PERAN HENRY DUNANT CENTRE (HDC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK ANTARA GERAKAN ACEH MERDEKA (GAM) DAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NABILA NURINSANI (210000199) MAHARDHIKA FEBRIANAR SAPUTRA (210000172) Abstrak Konflik yang terjadi antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan Pemerintah RI dipicu oleh keinginan GAM untuk merdeka dan terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lepasnya Timor Timor (Timor Leste) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menjadi salah satu faktor yang semakin mendorong GAM untuk merdeka. Salah satu pihak yang menjembatani konflik tersebut adalah Henry Dunant Centre (HDC). HDC adalah salah satu organisasi non pemerintah internasional (International Non-Governmental Organization) yang bergerak di bidang kemanusiaan. HDC diresmikan pada Januari 1999 dan terdaftar di bawah Undang-Undang Swiss, dan berpusat di Jenewa, Swiss. Keterlibatan HDC pertama kali di Indonesia pada bulan Agustus 1999 ketika presiden Abdurrahman Wahid meminta HDC untuk memfasilitasi dialog kemanusiaan guna menyelesaikan konflik Aceh. Abdurrahman Wahid menekankan pada peran dialog kemanusiaan dalam mengubah situasi konflik yang pada umumnya didasarkan pada ideologi. Permintaan ini kemudian ditanggapi positif oleh HDC. Aksi pertama yang dilakukan HDC adalah membawa RI-GAM secara bersama-sama ke meja perundingan pada bulan Januari 2000 yang kemudian disusul dengan serangkaian dialog yang dihadiri kedua belah pihak. HDC kemudian menjadi mediator sekaligus fasilitator yang berusaha mencairkan polarisasi yang ada dalam konflik agar tindak kekerasan dalam konflik berkurang. Perdamaian antara GAM dan pemerintah RI adalah tujuan HDC dalam memfasilitasi dan memediator konflik ini. Kata kunci: GAM (Gerakan Aceh Merdeka), Pemerintah Republik Indonesi, HDC (Henry Dunant Centre)
SEJARAH TERJADINYA KONFLIK ANTARA GERAKAN ACEH MERDEKA (GAM) DAN PEMERINTAH RI Pemberontakan separatis di Aceh dimulai pada 4 Desember 1976, ketika Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Di Tiro dan para pengikut setianya telah terlibat dalam pemberontakan Darul Islam 1953, tetapi kali ini pemberontakan mereka yang diberi nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara jelas berniat memisahkan diri dari Republik Indonesia1. Pemicu dari konflik ini adalah kemarahan atas penyelenggaraan Pemerintahan Aceh yang didominasi orang Jawa dan ekploitasi atas kekayaan alam Aceh yang tidak memberikan hasil yang adil bagi masyarakat Aceh. Legitimasi kekuasan Orde Baru banyak
disandarkan
pada
kemampuan
pemerintah
dalam
menjadi
tingkat
pertumbuhan ekonomi pada angka yang tinggi. Dalam prakteknya, usaha untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi ini mengorbankan aspek keadilan dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Eksploitasi sumber daya alam yang terjadi secara besar-besaran serta kurang memperhatikan kepentingan masyarakat local kemudian menjadi tak terhindarkan.2 Dalam sebagian besar dekade 1980-an, GAM menguat lagi, merasionalisasi status politiknya dan memperkuat sayap militer Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Dalam periode ini, sebagian dari 400 kader Aceh dilaporkan dikirim ke Libya untuk latihan militer. Tahun 1989, GAM merasa cukup kuat untuk sekali lagi menjajal pemerintah Indonesia, menyerang pasukan pemerintah, warga sipil dan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata. Pemerintah membalas dengan operasi militer dan tindak penumpasan berskala besar. 3 Pertikaian pun terjadi diantara GAM 1 http://www.kbri-canberra.org.au/s_issues/aceh/articles/articles_jalanpanjang.htm diakses tanggal 15 Agustus 2014.
2 Moch. Nurhasim dkk., Aceh Baru: Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008: viii
3 http://www.kbri-canberra.org.au/s_issues/aceh/articles/articles_jalanpanjang.htm diakses tanggal 15 Agustus 2014.
