V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Pola Penguasaan Lahan dan Pola Tanam Usahatani Hortikultura di Kawasan Agropolitan Pada umumnya kehidupan di perdesaan adalah kehidupan tani, sehingga lahan merupakan faktor pokoknya. Siapa yang menguasai lahan berarti menguasai salah satu faktor produksi utama di sektor pertanian. Pola Penguasaan lahan merupakan pencerminan keeratan hubungan antara kegairahan petani dalam mengelola lahannya. Di kawasan agropolitan (Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya) luas status hak (entitlement) kepemilikan lahan petani rata-rata relatif sempit 0,02–0,30 ha. Hal ini merupakan fenomena umum yang terjadi di sektor pertanian sebagai dampak alih kepemilikan lahan, alih fungsi lahan, dan juga fragmentasi lahan karena pembagian warisan dari orang tuanya sejak tahun 1987 yang mengakibatkan akses petani terhadap lahan semakin terbatas. Sehingga banyak petani yang mencari kegiatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan membuka warung, berdagang, dan menjadi buruh tani. Karena rata-rata pendidikan yang dimiliki petani di kawasan agropolitan hanya Sekolah Dasar. Berkaitan dengan pola penguasaan lahan petani sebagai pemilik sekaligus penggarap sudah banyak berkurang dilihat dari luas lahan yang dikuasai oleh petani. Kondisi ini menyebabkan skala ekonomi akan menjadi permasalahan tersendiri. Kedekatan dengan pusat kota dan berkembangnya infrastruktur sejauh ini juga membuat lahan-lahan di kawasan agropolitan menjadi mahal dan strategis untuk dimiliki atau dijadikan obyek investasi oleh orang-orang kota terutama sejak ditetapkannya sebagai lokasi program pengembangan kawasan agropolitan pada tahun 2002. Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara dari Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur dari 90 petani dengan menggunakan metode purposive sampling dan penetapan petani responden dilakukan secara stratified random sampling secara proporsional yang mencakup Desa Sukatani sebanyak 35 petani, dan Desa Sindangjaya 55 petani dari total luas lahan petani kedua desa sebesar 10,42 ha kemudian dikelompokkan dalam 5 (lima) kelas kemiringan lereng lahan
71
72
usahatani, yaitu: (1) >0-8%, (2) >8-15%, (3) >15-30%, (4) >30-45% maka diperoleh status hak (entitlement) kepemilikan lahan di kawasan agropolitan merupakan lahan hak milik sebesar 84% dengan rata-rata luas kepemilikan lahan petani hanya 0,12 ha. Rata-rata pola penguasaan lainnya, meliputi luas lahan milik keluarga 0,06 ha (3%), luas lahan sewa 0,08 ha (2%), luas lahan bagi hasil 0,09 (4%), luas lahan garapan milik pemerintah 0,14 ha (6%), luas lahan garapan hutan lindung 0,1 ha (1%) sebagaimana disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Pola Penguasaan Lahan di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur Desa Sukatani (4,62 ha) Uraian
Satuan
Rata-Rata Luas Lahan
Pola Penguasaan Lahan: a. Lahan milik ha sendiri b. Lahan milik ha keluarga c. Lahan sewa ha d. Lahan bagi ha hasil e. Lahan garapan ha milik pemerintah f. Lahan garapan ha hutan lindung g. Lahan garapan milik ha perkebunan/ tanah terlantar Jumlah % Sumber: Data Primer (2006) diolah
Desa Sindangjaya (5,80 ha)
Kawasan Agropolitam (10,42 ha) Rata-Rata Luas Lahan (%)
(%)
Rata-Rata Luas Lahan
(%)
0,13
89
0,11
81
0,12
84
0
0
0,06
5
0,06
3
0,09
4
0,05
1
0,08
2
0,11
7
0,13
2
0,09
4
0,00
0
0,56
9
0,14
6
0
0
0,1
2
0,1
1
0
0
0
0
0
0
100
100
100
Tabel 11 menggambarkan bahwa pola penguasaan lahan di kawasan agropolitan relatif sempit sehingga menyebabkan kelangkaan sumberdaya lahan. Yang menjadi kendala justru bagaimana memberikan respon pada petani atas makin menyempitnya lahan pertanian kawasan agropolitan yang ada saat ini akibat sulitnya mengendalikan konversi lahan pertanian ke non-pertanian, sebagai salah satu contoh berubah fungsinya menjadi villa-villa dan obyek wisata.
73
Di tengah term of trade dari produk-produk pertanian yang terus menurun dan teknologi pertanian serta pengolahan produk yang tidak banyak berkembang, maka ada kecenderungan petani untuk menjual lahan semakin tinggi. Bagi petani yang tetap bertahan di sektor pertanian pada akhirnya nanti akan berubah menjadi petani penggarap atau membuka lahan di daerah-daerah atas yang dekat dengan kawasan Taman Nasional Gede Pangrango. Petani penggarap yang ada saat ini menguasai sekitar 0,10 ha lahan yang berdekatan dengan Desa Sindangjaya. Sehingga degradasi kualitas lingkungan dan sumberdaya alam menjadi tidak terhindarkan. Seperti dinyatakan oleh Saefulhakim (2001) tipe-tipe kepemilikan lahan yang tidak menjamin kepastian (uncertain ownership of land) akan mendorong setiap aktivitas ke arah pola pemanfaatan yang bersifat eksploitatif yang mempercepat degradasi sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan. Hal ini dapat dilihat bahwa akses petani terutama petani lokal terhadap lahan sudah mulai banyak berkurang. Konsekuensinya apabila tidak ada kebijakan yang jelas berkaitan dengan akses pada lahan, maka para petani lokal akan cepat tersingkir dan otomatis akan timbul konflik atau paling tidak terjadi perambahan hutan yang akan merusak lingkungan dan keberlanjutan dari sistem pertanian itu sendiri. Jika ini yang terjadi, maka pencanangan program pengembangan kawasan agropolitan tidak akan ada gunanya karena akses pada lahan yang terbatas akan menjadi penghambat utama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan pendapatan petani. Meskipun sudah banyak himbauan dan peraturan dibuat, namun konversi lahan tetap terjadi. Akar permasalahannya adalah karena aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah kurang memiliki landasan yang kuat dalam hukum agraria nasional, dibandingkan dengan aspek penguasaan dan pemilikan tanah (Sjahyuti, 2002). Pembaharuan agraria atau adakalanya disebut dengan “Reformasi Agraria” terdiri dari dua pokok permasalahan, yaitu “penguasaan dan kepemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring. “Aspek Landreform” dapat dimaknai sebagai penataan ulang penguasaan dan kepemilikan tanah, dimana faktor pembentuknya adalah masalah hukum (negara dan adat), tekanan demografis, serta struktur ekonomi setempat misalnya ketersediaan lapangan kerja
74
non-pertanian. Masalah yang dihadapi pada aspek ini adalah konflik penguasaan dan kepemilikan. Secara vertikal dan horizontal inkonsistensi hukum (misalnya antara UUPA dan “turunannya”). Ketimpangan penguasaan dan kepemilikan, penguasaan
yang
sempit
oleh
petani
sehingga
tidak
ekonomis
serta
ketidaklengkapan dan inkonsistensi data. Aktivitas reforma agraria yang relevan pada aspek landreform ini misalnya adalah penetapan objek tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan harga tanah kepada penerima, perbaikan penguasaan (misalnya perbaikan sistem penyakapan), serta penertiban tanah guntae (absentee). Hasil penelitian di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur untuk tingkat ketimpangan berdasarkan luasan kecil atau besarnya kepemilikan lahan petani dengan didasarkan golongan luas lahan, jumlah pemilik, kumulatif pemilik, persentase kumulatif, jumlah luas, kumulatif luas, persentase kumulatif analisis Ratio Gini Lorentz (RGL) menunjukkan tingkat ketimpangan kepemilikan lahan di kawasan agropolitan sebesar 0,765 (Desa Sukatani sebesar 0,547 dan Desa Sindangjaya sebesar 0,771) menandakan tingkat ketimpangan yang berat sehingga perlu diwaspadai sejak dini dan perlu upaya pengendalian agar tidak terjadi alih fungsi lahan, misalnya adanya kebijakan dan implementasi yang jelas (misalnya: adanya Master Plan) tentang akses terhadap lahan dalam hal penggunaan dan pemanfaatan lahan dalam rangka pencanangan program pengembangan kawasan agropolitan Pacet-Cianjur. Ketimpangan kepemilikan dan kelas kemampuan lahan di kawasan agropolitan merupakan problem penting dalam pemikiran logik dan teoritik perencanaan wilayah. Berbagai fenomena menunjukkan bahwa keterbatasan kepemilikan dan kelas kemampuan lahan akan menghambat pertumbuhan aktivitas ekonomi utamanya yang berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam. Akses penduduk terhadap lahan semakin terbatas sehingga produktivitas dan nilai tambah dari sektor primer pertanian (on-farm) secara relatif cenderung rendah dan kurang mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat perdesaan. Adanya perbedaan mencolok antara kepemilikan dan kelas kemampuan lahan akan menyebabkan terkurasnya sumberdaya lahan sehingga pada akhirnya lahan tidak produktif lagi. Masyarakat perdesaan akan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah
75
sekitarnya yang dianggap mampu menyediakan lapangan pekerjaan sebagai sumber pendapatan dalam meningkatkan kesejahteraan. Terutama kawasan perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi, industri dan jasa. Anggapan ini akan mendorong terjadinya ketimpangan yang lebih besar antara desa dan kota. Arus urbanisasi dari desa ke kota akan menjadi lebih besar. Transfer surplus dari sektor/kawasan pertanian ke industri-industri perkotaan melalui pengambilan dan penarikan sumberdaya-sumberdaya manusia (tenaga kerja), modal dan sumberdaya lainnya oleh perkotaan mengakibatkan perkotaan banyak mengalami penyakit-penyakit urbanisasi (kongesti, pencemaran hebat, permukiman kumuh, keadaan sanitasi yang buruk, menurunnya kesehatan, kriminalitas) dan pada gilirannya akan menurunkan produktivitas masyarakat dalam hubungan yang saling memperlemah, bukannya hubungan yang saling memperkuat (Rustiadi et al., 2001). Dengan berkembangnya masalah serupa maka pembangunan wilayah perdesaan menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi disparitas antar wilayah dan sekaligus mendorong pertumbuhan perekonomian menjadi lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan melalui kebijakan pelaksanaan program agropolitan sudah berjalan di wilayah penelitian, yaitu Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya yang bertujuan untuk menciptakan pembangunan desa kota secara berimbang, diversifikasi dan perluasan basis peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, mengoptimalkan akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya ekonomi (terutama lahan) melalui penataan dan pemanfaatan ruang, pemanfaatan teknologi dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang ada di perdesaan sehingga mampu menghasilkan komoditas dan produk olahan pertanian unggulan. Pada dasarnya hubungan fungsional antara kota (urban) sebagai pusat dengan kapasitas daya serap besar terhadap daerah pedesaan di sekitarnya saling ketergantungan karena adanya saling membutuhkan antara kota sebagai daerah inti (core areas) dengan perdesaan di daerah pinggiran (periphery). Interaksi terjadi jika ada pengembangan. Pengembangan itu intinya adalah adanya inovasi dan saling ketergantungan antara core dan periphery secara dinamis. Akhir-akhir ini permasalahan di daerah urban dikaitkan dengan kecenderungan perkembangan dan pembangunan wilayah dan nasional. Banyaknya orang tinggal di kota atau
76
banyaknya penduduk kota di suatu negara atau wilayah dapat merupakan pertanda tingkat pendapatan per kapitanya. Teori distribusi kota-kota menyatakan, jika urutan hierarki besarnya penduduk kota mengikuti kaidah log-normal akan menunjukkan keadaan yang lebih berkembang. Jika tidak terjadi distribusi seperti tersebut terakhir ini, kesenjangan pendapatan penduduk akan lebih menyolok karena adanya kota besar yang unggul dalam fungsinya. Sedangkan kota-kota yang lain di wilayah tersebut merupakan permukiman yang dapat berfungsi lain, bahkan dapat bersifat parasitis dan menghambat berlangsungnya pembangunan dan perkembangan. Dalam lingkup sistem perkotaan dimana ada keterkaitan satu sama lain maka proses konsentrasi menjadi selektif, hanya terpusat di beberapa daerah inti (core areas atau primatecities saja) yang mempunyai kapasitas unggul sebagai inovasi. Dalam tahap inilah kesenjangan yang diukur dengan rata-rata pendapatan per kapita antar satuan (administratif) di suatu negara menjadi sangat besar. Berhubung proses penjalaran atau perambatan perkembangan dari kota ke wilayah sekitar core-areas tersebut bekerjanya lambat atau bahkan kurang dapat dijelaskan secara menyakinkan, maka orangpun berpaling kepada sisi lain dari daerah perkotaan, yaitu di pedesaan. Perdesaan merupakan sumber penghidupan dari sebagian besar penduduknya. Adanya keterkaitan antara perdesaan dan perkotaan dalam hal pasar kota menyerap hasil produksi desa, tenaga desa dipekerjakan di lapangan kerja kota dan fasilitas pelayanan di kota dimanfaatkan penduduk desa. Atas dasar alasan tersebut Friedmann dan Douglass (1976) dalam Sitorus (1998) mengusulkan pengembangan Agropolitan. Perwujudan dari konsep agropolitan diharapkan mampu mengurangi kesenjangan
pertumbuhan
desa-kota
melalui
keterkaitan
yang
saling
menguntungkan, dan penyamaan dasar kemitraan. Keterkaitan dalam konteks ini desa-desa utama harus dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang berfungsi sebagai tempat untuk memulai penyamaan kemitraan dalam mengurangi kesenjangan pertumbuhan. Konsep ini menurut Friedmann dan Douglass (1976) dalam Sitorus (1998) dinamakan “Perwilayahan Agropolitan” dengan ciri sebagai berikut: a. Mempunyai tingkat kemandirian dan kepercayaan diri untuk tumbuh b. Satuan unit pemukiman efektif dan efisien untuk suatu kegiatan “Agribisnis”
77
c. Diversifikasi ketenagakerjaan (tidak hanya petani) yang dapat menumbuhkan agroindustri d. Keterkaitan yang baik antara sektor pertanian, pengolahan dan industri manufaktur yang banyak menggunakan hasil pemanfaatan sumberdaya setempat e. Banyak mendorong penggunaan teknologi tepat guna dan sumberdaya setempat Jika dilihat sebarannya kepemilikan lahan di Kawasan Agropolitan PacetCianjur berdasarkan golongan luas lahan, jumlah pemilik, proporsi pemilik dengan menggunakan analisis entropy memiliki nilai entropy relatif kepemilikan lahan 0,561. Secara umum bisa dikatakan sebaran proporsi kepemilikan lahan di kawasan agropolitan cukup merata, karena rata-rata lahan yang diusahakan merupakan lahan dengan status hak milik (entitlement) yang dimiliki petani sebagian besar merupakan lahan pembagian warisan. Sedangkan nilai entropy relatif kepemilikan lahan yang paling besar di Desa Sukatani sebesar 0,669 memiliki sebaran proporsi kepemilikan lahan yang paling merata. Berbeda dengan Desa Sindangjaya sebesar 0,597 yang memiliki entropy lebih kecil dibandingkan dengan Desa Sukatani. Walaupun demikian, secara umum bisa dikatakan sebaran proporsi kepemilikan lahan Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya relatif sama. Rata-rata luas kepemilikan lahan di Desa Sukatani 0,13 ha sedangkan di Desa Sindangjaya 0,11 ha, dan untuk kawasan agropolitan rata-rata luas lahan 0,12 ha Hasil analisis nilai indeks gini dan entropy sebagaimana disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil Analisis Rasio Gini Lorentz dan Entropy Kepemilikan Lahan di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur No. 1. 2. 3.
