81
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Eksisting Kawasan Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto 5.1.1. Kondisi Ekologi Vegetasi Kawasan CTN Nantu-Boliyohuto merupakan gabungan dari Kawasan SM Nantu, HPT Boliyohuto, dan HL Boliyohuto. Keanekaragaman jenis tumbuhan Sulawesi masih kurang bila dibandingkan dengan pulau-pulau besar tetangganya seperti Kalimantan dan Sumatera. Keadaan ini dicirikan dengan sedikitnya terdapat 6 jenis pohon meranti (Dipterocarpaceae) dibanding dengan 276 jenis di Kalimantan. Keadaan ini ditambah kenyataan bahwa Sulawesi memiliki spesimen botani paling sedikit dalam koleksi ilmiah dibandingkan dengan pulau/daerah lain di Indonesia (Lee et al., 2001) Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan di tiga lokasi yang mewakili kawasan CTNNB, yaitu pada kawasan SM Nantu, HL Boliyohuto, dan HPT Boliyohuto tercatat 204 jenis flora (Lampiran 3.). Vegetasi hutannya banyak didominasi oleh tegakan pohon-pohon yang tinggi dengan tajuk mahkota yang sangat rapat. Umumnya tegakan tersebut berasal dari suku Flacourtiaceae,
Guttiferae,
Datiscaceae,
Annonnaceae,
Anacardiaceae, Ebenaceae,
Myristicaceae, Apocynaceae, Moraceae, Ebenacea, Sapotaceae, dan sebagian kecil dari suku Dipterocarpaceae. Terdapat berbagai pohon berukuran raksasa dan tersebar di berbagai tempat. Ukuran pohon terbesar yang dijumpai mempunyai diameter 400 cm, yaitu pohon beringin (Ficus sp). Jenis pohon berukuran raksasa lainnya yang banyak dijumpai adalah pohon nantu (Palaqium obovatum Engl.) yang menjadikan kawasan ini juga dinamakan Hutan Nantu. Umumnya pohon-pohon yang berukuran besar juga merupakan pohon yang mempunyai nilai INP tinggi, yang artinya jenis pohon yang dominan di kawasan tersebut. Diantara jenis-jenis flora endemik yang dijumpai terdapat spesies yang dilindungi menurut PP No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, bahkan sudah tercantum dalam CITES untuk kategori Appendix II yaitu suatu jenis yang pada saat ini tidak termasuk dalam kategori terancam punah, namun memiliki kemungkinan untuk terancam punah jika perdagangannya tidak
82
diatur (Tabel 5.1). Jenis-jenis itu adalah Caryota mitis, Cycas rumphii, Livistonia rotundifolia, Macaranga crassistipulosa, Elmerillia ovalis,, Terminalia celebica, Diospyros hebecarpa, Pterospermum celebicum, Manilkara celebica, Cratoxylum celebicum, Dillenia serrata dan Dillenia sp (Gambar 5.1.). Salah satu jenis flora yang menarik adalah Anggrek Raksasa atau Grammatophyllum speciosum. Keunikan anggrek ini adalah ukuran tumbuhnya yang besar dimana panjang batangnya dapat mencapai 5 meter. Anggrek ini merupakan jenis anggrek yang dilindungi berdasarkan PP No 7 tahun 1999 Tabel 5.1. Jenis-jenis flora endemik dan dilindungi di kawasan CTNNB Nama Lokal Boyuhu Walongo Duito Kayu Jambu Dengilo Makakata Maranti Oloitoma Palem kipas Woka Sarai Patuhu Buluhungo Timbuolo Heade Sempur Anggrek
Nama Ilmiah Pterospermum celebicum Elmerillia ovalis Cratoxylum celebicum Kjellbergiodendron celebicum Dillenia serrata Terminalia celebica Shorea sp Diospyros hebecarpa Licualla flabelum Livistonia rotundifolia Caryota mitis Cycas rumphii Macaranga crassistipulosa Manilkara celebica Diospyros celebica Dillenia sp Grammatophyllum speciosum JUMLAH
CITES II II II 3
Status StP + + + + + + 5
E + + + + + + + + + + + + + + + 15
Keterangan: CITES= Konvensi International tentang Perlindungan Hidupan Liar, StP= Status Perlindungan (tanda “+” berdasarkan PP No 7 Tahun 1999), E: Endemik Sulawesi (tanda ”+”) Sumber : Data Primer & Dunggio, 2005
Saat ini, terutama untuk jenis Livistonia rotundifolia keberadaannya di hutan alam sudah sangat terganggu karena daun ini sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai bahan atap rumah. Jenis Cycas rumphii merupakan jenis yang tumbuh di sekitar kawasan hutan dataran rendah, sering ditemukan di pinggir sungai, batangnya dapat mencapai tinggi 6 meter. Keunikan dari tumbuhan ini merupakan contoh peralihan dari jenis tumbuhan paku-pakuan ke tumbuhan berbunga. Populasinya sangat terancam karena banyak diambil orang sebagai tanaman hias pot tumbuhan anggrek, media tumbuh anggrek disamping
83
sebagai obat sakit perut dan muntah darah, sedangkan empulurnya mengandung sagu (Dunggio, 2005).
Gambar 5.1. Jenis tumbuhan endemik dan dilindungi di Kawasan CTNNB Walaupun pengidentifikasian jenis flora hanya berdasarkan nama daerah setempat. Tingginya tingkat keanekaragaman hayati (biodiversity) di hutan tropis merupakan kekayaan tersendiri yang tidak ternilai harganya, yang merupakan sumber keanekaragaman genetik (genetic resource). Tingkat keanekaragaman hayati juga menunjukkan tingkat kestabilan suatu komunitas hutan. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman tersebut, maka semakin tinggi pula tingkat kestabilan suatu komunitas. Satwa Pada umumnya kawasan CTNNB merupakan kawasan yang masih terjaga keutuhannya dan kaya akan keragaman jenis mamalia khas Sulawesi. Terdapat habitat satwa yang unik dan penting yaitu salt-lick atau kubangan air panas yang mengandung garam mineral yang sangat dibutuhkan untuk proses metabolisme di dalam tubuh mereka (Clayton, 1996). Tempat ini merupakan salah satu tempat berkumpulnya berbagai satwa, baik satwa endemik, dilindungi dan terancam
84
punah maupun yang tidak termasuk kategori tersebut. Berdasarkan hal tersebut lokasi ini dipilih sebagai tempat untuk melakukan pengamatan satwa. Potensi keanekaragaman satwa di salt-lick dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Analisis Keanekaragaman Jenis (H1) Satwa di Lokasi Salt-Lick Nama Indonesia Ayam Hutan Babi Hutan
Nama Ilmiah Gallus gallus Sus celebensis
Babi Rusa
Babyrousa babyrussa
Biawak
Varanus indicus
Burung Bubut Sulawesi
Centropus celebensis
Burung Gagak Hutan
Corvus enca
Burung Layang Api
Hirundo rustica
Burung Pelatuk Burung Perkutut
Mulleripicus fulvus Streptopelia chinensis
Total
H1
Status StP -
E
0.058
IUCN -
0.006
-
-
+
362
0.359
EN
+
+
3
0.014
-
-
-
0.039
-
-
+
116
0.220
-
-
-
2
0.010
-
-
-
0.108
-
-
+
0.063
-
-
-
+
+
17 1
10
39 19
-
Burung Rangkong
Rhyticeros cassidix
120
0.225
-
Burung Walik Raja
Ptilinopus superbus
10
0.039
-
-
-
0.006
-
-
+
-
-
Cikrak Sulawesi
Phylloscopus sarasinorum
1
Decu Belang
Saxicola caprata
16
0.056
-
Dederuk Merah
Streptopelia tranquebarica
28
0.085
-
-
+
Delimukan sulawesi
Gallicolumba tristigmata
2
0.010
-
-
+
-
-
Delimukan Timur
Calcophaps stephani
82
0.178
-
Kangkareng Sulawesi
Penelpopides exarhatus
1
0.006
-
+
+
Kepudang Sungu Belang Kepudang Sungu Sulawesi
Coracina bicolor
4
0.018
NT
-
+
-
-
0.042
-
-
-
Kipasan Sulawesi
Coracina morio Rhipidura teysmanni
3 11
0.014
+ +
Kura-Kura Sulawesi
Geomyda yuwonoi
2
0.010
DD
Mandar Dengkur
Aramidopsis plateni
10
0.039
VU
+
+
Mandar Padi Zebra
Gallirallus torquatus
31
0.091
-
-
-
134
0.239
-
-
+
9
0.035
-
-
-
0.173
NT
++
+
0.006
-
+
+
+
+
Merpati Hitam Sulawesi
Turocoena manadensis
Merpati Hutan
Columba vitiensis
Monyet Hitam Sulawesi Paok Mopo
Macaca heckii Pitta erythrogaster
78 1
Perkici Dora/Nuri
Trichoglossus ornatus
21
0.068
-
Pergam Hijau
Ducula aenea
26
0.080
-
-
-
0.010
-
+
-
-
+
-
-
Rusa
Carvus timorensis
2
Tupai
Prociurillus murinus
15
0.053
-
Uncal Ambon
Macropygia amboinensis
80
0.176
-
H’
2.536
Keterangan: INP= indeks nilai penting, CITES= Konvensi International tentang Perlindungan Hidupan Liar, StP= Status Perlindungan (tanda “+” berdasarkan PP No 7 Tahun 1999), E: Endemik Sulawesi (tanda ”+”); E: Endemik Gorontalo (tanda ++) Sumber : Dunggio, 2005
85
Berdasarkan hasil analisa data yang didapatkan terlihat ada 5 jenis yang termasuk dilindungi dan merupakan jenis endemik, yaitu Babirusa (Babyrousa babyrussa), Anoa (Bubalus depressicornis), Tarsius (Tarsiusspectrum), Kuskus Sulawesi (Strigocuscus celebensis) dan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca heckii) (Gambar 5.2). Penelitian Hiola (2004) menyatakan bahwa jumlah anoa yang tercatat hingga saat ini memiliki rasio 1 : 30, artinya dalam radius 30 km tercatat jumlah yang ditemukan 1 ekor Anoa. Hal ini menunjukkan bahwa Anoa tergolong jenis yang langka dan hampir punah. Khusus untuk Monyet Hitam Sulawesi keberadaannya cukup banyak dijumpai di sekitar lokasi pondok jaga, dan memiliki rasio 1 : 15, artinya dalam radius 1 km dapat dijumpai 15 ekor. Jumlah ini menunjukkan bahwa jumlah Monyet Hitam Sulawesi masih banyak. Biasanya mereka berjalan secara berkelompok dengan jumlah 10-15 ekor.
Gambar 5.2. Jenis satwa endemik dan dilindungi di Kawasan CTNNB Babirusa, anoa, monyet hitam Sulawesi, yang terdapat di kawasan CTNNB dapat dikategorikan satwa liar yang mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia ditinjau dari segi ekonomi, penelitian, pendidikan dan rekreasi atau wisata. Spesies satwa liar merupakan spesies refleksi kondisi ekologi dan
86
perubahan-perubahannya sepanjang waktu. Spesies satwa liar bisa menjadi sebuah barometer kualitas hidupan satwa liar. Sebagai parameter kawasan CTNNB, keberadaan babirusa, anoa, monyet hitam Sulawesi, maupun satwa lain yang masih hidup di sebuah kawasan konservasi merupakan “nyawa” atau “jiwa” kehidupan liar yang ada di kawasan tersebut. Selain nilai eksistensi tersebut, satwaliar memiliki nilai ekologi yang secara biologis sangat penting peranannya dalam proses pemeliharaan permukaan tanah, penyebaran dan pertumbuhan tanaman, penyerbukan dan pematangan biji, penyuburan tanah, penguraian organisme mati menjadi zat organik. Satwa liar juga mempunyai nilai ekonomi yang menghasilkan produk makanan (daging), gading, cula, dan kulitnya sebagai bahan pembuatan tas, pakaian, dan hiasan, serta nilai estetika sebagai atraksi untuk wisatawan yang harus membayar untuk melihat, meneliti, atau memotret. Selain itu, pada kawasan CTNNB terdapat berbagai jenis burung. Potensi burung Sulawesi merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Daftar burung di Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya terdiri dari 380 jenis, mungkin bukan merupakan jumlah yang terlalu tinggi, tetapi tidak kurang dari 96 jenis diantaranya adalah endemik. Ornitologiwan dari segala penjuru dunia memberikan prioritas tertinggi untuk pulau ini (Holmes & Philips 1999). Hasil penelitian Dunggio (2005) menunjukkan bahwa pada kawasan CTNNB ini ditemukan beberapa jenis burung endemik Sulawesi. Berdasarkan hasil pengamatan di tipe vegetasi hutan dataran rendah terdapat 49 jenis burung yang bisa di amati dan 24 jenis atau 49% adalah endemik Sulawesi (Lampiran 4.). Populasi ini akan bertambah jika termasuk di dalamnya burung-burung yang mendiami tipe vegetasi hutan pegunungan. Dari 24 jenis burung enedemik, 12 diantaranya telah dilindungi undang-undang yang tercantum dalam PP No 7 tahun 1999. Bahkan terdapat 3 jenis burung yang terancam punah keberadaannya, seperti serindit paruh merah (Loriculus exilis), raja udang merah (Ceyx fallax) dan kepudang sungu belang (Coracina bicolor). Salah satu jenis burung yang paling menonjol dan sangat mudah dijumpai di semua tingkatan habitat di kawasan ini adalah burung rangkong atau alo (Rhyticeros cassidix). Rangkong termasuk jenis burung yang mempunyai variasi bunyi bermacam-macam dan terdengar dari jarak 300 meter. Tingginya keanekaragaman burung di CTNNB
87
disebabkan oleh tingginya keanekaragaman habitat karena habitat merupakan tempat untuk mencari makan, minum, istirahat dan berkembang biak. Selain itu adanya sumber makanan berupa buah-buahan yang tersedia sepanjang tahun di kawasan CTNNB seperti buah ara yang merupakan sumber makanan utama bagi jenis burung. 5.1.2.
Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Karakteristik Masyarakat Masyarakat desa pada penelitian ini adalah penduduk desa yang bertempat tinggal di sekitar kawasan dan penduduk yang memiliki akses terdekat menuju kawasan, meliputi penduduk Desa Mohiyolo, Desa Pangahu, Desa Sidoharjo (Kecamatan Tolangohula), Desa Potanga (Kecamatan Tolinggula), Desa Kasia (Kecamatan Sumalata), dan Desa Saritani (Kecamatan Wonosari). Masyarakat yang mendiami sekitar kawasan CTNNB rata-rata berpendidikan rendah. Hal ini tercermin dari tingkat pendidikan responden yakni sebanyak 21,54% tidak sekolah, sebagian besar hanya sampai tingkat SD (66,81%), SLTP (1,67%), SLTA (2,04%), dan yang mencapai perguruan tinggi hanya sebanyak 0,1%. Umumnya mereka berhenti sekolah dan bekerja sebagai pemungut rotan, pencari kayu, dan/atau sebagai pendulang emas di dalam kawasan. Tabel 5.3. menunjukkan data kependudukan desa-desa sekitar kawasan CTNNB. Tabel 5.3. Data Kependudukan Desa Sekitar Kawasan CTNNB Pekerjaan
Desa
Luas
Jlh Pend.
1
Mohiyolo
3922,6
4.244
1505
46
823
125
Pangahu
2100
1222
748
6
203
54
Potanga
607.75
851
281
10
8
14
2
3
4
Pendidikan 5
6
7
8
9
10
11
12
95
1650
1317
153
2633
10
125
6
113
98
74
98
982
40
28
0
71
467
83
112
628
19
9
0
Kasia
2804
833
165
7
50
38
50
523
209
98
489
25
6
6
Saritani
5190
2326
1338
5
245
55
263
420
401
381
1449
58
37
0
Sidoharjo
1327
JUMLAH Persentase (%)
2030
825
6
15
16
134
1034
394
60
1506
40
30
0
11.506
4862
80
1344
302
726
4192
2478
902
7687
192
235
12
100
42,25
0,70
11,69
2,62
6,31
36,43
21,54
7,84
66,81
1,67
2.04
0,10
Keterangan: 1: Petani; 2: PNS; 3: Peternak; 4: Swasta/Pedagang; 5: Dll; 6: Tidak ada 7: Tidak sekolah; 8: Belum sekolah; 9: SD; 10: SMP; 11: SMA; 12: PT Sumber : Data Potensi Desa (2007)
Dilihat dari mata pencahariannya, umumnya masyarakat sekitar kawasan memiliki pekerjaan pokok sebagai petani dan/atau buruh tani (42,25%). Jenis
88
pekerjaan pada sektor pertanian ini sebagian besar adalah bergantung dari hasil hutan, yaitu mengambil rotan dan atau mengambil kayu, dan berladang/sawah, baik di luar kawasan maupun di dalam kawasan, berburu, dan mencari tambang. Dari hasil wawancara tak tertulis dengan responden, umumnya masyarakat yang mempunyai lahan pertanian mengakui bahwa bertani merupakan pekerjaan sampingan dari pekerjaan utama memungut hasil hutan. Mereka turun ke sawah/ladang hanya pada saat menyiapkan lahan sampai menanam bibit, kemudian kembali lagi pada saat panen. Waktu diantara musim tanam dan musim panen digunakan untuk memungut hasil hutan, terutama rotan. Lahan-lahan kering di pinggiran luar kawasan yang hanya ditumbuhi semak belukar atau pohon-pohon muda, umumnya merupakan lahan bekas yang digunakan petani ladang berpindah. Selanjutnya berturut-turut masyarakat bekerja sebagai peternak (11,69%), pedagang/swasta (2,64%), PNS (0,7%) dan lainnya sebesar 6,31%. Jenis pekerjaan lainnya tersebut meliputi pemungut rotan, pengambil kayu, dan berburu di dalam kawasan CTNNB, nelayan, supir, tukang perahu, tukang ojek, dan lainnya. Sedangkan yang tidak bekerja (36,42%) umumnya terdiri dari anak-anak, orang lanjut usia, dan wanita. Yang cukup meresahkan adalah masyarakat berusia produktif namun tidak bekerja. Mereka menjadikan kawasan CTNNB sebagai lapangan kerja alternatif. Hal ini merupakan ancaman bagi kelestarian kawasan jika keadaan ini tidak diakomodir oleh pengelola kawasan. Interaksi Masyarakat Ketergantungan masyarakat sekitar CTNNB pada sumber daya alam di kawasan itu masih sangat tinggi. Pada umumnya mereka melakukan interaksi dengan kawasan melalui aktivitas-aktivitas sehari-hari mereka. Interaksi yang terjadi antara masyarakat dan kawasan disebabkan karena beberapa faktor yaitu pertama, kawasan CTNNB merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat di sekitarnya, baik secara ekonomi maupun sosial, dan kedua karena masyarakat tinggal berdampingan dengan kawasan. Sebagian besar (65,56%) responden melakukan pemanfaatan SDA yang berada dalam kawasan. Masyarakat yang masuk ke kawasan CTNNB umumnya mempunyai lebih dari satu tujuan (98,15%). Tinggi rendahnya interaksi antara masyarakat dan kawasan tentunya
89
dipengaruhi oleh banyak faktor dan salah satunya adalah tingkat kesejahteraan masyarakat.
Semakin
tinggi
tingkat
kesejahteraan
masyarakat,
maka
ketergantungan terhadap kawasan semakin rendah dan sebaliknya. Bentuk-bentuk interaksi masyarakat dengan kawasan CTNNB : 1.
Pemungutan Hasil Hutan Non Kayu Mengambil rotan (74%) merupakan alasan utama masyarakat masuk ke dalam kawasan CTNNB. Hasil hutan non kayu yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan CTNNB selain rotan adalah daun woka, tanaman obat, kayu bakar, bahan bangunan, dan bahan makanan, buahbuahan, bambu, madu dan lain-lain. Selain itu berburu (10,37%) juga merupakan aktivitas masyarakat dalam kawasan. Umumnya babirusa dan anoa merupakan satwa yang paling banyak diburu.
2.
Pemanfaatan Lahan Sebanyak 41% responden yang memanfaatkan kawasan CTNNB dengan berladang. Dengan alasan kurangnya lahan pertanian untuk produksi pangan, masyarakat kemudian membuka lahan pada bagian HPT Boliyohuto untuk digunakan sebagai lahan pertanian kering dan perkebunan. Bentuk pemanfaatan lahan ini sampai dengan sekarang masih berlangsung tanpa hambatan. Hal ini tentunya berdampak negatif bagi kelestarian kawasan taman nasional.
3.
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tidak dapat dipungkiri bahwa kayu masih dipandang sebagai produk utama hutan. Hutan dipandang oleh masyarakat sebagai sumber kayu. Hal ini menyebabkan masih banyak masyarakat (40%) mengambil hasil hutan kayu dalam kawasan CTNNB. mereka mengambil untuk keperluan kayu bakar, perkakas dan bangunan.
Kearifan lokal, adat istiadat, dan budaya masyarakat Masyarakat sekitar kawasan sebagian besar dari etnis Gorontalo, sedangkan masyarakat lainnya merupakan masyarakat pendatang dari Jawa dan Bali yang merupakan masyarakat transmigrasi dan pekerja HPH serta perkebunan. Adat istiadat masyarakat Gorontalo yang dimiliki beragam, seperti khitanan anak lakilaki, mandi lemon buat anak perempuan, pernikahan, hingga tata cara orang
90
meninggal, sampai tradisi yang hanya di lakukan pada waktu-waktu tertentu. Tradisi tersebut antara lain tradisi “Walima” untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, tradisi “tumbilotohe” yaitu malam pasang lampu pada tanggal 27 Ramadhan selama 3 hari menyambut Hari Raya Idul Fitri. 5.1.3. Ancaman Bagi Kawasan CTNNB Saat ini kawasan-kawasan konservasi sedang menghadapi tekanan yang semakin
besar.
Tekanan-tekanan
ini
merupakan
ancaman
terhadap
keanekaragaman hayati beserta habitatnya. Tekanan yang terjadi pada CTNNB bukan saja berasal dari masyarakat sekitar kawasan, tetapi juga berasal dari luar Provinsi Gorontalo, terutama berkaitan dengan perburuan satwa liar yang merupakan konsumsi masyarakat. Beberapa tekanan yang terjadi pada kawasan CTNNB antara lain adalah : 1.
Pertumbuhan penduduk Tuntutan pemenuhan kebutuhan manusia terhadap sumberdaya yang terus
bertumbuh merupakan penyebab dasar dari berbagai masalah konservasi yang terjadi. Populasi penduduk Kabupaten Gorontalo terus meningkat dari 715.508 jiwa pada tahun 1990 menjadi 960.335 jiwa pada tahun 2007 (BPS, 2008). Kenaikan jumlah penduduk yang pada umumnya petani menyebabkan jumlah kawasan pertanian telah meningkat, dan telah terjadi pengurangan luas tutupan hutan (Dishut, 2005). Hal ini terjadi karena adanya program transmigrasi yang menempatkan banyak petani dari Jawa dan Bali di daerah-daerah yang populasinya masih jarang. Terjadinya pemekaran wilayah di beberapa daerah di Provinsi Gorontalo turut meningkatkan populasi penduduk yang berakibat makin bertambahnya kawasan pemukiman. Hasil penelitian WCS (2001) menunjukkan bahwa populasi kehidupan liar dan kawasan lindung di Sulawesi bagian utara berada dibawah tekanan yang luar biasa dari masyarakat pedesaan. Kegiatan manusia yang sangat berpengaruh terhadap habitat alami dan populasi antara lain perburuan satwa liar untuk kebutuhan pasar, konversi untuk lahan pertanian, pengambilan tumbuh-tumbuhan hutan (rotan, daun palem woka, kayu bahan bangunan, kayu bakar), serta
91
pertambangan emas. Populasi babirusa telah menyusut sampai 95% dalam tahuntahun terakhir. 2.
Penebangan kayu Sampai saat ini belum ada data pasti mengenai berapa banyak kayu yang
diangkut keluar dari hutan-hutan di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto. Tetapi kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa hampir semua jalan masuk ke kawasan ditemukan jalur-jalur perjalanan kayu baik yang melalui jalur sungai maupun jalan darat (Gambar 5.3.).
Gambar 5.3. Pembalakan dan pencurian liar (Foto : Hamidun, 2006) 3.
Pertambangan Pertambangan emas liar saat ini merupakan salah satu ancaman serius
terhadap lingkungan, karena bahan pemisah yang digunakan menambah kerusakan ekologi jangka panjang yang ditimbulkannya. Penambang liar menggunakan tromol, suatu mesin penghancur batu untk diproses, dan merkuri untuk memisahkan emasnya (Gambar 5.4). Penggunaan tromol menimbulkan keprihatinan ekologi yang besar. Penggunaan mesin ini menyebabkan sungaisungai tercemar oleh merkuri dan zat-zat lain yang digunakan untuk memisahkan emas dari batuan yang dihancurkan. Pertambangan emas merupakan ancaman besar bagi kesehatan manusia dan hewan. Kegiatan ini menyebabkan sungai-sungai tercemar oleh merkuri dan zatzat lain yang digunakan. Zat ini akan meresap kedalam tanah hingga mencapai permukaan air tanah. Sungai merupakan sumber utama air minum bagi masyarakat pedesaan serta hewan-hewan (ternak dan satwa liar), serta sumber air
92
bagi proyek irigasi. Selain itu, para penambang menetap dan membangun kamp disekitar areal penambangan dengan menggunakan bahan-bahan dari hutan, seperti kayu, kayu bakar, rotan, dan satwa liar. Untuk mengangkut hasil-tambang tersebut, mereka membuka jalan dalam hutan.
Gambar 5.4. Kegiatan PETI dalam kawasan CTNNB (Foto : Hamidun, 2006) 4.
Perburuan Perburuan merupakan ancaman utama bagi populasi banyak spesies satwa
liar, khususnya satwa besar. Populasi satwa semakin menurun seiring dengan semakin meningkatnya intensitas perburuan. Di Sulawesi bagian utara, populasi beberapa mamalia besar seperti babirusa dan anoa telah menyusut sampai 95% dalam tahun-tahun terakhir (Lee, et.al., 2001). Penurunan populasi satwa yang semakin meningkat juga berkaitan erat dengan meningkatnya permintaan pasar, sebagai akibat makin meningkatnya jumlah konsumsi daging. Sulawesi bagian utara mempunyai pengaruh paling besar terhadap populasi satwa liar. Hal ini disebabkan karena lebih dari 90% penduduknya menganut agama tertentu yang tidak ada larangan untuk mengkonsumsi daging satwa liar tertentu. Untuk memenuhi permintaan pasar daging tersebut, perburuan dilakukan ke kawasan-kawasan lindung di Gorontalo sampai ke daerah Sulawesi Tengah. Masyarakat Gorontalo dan Bolaang Mongondow yang tidak mengkonsumsi
93
daging satwa tertentu, melakukan perburuan besar-basaran terhadap satwa anoa dan rusa. Di TN Bogani Nani Wartabone dilaporkan sekurang-kurangnya 100 karkas anoa diperjual di pasar-pasar desa setiap tahunnya dan sekelompok pemburu gelap mengambil sekitar 700ekor
babirusa dan 1.500 babi hutan
sulawesi dalam waktu kurang dari setahun (Lee, et.al., 2001).
Diperkirakan
monyet yaki akan punah dalam waktu 25 tahun, sedangkan babirusa diramalkan akan punah dalam waktu 5-10 tahun mendatang kalau perburuannya terus berlangsung. Sampai saat ini belum ada data berapa jumlah populasi satwa-satwa liar yang ada di kawasan CTNNB, sehingga agak sulit diperkirakan berapa persen tingkat penurunan populasinya. 5.