dan pemerintah RI yang masih bersikeras kepada putusannya masing-masing. Berbagai upaya untuk mendamaikan dan mencari penyelasian masalah ini berjalan sulit.Usaha serius mendamaikan pihak yang bertikai di Aceh dalam Era Reformasi ini telah dilakukan termasuk juga melibatkan pihak-pihak internasional. Tidak lama setelah deklarasi kemerdekaan tersebut, kekuatan bersenjata GAM mulai menyerang pasukan pemerintah, hal yang mengundang kembali operasi penumpasan pemberontakan oleh pemerintah. Pada tahun 1983, kekuatan GAM sudah dikalahkan di lapangan dan Di Tiro lari keluar negeri. Ia bersama beberapa pengikutnya akhirnya menjadi warga negara Swedia.4 Pada tahun 1992, tampak bahwa Pemerintah sepenuhnya mengendalikan situasi di Aceh. Tetapi, operasi militer yang ditandai dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam skala besar, memicu keberatan publik terhadap Pemerintah di Jakarta. Pelanggaran hak asasi manusia di Aceh menjadi sorotan publik tidak lama setelah Presiden Soeharto melengser dari kekuasaan dalam kerusuhan politik Mei 1998. Ditekan oleh desakan publik di seluruh Indonesia atas penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, Pangab Jenderal Wiranto meminta maaf atas ekses-ekses militer dari 1989 sampai 1998 dan mencabut status Aceh sebagai sebuah daerah operasi militer (DOM), menjanjikan penarikan sejumlah besar tentara dari provinsi itu. Meski demikian, perdamaian tak kunjung datang, karena GAM memanfaatkan demoralisasi militer, melancarkan serangan besar-besaran. Konfrontasi bersenjata dimulai lagi. Pertengahan 1994, organisasi GAM pecah ketika para pejabat GAM yang berbasis di Kuala Lumpur membelot dari kepemimpinan GAM yang berbasis di Swedia, termasuk Hasan di Tiro. Tampaknya perbedaan utama antara dua faksi GAM ini ialah mengenai bentuk pemerintahan Aceh setelah kemerdekaan. 5 Di Tiro lebih suka sebuah monarki dengan dirinya sebagai Sultannya, sedangkan kelompok Kuala Lumpur menghendaki sebuah republik Islam modern. Di Tiro yang
4 http://www.kbri-canberra.org.au/s_issues/aceh/articles/articles_jalanpanjang.htm diakses tanggal 15 Agustus 2014.
5 http://saputrareza9474.wordpress.com/about/about-me/ diakses tanggal 15 Agustus 2014
mengklaim diri sebagai keturunan Sultan Aceh mendapatkan dukungan dari sebagian terbesar kekuatan GAM yang beroperasi di provinsi itu. Penyelesaian masalah Aceh dengan menggunakan kekuatan militer secara besarbesaran ke Aceh juga tidak dapat meredam konflik secara keseluruhan. Pendekatan kekuatan militer yang ditempuh oleh Presiden saat itu yaitu Megawati sempat membuat kekecewaan yang mendalam pada masyarakat Aceh. Namun kebijakan ini memiliki nilai positif bagi masyarakat dimana mulai pulihnya keadaan perekonomian, pemerintahan dan hukum. Namun secara keseluruhan permasalahan Aceh belum selesai secara tuntas karena GAM masih melakukan pemberontakannya walaupun sekalanya lebih kecil. Beberapa pendekatan dalam penyelesaian konflik: 1. Pendekatan “Ralf-Dahrendrof” dimana pendekatan ini mengacu pada
teori pakar konflik dan resolusi konflik ini. Dalam pendekatan ini disebutkan tiga bentuk pengaturan atau penyelesaian konflik yaitu: konsiliasi, mediasi dan jalan arbitrase. 2. Pendekatan
struktural
fungsional.