Desa / Wilayah Desa Sukatani (4,62 ha) Desa Sindangjaya (5,80 ha) Kawasan Agropolitan (10,42 ha)
Indeks Gini
Nilai Entropy 2,379
Nilai Entropy Maksimum 3,555
Nilai Entropy Relatif 0,669
0,547 0,771
2,394
4,007
0,597
0,765
2,523
4,500
0,561
Sumber: Data Primer (2006) diolah Keterangan: Klasifikasi Indeks Gini : 1. IG < 0.30 = Menandakan ketimpangan yang ringan 2. IG = 0.4 = Menandakan ketimpangan yang sedang 3. IG > 0.50 = Menandakan ketimpangan yang berat
78
Akibat penguasaan lahan yang sempit di Kawasan Agropolitan PacetCianjur petani cenderung melakukan pola tanam monokultur dan tumpangsari. Siklus tanam dengan intensitas tinggi dan cepat yang bertujuan untuk memperoleh uang cash dalam jangka waktu yang relatif singkat untuk setiap komoditas dalam yang berbeda, karena dengan pola tanam seperti ini petani dapat mencapai lima kali panen dalam setahun. Kemudahan ketersediaan air, kesesuaian lahan, kemudahan pengelolaan teknis budidaya, umur tanaman yang pendek dan kemudahan dalam memperoleh benih sendiri dari hasil panen sebelumnya, merupakan alternatif penunjang bagi petani dalam memilih pola tanam. Pola tanam monokultur, artinya petani mengusahakan satu jenis tanaman saja dalam lahan garapannya, sedangkan pola tumpangsari adalah penanaman yang terdiri dari beragam jenis komoditas dalam satu hamparan tanah garapan. Jenis tanaman hortikultura lebih banyak ditanam di lahan dengan kelas kemiringan lereng antara >8-15% sedangkan lahan dengan kelas kemiringan lereng antara >15-30% ditanami lebih sedikit. Seperti halnya di Desa Sukatani kondisi lahan datar sehingga jarang atau tidak ada yang mengusahakan di kelas kemiringan lereng >15-30% dan >30-45% yang membedakan dengan Desa Sindangjaya kondisi lahan bergelombang sampai berbukit. Pola tanam tumpangsari (polyculture) di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur sebagaimana disajikan pada Tabel 13. Dalam pemilihan komoditi yang diusahakan petani pada umumnya didasarkan pada tingkat keuntungan yang akan diperoleh dari pengelolaan usahatani, kejelasan dan jaminan ketersediaan pasar, tingkat modal yang tidak besar serta pengalaman pribadi menyangkut kebiasaan dan hobi. Hal ini menunjukkan bahwa petani di kawasan agropolitan sudah dapat mengantisipasi resiko kerugian dalam usahatani, misalnya resiko disebabkan oleh musim hujan yang dapat mempercepat proses pembusukan dan resiko pasar berupa perubahan harga ketika panen. Perubahan harga yang merugikan salah satu komoditi biasanya dikompensasi dengan kenaikan harga komoditi lainnya. Di kawasan agropolitan petani banyak menanam wortel dan bawang daun karena kedua tanaman ini mempunyai iklim yang sangat cocok dan tingginya permintaan pasar. Begitu juga tanaman horinzo dan kailan walaupun bukan
79
merupakan tanaman lokal namun juga dibudidayakan, biasanya berdasarkan pesanan dari super market dengan sistem perjanjian. Tabel 13. Pola Tanam Tumpangsari Komoditas Hortikultura Pada MasingMasing Kelas Kemiringan Lereng Yang Diusahakan Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur Di Kawasan Agropolitan (10,42 ha) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
>0-8% Wt-Bkl-Dk-Kl Wt-Lb Hs Wt Wt-Lb-Sw-Bd Wt-Bd Wt-Hs Wt-Hs-Kl-Lb Wt-Hs-Kl Lb
>8-15% >15-30% Wt-Bd-Dk Bkl-Sw-Bd-Pl Wt-Dk-Kl Wt-Bd Wt-Lb-Cs Wt-Lb Wt-Lb-Cs-Dk Dm-Bd Wt-Dk-Cs-Bd Wt-Bkl-Bd Wt-Bd Wt-Bd-Kl Wt-Hs Wt-Bd-Kl-Lb-Hs Di Desa Sukatani (4,62 ha)
>30-45% Bd-Sld-Lb
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
>0-8% Wt-Bkl-Dk-Kl Wt-Lb Wt Hs
>8-15% >15-30% Wt-Bd Wt-Bd-Dk Wt-Dk-Cs Wt-Dk Wt-Dk-Bd Wt-Dk-Kl Wt-Hs Wt-Bd-Cs Wt-Lb-Cs Wt-Lb-Cs-Dk Wt-Cs Wt-Dk-Cs-Bd Wt Lb Di Desa Sindangjaya (5,80 ha)
>30-45%
No >0-8% >8-15% 1 Wt Wt-Pl-Bd 2 Bkl Wt-Bkl-Bd 3 Wt-Lb-Sw-Bd Wt 4 Wt-Bd Wt-Bd 5 Wt-Hs-Kl Bd 6 Wt-Hs Bkl 7 Wt-Hs-Kl-Lb Wt-Bd-Kl 8 Hs 9 Wt-Hs 10 Wt-Bd-Kl-Lb-Hs Keterangan: Wt = Wortel Lb = Lobak Cs = Ceisin Bkl = Brokoli Hs = Horinso Pl = Poling/Horinso Dm = Daun Mint Sld = Seladri Sw = Sawi
>15-30% Bkl-Sw-Bd-Pl Wt-Bd Wt-Lb Dm-Bd
>30-45% Bd-Slb-Lb
Dk = Daikon Kl = Kailan Bd = Bawang Daun
Tabel 13 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi kemiringan lereng semakin rendah keragaman pola tanam. Tingginya kemiringan
80
lereng cenderung semakin membatasi pilihan komoditi pola tanam yang dapat ditanam. Faktor teknis budidaya seperti penyiapan lahan dan pemeliharaan tanaman mengakibatkan jenis tanaman tertentu seperti horinso dan kailan tidak dapat diusahakan petani pada lahan dengan kelas kelerengan >15-30%. Gambaran pola tanam tumpangsari yang diusahakan petani di Kawasan Agropolitan PacetCianjur sebagaimana disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Pola Tanam Tumpangsari di Kawasan Agropolitan
Untuk permintaan pasar terhadap berbagai jenis sayuran dan produk tanaman hortikultura mendorong petani untuk mengusahakan berbagai jenis tanaman. Walaupun skala pengusahaannya kecil, tetapi petani merasa lebih aman jika menanam tanaman yang mudah dijual meskipun nilainya tidak terlalu mahal. Keterbatasan kemampuan tenaga kerja keluarga dan kurang tersedianya modal usaha yang cukup, menjadikan lahan yang mereka usahakan relatif sempit berkisar antara 0,02-0,30 ha. Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah, tanggungan keluarga rata-rata 3 sampai 5 orang, menjadikan petani lebih memilih tanaman yang cepat menghasilkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Dari sekian banyak tanaman yang diusahakan, semuanya tergolong tanaman semusim dengan pola tanam tumpangsari (polyculture) yang diganti setiap periode panen. Jika dilihat dari aspek penutupan lahan, pola tanam seperti ini tidak memiliki perlindungan tanah secara permanen. Sementara itu tindakan konservasi tanah yang diperlukan terutama pada lahan berlereng tidak dilakukan oleh petani. Dalam pengelolaan lahan dengan sistem pola tanam yang bersifat tumpangsari di kawasan agropolitan lahan digunakan secara terus menerus tidak pernah diistirahatkan. Karena petani tidak akan mendapatkan penghasilan
81
terutama
untuk
kebutuhan
sehari-hari.
Konsekuensi
nantinya
akan
mengakibatkan produktivitas lahan dari waktu ke waktu semakin menurun. Hal ini sangat terkait dengan hasil penelitian Situmorang (2004), kondisi lahan di kawasan agropolitan sudah miskin kandungan bahan organik sehingga apabila kondisi fisik lahan tidak diperhatikan maka pengembangan kawasan agropolitan akan gagal. Menurut Saefulhakim (2004), semakin tinggi nilai indeks diversitas tanaman dari suatu petak lahan mengindikasikan bahwa resiko yang dihadapi oleh petani semakin tinggi. Karena itu pola tanam polikultur menjadi pola tanam paling rasional dalam kondisi penguasaan lahan yang sempit dan resiko fluktuasi harga yang tinggi.
5.2. Analisis Kelayakan Usahatani Komoditas Hortikultura dan Produktivitas Usahatani dengan Penguasaan Lahan Serta Peran Petani Terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah Untuk
menentukan
tingkat
kelayakan
sistem
usahatani
yang
dikembangkan petani di kawasan agropolitan Pacet-Cianjur diperlukan analisis usahatani mengenai hubungan ekonomi antara output yang dihasilkan dengan input yang digunakan. Tiga variabel yang menjadi komponen dalam analisis ini adalah biaya produksi, penerimaan, dan pendapatan usahatani.
