eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2(3): 625-640 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
UPAYA PEMERINTAH INDONESIA UNTUK MENYELESAIKAN KONFLIK GOSONG NIGER Satria Dwi Jayanto NIM.0702045055
Abstract Gosong Niger Conflict caused by Malaysia claim. This conflict known after Malaysia Navy or usually called Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) chase away Indonesian’s ship that across the Gosong Niger waters area. Beside that, Gosong Niger was promote as one of tourism destination in Malaysia, and then describe it in the Malaysia Peta Baru that unilateral published on 1979. This research purpose to know how Indonesia government to do to solve Gosong Niger Concflict. Indonesia goverment use diplomacy based on UNCLOS 1982, delimitation and demarcation. Keywords :UNCLOS 1982, Gosong Niger, Diplomacy, Delimitation and Demarcation Pendahuluan Menurut United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terdiri dari ± 17.499 pulau dengan luas perairan 5,8 juta km2, terdapat berbagai sumber daya alam yang melimpah, serta berada pada posisi strategis jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia (beta.tnial.mil.id diakses pada tanggal 15 Februari 2010). Indonesia secara umum berbatasan dengan 10 negara. Wilayah tersebut juga termasuk pulau-pulau terluar dan pulau-pulau kecil yang tersebar di sepanjang wilayah perbatasan Indonesia, baik itu pulau berpenghuni maupun tidak. Beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena mempunyai kecenderungan permasalahan dengan negara tetangga (kawasan.bappenas.go.id/ diakses pada tanggal 2 April 2012). Kurangnya kontrol pemerintah terhadap daerah perbatasan juga menyebabkan daerah perbatasan sering mendapatkan intervensi dari negara tetangga. Batas maritim yang pertama kali disepakati antara kedua negara adalah menyangkut landas kontinen. Perjanjian landas kontinen ini ditandatangani pada Oktober 1969 dan diratifikasi pada November 1969. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dari perjanjian tersebut, titik-titik batas landas kontinen antara Indonesia dan
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 625-640
Malaysia terbagi menjadi tiga kawasan laut dan 25 titik batas, yaitu Selat Malaka terdiri atas 10 titik koordinat, Laut Cina Selatan bagian barat terdiri atas 10 titik koordinat dan Laut Cina Selatan bagian timur yang terdiri atas 5 titik koordinat. Gosong Niger merupakan salah satu wilayah terluar Indonesia. Istilah gosong dapat diartikan gundukan pasir alluvial tenggelam di lautan dangkal. Dalam Bahasa Inggris, kata gosong ini bisa disebut sebagai sandbar atau banks. Gosong Niger tidak tampak seperti pulau-pulau pada umumnya, karena merupakan dasar laut dangkal berupa gugusan terumbu karang, endapan lumpur dan pasir, dengan kedalaman 4-12 meter yang hanya dapat dilihat saat permukaan air laut surut (www.geografiana.com diakses pada tanggal 16 Februari 2010). Antara Indonesia-Malaysia, Gosong Niger dibatasi oleh titik ikat 21 yang berada pada koordinat 109° 38” 8’ Bujur Timur (BT) dan 2°05”0’ Lintang Utara (LU). Hanya sepertiga arealnya yang termasuk wilayah landas kontinen Malaysia dari luas keseluruhan Gosong Niger seluas 1.420 mi2. Secara administrasi Gosong Niger berada di Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat dengan lokasi kurang lebih sekitar 4,1 Nautical Mile (Nm) disebelah Utara Tanjung Datu. Secara fisik, Gosong Niger tampak berupa gugusan karang-karang yang memiliki panjang sekitar 5,8 Nm (10,44 km) dan lebar antara 0,5 Nm (0,9 km) sampai dengan 1 Nm (1,8 km). Pada waktu air pasang, karang tersebut akan tenggelam, sehingga bukan merupakan suatu pulau. Mengacu pada Pasal 121 ayat (1) UNCLOS 1982 dan Pasal 1 ayat (2) UU No.6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia yang menyatakan bahwa suatu pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah dikelilingi oleh air dan berada di atas permukaan air pada waktu air pasang (aurapapua25.wordpress.com diakses pada tanggal 25 Mei 2011). Malaysia berusaha melakukan tindakan provokatif berupa klaim-klaim kepemilikan Gosong Niger secara sepihak pada Indonesia dengan cara menunjukkan penguasaan efektif (effective occupation) pada kawasan Gosong Niger atau Permatang Naga (sebutan Malaysia) dengan promosi dan kegiatan wisata di sekitar Teluk Melano (Sarawak). Klaim sepihak ini dilakukan Malaysia pada awal tahun 2005. Mereka berargumen bahwa penetapan Gosong Niger sebagai Taman Nasional Laut sudah dilakukan sejak lama dan Gosong Niger merupakan salah satu areal konservasi alam milik mereka. Terlebih lagi, kawasan ini sering digunakan masyarakat Sarawak untuk memancing dan juga sebagai salah satu tujuan wisata yang paling diminati oleh wisatawan asing. Pemerintah Indonesia lalu melakukan peninjauan secara langsung di kawasan yang sedang dipermasalahkan tersebut. Kapal yang digunakan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat yang melakukan survei dihadang oleh beberapa Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM). Mereka hanya diizinkan untuk melihat kawasan Gosong Niger dari Suar Apung yang dibangun saat masa penjajahan Belanda. Dalam peninjauan tersebut, dapat dilihat bahwa mayoritas
626
Upaya Pemerintah Indonesia Untuk Menyelesaikan Konflik Gosong Niger (Satria Dwi J.)
