula terkendala oleh keterbatasan dana, sehingga relatif selama 12 tahun terakhir perbaikan pabrik tidak dapat dilakukan secara memadai, khususnya pabrik-pabrik gula milik pemerintah yang berjumlah 51 buah, sehingga dari jumlah tersebut saat ini hampir semuanya memerlukan rehabilitasi, dari yang ringan, sedang maupun berat. Produksi gula dalam negeri belum akan mampu memenuhi konsumsi jika tidak dilakukan tindakan akselerasi peningkatan produksi gula. Program perbaikan tingkat on farm sudah dilakukan dengan program bongkar ratoon dan penggantian varietas. Namun sejalan dengan perbaikan usaha tani perlu juga dilakukan perbaikan off farm, khususnya rehabilitasi dan revitalisasi pabrik gula. Paradigma industri gula juga harus berubah sejalan dengan perubahan tuntutan teknologi. Diversifikasi produk dan reorientasi industri gula berbasis tebu harus dilakukan. Semua kegiatan ini tentu saja memerlukan dana yang tidak sedikit, sehingga perlu dilakukan skim pendanaan yang tepat bagi pabrik gula, khususnya yang kondisi mesinnya sudah tidak memenuhi standar operasional. Produksi gula putih, yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula (PG) di bawah naungan PTPN (Persero) dan PT. RNI yang berjumlah 51 PG dan 10 PG yang dimiliki perusahaan swasta, sedangkan produksi gula rafinasi seluruhnya dihasilkan oleh swasta, dengan jumlah 5 unit. Mengantisipasi peningkatan minat petani tebu dan pencapaian swasembada gula tahun 2014, maka dipandang perlu meningkatkan kinerja PG-PG, yang pada umumnya telah mengalami penurunan umur teknis mesin/peralatan pabrik. Kondisi ini terjadi karena banyak PG-PG tersebut pembangunan atau pendiriannya pada zaman Belanda, hingga saat ini masih beroperasi, maka kondisi tersebut perlu dilakukan peremajaan atau restrukturisasi dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas giling, mutu gula yang dihasilkan, efisiensi penggunaan BBM dan penanganan limbah PG.
80 Produksi gula kristal putih (GKP) tahun 2009 sebesar 2,7 juta ton dan dengan program revitalisasi diproyeksikan akan meningkat menjadi 3,54 juta ton pada tahun 2014. Kebutuhan gula nasional (GKP dan gula kristal rafinasi/GKR) tahun 2014 sebesar 5,70 juta ton, terdiri dari 2,96 juta ton untuk konsumsi langsung dan 2,74 juta ton untuk kebutuhan industri. Produksi GKP tahun 2014 diproyeksikan akan surplus 580 ribu ton dari kebutuhan konsumsi langsung yang bisa dialihkan menjadi bahan baku untuk pabrik gula rafinasi atau dapat dijual langsung ke industri khususnya industri kecil. Namun demikian di tahun 2014 masih diperlukan impor gula sebesar 2,16 juta ton atau setara dengan raw sugar 2,30 juta ton, yang tentunya akan berkurang sejalan dengan dibangunnya PG baru. Peran lembaga penelitian di bidang gula khususnya P3GI dalam satu dasawarsa terakhir menurun karena ketidakjelasan status hukum dan pendanaan. Berangkat dari permasalahan tersebut diatas, pemerintah dalam tahun 2010 – 2014 perlu melakukan revitalisasi PG yang ada (existing) dan pembangunan PG baru yang berjumlah 34 buah.
4.6
Kebijakan Pemerintah pada Industri gula Kontribusi pemerintah terhadap kinerja industri gula, yang dalam hal ini dapat
dikategorikan sebagai industri strategis; seyogyanya tidak hanya teoritis akan tetapi secara nyata berbentuk materi. Beberapa industri gula nasional khususnya yang berstatus BUMN sudah menanti terhadap kucuran dana guna menyehatkan kembali industrinya.