Pendekatan
ini
memandang
masyarakat sebagai komunitas yang terintegrasikan secara teratur atas dasar nilai kesepakatan dari setiap anggota masyarakat. Dalam pendekatan ini juga dikenal salah satu statement yaitu “General Agreements” yang memiliki kemampuan untuk mengatasi perbedaanperbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. Indonesia khususnya konflik Aceh tidak luput dari perhatian Henry Dunant Centre. Pada tahun 1999 atas permintaan presiden Abdurrahman Wahid, Henry Dunant Centre memulai kiprahnya untuk mempertemukan pemerintah RI dengan GAM, dimana Henry Dunant Centre sebagai organisasi internasional non pemerintahan yang independen dan imparsial bagi perdamaian serta menjunjung ringgi prinsi-prinsip kemanusiaan. Keterlibatan HDC pertama kali di Indonesia pada bulan Agustus 1999 ketika presiden Abdurrahman Wahid meminta HDC untuk memfasilitasi dialog kemanusiaan guna menyelesaikan konflik Aceh. Ketika berpidato di HDC pada tanggal 30 Januari 2000, Abdurrahman Wahid menekankan pada peran dialog kemanusiaan dalam mengubah situasi konflik yang pada umumnya didasarkan pada ideology. Permintaan ini kemudian ditanggapi positif oleh HDC. Aksi pertama yang dilakukan HDC adalah
membawa RI-GAM secara bersama-sama ke meja perundingan pada bulan Januari 2000 yang kemudian disusul dengan serangkaian dialog yang dihadiri kedua belah pihak. Meskipun tidak memiliki kepercayaan terhadap pemerintah Indonesia, GAM segera menerima tawaran dialog dengan tujuan menginternasionalisasi kasus Aceh dan mendapatkan dukungan atau simpati dari Amerika Serikat atau Negara-negara Eropa dengan harapan mereka mau menekan Indonesia agar melepaskan Aceh. Peran Henry Dunant Center dalam Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) Suatu peran atau serangkaian peranan yang dipegang merupakan salah satu kendala para pembuat keputusan luar negeri dalam perilaku dalam sebuah proses politik. Peran atau role merupakan perilaku yang diharapkan dari pemegang posisi seperti pembuat undang-undang, pemimpin partai, pemilih atau revolusioner, berkenaan dengan pengambilan dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang sah bagi masyarakat. Teori ini menegaskan bahwa “Perilaku politik adalah perilaku dalam menjalankan peranan politik”. Teori ini mengasumsikan bahwa sebagian besar perilaku politik adalah akibat dari tuntutan atau harapan terhadap peran yang kebetulan di pegang oleh seorang aktor politik. Teori peran di bentuk oleh harapan-harapan atau dugaan-dugaan. Harapanharapan merupakan suatu konsep dari teori peran dan di dalamnya ada tiga kelas dari harapan yang ingin dicapai yang melambangkan visi teori peran yaitu harapan dari norma, harapan dari pihak lain dan harapan dari masyarakat. Harapan dari norma didalamnya terdapat hal yang menetapkan bagaimana seorang individu sebaiknya bertingkah laku dan melakukan aktivitas mereka sesuai dengan apa yang telah diatur oleh norma yang telah ada. Harapan dari pihak dimana peran yang diinginkan hanya tertuju pada permintaan yang diberikan saat mereka menanggapi dan berinteraksi. Harapan dari masyarakat, merupakan harapan terakhir yang diberikan dari audience terhadap individu yang menempati status. Berbagai harapan itu dilakukan menurut aturan dan norma yang sudah ada. Dan untuk menganalisa “Peran Henry Dunant Centre (HDC) Dalam Konflik GAM dan Pemerintah Republik Indonesia” teori peran juga harus memperhatikan ketiga harapan yang ada tersebut. Dalam kaitannya dengan konflik GAM yang terjadi di Aceh dengan pemerintah Republik Indonesia, HDC merupakan sebuah organisasi internasional non
pemerintah yang berperan dalam penyelesaian konflik tersebut dan menjadi mediator sekaligus fasilitator yang merupakan perilaku politik yang diharapkan dari pihak lain. Peran HDC dalam penanganan konflik di Aceh merupakan peran yang di dapat karena permintaan dari kedua belah pihak, yaitu GAM-RI. Dengan kata lain, pihak ini di undang oleh pihak lain karena sebenarnya Indonesia membutuhkan seorang mediator yang berasal dari ASEAN, sedangkan GAM menginginkan mediator yang berasal dari PBB, sehingga mereka NGO yang kemudian NGO memberikan usulan dengan adanya peran HDC. HDC menyepakatai permintaan GAM-RI untuk menjadi mediator sekaligus fasilitator dalam penyelesaian konflik diantara keduanya. Hal ini sesuai dengan tujuan pokok dari lembaga non government ini, yaitu membantu masyarakat internasional untuk keluar dari krisis internasional mulai dari isu kemanusiaan sampai dengan soal keamanan dan pembangunan. Selain itu, faktor kemanusiaan dan realitanya pendekatan kemanusiaan tersebutlah yang akhirnya membawa kedua pihak bertemu dalam meja perundingan.