aktivitas pelayaran berasal dari Malaysia, dimana ada beberapa kapal patroli TLDM yang berjaga-jaga di kawasan tersebut. Berdasarkan pada hasil peninjauan tersebut, Indonesia berupaya membuat suatu perundingan dengan Malaysia terkait pelanggaran yang dapat merugikan pihak Indonesia terutama pada kawasan Gosong Niger. Pihak Malaysia berargumen bahwa Gosong Niger masuk ke dalam wilayah yurisdiksi mereka. Hal ini juga didasarkan pada publikasi Peta Baru (dikenal dengan Peta 1979) yang dikeluarkan secara unilateral oleh Malaysia. Dalam Peta Baru Malaysia tahun 1979, Malaysia memasukkan keberadaan Gosong Niger ke dalam wilayahnya, yaitu dengan menarik garis dasar median antara garis dasar Malaysia dan garis dasar perairan Indonesia. Berbagai upaya ditempuh pemerintah Indonesia guna menyelesaikan konflik terkait kasus kepemilikan Gosong Niger yang melibatkan Indonesia-Malaysia, bertujuan agar konflik tersebut segera terselesaikan, menghindari memburuknya hubungan kerjasama antara kedua negara serta menetapkan kembali wilayah yurisdiksi kedua negara. Kerangka Dasar Teori 1. Konsep Diplomasi Diplomasi secara singkat dapat dikatakan sebagai cara halus dan sopan yang digunakan oleh masing-masing negara dalam rangka pencapaian tujuan dan kepentingannya dalam hubungan dengan negara lain untuk negara-negara lain. Metode diplomasi dapat digunakan untuk mencapai sesuatu (offensive) dan untuk menghindari atau mencegah (defensive) (T.May Rudy, 1992). Diplomasi adalah tema dalam hubungan internasional yang sudah lebih dulu memperoleh perhatian besar dalam hukum internasional, pembahasan dapat diarahkan dengan tehnik diplomasi serta komunikasi. Dalam bukunya The Principle and Practice of Diplomacy, menyatakan: “Diplomasi dalam hubungan internasional yang sudah lebih dulu mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain” (S.L.Roy, 1991). Menurut K.J. Holsti: “Salah satu cara yang sering dipraktekkan untuk mengurangi tekanan konflik adalah Diplomasi” (K.J.Holsti, 1967). Sebagai instrumen, diplomasi pada dasarnya memiliki tugas-tugas politik seperti yang disebutkan Hans J. Morgenthau, antara lain : 1.Diplomasi harus menentukan tujuannya yang dilihat dari segi kekuatan dan yang berpotensi tersedia dalam pencapaian tujuannya. 2.Diplomasi harus menilai tujuannya tentang negara lain dan kekuatan sebenarnya serta yang berpotensi tersedia dalam pencapaian tujuannya. 3.Diplomasi harus menentukan seberapa luas dari perbedaan tujuan yang dapat dipertukarkan satu sama lain. 4.Diplomasi sebagai alat yang menentukan hasil dari tujuannya (Hans J.Morgenthau, 1961).
627
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 625-640
Unsur pokok yang difokuskan dalam diplomasi yaitu negosiasi. Negosiasi yang dilakukan berusaha untuk mengedepankan kepentingan nasional. Tindakantindakan diplomatik diambil untuk menjaga dan memajukan kepentingan nasional sejauh mungkin bisa dilaksanakan dengan sarana damai. Negosiasi atau perundingan dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mendamaikan/merekonsiliasikan pihak-pihak yang sedang bertikai/konflik dengan tujuan untuk mencapai suatu hasil yang dapat diterima. Tujuan dari negosiasi dalam diplomasi ini adalah mengidentifikasi bidang-bidang tentang kepentingan bersama maupun yang terlibat konflik. Terdapat 2 (dua) elemen yang ada dalam suatu negosiasi yaitu kepentingan bersama dan masalah-masalah pokok yang menimbulkan konflik itu sendiri. Negosiasi adalah suatu proses komunikasi dan interaksi yang esensial yang mencakup sejumlah tugas, serta maksud dan tujuan. Dalam era modern, masalahmasalah prosedural ini telah menjadi lebih umum karena dianggap sebagai pencerminan status, sekaligus kepentingan simbolis sehingga kadang-kadang tampak lebih banyak membicarakan hal-hal utama yang akan dibicarakan. Hal-hal yang paling utama dalam negoisasi, antara lain : a.Persuasi dan Tawar-menawar (Persuasion and Bargaining) b.Strategi Tawar-menawar (Bargaining) c.Perundingan Multilateral (Multilateral Negotiaions) d.Penangkalan (Deterence) (miezchan.blogspot.com diakses pada 11 Februari 2010) Indonesia dan Malaysia membentuk the Joint Indonesia-Malaysia Boundary Committee (JIMBC) antara delegasi Indonesia yang dipimpin Sekjen Kementerian Dalam Negeri Indonesia dengan delegasi dari Malaysia. JIMBC merupakan annual meeting dimana sebagai bentuk media diplomasi yang difokuskan pada masalah-masalah di sekitar perbatasan yang terjadi antara kedua negara. 2. Konsep Delimitasi & Demarkasi Secara umum, delimitasi batas maritim diartikan sebagai proses perundingan untuk menentukan garis yang membagi laut territorial antar kedua negara. Sedangkan demarkasi berarti penegasan atas batas pemisah wilayah negara yang ditetapkan oleh pihak yang bersengketa berdasarkan hasil dari delimitasi yang telah dilakukan sebelumnya (kateglo.bahtera.org diakses pada tanggal 14 Mei 2012). Dengan memiliki sepuluh negara tetangga, delimitasi dan demarkasi batas maritim adalah pekerjaan besar yang penting artinya bagi Indonesia. Menurut Dr.Sobar Sutisna,”Delimitasi merupakan batas maritim suatu negara yang dipengaruhi oleh kepentingan politik dan hukum suatu negara. Batas wilayah yang akan dibahas adalah mengenai batas-batas maritim Indonesia dengan negara tetangga” (Sobar Sutisna, 2006). Berbeda dengan batas darat yang tampak jelas, dimana letak perbatasan dipasangi patok atau tanda penunjuk batas, wilayah laut tidak mudah untuk dilakukan demarkasi.
628
Upaya Pemerintah Indonesia Untuk Menyelesaikan Konflik Gosong Niger (Satria Dwi J.)
