DIPLOMASI SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA – GERAKAN ACEH MERDEKA
Oleh : Anindita Wiranti 209000102 Dhira Manira Asrie 209000121
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN UNIVERSITAS PARAMADINA 2013
BIODATA PENULIS
Nama
: Anindita Wiranti
Tempat & Tanggal Lahir
: Singaraja, 3 April 1991
NIM
: 209000102
Program Studi
: Hubungan Internasional
Jenjang
: Strata 1
Nama
: Dhira Manira Asrie
Tempat & Tanggal Lahir
: Jakarta, 23 Januari 1991
NIM
: 209000121
Program Studi
: Hubungan Internasional
Jenjang
: Strata 1
ABSTRACT Universitas Paramadina Program Studi Hubungan Internasional 2013
Anindita Wiranti/20900102 dan Dhira Manira Asrie/209000121
DIPLOMACY AS THE EFFORT TO SOLVE THE CONFLICT THAT HAPPEN BETWEEN GOVERNMENT OF REPUBLIC INDONESIA AND GERAKAN ACEH MERDEKA
This research talk about diplomacy which did as an effort to solve the conflict that happen between government of Republic Indonesia and Gerakan Aceh Merdeka that want to seperate it self by this separatism movement from Indonesia. The purpose of this research is to know the process of diplomacy that is done by Indonesia and Gerakan Aceh Merdeka with the third party to help both of Indonesia and Gerakan Aceh Merdeka to solve the conflict between them. Beside that, to know the final result from the diplomacy way that has done. The approachment that is used of this research is qualitative approachment. This means research about life, people’s behaviour, social movement, action of organization or simbiosis mutualism that happened. This research used descriptive analitic method which is writers will give the sketch about a tragedy that will be analized by using theory that have relevation with the research topic. And writers used library research to find referency material by compiling datum with books, literatures, notes and also reports that related with this research. The result that writers got is there is third parties on diplomacy effort that is done to solve the conflict between Indonesia and Gerakan Aceh Merdeka. Some of these third parties strive for the ways out of this conflit and sometime found failure on their efforts. From some of third parties that have tried being a mediator, only MoU Helsinki could make this conflict ended eventhough there is still some trouble.
Keyword: diplomacy, conflict, Gerakan Aceh Merdeka, separatism. Source : 6 buku, 1 jurnal, 2 data online
PENDAHULUAN Indonesia adalah negara yang pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang dengan waktu yang tidak singkat. Untuk mendapatkan kemerdekaannya tentu bukanlah hal yang mudah. Pada zaman itu semua rakyat Indonesia terlihat begitu bangga dengan kemerdekaan negaranya
dan
juga
memberikan
dukungan
yang
penuh
bagi
Indonesia
untuk
mempertahankan kemerdekaannya. Di awal kemerdekaannya, Indonesia juga tidak lantas merasakan ketenangan negaranya. Masih banyak hal yang tersisa untuk segera diselesaikan. Salah satunya adalah timbulnya niat dari beberapa wilayah dari Indonesia yang ingin melepaskan diri dari Indonesia. Hal ini terjadi karena adanya rasa tidak puas di bawah pemerintahan Indonesia tetapi tentu tidak semudah itu untuk melepaskan diri dari Indonesia. Beberapa wilayah tersebut membentuk suatu gerakan separatisme antara lain Gerakan Aceh Merdeka, Organisasi Papua Merdeka dan Republik Maluku Selatan. Gerakan separatisme ini menjadi suatu organisasi yang mewakilkan keinginan masing-asing wilayah untuk dapat memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan Aceh Merdeka yang merukapan organisasi separatisme yang mewakili rakyat Aceh yang sebenarnya pihak dari Aceh pun telah menyatakan dukungannya terhadap Indonesia sebelum merdeka dan akan menjadi satu negara kesatuan yang tidak terpisahkan. Bahkan terdapat beberapa pahlawan revolusi yang telah membantu merebut kemerdekaan Indonesia di zaman penjajah berasal dari Aceh, diantaranya adalah Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Nyak Arief, Sulan Iskandar Muda dll. Setelah kemerdekaan Indonesia telah diraih yang juga dengan bantuan pahlawan revolusi dari Aceh, rasa ketidakpercayaan para pemerintah Indonesia mulai tersebar di seluruh pelosok Aceh. Ketidakpercayaan ini timbul akibat peran pemerintah yang mulai menggeser peranan kaum ulama dalam bidang ekonomi dan politik di Aceh. Dengan pengambilalihan peran dari kaum ulama oleh pemerintah pusat menyebabkan kekecewaan yang dirasakan oleh para ulama dan masyarakat sekitar.1 Adanya konflik Aceh atau kini yang resmi disebut dengan Nanggroe Aceh Darussalam dengan pemerintah Indonesia yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah belangsung sejak tahun 1976 yang dipimpin oleh Hasan Tiro yang juga pelopor pembentukkan Gerakan Aceh Merdeka.