5.2.1. Analisis Biaya Produksi Penggunaan Pupuk dan Pestisida Biaya produksi adalah jumlah biaya yang dikeluarkan petani selama berlangsungnya proses produksi dalam usahatani komoditas hortikultura. Biaya itu meliputi biaya variabel (biaya-biaya untuk keperluan bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja) penyusutan alat, dan sewa lahan. Seiring dengan semakin meningkatnya dan beragamnya jenis sayuran yang ditanam pada pola tanam tumpangsari menyebabkan jenis-jenis pupuk dan pestisida yang digunakan semakin beragam, mulai dari pupuk dasar, seperti Urea, dan KCl hingga zat pemacu tumbuh dan pestisida berbagai merk sebagaimana tertera pada Tabel 14.
82
Tabel 14. Beberapa Jenis Pupuk, dan Pestisida yang Digunakan Petani Pada Pola Tanam Tumpangsari (Polyculture) di Kawasan Agropolitan PacetCianjur No. Desa / Jenis Pupuk dan Jenis Pestisida Wilayah Nama Produk 1. Desa Urea, SP.36, Pupuk Kandang, Curacron, Dursband, Sukatani Supergrowth, Antracol Supervit, Biotanik (4,62 ha) 2. Desa Urea, SP.36, Pupuk Kandang, Curacron, Dursban, Sindangjaya KCl, Supergrowth, Antracol, Victory, Agrimex, (5,80 ha) Green Asri, Bayfolant, Ortin, Decis Gandasil 3. Kawasan Urea, SP.36, Pupuk Kandang, Curacron, Dursband, Agropolitan KCl, Supergrowth, Antracol, Victory, Agrimex, (10,42 ha) Green Asri, Byfolant, Ortin, Decis, Supervit, Gandasil Biotanik Sumber: Data Primer (2006) diolah
Tabel 14 menunjukkan bahwa penggunaan jenis pupuk dan pestisida serta nama produk yang digunakan petani sangat beragam dikhawatirkan dalam jangka panjang akumulasi dari zat kimia ini akan mencemari tanah dan lingkungan, meskipun hasil panennya terlihat bagus. Karena hampir seluruh petani berpendapat bahwa pestisida dapat mengatasi masalah akibat serangan hama/penyakit tanaman. Kondisi ini menggambarkan bahwa pestisida masih menjadi pilihan utama dalam memberantas hama/penyakit tanaman. Jika suatu jenis pestisida dipergunakan terus menerus untuk suatu hama, maka jumlah dosis yang diperlukan lama kelamaan akan bertambah. Solusi yang petani lakukan adalah dengan berganti-ganti merk pestisida agar hama penyakit tidak menjadi resisten. Dampak lain dari penggunaan pestisida yang beragam akan berpengaruh terhadap
permintaan
konsumen,
karena
konsumen
cenderung
untuk
mengkonsumsi sayuran yang bebas dari zat-zat kimia seperti zat pemacu tumbuh dan pestisida. Apabila dilakukan analisis biaya rata-rata penggunaan jenis pupuk dan dan jenis pestisida yang digunakan petani untuk mengelola lahannya di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur sebagaimana disajikan pada Tabel 15.
83
Tabel 15. Analisis Rata-rata Jenis Pupuk, dan Pestisida yang Digunakan Petani Pola Tanam Tumpangsari (Polyculture) di Kawasan Agropolitan PacetCianjur No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Pupuk / Pestisida
Pupuk Urea (kg) SP.36 (kg) KCl (kg) Pupuk Kandang (kg) Supergrowth (ltr) Antracol (btl) Green Asri (klg) Byfolan (ltr) Gandasil (ltr) Pestisida Curacron (ml) Dursban (ltr) Victory (klg) Agrimex (cc) Ortin (ltr) Decis (klg) Supervit (klg) Biotanik (tube) Jumlah
Desa Sukatani (0,13 ha) Unit Nilai (Rp)
Desa Sindangjaya (0,11 ha) Unit Nilai (Rp)
Kawasan Agropolitan (0,12 ha) Unit Nilai (Rp)
57 84.857 21 42.914 0 0 350 105.086 1 20.594 0,8 48.150 0 0 0 0 0 0
35 20 10 244 0,9 0,9 1 2,3 1,7
51.917 39.273 17.500 73.200 18.667 37.474 18.750 23.333 20.000
43 20 10 291 1 0,9 1 2,3 1,7
64.871 40.886 17.500 87.150 19.768 42.949 18.750 23.333 20.000
0,7 1,2 0 0 0 0 0,6 1
0,4 1,8 1 100 2 0,8 0 0
66.857 33.246 40.000 60.000 36.000 56.250 0 0 592.467
0,5 1,5 1 100 2 0,8 0,6 1
54.611 27.023 40.000 60.000 36.000 56.250 5.909 10.500 625.500
30.800 21.630 0 0 0 0 5.909 10.500 370.440
Sumber: Data Primer (2006) diolah
Berdasarkan Tabel 15 diketahui biaya penggunaan pupuk dan pestisida untuk luasan lahan rata-rata 0,12 ha di kawasan agropolitan sebesar Rp.625.500,dalam satu kali musim tanam sistem pola tanam tumpangsari untuk satu petak lahan. Tingkat pengeluaran biaya bervariasi untuk pupuk dan pestisida, yang utama adalah pembelian pupuk kandang, pupuk urea dan diikuti pengeluaran biaya pupuk lainnya. Jenis yang digunakan adalah pestisida, jenis agrimex dan decis. Desa Sindangjaya lebih besar mengeluarkan biaya untuk pembelian pupuk dan pestisida walaupun luasan lahannya lebih kecil dibandingkan dengan Desa Sukatani dengan total pengeluaran biaya sebesar Rp.592.467,- berbeda dengan Desa Sukatani yang hanya mengeluarkan total biaya untuk pembelian pupuk dan pestisida sebesar Rp.370.440,-. Hal ini disebabkan karena pengeluaran biaya pembelian pestisida lebih kecil dibandingkan Desa Sindangjaya. Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya memang berbeda kondisi fisik lahannya, misalnya
84
ketersediaan air, kesesuaian lahan, kemudahan pengelolaan teknis budidaya, dan pola tanam tumpangsari yang diusahakan. Di Desa Sindangjaya beragam jenis sayuran tumpangsari yang ditanam karena tanahnya lebih subur dan produktif sehingga pengeluaran biaya pembelian pupuk dan pestisida lebih besar, baik secara analisis biaya pengeluaran rata-rata maupun secara pengeluaran total. Hal inilah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani kedua desa tersebut karena perbedaan kondisi fisik lahan. Adapun analisis biaya pengeluaran pembelian pupuk dan pestisida secara total untuk luasan lahan 10,12 ha di kawasan agropolitan, sebagaimana disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Analisis Total Jenis Pupuk, dan Pestisida yang Digunakan Petani Pada Pola Tanam Tumpangsari (Polyculture) di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur No
Jenis Pupuk / Pestisida
Desa Sukatani (4,62 ha) Unit Nilai (Rp)
Pupuk Urea (kg) 1.980 2.970.000 SP.36 (kg) 751 1.502.000 KCl (kg) 0 0 Pupuk Kandang (kg) 12.260 3.678.000 Supergrowth (ltr) 33,2 659.000 Antracol (btl) 16,1 963.000 Green Asri (klg) 0 0 Byfolan (ltr) 0 0 Gandasil (ltr) 0 0 Pestisida 1. Curacron (ml) 13,2 554.400 2. Dursban (ltr) 36,1 648.900 3. Victory (klg) 0 0 4. Agrimex (cc) 0 0 5. Ortin (ltr) 0 0 6. Decis (klg) 0 0 7. Supervit (klg) 6,5 65.000 8. Biotanik (tube) 2 21.000 Jumlah 11.061.300 Sumber: Data Primer (2006) diolah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Desa Sindangjaya (5,80 ha) Unit Nilai (Rp)
Kawasan Agropolitan (10,12 ha) Unit Nilai (Rp)
1.869 2.803.500 864 1.728.000 263 472.500 10.980 3.294.000 22,6 448.000 17,8 712.000 4 75.000 14 140.000 5 60.000
3.849 3.615 263 23.240 55,8 33,9 4 14 5
5.773.500 3.230.000 472.500 6.972.000 1.107.000 1.675.000 75.000 140.000 60.000
13 2.340.000 46,8 864.400 3 120.000 300 180.000 6 108.000 1,5 112.500 0 0 0 0 13.457.900
26,2 82,9 3 300 6 1,5 6,5 2,0
2.894.400 1.513.300 120.000 180.000 108.000 112.500 65.000 21.000 24.519.200
Tabel 16 menjelaskan bahwa untuk luasan lahan 10,42 ha di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur diperlukan biaya untuk pengeluaran pupuk dan pestisida sebesar Rp.24.519.200,-. (Desa Sukatani dengan luasan lahan 4,62 ha sebesar Rp.11.061.300,- dan Desa Sindangjaya dengan luasan lahan 5,80 ha sebesar Rp.13.457.900,-). Jenis pestisida lebih banyak digunakan oleh Desa
85
Sindangjaya, karena kondisi fisik lahan (solum tanah dan kesuburan tanah) berbeda dengan Desa Sukatani. Begitu juga jenis sayuran pola tanam tumpangsari yang diusahakan petani Desa Sindangjaya sangat beragam macam dan jenisnya sehingga penggunaan pupuk dan pestisida juga beragam penggunaannya. Dari sudut pandang ekologi dan kesehatan, aplikasi pestisida berlebih berdampak terhadap kualitas produk sayuran. Secara fisibilitas tekstur atau penampilan komoditas hortikultura (sayuran) memang menarik konsumen, karena tidak ada bekas kerusakan akibat serangan hama dan penyakit. Akan tetapi dalam jangka panjang akan berdampak terhadap kepercayaan konsumen karena kandungan pestisida yang cukup tinggi. Petani cenderung bersifat over preventif dalam menanggulangi hama dan penyakit. Aplikasi pestisida cenderung tidak memperhatikan batas ambang ekonomi serangan hama dan penyakit. Dampaknya terjadi pemborosan biaya perawatan tanaman yang tidak hanya biaya pembelian bahan pestisida juga biaya tenaga kerjanya. Oleh karena itu, antisipasi berupa penyuluhan dan peningkatan aplikasi teknologi yang lebih ramah lingkungan terkait dengan isu lingkungan merupakan salah satu alasan agar penggunaan pestisida kimia segera dikurangi karena berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan, yaitu dengan menganjurkan ditingkatkan penggunaan pupuk organik atau penggunaan pupuk kimia sesuai dengan standarisasi (jenis, dosis, waktu, dan cara) yang telah ditetapkan oleh Dinas Pertanian setempat. Misalnya penggunaan pupuk kandang yang dapat memasok nutrient yang dibutuhkan sayuran diberikan sebelum penanaman pada saat pengolahan tanah. Pupuk kandang juga dapat meningkatkan kandungan tanah akan karbon organik, nitrogen organik, sehingga mengakibatkan kenaikan pH yang nyata (Sanchez, 1992). Begitu juga halnya dalam penyemprotan tanaman, jika tanaman semakin tua konsentrasi yang diperlukan dalam penyemprotan tidak semakin tinggi. Hal ini berkaitan dengan harga pestisida yang cukup mahal sehingga petani tidak perlu terlalu sering untuk menyemprot tanamannya. Karena dengan penyemprotan dengan intensitas dan frekuensi tinggi dapat menyebabkan patogen penyebab hama/penyakit menjadi resisten. Juga dalam melakukan penyemprotan hendaknya melihat arah mata angin.
