UU APBN-P 2011 Diuji ke MK Jumat, 26 August 2011 Pemohon meminta MK batalkan UU APBN-P 2011.
1 2 3 4 5
(0 votes, average: 0.0 out of 5) Beberapa LSM yang tergabung dalam Koalisi APBN untuk Kesejahteraan Rakyat kembali mengajukan uji materi UU No 11 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun Anggaran 2011.
Mereka yang tercatat sebagai pemohon yaitu Gunawan dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Yuna Farhan dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Ah Maftuchan dari Prakarsa Masyarakat untuk Negara Kesejahteraan dan Pembangunan Alternatif (PRAKARSA), Abdul Waidl dari Koalisi Anggaran Independen (KAI), Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Firdaus dari Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Ridaya La Ode Ngkowe dari Publish What You Pa, Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang.
Kuasa hukum pemohon, Janses E Sihaloho menilai postur APBN-P 2011 masih jauh dari semangat konstitusi yang mengamanatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai contoh, anggaran untuk kesehatan di luar komponen gaji hanya dialokasikan sebesar Rp24,98 triliyun atau 1,89 persen dari total APBN 2011. Padahal Pasal 171 ayat (1) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mewajibkan alokasi lima persen untuk anggaran kesehatan dalam APBN.
“Prosentase anggaran kesehatan itu jauh di atas ambang normal yang diamanatkan UU Kesehatan minimal sebesar lima persen untuk memenuhi kesehatan masyarakat. Ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 UUD 1945,” kata Janses saat mendaftarkan permohonan pengujian UU APBN-P 2011 itu di Gedung MK Jakarta.
Menurutnya, APBN-P 2011 justru lebih banyak digunakan untuk hal-hal tak jelas pertanggungjawabannya demi memenuhi kepentingan pemerintah dan DPR. Sebut saja,
alokasi anggaran rencana untuk pembelian pesawat kepresidenan sebesar Rp339,296 miliar pada 2012, pembangunan gedung baru DPR RI sebesar Rp800 miliar, dan studi banding anggota DPR yang tak jelas pertanggungjawabannya.
“Ini yang kita minta agar MK membatalkan atau menghilangkan alokasi anggaran itu karena bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945 karena alokasi anggaran ditujukan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat,” kata Janses.
Selain itu, masuknya istilah dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) yang tidak dikenal dalam sejumlah undang-undang yang terkait dana perimbangan Keuangan pusat dan daerah. Seperti, UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU Pemda, UU Keuangan Negara, UU Pemerintahah Aceh, atau UU Otonomi Khusus Papua. Hal ini juga dinilai bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 karena tak selaras dengan sejumlah undang-undang itu.
“Undang-undang hanya mengenal istilah dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil. Ini yang menjadi sarang bagi anggota DPR melakukan bisnis-bisnis,” kata Janses.
Yuna Farhan dari FITRA menambahkan DPID merupakan dana liar yang tidak dikenal dalam undang-undang. Selain itu, kriteria penggunaan DPID tidak jelas. “Ada daerah yang besar APBD-nya dan penduduk miskin sedikit mendapatkan DPID, ada juga daerah APBD kecil dan penduduk miskin banyak, tetapi tak mendapatkan DPID, ini tak adil dan tak tepat sasaran. DPID ini dapat dikatakan dana aspirasi terselubungnya anggota DPR,” kritiknya.
APBNP 2011 Rawan Calo Anggaran Wednesday, 27 July 2011 17:25 |
Written by zivan |
KEUANGAN NEGARA Rabu, 27 Juli 2011
JAKARTA (Suara Karya): Undang-Undang APBNP 2011, yang pekan lalu disahkan forum rapat paripurna DPR, potensial disalahgunakan para calo anggaran. Itu, menurut ekonom Dradjad Wibowo, dikarenakan banyak alokasi anggaran bersifat sementara dan belum jelas peruntukannya. Bagi Dradjad, pembahasan APBNP 2011 di DPR tidak mencerminkan perencanaan anggaran yang taat azas. "Ketika disahkan dalam rapat paripurna, sejumlah pos anggaran belum final dibahas," katanya di Jakarta, kemarin.