Namun setelah dilihat dari berbagai aspek, maka yang lebih dulu
mengusulkan kucuran dana adalah melalui program revitalisasi pabrik gula. Program di atas sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 91/M-IND/PER/XI/2008 tanggal 21 Nopember 2008, No. 31/M-IND/PER/3/2009 tanggal
16 Maret 2009, No. 44/M-IND/PER/4/2008 tanggal 6 April 2010 tentang
Program Restrukturisasi Mesin Peralatan Pabrik Gula dimana bagi industri gula yang telah merevitalisasi dan menstrukturisasi pabriknya dengan menggunakan pinjaman dari bank maupun non bank, bunganya ditanggung oleh Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Kementerian Perindustrian dengan skema sebagai mana di bawah ini (Gambar 11).
81
BAGAN MEKANISME PELAKSANAAN PROGRAM BANTUAN PEMBIAYAAN PEMBELIAN MESIN PERALATAN PABRIK GULA SPM
8
Verifikasi
4
KEMENPERIN
KMM/LPI Laporan Hasil Verifikasi
6
3 Persetujuan dan / permohonan Pencairan anggaran
KPPN
7 SP2D
KEMENTAN
Rekomendasi
Proses Verifikasi
5
Permohonan ikut program
2
Pemohon/ Peserta Program 9
Pembayaran skema program Pengajuan Kredit
1
BANK/LKBB
Gambar 11.
Bagan mekanisme pelaksanaan program bantuan pembiayaan pembelian mesin peralatan pabrik gula
Dalam pengucuran anggaran tersebut tidak serta merta ditransfer ke rekening industri gula tersebut akan tetapi harus dengan mekanisme penelusuran dukumen yang valid/sah tentang pengadaan barang/jasa sesuai Keppres 80/2003. Untuk itu diterbitkan suatu pedoman Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka yang fungsinya mengatur tata cara permohonan keringanan biaya revitalisasi industri gula yaitu Petunjuk Teknis Bantuan Pembiayaan untuk restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula, Program Peningkatan Struktur Industri Mesin Kementerian Perindustrian. Sebagai tahap awal pemerintah melalui pencanangan program revitalisasi pabrik gula diharapkan mampu mendorong peningkatan efisiensi dan produktifitas baik untuk on-farm dan off farm.
Pemerintah melalui program retrukturisasi mesin/peralatan
pabrik gula akan mengoptimalkan kemampuan industri permesinan dalam negeri sebagai upaya mendukung program restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula. Keringanan pembiayaan pembelian mesin/peralatan merupakan stimulus untuk mensukseskan program restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula. Program bantuan pembiayaan keringanan pembelian mesin/peralatan pabrik gula dimaksudkan untuk membantu perusahaan industri pabrik gula melakukan peremajaan mesin/peralatan,
82 dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas produksinya dengan menggunakan mesin/peralatan berteknologi lebih maju buatan dalam negeri yang efisien serta meningkatkan partisipasi kemampuan industri mesin/peralatan di dalam negeri. Sasarannya antara lain meningkatkan produksi dan efisiensi pabrik gula-pabrik gula yang masuk dalam program restrukturisasi pabrik gula. Ruang Lingkup dalam program ini yaitu: 1. Program bantuan pembiayaan untuk peremajaan mesin peralatan pabrik gula, adalah pemberian bantuan atas potongan bunga dari Pemerintah c.q. Kementerian Perindustrian kepada perbankan dalam negeri yang telah mengeluarkan bantuan pinjaman atas restrukturisasi mesin dan peralatan pabrik gula yang disetujui pemerintah. 2. Besarnya bantuan adalah sebesar persentase tertentu dari nilai pembelian atau sejumlah nilai kredit yang telah disetujui oleh perbankan dan maksimum sebesar Rp. 10 (sepuluh) Milyar. 3. Sumber pembiayaan pembelian mesin/peralatan oleh perusahaan industri pabrik gula didanai dari salah satu sumber atau kombinasi sumber pembiayaan yang berasal dari kredit perbankan yang disetujui pemerintah. 4. Penilaian kelayakan pemberian bantuan dilaksankan oleh Tim Teknis yang dibentuk oleh Kementerian Perindustrian dan dengan bantuan verifikasi atas pembelian mesin/peralatan yang dilaksanakan oleh Lembaga Penilai Independen (LPI) yang ditunjuk (hasil lelang) oleh Pemerintah c.q. Kementerian Perindustrian. 5. Bantuan diberikan secara sekaligus setelah seluruh mesin/peralatan telah terpasang dan dioperasikan di pabrik, dan seluruh bukti-bukti pembelian mesin/peralatan dimaksud adalah benar dan sah. 6. Proses administrasi pembayararan atas bantuan yang telah disetujui akan difasilitasi melalui Kantor Perbendaharaan Negara Jakarta bekerjasama dengan pihak perbankan yang mendanai pinjaman atas kredit untuk pelaksanaan restrukturisasi pabrik gula dan Bagian Keuangan Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Kementerian Perindustrian.
