USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DAN PEMBENTUKAN KREDIT MACET PERBANKAN
Ihda Faiz1
Abstract. World economic become fragile after many crisis frequently damage economic stability. The worse one was subprime mortgage tragedy that caused by credit default from US contagious to other country around the world. From these, many economist had keeping concern to preventing crisis by reformulate credit scenario and searching early warning systems as a detector to credit defaults. There exists a general agreement among economists that strong credit growth has been ”one of the most pervasive developments”. The purpose of this paper are to investigate the interaction between micro, small and medium (UMKM) credit and non performing loan (NPL) banking industry in Indonesia, wheter are there correlation among them or not. Entrepreneurship have significant role in reducing poor group and resistible from global economic down turn (recession). The results of this study shows that the amount and growth of UMKM credit do not affect credit default in banking. State owned banking (Persero) intensively support credit growth to all level of UMKM segment. Local development bank (BPD) were the most sensitive affected by UMKM volatility because they interact more massively with UMKM. In general sense, the more bigger credit size allocation the more risker credit default will be receipt. If fundamental economic stability can be reach by triggering entrepreneurship and maintaining credit growth, the poor and jobless reducing agenda will be possible to be achieve.
Keywords: small and medium enterprises (SMEs), non performing loan, entrepreneurship
1 Mahasiswa S2 Akuntansi FEB UGM.
1
PENDAHULUAN Upaya pemerintah untuk mengurangi tingkat (dan jumlah) pengangguran sebagai bentuk keberpihakan terhadap rakyat (pro job) serta bentuk pengembanan amanat Undang-undang tampaknya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan tampaknya masih selalui menghiasi pemandangan di sekitar kita sekaligus menjadi kerikil yang turut serta muncul dalam setiap laporan statistik perekonomian. Mainstream utama pembangunan nasional tampaknya masih berpijak dan berpihak pada formulasi pertumbuhan ekonomi dari racikan resep para ekonom mazhab liberal yang mengagung-agungkan peranan modal (capital). Karenanya isu-isu ekonomi makro yang masih menjadi tren dan arus utama adalah bagaimana upaya menarik investor, menjaga nilai tukar rupiah, pengendalian inflasi serta regulasi sektor fiskal dan moneter (perbankan, pasar modal, asuransi, dll). Bila dirunut, arah kebijakan ini tentu saja didasarkan pada saran para pakar ekonomi yang duduk di belakang pemerintah sebagai think thank dalam pengambilan keputusan nasional. Latar belakang pendidikan dan rujukan penelitian yang mengadopsi perkembangan dunia barat (negara maju) memegang peranan penting dalam pembentukan opini ini. Kalangan ini lebih dikenal sebagai mafia berkeley dan mazhab ekonomi liberal. Padahal telah nyata-nyata seringkali berbagai kebijakan yang diambil dari proposisi mereka tidak selalu cocok diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia. Imbasnya adalah carut-marut dan tumpang tindihnya kebijakan yang dihasilkan dengan dampak langsung pada masyarakat luas yang tidak sepenuhnya faham akan dibawa kemana bahtera negeri ini oleh pemerintah. Yang dimengerti dan dimaui oleh masyarakat arus bawah (grass root) adalah harga bahan kebutuhan pokok murah dan tercukupi, lapangan kerja yang luas, akses pendidikan dan kesehatan yang murah serta kepastian ekonomi. Bila menghendaki arah ekonomi sebagaimana negara barat, maka negeri ini paling tidak harus pula mengalami fase panjang pembentukan masyarakat yang mapan sebelum siap disandingkan dengan masyarakat barat. Tentu saja hal ini sulit (untuk tidak mengatakan mustahil) dilakukan. Hal ini sekaligus membuktikan terjadi gap antara dunia akademisi (yang mengeksplorasi penelitian dan menghasilkan teori) dan kebutuhan empiris masyarakat. Kondisi ini dapat pula dilihat dari arah dan tren riset (penelitian) yang lebih merujuk pada isu-isu ekonomi negara industri (maju) dibanding kebutuhan dan permasalahan lokal. Bila dirunut, kontradiksi antara arah kebijakan dengan kondisi faktual akan banyak kita temui. Pemerintah menaikkan harga BBM padahal kenyataannya negeri ini merupakan surganya tambang, proyek industrialisasi digencarkan padahal negara ini bercorak agraris, harga beras seringkali melonjak dan bergerak liar padahal petani merupakan kelompok terbanyak penyumbang kemiskinan, pemerintah dengan mudah menggelontorkan dana untuk BLBI dan Bank Century tetapi sangat sulit membiayai pendidikan, kesehatan dan pembukaan lapangan kerja, rakyat kecil dijejali dan dikejar-kejar pajak padahal banyak perusahaan besar mengemplang pajak tidak ditindak, pemerintah menyediakan stand by loan untuk mem-bail out perbankan tetapi sangat pelit mengeluarkan kredit ke UMKM, obral BUMN jor-joran dan setelah terjual pun pemerintah diharuskan memberikan suntikan saat perusahaan kolaps dan seterusnya. Salah arah kebijakan ini tentu saja tidak dapat dibiarkan terus-menerus jika tidak ingin negeri ini
2
bangkrut (failed stated). Perlu ada agenda baru mengarahkan opini yang tepat dan solutif. Akar panjang tersebut dapat dimulai dari kalangan akademisi melalui pembentulan arah studi dan riset pada tema-tema yang lebih membumi dan faktual. Berbagai kontradiksi di atas seharusnya dapat terjawab dalam bingkai penelitian jika banyak ekonom kita peduli atas hal ini. Sudah harus segera diakhiri orientasi studi pada capital minded. Memperhatikan komposisi demografis dan struktur pekerja di Indonesia isu entrepreneurship menjadi arus obyek kajian yang menarik dan urgen saat ini. Menurut catatan Kadin, sebagian besar perusahaan yang ada di Indonesia 70% merupakan usaha skala kecil-menengah dan porsi kecil merupakan perusahan besar atau MNC. Hanya saja bila ditinjau dari kapitalisasi aset, porsi tersebut menjadi terbalik. Dengan paradigma ekonomi liberal tentu saja bagi pemerintah lebih menguntungkan mengurusi pihak yang memiliki jumlah aset besar dibanding mereka yang banyak tetapi beraset kecil. Tentu saja dengan alasan untuk menjaga iklim usaha dan investasi yang kondusif serta menjaga kepercayaan pasar. Meskipun pemerintah telah banyak