Secara hukum, itu memang tidak masalah. Tapi, kata Dradjad, bukan berarti angkaangka APBN atau APBNP bisa dibuat sementara -- rinciannya dibahas belakangan. Tapi kalau dibudayakan, praktik itu menunjukkan kesewenang-wenangan pemerintah dan DPR dalam penganggaran. Selain itu, perencanaan anggaran menjadi tidak taat azas karena bujet negara dibahas dengan angka asal comot dulu dan urusan belakangan. Di sisi lain, "Itu juga memperbesar kesempatan bagi tindak korupsi dalam jumlah sangat besar," ujar Dradjad. Menurut dia, peluang korupsi dalam pelaksanaan APBNP 2011 menjadi sangat besar karena angka belanja yang tidak final niscaya menjadi santapan empuk calo-calo anggaran. Dilihat dari sisi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), menurut Drajad, UU APBNP 2011 bertentangan dengan konstistusi dan Tap MPR tentang pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sehingga bisa diuji-materikan ke Mahkamah Konstitusi. Karena itu, Dradjad menantang kalangan praktisi hukum untuk mencari prinsipprinsip ketatanegaraan yang paling relevan. "Saya yakin UU APBNP 2011 ini sangat mudah dibatalkan," katanya seolah memberi semangat. Rapat paripurna DPR, pekan lalu, mengesahkan RUU APBNP 2011 menjadi undangundang. Meski demikian, UU APBNP 2011 menyisakan sejumlah pos anggaran yang bersifat sementara dan masih perlu difinalkan, seperti belanja pegawai, belanja barang, juga belanja modal. Berdasar laporan Badan Anggaran DPR, 2011, belanja negara dalam APBNP 2011 tercatat Rp 1.320,75 triliun. Dari jumlah tersebut, belanja pegawai sebesar Rp 182,88 miliar, belanja barang Rp 139,79 triliun, belanja modal Rp 136,88 triliun, dan bantuan sosial Rp 66,05 miliar masih merupakan angka-angka sementara. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis menuturkan bahwa penyempurnaan UU APBNP 2011 oleh DPR dan pemerintah dimungkiinkan selama tidak keluar dari patokan yang sudah disepakati. "Termasuk soal pos-pos belanja negara. Meski angka patokannya tertulis sementara, realisasinya tidak boleh melampaui patokan," katanya. Menurut Harry, perubahan APBN 2011 memang menjadi perdebatan karena alokasinya sudah ditetapkan, meski sebatas angka sementara. "Harusnya angka yang ditetapkan adalah angka patokan. Kalau ditetapkan tepat di angka itu, tidak ada pembahasan lagi," ujarnya. Harry menyebutkan, angka belanja dalam APBNP 2011 merupakan angka patokan maksimal. Jika realisasi angka belanja melebihi angka patokan tersebut, maka pengesahan APBNP 2011 bisa dikatakan menyimpang atau bias. "Subjek teknisnya belum selesai karena yang disepakati adalah prinsip. Masih ada ruang-ruang untuk pembahasan. Tetapi angka-angka sementara itu adalah angka maksimal," tutur Harry. Bagi pengamat tata negara Saldi Isra, APBNP 2011 seharusnya tidak boleh diubahubah lagi. Dia sering menemukan penyelewengan undang-undang dengan menghilangkan ataupun menyisipkan pasal-pasal siluman seperti dalam kasus RUU Kesehatan. Menurut Saldi, seharusnya angka-angkia dalam APBN tidak boleh berubah sama sekali. "Jangankan menukar ayat atau pasal, mengganti koma juga tidak boleh," katanya. Begitu juga dengan UU APBNP 2011, dia meminta pemerintah agar tidak melakukan perubahan setelah UU tersebut disahkan. Di lain pihak, Menkeu Agus Martowardojo memastikan tidak akan ada lagi perubahan atas angka dalam APBNP 2011."Sudah final. Itu nggak berubah. Sudah diketok," katanya di Jakarta, kemarin. (Indra/Asep)
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=283716