86
5.2.2. Analisis Biaya Produksi, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Komoditas Hortikultura Komoditas yang dibudidayakan oleh para petani (sebagai pengelola lahan milik atau lahan sewa) pada lahan usahanya, baik yang berupa tegalan, maupun pekarangan berupaya mengintegrasikan teknologi, kapital, dan tenaga kerja untuk mengeksploitir sumberdaya lahan yang dikuasainya berupaya memaksimumkan profit yang diperoleh. Namun pendapatan dari usahatani yang dikelola belum bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari disebabkan sempitnya kepemilikan luas lahan yang menyebabkan sulitnya melakukan pengaturan penanaman dalam suatu hamparan guna memperoleh volume produksi yang mencukupi untuk skala pertanian berorientasi industri. Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur yang mencakup Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya sangat berbeda. Perbedaan ini menyangkut aspek-aspek sumberdaya tanah, sumberdaya air, sumberdaya manusia, unsur teknologi, dan perekonomian masyarakat. Hal ini terlihat di Desa Sukatani dalam penggunaan pupuk secara rata-rata untuk luasan 0,13 ha sebesar Rp.232.857,- dan tenaga kerja secara rata-rata sebesar Rp.471.086,- lebih besar dari pada Desa Sindangjaya yang tanahnya lebih subur dan jenis pola tanam tumpangsari lebih banyak atau beragam yang berpengaruh juga pada perbedaan pendapatan, baik secara rata-rata maupun secara total, seperti tertera pada Tabel 17 dan 18. Tabel 17. Analisis Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan Rata-Rata Usahatani Pola Tanam Tumpangsari Komoditas Hortikultura di Lahan Petani Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur No
Aspek Usahatani
Input Variabel 1. Biaya Bibit (Rp) 2. Biaya Pupuk (Rp) 3. Biaya Pestisida (Rp) 4. Biaya Tenaga Kerja (Rp) 5. Biaya Penyusutan Alat (Rp/MT) 6. Sewa Lahan (Rp.5 juta/ha/th) 7. Total Biaya (Rp) 8. Total Penerimaan (Rp) 9. Total Pendapatan (Rp) Sumber: Data Primer (2006) diolah
Desa Sukatani (0,13 ha) 164.043 232.857 83.180 471.086 3.102 659.286 1.613.554 2.634.143 1.020.589
Desa Sindangjaya (0,11 ha) 100.536 150.873 93.816 378.109 4.835 527.318 1.255.488 3.005.791 1.750.303
Kawasan Agropolitan (0,12 ha) 125.233 182.756 89.680 414.267 4.741 578.639 1.394.816 2.861.261 1.466.526
87
Tabel 18.
No
Analisis Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan Total Usahatani Pola Tanam Tumpangsari (Polyculture) Komoditas Hortikultura di Lahan Petani Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur Desa Sukatani (4,62 ha)
Aspek Usahatani
Input Variabel 1. Biaya Bibit (Rp) 2. Biaya Pupuk (Rp) 3. Biaya Pestisida (Rp) 4. Biaya Tenaga Kerja (Rp) 5. Biaya Penyusutan Alat (Rp/MT) 6. Sewa Lahan (Rp.5 juta/ha/th) 7. Total Biaya (Rp) 8. Total Penerimaan (Rp) 9. Total Pendapatan (Rp) Sumber: Data Primer (2006) diolah
5.741.500 8.150.000 2.911.300 16.488.000 108.584 23.075.000 56.474.384 92.195.000 35.720.616
Desa Sindangjaya (5,80 ha) 5.529.500 8.298.000 5.159.900 20.796.000 265.918 29.002.500 69.051.818 165.318.500 96.266.682
Kawasan Agropolitan (10,42 ha) 11.271.000 16.448.000 8.071.200 37.284.000 374.502 52.077.500 125.526.202 257.513.500 131.987.298
Kelas kemiringan lereng sangat berpengaruh pada pendapatan petani dari pola tanam tumpangsari yang diusahakan di kawasan agropolitan. Secara rata-rata kebanyakan jenis tanaman yang diusahakan dan dikembangkan di kelas kemiringan lereng >8-15%
dibandingkan dengan kelas kelerengan 0-8%,
>15-30%, >30-45%. Kondisi ini disebabkan curah hujan, kondisi fisik tanah, topografi, hidrologi dan atau drainase, serta tingkat kesesuaian lahan juga sangat berpengaruh. Begitu juga teknik budidaya dan konservasi yang dilakukan tidak terlalu sulit dan tidak memerlukan biaya tinggi untuk biaya pemeliharaan atau perawatan. Pada kelas kemiringan lereng >8-15% produktivitas lahan cukup tinggi sehingga volume produksi tinggi dan penerimaan petani lebih tinggi dibandingkan pada kelas kemiringan lereng yang lain secara rata-rata maupun total, baik untuk Desa Sukatani maupun Desa Sindangjaya. Di Desa Sukatani kondisi fisik tanah datar sehingga jarang atau relatif tidak ada petani yang mengusahakan di kemiringan lereng >15-30% dan >30-45% berbeda dengan Desa Sindangjaya yang kondisi fisik tanah bergelombang sampai berbukit. Di Desa Sindangjaya luas lahan yang diusahakan secara rata-rata di kemiringan lereng >15-30% dan >3045% masing-masing hanya luasan 0,05 ha. Akan tetapi apabila dilihat secara total untuk kawasan agropolitan luasan pada kemiringan lereng >15-30% cukup luas 0,25 ha, dan di kemiringan lereng >30-45% seluas 0,15 ha, sebagaimana disajikan pada Tabel 19.
88
Tabel 19. Analisis Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan Rata-Rata Usahatani Komoditas Hortikultura Pola Tanam Tumpangsari (Polyculture) Berdasarkan Kelas Kemiringan Lereng Lahan Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur Di Kawasan Agropolitan (0,12 ha) Kelas Kemiringan Lereng No Keterangan >0-8% >8-15% >15-30% >30-45% 1 Bibit (Rp) 277.622 262.739 79.000 75.000 2 Pupuk (Rp) 318.399 406.864 118.100 116.500 3 Pestisida (Rp) 189.088 165.109 156.000 115.000 4 Tenaga Kerja (Rp) 775.692 899.371 245.600 227.333 5 Penyusutan Alat (Rp/MT) 10.217 7.532 4.533 2.569 6 Sewa Lahan (Rp.5 jt/ha/th) 1.179.487 1.246.372 245.000 250.000 7 Total Biaya (Rp) 2.750.506 2.987.986 848.233 786.403 8 Total Penerimaan (Rp) 4.821.936 6.194.571 1.524.000 2.202.333 9 Total Pendapatan (Rp) 2.071.430 3.206.585 675.767 1.415.931 10 Luas Lahan (ha) 0,24 0,25 0,05 0,05 Di Desa Sukatani (0,13 ha) Kelas Kemiringan Lereng No Keterangan >0-8% >8-15% >15-30% >30-45% 1 Bibit (Rp) 151.083 166.724 2 Pupuk (Rp) 177.583 244.293 3 Pestisida (Rp) 104.550 78.759 4 Tenaga Kerja (Rp) 410.000 483.724 5 Penyusutan Alat (Rp/MT) 4.368 2.841 6 Sewa Lahan (Rp.5 jt/ha/th) 608.333 669.828 7 Total Biaya (Rp) 1.455.918 1.646.168 8 Total Penerimaan (Rp) 2.366.667 2.689.483 9 Total Pendapatan (Rp) 910.749 1.043.315 10 Luas Lahan (ha) 0,12 0,13 Di Desa Sindangjaya (0,11 ha) No
Keterangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bibit (Rp) Pupuk (Rp) Pestisida (Rp) Tenaga Kerja (Rp) Penyusutan Alat (Rp/MT) Sewa Lahan (Rp.5 jt/ha/th) Total Biaya (Rp) Total Penerimaan (Rp) Total Pendapatan (Rp) Luas Lahan (ha)
Sumber: Data Primer (2006) diolah
>0-8% 126.538 140.815 84.538 365.692 5.849 571.154 1.294.588 2.455.269 1.160.681 0,11
Kelas Kemiringan Lereng >8-15% >15-30% 96.015 79.000 162.571 118.100 86.350 156.000 415.647 245.600 4.691 4.533 576.544 245.000 1.341.818 848.233 3.505.088 1.524.000 2.163.271 675.767 0,12 0,05
>30-45% 75.000 116.500 115.000 227.333 2.569 250.000 786.403 2.202.333 1.415.931 0,05
89
Tabel 20. Analisis Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan Total Usahatani Komoditas Hortikultura Pola Tanam Tumpangsari (Polyculture) Berdasarkan Kelas Kemiringan Lereng Lahan Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur Di Kawasan Agropolitan (10,42 ha) Kelas Kemiringan Lereng No Keterangan >0-8% >8-15% >15-30% >30-45% 1 Bibit (Rp) 2.551.500 8.099.500 395.000 225.000 2 Pupuk (Rp) 2.896.100 12.611.900 590.500 349.500 3 Pestisida (Rp) 1.726.300 5.219.900 780.000 345.000 4 Tenaga Kerja (Rp) 7.214.000 28.160.000 1.228.000 682.000 5 Penyusutan Alat (Rp/MT) 102.250 241.877 22.667 7.708 6 Sewa Lahan (Rp5jt/ha/th) 11.075.000 39.027.500 1.225.000 750.000 7 Total Biaya (Rp) 25.565.150 93.360.677 4.241.167 2.359.208 8 Total Penerimaan (Rp) 46.118.500 197.168.000 7.620.000 6.607.000 9 Total Pendapatan (Rp) 20.553.350 103.807.323 3.378.833 4.247.792 10 Luas Lahan (ha) 2,22 7,81 0,25 0,15 Di Desa Sukatani (4,62 ha) Kelas Kemiringan Lereng No Keterangan >0-8% >8-15% >15-30% >30-45% 1 Bibit (Rp) 906.500 4.835.000 2 Pupuk (Rp) 1.065.500 7.084.500 3 Pestisida (Rp) 627.300 2.284.000 4 Tenaga Kerja (Rp) 2.460.000 14.028.000 5 Penyusutan Alat (Rp/MT) 26.209 82.375 6 Sewa Lahan (Rp5jt/ha/th) 3.650.000 19.425.000 7 Total Biaya (Rp) 8.735.509 47.738.875 8 Total Penerimaan (Rp) 14.200.000 77.995.000 9 Total Pendapatan (Rp) 5.464.491 30.256.125 10 Luas Lahan (ha) 0,73 3,89 Di Desa Sindangjaya (5,80 ha) No
Keterangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bibit (Rp) Pupuk (Rp) Pestisida (Rp) Tenaga Kerja (Rp) Penyusutan Alat (Rp/MT) Sewa Lahan (Rp5jt/ha/th) Total Biaya (Rp) Total Penerimaan (Rp) Total Pendapatan (Rp) Luas Lahan (ha)
>0-8% 1.645.000 1.830.600 1.099.000 4.754.000 76.041 7.425.000 16.829.641 31.918.500 15.088.859 1,49
Kelas Kemiringan Lereng >8-15% >15-30% 3.264.500 395.000 5.527.400 590.500 2.935.900 780.000 14.132.000 1.228.000 159.502 22.667 19.602.500 1.225.000 45.621.802 4.241.167 119.173.000 7.620.000 73.551.198 3.378.833 3,92 0,25
>30-45% 225.000 349.500 345.000 682.000 7.708 750.000 2.359.208 6.607.000 4.247.792 0,15
Sumber: Data Primer (2006) diolah
Di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur kebanyakan lahan sewa, karena pemiliknya tinggal di luar kota, misalnya Jakarta, Bogor, dan Bandung. Sehingga dalam perhitungan pendapatan usahatani perlu dimasukkan berapa nilai sewa dalam satu luasan lahan yang diusahakan, misalnya Rp.5 juta/ha/tahun. Untuk
90
Desa Sukatani luasan lahan sewa secara total 0,18 ha dan Desa Sindangjaya sebesar 0,05 ha. Secara total luas lahan sewa untuk kawasan agropolitan seluas 0,23 ha dan secara rata-rata lahan sewa seluas 0,08 ha. Untuk penggunaan alat pertanian juga perlu dilakukan perhitungan penyusutan alat setiap musim tanam. Nilai penyusutan alat pertanian, misalnya cangkul, gacok, sprayer, parang, linggis dihitung berdasarkan harga beli, umur ekonomis dan nilai sisa.