memihak dan memberikan fasilitas bagi berkembangnya usaha skala besar tetapi posisi mereka tidak membawa pada perbaikan kondisi masyarakat secara signifikan. Saat ditempa krisis, perusahaan besar ini lebih mudah kolaps dan memperparah guncangan dibanding mereka (kalangan usahawan dan perusahaan skala kecil-menengah) yang resisten dan segera bangkit meski tidak banyak dibantu oleh pemerintah. Seringkali perusahan besarlah yang menguras APBN dan telah terbukti pula dalam krisis global terakhir, negeri ini tetap eksis dengan pertumbuhan ekonomi positif karena bersandar pada kemampuan domestik. Di barat sendiri telah mulai bergeliat studi tentang entrepreneurship. Glaeser, Kerr dan Ponzetto (2009) memberikan paparan menarik dalam penelitiannya. Sebanyak 80% pendirian usaha baru merupakan perusahaan kecil (single-unit startups) dengan sumbangan 53% pekerjaan baru. Sejumlah 75% pendirian usaha baru tersebut menggunakan 5 atau kurang pekerja sedang perusahaan dengan pekerja lebih dari 100 orang hanya berjumlah 0,5% atau ekspansi perusahaan yang berjumlah 4%. Sebagian besar perusahaan yang baru berdiri tersebut bergerak di bidang jasa/services (39%), perdagangan retail (32%) dan konstruksi (13%). Dengan tingkat pertumbuhan sebesar 10% pendirian usaha baru mampu menurunkan 7% angkatan kerja. Angka elastisitas pertumbuhan pekerjaan pada perusahaan baru terhadap angkatan kerja sebesar 0,97. Ini artinya banyaknya pertumbuhan angkatan kerja mampu diserap oleh berdirinya perusahaan baru (start up). Apabila Amerika Serikat saja (yang merupakan negara industri maju) masih mengandalkan perusahaan kecil-menengah dalam penyerapan tenaga kerja, lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintah akan tetap on the track ideologi industrialisai dalam pembangunan nasional? Penelitian seperti di atas harusnya segera dilakukan di Indonesia. Menurut laporan BPS, dari segi komposisi lapangan pekerjaan yang ada, sektor pertanian masih menyumbang angka terbesar (42,8%) diikuti sektor perdagangan (22,2%) dan jasa kemasyarakatan (15,6%). Menurut status pekerjan utamanya hampir separuh dari rakyat Indonesia bekerja sebagai usahawan dan hanya 30% yang berprofesi sebagai karyawan. Dari fakta tersebut harusnya bisa ditebak bahwa arah kebijakan ekonomi akan berpihak pada sektor pertanian. Tetapi asumsi ini jauh dari kenyataan. Apakah besarnya lapangan kerja di sektor pertanian dan
3
perdagangan memberikan sumbangan besar pula dalam menampung angkatan kerja dan mengurangi kemiskinan? Secara kasat mata dapat kita lihat, jumlah lahan pertanian yang semakin menyusut dan tingkat kemiskinan yang tinggi di sektor ini serta urbanisasi besar-besaran akibat industrialisasi menjadi sebab utama banyaknya angkatan kerja tidak memilih sektor ini sebagai harapan pekerjaan. Jikalaupun ada, mereka yang terjun di bidang ini lebih disebabkan karena keterpaksaan atau tradisi yang berimbas pada minimnya produktivitas dan kreativitas sektor ini. Ditinjau dari struktur pelaku usahanya, kedua sektor ini lebih banyak masuk dalam rumpun entrepreneurship sehingga studi tentangnya menjadi urgen untuk segera dilaksanakan. Untuk menggenjot penyerapan tenaga kerja tampaknya pemerintah tidak bisa lagi hanya berharap pada perusahaan besar. Mereka umumnya mengandalkan penguatan modal (capital intensive) dan teknologi (technological intensive) dibanding harus hiring karyawan baru. Bahkan dalam skala dan kondisi tertentu mereka akan melakukan rasionalisasi pekerja. Tumpuan satu-satunya pemerintah adalah kepada usaha kecil-menengah yang terbukti mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak. Atau pemerintah dapat juga menggiatkan entrepreneurship dengan membuat kebijakan yang berpihak pada mereka. Diakui ataupun tidak kemiskinan, pengangguran, kebodohan merupakan lingkaran setan yang harus segera diputus paling tidak dimulai dari salah satunya, mengurangi pengangguran misalnya. Miskinnya studi tentang entrepreneurship (terutama di barat) di bidang ekonomi telah diakui oleh Oort dan Stam (2006). Selain karena faktor mazhab liberal yang mengendalikan arah studi ekonomi, kesulitan lain yang dihadapi para peneliti adalah keterbatasan data yang rinci tentang entrepreneurship. Penelitian ini diharapkan mampu mengeksplorasi interaksi antara kredit mikro, kecil dan menengah yang diberikan oleh perbankan dengan pembentukan kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) pada bank tersebut. Interaksi ini akan menghasilkan gambaran bagaimana pola pengelolaan kredit UMKM oleh perbankan dari segi supply dan bagaimana pola kepatuhan serta ketahanan berbagai tingkatan UMKM terhadap resiko gagal bayar (default) dari segi demand. Karena ketersediaan data yang terbatas tentang fakta spesifik perkembangan UMKM di negara ini maka penulis mengambil pendekatan dengan menggunakan variabel besaran kredit yang disalurkan perbankan untuk melihat pola interaksi supply dan demand ini. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Belum banyak studi di dalam negeri yang menjelaskan positioning entrepreneur dalam perekonomian nasional, bagaimana keterkaitannya, seberapa besar sumbangan dan potensinya terhadap perekonomian. Namun kita dapat melihat beberapa riset yang dilakukan di negeri lain sebagai pijakan awal. Penelitian yang dilakukan Global Entrepreneurship Monitor (GEM) 2006 terhadap 42 negara dunia (termasuk Indonesia) menggambarkan fakta menarik yang bisa kita tindak lanjuti (follow-up). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa tingkat entrepreneurship berbanding terbalik dengan tingkat PDB per kapitannya tetapi bentuk kurvanya menyerupai huruf “U”. Negara dengan tingkat PDB per kapita yang rendah (seperti Indonesia, Filipina, Peru dan Kolombia) menunjukkan tingkat entrepreneurship yang tinggi. Kondisi ini berkebalikan pada negara
4