Demarkasi suatu wilayah didasarkan pada korelasi yang kuat dari beberapa bagian baik fisik maupun non fisik yang membentuk suatu wilayah tersebut. Proses pengelompokan (aggregation) ke dalam wilayah-wilayah akan bermanfaat untuk membuat suatu deskripsi atas pemisahan dan pengelompokan data lainnya yang lebih kecil. Sehingga jumlah keseluruhan dan rata-rata dari suatu wilayah sensus dan wilayah kecil akan lebih informatif, mudah ditangani dan disajikan jika dibandingkan dengan hanya tumpukan hasil sensus belaka, terutama bagi yang terlibat langsung dalam proses tersebut (irtuss.blogspot.com diakses pada tanggal 14 Mei 2012). Delimitasi dan demarkasi masing-masing dipengaruhi oleh dua hal yang sebenarnya bertentangan yaitu antara fleksibel dan kaku, namun disaat yang sama harus saling bekerjasama. Delimitasi dipengaruhi oleh kepentingan politik dan hukum suatu negara sedangkan demarkasi bersifat teknis untuk mengkonstruksi hasil delimitasi agar dapat dikenali. Selanjutnya melalui demarkasi, pihak aparat maupun masyarakat dapat mengenali hak-hak dan kewajiban ketika mereka berada didalam negaranya atau harus tunduk kepada hukum negara lain ketika mereka berada di luar wilayah negaranya (Rudi Wibowo dan Soetriono, 2004). Metode Penelitian Penelitian yang digunakan adalah analisis eksplanatif, yaitu memberikan gambaran-gambaran mengenai tentang apa saja upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan konflik perbatasan terutama pada kasus konflik perebutan Gosong Niger di Provinsi Kalimantan Barat, serta menggunakan teknik analisis data kualitatif. Hasil Penelitian Perbatasan negara menjadi hal yang penting dan berpengaruh dalam berhubungan dengan negara lain. Hal ini untuk menegaskan seberapa luas wilayah suatu negara tersebut yang berbatasan langsung dengan negara lain. Kedekatan geografis serta ketidakjelasan garis batas negara antara Indonesia-Malaysia menjadi salah satu penyebab sering munculnya potensi konflik di daerah perbatasan. Dampak dari konflik perbatasan dirasakan langsung oleh masyarakat yang tinggal di sekitar perbatasan tersebut. Konflik perbatasan negara sering terjadi di daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Tersebarnya pulau-pulau terluar tanpa ada pengawasan dari pemerintah seringkali mempermudah pihak Malaysia melakukan intervensi berupa klaim sepihak terhadap pulau-pulau terluar tersebut. Hal yang patut disayangkan mengingat Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Salah satunya adalah konflik Gosong Niger. Dalam konflik Gosong Niger, ada 2 upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia. Upaya tersebut yaitu upaya diplomasi dan upaya delimitasi dan demarkasi. 1.Upaya Diplomasi
629
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 625-640
Masalah perbatasan dengan Malaysia merupakan bagian dari penyelesaian isu perbatasan yang menjadi fokus utama kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia melalui diplomasi perbatasan (border diplomacy). Ada berbagai prosedur yang harus dilakukan, contohnya mengajak pihak Malaysia untuk melakukan peninjauan bersama. Permasalahan perbatasan harus diselesaikan dengan cara damai melalui diplomasi kedua negara. Memorandum of Understanding (MoU) merupakan tahap awal dari kesepakatan bersama dan dapat dinegosiasikan ulang. Menetapkan MoU menjadi sebuah perjanjian mewajibkan adanya kesepakatan kedua negara dan harus diratifikasi, serta ada persetujuan dari DPR RI. Hubungan bilateral antara Indonesia-Malaysia mulai memunculkan gejolak ketika masalah batas negara mulai diperdebatkan. Hal itu ditandai dengan adanya MoU 1976 di Kinabalu, Malaysia dan MoU 1978 di Semarang, Indonesia. MoU 1976 di Kinabalu dan MoU 1978 di Semarang memperlihatkan adanya perbedaan yang cukup signikan dengan Traktat London 1891. Di Tanjung Datu (termasuk Gosong Niger) Indonesia berpeluang kehilangan 80.000 m2. Guna mempercepat penyelesaian masalah di daerah perbatasan, pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat membentuk the Joint Indonesia-Malaysia Border Committee (JIMBC). Pengelolaan wilayah perbatasan harus menggunakan paradigma baru yang dimana wilayah perbatasan tidak lagi menjadi halaman belakang tetapi merupakan beranda depan suatu negara. Dalam penyelesaian sengketa wilayah negara di Gosong Niger, pemerintah perlu memperhatikan opsiopsi yang dimiliki dalam penyelesaian konflik tersebut, salah satunya diplomasi, serta meminta bantuan Mahkamah Internasional untuk mempercepat penyelesaian konflik sepanjang ada kesepakatan antarnegara yang bersengketa dan melakukan langkah mengembangkan status quo. Hal yang perlu diingat, pemerintah perlu memastikan agar tidak ada pelanggaran status quo atas wilayah tumpang tindih (overlapping area). Kontribusi diplomasi perbatasan Indonesia tidak hanya berdampak dalam kerangka bilateral, tetapi juga berskala multilateral. Hal ini terbukti melalui perjuangan diplomasi yang telah dilakukan sejak tahun 1958, konsep negara kepulauan (archipelagic state) yang digagas Indonesia akhirnya mendapatkan pengakuan internasional dalam UNCLOS 1982. Dengan adanya konsep negara kepulauan, maka laut-laut penghubung yang berada di tengah kepulauan Indonesia tidak lagi dikategorikan sebagai laut internasional lagi, melainkan sebagai laut pedalaman (ditpolkom.bappenas.go.id diakses pada tanggal 28 Oktober 2013). Walaupun berada pada bagian terdepan dari wilayah Indonesia, Gosong Niger belum dapat dikategorikan sebagai pulau seperti dimaksud oleh UNCLOS 1982. Berdasarkan Undang-Undang (UU) No.4 Perpres Tahun 1960, wilayah Tanjung Datu ditetapkan sebagai Titik Dasar (TD) No.35 (www.sinarharapan.co.id diakses pada tanggal 25 Januari 2011). Ujung Tanjung Datu menjadi patokan klaim batas
630
Upaya Pemerintah Indonesia Untuk Menyelesaikan Konflik Gosong Niger (Satria Dwi J.)