1
Bob Sugeng Hadiwinata. Transformasi Gerakan Aceh Merdeka. Dari Kotak Peluru ke Kotak Suara. Sebuah Kisah Sukses Program Transformasi Kombatan di Aceh. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung, 2010, hlm. 118.
Gerakan Aceh Merdeka ini dapat dikualifikasikan sebagai salah satu bentuk ancaman dari dalam negeri karena gerakan separaratisme ini merupakan suatu bentuk pemberontakan atau upaya pemisahan diri yang berasal dan dibentuk oleh rakyat Indonesia sendiri. Gerakan separatisme ini termasuk dalam suatu gerakan yang dapat menganggu stabilitas pertahanan nasional suatu negara termasuk Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik dengan Gerakan Aceh Merdeka adalah dengan cara berdiplomasi, seperti yang kita ketahui bahwa salah satu unsur dari diplomasi adalah negosiasi yang dilakukan untuk mengedepankan kepentingan nasional yang dilakukan dengan cara damai bukan dengan menggunakan teknik perang. Diplomasi yang dilakukan adalah dengan cara berdiplomasi dengan cara perundingan seperti di PBB. Dalam artikel ini, penulis akan membahas bagaimana diplomasi yang terjadi antara pihak Indonesia dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka untuk mendapatkan suatu titik temu. Karena seperti yang kita ketahui bahwa tujuan dari Gerakan Aceh Merdeka sendiri adalah untuk memisahkan diri dari Indonesia dan Indonesia ingin Aceh tetap menjadi bagian dari Indonesia. Kedua belah pihak sama – sama memperjuangkan kepentingan masing – masing. Konflik bekerpanjangan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka ini membutuhkan pihak ketiga yang dapat menengahi konflik ini secara netral. Hadirnya pihak ketiga sebagai penengah dalam suatu konflik dapat berpotensi terjadinya dua hal, diantaranya adalah meredakan konflik atau justru menyebabkan konflik tersebut semakin besar.2 Dalam artikel ini, penulis akan menjelaskan bagaimana hasil akhir dari diplomasi yang terjadi antara GAM dan Indonesia yang melibatkan pihak ketiga. Dalam penulisan artikel ini, penulis menggunakan beberapa teori untuk penganalisa diplomasi sebagai upaya penyelesaian konflik antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Diantaranya adalah konsep pertahanan nasional dimana konsep ini sebagai pedoman yang menyatakan bahwa suatu bangsa harus memiliki ketangguhan dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala bentuk ancaman, tantangan ataupun gangguan terhadap bangsa tersebuat baik yang bersal dari dalam ataupun luar negeri yang membahayakan atau mengancam integritas, identitas dan keutuhan suatu negara. Untuk menjaga ketahanan nasional Indonesia dan untuk menyelesaikan konflik antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka maka dilakukan suatu upaya diplomasi agar dapat 2
Moch. Nurhasim. Aceh Pasca Perjanjian Helsinki. Jurnal Demokrasi dan Ham Vol. 7 No. 2 2007
segera mendapatkan titik temu diantara keduanya yang berkonflik. Diplomasi merupakan jalan tengah yang dilakukan kedua belah pihak, hal ini juga mencakup diplomsi bilateral yang diaartikan sebagai salah satu upaya komuikasi terbatas antara kedua belah pihak dan terkualifikasi berdasarkan metode ataupun konteksuntuk mencapai kepentingan masingmasing tanpa harus merugikan salah satu pihak ataupun menimbulkan masalah baru seperti adanya peperangan. 3 Dalam upaya penyelesaian konflik antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka maka dilakukanlah second track diplomacy yang merupakan upaya diplomasi yang dilakukan oleh government to people.
3
G.R Berridge. Diplomacy:Theory and Practice, Bilateral Diplomacy:Coventional, hlm. 108.
PEMBAHASAN I.
Sejarah GAM Sejak didirikan, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendapatkan dukungan dari rakyat.