Pengambilan Hasil Hutan Non Kayu Akibat pemanenan hasil hutan non kayu, walaupun tidak sedramatis
penebangan kayu, mempunyai konsekuensi yang serius bagi fungsi ekosistem hutan. Rotan dan daun woka tergolong dua jenis hasil hutan non-kayu yang paling umum diambil. Rute dan jarak pengambilan rotan di kawasan ini merupakan rute yang sulit ditempuh oleh para pengambil rotan karena umumnya curam. Mereka harus berjalan kaki sekitar 2-3 hari ke dalam hutan dan menghabiskan waktu sampai sepuluh hari untuk mengumpulkan batang-batang rotan. Pada beberapa lokasi pengamatan, semua pintu lokasi tersebut ditemukan tumpukan-tumpukan rotan yang siap diangkut. Daun woka (Livistona rotundifolia) juga merupakan hasil hutan yang biasa digunakan oleh masyarakat. Daun ini digunakan umtuk membungkus makanan, bahan atap rumah dan juga untuk keperluan lain. Pengambilan daun woka yang terlalu banyak, yaitu dengan memotong daun muda maupun daun tua akan menghambat regenerasi dan kemungkinan bisa menyebabkan kematian pohon, sehingga dikhawatirkan jika keadaan ini terus berlangsung pohon woka ini tidak akan lestari
94
Gambar 5.5. Kegiatan pengambilan hasil hutan non-kayu (Foto: Hamidun, 2006) 5.2. Kajian Ekowisata Pada CTN Nantu-Boliyohuto Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Tujuan pengelolaan di atas dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) aspek utama yaitu: konservasi, penelitian, pendidikan, dan kepariwisataan. Menurut pengkategorian yang dilakukan oleh IUCN (Mac kinnon, 1993), taman nasional termasuk dalam kategori II yaitu suatu kawasan yang dikelola terutama untuk keseimbangan antara ekosistem dan rekreasi. Meskipun pariwisata tidak menjadi sasaran utama pengelolaan kawasan, tetapi pariwisata dapat menunjang sasaran pelestarian ekosistem kawasan. Konsep ekowisata menawarkan konsep low invest-high value bagi sumberdaya dan lingkungan sekaligus menjadikannya sarana cukup ampuh bagi partisipasi masyarakat, karena seluruh aset produksi menggunakan dan merupakan milik masyarakat lokal. Ekowisata merupakan pola pengelolaan pariwisata yang mendukung keterlibatan penuh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha wisata. Ekowisata juga harus
95
meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya setempat, serta mampu meningkatkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat setempat dan nilai konservasi kawasan.dapat menciptakan nilai ekonomis bagi kawasan konservasi. Berdasarkan Pedoman Penilaian Daya Tarik Wisata yang dikeluarkan oleh Direktorat Produk Pariwisata Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2007 (Lampiran 2), penilaian kriteria daya tarik suatu lokasi terbagi atas beberapa unsur, yaitu: daya tarik wisata, aksesibilitas, fasilitas wisata, lingkungan dan masyarakat, dan potensi pasar. Unsur-unsur tersebut secara rinci diuraikan sebagai berikut: 5.2.1. Daya Tarik Wisata Alam Berdasarkan PP No. 50 tahun 2011, Daya Tarik Wisata dijelaskan sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan, kemudahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau kunjungan wisatawan. Salah satu bagian yang penting dalam pengembangan konsep ekowisata adalah obyek dan daya tarik wisata. Kemampuan dari ODTWA merupakan faktor yang sangat penting untuk memotivasi wisatawan. Wisatawan tertentu akan menyukai sebuah atraksi dari obyek tertentu yang menyebabkan mereka kembali untuk melakukan sebuah perjalanan wisata. Sebagai salah satu negara yang dijuluki negara megabiodiversity, Indonesia memiliki potensi obyek dan daya tarik wisata alam. Dalam buku Rencana Pengembangan Pariwisata Alam Nasional di Kawasan Hutan, Ditjen PHKA (2001), disebutkan bahwa potensi hutan Indonesia antara lain 27.000 tumbuhan berbunga (10%) dari jumlah spesies di dunia, 515 jenis dari kelas mamalia (12%) dari jumlah spesies di dunia, 1.539 jenis Aves (17%) dari jumlah spesies di dunia, 511 jenis dari kelas Reptilia (16%) dari jumlah spesies di dunia dan 8.270 jenis dari kelas Amphibia (16%) dari jumlah spesies di dunia. Selain itu, Indonesia juga mempunyai 128 gunung berapi, fenomena alam seperti air terjun, sumber air panas, kawah, sungai, gua, danau, perairan karang, hutan mangrove, padang laut dan rumput laut. Kekayaan alam tersebut merupakan potensi obyek dan daya tarik wisata alam (ODTWA) yang dalam pengembangan pariwisata alam perlu penanganan yang serius agar tetap terjaga kelestarian dan keberadaannya.
96
Hasil penilaian menunjukkan bahwa kawasan CTN Nantu-Boliyohuto memiliki potensi daya tarik wisata yang tinggi (Tabel 5.4). Tabel 5.4. Penilaian Daya Tarik Wisata CTN Nantu-Boliyohuto No
1
2 3 4 5 6 7 8
Sub Unsur Keindahan Alam : 1. Pandangan lepas dalam obyek/variasi pandangan dalam obyek 2. Pandangan lepas menuju obyek 3. Keserasian & komposisi daya tarik dalam obyek 4. Suasana yang dihadirkan dalam obyek wisata 5. Pandangan/kondisi lingkungan obyek wisata Keunikan SDA : Sumber air panas, Air terjun, Flora fauna, Adat istiadat Banyaknya potensi SDA yang menonjol: Flora, Fauna, Air, Gejala alam Keutuhan SDA: Geologi, Flora, Fauna, Lingkungan (ekosistem) Kepekaan SDA : Batuan, Flora, Fauna, Erosi, Ekosistem Pilihan kegiatan/aktivitas wisata (jumlah aktivitsa): Trekking, Mendaki, Rafting, Camping, Pendidikan, Religius, Hiking, Canoeing, Memancing Kebersihan udara & lokasi,tidak ada pengaruh dari: Alam, Industri, Jalan, ramai, motor/mobil; Pemukiman penduduk; Sampah; Binatang; Corat-coret (vandalisme) Ruang gerak wisatawan (luas intensif) (dalam hektar)
Nilai
30
25 30 25 25 25 25 15
Nilai Dasar = Jumlah Nilai
195
Nilai Bobot = (Nilai Dasar X Bobot 6)
1170
Gambar 5.6. Pemandangan selama perjalanan melalui jalur sungai menuju ke CTN Nantu-Boliyohuto (Foto: Hamidun, 2006)
97
Pandangan lepas menuju obyek dapat disaksikan di sepanjang perjalanan (melalui jalur sungai) menuju kawasan CTNNB bagian SM Nantu (Gambar 5.6.). Obyek yang dapat dilihat di sepanjang perjalanan melalui jalur sungai tersebut bervariasi, seperti pemandangan pegunungan, perbukitan, hamparan pepohonan, hutan dan perkebunan rakyat (jagung dan kelapa disepanjang jalur sungai) serta panorama alam. Selain Pemandangan ini menjadi lebih indah terlihat dengan kehadiran burung-burung yang terbang kesana kemari disepanjang sungai dan di tepian sungai serta kehadiran beberapa satwa lainnya seperti biawak dan monyet. Sementara itu pandangan dalam obyek (dalam kawasan) dapat diamati pada jalur tracking yang dilalui dalam melakukan penjelajahan hutan. Terlihat beragam jenis tmbuhan yang juga merupakan suatu pemandangan yang mempunyai daya tarik tersendiri bagi para petualangan/penjelajah. Daya tarik ini ditunjang dengan keberadaan beberapa jenis flora yang merupakan endemik Sulawesi. Demikian pula perjumpaan dengan beberapa satwa yang tergolong endemik Sulawesi seperti yaki, rangkong dan beberapa jenis burung lainnya dapat terjadi. Selain itu, pada lokasi air terjun kedua yang letaknya tidak jauh dari Desa Pangahu (masih berada di dalam lokasi), jika dilakukan pendakian lebih ke atas (±1 jam perjalanan) akan dijumpai pemandangan lepas menuju perkampungan Desa Pangahu dan rumah Polahi yang merupakan suku terasing masyarakat Gorontalo. Deskripsi ini menggambarkan bahwa kawasan SM Nantu memiliki semua sub unsur dari keindahan alam. Keunikan sumber daya alam (SDA) dapat dilihat terdapatnya kubangan air panas yang merupakan sumber mata air panas asin yang mengandung belerang (salt-lick) (Gambar 5.7.). Hasil analisis tanah pada salt-lick tersebut terdapat kandungan mineral seperti Sulfur-Sulphate (SO4S), Besi (Fe), Natrium (Na), Mangan (Mn), dan Kalsium (Ca). Kandungan mineral tersebut (terutama garam dan belerang) berbeda nyata dengan kandungan kedua zat itu di luar kubangan tersebut. Mineral ini sangat penting untuk satwa karena dapat membantu proses metabolisme di dalam tubuh satwa. Kubangan ini dikelilingi oleh berbagai jenis tumbuhan hutan primer. Salt-lick merupakan salah satu habitat satwa yang terkenal dan terpenting karena merupakan tempat berkumpulnya beberapa jenis satwa endemik dan unik. Tempat ini merupakan habitat terbaik mamalia endemik
98
dan langka seperti babirusa, anoa dan monyet hitam khas Gorontalo serta beberapa jenis burung untuk berendam, bermain, makan ataupun minum. Kejadian seperti ini dapat disaksikan sekitar jam 06.00 atau jam 16.30-18.00. Satwa liar ini setiap hari mengunjugi tempat ini dari jarak yang cukup jauh, yaitu sekitar 8-12 Km (Clayton, 1996; Mustari et al, 2003). Akses ke wilayah ini sangat mudah karena hanya membutuhkan waktu 10 menit berjalan kaki dari Pos Jaga Adudu di kawasan SM Nantu. Atraksi yang ditampilkan pemandangan alami satwa-satwa yang endemik dan langka, berupa perilaku makan, minum, kawin, dan bermain. Atraksi ini sangat menarik dan sangat jarang ditemukan di tempat lain di belahan dunia manapun. Keberadaan salt-lick beserta kehadiran satwa langka dan endemik di dalamnya menjadi daya tarik utama kegiatan wisata alam di SM Nantu.
Gambar 5.7. Babirusa sedang berada di kubangan saltlick (Foto: Hamidun, 2006) Pada kawasan CTNNB ini banyak dijumpai air terjun, antara lain berada pada lokasi yang dekat dari jalur masuk SM Nantu, yaitu air terjun sungai Adudu dan air terjun Desa Pangahu (Gambar 5.8.). Air terjun di sungai Adudu terletak di sebelah utara Pos Jaga Adudu mempunyai ketinggian ± 10 m. Perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit dapat ditempuh dengan jalan kaki menyusuri
99
sungai Adudu yang dangkal dan jernih serta sejuk. Sepanjang perjalanan ke lokasi air terjun dapat disaksikan pemandangan khas hutan hujan tropik dataran rendah seperti pohon berdiameter besar yang tumbuh menjulang tinggi serta tajuk yang sangat rapat. Sedangkan air terjun di Desa Pangahu dapat ditempuh dengan jalan kaki melewati perkampungan penduduk, kebun dan areal persawahan dan dilanjutkan dengan memasuki kawasan. Perjalanan menuju air terjun ini memakan waktu sekitar 30 menit dari Desa Pangahu. Keunikan dari air terjun di Desa Pangahu adalah memiliki 3 curahan air sekaligus dengan jarak antar curahan air sekitar 2 meter. Tinggi air terjun ini bervariasi mulai dari 5 meter sampai dengan 10 meter. Lokasi air terjun ketiga terdapat pada kawasan bagian HPT Boliyohuto. Perjalanan ke lokasi ini ditempuh dari jalur masuk Desa Sidoharjo selama sekitar 2 jam.