darat yang disetujui oleh Indonesia dengan Malaysia pada tahun 1976 merujuk pada perjanjian batas darat Hindia Belanda dan Inggris pada tahun 1891. Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen yang disepakati pada 27 Oktober 1969 antara Indonesia dengan Malaysia, yang kemudian diratifikasi dalam Keputusan Presiden (Keppres) No.89 Tahun 1969 khususnya pada titik koordinat No.21 di segmen Laut Cina Selatan bagian timur, kawasan Gosong Niger membelah garis batas (dasar) laut di mana 2/3 bagiannya berada di dalam teritorial Indonesia. Sebagai dua negara yang berdampingan (adjacent states), Indonesia dan Malaysia memiliki klaim wilayah laut yang tumpang tindih (overlapping claim) di sekitar perairan tersebut. Malaysia menafsirkan garis batas landas kontinen antara Indonesia-Malaysia adalah garis ZEE. Maka dalam hal ini dapat membuka potensi sengketa antar negara (dispute) dalam berbagai kasus menyangkut kegiatan ekploitasi, eksplorasi, dan pengelolaan wilayah. Dengan kondisi geografis yang berupa gundukan tenggelam atau lebih berupa karang, jika tidak dilakukan pemetaan secara jelas akan membahayakan navigasi, tidak menutup kemungkinan pemetaan tersebut juga dilakukan di seluruh perairan dangkal di kawasan kepulauan di seluruh Indonesia. Dalam Peta Laut Indonesia (PLI), Gosong digambarkan biru muda. Upaya diplomasi perbatasan Indonesia dalam mempertahankan Gosong Niger merupakan hal sangat penting untuk dilakukan. Klaim Indonesia terhadap garis batas di Gosong Niger sudah jelas, dimana tercantum dalam perjanjian garis batas landas kontinen tahun 1969 antara Indonesia-Malaysia. Namun diplomasi untuk menyelesaikan klaim tumpang tindih di perairan tersebut terkendala pada perundingan mengenai batas ZEE Indonesia-Malaysia. Kedua negara sepakat menandatangani MoU tentang demarkasi dan survei pada perbatasan internasional antara Malaysia dan Indonesia pada tanggal 4 Februari 2005. MoU ini merupakan MoU ketiga terkait demarkasi batas internasional antara kedua negara yang masih belum jelas di pulau Borneo (Kalimantan). MoU ini memuat tentang peta yang dibuat oleh the Joint Indonesia-Malaysia Survey Team yang telah menetapkan 2 area (area III pada titik D-E dan area IV pada titik I-J). Namun MoU tersebut masih belum final. Ditandai dengan diadakannya pertemuan serupa di Yogyakarta pada tanggal 13 April 2006 dan penandatanganan MoU tersebut. Pada MoU ini, disepakati 3 area (area VII pada titik H-I, area III pada titik D-E, dan area XIX pada titik U-V). Pada area III dan VII, titik-titik batas negaranya dicantumkan pada peta no.27, sedangkan titik-titik batas pada area XIX dicantumkan pada peta no.28. MoU tersebut merupakan salah satu hasil dari upaya diplomasi yang dilakukan pemerintah. MoU ini juga digunakan sebagai dasar delimitasi dan demarkasi batas negara antara Indonesia-Malaysia, yang dimana Gosong Niger termasuk di dalamnya.
631
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 625-640
Dalam upaya diplomasi untuk menyelesaikan konflik Gosong Niger, maka pemerintah Indonesia membahas antara lain: 1) Penentuan Status Gosong Niger Penentuan status Gosong Niger dimaksudkan untuk menentukan Gosong Niger sebagai salah satu bagian dari wilayah laut yaitu landas kontinen Indonesia yang berada di ujung barat Kalimantan dan berbatasan langsung dengan Malaysia. Dalam penentuannya sebagai landas kontinen Indonesia tersebut, pemerintah Indonesia juga diwajibkan untuk memenuhi kriteria yang ditentukan oleh UNCLOS 1982 sebagai dasar hukum laut internasional. 2) Penetapan hak dan kewajiban kedua negara terhadap aktifitas di sekitar Gosong Niger Gosong Niger memiliki potensi alam yang mendorong adanya beragam aktifitas pelayaran di sekitar perairan tersebut, baik untuk tujuan ekplorasi dan ekploitasi, ini yang menjadi dasar diperlukan adanya kesepakatan dalam hal-hal tertentu agar hak dan kewajiban masing-masing negara terjamin di dalam perlindungan hukum Gosong Niger. Mengingat ketentuan dalam UNCLOS 1982 yang menyebutkan bahwa, “tidak satupun ketentuan dalam bab ini mempengaruhi hak negara pantai untuk menetapkan persyaratan bagi kabel atau pipa yang memasuki wilayah atau laut teritorialnya, atau mempengaruhi yurisdiksi negara pantai atas kabel dan pipa yang dipasang atau dipakai bertalian dengan eksplorasi landas kontinennya atau eksploitasi sumber kekayaan alamnya atau operasi pulau buatan, instalasi dan bangunan yang ada di bawah yurisdiksinya” (UNCLOS 1982 Pasal 79). 3) Pengaturan hukum terhadap Gosong Niger Indonesia dan Malaysia telah memiliki kesepakatan bersama, yaitu Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen tahun 1969 yang diratifikasi dengan Keppres No.89 tahun 1969 dan Perjanjian Garis Batas Laut Teritorial 1970 (territorial seas agreement 1970) yang diratifikasi dengan UU No.2 tahun 1971 namun masih mempunyai beberapa hal yang perlu disepakati lebih lanjut terkait laut teritorial, batas yuridiksi zona tambahan dan batas landas kontinen serta ZEE. Keberadaan garis batas Gosong Niger dalam ketentuan perjanjian bilateral tahun 1969 tidak dijelaskan secara spesifik. Sehingga untuk menjamin kepastian hukum terhadap status Gosong Niger sebagai bagian landas kontinen Indonesia, perlu dibuat suatu peraturan yang mengatur tentang eksistensinya, baik itu terkait dengan delimitasi, demarkasi, upaya pelestarian, ekplorasi dan eksploitasi. Tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum terhadap Gosong Niger sebagai bagian dari landas kotinen yang berada di antara wilayah Indonesia dan Malaysia. Selain itu agar tidak terjadi tumpang tindih dengan peraturan lain yang sudah ada sebelumnya, seperti terjadinya perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Malaysia terhadap Perjanjian Inggris-Belanda 1891 (Traktat London 1891) dalam hal penetapan batas-batas yang didasarkan pada watershed. Posisi Tanjung Datu berpengaruh pula terhadap penentuan garis dan titik pangkal yang berkaitan dengan penentuan wilayah laut, termasuk Gosong Niger di dalamnya. Walaupun Gosong Niger bukanlah suatu daratan pulau atau sebagai penempatan titik pangkal (base point),
632
Upaya Pemerintah Indonesia Untuk Menyelesaikan Konflik Gosong Niger (Satria Dwi J.)