dengan pendapatan menengah-tinggi (seperti Jepang dan Uni Eropa) yang menunjukkan tingkat entrepreneurship rendah. Tetapi tingkat entrepreneurship kembali tinggi pada negara yang PDB per kapitanya tinggi (seperti Amerika Serikat dan Norwegia). Temuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, pada negara dengan pendapatan per kapita rendah struktur perekonomian yang tidak mampu mengakomodir tingkat angkatan kerja dengan luas pekerjaan yang tersedia akhirnya “memaksa” kalangan yang kalah borkempetisi mendapatkan pekerjaan tersebut untuk menciptakan pekerjaan sendiri. Usahawan atau wirausaha inilah yang kemudian disebut sebagai wirausahawan yang terpaksa (necessity entrepreneurs). Kondisi ini berbeda dengan negara berpendapatan per kapita tinggi. Entrepreneurs yang tercipta bukanlah karena ‘keterpaksaan’ sistemik dari struktur perekonomian yang ada namun lebih disebabkan karena ‘pilihan mandiri’ untuk mencapai kemakmuran yang lebih baik dibanding menjadi tenaga kerja (employee). Pada negara berpendapatan per kapita menengah-tinggi sebagian besar angkatan kerja lebih memilih menjadi pekerja karena perekonomian telah mapan dan jaminan sosial tenaga kerja telah terpenuhi dengan baik. Selain itu biasanya di negara-negara tersebut mengenakan pajak yang cukup tinggi sehingga menurunkan minat banyak kalangan untuk mendirikan usaha baru. Dalam kaitannya dengan fungsi mengurangi jumlah pengangguran, terdapat beberapa simpang siur (conflicting findings) hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap entrepreneurship. Seperti temuan Audretsch dan Thurik (2000) yang membuktikan bahwa meningkatnya jumlah entrepreneur mampu mengurangi jumlah pengangguran. Mereka menyebut kondisi ini sebagai ‘schumpeter effect’ merujuk pada teori Schumpeter yang menyatakan bahwa entrepreneurship berpengaruh positif terhadap ketenagakerjaan. Penelitian ini berlawanan dengan apa yang diungkap oleh Carree (2002) bahwa entrepreneurship tidak ada hubungannya dengan pengangguran. Atau bahkan terdapat pula yang menyatakan bahwa keduanya memiliki hubungan yang terbalik. Pernyataan ini ditunjang dengan temuan Baringer (2007) yang menujukkan bahwa kebanyakan perusahaan baru (start-up companies) memiliki banyak kendala dalam bertahan sehingga kebanyakan dari mereka tumbang kurang dari 2 tahun eksistensi semenjak berdirinya. Hanya saja perlu telaah lebih jauh terkait perbedaan kedua hasil penelitian tersebut. Bagi peneliti dalam negeri dan pembuat kebijakan, perbedaan ini merupakan tantangan untuk dkonfirmasi aktualitas dan lokalitasnya untuk kasus domestik sehingga dapat dirumuskan strategi kebijakan yang tepat. Kondisi di atas menarik untuk dilakukan studi mengenai implikasi jangka pendek dan panjang terkait tingginya necessity entrepreneurs ‘wirausahawan terpaksa’ tersebut bagi perekonomian Indonesia. Seberapa besar peran mereka dalam membangun perekonomian negeri dan kemampuan mereka dalam mengurangi angka pengangguran serta daya tahan terhadap kondisi perekonomian domestik dan global merupakan riset yang mendesak untuk dilakukan. Beranjak dari pengalaman merasakan beberapa kali hantaman krisis ekonomi regional dan global oleh negeri ini dengan menyisakan hancurnya perekonomian dan tetap existnya kalangan entrepreneur sebagai penjaga terakhir perekonomian merupakan bukti tak terelakkan betapa urgennya pemerintah segera membuat regulasi yang memihak mereka. Tentu saja hal ini dapat diawali dengan melakukan riset atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Belum lagi terkait kualitas
5
entrepreneur yang ada, resistensi (daya tahan) terhadap guncangan buruknya perekonomian nasional dan global, kontinuitas (keberlanjutan) usaha baru dan skala kecil-menengah, accessibility (jangkauan akses) terhadap berbagai pendanaan dan fasilitas dari pemerintah dan perbankan, persistensi (kemampuan pencegahan) dari lingkungan yang menghimpit dan lain-lain adalah tema-tema entrepreneurship yang harus segera terpecahkan. Dengan implikasi kebijakan yang memadai. Bukan saatnya lagi bergantung pada pandangan perekonomian mainstream utama yang hanya berpihak pada pemilik modal besar (kapitalis) yang nyata-nyata tidak cocok diterapkan di negeri ini. Dikalangan ekonom sendiri terdapat dua arus besar pandangan entrepreneurship dalam posisinya sebagai penggerak ekonomi yaitu managed economy dan entrepreneurial economy. Kalangan managed economy berpandangan bahwa competitive advantage (keunggulan kompetitif) hanya akan tercapai bila skala produksi massal yang bersumber dari penggunaan modal (capital) dan tenaga kerja (labor) dapat terpenuhi. Teori bersumber dari Solow tersebut sering juga disebut paradigma lama yang sangat digdaya semasa periode industrialisasi terjadi. Syarat utama modal (capital) dan labor yang besar tersebut tentu saja hanya didapati pada industri (perusahaan) skala besar dan kuat, semisal Multinational Corporation (MNC). Kalangan ini berpandangan bahwa perusahaan yang baru berdiri dan perusahaan skala kecil-menengah tidak mampu mengangkat perekonomian yang dicirikan dengan (Brown dan Medoff, 1989) : 1. Inefisiensi produksi dibanding perusahaan berskala besar 2. Upah pekerja yang rendah 3. Kurang inovasi dengan rendahnya dukungan research and development (R&D) dalam produksi 4. Peran yang tidak signifikan dalam perekonomian. Berbeda dengan pandangan pertama, kalangan entrepreneurial economy menganggap bahwa justru entrepreneurshiplah yang sekarang berperan penting meningkatkan output perekonomian negara. Audretsch dan Thurik (2004) menekankan proses knowledge spillover (transfer pengetahuan) yang lebih cepat oleh bisnis baru dan skala kecil-menengah karena daya inovasi dan kreasi yang dibawanya. Argumen ini tampaknya cukup beralasan seiring dengan berkembang pesatnya teknologi dan menjamurnya usaha skala besar sehingga terjadi kejenuhan menjadikan bisnis baru dan skala kecil-menengah mendapat kesempatan berkembang pesat. Inilah beberapa alasan kuat argumentasi kelompok kedua : 1. Teknologi telah berkembang pesat sehingga skala produksi yang diperlukan untuk mencapai skala ekonomis dapat lebih rendah daripada sebelumnya. 2. Target pasar yang spesifik (niche market) yang dicirikan dengan lebih dapat digarap oleh perusahaan yang mashi muda maupun masih berada dalam skala yang justru tidak terlalu besar. Hanya saja kedua teori di atas belum tentu tepat untuk dikonfrontisir dalam konteks lokal atau di negara berkembang seperti Indonesia karena perbedaan fakta dan struktur perrkonomian. Diharapakan dalam riset lanjutan akan ditemukan formulasi yang tepat (atau teori baru) tentang entrepreneurship di lingkup developing country atau negara bercorak agraris. Tetapi satu hal yang menjadi kesamaan tentang entrepreneurship yaitu perannya yang strategis membangun ketahanaan perekonomian domestik.