Gambar 5.8. Air terjun di kawasan CTNNB (Foto: Hamidun, 2006) Vegetasi hutannya banyak didominasi oleh tegakan pohon-pohon yang tinggi dengan tajuk mahkota yang sangat rapat. Umumnya tegakan tersebut berasal dari suku
Anacardiaceae, Flacourtiaceae, Guttiferae, Datiscaceae,
Annonnaceae, Ebenaceae, Myristicaceae, Apocynaceae, Moraceae, Ebenaceae dan Sapotaceae
dan sebagian kecil dari suku Dipterocarpaceae. Terdapat
berbagai pohon berukuran raksasa dan tersebar di berbagai tempat. Ukuran pohon
100
terbesar yang dijumpai mempunyai diameter 400 cm, yaitu pohon beringin (Ficus sp). Jenis pohon berukuran raksasa lainnya yang banyak dijumpai adalah pohon nantu (Palaqium obovatum Engl.) sehingga kawasan ini juga dinamakan Hutan Nantu. Umumnya pohon-pohon yang berukuran besar juga merupakan pohon yang mempunyai nilai INP tinggi, yang artinya jenis pohon yang banyak dijumpai. Potensi fauna yang terdapat di Taman Nasional Nantu terdiri atas jenis mamalia dan jenis burung, yang bisa ditawarkan karena adanya kemudahan untuk melihat di habitat aslinya. Kawasan ini mempunyai potensi satwa yang sangat unik untuk dikembangkan sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia Bagian Timur. Berdasarkan hasil analisa data yang didapatkan terlihat ada 5 jenis yang termasuk dilindungi dan merupakan jenis endemik. Mamalia dari jenis Babirusa atau Babyrousa babyrussa sangat mendominasi. Babirusa merupakan binatang paling aneh yang terdapat di pulau Sulawesi. Ciri khas dari babirusa yang memiliki tubuh pendek dan agak membulat ini adalah adanya dua taring atas yang tumbuh ke atas menembus pipi dan melengkung ke belakang ke arah mata. Menurut Mardiastuti dan Soehartono (2003), barirusa Sulawesi ini berada dalam status perlindungan berdasarkan PP No 7 tahun 1999 dan sudah terdaftar dalam CITES untuk kategori Appendix 1 yaitu jenis yang jumlahnya di alam sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Jenis lain yang tidak kalah menariknya dari daya tarik fauna di salt-lick adalah keberdaan monyet hitam khas Gorontalo atau yang lebih dikenal dengan yaki (Macaca heckii). Menurut Kinnaird (1997), dibandingkan dengan tempat manapun di seluruh dunia Sulawesi mempunyai paling banyak jenis monyet makaka. Tujuh jenis monyet dan tiga jenis tangkasi, yang hanya terdapat di Sulawesi. Selain keberadaan jenis-jenis satwa liar tersebut, kawasan SM Nantu juga memiliki beberapa jenis burung endemik Sulawesi. Pengamatan yang dilakukan Dunggio (2005) pada tipe vegetasi hutan dataran rendah menemukan 49 jenis burung yang bisa diamati dan 24 jenis atau 49% adalah endemik Sulawesi. Kekayaan jenis burung Sulawesi merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Dari 24 jenis burung endemik, 12 jenis diantaranya telah dilindungi undang-undang yang tercantum dalam PP No 7 tahun 1999. Bahkan terdapat 3 jenis burung yang
101
terancam punah keberadaannya, seperti serindit paruh merah (Loriculus exilis), raja udang merah (Ceyx fallax) dan kepudang sungu belang (Coracina bicolor). Salah satu jenis burung yang paling menonjol dan sangat mudah dijumpai di semua tingkatan habitat di kawasan ini adalah burung rangkong atau alo (Rhyticeros cassidix). Rangkong termasuk jenis burung yang mempunyai variasi bunyi bermacam-macam dan terdengar dari jarak 300 meter. Tingginya keanekaragaman jenis burung di kawasan ini disebabkan oleh tingginya keanekaragaman habitat karena habitat merupakan tempat untuk mencari makan, minum, istirahat dan berkembang biak. Selain itu ditunjang oleh adanya sumber makanan berupa buah-buahan yang tersedia sepanjang tahun seperti buah ara yang merupakan sumber makanan utama bagi jenis burung. Keutuhan sumberdaya alam dan ekosistem kawasan CTNNB merupakan satu kesatuan yang menjadikan kawasan ini memiliki nilai daya tarik yang tinggi. Potensi keanekaragaman hayati ini didukung oleh keadaan ekosistem yang stabil. Sungai Nantu yang mengalir di sepanjang kawasan SM Nantu berfungsi sangat vital karena merupakan sarana transportasi yang menghubungkan antar desa yang ada di sekitar kawasan. Air sungai Nantu juga sering digunakan untuk keperluan air minum, mencuci dan pengairan lahan-lahan pertanian. Potensi fisik yang dimiliki oleh sungai ini adalah adanya view atau pemandangan hutan pegunungan dan puncak Gunung Boliyohuto yang merupakan gunung tertinggi di Provinsi Gorontalo yang bisa dinikmati selama perjalanan menuju kawasan SM Nantu. Di samping pemandangan berupa hutan pegunungan bawah, kita juga akan disuguhkan dengan alam pedesaan yang terdapat di sepanjang sungai Nantu. Potensi daya tarik wisata kawasan ini memungkinkan pengelola untuk merancang dan mengembangkan kegiatan-kegiatan wisata alam seperti : agrowisata, photo hunting, mendaki dan berkemah, menyusuri hutan (tracking), wisata pendidikan, pengamatan burung (birdwatching), pengamatan satwa liar, wisata panorama alam, wisata sungai, bersampan, dan arung jeram, pemandian di air terjun, dan wisata budaya. 5.2.2. Aksesibilitas Perjalanan dari Jakarta menuju Gorontalo dapat ditempuh menggunakan pesawat udara dengan waktu terbang sekitar 4 jam, atau menggunakan kapal laut
102
dengan 3 hari perjalanan. Perjalanan dari ibukota provinsi ke desa yang berbatasan dengan kawasan SM Nantu (pintu Desa Mohiyolo atau Desa Pangahu) dapat ditempuh dalam waktu 2-3 jam dengan menggunakan kendaraan umum (angkutan kota), dengan kondisi jalannya beraspal baik, kecuali setelah masuk ke desa-desa yang berbatasan dengan kawasan, yang kondisi jalannya merupakan jalan pengerasan. Jika perjalanan langsung dilanjutkan dari Bandar Udara Jalaludin Gorontalo, perjalanan dapat ditempuh sekitar 1 jam. Dari jalur selatan dan jalur barat perjalanan relatif mudah dan lancar. Dari Desa Pangahu yang berbatasan langsung dengan kawasan CTNNB dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama sekitar 20 menit. Dari Desa Mohiyolo perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan 2 jalur, yaitu : dengan menggunakan perahu tempel menyusuri DAS Paguyaman - Sub DAS Nantu ± 3 jam hingga sampai pada pintu masuk kawasan SM Nantu, serta dengan berjalan kaki selama ± 1 jam jika masuk melalui Dusun Daenaa, ± 2 jam jika masuk melalui Desa Sidoharjo hingga masuk ke kawasan HPT Boliyohuto dan HL Boliyohuto. Kawasan CTNNB bagian utara hampir semuanya berbatasan dengan gunung dan hutan, sehingga jalan masuk dari wilayah bagian ini agak sulit. Dari Desa Potanga dan Desa Kasia, perjalanan dapat dilakukan dengan berjalan kaki selama ± 2-4 jam dengan medan yang mendaki. Hasil penilaian aksesibilitas ke kawasan CTN Nantu-Boliyohuto dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5.5. Penilaian Aksesibilitas CTN Nantu-Boliyohuto No
Sub Unsur yang Dinilai
Nilai
Kondisi Jalan Darat, Laut, Sungai, Danau, dari Pusat, Penyebaran Wisata 1 2 3 4
Kondisi & jarak jalan darat : 76 – 150 Km Kondisi & jarak jalan Sungai: < 75 Akses dari pintu gerbang terminal / bandara / pelabuhan / stasiun : 2-4 jam Frekuensi kenderaan umum dari pusat penyebaran (buah/hari): Cukup / 17 - 24 Jumlah tempat duduk transportasi umum menuju penyeberangan wisata terdekat / minggu, atau setiap 200 : <2000
40 80 40 25 10
Nilai dasar = Jumlah nilai
195
Nilai Bobot = Nilai Dasar X Bobot
975
103
Frekuensi kendaraan umum ke Desa Mohiyolo umumnya relatif lancar, terutama pada hari-hari pasar, meskipun waktu operasionalnya hanya dari pagi sampai sore, baik itu angkutan darat maupun angkutan sungai. Untuk mengantisipasi keterlambatan perjalanan, sebagaimana biasanya kendaraan umum yang menunggu hingga penumpang penuh baru jalan, para wisatawan dianjurkan untuk menggunakan mobil pribadi atau mobil sewaan supaya perjalanan lancar. 5.2.3. Fasilitas Wisata Hasil penilaian unsur fasilitas wisata pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto disajikan pada Tabel 5.6. Fasilitas wisata yang berada di desa-desa sekitar kawasan masih sangat minim. Penginapan atau hotel di sekitar kawasan sampai radius 20 km belum ada. Keberadaan hotel sampai penginapan (kelas melati) dapat ditemukan di kota kabupaten atau kota provinsi.Untuk keperluan tempat tinggal, pengunjung dapat menginap di rumah penduduk. Sedangkan di dalam kawasan CTTNB bagian SM Nantu terdapat dua pondok yang berada pada daerah pintu masuk kawasan, yaitu pondok penelitian dan pos jaga, yang berupa rumah kayu semi permanen yang dilengkapi bilik mandi, WC dan dapur, sumur yang terletak di belakang pondok untuk keperluan air bersih, serta dilengkapi dengan generator untuk penerangan di malam hari. Bagi pengunjung yang ingin bermalam di dalam kawasan hutan dapat menggunakan pondok tersebut bersamasama dengan petugas dan tidak dikenakan biaya. Untuk ketersediaan sumber air bersih pada desa-desa sekitar kawasan, khususnya pada desa-desa yang menjadi lokasi penelitian juga mengandalkan sumber air tanah (sumur) dan aliran sungai di DAS Paguyaman serta Sub DAS Nantu. Fasilitas penerangan Iistrik melalui jaringan PLN saat ini telah menjangkau sampai ke daerah kecamatan dan beberapa desa, namun penerangan untuk desadesa yang menjadi lokasi penelitian belum semuanya terjangkau oleh penerangan listrik, hanya Desa Mohiyolo yang saat ini telah memperoleh penerangan listrik dan selebihnya (Desa Pangahu dan Desa Saritani) belum terjangkau jaringan PLN. Sedangkan penerangan listrik dalam kawasan CTNNB saat ini baru dapat dinikmati dengan menggunakan generator, yang dinyalakan dua kali sehari yakni pada pagi dan malam hari. Penerangan pada pagi hari dilakukan pada pukul 07.00 pagi untuk melakukan komunikasi dengan pihak BKSDA Manado dan Yayasan
104
Adudu Nantu Internasional (YANI), sedangkan pada malam hari berlangsung sampai pukul 22.00 dan setelah itu penerangan dilakukan menggunakan lampu minyak. Fasilitas dan pelayanan kesehatan sampai saat ini belum tersedia. Fasilitas terdekat hanya berada di Desa Mohiyolo. Fasilitas atau sarana kesehatan yang terdapat di Desa Mohiyolo adalah sebuah puskesmas pembantu dengan tenaga medis berjumlah 2 orang. Sedangkan pada desa lainnya (Desa Pangahu dan Saritani) belum terdapat adanya sarana maupun fasilitas kesehatan lainnya. Bagi penduduk maupun wisatawan yang memerlukan perawatan (sakit) harus ke Desa Mohiyolo atau ke ibukota kecamatan/kabupaten. Fasilitas dan pelayanan perbelanjaan (makanan dan minuman) belum tersedia di dalam kawasan. Saat ini keberadaan kios (warung) terdekat dengan pintu masuk kawasan terletak di Desa Saritani. Sedangkan pasar yang menjadi pusat perbelanjaan masyarakat di ketiga desa yang menjadi lokasi penelitian terletak di Desa Mohiyolo. Masyarakat di kedua desa lainnya memasarkan hasilhasil pertanian di pasar Desa Mohiyolo, karena merupakan satu-satunya pasar terdekat. Selain pasar tersebut, juga terdapat pasar di desa lain yang waktu hari pasarnya berbeda, dan biasanya hari pasar tersebut berlangsung sekali seminggu untuk setiap desa. Fasilitas pelayanan pos dan telekomunikasi (telepon) belum tersedia di sekitar kawasan. Khusus untuk fasilitas komunikasi antara petugas lapangan dengan pihak BKSDA Manado dan YANI dilakukan melalui radio panggil. Fasilitas pelayanan pos masih berpusat di ibukota kabupaten, sedangkan pada ibukota kecamatan masih berupa pos pembantu atau pos keliling, dan untuk sarana telekomunikasi, telepon rumah maupun sambungan telepon seluler sudah dapat terjangkau sampai saat ini. Pelayanan informasi (pusat informasi) di dalam kawasan sampai saat ini belum ada. Informasi mengenai kondisi lokasi dan daya tarik yang dimiliki dapat diperoleh dari para petugas yang berjaga saat berkunjung. Sedangkan informasi secara umum dapat diperoleh pada piilak pengelola yaitu BKSDA Manado dan YANI selaku pengelola saat ini.
105
Pelayanan keamanan wisatawan dapat dikatakan terjamin, karena pihak YANI selaku mitra kerja BKSDA Manado yang menjadi pengelola kawasan mempekerjakan 4 orang Brimob yang bertugas sebagai patroli keamanan kawasan. Pergantian petugas keamanan ini dilakukan sekali sebulan. Tabel 5.6. Penilaian Fasilitas Wisata di CTN Nantu-Boliyohuto No
Sub Unsur yang Dinilai
Nilai
1.
Fasilitas wisata : Akomodasi, Rumah makan / restoran / kafe
20
2.
Fasilitas pendukung: balai kesehatan, pos polisi,
20
3.
Fasilitas khusus: tidak ada
10
4.