Ketentuan dan persyaratan serta kriteria penerima program, adalah perusahaan pabrik gula, yaitu perusahaan yang mengolah tebu menjadi gula dan masuk dalam
83 program pemerintah untuk direstrukturisasi mesin/peralatannya, yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Berbadan Usaha Indonesia 2. Memiliki izin usaha sebagai industri pengolahan gula tebu. 3. Perusahaan yang melakukan peremajaan sebagian atau seluruh permesinannya dalam rangka perluasan atau investasi baru. 4. Telah melakukan pembelian mesin/peralatan baru (bukan bekas) yang sesuai dengan ijin usaha yang dimilikinya antara tanggal tertentu, sebagaimana tercantum dalam daftar pencairan bantuannya. 5. Mesin/peralatan sebagaimana harus didukung oleh seluruh bukti-bukti pembelian mesin/peralatan yang lengkap, benar dan sah yang pembiayaannya dapat bersumber dari kredit bank dan/atau pembiayaan lembaga keuangan bukan bank (LKBB).
Mesin/peralatan
yang
dapat
disertakan
pada
program
restrukturisasi
mesin/peralatan harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1.
Terkait dengan proses produksi
2.
Merupakan mesin/peralatan baru buatan tahun 2007 ke atas
3.
Meningkatkan efisiensi dan/atau produktifitas dan/atau mutu produk
4.
Mesin/peralatan produksi dalam negeri Jenis mesin/peralatan yang dapat disertakan pada program restrukturisasi
mesin/peralatan adalah yang masuk dalam lingkup: 1.
Mesin gilingan (cane unloading dan cane milling)
2.
Mesin pemurnian (clarification)
3.
Mesin penguapan (evaporator dan condensator)
4.
Mesin pemasakan (graining, vacuum pan dan crystallizer)
5.
Mesin puteran (curing, drying)
6.
Alat pengangkat dan pemindah ( crane, hoist dan conveyor)
7.
Boiler
8.
Turbin
9.
Kompresor
10. Generator 11. Instrumentasi dan kontrol 12. Instalasi pengolahan air limbah (IPAL)
84 13. Instalasi pengolahan air bersih (water treatment plant)
Mesin/peralatan produksi dalam negeri adalah mesin/peralatan yang proses pembuktian tingkat komponen dalam negeri (TKDN)-nya mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2006 tentang Pedoman Teknis Penggunaan Produksi Dalam Negeri. Adapun kriteria pemberi pinjaman adalah sebagai berikut: 1.
Bank pelaksana adalah yang memenuhi ketentuan yaitu bank pemerintah atau swasta nasional.
2.
Lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang memenuhi ketentuan, yaitu merupakan LKBB yang berkedudukan hukum di Indonesia dan memiliki ijin usaha dari Kementerian Keuangan RI serta masih aktif dalam menjalankan berbagai kegiatan usahanya. Dalam rangka membantu tugas-tugas tersebut di atas, Kementerian Perindustrian
membentuk tim pengarah yang diketuai oleh Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian, serta beranggotakan para pejabat terkait di Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kantor Menneg BUMN, Bappenas, Kementerian Keuangan, Perbankan, P3GI, PT. Rekayasa Industri, PT Barata Indonesia, PT Boma Bisma Indra, Dewan Gula Indonesia dan instansi terkait lainnya. Tugas tim pengarah adalah memberikan arahan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program serta menjamin kerjasama lintas instansi sebaik-baiknya. Dalam rangka membantu tugas tim pengarah, Kementerian Perindustrian membentuk tim teknis yang diketuai oleh Direktur Industri Mesin, Kementerian Perindustrian, serta beranggotakan perwakilan dari unsur-unsur pelaksana dari Tim Pengarah. Tugas tim teknis adalah memberikan bantuan teknis kelembagaan yang diperlukan Kementerian Perindustrian dalam menjalankan tugas-tugasnya termasuk memberikan rekomendasi kepada kuasa pengguna anggaran (KPA) untuk mendapat keputusan atas hasil verifikasi LPI tahap permohonan mengikuti program serta memutuskan permohonan pencairan program restrukturisasi atas hasil verifikasi LPI. Sebagai langkah pengamanan, maka dilakukan berbagai kegiatan yaitu pelaporan, pemantauan dan evaluasi.
85 1.
Pelaporan a. Perusahan industri/pabrik gula yang telah memperoleh bantuan wajib menyampaikan laporan kemajuan efisiensi dan produktifivitas mesin peralatan setiap 6 (enam) bulan sekali selama 5 (lima) tahun kepada Kementerian Perindustrian dengan tembusan kepada LPI terhitung sejak 6 (enam) bulan dari realisasi pencairan bantuan. b. LPI menyampaikan laporan tertulis hasil penugasannya, yang mencakup laporan hasil verifikasi permohonan mengikuti program restrukturisasi, verifikasi pencairan program restrukturisasi dan laporan pasca pencairan program restrukturisasi, kepada Kementerian Perindustrian. c. Kementerian Perindustrian menyampaikan realisasi program kepada para Menteri terkait lainnya.
2.
Pemantauan dan evaluasi oleh LPI: a. Melakukan verifikasi atas pemasangan mesin/peralatan dan kinerja mesin peralatan yang terpasang. b. Memantau
pemanfaatan
mesin/peralatan
untuk
menghindari
terjadinya
pelanggaran atas ketentuan yang berlaku c. Melakukan evaluasi atas dampak peningkatan teknologi terhadap peningkatan effisiensi dan/atau produktivitas dan/atau mutu. d. Melakukan pemantauan dan evaluasi program secara keseluruhan serta menyusun rekomendasi kepada Kementerian Perindustrian, tim pengarah dan tim teknis. e. Dibantu tim pengarah dan tim teknis, melaporkan data sebagai bahan kepada Kementerian Perindustrian merumuskan kebijakan pengembangan program selanjutnya.
4.7 4.7.1
Pengembangan Industri Pasokan Bahan Baku Pada dasarnya semakin besar kapasitas pabrik gula maka akan semakin tinggi
efisiensi ekonominya. Berbagai kendala yang berhubungan dengan kapasitas antara lain:
86 1) Pulau Jawa Kendala yang dihadapi oleh pabrik-pabrik gula di P.Jawa dalam mempertahankan kapasitas adalah ketersediaan lahan yang terbatas. Lahan-lahan yang tadinya ditanami tebu, sudah banyak dikonversi menjadi peruntukkan lain (bangunan dan lain-lain) atau ditanami tanaman lain seperti padi dan palawija. Ada dua kemungkinan yang perlu dilakukan, yaitu: a) Melakukan merger (amalgamisasi) Mengantisipasi kesulitan mendapatkan lahan sesuai harapan, beberapa pabrik (2 atau lebih) melakukan merger agar kapasitas pabrik dapat tercapai. Mesinmesin yang tidak dipergunakan dapat dialihkan ke luar Jawa dengan melakukan pembangunan pabrik gula secara holistik. Agar lahan tidak berubah fungsi, perlu ada kerjasama antara pabrik gula dengan pemilik lahan yang bersifat langgeng.