6
B. Penelitian Terdahulu Di kalangan ekonom barat telah berkembang tema-tema variatif tentang entrepreneurship studies. Glaeser, Kerr dan Ponzetto (2009) melakukan penelitian kondisi, pengelompokkan dan sebab entrepreneurship di Amerika. Tidak bisa dibantah bahwa meningkatnya jumlah lapangan pekerjaan porsi terbesar disumbang oleh tumbuhnya usaha baru di masyarakat. Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara pertumbuhan lapangan pekerjaan dengan berkembangnya usaha skala kecil di masyarakat melalui pembentukan usaha baru (start-up companies). Di negara industri seperti Amerika Serikat, pertumbuhan entrepreneur ternyata mengelompok pada kawasan atau daerah-daerah industri (city-industries) dengan berdirinya banyak usaha kecil. Pertumbuhan entrepreneurship juga dipengaruhi oleh rendahnya biaya ekonomi suatu daerah (low cost of economy) termasuk tingkat upah yang rendah, iklim usaha yang mendukung, serta supply entrepreneur yang besar. Pertumbuhan usaha kecil tidak dipengaruhi secara kuat oleh industrialisasi yang ada, siklus produk (product cycles) dan usia berdirinya perusahaan. Penelitian ini juga menolak anggapan selama ini bahwa berdirinya usaha baru dipengaruhi oleh tingginya imbal hasil produksi (abnormal return to production) sehingga mendorong orang untuk mendirikan usaha baru. Pengamatan lebih mendetail menunjukkan bahwa ketahanan kinerja entrepreneurship akan teruji secara alamiah oleh lingkungan bisnis dengan seleksi terhadap daya tahan keberlanjutan (going concern) perusahaan. Gompers, et al (2008) memberikan bukti track record entrepreneur akan sangat menentukan keberhasilan berikutnya (ekspansi) serta ketahanan perusahaannya. Entrepreneur dengan rekam jejak sukses cenderung akan menuai kesuksesan berikutnya dibanding entrepreneur pertama kali dan mereka yang pernah gagal sebelumnya. Ini sekaligus membuktikan jargon ‘success breeding success’ adalah benar adanya seperti kondisi faktual di lapangan. Hanya saja Gompers, et al (2008) mengecualikan outlier berupa entrepreneur yang sangat sukses dan yang sangat gagal. Mereka yang sangat sukses cenderung merasa puas sehingga tidak melakukan inovasi dan ekspansi. Sedangkan mereka yang sangat gagal cenderung tidak mampu bangkit karena pukulan yang terlalu berat. Penelitian ini juga menjawab kebimbangan faktor penentu keberhasilan entrepreneurship apakah karena skill-based ataukah perception-based. Dua faktor utama pembentuk keberhasilan adalah marketing timing skill dan entrepreneur’s management. Terbukti bahwa kesuksesan entrepreneurship lebih disebabkan karena faktor keahlian dalam menentukan jenis industri yang dimasuki dan timing yang tepat untuk mengawali bisnis dibanding sekedar ‘keberuntungan’ dari beberapa anggapan (persepsi). Penelitian tentang hubungan antara aglomerasi ekonomi dan pembentukan usaha baru dilakukan Oort dan Stam (2006). Terdapat beberapa permasalahan yang diteliti yaitu apakah faktor aglomerasi mempengaruhi keberadaan perusahaan yang telah ada dan perusahaan baru serta bagaimanakah konfigurasi ideal wilayah yang dapat mengakomodir berkembangnya perusahaan dan tumbuhnya perusahaan baru. Hasil penelitian di Belanda pada industri teknologi komunikasi menghasilkan beberapa kesimpulan. Temuan pertama menunjukkan bahwa dibandingkan perusahaan yang baru berdiri, perusahaan lama ternyata tidak terpengaruh secara positif oleh kompetisi yang ada dalam wilayah yang
7
mengelompok. Kedua, bentuk wilayah yang terkonsentrasi penduduk (urbanisasi) memiliki dampak pengaruh yang berbeda-beda terhadap perkembangan perusahaan dan munculnya usaha baru pada berbagai skala. Ketiga, aglomerasi memiliki dampak yang sangat kuat terhadap munculnya perusahaan baru sedangkan perusahaan lama (incumbent firms) memiliki orientasi pengembangan wilayah yang lebih luas. Terdapat pula riset entrepreneurship yang mengambil setting dalam negeri. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Christmas (2009) yang mengambil kasus pada industri manufaktur di Jawa Timur tentang hubungan antara pertumbuhan perekonomian dan tingkat entrepreneurship. Christmas berhasil membuktikan bahwa entrepreneurship berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi terutama sektor manufaktur yang menjadi pengamatan melalui mekanisme start-up companies, disamping faktor lain berupa input modal, tenaga kerja serta kualitas Sumber Daya Manusia. Hasil ini sejalan dengan teori Schumpeter (1934) bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh entrepreneurship dan hasil penelitian Zheng, Hu dan Wang (2008) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya sekedar bergantung pada investasi modal tetapi juga dipengaruhi inovasi dan cara baru berproduksi yang tentu saja didapatkan dari entrepreneur baru. Jika diamati lebih detail, kebanyakan penelitian tersebut mengambil setting sektor industri sehingga studi tentang entrepreneurship di sektor lain menjadi sangat terbuka luas untuk eksplorasi. Tentu saja dikaitkan dengan konfigurasi perekonomian lokal agar tercipta kesesuaian fakta dan kebutuhan pengembangan. Tidak sekedar studi dengan tema-tema yang copy paste dari negara industri maju dan cenderung dipaksakan atau terpaksa karena keterbatasan data. METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi dua bagian dengan pertimbangan rumusan penelitian yang berbeda. Bagian pertama meneliti aspek interaksi antara besaran dan pertumbuhan kredit UMKM terhadap pembentukan kredit macet perbankan yang ada di Indonesia dengan menggunakan regresi berganda (Ordinary Least Square/OLS). Dari penelitian pertama ini diharapkan terdapat gambaran tentang berbagai kemungkinan respon antar variabel yang sedang diteliti serta karakteristik (pola) pengelolaan kredit UMKM oleh perbankan. Setelah didapatkan faktor penentu utama dalam pembentukan kredit macet maka dilakukan pengamatan kedua yaitu memprediksi waktu pengaruhnya (time lag). Bagian kedua ini menggunakan metode Vector Auto Regression (VAR). Penelitian ini membedakan besaran kredit (Rupiah) dengan pertumbuhan kredit (%) untuk melihat perbedaan reaksi jenis kredit terhadap keduanya. Besaran (jumlah) kredit terkait pilihan pihak perbankan dalam alokasi dan prioritas pemberian kredit, sedang pertumbuhan kredit terkait sustainabilitas dan komitmen kedua belah pihak untuk memenuhi hak dan kewajiban mereka. A. Deskripsi Data dan Variabel Penelitian ini menggunaakan data publikasi Statistik Perbankan Indonesia dari Bank Indonesia. Fokus penelitian ini adalah pada figuring out interaksi antara jenis-jenis kredit sektor usaha kecil perbankan terhadap pembentukan tingkat kredit macet level institusi. Jenis kredit sektor usaha kecil (UMKM) dibedakan