Gerakan ini berperilaku seperti sebuah negara seperti menjalin hubungan dengan dunia internasional, penyusunan kekuatan bersenjata. Sebenarnya apa latar belakang terbentuknya gerakan ini? Hubungan Aceh dan Indonesia sangatlah baik dan dapat dikatakan sangat kompak dalam perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan. Aceh merupakan salah satu daerah yang para elitnya banyak menyumbangkan pikiran – pikiran, selain itu Aceh juga menyumbangkan dua pesawat terbang bagi Indonesia. Tetapi perlakuan yang akhirnya di terima dari Pemerintah Pusat menyebabkan elit dan seluruh rakyat Aceh merasa kecewa karena tidak dihargai dengan apa yang telah didedikasikan kepada Indonesia. GAM terbentuk pada bulan Oktober 1976 sebagai suatu wujud pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat Aceh atas kekecewaan mereka terhadap pemerintah Indonesia. 4 Pada tanggal 4 Desember 1976 muncul suatu deklarasi “kemerdekaaan Aceh-Sumatra” yang pada intinya menjatuhkan tuduhan bahwa Indonesia adalah sebagai pihak yang ingin merebut tanah kekayaan Aceh dan pendeklarasian kemerdekaan Aceh tersebut dilakukan oleh Muhammad Hasan Di Tiro yang merupakan cucu dari pahlawan Teuku Cik Di Tiro.5 Aceh menganggap wilayah mereka sebagai wilayah yang istimewa, terutama pada saat terjadinya penjajahan, perlawanan Aceh oleh para ulama dianggap setara dengan pergerakan revolusi kemerdekaan Indonesia, namun setelahnya Aceh merasa kontrol penuh pemerintah Indonesia ketika itu terlalu besar dalam bidang ekonomi dan politik.6 Hal inilah yang kemudian memicu tindakan pemberontakan dari GAM. Berawal pada tahun 1953, terjadinya pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Penyebabnya adalah pertemuan empat sebab yang merupakan kombinasi analisis Nazaruddin Sjamsuddin dengan beberapa pakar yaitu : 7 1) konflik intern masyarakat Aceh yaitu antara ulebalang dengan ulama (Perang Ceumboh), 2) konflik politik tingkat 4
Bob Sugeng Hadiwinata, Linda Christianty dkk. Transformasi GAM : Konflik Separatis dan Kemunculan GAM. Jakarta: Friederich Ebert Stiftung, 2010, hlm.121 5 Ibid. 6 Ibid. 7 Sebagaimana diuraikan dalam laporan riset kompetitif LIPI tahun 2004 “ Konflik Aceh: dari DI/TII ke GAM (Gerakan Aceh Merdeka)” oleh Abdurrachman Patji dkk.
nasional antara PNI dengan Masyumi, 3) konflik kepentingan rakyat Aceh dengan pemerintah pusat, 4) gabungan dari ketiga aspek di atas, dengan catatan bahwa unsur keagamaan tidak hanya terdiri dari ulama tetapi juga non ulama (zauma). Pemberontakan terus terjadi di Aceh, sampai pada tahun 1962, ketika Pemerintahan Soekarno memberikan jaminan bahwa akan membuat Aceh sebagai daerah istimewa, otonomi luas di bidang keagamaan, hukum adat dan pendidikan. 8 Tetapi dalam hal ini Soekarno tidak menepati janjinya dan pemberontakan pun dilanjutkan oleh Aceh. Pada awal pembentukannya GAM sudah secara jelas ingin memisahkan diri dari Indonesia, dalam pembentukannya, Aceh menyatakan memerdekakan dirinya dari Indonesia. Dan tidak lama setelah pendeklarasian kemerdekaan tersebut, kekuatan bersenjata GAM mulai menyerang pasukan pemerintah dan pemerintah pun tidak tinggal diam dengan mengirim pasukkannya ke Aceh untuk penumpasan pemberontakan. Kekerasan terus terjadi di Aceh, terutama pada saat rezim Soeharto dengan ditetapkannya Daerah Operasi Militer (DOM) yang menewaskan ribuan jiwa dan terdapat banyak sekali pelanggaran HAM, sampai Aceh menduduki peringkat satu pelanggaran HAM di dunia. 9 Hal ini mendapat perhatian yang cukup besar dari rakyat Indonesia yang memaksa untuk mencabut status Aceh sebagai DOM dengan cara menarik sebagian besar tentara dari Aceh. Tetapi perdamaian juga tak didapat, Aceh malah memulai lagi serangan secara besar – besaran. II.