Ini dilakukan dengan dukungan kebijakan pemerintah
daerah dan pemerintah pusat. b) Mengubah kapasitas pabrik Apabila ada kendala dalam melakukan merger, pabrik gula yang telah ada perlu menurunkan kapasitas pabrik (membangun pabrik baru dengan kapasitas yang lebih rendah, misalkan kelipatan dari 250 TCD), sesuai dengan ketersediaan lahan. Pabrik yang lama bisa dialihkan ke luar Jawa dengan pembangunan pabrik gula baru. 2) Luar Jawa Pembangunan pabrik gula yang baru di luar Jawa tidak serta merta mudah dibangun. Beberapa kendala yang ada, antara lain : a) Ketersediaan SDM petani tebu Saat ini pengelolaan budidaya tebu oleh petani di luar Jawa, belum pada kondisi yang baik dibanding dengan di Jawa yang sudah pengalaman. Untuk itu perlu perlakuan khusus, agar dapat memberikan produktivitas yang optimal, petani yang akan menanam tebu terlebih dahulu perlu diberikan pelatihan dan bimbingan oleh investor pabrik gula. b) Lahan pertanian Secara kuantitas lahan pertanian di luar Jawa masih tersedia, tetapi kesuburannya pada umumnya marginal.
Selain kesuburannya rendah,
87 ketersediaan air irigasi belum memadai dalam mendukung penanaman tebu. Ini memberikan indikasi pembangunan pabrik di luar jawa perlu investasi yang relatif besar.
4.7.2 Masalah lain di Industri Gula Masalah lain yang dihadapi industri gula nasional antara lain 1. Petani Tebu Produktivitas dan rendemen tebu yang diterima petani dari PG umumnya masih rendah, dan sampai saat ini masih menjadi faktor utama belum bersinerginya hubungan antara petani tebu dan PG. Faktor ini, selain praktek relasi petani-PG yang disintegratif terhadap peningkatan produktivitas juga dipicu oleh penguasaan tebu oleh para pedagang (penebas) tebu, yang menyebabkan pasokan tebu ke PG tidak tertib. Apabila masalah ini tidak dapat diatasi, maka program bongkar ratoon yang bertujuan untuk mendapatkan kondisi ideal pertanaman sampai kepras ke-2 tidak akan optimum sehingga tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan rendemen dan pendapatan petani tebu. 2. Pabrik Gula Tebu. PG BUMN di Jawa sampai saat ini belum efisien, yang tercermin dari kehilangan gula (pol) selama proses pengolahan yang mencapai 0,9%. Akibatnya, rendemen gula yang diterima petani menjadi rendah dan harga pokok gula hablur yang dihasilkan tidak memiliki daya saing. Sementara itu, PG swasta murni yang berada di Luar Jawa masih menghadapi tuntutan HGU, sehingga sulit untuk mencapai full capacity. Utilisasi yang rendah ini juga dialami oleh industri gula rafinasi, karena tidak adanya koordinasi antara pemberi ijin industri (BKPM dan atau Deptan) dengan Kementerian terkait. 3. Hubungan (Partisipasi) Petani Tebu (Masyarakat) dan Pabrik Gula Rendemen tebu yang diterima petani di luar Jawa umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Jawa, meskipun petani tebu di Jawa menggunakan pupuk dan mengeluarkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. Rendahnya rendemen ini terkait dengan ketergantungan PG terhadap bahan baku dari pedagang (penebas) tebu, karena mereka menguasai tebu dari petani kecil/miskin yang jumlahnya diperkirakan mencapai 60%.