Henry Dunant Center (HDC) sebagai Mediator Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) Menurut Marti Ahtisari seorang mediator harus tahu apa yang diinginkannya. Perjanjian damai (MoU) itu dibikin hanya sekitar tujuh halaman, yang merupakan perjanjian ringkas. Ahtisaari tidak percaya dalam perjanjian yang penuh dengan rincian. Kemudian pihak-pihak yang bertikai menemukan diri sendiri dalam situasi melanggar perjanjian. Ahtisaari meyakini perjanjian yang cukup padat memberikan tanggung jawab kepada pihak yang bertikai untuk menerapkannya dan menyisakan ruang yang cukup untuk menginterpretasikannya. Ahtisaari juga berpendapat bahwa proses mediasi ini juga benar-benar suatu keajaiban yang tidak disangka dimana perjanjian ini bisa dirampungkan meskipun dalam waktu singkat. Dan itu merupakan prestasi luar biasa Uni Eropa bahwa prosesnya dapat melangkah maju dengan begitu cepat dan fleksibel.6 Selain pentingnya hubungan baik yang terbina antara pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi, dukungan dari tim juga sama pentingnya bagi mediator. Ahtisaari 6 Merikallio, Katri. (2006). Making Peace, Ahtisaari and Aceh, WS Bookwell Oy
menyatakan berulang kali dalam beberapa kesempatan betapa sangat penting baginya bahwa sekelompok orang-orang yang terpilih ini yang justru memilih orang yang mendukung jalannya proses perundingan. Dalam proses mediasi seperti ini, mediator harus melakukan sejumlah besar pekerjaan persiapan mengenai latar belakang konflik. Karena kurangnya waktu, HDC harus mencari cara pintas. CMI mendapatkan seorang ahli tentang konflik Aceh, Dr Timo Kivimäki dari Nordic Institute of Asian Studies di Denmark, untuk memberikan keterangan kepada tim mediator. Dia tahu lebih banyak tentang konflik Aceh dan tim mediator juga diarahkan ke sumber yang tepat. Lembaga ini menawarkan jasanya kepada pihak-pihak yang bertikai sebagai pihak
ketiga
untuk
menghadirkan
perdamaian
dengan
mengkoordinasikan
perundingan antara pihak yang bertikai, dimana kondlik yang terjadi diantara mereka cenderung mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat sipil. Organisasi ini juga mengadakan pertemuan-pertemuan yang membahas mengenai isu-isu kemanusiaan, dalam konteks global yang menguhungkan para pakar yang mempu mengkaji persoalan yang terjadi dan mendorong upaya-upaya untuk membangun pendekatan yang lebih efektif dalam memberikan bantuan kemanusiaan. Peran sebagai mediator yang dilakukan oleh HDC adalah melakukan wawancara baik dengan pihak pemerintah RI dan GAM; fact finding untuk terjadinya dialog (tujuan pertama dari assessmentifact finding ini adalah untuk mengurangi konsekuensi-konsekuensi dari konflik yang ada dan mengurangi kemungkinan terjadinya peningkatan konflik (conflict escalating)); membantu pembentukan Dewan Bersama dan Joint Committee/ Tim Pemantau; membantu proses penyempitan perbedaan-perbedaan pandangan antara pemerintah RI dan GAM, membantu proses tawar-menawar kedua belah pihak, membantu kedua belah pihak sehingga mereka mampu untuk menegaskan kembali kesepakatan yang telah dicapai pada pertemuanpertemuan sebelumnya, membantu menemukan dasar-dasar umum dan kepentingankepentingan umum untuk terciptanya suatu dialog, membantu terciptanya kesepakatan-kesepakatan di antara kedua belah pihak, mendapatkan mandate dari kedua belah pihak untuk terlibat dalam Joint Security Committee. Henry Dunant Center sebagai Fasilitator dalam Konflik Antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia (RI)
Ketika berbicara mengenai fasilitator maka ada fasilitator memiliki kata dasar yaitu fasilitas. Fasilitas merupakan sarana atau wahana yang diberikan oleh suatu lembaga atau perseorangan yang dapat mempermudah tujuan yang ingin dicapai, baik itu kekuasaan, keinginan ataupun kesepakatan. Fasilitator merupakan orang atau sekelompok orang yang memberikan bantuan dalam pencapaian kekuasaan, keinginan ataupun kesepakatan melalui diskusi atau musyawarah atau perundingan yang menghasilkan kepekataan bersama natara kedua belah pihak.7 Menurut Michael Doyle, fasilitator di definisikan sebagai individu yang memungkinkan sekelompok orang atau orhanisasi untuk bekerja dengan hasil yang memuaskan dalam bekerjasama dan mencapai mufakat. Mereka (fasilitator) adalah pihak yang berada di blok netral, yang tidak memihak salah satu kelompok dan dapat bersikap adil dan terbuka selama perundingan berlangsung. Dalam perundingan sangat dibutuhkan fasilitator untuk menghasilkan suatu kesepakatan bersama untuk mengatasi permasalahan yang dibicarakan. Fasilitator memberikan dukungan penuh dan saling pengertian sehingga mendapatkan solusi yang tepat. Atau yang dikutip dari Sam Kaner et al: “The facilitator’s job is to support everyone to do their best thinking. To do this, the facilitator encourages full participation, promotes mutual understanding and cultivates shared responsibility. By supporting everyone to do their best thinking, a facilitator enables group members to search for inclusive solutions and build sustainable agreements”8 Jadi, fasilitator dapat membantu permasalahan yang sedang dibicarakan dalam perundingan. Solusi yang disampaikan dapat memberikan pengertian antar kedua belah pihak yang sedang berkonflik sheingga antara keduanya. Peranan Henry Dunant Centre (HDC) sebagai pihak ketiga dalam intra-state conflict telah menunjukkan bahwa Negara bukanlah satu-satunya actor dalam ranah hubungan internasional. Dengan mengusung isu kemanusiaan dan status kenetralan 7 En.wikipedia.org/wiki/facilitator
8 Sam Kaner, Lenny Lind, Catherine Toldi, Sarah Fisk and Duane Berger, Facilitato’s Guide to Participatory Decision-Making Jossey Bass; ISBN 0-7879-8266-0 (2007), dikutip dari en.wikipedia.com/wiki/facilitator.