Upaya Penyelesaian Konflik Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi antara RI dan GAM, tetapi ternyata menyelesaikan masalah sekelas RI – GAM tidak semudah apa yang dibayangkan sebelumnya. Dari awal terjadinya pemberontakan pun telah di lakukan upaya – upaya tersebut, tetapi tetap tidak membuahkan hasil, yang terjadi tetaplah pemberontakan terus menerus. Dalam konflik antara RI dan GAM ini, separatisme yang terjadi di Aceh ini dapat ditafsirkan sebagai konflik politik yang dalam penyelesaiannya harus melalui resolusi konflik dimana resolusi tersebut dilakukan dengan cara tawar – menawar melalui suatu perundingan 8
“Indonesia Siap Mengambil Tindakan Tegas terhadap Gerakan Aceh Merdeka” dalam Tempo Interaktif [database online] (Jakarta : Tempo News Room, 2002 [dikutip pada 13 Mei 2013]); diunduh dari http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2002/11/20/brk,20021120-37,id.html 9 Otto Syamsuddin Ishak, Perang dan Perdamaian di Aceh (Kumpulan Wawancara 1998 – 2005), Jakarta; Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 2008, hal 13.
atau negosiasi. Dengan cara seperti ini, maka keduabelah pihak yang bertikai harus dapat berunding untuk mendapatkan suatu kesepakatan bersama dengan mematuhi aturan main dalam perundingan tersebut. Pendekatan dengan cara perundingan ini sering disebut dengan langkah diplomasi yang ditujukan untuk menghentikan perang dan kekerasan seperti apa yang terjadi di Aceh, dengan tahap – tahap sebagai berikut :10 (a) pencegahan konflik : mencegah perselisihan di antara kelompok – kelompok yang bertikai melalui pembenahan struktural, kelembagaan, ekonomi, dan budaya; (b) pencegahan eskalasi: mencegah baik eskalasi konflik vertikal dan horizontal agar tidak lebih buruk dan mengundang aktor – aktor baru yang terlibat di dalamnya; dan (c) pencegahan pasca konflik: mencegah berulangnya konflik melalui reintegritas dan rekonstruksi masyarakat yang telah tercabik – cabik karena konflik. Dalam penyelesaian konflik ini, seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa memerlukan perundingan antara kedua belah pihak yang bertikai untuk menemukan kesepakatan bersama yang memerlukan pihak ketiga sebagai penengah. Pihak Indonesia dan GAM sama–sama sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai penengah dalam pengaturan pertentangan untuk melakukan mediasi. Dengan adanya pihak ketiga ini dapat mengurangi sikap irasional yang timbul dalam perundingan, peran pihak ketiga ini harus bersifat netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang bertikai. Salah satu contoh pihak ketiga dalam penyelesaian konflik antara Indonesai dan GAM adalah Henry Dunant Centre. HDC (Henry Dunant Centre) ini berperan sebagai pihak yang menengahi Indonesia dengan GAM. Yayasan ini berdiri pada tahun 1999 dan bersedia menjadi pihak ketiga atau penengah bila terjadi konflik bersenjata. HDC yang menjadi penengah antara Indonesia dan GAM dengan melakukan mediasi diantaranya. Dapat dikatakan bahwa HDC dalam hal ini adalah sebagai “kurir” dalam penyampaian usulan yang diberikan oleh pihak Indonesia ataupun GAM. HDC terlibat dalam beberapa perundingan – perundingan antara Indonesia dan GAM sebagai upaya penyelesaian konflik, salah satunya adalah perundingan pada saat Soeharto
10
Janie Leatherman, dkk, Memutus Siklus Kekerasan Pencegahan Konflik dalam Krisis Intranegara, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), hlm. 131 – 132.