tetapi tidak menutup kemungkinan adanya perlindungan hukum dan upaya efektif yang dapat mewujudkan dan menunjukan kedaulatan Indonesia terhadapnya. Jika berpatokan pada ketentuan yang menyebutkan bahwa: “pulau adalah daerah daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pada air pasang” (UNCLOS 1982 Pasal 121). Maka penetapan Gosong Niger sebagai landas kontinen dari Indonesia sudah tepat, karena penetapan ini dilakukan sesuai dengan Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen Tahun 1969 yang disepakati oleh Indonesia dan Malaysia. Pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa Gosong Niger adalah milik Indonesia. Hal ini didasarkan pemerintah Indonesia berdasarkan hasil UNCLOS 1982 yang menetapkan Indonesia sebagai negara kepulauan, sedangkan Malaysia adalah negara pantai, bukan negara kepulauan. Secara hukum, UNCLOS 1982 telah mengikat dan tidak dapat diubah. 2.Upaya Delimitasi & Demarkasi Apabila ZEE Indonesia tumpang tindih dengan ZEE Malaysia, maka penetapan batasnya harus diselesaikan melalui persetujuan dan apabila persetujuan tersebut belum dapat dicapai, maka batas maritim tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak. Sehingga dalam penetapan ZEE, faktor-faktor geografis, ekonomi, dan lingkungan adalah yang paling penting untuk dipertimbangkan. Indonesia sudah memiliki UU tentang ZEE (UU No.5 Tahun 1985) tetapi belum menetapkan batas-batasnya dengan negara-negara tetangga di beberapa wilayah yang masih tumpang tindih. Antara landas kontinen dan ZEE sesungguhnya saling mengisi dan melengkapi sebagai dua konsepsi dalam penetapan batas klaim yurisdiksi eksklusif. Kedua konsepsi tersebut telah diatur cukup jelas dalam UNCLOS 1982, meskipun pada praktiknya belum dapat dijadikan pedoman untuk menyelesaikan batas landas kontinen dan ZEE secara tuntas. Menurut O’Connell dalam bukunya The International Law of the Sea Vol.II, mengemukakan bahwa: “Konferensi hukum laut ketiga dibuat sebuah perubahan pokok dalam hal susunan rumusan untuk delimitasi landas kontinen. Hal ini tersisihkan dan beberapa rumusan dipakai terhadap landas kontinen dan ZEE yang sama, delimitasi tersebut dapat diakibatkan oleh perjanjian yang sesuai dengan prinsip yang wajar, penggunaan ‘yang tepat’ pada garis tengah dan garis sama jarak, dan dimasukkan dalam keadaan yang relevan”. O’Connell juga menyatakan bahwa delimitasi tandas kontinen dan ZEE dapat mempertimbangkan konvensi dan hukum kebiasaan ataupun praktek-praktek yang berlaku serta memperhatikan putusan-putusan dari Mahkamah Internasional. Implementasi UNCLOS 1982 sangat berkaitan dengan wewenang TNI-AL dalam rangka perlindungan wilayah negara sesuai Pasal 224 UNCLOS 1982 tentang wewenang pemaksaan penataan untuk melindungi kedaulatan wilayah negara dan kepentingan nasional.
633
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 625-640
Dalam Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen tahun 1969, daftar koordinat titiktitik dasar dan koordinat titik Gosong Niger belum tercantum, sehingga perlu adanya ketentuan baru yang dapat menegaskan koordinat dan titik dasar Gosong Niger hingga dapat ditampilkan dengan jelas pada peta. Dalam peta laut No.420 yang diterbitkan oleh dinas oseanografi TNI-AL, tidak ditemukan bentukan alamiah Gosong Niger sebagai pulau, namun yang nampak digambarkan dengan warna biru muda, dimana peta ini dibuat tahun 1992 dan belum diperbaharui. Sehingga untuk menjamin landas kontinen Gosong Niger, perlu adanya penentuan koordinat titik, pembaharuan, dan pembuatan peta yang dapat memperjelas dan mempertegas tampilan Gosong Niger pada peta. Masalah delimitasi atau penetapan batas maritim Indonesia pada dasarnya adalah masalah hukum atau teknis yuridis. Prospek penyelesaian secara hukum belum dapat menjamin penyelesaian masalah baik karena rumitnya persoalan maupun karena UNCLOS 1982 atau praktek-praktek hukum internasional belum dapat menampung semua kasus batas maritim. Oleh karena itu penyelesaian konflik harus mempertimbangkan faktor-faktor lain sebagai langkah awal untuk kemudian ditempuh prinsip-prinsip hukum internasional. Seluruh perundingan yang dilakukan guna mencapai suatu persetujuan yang berasal dari equal bargaining position. Pentingnya penetapan garis batas adalah agar ada kejelasan dan kepastian hukum terhadap eksistensi batas dan keberadaan suatu wilayah negara, dimana tiap negara memiliki wilayah yang meliputi darat, laut, dan udara. Sebelum menentukan batas-batas landas kontinen Gosong Niger perlu adanya suatu tinjauan terhadap wilayah laut, dimana akan terdapat keterkaitan antara bagianbagian laut wilayah tersebut. Landas Kontinen menurut Pasal 76 ayat (1) UNCLOS 1982 adalah bagian dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di laut teritorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai batas terluar tepian kontinen (continental margin), atau sampai jarak 200 mil laut di ukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial apabila sisi terluar tidak mencapai jarak tersebut. Kawasan maritim meliputi berbagai zona yang diukur dengan lebar tertentu dari garis pangkal (baseline). Garis pangkal adalah garis acuan dalam pengukuran lebar zona yurisdiksi maritim. Berdasarkan UNCLOS 1982, beberapa jenis garis pangkal yang umum digunakan adalah garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, mulut sungai, teluk, pelabuhan, dan elevasi pasang surut (low tide elevation). Zona-zona tersebut antara lain 12 mil laut (M) laut teritorial dan 24 M zona tambahan, 200 M ZEE serta landas kontinen yang lebarnya dapat mencapai 350 M atau lebih
634
Upaya Pemerintah Indonesia Untuk Menyelesaikan Konflik Gosong Niger (Satria Dwi J.)