Inilah Sumber Penutup Defisit APBNP 2011 Oleh: Sandiyu Nuryono Ekonomi - Jumat, 22 Juli 2011 | 16:41 WIB INILAH.COM, Jakarta - Dengan Pendapatan Negara dan Hibah Rp1.169.914,6 miliar dan Belanja Negara Rp1.320.751,3 miliar maka defisit dalam APBNP mencapai Rp150.836,7 miliar atau 2,1% dari PDB. Demikian dituturkan Ketua Badan Anggaran DPR RI Mechias Markus Mekeng dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (22/7). "Adapun pembiayaan untuk menutupi defisit tersebut bersumber dari Pembiayaan Dalam Negeri Rp153.613,3 miliar dan Pembiayaan Luar Negeri (neto) sebesar negatif Rp2.776,6 miliar," tandasnya. Melchias melanjutkan, Pembiayaan Dalam Negeri antara lain berasal dari perbankan dalam negeri sebesar Rp48.750,7 miliar. Sedangkan, Pembiayaan Luar Negeri (neto) terdiri dari Penarikan Pinjaman Luar Negeri (bruto) Rp56.182,9 miliar, Penerusan Pinjaman (SLA) negatif Rp11.724,8 miliar dan Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri sebesar negatif Rp47.234,7 miliar. [cms]
APBNP 2011 'Diketok Palu' Rp 1.169 T Republika – Jum, 22 Jul 2011
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Rapat Paripurna DPR mengesahkan RUU tentang Perubahan atas UU No 10/2010 tentang APBN 2011, Jumat (22/7). Melalui pengesahan RUU itu, pemerintah dan DPR sepakati Pendapatan Negara dan Hibah dalam APBNP 2011 sebesar Rp 1.169,9 triliun dan untuk Belanja Negara disepakati sebesar Rp 1.320,7 triliun. RUU APBNP 2011 ini disahkan seusai Ketua Badan Anggaran DPR, Melchias Markus Mekeng, menyampaikan laporannya. RUU APBNP 2011 dibawa ke Rapat Paripurna setelah Banggar melakukan Raker dengan pemerintah pada 5 Juli 2011 diikuti rapat-rapat Panja. Penyelesaiannya dilaksanakan dalam Raker pada Kamis (21/7). "Pembahasan dan penetapan RUU tentang perubahan APBN dilakukan pemerintah dengan Banggar dan komisi terkait paling lama satu bulan," kata Melchias. Waktu satu bulan itu dalam masa sidang setelah RUU itu diajukan pemerintah kepada DPR. Besaran APBNP 2011 ditentukan setelah ada kesempatan asumsi makro.
Pendapatan Negara dan Hibah sebesar Rp 1.169,9 triliun terdiri dari Penerimaan Dalam Negeri sebesar Rp 1.165,2 triliun dan Hibah sebesar Rp 4,66 triliun. Penerimaan perpajakan sebesar Rp 878,7 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 286,6 triliun.
Belanja Negara APBNP 2011 Rp1.320,75 Triliun Jumat, 22 Juli 2011, 16:04 WIB Moneter dan Fiskal
Setelah melakukan rapat kerja dengan pemerintah, dalam Sidang Paripurna dinyatakan telah disepakati anggaran belanja negara pada 2011 mencapai Rp1.320,75 triliun. Paulus Yoga Jakarta–Sidang Paripurna DPR RI menyatakan menyetujui total anggaran belanja pemerintah sebesar Rp1.320,75 triliun, sesuai dengan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2011. Demikian diutarakan Ketua Badan Anggaran DPR RI Mechias Markus Mekeng dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat, 22 Juli 2011. “Jumlah tersebut dengan rincian belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp908,24 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp412,5 triliun,” tukasnya. Berdasarkan jenis belanjanya, belanja pemerintah terdiri dari Belanja Pegawai sebesar Rp182,87 triliun (angka sementara), Belanja Barang sebesar Rp139,78 triliun, Belanja Modal sebesar Rp136,87 triliun (angka sementara), Pembayaran Bunga Utang sebesar Rp106,58 triliun dan subsidi sebesar Rp237,19 triliun. “Sementara untuk Belanja Hibah sebesar Rp404,9 miliar, Bantuan Sosial sebesar Rp66,04 triliun (angka sementara) dan Belanja Lain-Lain sebesar Rp15,56 triliun,” pungkas Melchias. (*)
DPR-Pemerintah Sepakati RUU APBNP 2011 Ditulis oleh Div. IT Jumat, 22 Juli 2011 13:31 Jakarta - DPR dan Pemerintah menyepakati RUU tentang Perubahan UU No. 10 Tahun 2010