baru lengser dari bangku pemerintahan yang membuat keadaan menjadi kacan tetapi kesempatan perdamaian dengan Aceh menjadi meningkat. Perundingan ini menghasilkan Kesepahaman Bersama tentang Jeda Kemanusiaan untuk Aceh (Joint Understanding on a Humantarian for Aceh) pada bulan Mei 2002. Tujuan dari perundingan ini adalah untuk mengurangi kekerasan di Aceh, menyalurkan bantuan kemanusiaan dan juga meningkatkan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap Indonesia dan GAM. 11 yang akhirnya ditandatanganinya Perjanjian Penghentian Permusuhan (Cessation of Hostilities Agreement (COHA)) pada tahun 2002 yang berisikan tentang kesepakatan perdamaian dan penghentian permusuhan secara menyeluruh. Tetapi sayangnya, perundingan yang ditengahi oleh HDC ini mengalami kebuntuan pada April 2003 dan HDC telah dianggap gagal sebagai pihak ketiga. Adapun kegagalan HDC dalam proses perundingan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :12 1. Kurangnya fleksibilitas di antara kedua bela pihak. Fleksibilitas yang dimaksud adalah terjadinya ketimpangan dalam perundingan, Indonesia tetap menginginkan Aceh berada dalam kesatuan wilayah Indonesia sedangkan Aceh terus menginginkan kemerdekaan dengan lepas dari wilayah Indonesia, tanpa memberikan suatu strategi atau saran atas permintaannya tersebut serta kurangnya komitmen sehingga menimbulkan kebuntuan atas proses perdamaian. 2. Pemerintah Indonesia dinilai kurang dalam menawarkan insentif baik ekonomi atau politik. Aceh dianggap sebagai suatu komunitas islam begitu pula dengan GAM yang dianggap sebagai organisasi islam kesalahpahaman inilah yang kemudian menimbulkan kegagalan penawaran insentif ekonomi maupun politik dan berujung kepada ketidakpuasan pihak GAM. 3. Kurangnya kredibilitas pihak mediator. HDC dianggap sebagai suatu LSM kecil yang memiliki kekurangan dalam pengaruh politik dan juga dapat dikatakan tidak terlalu menonjol. Minimnya kapasitas HDC untuk dapat membuat pihak – pihak yang berseteru mematuhi perjanjian kesepakatan yang telah disetujui. 4. Pokok permasalahan dari konflik ini tidak tereksekusi dengan baik, termasuk jeda kemanusiaan dan COHA yang mana gagal dalam mencapai tujuan utama seperti, 11
M. Hamdan Basyar, Aceh Pasca Perjanjian Helsinki, (Jakarta: The Habibie Centre, 2007), hlm 95. Bob Sugeng Hadiwinata, Linda Christianty dkk. Transformasi GAM : Konflik Separatis dan Kemunculan GAM. Jakarta: Friederich Ebert Stiftung, 2010, hlm.124 12
cara untuk berkompromi di antara kedua belah pihak, menyatukan kembali mantan anggota GAM dan patisipasi anggota GAM dalam pemerintahan daerah. Upaya terus dilakukan, kekacauan tidak berhenti melanda Aceh, pemberontakan dan konflik terjadi dimana–mana dan sangat jauh dari perdamaian, sampai pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi gempa bumi hebat disertai dengan tsunami melanda Aceh dan menewaskan ratusan ribu korban jiwa. Aceh kembali menderita, karena gempa bumi ini seperti menghabiskan Aceh. Tetapi dengan terjadinya gempa bumi ini juga terdapat hikmah baik, yaitu kebersamaan pemerintah Indonesia dan GAM dalam membantu dan menyelesaikan masalah di Aceh. Dan pihak Indonesia dan GAM pun menjadi sadar bahwa diperlukan perdamaian dalam menyelesaikan masalah dan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Akhirnya pemerintah Indonesia dan pihak GAM melakukan perundingan dan mantan presiden Finlandia, Marti Ahtisari sebagai pihak ketiga dalam mediasi tersebut yang menghasilkan “Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka” yang disebut sebagai MoU Helsinki.
13
Penandatanganan Memorandum of
Understanding (MoU) dilakukan antara Pemerintah Indonesia dengan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005, di Koeningstedt Estate, luar kota Helsinki. Sebelum sampai ke tahap akhir Mou Helsinki berlangsung dalam lima putaran pada kurun waktu Januari – Juli 2005.14 Isi dari MoU Helsinki ini mencakup berbagai kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan GAM. Dintaranya adalah tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, pembentukan pengadilan HAM dan reintegrasi mantan anggota GAM ke dalam masyrakat.15 Pemerintah Indonesia dan GAM akhirnya meenyetujui isi dari kesepakatan ini dan bersedia untuk berdamai. MoU Helsinki tetap mendapatkan berbagai masalah dalam pelaksanaanya. Diantaranya adalah adanya pemaknaan MoU yang berbeda diantara pemangku kepentingan (stakeholders),jumlah dan cara memberikan kompensasi; dan koordinasi antar aparat atau
13