membuat organisasi yang bermarkas di Jenewa, Swiss ini dipercaya oleh pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaika konflik termasuk pemerintah RI dengan GAM. Sebagai fasilitator9, HDC berperan dalam memfasilitasi pertemuan-pertemuan antara wakil-wakil pemerintah RI dan GAM, serta berusaha mencairkan polarisasi yang ada selama ini10, dengan tujuan untuk mengurangi tindak kekerasan di Provinsi Aceh. Proses negoisasi yang difasilitasi HDC dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Henry Dunant Center dalam Upaya Perundingan Ada empat faktor yang menentukan pihak luar atau pihak ketiga dilibatkan dalam konflik. Pertama, sumber-sumber konflik kontemporer yang berada di luar sebuah negara sama banyaknya seperti yang terletak dalam sebuah negara. Kedua, meningkatnya interdependensi, bermakna bahwa konflik kontemporer mempengaruhi kepentingan kawasan regional yang berdekatan maupun yang memiliki kepentingan di wilayah konflik. Ketiga, kombinasi penderitaan manusia dan transparansi media membuat sulit bagi pemerintah untuk tetap bertahan dan tidak melakukan apa-apa. Keempat, hampir semua kajian sepakat bahwa konflik yang berlarut-larut hanya dapat diselesaikan ketika pihak luar dilibatkan. Keempat faktor ini dapat digunakan untuk menganalisa keterlibatan HDC di Aceh dalam penyelesaian konflik antara pemerintah RI dan GAM. Kesepakatan yang melibatkan pihak ketiga pada awalnya memiliki pandangan dan referensi yang berbeda. Pihak RI menginginkan agar pihak ketiga diwakili oleh organisasi internasional di tingkat kawasan Asia Tenggara, yaitu ASEAN. Sedangkan GAM menginginkan pihak ketiga berasal dari PBB, agar dapat mendapatkan dukungan dengan mengusung isu pelanggaran HAM di Aceh. Kekhawatiran akan keberpihakan inilah yang membuat kedua pihak sepakat menggunakan NGO internasional yang bestatus un-official dan impartial. Sedangkan pilihan kepada HDC
9 “Dialog RI-GAM Dilanjutkan”, Kompas, 29 Juni 2001
10 Otto Syamsuddin Ishak, Op.cit., hal 160
didasarkan pada faktor kemanusiaan dan realitanya pendekatan kemanusiaan tersebutlah yang akhirnya membawa kedua pihak bertemu dalam meja perundingan. Keterlibatan HDC dalam konflik di Aceh ternyata melahirkan pro dan kontra terutama saat perundingan Nota Kesepakatan Bersama tentang Jeda Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh) antara Indonesia yang diwakili Hassan Wirajuda dan GAM yang diwakili Zaini Abdullah pada tanggal 12 Mei 2000, di Jenewa, Swiss. HDC dipilih sebagai pihak ketiga karena sebagai organisasi kemanusiaan HDC tidak memiliki kepentingan politik tertentu. Pemerintah Indonesia meminta HDC untuk turut campur menyelesaikan masalah Aceh dengan membujuk GAM agar mau berunding. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip yang dimiliki HDC sebagai lembaga kemanusiaan yang mempelopori dialog di daerah-daerah konflik untuk mengurangi penderitaan rakyat sipil. Aksi pertama yang dilakukan HDC adalah membawa RI-GAM secara bersama-sama ke meja perundingan pada bulan Januari 2000 yang kemudian disusul dengan serangkaian dialog yang diakhiri kedua belah pihak. Meskipun tidak memiliki kepercayaan terhadap Pemerintah Indonesia, GAM segera menerima tawaran dialog dengan tujuan menginternasionalisasi kasus Aceh dan mendapat dukungan atau simpati dari Amerika atau negara-negara Eropa dengan harapan mereka mau menekan Indonesia agar melepaskan Aceh. GAM juga berharap dialog ini dapat mengekspos seluruh kejahatan kemanusiaan yang pernah dilakukan TNI terhadap warga Aceh. Proses negosiasi sangat sulit karena juru bicara dari GAM berulang kali menyatakan bahwa tidak akan pernah terjadi penyelesaian kecuali kemerdekaan sedangkan Pemerintah Indonesia juga berkali-kali memberikan ultimatum bahwa negosiasi hendaknya dilakukan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. HDC percaya kendati keberadaan mereka sulit untuk menyelesaikan permasalahan yang ada secara tuntas, fokus dialog yang diarahkan pada masalah kemanusiaan sebagai dampak terjadinya konflik pada akhirnya akan mampu membangun rasa saling percaya kedua belah pihak dan membawa mereka pada berbagai kemungkinan terbukanya jalan yang tak terduga dan menyiapkan resolusi permanen. Inisiatif HDC ini kemudian sangat didukung oleh PBB dan Uni Eropa. HDC mulai memfasilitasi berbagai dialog di Geneva pada tanggal 24 Maret dan 14-17 April 2000. Kongkritnya, pada 12 Mei 2000 ditandatangani Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) tentang Jeda Kemanusiaan