8
menjadi tiga yaitu kredit mikro, kredit kecil dan kredit menengah. Klasifikasi ini didasarkan pada ketentuan dan laporan dari BI yaitu kredit mikro merupakan kredit dengan plafon mulai dari 0 sampai dengan maksimum Rp 50 juta, kredit kecil adalah kredit dengan plafon mulai dari Rp 50 juta hingga maksimum Rp 500 juta dan kredit menengah adalah kredit dengan plafon mulai dari Rp 500 juta hingga maksimal Rp 5 miliar. Pengaruh ini akan diinteraksikan dengan berbagai jenis klasifikasi perbankan oleh BI yaitu Bank Persero, Bank Pembangunan Daerah, Bank Swasta Nasional dan Bank Asing Campuran. Pengamatan terkait aspek komparasi stabilitas dua jenis perbankan mengambil setting rentang bulan Januari 2008 hingga April 2010 (bulanan). B. Model Penelitian Bagian kedua akan menguraikan peranan kredit syariah dalam pertumbuhan ekonomi menggunakan VAR. Vector Auto Regression (VAR) banyak digunakan karena mampu meng-capture hubungan dinamis antar variabel-variabel pengamatan yang tidak terbatas pada suatu waktu sama tetapi terus berlanjut sepanjang waktu. Model ini juga bersifat dinamis dan simultan sehingga kita dapat menganalisa efek yang terjadi pada variabel endogen karena adanya shock variabel endogen lain dari waktu ke waktu. Mekanisme secamam ini dapat ditelusuri melalui analisa impulse response function (IRF) yang memungkinkan peneliti untuk menganalisa hubungan berantai yang terjadi antarvariabel (Ascarya, 2009). Model matematis VAR dapat digambarkan sebagai berikut :
Dimana adalah vektor variabel endogen dengan dimensi (n x 1), adalah adalah vektor variabel eksogen termasuk konstanta (intercept) dan trend, matriks koefisien dengan dimensi (n x n) dan adalah vektor residual. Sedangkan untuk model VAR dengan sistem primitif bivariat orde pertama sederhana sebagaimana dirumuskan oleh Enders (2004) dalam Ascarya (2008) adalah sebagai berikut:
Model di atas diasumsikan baik
maupun
white noise disturbance dengan deviasi standar
adalah statis, dan
dan
dan
adalah
dan
adalah
white noise disturbance yang tidak berkorelasi. Dalam model bivariat sederhana dan dipengaruhi oleh sekarang dan dulu, sementara dipengaruhi oleh sekarang dan dulu. Layaknya pemodelan ekonomik lainnya, VAR juga harus melalui serangkaian proses spesifikasi dan identifikasi model. Spesifikasi model meliputi pemilihan variabel dan panjang lag yang akan digunakan dalam model. Sedangkan identifikasi model digunakan untuk mengidentifikasi persamaan sebelum dapat digunakan sebagai perkiraan. Beberapa pengujian yang dilakukan antara lain. a) Uji Stasioneritas Asumsi utama yang melandasi pemodelan VAR adalah data stasioner. Suatu pengujian deret waktu (time series) dikatakan stasioner apabila data tersebut
9
memiliki rerata (mean), variance (varians) dan autocovariance yang sama pada setiap titik dimanapun dilakukan analisa data pada periode tersebut (time invariant). Dengan demikian data akan berfluktuasi di sekitar rata-ratanya dan cenderung kembali ke arah rata-ratanya (mean reversion). Jika data tidak memenuhi kriteria ini maka pengujian akan menghasilkan spurrious regression (regresi lancung) yang menyesatkan. Deret waktu yang tidak stasioner berarti data tersebut memiliki time varying mean atau time varying variance atau keduaduanya. Bila data yang diamati stasioner maka akan meningkatkan akurasi dan analisis VAR (Hadi, 2003). Metode pengujian VAR yang digunakan dalam pengujian unit akar ini adalah uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) dan uji Phillips-Perron (PP). b) Pemilihan Lag Optimal Permasalahan utama dalam data time series adalah adanya autokorelasi. Untuk mengatasi permasalahan ini maka harus digunakan panjang lag optimal yang diperoleh dari pengujian panjang lag optimal. Dalam penelitian ini penentuan panjang lag optimal didasarkan pada lag terpendek menurut Schwarz Information Criterion (SC). Menurut Gujarati (2003) SC memberikan timbangan yang lebih baik daripada AIC karena SC memberi timbangan lebih besar dan penalti lebih terhadap penambahan variabel. c) Uji Kointegrasi Jika variabel dalam tahap dasar (level) tidak stasioner maka data tersebut harus memenuhi kriteria proses integrasi untuk mendapatkan hubungan jangka panjang. Beberapa kalangan menolak proses stasionerisasi (misal dengan metode differencing dan detrending) karena akan mengurangi bahkan menghilangkan informasi tentang pergerakan data dari variabel model. Namun ditinjau dari segi peramalan model VAR pada first differences akan lebih akurat dibanding VAR dalam levels. Bila terdapat kointegrasi pada variabel maka penggunaan VAR dalam 1st difference akan mengakibatkan misspesifikasi (Prima, 2004). d) Uji Stabilitas Untuk menentukan stabil atau tidaknya estimasi kita dapat menggunakan uji stabilitas. VAR pada lag optimal harus stabil jika tidak akan menghasilkan Impulse Response Functioan dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) menjadi tidak valid. IRF digunakan untuk menentukan respon dari satu vaiabel endogen dari guncangan variabel lain dalam model tersebut. Sedang FEVD digunakan untuk menentukan kontribusi realatif dari satu variabel untuk menjelaskan variabilitas dari variabel endogen (Ascarya, 2009). Untuk itu kita dapat mengamati dari nilai modulus atau unit lingkaran. Dikatakan stasioner bila nilai modulus kurang dari satu HASIL DAN PEMBAHASAN A. REGRESI 1) Faktor yang Mempengaruhi NPL Masing-masing Bank Pengujian dengan regresi pertama ingin mengungkap faktor yang mempengaruhi pembentukan kredit macet (NPL) pada tiap-tiap jenis bank. Berdasarkan tabel 2 dapat terlihat bahwa pembentukan kredit macet pada bank persero dipengaruhi oleh kredit menengah, sedang kredit jenis mikro dan kecil tidak signifikan berpengaruh. Arah pengaruh kredit menengah terhadap NPL bank pesero terlihat positif yang artinya semakin besar pinjaman kredit menengah yang diberikan
10