5.2.3. Analisis Kelayakan Usahatani Komoditas Hortikultura Untuk melihat sejauhmana usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan menguntungkan atau tidak digunakan analisis R/C rasio. Dalam wawancara dengan petani, petani cenderung menanam beberapa jenis komoditas hortikultura dalam satuan luas lahan yang sama. Rata-rata R/C rasio usahatani tumpangsari komoditas hortikultura di kawasan agropolitan disajikan pada Tabel 21 dan 22. Tabel 21. Analisis R/C Rasio Rata-Rata Usahatani Tumpangsari (Polyculture) Komoditas Hortikultura di Lahan Petani Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur Desa Desa Kawasan No. Aspek Usahatani Sukatani Sindangjaya Agropolitan (0,13 ha) (0,11 ha) (0,12 ha) 1. Input Variabel : a. Biaya Bibit (Rp) 164.043 100.536 125.233 b. Biaya Pupuk (Rp) 232.857 150.873 182.756 c. Biaya Pestisida (Rp) 83.180 93.816 89.680 d. Biaya Tenaga Kerja (Rp) 471.086 378.109 414.267 Total Biaya Variabel (Rp) 951.166 723.335 811.936 2. Input Tetap : a. Biaya Sewa Lahan (Rp/ha/th) 659.286 527.318 578.639 b. Biaya Penyusutan Alat (Rp/MT) 3.102 4.835 4.161 Total Biaya Tetap (Rp) 662.388 532.153 582.800 Total Biaya (Variabel+Tetap) (Rp) 1.613.554 1.255.488 1.394.736 3. Output : Total Output Produksi Komoditas (Rp) 2.634.143 3.005.791 2.861.261 4. Produktivitas Komoditas : R/C atas Total Input Variabel 3,16 3,90 3,61 R/C atas Total Input 1,92 2,33 2,17 (Input Variabel+Input Tetap) Sumber: Data Primer (2006) diolah
91
Tabel 22. Analisis R/C Rasio Total Usahatani Tumpangsari (Polyculture) Komoditas Hortikultura di Lahan Petani Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur Desa Desa Kawasan No. Aspek Usahatani Sukatani Sindangjaya Agropolitan (4,62 ha) (5,80 ha) (10,42 ha) 1. Input Variabel : a. Biaya Bibit (Rp) 5.741.500 5.529.500 11.271.000 b. Biaya Pupuk (Rp) 8.150.000 8.298.000 16.448.000 c. Biaya Pestisida (Rp) 2.911.300 5.159.900 8.071.200 d. Biaya Tenaga Kerja (Rp) 16.488.000 20.796.000 37.284.000 Total Biaya Variabel (Rp) 33.290.800 39.783.400 73.074.200 2. Input Tetap : a. Biaya Sewa Lahan (Rp/ha/th) 23.075.000 29.002.500 52.077.500 b. Biaya Penyusutan Alat (Rp/MT) 108.584 265.918 374.592 Total Biaya Tetap (Rp) 23.183.584 29.268.418 52.452.002 Total Biaya (Variabel+Tetap) (Rp) 56.474.384 69.051.818 125.526.202 3. Output : Total Output Produksi Komoditas (Rp) 92.195.000 165.318.500 257.513.500 4. Produktivitas Komoditas : R/C atas Total Input Variabel 3,16 3,90 3,61 R/C atas Total Input 1,92 2,33 2,17 (Input Variabel+Input Tetap) Sumber: Data Primer (2006) diolah
Dari Tabel 21 dan 22. di atas nampak bahwa usahatani tumpangsari komoditas
hortikultura
pada
masing-masing
luas
lahan
masih
cukup
menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari nilai R/C ratio atas total input variabel dan input tetap pada masing-masing luas lahan dimana nilai R/C ratio lebih dari 1 hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomis kegiatan usahatani yang dilakukan menguntungkan karena penerimaan yang diterima lebih besar dari biaya produksi yang dikeluarkan. Misalnya pada luas lahan 0,13 ha dan 4,62 ha di Desa sukatani yang menunjukkan angka 3,16 pada total input variabel dan nilai R/C ratio atas total input sebesar 1,92. Artinya dibandingkan dengan total biaya variabel ternyata aktivitas usahatani ini mampu memberikan tambahan pendapatan sebesar 16% dari biaya. Keuntungan yang diperoleh oleh petani relatif sedikit karena disebabkan oleh semakin tingginya harga input variabel di tingkat petani akibat kelangkaan atau keterbatasan input variabel di tingkat distributor. Sedangkan bila dibandingkan dengan biaya total ternyata aktivitas usahatani ini mampu memberikan tambahan pendapatan sebesar 92%. Namun tentunya yang perlu diperhatikan adalah sistem penjualan yang tidak selalu bisa langsung diterima pembayarannya terutama apabila menjual ke
92
supplier untuk hotel dan restoran. Selain itu pemanenan komoditas yang tidak bersamaan juga membuat nilai penerimaan itu tidak bisa diterima sekaligus secara bebarengan setelah satu musim. Untuk wortel baru bisa dipanen setelah 4 bulan, sedangkan bawang daun baru bisa dipanen setelah 3 bulan. Kondisi di atas mengakibatkan penerimaan petani sangat berfluktuasi tergantung pada jenis tanaman yang sudah bisa dipanen dan sistem pembayaran yang dipilih. Luas lahan yang sempitpun berpengaruh terhadap produktivitas lahan dalam menghasilkan produk. Terkadang petani tidak mampu memenuhi permintaan pasar akibat hasil produksi sangat rendah. Karena itu sebenarnya petani tetap saja hidup dalam kondisi pas-pasan karena keuntungan yang diperoleh bersifat tidak menentu dan juga tidak terjadi akumulasi modal karena keuntungan tiap kali panen relatif kecil. Berdasarkan hasil penelitian Pribadi (2005), kondisi ini masih lebih baik apabila dibandingkan dengan kelayakan usahatani sebelum program agropolitan dilaksanakan. Sebelum berlangsungnya program agropolitan nilai R/C ratio atas total input variabel hanya 1,30. Sedangkan nilai R/C atas total input menjadi lebih rendah lagi yaitu hanya mencapai 1,18. Dengan demikian sampai sejauh ini keberadaan program agropolitan telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani walaupun relatif kecil. Ini menunjukkan bahwa masih ada kelemahan pemerintah dalam menerapkan kebijakan agropolitan. Jadi sebenarnya nilai peningkatan pendapatan petani ini masih jauh dari target yang diharapkan mengingat sudah sedemikian banyak dana program agropolitan yang telah dikucurkan. Pemerintah perlu mengoptimalkan pelaksanaan program agropolitan terutama dalam subsistem kelembagaan sehingga terjadi koordinasi antar lembaga terkait, peningkatan peran masyarakat melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang intensif sehingga meningkatkan kualitas petani dalam memberdayakan faktor produksi yang dimiliki, dan tersedianya sarana jalan serta transportasi yang memadai bagi petani dalam memasarkan produk. Karena secara spasial wilayah perdesaan yang tersebar dengan sarana jalan yang terbatas, mengakibatkan hanya pedagang atau tengkulak tertentu saja yang mampu memasukinya. Kondisi ini
93
akan mendorong pedagang atau tengkulak untuk mengeksploitasi petani-petani kecil. Dengan dibangunnya akses jalan dan tersedianya transportasi yang memadai maka akan lebih banyak pedagang atau tengkulak yang mampu memasuki wilayah tersebut. Sampai tahap tertentu dengan sendirinya jumlah pedagang atau tengkulak menjadi lebih banyak ini akan mendorong struktur pasar ke arah pasar kompetitif. Sebagai akibatnya terjadi persaingan harga beli komoditas dari petani, sehingga petani dapat memilih harga yang lebih menguntungkan. Di kawasan agropolitan dampak ini juga dirasakan oleh petani, tetapi masih terbatas hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Pada saat suplai komoditas tertentu di pasar jumlahnya menurun, maka banyak pedagang atau tengkulak yang akan naik ke desa-desa dan bersaing untuk membeli produk petani dengan harga tinggi. Pada kondisi demikian maka petani akan menikmati harga yang lebih tinggi diatas harga rata-rata. Menurut Asdak (2001) untuk mendapatkan keuntungan usahatani yang lebih tinggi, penggunaan input eksternal harus dikurangi. Sebaliknya, input internal yang tersedia harus lebih diandalkan (high internal input), karena akan memberikan berbagai keuntungan. Penggunaan input eksternal dapat dilakukan, terutama kalau keadaan mendesak. Untuk itu implementasi dari konsep ecoefisiensi sangat diperlukan. Konsep eco-efisiensi mempunyai arti perpaduan yang efektif antara ekonomi dan ekologi.
5.2.4. Analisis Produksi dan Produktivitas Usahatani Sistem usahatani komoditas hortikultura yang dikembangkan oleh petani di kawasan agropolitan cenderung melakukan pola tanam dengan sistem tumpangsari dalam satuan luas lahan ditanami beragam jenis komoditas hortikultura. Sistem usahatani tumpangsari merupakan upaya untuk mengurangi resiko pasar berupa perubahan harga ketika panen. Perubahan harga yang merugikan salah satu komoditas hortikultura akan dikompensasi dengan kenaikan harga komoditas lainnya. Pola tanam polikultur ini mempersulit perhitungan dalam analisis usahatani jika mencari biaya produksi per unit komoditas
94
hortikultura. Penggunaan faktor produksi cenderung bersifat joint cost. Pemakaian faktor produksi ditujukan untuk semua komoditas hortikultura, seperti aplikasi pupuk tidak khusus untuk satu tanaman tapi juga digunakan untuk tanaman lain. Di samping sulit menghitung tingkat biaya per unit juga kesulitan memperkirakan produktivitas per satuan luas. Rendahnya produktivitas dan kualitas produksi usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan Pacet-Cianjur masih menjadi permasalahan yang dihadapi petani. Sekalipun produksinya meningkat namun tingkat produktivitas yang dicapai masih rendah. Teknik budidaya yang dikuasai, ketersediaan modal dan daya beli terhadap input produksi dan sumberdaya manusia sangat erat kaitannya dengan rendahnya produktivitas. Hampir sebagian besar petani memiliki keterbatasan modal, dengan luasan lahan yang relatif sempit rata-rata hanya sekitar 0,02-0,30 ha sehingga rata-rata keuntungan jauh di bawah Rp.10.000.000,- setiap musim tanam seperti disajikan pada Tabel 23 dan 24.
95
Tabel 23. Analisis Produksi Rata-Rata dan Produktivitas Komoditas Hortikultura Tumpangsari (Polyculture) Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur Di Kawasan Agropolitan (0,12 ha) Komoditas Luas Volume Harga Nilai Produktivitas No Hortikultura Lahan (kg) Satuan Produksi (kg/ha) (Polyculture) (ha) (Rp) (Rp) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
No 1 2 3 4 5 6 7 8
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Wortel Bawang Daun Kailan Lobak Horinso/Poling Brokoli Daikon Ceisin Sawi Daun Mint Seledri Jumlah Komoditas Hortikultura (Polyculture) Wortel Brokoli Daikon Kailan Bawang Daun Ceisin Horinso Lobak Jumlah Komoditas Hortikultura (Polyculture)
0,07 2.537 949 0,05 366 1.968 0,02 166 1.755 0,02 571 558 0,05 207 3.234 0,03 733 2.625 0,05 533 470 0,05 383 493 0,02 210 500 0,01 1.800 1.000 0,02 683 2.500 0,39 Di Desa Sukatani (0,13 ha) Luas Volume Harga Lahan (kg) Satuan (ha) (Rp)
2.407.613 720.288 291.330 318.618 669.438 1.924.125 250.510 188.819 105.000 1.800.000 1.707.500 10.383.241
0,06 2.403 823 0,02 375 2.000 0,05 533 470 0,03 217 1.100 0,05 365 1.970 0,05 383 493 0,15 285 5.000 0,03 707 471 0,44 Di Desa Sindangjaya (0,11 ha) Luas Volume Harga Lahan (kg) Satuan (ha) (Rp)
1.977.669 750.000 250.510 238.700 719.050 188.819 1.425.000 332.997 5.882.745
Wortel 0,07 Brokoli 0,04 Sawi 0,02 Bawang Daun 0,05 Daun Mint 0,01 Horinso 0,03 Seledri 0,02 Lobak 0,01 Kailan 0,02 Jumlah 0,27 Sumber: Data Primer (2006) diolah
2.528 913 210 366 1.800 196 683 484 147
1.006 2.938 500 1.968 1.000 2.982 2.500 614 2.000
Nilai Produksi (Rp)
Nilai Produksi (Rp) 2.543.168 2.682.394 105.000 720.288 1.800.000 584.472 1.707.500 297.176 294.000 10.733.998
36.243 7.320 8.300 28.550 4.140 24.433 10.660 7.660 10.500 180.000 34.150 351.956 Produktivitas (kg/ha) 40.050 18.750 10.660 7.233 7.300 7.660 1.900 23.567 117.120 Produktivitas (kg/ha) 36.114 22.825 10.500 7.320 180.000 6.533 34.150 48.400 7.350 353.193
96
Tabel 24. Analisis Produksi Total dan Produktivitas Komoditas Hortikultura Tumpangsari (Polyculture) Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur Di Kawasan Agropolitan (10,42 ha) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
No 1 2 3 4 5 6 7 8
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Komoditas Hortikultura (Polyculture) Wortel Bawang Daun Kailan Lobak Horinso/Poling Brokoli Daikon Ceisin Sawi Daun Mint Seledri Jumlah Komoditas Hortikultura (Polyculture) Wortel Brokoli Daikon Kailan Bawang Daun Ceisin Horinso Lobak Jumlah Komoditas Hortikultura (Polyculture) Wortel Brokoli Sawi Bawang Daun Daun Mint Horinso Seledri Lobak Kailan Jumlah
Luas Volume Harga Lahan (kg) Satuan (ha) (Rp) 5,24 197.875 949 1,92 13.900 1.968 0,27 1.825 1.755 0,36 10.275 558 0,74 3.310 3.234 0,20 4.400 2.625 0,92 10.660 470 0,65 5.360 493 0,04 420 500 0,01 1.800 1.000 0,05 2.050 2.500 10,42 Di Desa Sukatani (4,62 ha) Luas Volume Harga Lahan (kg) Satuan (ha) (Rp) 1,18 84.100 823 0,05 750 2.000 0,92 10.660 470 0,08 650 1.100 0,55 3.650 1.970 0,65 5.360 493 0,29 570 5.000 0,20 4.950 471 4,62 Di Desa Sindangjaya (5,80 ha) Luas Volume Harga Lahan (kg) Satuan (ha) (Rp) 3,37 113.775 1.006 0,16 3.650 2.938 0,04 420 500 1,37 10.250 1.968 0,01 1.800 1.000 0,45 2.740 2.982 0,05 2.050 2.500 0,16 5.325 614 0,19 1.175 2.000 5,80
Sumber: Data Primer (2006) diolah
Nilai Produksi (Rp) 187.783.375 27.355.200 3.202.875 5.733.450 10.704.540 11.550.000 5.010.200 2.642.480 210.000 1.800.000 5.125.000 261.117.120
Produktivitas (kg/ha) 37.762 7.240 6.759 28.542 4.473 22.000 11.587 8.246 10.500 180.000 41.000 358.109
Nilai Produksi (Rp) 69.214.300 1.500.000 5.010.200 715.000 7.190.500 2.642.480 2.850.000 2.331.450 91.453.930
Produktivitas (kg/ha) 44.734 15.000 11.587 8.125 6.636 8.246 1.966 24.750 121.044
Nilai Produksi (Rp) 114.457.650 10.723.700 210.000 20.172.000 1.800.000 8.170.680 5.125.000 3.269.550 2.350.000 166.278.580
Produktivitas (kg/ha) 33.862 22.813 10.500 7.482 180.000 6.089 41.000 33.281 6.184 341.210
97
5.3.