untuk Aceh di Genewa, Swiss, oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, dan wakil GAM, Zaini Abudllah. Langkah ini dimaksudkan sebagai langkah awal atau gerbang menuju penyelesaian konflik yang sebenarnya. Di tingkat lapangan, kesepakatan
tersebut
ditindaklanjuti
dengan
pembentukan
organisasi
untuk
mendukung implementasi seperti pembentukan komite bersama untuk Aksi Kemanusiaan (KBAK). Bagi masyarakat internasional, kesepakatan tersebut dinilai sebuah langkah maju menuju perdamaian Aceh yang diwujudkan oleh berbagai pernyataan dan aliran bantuan dana internasional. Tetapi di dalam negeri, Pemerintah justru menuai kritik karena kesepakatan tersebut dianggap sebagai pengakuan resmi terhadap eksistensi GAM. Tahapan perundingan yang dilakukan oleh Henry Dunant Center 1. Humanitarian Pause
Tahap ini, HDC melakukan pra-negoisasi, yakni suatu masa dalam kerangka waktu yang terbatas sebagai persiapan menuju perundingan. Tahap pra perundingan konflik Aceh dilaksanakan dalam tiga putaran pertemuan informal dan difasilitasi oleh HDC yang bertujuan untuk mematangkan draft ketentuan yang akan dibawa dan menghasilkan Joint of Understanding for Humanitarian Pause (Nota Kesepakatan Bersama tentang Jeda Kemanusiaan. Tujuan dari Jeda Kemanusiaan adalah mengurangi ketegangan dan penderitaan rakyat Aceh, juga mengembangkan kepercayaan masyarakat dan pihak-pihak pada kesepahaman bersama ini dalam upaya bersama mereka untuk menuju tercapainya suatu penyelesaian damai dari situasi konflik. Untuk mendukung Jeda Kemanusiaan di lapangan, dibuat badan-badan sebagai struktur organisasi, yaitu Joint Forum (Dewan Bersama), Joint Committee on Security Modalities (JCSM/ Komite Bersama Modalitas Keamanan) dan Joint Committee on Humanitarian Action (JCHA/ Komite Bersama dalam Aksi Kemanusiaan). Seluruh komite dan tim monitoring dalam JCSM dan JCHA bekerjasama dengan tiga perwakilan HDC dan seorang staf local untuk melaporkan hasil pertemuan di lapangan pada Joint Forum, secara berkala mereka melakukan pertemuan di Jenewa dan menghasilkan “Directives” untuk menjadi panduan mereka dalam pelaksanaan perjanjian kesepakatan. 2. Provisional Understanding
Dalam pertemuan ini HDC, GAM dan pemerintah Indonesia menyepakati pembentukan Moratorium of Violence (Monotarium Kekerasan) selama satu bulan
pasca Jeda Kemanusiaan II. Selain itu, para perwakilan juga menyutujui untuk membangun Joint Council yang dimotori oleh HDC guna meninjau perkembangan, menjelaskan isu yang timbul dengan jalan konsultasi demokratis, dan memastikan kepatuhan seluruh pihak pada perjanjian. 3. The Wise Man
The Wise Man terdiri atas Budimir Loncar (Duta Besar Yugoslavia untuk Indonesia), mantan Menlu Thailand Surin Pitsuwan, dan pensiunan Jenderal Angkatan Laut AS Anthony Zinni.Ini adalah inovasi penting dari HDC yang memiliki sisi politis dan profil media yang lebih tinggi. Poin penting terjadi ketika The Wise Man bergabung dalam proses dialog pada pertemuan di bulan Februari dan Maret 2002 dengan menyediakan konseling pada proses negoisasi terutama mengenai poin untuk tidak keluar dari perundingan dan tetap konsisten pada upaya damai yang telah dirintis. 4. Joint Statement
Pada tanggal 10 Mei 2002 di Jenewam Swiss diadakan kembali pertemuan antara kedua pihak yang intinya keduanya menerima Joint Statement yang mengandung kata “Acceotance of the NAD Law as a Starting Point”. Pihak pemerintah RI menginterpretasikan bahwa penerimaan Undang-Undang NAD sebagai titik awal perundingan, sedangkan pihak GAM menginterpretasikan bahwa UUD NAD hanyalah suatu isu yang perlu dibicarakan, dalam pengertian bahwa GAM menolak menerimanya sebagai titik awal perundingan. 5. Cessation of Hostilities Agreement (CoHA)