M. Hamdan Basyar, Aceh Pasca Perjanjian Helsinki, (Jakarta: The Habibie Centre, 2000), hlm 96. Bob Sugeng Hadiwinata, Linda Christianty dkk. Transformasi GAM : Konflik Separatis dan Kemunculan GAM. Jakarta: Friederich Ebert Stiftung, 2010, hlm.99 15 “Badan Penelitian dan Pemngembangan Kementerian Pertahanan RI:Implikasi Ksepakatan Damai (MoU) Helsinki terhadap Integrasi Nasional,” dalam Balitbang Dephan [database online] ( Jakarta : Puslitbang Strahan Balitbang Dephan, 2011-[dikutip pada 13 Mei 2013]); diunduh dari http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/implikasi-kesepakatan-damai-mou-helsinki-terhadapintegrasi-nasional 14 14
lembaga terkait. 16 Tetapi permasalahan – permasalahan ini masih dapat diatasi oleh kedua belah pihak, dan menghasilkan perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan GAM. Keberhasilan MoU Helsinki sebagai upaya perdamaian juga didukung oleh adanya berbagai faktor :17 1. Dengan adanya pemerintahan yang baru di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, membawa permasalahan tersebut ke dalam tingkatan yang baru yakni tercapainya perdamaian. Hal ini disebabkan oleh adanya sikap moderat di antara kedua belah pihak yang mengarah kepada kesepakatan serta adanya tahap perundingan baru bagi kedua belah pihak. 2. MoU Helsinki dapat menawarkan insentif ekonomi dan politik yang lebih baik dari COHA yang lebih menitikberatkan perdamaian atas peristiwa tsunami yang melanda Aceh. Tidak hanya perihal tsunami namun Indonesia juga memberikan tawaran insentif berupa keaktifan dan kontribusi Aceh terhadap sistem politik Indonesia seperti diberikan kuasa untuk mengadakan pemilihan umum daerah dan juga pembentukan partai politik. 3. Minimnya kapabilitas GAM untuk memfasilitasi kebutuhan dalam keadaan darurat militer pada tahun 2003-2004 sangat mempengaruhi keputusan mereka untuk menyudahi konflik berkepajangan tersebut. Mereka harus bertahan dengan kurangnya pasokan kebutuhan dan komunikasi yang terhambat karena pada masa itu mereka mengungsi ke daerah pegunungan. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu penghambat mereka untuk meneruskan tindak pemberontakan. Penandatanganan MoU Helsinki merupakan titik terang bagi kedua belah pihak. Proses berkepanjangan yang dilalui akhirnya menuju sebuah perdamaian yang diidam-idamkan khususnya bagi pemerintah Indonesia.
III.
Pengaruh Peristiwa GAM dalam Masyarakat Aceh Upaya diplomasi yang dilakukan oleh GAM dan Indonesia dengan dibantu HDC
sebagai pihak ketiga dan dicetuskannya MoU Helsinki adalah suatu tranformasi era baru baik 16
Ibid, hlm 98 Bob Sugeng Hadiwinata, Linda Christianty dkk. Transformasi GAM : Konflik Separatis dan Kemunculan GAM. Jakarta: Friederich Ebert Stiftung, 2010, hlm.12 17
bagi Aceh maupun bagi Indonesia. Adapun di antaranya perubahan dari sisi politik, sosial dan ekonomi khususnya bagi Aceh. Konsep GAM yang awalnya adalah suatu kekuatan bersenjata bergeser menjadi suatu komunitas sipil yang memiliki sebuah pengaruh, baik pengaruh yang bersifat positif maupun negatif. Bagi sebagian rakyat Aceh saat itu yang sangat ingin melepaskan diri dari Indonesia diakibatkan karena timbulnya ketidakpercayaan dari sistem politik yang ada dan adanya krisis ekonomi yang melanda. Hal inilah yang kemudian membuat pola pikir masyarakat Aceh bahwa tidak akan memiliki keuntungan apapun jika tetap bersatu bersama Indonesia, dan dapat mengenyam kesejahteraan tersendiri. Sikap nasionalisme yang terhadap ke-Aceh-an kemudian memicu gerakan separatis GAM, yang mana hal tersebut juga melibatkan masalah keberagaman dan perbedaan budaya. Indonesia merupakan negara dengan tingkat keragaman budaya yang sangat tinggi, adapun beberapa wilayah memiliki aturan atau norma tersendiri yang berlaku hanya pada teritori tersebut. Faktor budaya dalam hal ini dapat dikorelasikan, juga dengan peristiwa GAM. Struktur sosial yang dimiliki Indonesia sangatlah beragam dan cenderung rumit, yang mana hal tersebutlah kemudian menjadi suatu pemicu perbedaan sudut pandang sisi ekonomi sosial dan politik. Masalah budaya merupakan salah satu pemicu di dalam kasus GAM. Apa yang terjadi dapat dikategorikan sebagai ethnopolitic concflict yang merupakan munculnya gerakan bersifat separatisme yang dilakukan oleh etnis tertentu.18 Pola budaya yang terbentuk pasca adanya perdamaian pada masyarakat Aceh adalah bagaimana kemudian masyarakat harus menjaga setiap kelompok kultural untuk menghindari sentimen masing-masing pihak. Pihak minoritas harus dijaga oleh pemerintah agar tidak timbul kembali unsur diskriminasi oleh kaum mayoritas. Gejolak politik yan dialami Aceh pada saat GAM, sedikit banyak memberikan pelajaran bagi Aceh untuk mengembangkan struktur politik mereka. Adapun hal tersbut merupakan hal yang baik karena setelah adanya konflik berkepanjangan pemerintah deaerah dapat mengambil alih serta menetapkan aturan tersendiri, terutama untuk mengatur ekonomi secara mandiri.