Selain terkait cakupan horizontal (lebar), masing-masing zona juga memiliki cakupan vertikal (lapisan) berbeda. Seperti laut teritorial yang meliputi tiga lapisan vertikal yaitu dasar laut, tubuh air dan udara di atasnya, sedangkan landas kontinen hanya mencakup dasar laut. Sementara itu ZEE meliputi dasar laut dan tubuh air. Selain zona maritim yang menjadi kewenangan negara pantai, di luar itu dikenal juga adanya Laut Lepas dan Kawasan atau The Area. Pada masing-masing zona di atas juga berlaku ketentuan berbeda. Pada laut teritorial misalnya berlaku kedaulatan penuh (sovereignity) sedangkan pada ZEE dan landas kontinen berlaku hak berdaulat atau sovereign rights. Dalam praktiknya, jarak diukur pada peta laut atau nautical chart, sehingga peta laut memiliki fungsi yang sangat penting. Secara teoritis, sebuah negara bisa menguasai laut hingga lebih 200 M dari garis pantainya. Sedangkan untuk dasar laut, jarak terluar dapat mencapai lebih 350 M dari garis pangkal. Terjadinya tumpang tindih klaim maritim menyebabkan perlu adanya delimitasi batas maritim yang melibatkan Indonesia-Malaysia baik melalui negosiasi maupun dengan difasilitasi pihak ketiga seperti Mahkamah Internasional dan International Tribunal on the Law of the Sea (ITLOS). Garis yang disepakati akan menjadi batas terluar zona maritim negara-negara tersebut. Dengan kata lain, penentuan batas terluar suatu zona maritim sering kali tidak bisa dilakukan secara unilateral/sepihak, melainkan harus secara bilateral ataupun trilateral karena terjadinya tumpang tindih klaim antara beberapa negara. Seperti yang dilakukan Malaysia terhadap Gosong Niger. Delimitasi batas maritim dapat terjadi pada berbagai zona tergantung jarak negara-negara yang terlibat. Jika dua negara berseberangan (opposite) pada jarak kurang dari 400 M maka tumpang tindih akan terjadi pada ZEE dan landas kontinen, bukan pada laut teritorial. Artinya delimitasi yang diperlukan untuk situasi ini adalah delimitasi batas ZEE dan landas kontinen,bukan untuk laut territorial.Jika dua negara berhasil menyepakati batas landas kontinen saja tanpa batas ZEE, maka kedua negara tersebut hanya berbagi dasar laut, bukan kolom air. Artinya, meskipun di peta sudah nampak garis batas antara kedua negara, maka garis itu hanya membagi dasar laut sedangkan pembagian airnya belum ditentukan. Adapun upaya delimitasi dan demarkasi yang dilakukan pemerintah Indonesia, antara lain : 1) Penetapan garis batas landas kontinen di Gosong Niger, Penetapan garis batas landas kontinen Gosong Niger didasarkan pada ketentuan Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen tahun 1969. Penetapan ini untuk menjamin kepastian hukum terhadap Gosong Niger, serta menjamin hak dan kewajiban yang ada di wilayah landas kontinen tersebut bagi masing-masing negara. Garis batas Gosong Niger ditentukan berdasarkan garis air rendah (low waterline) di Tanjung Datu dengan TD No.35. Titik dasar tersebut digunakan untuk menentukan titik landasan (reference point). Penetapan garis batas Gosong
635
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 625-640
Niger berdasarkan jarak yang sama (equidistance principle) dari titik landasan untuk menentukan garis batas terluar, yaitu sebagai tempat mengukur lebar laut teritorial dari masing-masing pihak hingga menghasilkan suatu garis yang mempunyai jarak yang sama dari titik terdekat garis pangkal tempat mengukur lebar laut teritorial masing-masing negara. Pertemuan dari jarak yang sama antara garis air rendah Indonesia-Malaysia menghasilkan garis yang memotong Gosong Niger yang ditarik dari garis pangkal. Garis perpotongan itulah yang menjadi garis batas landas kontinen Indonesia-Malaysia. 2) Penetapan titik dasar Gosong Niger Pengaturan tentang garis batas landas kontinen diatur dalam Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen tahun 1969, dimana Gosong Niger dianggap telah masuk pada titik koordinat Laut Cina Selatan bagian timur No.21, namun ketentuan klaim laut antara Indonesia dan Malaysia pada dasarnya masih tumpang tindih (overlapping).Sebagai tindak lanjut terhadap UU No.6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia, maka di tetapkan Peraturan Pemerintah (PP) No.38 Tahun 2002 tentang daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Dengan ketentuan baru tersebut TD No.35 di Tanjung Datu telah terdaftar dengan koordinat 02°05’10” LU dan 109°38’43” BT, dimana titik dasar ini digunakan sebagai patokan untuk menentukan garis dasar dan garis batas landas kontinen di Gosong Niger dan masih berada dalam kawasan laut teritorial Indonesia. 3.Pemetaan Gosong Niger Untuk memperjelas letak atau lokasi suatu tempat, maka di perlukan adanya peta. Pasal 6 UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU No.4 Perpres Tahun 1960, menyatakan bahwa garis pangkal lurus kepulauan Indonesia dicantumkan dalam peta dengan skala yang memadai untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula dibuat daftar titik koordinat geografis yang secara jelas merinci datum geodetiknya. Berdasarkan Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 47 ayat (9) UNCLOS 1982, mengharuskan diadakannya suatu pendepositan peraturan perundang-undangan nasional kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjend PBB), tentang daftar koordinat garis pangkal negara pantai untuk penarikan laut wilayah atau garis pangkal lurus nusantara (GPLN) bagi negara kepulauan. Hal ini diperlukan untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum tentang wilayah nasional suatu negara pantai dan negara kepulauan kepada dunia internasional. Perwujudan ketentuan UU No.4 Perpres Tahun 1960 yang diubah dengan ketentuan baru UU No.6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia. Sebagai pelaksanan dari peraturan tentang perairan Indonesia tersebut, maka didasarkan pada PP No.38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Terkait dengan Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen 1969, maka ketentuan PP No.38 Tahun 2002 menjadi pelengkap dan pembaharuan untuk mencantumkan posisi letaknya dalam daftar titik dasar dan titik koordinat wilayah-wilayah yang belum terdaftar dalam ketentuan sebelumnya. Koordinat Gosong Niger terletak pada
636
Upaya Pemerintah Indonesia Untuk Menyelesaikan Konflik Gosong Niger (Satria Dwi J.)