Penandatangan CoHA dilaksanakan pada 9 Desember 2002 dan dihadiri oleh delegasi pemerintah RI, delegasi GAM, perwakilan NGO Aceh, perwakilan komunitas diplomatic, dan berbagai media internasional. Selanjutnya naskah ini ditandatangani oleh tiga pihak, yakni perwakilan RI, GAM dan HDC selaku mediator.Pada intinya makna dasar dari CoHA adalah kesepakatan menghentikan permusuhan, all-inclusive dialogue yaitu suatu forum dialog yang melibatkan semua elemen masyarakat Aceh dan pemilihan umum yang demokratis di Aceh. CoHA juga memandatkan dibentuknya Zona Damai (Peace Zone), sebagai upaya kepedulian terhadap kemanusiaan, bantuan rehabilian dan rekonstruksi. Setelah memasuki periode Confidence Building, CoHA memprakarsai proses untuk melakukan demiliterasasi yang mencakup bpengurangan senjata GAM dan relokasi kekuatan GAM dari offensice ke posisi yang lebih defensive. Di Jakarta, CoHA yang disambut secara
berhati-hati dan tanpa banyak kritik itu dipertegas oleh komitmen Presiden Megawati Soekarnoputri sendiri yang didemonstrasikan dengan segera mengunjungi Aceh menyusul penandatanganan di Jenewa itu. Unit-unit GAM kembali ke barak-barak mereka, sementara sebuah tim multi-agen dari PBB mengunjungi Aceh untuk mengkalkulasi kebutuhan pembangunan kembali Aceh. Di Jakarta, Pemerintah menggalang tim bantuan kemanusiaan bagi rakyat Aceh dan juga memprioritaskan bantuan bagi warga pengungsi Aceh. Dalam waktu sebulan JSC yang memantau pelaksaan CoHA tersebut mulai masuk Aceh. Insiden dengan korban tewas turun secara dramatis, dan perkembangan positif ini semestinya menjadi momentum perdamaian, tetapi nyatanya tidak demikian. Permusuhan jalan terus, sampai pada titik yang sedemikian sulit sehingga sangat sulit dibayangkan bahwa kesepakatan itu masih bisa dilaksanakan. 6. Tokyo Joint Council
Upaya demiliterasi justru memperburuk situasi keamanan di Aceh sehingga diambil keputusan untuk mengamankan anggota tim monitoring (Tripartite Monitoring Teams/ TMTs) pada awal April. Joint Council berusaha untuk mengidentifikasi perbedaan seputar proses demiliterasi juga isu-isu lain, dan mengambil langkahlangkah untuk menyelesaikannya. Pemerintah RI dan GAM juga setuju untuk melaksanakan pertemuan di Tokyo, Jepang pada 17-18 Mei 2003. Akhirnya kedua belah pihak tidak dapat menemukan jalan tengah, dan pada 18 Maret 2003 Presiden Megawati kembali menerapkan Darurat Militer di Aceh dengan dikeluarkannya Keppres No. 28/2003 tentang pernyataan bahaya. Pemberlakuan Darurat Militer ini dapat dikatakan sebagai langkah mundur selama proses-proses penyelesaian konflik yang pernah dilakukan pemerintah RI. Kendala Eksternal dan Internal yang Dihadapi Henry Dunant Center Kendala Eksternal Tugas HDC sebagai fasilitator dan mediator di Aceh, bukanlah sesuatu yang mudah, tanpa kendala dan kritikan. Berikut ini adalah beberapa catatan kendala dan kritikan yang ditujukan kepada HDC: 1. Pada awal jeda kemanusiaan, tidak ada perbaikan situasi di Aceh. Bahkan
jumlah korban dan kekerasan cenderung meningkat ditambah adanya pembunuhan Sekjen Pemerintahan GAM yang berpusat di Malaysia Teuku Don Zulfahri pada hari pertama dilakukannya Jeda Kemanusiaan
2. Tidak adanya kesungguhan diantara kedua belah pihak yaitu RI dan GAM
dalam menerapkan isi kesepakatan 3. Kurangnya komitmen dan konsentrasi dari masing-masing pihak untuk
melakukan Jeda Kemanusiaan ditambah lagi akibat buruknya kinerja KBMK dan KBAK yang lamban dalam mengimplementasikan isi kesepakatan Jeda Kemanusiaan, ditandai dengan masih banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan GAM dan TNI dalam pemberlakuan Jeda Kemanuisan 4. Tidak dipatuhi dan ditaatinya pasal-pasal dalam KBMK 5. Tidak adanya konsistensi dalam pelaksanaan hasil kesepakatan 6. Banyak terjadi pelanggaran diantara RI dan GAM 7. HDC kurang transparan dan terbuka khususnya kepada pihak pemerintah RI 11.