Pencampuran dan penetapan waktu giling yang bersamaan antara
88 petani tebu dan pedagang (penebas) tebu ini, telah menurunkan rendemen tebu yang diterima petani. Faktor ini menjadi penyebab kurang baiknya relasi antara petani dan PG, karena PG tidak bersedia menerapkan rendemen individual. 4. Industri Gula Rafinasi. Tidak
adanya
koordinasi
BKPM
dengan
Kementerian
terkait,
telah
menyebabkan industri gula rafinasi bekerja di bawah kapasitas terpasang. Rendahnya utilisasi kapasitas pabrik ini, telah meningkatkan biaya produksi gula rafinasi. Gula rafinasi merupakan bahan baku bagi kegiatan industri makanan dan minuman. Gula rafinasi ini tidak layak dikonsumsi secara langsung, tetapi harus diolah lagi supaya layak dikonsumsi karena warna gula rafinasi biasanya agak coklat atau cenderung hitam dan butirannya sangat halus. Apabila gula rafinasi langsung dikonsumsi, bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Industri gula rafinasi secara langsung juga akan mendorong kompetisi dalam hal kualitas gula yang sekarang ini dihasilkan oleh industri gula tebu di dalam negeri. Kebutuhan untuk meningkatkan kualitas gula oleh produsen gula “plantation white sugar” tidak dapat dielakkan apabila gulanya ingin tetap menjadi pilihan konsumen. Atas dasar pemikiran ini, pengembangan industri gula rafinasi akan menjadi bagian yang penting dipandang dari sudut kualitas gula yang makin baik di pasar. Hal lainnya yang perlu dikaitkan langsung dengan gula rafinasi ini adalah dalam jangka pendek akan berkembang penciptaan kesempatan kerja baru di Indonesia. Kesempatan kerja ini walaupun merupakan hal yang sangat penting, tetapi tetap tidak boleh terlepas dari asas efisiensi dan produktivitas. Hal ini penting karena dalam jangka panjang produksi gula ini tidak terlepas dari persaingan dengan gula yang dihasilkan oleh produsen dari negara lain. Sampai tahun 2009, jumlah perusahaan yang memproduksi gula rafinasi sebanyak lima perusahaan.
Secara total, kapasitas izin mencapai sekitar 5.662 ton/hari,
sedangkan kapasitas terpasang mencapai 4.200 ton/hari. Dengan kapasitas terpasang tersebut, produksi gula rafinasi baru mencapai sekitar 395 ribu ton tahun 2004. Dengan rendemen berkisar antara 89-96 %, pemakaian bahan baku (raw sugar) pada tahun tersebut mencapai 435.000 ton. Hal ini menunjukkan bahwa gula rafinasi masih perlu diimpor untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Bahkan, industri farmasi harus mengimpor karena industri gula rafinasi di Indonesia belum mampu memproduksi spesifikasi gula yang dibutuhkan oleh industri tersebut.
89 5. Konsumen Rumah Tangga dan Industri Pangan Penerapan tarif impor sebesar Rp. 550/kg untuk raw sugar dan Rp. 700/kg untuk gula putih, menyebabkan harga jual gula pada tingkat konsumen lebih tinggi. Tingginya harga gula di pasar domestik ini telah merugikan perekonomian secara keseluruhan, dan menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya daya saing industri makanan dan minuman berbahan baku gula. 6. Perdagangan Gula di Dalam Negeri. Perdagangan gula di dalam negeri sebenarnya memiliki struktur pasar yang bersifat oligopolistik. Dalam setiap lelang gula yang dilakukan oleh APTRI atau PTPN hanya beberapa pedagang yang terlibat, sehingga tingkat kompetisinya tidak mencerminkan kondisi permintaan dan penawaran gula yang sesungguhnya. Disamping itu, lemahnya penegakan hukum (law enforcement) untuk memberantas penyelundupan dan manipulasi dokumen gula impor, telah mempengaruhi penawaran dan harga gula di pasar domestik. 7. Situasi Pasar Gula Dunia Gula yang diperdagangkan di pasar dunia mencapai 35 juta ton/tahun, atau sekitar 28 % dari total produksi gula dunia.