18
Moch. Nurhasim. Jurnal Demokrasi dan HAM:Strategi Penyelesaian Konflik Aceh. Jakarta:Habibie Center, 2007, hlm. 47
Ekonomi Aceh pada saat hiruk pikuk GAM menjadi sangat anjlok. Banyak diantara mereka yang menghindar dengan melepaskan pekerjaannya sebagai pegawai kantoran dan hanya memilih menjadi petani untuk menghindari konflik. Namun hal ini meninggalkan jejak keterpurukan ekonomi dan juga pendidikan. Di mana anak-anak yang hidup pada era tersebut terpaksa meninggalkan pendidikan mereka karena ketebatasan ekonomi keluarga dan juga menghindari keadaan konflik. Dalam kehidupan sosial, dampak yang paling terlihat adalah suatu ketakutan tersediri bagi masyarakat Aceh. Trauma terhadap konflik berkepanjangan terus menghantui sebagian besar dari mereka, terlebih pada tahun 2004 terjadi musibah tsunami yang memporakporandakan tanah Aceh. Meskipun begitu, peristiwa ini pula yang menjadi salah satu faktor harus tercapainya perdamaian di wilayah tersebut. Dan meskipun masih hidup dalam bayangbayang konflik dan musibah, masyarakat Aceh mulai memupuk rasa perdamaian dan persatuan dengan Indonesia. Hal ini juga berdampak pada sektor pariwisata Aceh, di mana setelah terjadinya peristiwa tsunami banyak hal yang dilakukan untuk memperbaiki infrastruktur
sebagai
sarana
pariwisata
dan
mendorong
masyarakat
Aceh
untuk
mengkampanyekan secara nasional maupun internasional bahwa pariwisata Aceh sudah aman untuk dikunjungi. Tidak hanya sektor pariwisata yang memperoleh untung, dengan adanya hal tersebut maka akan semakin banyak membuka lapangan pekerjaan baru di wilayah Aceh. Konflik GAM akan tercatat dalam sejarah hitam Indonesia yang mana memberikan efek buruk bagi kepercayaan negara – negara di dunia pada saat itu bahwa Indonesia memiliki struktur pemerintahan yang buruk dan tidak dapat mempertanggungjawabkan hukum yang berlaku atas negaranya sendiri dan tidak dapat menjaga persatuan dari setiap wilayah yang ada di Indonesia. Indonesia dengan perlahan memperbaiki citranya, meskipun tidak akan bisa dihapuskan dalam sejarah. Masalah keberagaman dalam sosial budaya, politik dan ekonomi perlu dikaji kembali untuk menghindari konflik seperti ini. Setiap budaya memiliki tafsir dan pandangannya tersendiri dalam menilai struktur sosial, politik dan ekonomi dan hal tersebut merupakan upaya bersama untuk dapat hidup berdampingan tanpa adanya sentimen ataupun ego budaya masing-masing. Tugas negara adalah untuk menjaga dan bukan untuk memaksakan.