Analisis Peran Petani Terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah Hasil pengamatan di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur menunjukkan
bahwa sebagian besar lahan yang diusahakan petani memiliki sebaran kelas kemiringan lereng berkisar antara >8-15%, dan >15-30%, dengan kedalaman solum tanah berkisar antara 60–100 cm. Pada lahan yang memiliki kemiringan lereng diatas >15% petani menanam rumput untuk penguat teras, yang juga dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak, misalnya: sapi dan kambing. Penerapan teknik konservasi tanah yang murah dan mudah diterapkan yang demikian dianggap cukup efektif oleh petani dalam mencegah erosi yang bersifat spesifik lokasi serta berorientasi pada kebutuhan. Pengalaman dan pengetahuan ini sifatnya turun temurun atau warisan dari pendahulunya yang sudah berpengalaman bercocok tanam dan dalam melakukan perlindungan terhadap lahan yang diusahakan untuk mencegah erosi. Bentuk penerapan teknik konservasi tanah yang dilakukan petani di kawasan agropolitan dalam mencegah erosi, sebagaimana disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Tanaman Rumput yang Digunakan Untuk Mencegah Erosi
Gambar 12 menunjukkan bahwa teknologi konservasi tanah yang dilakukan petani di kawasan agropolitan untuk mencegah erosi sangat sederhana. Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan petani di kawasan agropolitan menunjukkan bahwa jenis tanaman yang digunakan untuk melindungi lahan dengan rumput untuk makanan ternak 64,93% (Desa Sukatani sebesar 97,13% dan Desa Sindangjaya sebesar 32,73%), semak 7,28% (Desa Sukatani sebesar 0%, dan Desa Sindangjaya sebesar 14,55%), tanaman semusim 13,25% (Desa Sukatani sebesar 2,86% dan Desa Sindangjaya sebesar 23,64%), campuran tanaman tahunan dan semusim 12,73% (Desa Sukatani sebesar 0% dan Desa
98
Sindangjaya sebesar 25,45%), dan tanaman tahunan 1,82% (Desa Sukatani sebesar 0% dan Desa Sindangjaya sebesar 3,64%) sebagaimana disajikan pada Gambar 13. 120.00
Persentase (%)
100.00 80.00 Desa Sukatani Desa Sindangjaya
60.00
Kawasan 40.00 20.00 0.00 Rumput untuk Makanan Ternak
Semak
Tanaman Semusim Campuran Tanaman Tanaman Tahunan Tahunan dan Semusim
Jenis Tanaman yang Digunakan untuk Melindungi Lahan
Gambar 13. Jenis Tanaman yang Digunakan Untuk Melindungi Lahan Penerapan teknik konservasi tanah yang dilakukan oleh petani secara sederhana, karena (1) rendahnya penghasilan petani menyebabkan tidak mampu untuk membiayai kegiatan konservasi tanah secara metode vegetatif, mekanik, dan kimia, (2) keterbatasan informasi dan pengetahuan, karena jarangnya tenaga penyuluh pertanian dari dinas terkait melakukan pembinaan dan penyuluhan teknik konservasi tanah di kawasan agropolitan. Dari hasil wawancara terhadap petani di Kawasan Agropolitan PacetCianjur diperoleh informasi bahwa pembinaan dari instansi terkait tentang teknik budidaya dan konservasi tanah yang menyatakan sering sebesar 5,98% (Desa Sukatani sebesar 2,86% dan Desa Sindangjaya sebesar 9,09%), jarang sebesar 78,5% (Desa Sukatani sebesar 74,28% dan Desa Sindangjaya sebesar 81,82%), dan tidak ada sebesar 15,98% (Desa Sukatani sebesar 22,86% dan Desa Sindangjaya sebesar 9,09%) sebagaimana disajikan pada Gambar 14.
99
90.00 80.00
Persentase (%)
70.00 60.00 50.00
40.00Pembinaan dari Instansi Terkait Teknik Gambar 14. 30.00dan Teknik Konservasi
Desa Sukatani Desa Sindangjaya Kawasan Budidaya
20.00 10.00 0.00 Sering
Jarang
Tidak Ada
Pembinaan dari Instansi Terkait tentang Teknik Budidaya dan Konservasi Tanah
Gambar 14. Pembinaan dari Instansi Terkait tentang Teknik Budidaya dan Konservasi Tanah
Dalam analisis Model Binary Logistic Regression ini, peluang peran petani dalam penerapan teknik konservasi tanah (dinotasikan dengan P) sebagai variabel terikat, dan dibagi dalam dua kategori, yaitu kategori peluang (opsi) berperan menerapkan teknik konservasi tanah (dinotasikan dengan P=1), dan kategori tidak berperan menerapkan teknik konservasi tanah (dinotasikan dengan P=0). Terdapat 6 (enam) variabel bebas, yaitu: umur (X1), pendapatan (X2), luas lahan (X3), pola tanam (X4 ), pendidikan (D1), status kepemilikan lahan (D2). Seperti disajikan pada Tabel 25. Hasil analisis menunjukkan ada 4 variabel bebas yang signifikan mempengaruhi peran petani terhadap penerapan teknik konservasi tanah di kawasan agropolitan, yaitu: 1. Umur (X1) Umur secara signifikan berpengaruh positif terhadap peran petani dalam berusahatani di kawasan agropolitan, sebagaimana ditunjukkan nilai koefisien 0,7865 dan odd rationya 2.196 (Desa Sukatani dengan koefisien -0,6752 dan odd ratio 0,509 dan Desa Sindangjaya dengan koefisien 1,9960 dan odd ratio 7,359). Artinya apabila terjadi peningkatan umur 1 tahun, maka akan menambah peluang peran petani terhadap lahan dalam menerapkan teknik konservasi tanah sebesar 1/2,196 kali.
100
Tabel 25. Analisis Binary Logistic Regression Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Petani terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur
Variabel bebas Konstanta X1 X2 X3 X4 D1 D2
Variabel bebas Konstanta X1 X2 X3 X4 D1 D2
Variabel bebas Konstanta X1 X2 X3 X4 D1 D2
Di Kawasan Agropolitan Coefficients Variabel Penduga SE Coef β Konstanta 1.8897 -4.6997 Umur (tahun) 0.7865 0.2830 Pendapatan (Rp) -5.19E-6 0.000021 Luas Lahan (luas/sedang/ 2.8960 sempit) 5.6482 Pola Tanam (jumlah komoditi 0.1017 0.2771 tumpangsari) Pendidikan (tamat SD/SMP) 1.1610 1.2837 Kepemilikan Lahan (milik/ -0,8934 0.5546 non-milik) Di Desa Sukatani Coefficients Variabel Penduga SE Coef β Konstanta 2.9567 2.5952 Umur (tahun) -0.6752 0.5566 Pendapatan (Rp) -0.00004 0.000048 Luas Lahan (luas/sedang/ 0.0563 7.1858 sempit) Pola Tanam (jumlah komoditi -0.3855 0.5171 tumpangsari) Pendidikan (tamat SD/SMP) 0 . Kepemilikan Lahan (milik/ 0.9720 1.1490 non-milik) Di Desa Sindangjaya Coefficients Variabel Penduga SE Coef β Konstanta 3.9468 -10.1449 Umur (tahun) 1.9960 0.6759 Pendapatan (Rp) 0.000014 0.000038 Luas Lahan (luas/sedang/ 6.8001 4.0149 sempit) Pola Tanam (jumlah komoditi -0.0156 0.4832 tumpangsari) Pendidikan (tamat SD/SMP) 2.4606 2.3672 Kepemilikan Lahan (milik/ -2.1055 0.9772 non-milik)
Sig
Odd Ratio
0.0129 0.0054 0.8007 0.0511
2.196 1.000 283.76
0.7135
1.107
0.3658 0.1072
3.193 0.409
Sig
Odd Ratio
0.3801 0.2251 0.4000 0.9937
0.509 1.000 1.058
0.4559
0.680
. 0.3976
. 2.643
Sig
Odd Ratio
0.0102 0.0031 0.7042 0.0903
7.359 1.000 897.976
0.9743
0.985
0.2986 0.0312
11.712 0.122
Sumber : Data Primer (2006) Diolah
Umur petani responden rata-rata 25-60 tahun di kawasan agropolitan adalah faktor yang menentukan dalam kemampuan berpikir, bertindak dan
101
kesediaan menanggung resiko. Pada dasarnya semakin tua umur, maka mempunyai pengalaman yang lebih banyak dan lebih matang dalam mengelola dan menjalankan aktivitas usahataninya, baik dari segi penggunaan sarana produksi, alat dan mekanisasi pertanian, teknologi maupun tenaga kerja. Karena pada dasarnya petani yang sudah berpengalaman lebih yakin mengenai cara kerja dan pengetahuannya karena telah teruji dalam prakteknya. Namun di lokasi penelitian petani lebih cenderung mengikuti cara-cara produksi yang tradisionil karena sulit baginya untuk menerima suatu teknologi baru, karena secara fisik semakin tua umur seseorang, maka semakin lemah dalam melakukan sesuatu. 2. Luas Lahan (X3) Luas lahan yang digarap oleh petani di kawasan agropolitan secara signifikan berpengaruh meningkatkan peran petani dalam menerapkan teknik konservasi tanah dimana nilai estimate sebesar 5,6482 dengan nilai odd ratio sebesar 283,766 (Desa Sukatani Odd Ratio 1,058 dan Desa Sindangjaya dengan odd ratio 897,976). Hal ini artinya apabila terjadi peningkatan luas lahan 1 ha, maka akan meningkatkan peran petani dalam menerapkan teknik konservasi tanah sebesar 1/283,766 = 283,766. Apabila terjadi peningkatan luas lahan yang dimiliki petani, maka modal yang dibutuhkan untuk mengelola lahan tersebut juga semakin besar. Modal merupakan hambatan utama petani dalam pengelolaan lahan. Oleh karena itu dalan pengelolaan lahan dibutuhkan suatu terobosan teknologi pertanian yang tidak hanya mampu meningkatkan produksi pertanian tetapi juga efektif dan ekonomis sehingga dapat terjangkau oleh petani. Keberhasilan dalam pengelolaan lahan bukan hanya ditentukan oleh produktivitas (ton/ha), tetapi yang lebih penting adalah nilai jual produk yang dihasilkan. Hal ini merupakan permasalahan terbesar petani. Pada waktu panen biasanya harga jual produk yang dihasilkan sangat rendah. Semakin luas lahan yang dikelola petani, maka kerugian akibat anjloknya harga jual produk pertanian akan semakin besar. Oleh karena itu semakin luas lahan yang dikelola, maka akan semakin aktif petani dalam mencari informasi teknologi budidaya yang efektif dan ekonomis, serta lebih aktif dalam menerapkan teknik konservasi tanah.