tentang APBN Tahun Anggaran 2011. "Badan Anggaran DPR RI telah melakukan rapat kerja dengan Menteri Keuangan dan Deputi Gubernur Bank Indonesia pada 5 Juli 2011 dengan agenda penyampaian Pokok-Pokok Penjelasan Menteri Keuangan mewakili Pemerintah mengenai Perubahan Undang-Undang No.10 Tahun 2010 tentang APBN Tahun 2011 beserta Nota Perubahannya. Untuk pendalaman materi juga telah dilakukan di dalam rapat Panja-Panja," kata Ketua Badan Anggaran DPR RI Melchias Markus Mekeng di Gedung DPR RI Jakarta, (22/7). Ia menambahkan, penyelesaian pembahasan di Badan Anggran DPR telah diselesaikan tanggal 21 Juli 2011 dalam forum Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI dengan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Hasil kesepakatan Badan Anggaran DPR RI, Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan RUU Perubahan Undang-Undang No.10 Tahun 2010 tentang APBN 2011 adalah asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2011 6,4% dan dalam RAPBNP 2011 6,5% sedangkan dalam kesepakatan adalah 6,5%. "Sementara asumsi inflasi disepakati 5,65% pada APBNP 2011 yang dalam APBN 2011 5,3%. Asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS disepakati dalam APBNP 2011 sebesar Rp8.700 yang pada APBN Rp9.250," tukasnya. Adapun asumsi tingkat suku bunga SPN 3 bulan dalam APBNP 2011 disepakati 5,6% yang sebelumnya di APBN 2011 6,5%. Asumsi harga minyak pada APBNP 2011 disepakati US$95 per barel yang pada APBN 2011 US$80. Asumsi lifting minyak di APBNP 2011 disepakati US$945 lebih rendah dari pada APBN 2011 US$970. (inilah.com)
Tanpa Pembatasan BBM, Subsidi Jebol APBNP 2011 Disahkan Written by Administrator Sunday, 24 July 2011 07:20 JPNN JAKARTA - Subsidi BBM tetap menjadi poin krusial bagi postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bahkan, setelah APBN-Perubahan 2011 disahkan, BBM tetap akan menjadi fokus perhatian pemerintah. Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Heri Purnomo mengatakan, pemerintah akan terus menghitung risiko membengkaknya subsidi BBM yang sangat dipengaruhi harga minyak dan nilai tukar rupiah. "Selain itu, ada pembatasan volume (BBM). (sebab) kalau tidak ada upaya pembatasan, ya (subsidi APBN) jebol," ujarnya usai pengesahan APBNP 2011 di DPR kemarin (22/7). Dalam APBN-P 2011, besaran subsidi BBM ditetapkan Rp 129,72 triliun, naik signifikan dibandingkan angka APBN 2011 yang sebesar Rp 95,9 triliun. Tambahan subsidi tersebut diberikan dengan catatan bahwa pemerintah harus melakukan upaya pengaturan atau pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Menurut Heri, meski tidak disebutkan secara eksplisit dalam APBNP 2011 bahwa pemerintah
harus melakukan pembatasan BBM, namun ada penekanan untuk langkah tersebut. Bahkan, sebenarnya ada ruang bagi pemerintah untuk menyesuaikan atau menaikkan harga BBM jika terjadi lonjakan harga minyak. "Itu saya katakan sebagai jendela, jadi pemerintah bisa melakukan," katanya. Sementara itu, dalam rapat paripurna kemarin, DPR mengesahkan RAPBNP 2011 menjadi APBNP 2011. Ketua Badan Anggaran DPR Melchias Mekeng mengatakan, untuk asumsi makro, pemerintah dan DPR sudah menyepakati angka pertumbuhan ekonomi naik dari 6,4 persen pada APBN 2011 menjadi 6,5 persen pada APBNP 2011. Adapun asumsi inflasi disepakati naik dari 5,3 persen menjadi 5,65 persen, nilai tukar Rupiah menjadi Rp 8.700 per USD dari sebelumnya Rp 9.250 per USD. Sedangkan suku bunga SPN 3 bulan disepakati sebesar turun dari 6,5 persen menjadi 5,6 persen, harga minyak Indonesia (ICP) naik dari USD 80 per barel menjadu USD 95 per barel, serta target lifting minyak diturunkan dari 970 ribu barel per hari menjadi 945 ribu barel per hari. Mekeng menyebut, khusus untuk subsidi, APBNP 2011 menganggarkan subsidi energi sebesar Rp 195,28 triliun yang terdiri dari subsidi BBM Rp 129,72 triliun dan subsidi listrik Rp 65,56 triliun. Selain itu, anggaran subsidi non-energi disepakati sebesar Rp 41,90 triliun. Subsidi itu terdiri dari subsidi pangan Rp 15,26 triliun, subsidi pupuk Rp 18,80 triliun, subsidi benih Rp 120,30 triliun, subsidi/bantuan public service obligation (PSO) Rp 1,84 triliun, subsidi bunga kredit program Rp 1,86 triliun, dan subsidi pajak Rp 4,00 triliun. (owi)