Prasarana pariwisata : Jalan raya, Jaringan telepon, Jaringan listrik, Ketersediaan air bersih
40
Nilai Dasar = Jumlah Nilai
90
Nilai Bobot (Nilai Dasar X Bobot)
450
5.2.4. Masyarakat dan Lingkungan Modernisasi dan dinamika pembangunan di daerah terus berlangsung, namun peran hutan belum tergantikan bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga masyarakat sekitar hutan. Sebagian besar sumber penghasilan keluarga berasal dari hutan, baik untuk konsumsi maupun sebagai sumber penghasil uang tunai. Di luar Jawa, kebanyakan masyarakat pedesaan tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan negara. Sekitar 48,8 juta orang tinggal pada lahan hutan negara dan sekitar 10,2 juta di antaranya dianggap miskin. Selain itu ada 20 juta orang yang tinggal di desa-desa dekat hutan dan enam juta orang di antaranya memperoleh sebagian besar penghidupannya dari hutan (Wollenberg dkk, 2004). Salah satu karakteristik ekowisata adalah menempatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama dalam penyelenggaraan ekowisata tersebut. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat lokal sebagai bagian dari upaya menyadarkan, memampukan, memartabatkan dan memandirikan rakyat menuju peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup, dengan bertumpu pada kegiatan usaha masyarakat itu sendiri, dan peningkatan keahlian profesi. Masyarakat
yang
mendiami
sekitar
kawasan
CTNNB
rata-rata
berpendidikan rendah. Umumnya mereka pernah bersekolah sampai tingkat SD,
106
tetapi banyak yang berhenti dan bekerja sebagai pemungut rotan, pencari kayu, dan/atau sebagai pendulang emas di dalam kawasan. Dilihat dari mata pencahariannya, umumnya masyarakat sekitar kawasan memiliki pekerjaan pokok sebagai petani dan/atau buruh tani. Jenis pekerjaan di sektor pertanian sebagian besar adalah berladang/sawah, baik di luar kawasan maupun di dalam kawasan CTNNB. Selanjutnya berturut-turut bekerja sebagai peternak, pedagang (swasta), dan lainnya. Jenis pekerjaan lainnya meliputi pemungut rotan, pengambil kayu, dan berburu di dalam kawasan CTNNB, nelayan, supir, tukang perahu, tukang ojek, dan lainnya. Namun sebenarnya, masyarakat masih bergantung hidupnya dari hasil kawasan. Dari hasil wawancara tidak tertulis dengan responden, umumnya masyarakat yang mempunyai lahan pertanian mengakui bahwa bertani merupakan pekerjaan sampingan dari pekerjaan utamanya sebagian pemungut hasil hutan. Mereka turun ke sawah/ladang hanya pada saat menyiapkan lahan sampai menanam bibit, kemudian kembali lagi pada saat panen. Waktu diantara musim tanam dan musim panen digunakan untuk memungut hasil hutan, terutama rotan. Sedangkan yang tidak bekerja umumnya terdiri dari anak-anak, orang lanjut usia, dan wanita. Yang cukup meresahkan adalah lapisan masyarakat berusia produktif namun tidak bekerja. Mereka menjadikan kawasan CTNNB sebagai lapangan kerja alternatif. Hal ini merupakan ancaman bagi kelestarian kawasan jika keadaan ini tidak diakomodir oleh pengelola kawasan. Golongan yang tidak bekerja ini justru merupakan potensi tenaga kerja untuk menciptakan lapangan kerja pada kegiatan ekowisata. Bagi masyarakat yang berpendidikan rendah diperlukan usaha dan kegiatan yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dasar agar proses pemberdayaan dan pelibatan masyarakat sebagai aktor pengelolaan ekowisata dapat terwujud. Kegiatan tersebut dapat berupa pelatihan dan kursus yang berkaitan dengan profesi dan potensi sumberdaya lokal, serta pendampingan dan pembimbingan oleh fasilitator. Sedangkan masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi dapat dibina dan dilatih dengan pengetahuan teknis sehingga mereka bisa menjadi motivator, fasilitator, dan pelaku utama dalam pengelolaan ekowisata. Peningkatan kualitas masyarakat telah dimulai beberapa tahun lalu. Pengelola Yayasan Adudu Nantu Internasional (YANI) yaitu yayasan yang
107
dibiayai oleh Darwin Initiative (UK Government, Department of Environment) yang
menjadi
mitra
pemerintah
dalam
mengelola
kawasan
CTNNB,
melaksanakan program beasiswa bagi anak-anak untuk bersekolah ke ibukota Provinsi Gorontalo. Mereka juga telah memfasilitasi program Bahasa Inggris dan pendidikan lingkungan bagi anak-anak SD di Desa Pangahu, desa yang pemukiman penduduknya langsung berbatasan dengan kawasan CTNNB. Yayasan ini juga membantu infrastruktur sekolah dengan menyediakan meja dan bangku, membuat perpustakaan buku-buku ekologi. Namun hingga saat ini kegiatan-kegiatan tersebut tidak ada kelanjutannya lagi. Diketahui
bahwa
masyarakat
merupakan
unsur
penting
dalam
pengembangan konsep ekowisata, dimana pengelolaan kegiatan wisata yang mendukung keterlibatan penuh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh. Ekowisata menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Ekowisata mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola, yang dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan, dan lain-lain. Keberhasilan penerapan konsep ekowisata harus sejalan dengan kesejahteraan masyarakat dimana konsep ekowisata tersebut dilakukan. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata. Dengan adanya penerapan ekowisata yang berbasis pada masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata itu sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan
108
organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing-masing. Persepsi masyarakat tentang konsep ekowisata masih sangat kurang. Istilah ekowisata adalah istilah yang baru bagi mereka. Mereka belum memahami istilah ekowisata, bahkan masyarakat yang tinggal di desa Potanga dan Desa Sidoharjo masih asing dengan istilah wisata, meskipun kemudian mereka paham ketika makna istilah wisata dijelaskan. Ketika konsep ekowisata dijelaskan beserta manfaat, kriteria, dan prinsip-prinsipnya, hampir semua mendukung rencana pengembangan ekowisata di kawasan CTNNB. Hal ini disebabkan karena selama ini mereka dilarang masuk ke dalam kawasan (bagian SM Nantu), sehingga mereka berharap bahwa ekowisata benar-benar akan memberikan mereka insentif ekonomi. Selain itu dengan adanya kegiatan ekowisata, mereka berharap aksesibilitas menuju kawasan akan mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait menjadi lebih baik, sehingga merekapun dapat segera memasarkan hasilhasil pertanian, peternakan, dan home industri mereka. Selain itu, mereka juga dapat melakukan usaha yang lain guna mendukung wisata alam tersebut, misalnya dengan membuka usaha penginapan, jasa pemandu wisata dan lainnya. Dengan adanya pemasaran hasil pertanian yang cepat dan usaha lain tersebut, maka taraf hidup mereka
juga
diharapkan
dapat
ikut
meningkat
sehingga
dapat
menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hasil penilaian unsur lingkungan dan masyarakat pada Kawasan CTN Nantu-Boliyohuto dapat dilihat pada Tabel 5.7. Tabel 5.7. Penilaian Lingkungan dan Masyarakat CTN Nantu-Boliyohuto No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sub Unsur yang Dinilai Tata guna tanah / Perencanaan Status kepemilikan tanah Kepadatan penduduk Sikap masyarakat terhadap pariwisata Tingkat pengangguran Mata pencaharian penduduk Tingkat pendidikan masyarakat Media yang masuk Dampak sumber daya biologi Sumber daya alam fisik Nilai Dasar = Jumlah Nilai Nilai Bobot (Nilai Dasar X Bobot)
Parameter
Nilai
Rencana mendukung 50% tanah negara 71-100
20 20 20
Mendukung
30
30% 50% buruh tani & pengrajin 50% lulus SD TV, radio, media cetak, internet Sangat subur Ada bahan bangunan & mineral 160 800
20 20 10 10 5 5
109
5.2.5. Potensi Pasar Industri pariwisata kini merupakan industri penting sebagai penyumbang Gross Domestic Product (GDP) suatu negara, dan bagi daerah sebagai penyokong dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Industri ini mampu memberikan 10% dari PAD.
Hal
inilah
yang
menyebabkan
daerah
berlomba-lomba
untuk
memperkenalkan potensi pariwisata yang dimilikinya sehingga dapat menarik kunjungan wisata, baik lokal maupun mancanegara. Industri pariwisata adalah industri yang diperkirakan akan terus berkembang, dan nuansa alam dalam industri ini akan semakin jauh meningkat. Menurut UNWTO, pertumbuhan kunjungan wisatawan internasional diprediksi akan mencapai 1,6 miliar wisatawan pada tahun 2020. Sedangkan peningkatan kunjungan dan perjalanan wisatawan mancanegara ke Indonesia ditargetkan mencapai 8.600.000 orang pada tahun 2014, dan peningkatan kunjungan dan perjalanan wisatawan nusantara mencapai 276 juta orang pada tahun 2014. Pertumbuhan ini memberikan peluang cerahnya industri pariwisata sekaligus ketatnya persaingan pemasaran pariwisata oleh banyak negara di dunia (KemBudPar, 2010). Ekowisata telah berkembang sebagai salah satu industri pariwisata yang potensial untuk meningkatkan penerimaan devisa negara, terutama pada dasawarsa terakhir ini. Hampir 10% jumlah pekerja di dunia, bekerja di sektor pariwisata dan tidak kurang dari 11% Gross Domestic Product (GDP) seluruh dunia berasal dari sektor ini. Di Indonesia, ekowisata telah menyumbangkan devisa sebesar Rp. 80 triliun pada tahun 2008 dengan jumlah wisatawan mancanegara sebanyak 6,5 juta orang. Penerimaan tersebut meningkat 33% dari tahun 2007 (Rp.60 triliun), dimana jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke indonesia sebesar 5 juta orang. Berdasarkan laporanWorld Travel Tourism Council (WTTC) tahun 2000, pertumbuhan rata-rata ekowisata sebesar 10% per tahun. Angka tersebut lebih tinggi dibanding pertumbuhan rata-rata per tahun untuk
pariwisata
pada
umumnya
yaitu
sebesar
4,6%
per
tahun.
(http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5887). Provinsi Gorontalo adalah salah satu dari 33 provinsi di wilayah Republik Indonesia yang yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi daerah tujuan
110
wisata. Terletak memanjang dari timur ke Barat di bagian Utara Pulau Sulawesi, provinsi ini juga merupakan daerah strategis bila dipandang secara ekonomis, karena berada pada poros tengah wilayah pertumbuhan ekonomi, yaitu antara 2 (dua) Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) Batui Provinsi Sulawesi Tengah dan Manado – Bitung Provinsi Sulawesi Utara. Letaknya yang strategis ini dapat dijadikan sebagai transit seluruh komoditi dari dan menuju kedua KAPET tadi, selain itu juga dapat meningkatkan kunjungan pariwisata. Gorontalo memiliki banyak aset-aset pariwisata yang sangat potensial untuk dikembangkan yang nantinya akan berdampak positif terhadap aktivitas ekonomi daerah. Pengembangan aset-aset pariwisata secara optimal diharapkan akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah harus mampu mengembangkan pariwisata secara holistik termasuk menyiapkan sarana dan prasarana yang nantinya akan memiliki nilai strategis terhadap perkembangan pariwisata di Gorontalo, yaitu: 1.
Pembangungan
infrastruktur,
seperti
perkembangan
jalan
raya
(aksesibilitas), perbaikan fasilitas sanitasi dan peningkatan akses penduduk terhadap fasilitas lainnya dari kedatangan turis domestik maupun mancanegara.
Kedatangan
meraka
diharapkan
akan
memberikan
kesejahteraan pada penduduk daerah destinasi. 2.
Kemajuan teknologi, seperti perkembangan infrastruktur dan teknologi modern yang ditunjukkan dengan meluasnya penggunaan internet, mobile telephone dan ekspor-ekspor produk berteknologi tinggi. Faktor ini memberi implikasi bahwa kedatangan turis akan meningkatkan penggunaan produkproduk berteknologi tinggi di daerah destinasi. Diasumsikan bahwa turisturis terutama dari mancanegara akan membawa perubahan teknologi kepada daerah destinasi.
3.
Keterbukaan
destinasi
termasuk
pola
pikir
masyarakat
terhadap
perdagangan internasional dan turis internasional. Hal ini memberikan implikasi bahwa dengan kedatangan turis mancanegara atau internasional menyebabkan terjadinya perdagangan antara kedua negara yaitu negara asal turis dan negara destinasi tujuan wisata. Perlu disadari bahwa tujuan kedatangan turis ke suatu daerah destinasi adalah berlibur, melakukan
111
perdagangan dan tujuan lainnya seperti seminar, pendidikan dan kesehatan. Dengan beragamnya turis dari berbagai negara yang datang ke daerah destinasi menyebabkan perdagangan terutama produk-produk lokal dapat dipasarkan di pasar internasional. 5.3. Zonasi CTN Nantu-Boliyohuto Dalam Permenhut No. 56/Menhut-II/2006 disebutkan bahwa Zonasi Taman Nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Sebagai konsekuensi dari fungsi dan peruntukan kawasan taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam, maka pusat perhatian penilaian ini terlebih dahulu difokuskan pada penilaian ekologis. Keistimewaan ekologis menjadi faktor terpenting dalam proses zonasi yang biasanya dilakukan dengan pendekatan jenis, keanekaragaman, dan keterwakilan (DepHut, 2010). Pada pendekatan jenis, unsur-unsur pertimbangannya adalah endemisitas, kelangkaan, status konservasi suatu jenis, fungsinya dalam ekosistem, dan simbolisme atau jenis flagship. Sementara pada pendekatan keanekaragaman atau komunitas unsur-unsur yang dipertimbangkan adalah kekayaan jenis, keterancaman komunitas dan fragmentasi habitat. Kemudian pada pendekatan keterwakilan unsur yang dipertimbangkannya adalah tipe vegetasi dan hidrologi. Proses zonasi juga mempertimbangkan faktor ketinggian dan kemiringan. Analisa zonasi pada CTN Nantu-Boliyohuto didasarkan pada hasil analisis sensitivitas ekologi dan pertimbangan ekowisata. 5.3.1. Analisis Sensitivitas ekologi Sensitivitas ekologi dimaknai sebagai wilayah habitat yang sesuai untuk satu jenis atau banyak jenis satwa dan atau jenis tumbuhan. Dalam kajian ini sensitivitas ekologi dipengaruhi oleh faktor-faktor biofisik, antara lain jenis ketinggian tempat, kelerengan, tutupan lahan, dan sensitivitas satwa. Faktor-faktor tersebut secara rinci sebagai berikut: Analisis Ketinggian Tempat Kawasan CTNNB merupakan wilayah dataran rendah hingga pegunungan dengan variasi nilai ketinggian antara 124 – 2065 m dpl. Nilai paling tinggi
112
terletak di Pegunungan Boliyohuto. Sepanjang kawasan bagian utara dari arah barat hingga ke timur merupakan daerah pegunungan ketinggian yang berkisar antara 1200 – 2065 mdpl, yang terdiri dari G. Boluo (1357 mdpl), G. Manatimu (1367 mdpl), G. Ponasana (1317 mdpl), G. Olibiahi (1204 mdpl), G. Sumalata (1403 mdpl), G. Botutombaha (1363 mdpl), G. Pomonto (1510 mdpl), G. Tombulato (1421 mdpl), G. Polalodupoto (1552 mdpl), G. Abapi (1371), G. Lamu (1530), G. Boliyohuto (2065 mdpl), G. Dulukapa (1746 mdpl), dan G. Tohulite (1416 mdpl). Ketinggian tempat diklasifikasikan menjadi 3 kelas, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 5.8. Daerah ketinggian <700 m dpal seluas 34.898,65 Ha mendominasi kawasan ini. Tersebar pada wilayah bagian tengah hingga bagian selatan, sepanjang kawasan dari bagian barat hingga bagian timur. Daerah ketinggian antara 700–1400 m dpal seluas 26,282.23 Ha tersebar pada kawasan bagian tengah ke bagian utara sepanjang kawasan dari bagian barat hingga bagian timur. Kawasan CTNNB bagian HL Boliyohuto sebagian besar berada pada ketinggian kelas ini. Sedangkan wilayah ketinggian >1400 m dpal tersebar pada kawasan CTNNB bagian HL Boliyohuto dengan luasa 2.315,21 Ha. Peta sebaran ketinggian tempat disajikan pada Gambar 5.10. Tabel 5.8. Kelas Ketinggian CTN Nantu-Boliyohuto Kelas Ketinggian (mdpl)
Luas (Ha)
< 700 700 – 1400 >1400
34.898,65 26.282,23 2.315,21
Gambar 5.10. Peta Kelas Ketinggian di CTNNB
113
114
Analisis Kelerengan CTN Nantu-Boliyohuto mempunyai kelerengan bervariasi dari datar/landai sampai dengan sangat curam (Tabel 5.9). Daerah datar/landai–miring (<15%) mempunyai luasan 20.660,39 Ha, tersebar di seluruh bagian kawasan CTNNB. Kawasan CTNNB bagain HPT Boliyohuto umumnya berada pada kategori ini. Daerah miring-curam (15%-26%) mempunyai luasan terbesar yaitu 23.446,89 Ha, tersebar di seluruh bagian kawasan CTNNB. Daerah curam – sangat curam (>25%) mempunyai luasan 19.388,11 Ha, tersebar di seluruh bagian kawasan CTNNB. Kawasan bagian HL Boliyohuto umumnya merupakan daerah dengan kelerengan kategori ini. Gambaran kondisi penyebaran kelerengan di CTNNB dapat dilihat pada Gambar 5.11. Tabel 5.9. Klasifikasi Kemiringan lereng di CTNNB Klasifikasi Landai-Miring Miring-Curam Curam-Sangat Curam
Kemiringan Lereng <15 % 15% – 25% >25%
Luas (Ha) 20.660,39 23.446,89 19.388,11
Gambar 5.11. Peta Kelas Lereng di CTNNB
115
116
Analisis Tutupan Lahan Kategori tutupan lahan pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto ditampilkan pada Tabel 5.10. dan petanya pada Gambar 5.12. Hutan primer dengan luasan 40.181,87 mendominasi tutupan lahan di CTNNB, tersebar pada kawasan bagian tengah ke utara, dari barat sampai ke timur. Pada umumnya hutan primer berisi pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan batang-batang pohon mati yang masih tegak, tunggal, serta kayu-kayu rebah. Robohnya kayukayu tersebut biasa membentuk celah atau rumpang tegakan, yang memungkinkan masuknya cahaya matahari ke lantai hutan, dan merangsang pertumbuhan vegetasi lapisan bawah. Hutan ini ditandai dengan adanya pohon-pohon berakar tunjang besar dan tajuk datar yang mencapai ketinggian 45 m. Hutan ini sangat lebat dengan pepohonan paling beragam diantara semua habitat. Ada banyak pandan, palem dan rotan serta perambat lainnya. Spesies palma yang paling umum dijumpai adalah Arenga sp, Caryota mitis, Livistonia rotundifolia. Spesies pohon meliputi Cananga odorata, Palaquium spp, Ficus spp, Eugenia, dan Pterospermum. Hutan primer seringkali merupakan rumah bagi spesies-spesies tumbuhan dan hewan yang langka, rentan atau terancam kepunahan, yang menjadikan hutan ini penting secara ekologi. Kawasan CTNNB bagian SM Nantu dan HL Boliyohuto sebagian besar merupakan hutan primer. Hutan sekunder mempunyai luasan 19.654,04 Ha muncul setelah dibukanya hutan alam untuk kegiatan peternakan dan pertanian. Kawasan CTNNB bagian HPT Boliyohuto sebagian besar merupakan hutan sekunder. Jenis pohon di tipe habitat ini lebih kecil, tajuknya lebih kecil dan terbuka, tumbuhan bawahnya lebih banyak, tumbuhan epifit lebih banyak dan keanekaragaman pohonnya berkurang. Disamping hutan primer dan hutan sekunder, tutupan lahan di CTNNB terdiri dari perkebunan seluas 378,96 Ha, pertanian lahan kering seluas 668,38 Ha, semak dan belukar seluas 2.536,83 Ha, dan badan air seluas 76,02 Ha. Tabel 5.10. Klasifikasi Penutupan Lahan di CTN Nantu-Boliyohuto Klasifikasi Hutan Primer Hutan Sekunder Perkebunan Pertanian Lahan Kering Semak & Belukar Badan Air
Luas (Ha) 40.181,87 19.654,04 378,96 668,38 2.536,83 76,02
Gambar 5.12 Peta Penutupan Lahan di CTNNB
117
118
Analisis Sensitivitas Satwa dan Tumbuhan Kawasan CTN Nantu-Boliyohuto memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, dengan tumbuhan sebanyak 204 jenis, 49 jenis burung (24 jenis diantaranya merupakan endemik Sulawesi), dan mamalia yang mendiami hampir seluruh tipe habitat kawasan hutan hujan tropis CTNNB. Penelitian Dunggio (2005) pada kawasan SM Nantu menghasilkan peta penyebaran satwa dan tumbuhan endemik dan dilindungi, yang dilakukan dengan pendekatan tipe habitat sebagai tempat hidup dan berkembangbiak, serta daerah jelajahnya. Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies atau komunitas hidup, sedangkan daerah jelajah (home range) adalah luas areal yang digunakan suatu kelompok satwa dari suatu spesies dalam melakukan aktivitasnya pada kurun waktu tertentu (Rowe, 1996). Daerah jelajah terbentuk berdasarkan jelajah harian suatu kelompok yang merupakan rata-rata jarak tempuh suatu kelompok dalam melakukan aktivitas hariannya. Sesuai dengan tujuan penunjukan saat ini, SM Nantu yang merupakan bagian CTNNB, merupakan kawasan perlindungan satwa endemik antara lain babirusa dan anoa, sehingga dalam kajian ini parameter sensivitas satwa dihasilkan dari analisa daerah jelajah babirusa dan anoa. Daerah jelajah babirusa dan anoa dianalisa berdasarkan penampakan, jejak, korotan, spot pakan, dan kubangan. Penelitian Clayton (1996) tentang habitat dan perilaku babirusa di SM Nantu seluas 32.000 ha, memperkirakan terdapat 500 ekor babirusa, namun jumlah ini terus menurun karena tingginya tingkat kerusakan hutan dan perburuan.