102
3. Pola Tanam (X4) Pola tanam secara signifikan berpengaruh terhadap peran petani dalam menerapkan teknik konservasi tanah dengan nilai P value sebesar 0.7135 signifikan pada taraf 95% dan odd ratio sebesar 1.107 (Desa Sukatani P value 0,4559 dengan Odd Ratio 0,680 dan Desa Sindangjaya P value 0,9743 dengan Odd Ratio 0,985). Apabila penentuan komoditas terpilih dalam pola tanam yang bernilai ekonomis tinggi dan usia tanaman pendek dan kondisi lahan yang sesuai, maka akan mempengaruhi peran petani dalam menerapkan teknik konservasi tanah akan meningkat sebesar 1/1.107 = 1.107 4. Pendidikan (D1) Pendidikan secara signifikan mempengaruhi peran petani terhadap teknik konservasi tanah dengan nilai P value sebesar 0,3658 signifikan pada taraf 95% dengan odd ratio 3.193 (Desa Sukatani P value 0 dengan Odd Ratio 0 dan Desa Sindangjaya P value 0,2986 dengan Odd Ratio 11,712). Artinya apabila peningkatan pendidikan dalam satu satuan, maka peran petani terhadap lahan dalam menerapkan teknik konservasi tanah akan meningkat sebesar 1/3.193 = 3.193. Tingkat pendidikan responden merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat pengetahuan petani responden yang akan mempengaruhi motivasi petani untuk berpikir lebih baik dalam memilih alternatif dan memecahkan masalah yang dihadapi pada saat mengelola usahataninya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang petani responden maka semakin mudah menerima dan menyerap berbagai bentuk teknologi dalam kegiatan konservasi sehingga mampu meningkatkan produktivitasnya dalam menghasilkan suatu produk khususnya komoditas hortikultura.
5.4. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Usahatani 5.4.1. Kawasan Agropolitan Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usahatani komoditas hortikultura pola tanam tumpangsari di kawasan agropolitan PacetCianjur dapat dilihat pada Tabel 28. Produktivitas usahatani komoditas hortikultura dengan pola tanam tumpangsari (Y) berhubungan positif dengan
103
input pupuk (X3), input tenaga kerja (X4), dummy variabel kepemilikan lahan (D1) dan dummy variabel kegiatan konservasi (D2). Hal ini didasarkan oleh nilaip<0,05. Tabel 26.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Usahatani Pola Tanam Tumpangsari di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur
Variabel
Satuan
(Constant)
---
Luas lahan garapan (X1)
ha
Input bibit (X2) Input pupuk (X3) Input tenaga kerja (X4) Input pestisida (X5) Dummy variable Kepemilikan lahan (D1) Dummy variable Kegiatan konservasi (D2)
Desa Sukatani (4,62 ha) SigniKoefisien Fikansi
Desa Sindangjaya (5,80 ha) SigniKoefisien fikansi
Kawasan Agropolitan (10,42 ha) SigniKoefisien Fikansi
0,7888
0,5262
5,3168
<.0001
7729,8026
0,0002
20,0485
<.0001
7,1632
0,0025
-8438,0774
<.0001
Rp
2,8489
0,3903
-5,7211
0,7452
-0,0004
0,4950
Rp
-2,2509
0,9517
5,7320
0,7043
0,0018
0,5587
Rp
-1,4130
0,4497
-6,7607
0,0002
0,0039
0,0087
Rp
-2,9376
0,5409
-6,2833
0,5258
-0,0018
0,0743
0,7391
0,1695
-0,4656
0,0570
2703,4915
0,8578
0,4117
0,4724
0,1127
0,6420
1809,21773
0,8200
R Square = 0,8329
Sig.= <.0001
R Square = 0,7758
---
Sig.= <.0001
R Square= 0,8185
F-hit = 17,39
Sig.= <.0001 F-hit = 33,46
F-hit = 40,54
Sumber: Data Primer (2006) diolah
Peubah-peubah penjelas dapat dengan baik menjelaskan keragaman produktivitas
usahatani
komoditas
hortikultura
di
kawasan
agropolitan,
sebagaimana ditunjukkan nilai R2 dan F hitung yang tinggi. Angka R2 sebesar 0,7758 berarti 77,58% keragaman produktivitas usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan dapat dijelaskan oleh peubah-peubah penjelas yang dimasukkan dalam persamaan.
Sedangkan sisanya 22,42% dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain di luar model. Sementara luas lahan garapan, input bibit dan input pestisida tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan produktivitas usahatani komoditas hortikultura. Faktor-faktor tersebut sudah dianggap cukup tidak perlu adanya penambahan yang hanya berakibat pada pembengkakan atau modal dan biaya produksi tanpa diikuti oleh peningkatan produksi.
104
Model regresi dummy untuk kawasan agropolitan adalah: Y = 7729,8026+ 0,0018X3 + 0,0039X4 + 2703,5D1 + 1809,2D2 artinya : 1. Setiap penambahan input pupuk (X3) sebesar satu rupiah dimana input tenaga kerja (X4), dummy variabel kepemilikan lahan (D1) dan dummy variable mengenai kegiatan konservasi (D2) konstan, maka keuntungan usahatani sebesar Rp.7729,80. 2. Setiap penambahan input tenaga kerja sebesar satu rupiah dimana input pupuk, dummy variable kepemilikan lahan (D1) dan dummy variable mengenai kegiatan konservasi (D2) konstan, maka keuntungan usahatani sebesar Rp. 0,0039. Hal ini berarti bahwa penggunaan tenaga kerja yang semakin banyak diharapkan produksi usahatani selalu dapat ditingkatkan tetapi bukan berarti penambahan jumlah tenaga kerja akan meningkatkan pendapatan petani. Penggunaan tenaga kerja sangat mutlak adanya, sehingga petani senantiasa menyatakan tanpa penggunaan tenaga kerja yang seksama dalam suatu kegiatan usahatani tidak akan berhasil dengan baik, karena tinggi rendahnya produksi usahatani dipengaruhi oleh tingkat produktivitas tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani, antara lain dengan pendidikan dan pelatihan serta penguasaan teknologi dan inovasi baru. Dengan bertambahnya pengetahuan dan keterampilan petani, maka produktivitas kerja dan hasil kerja meningkat sehingga dengan sendirinya produktivitas komoditas hortikultura dapat ditingkatkan. 3. Setiap penambahan input dummy variable kepemilikan lahan sebesar satu satuan dimana input pupuk, input tenaga kerja dan dummy variable mengenai kegiatan konservasi konstan, maka keuntungan usahatani sebesar Rp. 2703,4915. Kepemilikan lahan sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas usahatani komoditas hortikultura. Dengan penggunaan lahan milik sendiri petani lebih termotivasi untuk menggunakan lahan secara optimal dan melakukan konservasi. 4. Setiap penambahan input dummy variable mengenai kegiatan konservasi sebesar satu satuan dimana input pupuk, input tenaga kerja dan
dummy
variable kepemilikan lahan konstan, maka keuntungan usahatani sebesar
105
Rp.1809,21773. Ini berarti secara parsial variable dummy mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas usahatani komoditas hortikultura. Kegiatan konservasi yang selama ini dilakukan hanya terbatas pada konservasi secara kimia dan biologi melalui penggunaan pupuk dan secara mekanik dengan menerapkan sistem terasering dan secara vegetatif dengan penanaman rumput untuk mencegah erosi disebabkan karena penggunaan teknologi modern dirasakan cukup mahal sementara kemampuan petani dalam hal modal sangat terbatas. Parameter dugaan peubah penggunaan input pupuk, tenaga kerja, dummy variable kepemilikan lahan dan dummy variable kegiatan konservasi di kawasan agropolitan positif, mengindikasikan bahwa variabel-variabel tersebut responsif terhadap peningkatan produktivitas usahatani komoditas hortikultura Salah satu contoh penggunaan input pupuk. Ketergantungan petani terhadap input pupuk sangat tinggi sebagai upaya petani mengoptimalkan penggunaan sumberdaya lahan dimana ketersediaan lahan dan tingkat kepemilikan lahan relatif sempit. Intensifnya penggunaan pupuk sebagai upaya petani dalam meningkatkan produktivitas sehingga dalam satu tahun petani dapat memanen hasil secara berkesinambungan (melakukan lima kali panen dalam setahun) dengan harapan petani dapat memperoleh uang cash dalam waktu singkat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya peningkatan produktivitas usahatani
tidak lepas dari
penggunaan pupuk yang tepat, baik mengenai jenis, jumlah, waktu, cara dan harga. Berdasarkan hasil penelitian belum semua petani responden menggunakan pupuk sesuai dengan yang direkomendasikan karena alasan terbatasnya modal dan kemampuan. Jika penggunaan input pupuk dengan intensitas tinggi secara terus menerus dikhawatirkan meningkatkan kekebalan hama dan penyakit pada komoditas hortikultura serta memberikan dampak negatif terhadap keberlanjutan kegiatan usahatani. Oleh karena itu intervensi pemerintah melalui dinas terkait sangat penting untuk dilakukan dengan merekomendasikan standar penggunaan masing-masing
jenis
pupuk
dalam
kegiatan
usahataninya.
Peningkatan
pengetahuan, informasi teknologi dan keterampilan petani dalam mengelola usahatataninya perlu ditingkatkan melalui penyuluhan dan pelatihan-pelatihan
106
sehingga kegiatan usahataninya dapat dilakukan secara berkelanjutan sesuai dengan azas pelestarian lingkungan. Penggunaan pupuk kimia oleh petani di kawasan agropolitan beragam sesuai dengan luas lahan yang diusahakan dalam meningkatkan produktivitas usahataninya. Pupuk kimia yang digunakan adalah pupuk TSP, Urea, KCL, ZA, dan NPK. Pupuk yang paling banyak digunakan adalah pupuk TSP, Urea, dan KCl. Sedangkan pupuk ZA dan NPK jarang digunakan oleh petani karena pupuk ZA mempunyai fungsi yang sama dengan pupuk Urea, sedangkan pupuk NPK mempunyai fungsi yang sama dengan TSP, Urea, dan KCl. Jadi apabila petani sudah menggunakan pupuk Urea, maka petani tidak menggunakan pupuk ZA. Pupuk kimia tersebut didapatkan dengan cara membeli ke Pasar Cipanas maupun dari toko atau warung terdekat. Selanjutnya untuk penggunaan pupuk kandang oleh petani di kawasan agropolitan dinilai menjadi keharusan karena pupuk kandang menjadi pupuk dasar dalam memberikan kesuburan bagi tanaman. Pemakaian pupuk kandang untuk usahatani bervariasi sesuai dengan kebutuhan untuk setiap luas lahan yang diusahakannya. Keuntungan usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan cukup beragam hal ini disebabkan oleh perbedaan rata-rata produksi, total biaya produksi, harga jual produksi per satuan dan mutu produksi yang dihasilkan. Semakin tinggi mutu produksi maka semakin tinggi pula harga yang diterima oleh petani. Demikian pula pendapatan yang diterima oleh petani juga akan tinggi maka dengan sendirinya keuntungan yang diterima petani akan meningkat.