ASUMSI MAKRO APBNP 2011 Inilah asumsi makro APBNP 2011 JAKARTA. Pemerintah dan Komisi XI DPR menyepakati asumsi makro dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2011. Dalam rapat kerja yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz ini menyepakati beberapa asumsi makro. Yakni, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%, inflasi sebesar 5,65%, tingkat suku bunga SPN sebesar 5,6% dan nilai tukar rupiah sebesar Rp 8.700 per dollar Amerika Serikat. Semula pemerintah mengajukan angka asumsi RAPBNP 2011 untuk pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%, inflasi 6%, suku bunga SPN 5,6% dan nilai tukar rupiah Rp 8.800 per dollar Amerika Serikat. Sedangkan Bank Indonesia mengusulkan asumsi RAPBNP 2011 untuk pertumbuhan ekonomi 6,5%, inflasi 5% dan nilai tukar rupiah sebesar Rp 8.650. Artinya, pemerintah dan Komisi XI DPR menyepakati dua poin asumsi baru untuk inflasi dan nilai tukar rupiah. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan sebenarnya pemerintah menetapkan inflasi sebesar 6% naik dari APBN 2011 yang sebesar 5,3% dengan menghitung adanya dampak
dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Ia menambahkan, jika pemerintah tidak menghitung kebijakan energi yaitu kenaikan harga BBM, maka inflasi bisa saja hanya 5%. Menurut Agus, sesuai hitungan Bank Indonesia, kenaikan harga BBM bisa menaikkan inflasi 1,2%, sedangkan pembatasan BBM bersubsidi bisa menaikkan inflasi sebesar 0,7%. Karena itu, "Dalam diskusi tadi, setelah menyampaikan semua aspek termasuk kekhawatiran energi dan komoditi dunia serta kekhawatiran kondisi pangan nasional, termasuk infrastruktur dan konektifitas, kami sepakat inflasi sebesar 5,65% di 2011," jelasnya seusai rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jum'at (8/7). Agus menambahkan, hingga saat ini, pemerintah masih melakukan studi terkait dengan besarnya biaya subsidi energi yang harus ditanggung. Di sisi lain, pemerintah juga melihat kondisi masyarakat yang saat ini hampir memasuki puasa dan lebaran, serta tahun ajaran baru. Sedangkan untuk nilai tukar rupiah, Agus menjelaskan pemerintah dan Komisi XI DPR RI sepakat di angka Rp 8.700. "Saya ambil sisi konservatif, jadi kalau terjadi penguatan kita masih ada manfaat," katanya. Dengan nilai tukar yang konservatif ini, Agus bilang Indonesia masih bisa menekan defisit jika nanti ada risiko fiskal lain yang terjadi akibat lifting minyak dan ICP tidak tercapai. Sebab, jika nilai tukar rupiah dipatok terlalu kuat maka ketika lifting minyak tidak tercapai maka akan ada tambahan dana yang harus ditanggung di luar yang telah dianggarkan. Sinyal harga BBM tidak naik Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan menambahkan, penetapan inflasi 5,65% sebesar itu menunjukkan pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM bersubsidi tahun ini. Sebab, menurutnya, bila BBM bersubsidi dinaikan inflasi tahun ini bisa melambung jauh dari angka 5,65%. Dengan penetapan inflasi sebesar 5,65%, Rusman bilang pemerintah tidak mungkin akan menaikkan harga BBM bersubsidi. "Itu memang sinyalnya bukan kenaikan BBM tetapi lebih kepada usaha yang lebih keras untuk melakukan pembatasan BBM bersubsidi," ujarnya.