109°40’3,78” BT dan 2°10’ 22,9” LU masih berada dalam kawasan laut teritorial Indonesia (www.sinarharapan.co.id/ diakses pada 20 Maret 2012). Untuk kasus antara Indonesia dan Malaysia, di beberapa tempat keduanya telah menyepakati landas kontinen, tetapi belum menyepakati pembagian kolom air (ZEE). Secara jelas, Indonesia memiliki hak penuh atas Gosong Niger. Akan tetapi letak kawasan tersebut yang bertepatan dengan garis batas berdasarkan perjanjian bilateral tahun 1969 menyebabkan Gosong Niger masih rawan konflik. Mengingat Indonesia dan Malaysia telah meratifikasi UNCLOS 1982, maka penyelesaian sengketa harus mengacu pada hukum laut tersebut, bukan berdasarkan peta 1979 yang dikeluarkan Malaysia secara unilateral. Menurut UNCLOS 1982, Pulau Borneo (Kalimantan) di Indonesia (termasuk Malaysia dan Brunei Darussalam) berhak atas laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. Di sisi timur dari Pulau Borneo dapat ditentukan batas terluar laut teritorial yang berjarak 12 M dari garis pangkal, lalu garis yang berjarak 200 M merupakan batas ZEE, demikian seterusnya untuk landas kontinen. Jika delimitasi untuk masing-masing rejim (dasar laut dan tubuh air) dilakukan secara terpisah, maka ada kemungkinan akan dihasilkan garis yang berbeda untuk dasar laut (landas kontinen) dan tubuh airnya (ZEE). Solusi seperti ini akan menimbulkan suatu situasi rumit dimana terjadi tumpang tindih klaim, yaitu adanya kawasan maritim yang dasar lautnya menjadi kewenangan Indonesia sementara airnya adalah kewenangan Malaysia atau sebaliknya. Dalam perundingan batas maritim yang sesungguhnya, pernyataan-pernyataan penegasan baik dari pihak Indonesia maupun Malaysia akan menjadi referensi dan dasar untuk menunjukkan bahwa suatu negara konsisten dengan klaimnya. Ini akan memudahkan suatu negara untuk mempertahankan argumentasinya di ICJ. Secara ideal, pengelolaan dan pemanfaatan atas sumber daya laut dapat dilakukan setelah batas maritim disepakati antara kedua belah pihak yang bersengketa. Delimitasi garis batas maritim antara Indonesia dan Malaysia di perairan sekitar Gosong Niger adalah cara ideal untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara. Delimitasi batas maritim untuk laut teritorial diatur oleh Pasal 15 UNCLOS 1982 yang berisi: “Dalam hal pantai, dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun di antaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titiktitik terdekat pada garis-garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masingmasing negara diukur. Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku, apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan di atas”.
637
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 625-640
Dikatakan bahwa jika terdapat dua negara yang berseberangan (pada jarak kurang dari 24 M) atau berdampingan satu sama lain maka masing-masing negara tidak berhak untuk menguasai laut territorial melebihi garis tengah atau garis sama jarak antara kedua negara tersebut, terkecuali jika dicapai kesepakatan lain. Garis tengah yang dimaksud dalam pasal ini adalah garis yang merupakan kumpulan titik-titik berjarak sama dari masing-masing garis pangkal kedua negara. Meski demikian, ditegaskan juga dalam pasal tersebut bahwa ketentuan ini tidak berlaku jika terdapat kepemilikan historis tertentu (historic title) atau situasi khusus lainnya (special circumstances) yang dapat mempengaruhi proses delimitasi sehingga menghasilkan kesepakatan selain garis tengah. Dalam rumusan Pasal 83 UNCLOS 1982 untuk menentukan delimitasi landas kontinen dilakukan dengan dua pendekatan pokok yaitu: (1) Prinsip equidistance/median line special circumstance, adalah merupakan prinsip penentuan batas landas kontinen dengan metode garis tengah sebagai prinsip umum dan akan melakuakan penyesuaian garis tengah tersebut berdasarkan situasi khusus tertentu. (2) Prinsip equitable, adalah prinsip yang menyatakan bahwa garis batas ini dinilai adil oleh kedua belah pihak. Pulau yang memenuhi syarat berdasarkan Pasal 121 UNCLOS 1982 berhak atas laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. Sedangkan karang atau gundukan pasir (seperti Gosong Niger) yang tidak memenuhi syarat tersebut serta tidak mendukung kehidupan manusia hanya berhak atas 12 M laut teritorial akan mempengaruhi opsi garis batas maritim. Keberadaan pulau-pulau dan obyek maritim kecil lainnya memang dapat dianggap sebagai kondisi khusus terutama dalam delimitasi batas laut territorial seperti yang disebutkan pada Pasal 15 UNCLOS 1982. Indonesia dan Malaysia memang masih konsisten dengan upaya delimitasi batas maritim ini melalui jalur negosiasi dan tidak akan membawanya ke ICJ. Negosiasi adalah cara yang terbaik bagi Indonesia dan Malaysia. Berdasar dari penetapan garis batas maritim, yang lebih penting di masa depan adalah proses administrasi atau pengelolaan perbatasan. Sebagai perwakilan dari pihak pemerintah lokal, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Sambas, yang dimana dapat melihat langsung adanya pelanggaranpelanggaran perbatasan yang dilakukan oleh pihak Malaysia juga wajib mengupayakan tindakan-tindakan pencegahan agar konflik tidak semakin meluas. Hal ini dikarenakan Gosong Niger berada di wilayah Kabupaten Sambas. Sehingga segala aspek yang mencakup wilayahnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten. Selama ini Pemerintah Kabupaten Sambas bertugas untuk memantau dan mengumpulkan laporan dari setiap pelanggaran perbatasan di sekitar Tanjung Datu. Setelah data terkumpul, data tersebut kemudian di laporkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Badan Nasional Pengawas Perbatasan
638
Upaya Pemerintah Indonesia Untuk Menyelesaikan Konflik Gosong Niger (Satria Dwi J.)