5.4.2. Desa Sukatani Untuk Desa Sukatani, dari hasil analisis dapat dilihat bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap keuntungan usahatani adalah X 1= luas lahan garapan (m2), input bibit (X2), dummy variable kepemilikan lahan (D1) dan dummy variable kegiatan konservasi (D2). Fungsi produksi pada usahatani komoditas hortikultura di desa Sukatani nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,8185 nilai ini memberi gambaran bahwa besarnya pengaruh variabel bebas yang dimasukkan dalam model terhadap variabel terikat sebesar 81,85%. Sedangkan sisanya
107
18,15% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar model (model yang digunakan cukup mampu untuk menerangkan variabel-variabel dalam fungsi produktivitas tersebut). Model regresi dummy untuk Sukatani adalah: Y = 0,7888 + 20,0485X1 + 2,8489X2 + 0,7391D1+ 0,4117D2 yang artinya : 1. Jika luas lahan garapan (X1), input bibit (X2), dummy variable kepemilikan lahan (D1) dan dummy variable kegiatan konservasi (D2) konstan, maka keuntungan usahatani akan meningkat sebesar Rp. 0,7888. 2. Setiap penambahan luas lahan sebesar satu satuan (m2) dimana input bibit (X2), dummy variable kepemilikan lahan (D1) dan dummy variable kegiatan konservasi (D2) konstan, maka keuntungan usahatani akan meningkat sebesar Rp. 20,0485. 3. Setiap penambahan input bibit (X2) sebesar satu rupiah dimana luas lahan
garapan (X1) konstan, maka keuntungan usahatani sebesar Rp. 2,8489. 4. Setiap penambahan input dummy variable kepemilikan lahan (D1) setiap satu
satuan dimana luas lahan garapan (X1), input bibit (X2) dan dummy variable kegiatan konservasi (D2) konstan, maka keuntungan usahatani sebesar Rp. 0,7391. Status kepemilikan lahan berpengaruh juga dalam kegiatan konservasi dalam meningkatkan produktivitas usahatani. Jika status lahan sewa petani tidak
mau
melakukan
kegiatan
konservasi.
Penggarap
tidak
mau
mengeluarkan biaya karena tidak ada kepastian hasil investasi konservasi tanah dapat dinikmati, sementara petani pemilik tidak mempunyai wewenang lagi atas tanahnya untuk melakukan konservasi tanah karena telah digarap orang lain. 5. Setiap penambahan input dummy variable kegiatan konservasi (D2) setiap satu satuan dimana luas lahan garapan (X1), input bibit (X2) dan dummy variable kegiatan konservasi (D2) konstan, maka keuntungan usahatani sebesar Rp. 0,4117. Hasil analisis regresi di Desa Sukatani menggambarkan bahwa luas lahan garapan, input bibit dan dummy variable kegiatan konservasi sangat menentukan dalam peningkatan produktivitas usahatani komoditas hortikultura. Dalam rangka meningkatkan produktivitas usahatani komoditas hortikultura petani harus mampu
108
meningkatkan kemampuan aktual lahan untuk menyerap tenaga dan modal, sehingga memberikan hasil produksi yang sebesar-besarnya pada tingkat teknologi dan pengelolaan tertentu. Berdasarkan pengamatan di desa Sukatani kegiatan usahatani sumber airnya tergantung pada air hujan (tadah hujan) shingga penggunaan bibit unggul dan tindakan konservasi harus lebih dioptimalkan sesuai dengan kondisi lahan dan musim.
5.4.3. Desa Sindangjaya Dan untuk Desa Sindangjaya dapat dilihat bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap keuntungan usahatani adalah X 1= luas lahan garapan (m2), X3 = input pupuk(X3), dan dummy variable mengenai kegiatan konservasi (D2). Hal ini didasarkan oleh nilai -p<0,05. Model regresi dummy untuk Desa Sindangjaya adalah Y = 5,3168 + 7,1632X1 + 5,7320X3+ 0,1127D2
artinya: 1. Jika luas lahan garapan, input pupuk dan dummy variable mengenai kegiatan konservasi konstan, maka keuntungan usahatani sebesar Rp.5,3168 2. Setiap penambahan luas lahan sebesar satu m 2 dimana input pupuk dan dummy variable mengenai kegiatan konservasi konstan, maka keuntungan usahatani akan meningkat sebesar Rp.7,1632. 3. Setiap penambahan input pupuk sebesar satu rupiah dimana luas lahan garapan dan dummy variable mengenai kegiatan konservasi konstan, maka keuntungan usahatani sebesar Rp. 5,7320. 4. Setiap penambahan input Dummy variable mengenai kegiatan konservasi sebesar satu satuan dimana luas lahan garapan dan input pupuk konstan, maka keuntungan usaha tani sebesar Rp.0,1127. Peubah-peubah penjelas dapat dengan baik menjelaskan keragaman produktivitas usahatani komoditas hortikultura di desa Sindangjaya, sebagaimana ditunjukkan nilai R2 dan F hitung yang tinggi. Angka R2 sebesar 0,8329 berarti 83,29% keragaman produktivitas usahatani komoditas hortikultura di desa Sindangjaya dapat dijelaskan oleh peubah-peubah penjelas yang dimasukkan dalam persamaan. Sedangkan sisanya 16.71% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
109
di luar model. Sementara input bibit, input tenaga kerja, input pestisida dan variable dummy kepemilikan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan produktivitas usahatani komoditas hortikultura. Faktor-faktor tersebut sudah dianggap cukup tidak perlu adanya penambahan yang hanya berakibat pada pembengkakan atau modal dan biaya produksi tanpa diikuti oleh peningkatan produksi. Akses petani terhadap luas lahan merupakan suatu ukuran dalam menentukan produksi usahatani. Terbatasnya luas lahan membawa dampak cukup signifikan, karena lahan merupakan faktor produksi utama yang dibutuhkan dalam kegiatan pertanian sebagai mata pencaharian utama dari penduduk perdesaan. Sempitnya luas lahan di Desa Sindangjaya menyebabkan sulitnya melakukan pengaturan penanaman dalam suatu hamparan guna memperoleh volume produksi yang mencukupi untuk skala pertanian berorientasi industri. Penanaman secara intensif atau terus menerus menyebabkan pengurasan unsur hara dan meningkatnya kekebalan hama dan penyakit tanaman akibat penggunaan pestisida yang intensif sehingga dapat mempengaruhi terjadinya erosi berupa hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Luasnya ukuran lahan menjadi sangat signifikan untuk perencanaan usahatani. Artinya perencanaan yang baik untuk pengaturan pola tanam, pemilihan jenis tanaman, waktu tanam, dan penggunaan pestisida akan lebih efisien. Di Desa Sindangjaya luas lahan garapan petani rata-rata 0,11 ha dengan status kepemilikan beragam, yaitu milik, sewa, gadai, dan milik pemerintah. Jarang sekali ditemui luas lahan petani memiliki lahan seluas 1 ha. Karena saat ini kepemilikan luas lahan cenderung berpindah status kepemilikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya fragmentasi lahan akibat pertumbuhan jumlah penduduk, terjadinya proses alih kepemilikan atau alih fungsi lahan. Namun seringkali yang lebih dominan terjadi adanya proses alih kepemilikan lahan atau alih fungsi lahan sehingga terjadi penguasaan lahan yang timpang. Dengan demikian luas lahan garapan petani kurang dari 1 ha
110
menyebabkan penggunaan faktor produksi menjadi tidak efisien dan pendapatan usahatani tidak mencukupi kebutuhan keluarga petani. Kegiatan konservasi tanah akan menjadi signifikan dalam peningkatan produktivitas usahatani di desa Sindangjaya jika dilakukan pengolahan tanah (tillage )menurut kontur, pembuatan galengan dan saluran menurut kontur, pembuatan tanggul serta teknik pembuatan teras bangku selama pengusahaan lahan.
5.5.
Analisis Tingkat Erosi Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur merupakan salah satu pusat produksi
tanaman hortikultura, terutama wortel, bawang daun, kailan, lobak, horinso, brokoli, daikon, caisin, sawi, daun mint, seledri dan tanaman ekonomis lainnya. Kondisi agroekologi di wilayah ini sangat mendukung bagi pola usahatani tanaman tersebut secara intensif. Namun demikian sebagian besar wilayah ini mempunyai indeks bahaya erosi yang sangat tinggi. Besarnya erosi yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: (1) Faktor kemiringan lereng (LS), (2) Curah hujan (R), (3) Kepekaan tanah terhadap faktor erosi (K), (4) Faktor pertanaman (C), serta (5) Faktor pengelolaan lahan (P). Hasil analisis prediksi erosi menunjukkan bahwa besarnya erosi yang terjadi di lahan usahatani petani kawasan agropolitan pada kelas kemiringan lereng >8-15% dan >15-30% masih berada dibawah batas erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) berkisar antara 9,75-12,67 ton/ha/tahun, sebagaimana disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Analisis Besarnya Erosi yang Terjadi di Lahan Usahatani Petani Pada Kelas Kemiringan Lereng >8-15% di Kawasan Agropolitan PacetCianjur Pola Tanam Tumpangsari R K LS C P (polyculture) 1 Wt-Dk-Kl 2162,13 0,23 1,18 0,100 0,15 2 Wt-Lb-Cs-Dk 2162,13 0,31 1,28 0,100 0,15 3 Wt-Hs 2162,13 0,38 1,27 0,100 0,15 4 Wt-Bd-Kl-Lb-Hs 2162,13 0,32 1,58 0,100 0,15 Sumber : Data Primer (2006) diolah Keterangan : No. 1. Sampel jenis tanah andosol pada pekarangan di Desa Sukatani No. 2. Sampel jenis tanah andosol pada tegalan di Desa Sukatani No. 3. Sampel jenis tanah andosol pada pekarangan di Desa Sindangjaya No. 4. Sampel jenis tanah andosol pada tegalan di Desa Sindangjaya No
Erosi (ton/ha/ th) 2,43 3,62 4,31 4,26
ETol (ton/ha/ th) 11,09 11,38 11,90 11,99
111
Tabel 28. Analisis Besarnya Erosi yang Terjadi di Lahan Usahatani Petani Pada Kelas Kelerengan >15-30% di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur Pola Tanam Erosi ETol No Tumpangsari R K LS C P (ton/ha/ ton/ha/ (polyculture) th) th) 1 Wt-Bkl-Bd 2162,13 0,26 2,02 0,100 0,15 6,09 12,67 2 Wt-Bd 2162,13 0,22 2,64 0,100 0,15 5,48 10,00 3 Wt-Lb 2162,13 0,21 2,46 0,100 0,15 5,16 12,37 4 Bkl-Sw-Bd-Pl 2162,13 0,32 2,84 0,100 0,15 8,77 9,75 Sumber : Data Primer (2006) diolah Keterangan: No. 1. Sampel jenis tanah regosol pada di pekarangan di Desa Sukatani No. 2. Sampel jenis tanah regosol pada di tegalan di Desa Sukatani No. 3. Sampel jenis tanah regosol pada di Desa Sindangjaya No. 4. Sampel jenis tanah regosol pada di Desa Sindangjaya
Tabel 27 dan 28 menunjukkan bahwa kemiringan lereng merupakan faktor yang diperkirakan sangat berperan dalam peningkatan erosi, karena kemiringan lereng merupakan karakteristik utama dari lahan usahatani. Nilai faktor kepekaan tanah terhadap erosi (K) untuk di kawasan agropolitan Pacet-Cianjur berkisar antara 0,21-0,38 termasuk dalam kategori sedang menurut nilai klasifikasi nilai erodibilitas (Arsyad, 2000). Secara keseluruhan lahan usahatani petani di kawasan agropolitan nilai faktor kepekaan tanah terhadap erosi cukup bervariasi, karena jenis tanahnya secara umum tidak sama, yaitu jenis andosol dan regosol. Jenis tanaman yang ditanam petani di kawasan agropolitan dengan tingkat pengelolaan yang ada menghasilkan faktor pertanaman (C) dan faktor pengelolaan (P) yang kecil, sehingga tanaman mampu memberikan perlindungan yang baik terhadap tanah dari daya perusak curah hujan (R) yang tinggi sekitar 2162,13 mm/tahun. Kondisi ini didukung oleh faktor erodibilitas tanah (K) dan faktor kemiringan lereng (LS) yang dilainnya juga tidak terlalu besar. Kecilnya erosi yang terjadi menunjukkan bahwa usahatani petani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan dengan pola tanam tumpangsari (polyculture) dan intensitas tanam yang cukup tinggi di lahan dengan kelas kemiringan lereng >8-15% dan >15-30% menjadikan tanah selalu tertutup tanaman sepanjang tahun, sehingga curah hujan yang besar tidak sampai merusak butir-butir tanah dan membawanya melalui aliran permukaan. Kecilnya erosi juga
112
berpengaruh terhadap kesuburan tanah, karena kesuburan tanah pada lahan-lahan dengan kelas kemiringan lereng ini kesuburannya relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan lahan yang memiliki kemiringan lereng yang curam, sehingga tanaman yang diusahakan dapat tumbuh dengan baik. Selanjutnya pertumbuhan tanaman yang baik akan membentuk pola perlindungan yang lebih baik pula terhadap tanah.