maka akan meningkatkan resiko kredit macet bank persero. Pada bank asing campuran, tingkat NPL dipengaruhi oleh besaran kredit mikro yang diberikan dan menunjukkan arah positif. Pada bank BPD (Bank Pembangunan Daerah) semua variabel menunjukkan pengaruh positif dan signifikan meski dengan derajat keyakinan berbeda, kecuali tingkat LDR yang berpengaruh negatif. Sedang pada bank swasta nasional tingkat NPL dipengaruhi oleh besaran kredit mikro dan kecil dengan arah pengaruh yang positif. Hasil pengujian pertama menunjukkan beberapa temuan menarik terkait pola dan respon berbagai jenis perbankan atas pembentukan tingkat kredit macet berdasarkan komposisi kredit sektor usaha kecil yang diberikannya. Bank Persero yang didalamnya terdapat BRI terlihat responsif terhadap jenis kredit menengah. Artinya mereka cukup mampu mengelola resiko kredit jenis mikro dan kecil. Perbedaan respon terhadap jenis kredit UMKM juga menunjukkan positioning bank dan pola risk management yang mereka terapkan. Bank Persero yang cukup besar dan telah sejak lama menggarap sektor retail dan UMKM tampaknya memiliki jurus jitu untuk mengelola kredit mikro dan kecil sehingga potensi resiko macet mampu mereka minimalisir. Tetapi mereka tidak cukup baik mengelola kredit dengan plafon besar. Kondisi sebaliknya terjadi pada credit risk management perbankan swasta nasional dan asing campuran yang responsif terhadap kredit mikro dan kecil. Secara umum hal ini dapat dijelaskan bahwa cost capital untuk masuk menggarap sektor kecil (retail) cukuplah besar sehingga tidak banyak bank yang mau serius menekuni sektor ini. Disamping itu perlu pendekatan intensif dan pengalaman yang cukup dalam mengelola sektor ini untuk meraih kepercayaan pasar. Tampak hal ini tidak didapatkan pada dua jenis bank tersebut. Temuan menarik lain adalah signifikansi semua jenis kredit terhadap pembentukan NPL pada bank BPD. Tampaknya hal ini disebabkan oleh corporate governance BPD yang kurang. Mereka mendapatkan berbagai fasilitas secara struktural dari birokrasi pemerintahan untuk mengelola dana-dana pemda sehingga seakan terlena. Hal ini juga tampak dari signifikannya pengaruh LDR terhadap NPL dengan arah negatif. Semakin besar kredit yang diberikan maka jumlah kredit bermasalah akan semakin sedikit. Artinya, dibanding bank lain, BPD lebih cukup siap mengelola alokasi pendanaan besar untuk kredit karena memiliki kedekatan dengan pangsa pasar masyarakat kecil dan terbantu oleh birokrasi pemerintahan setempat. 2) Pengaruh Jenis Bank terhadap Pertumbuhan Kredit Pengujian kedua ini melihat kontribusi tiap-tiap perbankan terhadap pertumbuhan kredit UMKM. Berdasar tabel 3 terlihat semua bank cukup kontributif menyalurkan dan mendorong pertumbuhan kredit ke sektor mikro kecuali perbankan swasta nasional. Sedang untuk pertumbuhan kredit kecil dan menengah bank yang paling berperan adalah bank swasta nasional dan bank persero. Hasil uji ini memperlihatkan komitmen masing-masing bank atas pertumbuhan kredit UMKM. Tampak komitmen bank persero yang cukup intens menggarap UMKM mulai dari sektor mikro hingga menengah, sedang bank BPD lebih konsen pada sektor mikro 3) Pengaruh pertumbuhan kredit terhadap NPL masing-masing bank Pertumbuhan kredit juga tidak terkait dengan pembentukan NPL (tabel 4), kecuali pertumbuhan kredit menengah pada bank BPD yang berpengaruh negatif.
11
Semakin tinggi pertumbuhan kredit sektor menengah akan menurunkan resiko kredit gagal bank BPD. Bila dikonfrontisir dengan temuan sebelumnya, temuan bersifat mengkhususkan yaitu meskipun NPL bank BPD terpengaruh oleh semua jenis kredit ternyata aspek pertumbuhan kredit menengah memberikan pengaruh negatif. Hal ini konsisten (menguatkan) dengan temuan sebelumnya (tabel 2) yamg memperlihatkan kesiapan bank BPD dalam menggelontorkan dana untuk kredit. Dari pengujian ini kita dapat mengartikan bahwa pertumbuhan sektor UMKM tidak berpengaruh terhadap NPL. Namun belum jelas apakah pertumbuhan kredit ini dipengaruhi oleh semakin luasnya pangsa pasar perbankan pada sektor UMKM ataukah menunjukkan semakin terbantunya UMKM yang menerima kredit sehingga usahanya juga tumbuh. Dibutuhkan penelitian lanjutan untuk mnjawab masalah ini. 4) Pengaruh LDR terhadap besaran kredit dan temuan umum Ketentuan terbaru BI mengharuskan pihak perbankan untuk mencapai rasio LDR sekitar 80-100%. Jika tidak mereka akan dikenakan penalti. Kebijakan ini terbukti cukup direspon perbankan terbukti menurut catatan BI pada Januari hingga Agustus 2010 kredit modal kerja yang diberikan mencapai Rp. 813,4 T atau tumbuh 15,7 persen. Sementara kredit konsumsi tercatat sebesar Rp. 501,2 T atau tumbuh 14,7 persen. Porsi kredit modal mencapai 49,6 persen, kredit konsumsi menyumbang 30,6 persen dan kredit investasi 19,9 persen dari total kredit sebesar Rp 1.640,4 T (Koran Tempo, 12/10/2010). Jika perbankan diminta untuk membesarkan rasio kredit mereka terhadap deposito maka jenis kredit UMKM manakah yang mereka pilih? Pada tabel 5 terlihat BPD lebih suka mengurangi porsi kredit mikro mereka (signifikansi negatif) dan mengejar sektor mengengah (sebagaimana temuan sebelumnya) serta bank Persero yang lebih suka mengguyurkan dana mereka pada sektor kecil. Sedangkan jika ditinjau secara menyeluruh ternyata besaran jumlah kredit menengah tampaknya memberikan andil pada kredit bermasalah (tabel 6). Kondisi ini sejalan dengan teori investasi secara umum yaitu high risk high return. Meski memberikan porsi yang besar atas keuntungan perbankan, resiko yang dihadapi dalam penyaluran kredit menengah juga cukup besar. B. VAR Semua variabel penting yang terlibat dalam pembahasan teori sebelumnya akan diuji stasioneritasnya. Berdasakan tabel 7 dapat kita lihat hanya variabel pertumbuhan kredit perbankan saja yang stasioner dalam tahap level, sedang yang lain stasioner dalam tahap perbedaan awal (first difference). Untuk menghindari permasalahan autokorelasi dalam time series maka digunakan panjang lag optimal yang diperoleh dari pengujian panjang lag optimal. Berdasarkan pengujian panjang lag optimal menurut kriteria Schwarz Information Criterion (SC) dalam tabel 8 didapatkan panjang lag optimal kredit bermasalah berada pada lag 1. Dalam pengujian Stasioneritas Johansen terhadap kredit bermasalah menunjukkan tidak terdapat kointegrasi pada nilai kritis yang ditentukan. Uji kointegrasi dapat juga dilakukan dengan melakukan regresi berganda variabel dependen dengan residual variabel yang belum stasioner tingkat level. Pengujian stabilitas dapat dilakukan melalui VAR stability condition check berupa roots of characteristic polynomial terhadap seluruh variabel yang digunakan dikalikan dengan jumlah lag dari masing-masing variabel. Tabel 9