(BNPP) Kalimantan Barat yang nantinya akan meneruskan kepada pemerintah pusat untuk mengambil tindak lanjut untuk menyelesaikan masalah di perbatasan. Lambatnya penyelesaian konflik di perbatasan terkendala pada pengambilan keputusan oleh pemerintah pusat. Wewenang pengambilan keputusan dalam penyelesaian konflik perbatasan sepenuhnya dipegang oleh pemerintah pusat, sehingga peran pemerintah daerah hanya sebagai pelapor. Walaupun faktanya pemerintah daerah yang mengalami dampak secara langsung pada konflik di daerah perbatasan. Adapun upaya-upaya yang menjadi perhatian dari pemerintah daerah yaitu : (1) Bekerjasama dengan TNI-AL dalam melakukan pengawasan di sekitar perairan perbatasan. Dalam hal ini pemerintah daerah yang membuat laporan atas segala tindakan pelanggaran, serta TNI-AL yang bertindak sebagai pengawas di lapangan. (2) Meningkatkan akses telekomunikasi yang selama ini banyak dikeluhkan oleh masyarakat di perbatasan Kalimantan Barat, terutama di daerah Kabupaten Sambas. (3) Melakukan pembangunan pelabuhan untuk kapal-kapal patroli TNI-AL serta meningkatkan panjang landasan pacu bandara di daerah Temajuk yang awalnya hanya 750 meter menjadi ±2000 meter, agar pesawat besar milik TNI seperti Hercules dapat mendarat untuk mengirimkan pasukan di sekitar perbatasan Kalimantan Barat. (4) Membangun pos lintas batas dan pangkalan militer di daerah perbatasan serta meminta TNI-AD untuk menambah jumlah pasukan agar mempermudah operasi pengawasan daerah perbatasan. Kesimpulan Isu Gosong Niger merupakan salah satu isu perbatasan yang disebabkan adanyaklaim secara sepihak yang dilakukan oleh Malaysia terhadap kawasan tersebut. Kurangnya peran pemerintah Indonesia dalam pengawasan daerah terluar dari negaranya menyebabkan Gosong Niger yang berada di bagian terdepan dari wilayah Indonesia seringkali mendapatkan intervensi. Gosong Niger secara fisik berupa gundukan pasir alluvial yang akan tenggelam pada saat air pasang. Berdasarkan perjanjian Garis Batas Landas Kontinen Indonesia-Malaysia 1969, Gosong Niger berbatasan dengan titik Laut Cina Selatan bagian timur No.21 yang terletak pada koordinat 109°38”8’ BT dan 2°05”0’ LU. Sedangkan Gosong Niger terletak di koordinat 109°40’3,78” BT dan 2°10’22,9” LU. Klaim-klaim kepemilikan Malaysia atas Gosong Niger didasarkan pada publikasi Peta Baru (Peta 1979) yang dipublikasikan oleh Malaysia secara unilateral (sepihak), penetapan Gosong Niger sebagai daerah konservasi alam, serta salah satu tujuan wisata ditambah lagi dengan upaya penguasaan efektif (effective occupation) atas wilayah tersebut. Upaya yang dilakukan pihak Indonesia dalam menyelesaikan konflik perbatasan di negaranya dilakukan melalui 2 upaya, yaitu upaya diplomasi juga melalui upaya delimitasi dan demarkasi. Upaya diplomasi, khususnya diplomasi perbatasan yang dilakukan Indonesia menggunakan UNCLOS 1982 sebagai dasar hukumnya, meskipun seringkali terjadi hambatan-hambatan berupa
639
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 3, 2014: 625-640
adanya ketidaksepahaman yang muncul dengan pihak Malaysia. Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen Indonesia-Malaysia 1969 juga disertakan dalam upaya diplomasi. Upaya diplomasi Indonesia diantaranya penentuan status Gosong Niger sebagai landas kontinen, penetapan hak dan kewajiban kedua negara terhadap segala aktifitas di Gosong Niger, serta menetapkan pengaturan hukum terhadap Gosong Niger. Upaya delimitasi serta demarkasi yang dilakukan pemerintah Indonesia sejauh ini dapat dikatakan berhasil. Negosiasi sebagai bentuk penerapan upaya delimitasi serta dilakukannya peninjauan ulang terkait batas-batas negara dari Indonesia yang merupakan bentuk upaya demarkasi telah memperkuat argumen serta penetapan kembali Gosong Niger sebagai wilayah Indonesia. Upaya delimitasi dan demarkasi terhadap Gosong Niger antara lain : penetapan garis batas landas kontinen di Gosong Niger, penetapan titik dasar Gosong Niger dan pemetaan Gosong Niger. Daftar Pustaka 1. Buku Buntoro, Kresno. 2012. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI): Prospek dan Kendala. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Roy, S.L. 1991. Diplomasi. Jakarta: Rajawali Pers. Rudy, T.May. 2006. Hukum Internasional 2. Bandung: PT. Refika Aditama. Sukadis, Beni dan aditya Batara G. 2007. Reformasi Manajemen Perbatasan Di Negara-Negara Transisi Demokrasi. Jakarta: LESPERSSI Windari, Retno. 2009. Hukum Laut Zona-zona Maritim sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-konvensi Bidang Maritim. Jakarta: Bakorkamla. Sutisna, Sobar. 2006. Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia : Aspek Permasalahan Batas Maritim Indonesia. Bogor: Bakosurtanal. 2.
Media massa cetak dan elektronik / internet Demarkasi, tersedia di http://kateglo.bahtera.org/?mod=dictionary&action=view&phrase=d emarkasi&lang=id&op=1&dc=filsafat di akses pada tanggal 14 Mei 2012. Gosong Niger: Samakah dengan Ambalat?. Tersedia di http://www.geografiana.com/kolom/kolom/gosong-niger-samakahdengan-ambalat. Diakses pada tanggal 16 Februari 2010. Gosong Niger dan Camar Bulan Tetap Milik Indonesia, tersedia di https://aurapapua25.wordpress.com/2010/09/11/gosong-niger-dancamar-bulan-tetap-milik-indonesia diakses pada tanggal 25 Mei 2011. Menjaga dan Mengawal Perbatasan Negara. Tersedia di http://beta.tnial.mil.id/ diakses pada tanggal 15 Februari 2010. Perbatasan, tersedia di http://kawasan.bappenas.go.id/index.php?option=com_content&view =article&id=98&Itemid=98 diakses pada tanggal 2 April 2012.
640