KESIMPULAN Dalam penyelesaian konflik antara dua pihak yang terkait memang diperlukan adanya pihak ketiga sebagai mediator, begitu juga dengan upaya penyelesaian konflik yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dan GAM, tetap diperlukan adanya pihak ketiga. Pihak ketiga yang dijadikan sebagai mediator tidak boleh memihak salah satu pihak, pihak ketiga ini harus bersikap senetral mungkin, agar dapat menghasilkan suatu kesepakatan yang sama – sama menguntungkan dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Pihak ketiga disini memiliki peranan yang sangat penting dalam penyelesaian konflik. Tetapi dengan hadirnya pihak ketiga dalam upaya penyelesaian konflik tidak selalu dapat meredakan konflik yang terjadi, hadirnya pihak ketiga justru dapat memperkeruh konflik yang terjadi. Yang menentukan mereda atau justru memperkeruh konflik yang terjadi adanya dengan pemilihan pendekatan untuk menyelesaikan konflik. Pendekatan yang digunakan oleh pihak ketiga untuk menyelesaikan konflik harus relevan dengan konflik yang terjadi antara kedua belah pihak yang bertikai. Dalam upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah Indonesia dan GAM terdapat beberapa pihak ketiga yang mencoba untuk menjadi penengah agar konflik ini dapat terselesaikan. Salah satunya adalah peranan Henry Dunant Centre sebagai pihak ketiga namun pada kenyataannya peranan HDC tidak cukup kuat untuk dapat menyelesaikan konflik antara Pemerintah Indonesia dan GAM. Pihak ketiga lainnya adalah Mantan Presiden Finlandia yang berhasil ebawa Pemerintah Indonesia dan GAM ke dalam suatu perjanjian yang dikenal dengan MoU Helsinki. Dengan disepakatinya MoU Helsinki oleh kedua pihak yang berkonflik dianggap sebagai ujung dari konflik yang berkepanjangan selama ini. Namun dalam perkembangannya, tetap masih terjadi konflik kecil yang menjadi hambatan dari realiasi MoU Helsinki ini. Konflik-konflik kecil yang masih terjadi diantara kedua pihak setelah disepakatinya MoU Helsinki ini tidak dianggap sebagai suatu masalah yang berarti karena yang terpenting adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam masih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan gagalnya tindakan separatisme dari kelompok GAM. Berakhirnya tindak separtis dari GAM sepanjang hampir 30 tahun memberikan kelegaan tersendiri bagi masyarakat Aceh. Perkembangan di berbagi sektor terus meningkat dan mengisyaratkan bahwa Aceh dapat berdiri kembali setelah berbagai konflik yang
dialaminya. Penataan sistem politik yang baru, berikut dengan sektor ekonomi hingga sosial budaya mengarahkan Aceh kesebuah kemerdekaan baru tanpa harus melepaskan diri dari Indonesia. Peristiwa GAM dan beberapa indikasi gerakan separatisme yang sempat terjadi di Indonesia mengisyaratkan bahwa kedua belah pihak, baik masyarakat maupun pemerintah wajib bekerjasama untuk mewujudkan Indonesia yang tertib. Pekerjaan ekstra untuk pemerintah adalah mengatur, mendukung serta melindungi perbedaan kebudayaan yang dimiliki oleh negara ini begitu pula halnya dengan masyarakat bahwa sifat saling menghargai dan tolerir sangatlah penting dalam kehidupan bermasyarakat. Meskipun peristiwa GAM sudah lama berlalu, namun tingkat kewaspadaan harus tetap dijaga mengingat sedikitnya selisih pendapat ataupun perbedaan pandangan baik individual maupun kelompok dapat saja menimbulkan suatu masalah. GAM merupakan cerminan untuk Indonesia agar dapat belajar untuk mencegah segala kemungkinan konflik di seluruh wilayah Indonesia. Diplomasi yang dilakukan merupakan langkah yang cukup efektif karena sampai kapanpun kekerasan tidak akan dapat mencapai kesepakatan damai tanpa adanya itikad baik sebuah perundingan.
DAFTAR PUSTAKA Buku Berridge, G.F. Diplomacy:Theory and Practice,Bilateral Diplomacy:Coventional. Hadiwinata, Bob Sugeng, Linda Christianty dkk. Transformasi Gerakan Aceh Merdeka:Dari Kotak Peluru ke Kotak Suara. Jakarta:Friederich Ebert Stiftung. 2010. Ishak, Otto Syamsuddin. Dari Maaf ke Panik Aceh 3: Sebuah Sketsa Sosiologi – Politik, Jakarta; Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 2008 ------------------------------ Perang dam Perdamaian di Aceh: Kumpulan Wawancara 1998 – 2005, Jakarta; Lembaga Studi Pers (LSPP), 2008 Leatherman, Janie. dkk. Memutus Siklus Kekerasan Pencegahan Konflik dalam Krisis Intranegara, Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 2004
Saleh, Hasan. Mengapa Aceh Bergolak, Jakarta; PT. Pusaka Utama Grafiti, 1992
Jurnal Wiryono, S. M. Hamdan Basyar . Aceh Pasca Perjanjian Helsinki: Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 7 No. 2 , Jakarta; The Habibie Centre, 2007
Data Online “Badan Penelitian dan Pemngembangan Kementerian Pertahanan RI:Implikasi Ksepakatan Damai (MoU) Helsinki terhadap Integrasi Nasional,” dalam Balitbang Dephan [database online] ( Jakarta : Puslitbang Strahan Balitbang Dephan, 2011-[dikutip pada 13 Mei 2013]); diunduh dari http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/implikasi-kesepakatan-damaimou-helsinki-terhadap-integrasi-nasional “Indonesia Siap Mengambil Tindakan Tegas terhadap Gerakan Aceh Merdeka” dalam Tempo Interaktif [database online] (Jakarta : Tempo News Room, 2002 [dikutip pada 13 Mei 2013]); diunduh dari http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2002/11/20/brk,2002112037,id.html