Habitat babirusa berupa hutan hujan dataran rendah, menyukai
kawasan hutan dimana terdapat aliran sungai, sumber air, rawa, dan cerukancerukan air yang memungkinkannya mendapatkan air minum dan berkubang. Satwa ini mengunjungi tempat-tempat air dan tempat mengasin (salt-lick) secara teratur
untuk
mendapatkan
garam-garam
mineral
untuk
membantu
pencernaannya. Sebagai herbivora babirusa menyukai makanan berupa dedaunan dari jenis pohon kayu kuning, gondal dan daun meranti yang jatuh. Selain itu babirusa juga menyukai jenis umbi-umbian seperti kilo, tunas globa dan rebung, juga jamur dan buah-buahan seperti mangga. Kadangkala babirusa terlihat suka
119
mengais pohon-pohon tumbang yang telah membusuk, kemungkinan untuk mendapatkan sumber protein hewani berupa ulat atau cacing. Makanan utama babirusa adalah berbagai jenis buah, namun satwa ini juga mengkonsumsi buah, daun, rumput, dan bahan-bahan dari satwa (diantaranya daging, ikan, burung dan serangga) dalam jumlah yang kecil. Wilayah jelajah babirusa menggunakan minimum convex polygon berkisar 0,8-12,8 km2 (Clayton 1996). Secara umum, karakteristik habitat anoa yaitu hutan rapat yang terdiri dari beberapa strata tajuk, kombinasi dari pohon tinggi, perdu, semak belukar, tegakan bambu. Komposisi jenis tumbuhan yang ada merupakan jenis-jenis yang dapat dimakan oleh anoa baik daun, pucuk, terubusan, bungan bahkan buahnya. Pada habitat itu, terdapat sumber air baik berupa air yang mengalir seperti sungai, danau dan rawa atau berupa cerukan-cerukan air. Secara umum anoa dataran rendah ditemukan mulai dari hutan pantai sampai hutan pada ketinggian sekitar 1000 m dpl, dengan kisaran suhu udara harian 22-27 0C, Anoa dataran rendah menyukai hutan di sepanjang aliran sungai yang disebut hutan riparian. Anoa membutuhkan air setiap hari baik untuk minum maupun untuk berendam ketika terik matahari menyengat. Karena itu aktivitas anoa tidak jauh dari sumber sumber air berupa sungai, mata air, rawa dan danau, terlebih dalam musim kemarau dimana persediaan air di dalam hutan terbatas. Meskipun anoa dapat dijumpai pada radial yang agak jauh dari sumber air namun anoa akan selalu mempertimbangkan bahwa wilayah jelajah hariannya tetap ada air. Anoa membutuhkan
air
setiap
hari,
baik
berkubang.Demikian pula hutan bambu
untuk sangat
minum disukai
maupun anoa
untuk
(Mustari,
http://www.scribd.com/doc/22143969/Kharakteristik-Habitat-Anoa) Selain melalui perjumpaan langsung, kehadiran anoa dalam Kawasan CTNNB dapat diketahui dari jejak yang ditinggalkannya baik berupa jejak kaki maupun kotorannya serta tempat anoa berkubang dan berendam (Gambar 5.13.). Pada beberapa batang pohon, sering terdapat lumpur gesekan badan anoa setelah berkubang. Selain itu anoa memiliki kebiasaan mengasah tanduknya dengan cara menggosokkannya pada batang pohon tertentu. Bekas renggutan makan anoa pada tumbuhan bawah juga dapat menjadi petunjuk keberadaannya. Jejak anoa juga dapat berupa tulang belulang yang ditinggalkan oleh anoa yang mati secara alami
120
pun menjadi bukti bahwa ada anoa di kawasan ini. Akan tetapi dari sekian banyak tanda atau jejak yang ditinggalkan satwa ini, jejak kaki dan kotoranlah yang paling mudah dikenali. Kotoran anoa serupa dengan kotoran sapi atau kerbau yaitu berupa compokan, menyatu, berbeda dengan kotoran rusa atau kambing yang berupa butiran. Jejak kaki dan kotoran banyak ditemukan di sekitar sumber air (sungai). Secara teratur anoa mengunjungi tempat berkubang salt-lick untuk untuk mendapatkan garam mineral yang sangat diperlukan dalam proses metabolisme pencernaan makanannya.
Gambar 5.13. Jejak kaki dan kotoran Babirusa dan Anoa Berdasarkan pola tipe habitat dan daerah jelajah satwa endemik babirusa dan anoa, maka habitat salt-lick Adudu merupakan habitat terbaik bagi jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang berada dalam Kawasan CTNNB. Pada lokasi ini sangat mudah ditemukan berbagai jenis satwa dan tumbuhan (Tabel 5.3). Selain itu hutan dataran rendah, hutan pegunungan bawah dan sungai juga merupakan habitat terbaik satwa dan tumbuhan. Pada tipe hutan dataran rendah kondisi vegetasinya sangat rapat sehingga sangat ideal bagi berbagai jenis fauna untuk melakukan aktifitas mulai dari makan, bermain dan berisitirahat. Habitat lain yang tak kalah penting adalah sungai yang merupakan sumber makanan dan minuman bagi berbagai macam jenis satwa. Berbagai macam jenis burung seperti raja udang (Ceyfallax) yang merupakan jenis yang sangat dilindungi dapat ditemukan di sekitar sungai Nantu.
121
Berdasarkan analisis sistem informasi geografi maka wilayah yang mempunyai tingkat endemisme tinggi dan status keberadaannya dilindungi diberi buffering selebar 1 Km (masing-masing 500 m dari batas terluar sungai). Wilayah yang diberikan buffering adalah sungai yang terdapat di dalam kawasan CTNNB. Sungai sangat berperan penting bagi kelangsungan berbagai jenis satwa dan flora karena sungai sebagai sumber makanan dan minuman utama. Buffering ini dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidup dari satwa liar tersebut. Menurut Gunn (1994), flora fauna yang mempunyai tingkat endemisme tinggi dan statusnya dilindungi undang-undang harus di buffer maksimal seluas 1 mil. Gambaran daerah sensitivitas satwa endemik di CTNNB dapat dilihat pada Gambar 5.14.
Gambar 5.14. Peta sensitivitas satwa endemik di CTNNB
122
123
Analisis Sensitivitas Ekologi Penilaian selanjutnya ditujukan untuk melihat tingkat sensitivitas ekologi yang hasilnya menjadi dasar penentuan potensi zona pengelolaan. Penilaian sensitivitas ekologi didasarkan pada kriteria-kriteria ekologi baik dari unsur fisik maupun biologi, yaitu kelerengan, ketinggian tempat, tipe penutupan lahan, dan sensitivitas satwa dan tumbuhan. Dengan menggunakan kerangka penilaian seperti yang ditunjukan dalam Gambar 3.3 diperoleh tingkat sensitivitas ekologis kawasan CTNNB sebagaimana ditunjukan Tabel 5.11 dan Gambar 5.15. Klasifikasi sensitivitas ekologi terbagi menjadi tiga kelas yaitu sangat sensitif, sensitif, dan tidak sensitif. Kelas sangat sensitif seluas 27.276,18 Ha sangat dipengaruhi oleh faktor daerah jelajah satwa endemik babirusa dan anoa, dalam hal ini merupakan daerah aliran sungai sebagai habitatnya. Daerah sangat sensitif mempunyai kondisi umum merupakan hutan primer, hutan sekunder, dengan
ketinggian
dan
kelerangan
bervariasi.
Daerah
sangat
sensitif
direkomendasikan untuk menjadi zona inti. Kelas sensitif seluas 32.451,09 Ha merupakan wilayah terbesar pada kawasan CTNNB yang menyangga daerah sangat sensitif. Kondisi umum daerah ini adalah hutan primer dan hutan sekunder dengan
kelas
ketinggian
dan
kelerengan
yang
bervariasi.