12
menunjukkan kredit bermasalah memiliki nilai absolut root unit dengan modulus kurang dari satu. Dari uji ini menunjukkan stabilitas estimasi VAR maka dapat dilakukan langkah pengamatan Impulse Response Function (IRF). Berdasarkan hasil pengujian IRF menunjukkan beberapa temuan sebagai berikut. NPL dipengaruhi oleh NPL sebelumnya dengan arah yang awalnya positif tetapi terus menurun menuju negatif dengan melewati periode 9 yang tidak berpengaruh (nilai 0). Puncak tertinggi shock terjadi langsung pada periode sebelumnya dengan nilai 0.001827. Sedang shock besarnya kredit menengah berpengaruh negatif dengan puncak tertinggi bernilai -0.000266 terjadi pada periode ke tujuh. Setelah itu turun dan mendekati stabil. Dari hasil pengujian ini terlihat meskipun kredit menengah menentukan pula terhadap kredit macet namun besaran dan panjang (durasi) efeknya tidak terlalu signifikan. Bisa dikatakan secara umum kredit yang diberikan perbankan kepada sektor UMKM tidak mengalami kendala yang berarti dalam penghimpunannya terbukti ketiadaan hubungan antara keduanya. SIMPULAN DAN BATASAN Pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan berakar pada pilihan subyek dan sasaran pembangunan yang bertumpu pada sektor riil. Pertumbuhan dengan mengandalkan pada akumulasi kapital memang sekilas terlihat akselaratif namun sangat labil terhadap guncangan. Terlebih di era globalisasi dan liberalisasi sektor keuangan seperti sekarang, pembangunan yang bertumpu pada capital intensive sangat riskan terkena guncangan dan tidak memiliki fundamental yang kuat pada sektor riil. Penelitian ini berhasil membuktikan di tengah instabilitas ekonomi makro, sektor UMKM memiliki integritas dan komitmen yang kuat atas pelunasan kewajiban pinjaman mereka. Terbukti kredit bermasalah (NPL) tidak dipicu atau dipengaruhi oleh besaran dan tingkat pertumbuhan kredit UMKM. Kualitas kredit menjadi perhatian ekonom dunia setelah subprime mortgage crisis yang meluluhlantakkan perekonomian dunia dipicu oleh macetnya kredit sektor perumahan di Amerika Serikat. Penelitian ini juga menghasilkan temuan berbagai positioning dan treatment perbankan terhadap jenis kredit UMKM. Bank Persero lebih intens mensupport pertumbuhan kredit UMKM. NPL Bank BPD cukup responif terhadap kredit UMKM karena kuatnya segmen mereka di sektor ini. Selain itu BPD juga terlihat cukup siap mengelola dana deposannya untuk disalurkan ke sektor UMKM dibanding bank lain. Secara umum, semakin besar kredit yang diberikan resiko kredit macet yang dihadapi juga semakin meningkat kecuali bank swasta nasional dan bank asing campuran yang berkebalikan. Penelitian ini tidak mengeksplorasi secara lanjut kualitas kredit UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi dan atau pengurangan jumlah pengangguran sehingga tidak bisa diuji secara langsung pengaruhnya secara berkelanjutan terhadap perekonomian nasional sebagai telah dipaparkan dalam literatur. Harapannya penelitian ini menjadi trigger bagi eksplorasi dan formulasi optimalisasi peran entrepreneurship dalam perekonomian ke depannya.
13
DAFTAR PUSTAKA Ascarya. 2009. Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Krisis Berulang : Perpektif Ekonomi Islam. BI : Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Volume 12 Nomor 1 Juli 2009 hal 33. Audretsch, David B dan Thurik, Roy. 2000. Capitalism and Democracy in the 21st Century: From the Managed to the Entrepreneurial Economy. Journal of Evolutionary Economics 10. 17-34. Audretsch, David B dan Thurik, Roy. 2004. A Model of The Entrepreneurial Economy. International Journal of Entrepreneurship Education 2 (2). Badan Pusat Statistik. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Juni 2010. Badan Pusat Statistik. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009 Tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia. 2009. Baringer, Bruce dan Duane Ireland. 2007. Entrepreneurship : Succesfully Launching New Ventures 2nd edition. Pearson Education. Brown, C dan Medoff, J. 1989. The Employer Size-Wage Effect. Journal of Political Economy 97 (5). 1027-1059. Carree, Martin. 2002. Does Unemployment Affect the Number of Establishment? A Regional Analysis for US States. Regional Studies 36, p. 389-398 Christmas, Eduardus. 2009. Entrepreneurship Capital dan Pertumbuhan Manufaktur Regional Studi Empiris Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2005. Skripsi FE UI. Tidak dipublikasikan. Fadjar AD, dkk. 2010. Aglomerasi Industri Sebagai Kekuatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Maluku. Vibiz Regional Research. Glaeser, Edward L.; Kerr, William R dan Ponzetto, Giacomo A.M. Cluster of Entrepreneruship. Harvard Business Scholl Working Paper 10-019. November 2009. Global Entrepreneurship Monitor 2006. Babson College dan London Business Scholl. Gompers, Paul A; Kovner, Anna; Lerner, Josh dan Scharfstein, David S. 2008. Performance Persistence in Entrepreneurship. Harvad Business School Working Paper 09-028. Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition-International Edition. Printed in Singapore : McGraw Hill. Hadi, Yonathan S. 2003. Analisis Vector Auto Regression (VAR) Terhadap Korelasi Antara Pendapatan Nasional dan Investasi Pemerintah Indonesia, 1983/1984 – 1999/2000. Jurnal Keuangan dan Moneter. Volume 6 Nomor 2. Jakarta Kuncoro, Mudrajad. 2008. Analisis Spasial dan Regional. YKPN. Oort, Frank GV dan Stam, Erik. 2006. Agglomeration Economies and Entrepreneurship in the ICT Industry. Erasmus Research Institute of Management (ERIM). Erasmus School of Economics. Weenekers, Sander. 2006. Entrepreneurship at Country Level : Economic and Non-Economic Determinants. Erasmus University Rotterdam. Zheng, Jianghuai, Hu, Zhinning dan Wang, Jialing. 2008. Entrepreneurship, Innovation and Economic Growth : The Case of Yangtze River Delta ini China. Industrial Economics Department. Nanjing University.