Harga gula dunia saat ini tidak
menggambarkan tingkat efisiensi, karena dijual di bawah ongkos produksinya. Kebijakan domestic support dan export subsidy yang dilakukan oleh negara-negara produsen gula dunia, menyebabkan harga gula di pasar internasional telah terdistorsi. 8. Kegiatan Research and Development (R & D) Sebagian besar kegiatan R & D Gula selama ini dilakukan oleh Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), dengan sebagian besar dana bersumber dari pemerintah dan iuran anggota Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia (APPI). Keterbatasan dana R & D ini telah mempengaruhi kinerja P3GI, khususnya dalam menghasilkan teknologi baru yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani tebu.
4.7.3 Daya Dukung Peralatan Produksi 1.
Klasifikasi dan Spesifikasi Teknis Mesin Peralatan Pabrik Gula
90 Klasifikasi dan spesifikasi teknis mesin peralatan pabrik gula dengan kapasitas 250 TCD, seperti tabel terlampir. Untuk melengkapi klasifikasi/spesifikasi teknis mesin peralatan PG identifikasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dalam pembangunan pabrik gula, seperti yang telah dilakukan oleh surveyor independent adalah sebagai berikut: a.
Gilingan : 32,32 % Walaupun TKDN hanya 32,32% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 82,73%,, artinya komponen mesin/peralatan gilingan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti cane unloading dan sebagian Cane milling kecuali hydraullic serta lubrication system.
b.
Pemurnian : 3,28% Walaupun TKDN hanya 3,28% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 82,28%, artinya komponen mesin/peralatan pemurnian mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti sebagian besar clarification station dan sebagian milk of lime sulphur and soda station.
c.
Penguapan : 1,95 % Walaupun TKDN hanya 1,95% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 93%, artinya komponen mesin/peralatan penguapan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti evaporation, condensat, tangki, yang belum adalah pompa-pompa.
d.
Pemasakan : 2,79 % Walaupun TKDN hanya 2,79% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 72,89%, artinya komponen mesin/peralatan pemasakan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti tangki dan receiver.
e.
Puteran : 1,76 % Walaupun TKDN hanya 1,76% namun komponen dalam negeri telah mencapai 77,21%, artinya komponen mesin/peralatan pemasakan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti tangki, alat pendukung, konstruksi, cooler, dryer.
f.
Crane and hoist : 0,46 %
91 Walaupun TKDN hanya 0,46% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 80,00%, artinya komponen mesin/peralatan alat angkat dan pemindahan barang berupa crane & hoist mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri. g.
Machine shop: 0,17 % Walaupun TKDN hanya 0,17% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 54,72%,artinya komponen mesin/peralatan bengkel untuk perbaikan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti alat las, plate working tools, hydraulic jack.
h.
Laboratory: 0,08 % Walaupun TKDN hanya 0,08% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 68,33%, artinya komponen mesin/peralatan uji di laboratorium hasil produk gula atau sampingannya mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti gilingan kontak, elemen pembantu alat pengukuran.
i.
Water pully & water treatment: 0,98 % Walaupun TKDN hanya 0,98% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 83,91%, artinya komponen mesin/peralatan pengolah limbah cair mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti tangki, filter, cooler meter.
j.
Listrik, boiler, turbin & generator : 23,87% Walaupun TKDN hanya 23,87% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 60,00%, artinya komponen mesin/peralatan kelistrikan, energi dan pembangkitnya mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti motor control, control consul, circuit wiring.
k.