Kelas
ini
direkomendasikan sebagai zona rimba. Kelas tidak sensitif seluas 3.769,60 Ha tersebar pada daerah ekologi berada pada ketinggian <700 m dpal. Daerah ini kondisi umumnya merupakan ladang, perkebunan masyarakat, pemukiman, dan lokasi pengambilan hasil hutan non kayu (HHNK). Kelas tidak sensitif berpeluang untuk dijadikan zona pemanfaatan atau zona budidaya terbatas. Tabel 5.11. Hasil penilaian potensi zona berdasarkan sensitivitas ekologi Skor
Predikat
Luas (ha)
23 – 30
Sangat sensitif
27.276,18
16 – 22
Sensitif
32.451,09
10 - 15
Tidak sensitif
3.769,87
Kondisi Umum Daerah jelajah babirusa dan anoa; h.primer, h.sekunder; kelerengan landai – sangat terjal; ketinggian bervariasi Buffer dari zona sangat sensitif (buffer daerah jelajah); h. primer; h. sekunder; kelerengan dan ketinggian bervariasi; Ladang, perkebunan rakyat, pemukiman, lokasi pengambilan HHNK oleh masyarakat; kelerengan bervariasi; ketinggian <700 m dpal; berada pada pinggiran kawasan (dekat)
Potensi zona Inti
Rimba
Lainnya
Gambar. 5.15. Peta Sensitivitas Ekologi di CTNNB
124
125
5.3.2. Pertimbangan Penentuan Zona dengan Pedekatan Ekowisata Proses penyusunan zonasi CTN Nantu-Boliyohuto dilakukan dengan pendekatan ekowisata, sehingga selain mengacu pada hasil penilaian sensitivitas ekologis, proses zonasi taman nasional juga dipengaruhi oleh pertimbangan kriteria-kriteria ekowisata yang merupakan faktor penentu hasil akhir zonasi CTNNB. Kriteria-kriteria ini perlu diintegrasikan dalam penentuan zona secara proporsional karena proses zonasi ini bukan saja untuk menetapkan daerah-daerah perlindungan tetapi juga harus mendapat dukungan dari masyarakat dan unsurunsur lain di daerah. Kriteria-kriteria ekowisata menurut Sekartjakrarini (2009) yang digunakan masing-masing dijelaskan sebagai berikut: Kriteria Konservasi Kawasan
CTN
Nantu-boliyohuto
merupakan
kawasan
alam
yang
didedikasikan untuk konservasi spesies Babirusa dan Anoa. Kawasan ini merupakan tempat terakhir bagi habitat Babirusa dan Anoa yang sebelumnya diyakini oleh beberapa peneliti tersebar di hampir seluruh Pulau Sulawesi. Kondisi terakhir populasi Babirusa diperkirakan sekitar 500 individu (Clayton, 1996). Merujuk pada penjelasan-penjelasan diatas, maka salah satu pertimbangan yang sangat penting dalam melakukan pemantapan zonasi kawasan CTNNB adalah menetapkan wilayah-wilayah yang diduga perlu mendapat pembinaan habitat Babirusa dan Anoa sebagai zona perlindungan yang dapat dilakukan perlakuan. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Permenhut No. 56/MenhutII/2004 tentang Zonasi Taman Nasional, zona perlindungan yang dapat dilakukan perlakuan pembinaan habitat adalah zona rimba. Sementara jika berdasarkan kriteria masing-masing zona yang diatur dalam peraturan tersebut, dengan mengacu pada status konservasi dari spesies Babirusa dan Anoa yang merupakan satwa prioritas dan tergolong langka, endemik serta terancam punah maka terhadap habitatnya dapat ditetapkan sebagai Zona Inti. Pilihan-pilihan penentuan zona pada habitat babirusa dan Anoa ini memiliki konsekuensi yang berbeda. Pertama, jika habitat Babirusa dan Anoa ditetapkan sebagai Zona Rimba agar dapat dilakukan perlakuan pembinaan habitat maka perlu ditegaskan bahwa tujuan perlakuan semata-mata hanya untuk melakukan pembinaan habitat meningkatkan populasi. Metoda yang dipergunakan dalam
126
pembinaan habitat harus betul-betul matang dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah yang disertai dengan kemungkinan adanya dampak ikutan (positif dan negatif) yang dapat terjadi dari misalnya pengaruhnya terhadap kesatuan ekosistem dan kelangsungan hidup spesies-spesies lain. Aspek lain yang perlu dijelaskan berkaitan dengan kecenderungan Zona Rimba yang relatif berbatasan dengan zona-zana lain yang frekuensi interaksinya dengan manusia cukup tinggi, baik penduduk sekitar kawasan maupun pengunjung dari luar, sehingga selain intensifikasi
pembinaan
habitat,
diperlukan
juga
intensifikasi
kegiatan
pengendalian terhadap frekuensi interaksi manusia terhadap zona rimba melalui kegiatan pengamanan. Kedua, Habitat babirusa dan Anoa ditetapkan sebagai Zona Inti mengingat status konservasi spesies babirusa dan Anoa sebagai satwa langka dan terancam punah serta merupakan prioritas dalam pengelolaan sebagaimana ditetapkan dalam alasan penunjukan kawasan sebagai taman nasional maupun sebagai kawasan warisan dunia. Kemudian, dengan merujuk pada kondisi populasi babirusa dan Anoa maka diusulkan untuk dapat dilakukan perlakuan pembinaan habitat di Zona Inti dalam rangka menyediakan habitat yang lebih mendukung terhadap peningkatan populasi babirusa dan anoa. Sementara ketidakselarasan usulan ini dengan ketentuan dalam peraturan dapat diposisikan sebagai kejadian luar biasa (extraordinary case) yang belum terakomodasi dalam peraturan tersebut. Kedua pilihan tersebut memiliki satu kebutuhan yang sama, yaitu perlu dibuat kajian mendalam yang dilakukan oleh tim yang berkompeten dengan mandat yang jelas untuk menghasilkan rekomendasi yang utuh mengenai tindakan pelestarian terhadap Babirusa dan Anoa tersebut yang paling baik. Kriteria Edukasi dan Rekreasi Ekowisata memberikan nilai tambah kepada masyarakat dan pengunjung dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari pengunjung, masyarakat dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Keanekaragaman
lingkungan
(alam,
sosial,
budaya)
dapat
menampung
pengembangan minat (sense of interst) wisatawan. Segala sesuatu yang ada di alam dapat langsung diamati (sense of reality), diselidiki (sense of inquiry), dan ditemukan (sense of discovery). Oleh karena itu, pendidikan sifatnya inheren
127
(melekat) dalam ekowisata. Lebih lanjut Sander (2010) menyatakan bahwa salah satu unsur utama orang melakukan ekowisata adalah pengalaman untuk menyatu dengan alam dan masyarakat lokal, serta menikmati rutinitas mereka. Pengunjung akhirnya akan memperoleh kesadaran dan pengetahuan tentang lingkungan alam (natural environment), bersama dengan aspek-aspek budayanya, yang akan mengubah paradigma mereka menjadi seseorang yang menghargai lingkungan dan budaya masyarakat setempat. Dengan adanya interaksi antara pengunjung dan objek, kegiatan ekowisata telah berhasil menyampaikan pesan-pesan pendidikan sehingga mereka mengalami perubahan sikap dan pandangannya terhadap lingkungan ke arah positif. Pengunjung ekowisata menyadari akan filosofi perjalanannya, bahwa obyek bukanlah tujuan utama perjalanannya, melainkan apa yang bisa ditemukan untuk dipelajari dan dipahami untuk kemudian dihargainya. Kawasan CTNNB menyimpan segudang ilmu untuk ditemukan dan dipahami oleh pengunjung ekowisata. Kekayaan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya merupakan ilmu yang tidak akan habis-habisnya untuk dipelajari. Habitat dan perilaku satwa dan keanekaragaman tumbuhannya. Di masyarakat, pengunjung bisa mengetahui bagaimana cara para wanita membuat kerajinan kain “kerawang”, cara membuat minyak goreng kampung yang berasal dari santan kelapa yang dimasak, cara membuat gula merah, cara membuat kue khas gorontalo, pengalaman ikut para lelaki membajak sawah, pemahaman alasan dan filosofi mereka saat memulai pembibitan yang memiliki waktu-waktu tertentu, interaksi di pasar tradisional, dan lain sebagainya kehidupan masyarakat. Demikian juga dengan adat dan tradisi masyarakat beserta maknanya. Dari yang umum dilaksanakan, seperti khitanan anak laki-laki, mandi lemon buat anak perempuan, pernikahan, hingga tata cara orang meninggal, sampai tradisi yang hanya di lakukan pada waktu-waktu tertentu. Tradisi tersebut antara lain tradisi “Walima” untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, tradisi “tumbilotohe” yaitu malam pasang lampu pada tanggal 27 Ramadhan selama 3 hari menyambut Hari Raya Idul Fitri. Semua hal tersebut merupakan sumber ilmu yang mungkin tidak akan didapatkan secara formal di bangku pendidikan. Pada konsep ekowisata, semua informasi dan pengetahuan tersebut akan sampai kepada pengunjung melalui seorang interpreter. Seorang interpreter adalah
128
seorang yang menyampaikan interpretasi dari obyek-obyek yang dikunjungi kepada pengunjung ekowisata. “Interpretasi dalam produk pariwisata adalah suatu kemasan produk dengan muatan penafsiran nilai-nilai substantif sumber-sumber (alam dan/atau budaya), untuk memenuhi harapan pengunjung mendapatkan pengetahuan dan pembelajaran tentang lingkungan setempat (Sekartjakrarini, 2004). Tujuan interpretasi: sebagai produk untuk memenuhi kebutuhan pengunjung akan pengetahuan, pembelajaran dan pengalaman baru, dan sebagai proses
untuk
menumbuhkan
pengertian,
pemahaman
dan
penghargaan
pengunjung terhadap nilai-nilai substantif sumber-sumber suatu kawasan tujuan wisata dan pada gilirannya ikut melindungi dan melestarikan kawasan tersebut. Seorang interpreter pada kawasan CTNNB haruslah seorang yang sangat mengetahui dan memahami keberadaan obyek-obyek wisata yang ada di kawasan tersebut, dan tidak ada yang lebih memahami hal tersebut selain masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Tingkat pendidikan yang dimiliki seorang interpreter turut mempengaruhi kualitasnya. Pemberdayaan masyarakat yang belum memiliki pekerjaan tetap namun mempunyai pendidikan setingkat SLTA atau PT merupakan potensi untuk menjadi seorang interpreter yang baik. Pelatihan dan pendidikan tentunya sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dan skill mereka Kriteria Partisipasi dan Interaksi Masyarakat Dalam proses penentuan zonasi taman nasional, faktor keberadaan masyarakat sekitar kawasan merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan. Interaksi masyarakat di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto terkait dengan kondisi fisik seperti penggunaan lahan untuk pertanian, penebangan liar, perburuan, penambangan tanpa izin, dan kegiatan pemungutan hasil hutan non kayu, dan pemukiman. Sedangkan pada pengelolaannya, keterlibatan/partisipasi masyarakat sudah harus dimulai sejak awal tahapan perencanaan, penyusunan, pengelolaan, hingga pada tahapan monitoring. Berdasarkan interpretasi tutupan lahan tahun 2006, penggunaan lahan pada kawasan CTNNB terdiri areal hutan dan ladang. Tegakan hutan meliputi hampir keseluruhan kawasan, dan hanya beberapa titik areal ladang pada bagian selatan kawasan. Sementara itu berdasarkan hasil survey lapangan, ditemukan areal
129
pemukiman Suku Polahi, yaitu suku terasing masyarakat Gorontalo pada bagian SM Nantu dan HL Boliyohuto. Setiap perkampungan hanya terdiri dari dua kepala keluarga dengan beberapa anggota keluarganya. Mereka hidup dari bercocok tanam alakadarnya dan berburu babi hutan, rusa, serta ular sanca. Pada perbatasan wilayah SM Nantu dan HL Boliyohuto (Gunung Abapi) ditemukan pertambangan rakyat (PETI). Pada kawasan bagian HPT Boliyohuto, Desa Bondulalayahu dan bagian SM Nantu Desa Pangahu ditemukan ladang/tegalan masyarakat. Melalui pemetaan partisipatif dengan masyarakat sekitar saat kegiatan Focus Group Discussion (FGD), dihasilkan titik-titik lokasi yang menjadi areal pengambilan hasil hutan non kayu (HHNK), seperti rotan, daun woka, tanaman obat, kayu bakar, bahan bangunan, dan bahan makanan. Gambar 5.16. menunjukkan peta penggunaan lahan oleh masyarakat. Beberapa bentuk penerapan pertimbangan kondisi fisik dan sosial di kawasan taman nasional dapat dilakukan dalam beberapa tipologi: 1) pada kawasan yang mengalami degradasi tetapi dalam keadaan tidak memiliki tekanan sosial, maka daerah ini merupakan potensial zona rehabilitasi; 2) pada kawasan yang mengalami degradasi tetapi dalam keadaan tingkat kepentingan sosial yang sangat tinggi dengan kesejarahan yang tidak kuat, maka kawasan ini merupakan potensial zona rehabilitasi; dan 3) pada kawasan yang mengalami degradasi tetapi dalam keadaan tingkat kepentingan sosial yang sangat tinggi dengan kesejarahan yang kuat, maka kawasan ini merupakan potensial zona khusus.
Gambar 5.16. Peta penggunaan lahan di CTNNB
130
131
Kriteria Ekonomi Salah
satu
tujuan
dibentuknya
kawasan
pelestarian
alam
adalah
pemanfaatan secara lestari, dan pariwisata dan rekreasi merupakan salah satu tujuan dari pengelolaan taman nasional. Kegiatan pariwisata pada kawasan diharapkan dapat berdampak pada aspek ekonomi masyarakat secara positif. Oleh karena itu, taman nasional perlu mengembangkan kegiatan pariwisata berdasarkan potensi daya tarik yang dimilikinya. Alokasi ruang untuk wisata alam adalah pada zona pemanfaatan dan secara terbatas dapat dilakukan di zona rimba dengan memperhatikan konsep daya dukung dan daya tampung, serta pada zona penyangga (luar kawasan CTNNB). Unsur utama yang dapat menarik pengunjung adalah keadaan alam atau pemandangan alam yang masih asli sebagai bentukan alam tanpa campur tangan manusia.
Aspek
tersebut
sangat
dominan
di
CTN
Nantu-Boliyohuto.
Pemandangan alam tersebut selain dapat dinikmati dari kejauhan, juga bisa dikunjungi. Aspek pemandangan alam di CTNNB berupa gunung-gunung, lembah, sungai dan tebing dapat dinikmati hampir disetiap sudut kawasan. Bagi wisatawan maka hal-hal tersebut merupakan aspek utama yang dipertimbangkan dalam memutuskan suatu kunjungan wisata. Daya tarik yang dimiliki oleh CTNNB sangat beraneka ragam dan dapat dikelompokkan sebagai atraksi alam (non hayati) dan atraksi hayati (flora fauna). Di CTNNB dapat dijumpai atraksi alam non hayati yang menjadi sumber daya tarik utama. Atraksi tersebut berupa kubangan air panas bergaram yang menjadi tempat berkumpulnya satwa liar khas Sulawesi seperti babirusa, anoa, monyet hitam endemik gorontalo, tupai dan puluhan jenis burung baik yang merupakan burung endemik maupun burung dilindungi. Berdasarkan hasil penelitian Clayton (1996) sumber air mineral tersebut banyak mengandung mineral terutama Sulfur-Sulphate (SO4S), Besi (Fe), Natrium (Na), Mangan (Mn), Kalsium (Ca). Kandungan mineral tersebut dapat membantu metabolisme dan menetralisir zat-zat beracun yang masuk ke dalam tubuh. Kubangan air panas bergaram ini berbentuk persegi panjang, sedikit lonjong, agak terbuka, namun dikelilingi oleh beberapa jenis tumbuhan khas hutan primer. Kubangan air panas ini dulunya ada tiga yaitu Nooti (400 m2), Lantolo (20
132
m2) dan Adudu (1200 m2), namun karena tingginya tingkat pencurian kayu dan pembukaan hutan di era awal tahun 90-an menyebabkan kubangan air panas tersebut tinggal satu saja yaitu Adudu dengan luas 1200 m2. Akses menuju kubangan air panas ini sangat mudah karena hanya membutuhkan waktu 10 menit dari pos jaga Adudu dengan berjalan kaki. Di kubangan air panas tersebut tersedia fasilitas gubuk pengintaian untuk keperluan pengamatan dan penelitian mengenai perilaku satwa liar. Berdasarkan data hasil penelitian, setiap hari mulai dari terbitnya matahari sampai dengan terbenamnya matahari terdapat 30 ekor babirusa melakukan berbagai aktivitas seperti minum, bermain dan berkubang di tempat ini. Menurut penelitian Clayton (1996) babirusa merupakan satwa yang paling sering mengunjungi tempat ini disamping monyet hitam gorontalo, anoa dan babi hutan. Selanjutnya Clayton (1996) menjelaskan bahwa setiap jam terdapat 15 – 56 ekor babirusa yang berkunjung ke kubangan ini. Atraksi ini sesungguhnya bisa dijadikan sebagai salah satu obyek wisata. Di samping kubangan air panas di kawasan CTNNB bisa juga ditemui daya tarik air terjun. Berdasarkan hasil komunikasi dengan petugas jaga Adudu, kawasan CTNNB sedikitnya mempunyai 7 buah air terjun. Tetapi karena sulitnya medan maka untuk melihat air terjun di 7 lokasi belum bisa dimungkinkan. Jumlah air terjun yang bisa ditemui hanya terdapat di 4 lokasi. Lokasi pertama adalah air terjun adudu. Tempat ini terdapat di sebelah utara pos jaga dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 20 menit. Air terjun adudu mempunyai ketinggian kurang lebih 10 meter. Lokasi kedua adalah air terjun Pangahu. Tempat ini terdapat di perbatasan antara SM Nantu dengan Dusun Diyanga. Perjalanan menuju lokasi ini memerlukan waktu selama 30 menit berjalan kaki dari Desa Pangahu. Air terjun di lokasi ini mempunyai ketinggian 5 – 10 meter. Selain itu juga ditemukanair terjun Limu, dan air terjun Ulelita. Penyebaran ODTWA dalam Kawasan CTNNB ditunjukkan pada Tabel 5.12. Sedangkan lokasi penyebaran ODTW dapat dilihat pada Gambar 5.17.