14
LAMPIRAN Tabel 1 Jenis dan Simbol Variabel Variabel Kredit Mikro Kredit Kecil Kredit Menengah Pertumbuhan Kredit Mikro Pertumbuhan Kredit Kecil Pertumbuhan Kredit Menengah NPL Bank Persero LDR Bank Persero NPL Bank Asing LDR Bank Asing NPL Bank Campuran LDR Bank Campuran NPL Bank BPD LDR Bank BPD NPL Bank Umum Swasta Devisa LDR Bank Umum Swasta Devisa NPL Bank Umum Swasta Non Devisa LDR Bank Umum Swasta Non Devisa NPL Bank keseluruhan LDR Bank keseluruhan
Satuan Rupiah Rupiah Rupiah % % % % % % % % % % % % % % % % %
Simbol M1 M2 M3 GM1 GM2 GM3 PSO1 PSO2 BA1 BA2 BC1 BC2 BPD1 BPD2 BUSD1 BUSD2 BUSN1 BUSN2 NPL LDR
Tabel 2. Faktor yang mempengaruhi pembentukan kredit macet (NPL) masing-masing bank Jenis Bank Persero Bank Asing Campuran
Faktor Penyebab NPL Kredit Menengah Kredit Mikro
Coefficient 1.16E-05 4.94E-06
LDR -0.010085 Kredit Mikro 8.34E-06 Kredit Kecil 7.45E-06 Kredit Menengah 7.28E-06 Kredit Mikro 4.28E-06 Bank Swasta Nasional Kredit Kecil 7.02E-06 Tanda * menunjukkan sign 10%, ** sign 5% dan *** sign 1%
Bank BPD
Hasil Uji t 3.391360*** 8.147209*** -1.879371* 2.342742** 2.085566** 2.018468** 2.425987** 3.130419***
Tabel 3. Pengaruh jenis bank terhadap pertumbuhan kredit Jenis Kredit Mikro
Kecil
Menengah
Bank yang Berperan • Bank Asing Campuran • Bank BPD • Bank Pesero • Bank Swasta Nasional • Bank Pesero • Bank Swasta Nasional • Bank Pesero
Coefficient 0.000123
Hasil Uji t 8.805668
Keterangan Sig 1%
0.000361 0.000107 0.000178
1.751528 6.465456 1.781101
Sig 10% Sig 1% Sig 10%
0.000258 0.000233
2.189468 1.982871
Sig 5% Sig 10%
9.88E-05
1.844100
Sig 10%
15
Tabel 4. Pengaruh Pertumbuhan kredit terhadap pembentukan kredit macet masing-masing bank NPL Bank
Asing Campuran BPD Swasta Devisa Swasta Non Devisa Persero
Jenis Pertumbuhan Kredit yang mempengaruhi Growth Kredit Menengah -
Coefficient
Hasil Uji t
-0.059904 -
-2.957692 -
Keterang an
Sig 1%
Tabel 5. Pengaruh jenis LDR bank terhadap besaran kredit yang diberikan Jenis Kredit Mikro Kecil Menengah
Bank yang Berperan • Bank BPD • Bank Pesero -
Coefficient -12881.70 7841.869
Hasil Uji t -1.941064 1.796382
Keterangan Sig 10% Sig 10%
Tabel 6. Faktor Pembentuk NPL secara menyeluruh Faktor Kredit Menengah -
Coefficient 5.34E-06
Hasil Uji t 3.332613
Keterangan Sig 1%
Tabel 7. Uji Stasioneritas data Variabel M1 M2 M3 GM1 GM2 GM3 PSO1 PSO2 BA1 BA2 BC1 BC2 BPD1 BPD2 BUSD1 BUSD2 BUSN1 BUSN2 NPL LDR
PP Test -4.231334 -5.689225 -5.914173 -4.650717 -5.793955 -6.027198 -5.932142 -3.031903 -3.196648 -6.354696 -4.766809 -4.140162 -6.399714 -5.054685 -4.970181 -4.761525 -5.416284 -5.513747 -5.574183 -3.833776
1% -3.7076 -3.7076 -3.7076 -3.7076 -3.7076 -3.7076 -3.7076 -3.6959 -3.7076 -3.7076 -3.7076 -3.7076 -3.7076 -3.7076 -3.7076 -3.7076 -3.7076 -3.7076 -3.7076 -3.7076
5% -2.9798 -2.9798 -2.9798 -2.9798 -2.9798 -2.9798 -2.9798 -2.9750 -2.9798 -2.9798 -2.9798 -2.9798 -2.9798 -2.9798 -2.9798 -2.9798 -2.9798 -2.9798 -2.9798 -2.9798
10% -2.6290 -2.6290 -2.6290 -2.6290 -2.6290 -2.6290 -2.6290 -2.6265 -2.6290 -2.6290 -2.6290 -2.6290 -2.6290 -2.6290 -2.6290 -2.6290 -2.6290 -2.6290 -2.6290 -2.6290
Tingkat Stasioner 1st difference 1st difference 1st difference Level Level Level 1st difference 1st difference 1st difference 1st difference 1st difference 1st difference 1st difference 1st difference 1st difference 1st difference 1st difference 1st difference 1st difference 1st difference
16
Tabel 8. Penentuan order lag model perbankan syariah VAR Lag Order Selection Criteria Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2
-50.82115 45.79210 49.64162
NA 162.3103* 5.543310
0.014879 1.36E-05* 2.13E-05
4.305692 -2.703368* -2.291330
4.451957 -2.118308* -1.267474
4.346260 -2.541097* -2.007356
* indicates lag order selected by the criterion Tabel 9. VAR Stability Condition Check Roots of Characteristic Polynomial Root
Modulus
0.923916 0.804077 -0.148669
0.923916 0.804077 0.148669
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of NPL to NPL .0025 .0020 .0015 .0010 .0005 .0000 -.0005 -.0010 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
18
20
Response of NPL to M3 .0025 .0020 .0015 .0010 .0005 .0000 -.0005 -.0010 2
4
6
8
10
12
14
16
17