Piping, valve, cute : 2,81% Walaupun TKDN hanya 2,81% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 80,00%, artinya komponen mesin/peralatan perpipaan untuk air, uap dan alat pengaturnya mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri
l.
Structure & operation platform: 1,19 % Walaupun TKDN hanya 1,19% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 100%, artinya komponen bangunan gedung, pabrik, gudang dan pendukung penyimpanan sudah semuanya dapat dibuat di dalam negeri, hanya kandungan kimia untuk pembuatan alat tersebut masih banyak yang impor.
92 m. Control instrument for process: 0,00 % Ini sedikit kelemahan di industri gula yang kesemuanya masih menggunakan komponen luar negeri (impor), mengingat di bidang instrumentasi ini memerlukan teknologi computer yang cukup rumit untuk mengendalikan proses produksi secara otomatis. n.
Total bobot: 71,65 % Artinya bahwa seluruh sistem permesinan di industri pergulaan ini telah didukung oleh industri komponen permesinan dalam negeri seperti PT Barata Indonesia, PT Boma Bisma Indra, PT Rekayasa Industri, PT Indomarine; yang secara berkala sudah mempunya jadwal perbaikan dan penyediaan komponen secara konsisten. Berdasarkan uraian di atas maka dari sisi teknologi industri pembuat komponen
gula dalam negeri sudah mampu mensupply kebutuhan untuk mengganti yang rusak. Namun sampai saat ini kemampuan pembuat komponen dalam negeri belum sepenuhnya diberi kesempatan untuk berkontribusi terhadap kebutuhan pengganti komponen yang rusak mengingat para pabik gula dalam negeri masih berorientasi kepada impor. 2.
Dukungan Teknis Mesin Peralatan Pabrik Gula Mengingat pabrik gula ini sejak awal dibina oleh Kementerian Pertanian dan
saat ini secara kordinatif di bawah Kementerian BUMN, sektor off farm masih belum optimal peningkatan tingkat efisiensi. Untuk itu Kementerian Perindustrian mencoba membantu dengan program revitalisasi seperti tersebut di atas. Realisasi program bantuan restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula tersebut untuk tahun 2009 adalah sebagai berikut (Tabel 8). Data pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa realisasi yang bisa diserap oleh PG hanya 50% dari dana yang sudah disiapkan sebesar Rp. 50 Milyar. Hal ini mengingat kesiapan PG dalam melengkapi data yang masih belum baik, dan ada komponen mesin/peralatan yang masih terdapat unsur impor sehingga mengurahi stimulus yang disiapkan. Untuk tahun anggaran 2010 telah disiapkan anggaran Rp. 350 Milyar untuk program pembelian mesin peralatan dan program stimulus. Dengan demikian dari sisi off farm, Kementerian Perindustrian berkeinginan meningkatkan percepatan realisasi swasembada gula dengan basis produk permesinan dalam negeri.
93 Tabel 8. Dukungan teknis di setiap pabrik gula No.
Nama Perusahaan
Lokasi
Sumber Pembiayaan
Status Investasi
Jumlah Bantuan (Rupiah)
1
PT. PG Rajawali I
Jawa Timur
Kredit Bank
Non-PTPN
7.630.000.000
2
PT. PG Rajawali II
Jawa Barat
Kredit Bank
Non-PTPN
5.067.000.000
3
PT. PTPN XI
Jawa Timur
Kredit Bank
PTPN
9.052.000.000
4
PT. Madu Baru
DI Yogyakarta Dana Sendiri Non-PTPN
5
PT. PTPN IX
Jawa Tengah
Kredit Bank
PTPN
1.388.000.000
6
PT. PTPN VII
Lampung
Dana Sendiri PTPN
487.000.000
7
PT. PTPN X
Jawa Timur
Gabungan
803.000.000
Jumlah
Sumber: Ditjen ILMTA, Kementerian Perindustrian 2010
PTPN
405.000.000
24.832.000.000