133
Tabel 5.12. Penyebaran ODTWA pada kawasan CTNNB Atraksi/Jenis kegiatan
X X X
X X X X X X X X X X
X X
Wisata Pedesaan
X X X X
Wisata budaya
X X X X X X X X X
Pengamatan flora & fauna
Berenang
X X
X X X X X X X X X X
Pemandian
X X X X X
X X X X X X X X X X
Pemandangan
X X
Bersampan terbatas
X X X X X
X X X X X X X X X X
Bird Watching
X X
Camping
X X X X X X X X X X
Photo Hunting
Salt-lick Air terjun Adudu Air terjun Pangahu Sungai Nantu Sungai Paguyaman Desa Pangahu Desa Mohiyolo Air Terjun Hutadelita Air terjun Limu Air terjun Ulelita
Hiking
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Wisata Alam
Nama obyek
X X
Lokasi (Dalam kawasan dan/atau Luar kawasan)
Dalam Dalam Dalam Dalam &Luar Dalam & Luar Luar Luar Dalam Dalam Dalam
Menurut Gunn (1994) flora dan fauna yang berada di daerah penutupan hutan memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai atraksi wisata, baik untuk wisata maupun untuk wisata pendidikan. Keanekaragaman hayati tersebut menurut akan sangat berbeda maknanya bagi pengunjung, tergantung pada latar belakang pendidikan dan pengetahuannya. Pengembangan atraksi wisata berdasarkan sumberdaya flora dan fauna harus memperhatikan pengalaman apa yang diharapkan pengunjung dan apa yang diperoleh. Rencana kegiatan wisata yang berhubungan dengan flora fauna perlu memperhatikan pengadaan sarana dan pra sarana untuk mengakomodasi pengunjung agar tidak terjadi gangguan pada flora fauna tersebut.
Gambar 5.17. Peta sebaran daya tarik wisata di CTNNB
134
135
Kriteria Kendali Untuk Meminimalkan Dampak Pertimbangan efektivitas pengelolaan kawasan pada proses zonasi memiliki fokus pada rekayasa ruang yang ditujukan untuk memperlancar kegiatan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Rekayasa dilakukan terhadap batasbatas daerah sangat sensitif yang potensial menjadi zona inti yang berbatasan dengan daerah tidak sensitif atau daerah potensial zona pemanfaatan dan zona lainnya. Bentuk rekayasanya adalah dengan membuat buffer selebar 200 meter dari batas zona inti yang kemudian dialoksikan sebagai zona rimba sehingga tidak ada tekanan langsung terhadap daerah-daerah yang sangat sensitif tersebut. Pertimbangan ini tetap mengacu kepada hasil penilaian sensitivitas ekologis. Beberapa bentuk penerapan dari pertimbangan ini adalah sebagai berikut : 1.
Bentuk dan lokasi zona inti diupayakan tidak sporadis tetapi merupakan satu kesatuan atau dapat terpisah dengan dihubungkan oleh suatu koridor.
2.
Terdapat buffer berupa zona rimba diseluruh batas zona inti sehingga tidak ada zona inti yang berbatasan langsung dengan zona lainnya atau lokasilokasi yang rentan terhadap gangguan.
5.3.3. Pembagian Zona Pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto Berdasarkan
hasil
overlay peta
sensitivitas
ekologi
dengan
peta
pertimbangan potensi daya tarik wisata, peta penggunaan lahan oleh masyarakat, pertimbangan kelestarian satwa endemik babirusa dan anoa, serta pertimbangan efektivitas manajemen, maka diusulkan pembagian zona kawasan CTNNB sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5.13. dan Gambar 5.18. Zona Inti Zona Inti yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan, keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. Zona inti yang ditetapkan pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto mempunyai luasan 48.380,3 Ha (76,99%). Berdasarkan ciri fisik dari zona inti di wilayah SM Nantu maka fungsi utama dari zona tersebut adalah untuk perlindungan habitat satwa babirusa dan anoa. Fungsi peruntukkan zona inti adalah untuk pelestarian dan pengawetan fauna dan flora,
136
sumber plasma nutfah dan perlindungan dan pengawetan tata air. Zona inti merupakan wilayah yang mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar beserta ekosistemnya yang langka yang keberadaanya terancam punah, seperti babirusa, anoa, monyet hitam sulawesi, tarsius, serta tumbuhan endemik seperti: Caryota mitis, Cycas rumphii, Livistonia rotundifolia, Macaranga crassistipulosa, Elmerillia ovalis,, Terminalia celebica, Diospyros hebecarpa, Pterospermum celebicum, Manilkara celebica, Cratoxylum celebicum, Dillenia serrata dan Dillenia sp. Zona ini juga mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya yang merupakan ciri khas ekosistem dalam kawasan taman nasional yang kondisi fisiknya masih asli dan belum diganggu oleh manusia. Zona ini umunya dicirikan dengan kondisi fisik kelerengan > 30%, ketinggian tempat > 500 mdpal, tutupan lahan berupa hutan primer dan hutan sekunder, dan merupakan daerah jelajah satwa endemik babirusa dan anoa. Di dalam zona ini tidak boleh dilakukan kegiatan kegiatan pengelolaan atau kegiatan penunjang, kecuali kegiatan penelitian dengan ijin khusus. Sedangkan jenis kegiatan yang diperbolehkan yaitu: 1.
Perlindungan dan pengamanan;
2.
Inventarisasi dan monitoring SDA hayati dan ekosistemnya;
3.
Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan/atau penunjang budidaya;
4.
Dapat dibangun sarana dan prasarana tidak permanen dan terbatas untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan
Zona Rimba Zona Rimba yang ditetapkan pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto mempunyai luasan 10.806,1 Ha (17,2%). Tujuan penetapan zona ini untuk pemanfaatan secara terbatas atas potensi jasa lingkungan berupa kegiatan wisata alam, dan kegiatan penelitian, pelatihan, demplot tanaman obat, tanaman keras dan tanaman budidaya. Pada zona ini dilakukan pula pembinaan habitat babirusa dan anoa untuk meningkatkan populasinya. Jenis kegiatan yang diperbolehkan yaitu: 1.
Inventarisasi ekosistemnya.
dan
monitoring
sumberdaya
alam,
hayati
dengan
137
2.
Pengembangan penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas, pemanfaatan jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya.
3.
Pembinaan habitat dan populasi.
4.
Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas.
Zona Pemanfaatan Zona Pemanfaatan yang ditetapkan pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto mempunyai luasan seluas 2.447,8 Ha (3,9%), yang terbagi pada 3 lokasi, yaitu: 1) Desa Pangahu, sebagai lokasi dengan prioritas pertama karena berada pada pintu gerbang kawasan CTN Nantu-Boliyohuto, dan dekat dengan lokasi daya tarik wisata salt-lick, air terjun, dan wisata sungai; 2) Desa Bondulalayu, sebagai lokasi dengan priorotas kedua karena berada pada kawasan eks Hutan Produksi Terbatas, dimana aksesibilitas berupa jalan perintis telah terbuka; dan 3) Desa Monano, sebagai lokasi dengan prioritas ketiga, berada pada kawasan Hutan Lindung, dimana akses ke lokasi ini masih sulit. Fungsi peruntukkan zona pemanfaatan ini adalah: 1.
Pengembangan pariwisata alam dan pusat rekreasi;
2.
Penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan konservasi;
3.
Menunjang kepentingan budidaya. Jenis kegiatan yang diperbolehkan yaitu:
1.
Perlindungan dan pengamanan;
2.
Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya;
3.
Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang budidaya;
4.
Pengembangan, potensi dan daya tarik wisata alam;
5.
Pembinaan habitat dan populasi;
6.
Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa lingkungan;
7.
Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa lingkungan. Tujuan penetapan zona ini untuk pemanfaatan sumber daya alam dan
ekosistem CTN Nantu-Boliyohuto dalam bentuk jasa lingkungan (pariwisata
138
alam, pendidikan konservasi alam/lingkungan). Penetapan zona ini didasarkan pada kriteria kebutuhan pengusahaan pariwisata alam, yaitu: 1.
Kelerengan ≤30%
2.
Ketinggian ≤500 mdpal
3.
Tutupan lahan merupakan daerah terbuka dan/atau semak & belukar
4.
Bukan merupakan daerah jelejah satwa yang dilindungi/endemik
5.
Bukan
merupakan
daerah
pemanfaatan
tradisional
masyarakat
(perkebunan/pertanian/pemukiman) Jenis usaha pariwisata alam menurut Permenhut No. P.48/Menhut-II/2010 dan Perdirjen PHKA No. P.3/IV-SET/2011 yang diperbolehkan adalah: 1.
Penyediaan jasa wisata alam, meliputi: 1) informasi pariwisata, berupa usaha penyediaan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik;
2) pramuwisata, berupa usaha penyediaan tenaga
pemandu/interpreter untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan biro perjalanan wisata; 3) transportasi, berupa penyediaan kuda, porter, perahu bermesin, kenderaan darat bermesin maksimal 3000cc khusus untuk lokasi dengan kelerengan sampai 30%;
4) perjalanan wisata, berupa usaha
penyediaan jasa perencanaan perjalanan wisata atau penyelenggaraan pariwisata, termasuk jasa pelayanan yang menggunakan sarana yang dibangun atas dasar kerjasama antara pengelola dan pihak ketiga; cinderamata
dan
makanan/minuman,
berupa
usaha
5)
penyediaan
cinderamata/souvenir dan makanan/minuman untuk keperluan wisatawan yang didukung dengan perlengkapan berupa kios atau kedai usaha. 2.
Penyediaan sarana wisata alam, meliputi: 1) wisata tirta, berupa pemandian alam, tempat pertemuan, darmaga tambat, gudang penyimpanan alat kegiatan wisata tirta; 2) akomodasi, berupa ruang yang relatif datar dan dihubungkan dengan jalan wisata alam, dibangun semi permanen dengan memperhatikan arsitektur budaya setempat yang meliputi: penginapan (dengan fasilitas ruang pertemuan, restoran, fasilitas bermain anak, spa, dan gudang), pondok wisata, pondok apung, rumah pohon, bumi perkemahan, tempat singgah karavan, fasilitas kantor dan pelayanan umum (pelayanan
139
informasi, telekomunikasi, administrasi, angkutan, penukaran uang, cucian, ibadah, kesehatan, keamanan, menara pandang, pemadam kebakaran, kebersihan, dan mess karyawan); 3) transportasi, berupa bangunan stasiun yang ramah lingkungan untuk kenderaan darat, dan bangunan darmaga untuk kenderaan air; dan 4) wisata petualangan, berupa outbond, jembatan antar tajuk pohon (canopy trail), kabel luncur (flying fox), paralayang, balon udara, dan petualangan hutan (jungle track). 3.
Penyediaan fasilitas penunjang sarana kepariwisataan, yaitu: 1) jalan wisata, dengan lebar badan maksimal 5m ditambah bahu jalan 1m kiri dan kanan, dengan sistem pengerasan menggunakan batu dan lapisan permukaan aspal; 2) papan petunjuk: papan nama, papan informasi, papan petunjuk arah, papan peringatan, papan rambu lalu lintas, dan papan bina cinta alam; 3) jembatan, dermaga, dan landasan helikopter (helipad) dibangun dengan berpedoman pada ketentuan teknis yang menyangkut keselamatan dan keamanan; 4) areal parkir dibangun dengan ketentuan: tidak menebang/ merusak pohon, di areal terluar lokasi izin usaha pariwisata alam, pengerasan areal harus dengan konstruksi tidak mengganggu peyerapan air dalam tanah; 5) jaringan listrik, jaringan air bersih, jaringan telepon, dan jaringan
internet
diupayakan
dibangun
dalam
tanah;
6)
jaringan
drainase/saluran dibangun cara terbuka dan menggunakan pengerasan atau tertutup; dan 7) toilet, sistem pembuangan dan pengolahan limbah. Zona Tradisional Zona tradisional yang ditetapkan pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto mempunyai luasan 1.206,3 Ha (1,92%), yaitu bagian kawasan berupa lahan pertanian dan perkebunan yang digarap oleh masyarakat yang telah ada sebelum penetapan
kawasan
sebagai
taman
nasional.
Selain
itu
lokasi
pemanfaatan/pengambilan hasil hutan bukan kayu juga ditetapkan sebagai zona tradisional. Tujuan penetapan zona ini untuk mempertahankan hubungan tradisional secara turun temurun dengan adanya ketergantungan masyarakat terhdap potensi sumberdaya alam seperti padi, palawija, tanaman buah-buahan, lebah madu, bamboo, tanaman obat-obatan, kayu bakar dan daun untuk atap rumah. Fungsi peruntukkan zona ini untuk pemanfatan sumber daya alam secara
140
terbatas dan terkendali dengan cara-cara tradisional dan memperhatikan asas pelestarian. Tabel 5.13. Zona Pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto Zona
Inti
Rimba
Pemanfaatan
Tradisional
Diskripsi Bagian dari taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi,berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas Bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan Bagian dari kawasan taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. Bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejahteraan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam
Luas(Ha)
Persentasi (%)
48.380,3
76,99
10.806,1
17,2
2.447,8
3,9
1.206,3
1,92
Gambar 5.18. Peta Zonasi Akhir Pengelolaan CTNNB
141