Begitu pula kritikan terhadap JSC yang dianggap belum memainkan peran yang netral 8. Proyek besar pertama HDC dalam upaya mediasi internasional, HDC
mempunyai kepentingan organisasi di sini untuk terus mengupayakan terjadinya dialog, namun kemudian tidak berhasil mengatasi isu fundamental yang ada dalam konflik kepentingan pemerintah RI dan GAM. Inilah yang kemudian pada akhirnya menjadi salah satu factor gagalnya proses negoisasi antara pemerintah RI dan GAM.
Kendala Internal 1. Masalah keuangan, dimana adanya kesulitan dalam pendanaan 2. Masih terjadi kontak senjata saat pelaksanaan Jeda Kemanusiaan 1 dan 2 3. Tim pemantau HDC tidak efektif, dimana TNI tidak memberikan dukungan
kepada Jeda Kemanusiaan, justru memberikan keuntungan kepada GAM dan memberikan kesempatan mengonsoludasikan organisasinya 4. HDC juga masih kurang berpengalaman dan terbatasnya pengetahuan staff
HDC mengenai keadaan local di Aceh12 11 “Pengdam Minta Henry Dunant Transparan”, Koran Tempo, 8 Agustus 2002
12 Edward Aspinall and Harold Crouch, Op. cit., hal 49
5. HDC tak mampu memfasilitasi dialog pemerintah RI dan GAM. HDC tidak
mampu untuk membuat kedua belah pihak mematuhi kesepakatan yang dicapai, karena HDC bukan organisasi yang didukung sebuah Negara besar, dan tidak memiliki wibawa di mata dunia. Belum lagi terbatasnya wewenang yang dimiliki HDC dalam dialog antara pemerintah RI dan GAM. Idealnya fasilitator konflik di Aceh adalah organisasi yang memiliki wibawa dan kewenangan peran yang luas, seperti misalnya Perserikatan Bangsa Bangsa atau Organisasi Konferensi Islam13. KESIMPULAN Peran HDC dalam konflik GAM dengan Indonesia bisa dikatakan tidak berjalan dengan harapan dari kedua belah pihak. Masing-masing pihak baik itu Indonesia maupun GAM sebenarnya menginginkan pihak ketiga menurut pandangan mereka sendiri. Tetapi pada akhirnya Henry Duannt Center yang menjadi pihak ketiga. Peranan sebagai organisasi yang memfasilitasi perundingan diantara kedua belah pihak justru sering mendapatkan aksi yang tidak menyenangkan, baik itu bagi HDC sendiri sebagai fasilitator maupun organisasi kemanusiaan lainnya. Setelah memberikan Jeda Kemanusiaan, dimana hal tersebut diharapkan bisa menjadi jalan tengah penyelesaian diantara kedua belah pihak justru malah menjadi bumerang bagi HDC dimana disini masih banyak korban berjatuhan dan HDC sendiri justru dituduh memihak kepada salah satu pihak. Banyak hal yang masih perlu diperbaiki dan dibenahi oleh HDC sebagai organisasi kemanusiaan non pemerintah ini agar lebih baik dalam menjalankan misi kemanusiaannya. Daftar Pustaka Buku: Anthony Smith, “Self-Determination Conflict Profile-Aceh,” Foreign Policy In Focuk, (www.selfdetermine.org/conflicts/aceh/html)
13 “Henry Dunant Centre Dinilai Tak Mampu Fasilitasi Dialog RI-GAM”, Koran Tempo, 24 Agustus 2002
Edward Aspinall and Harold Crouch,. 2003. Policy Studies I: The Aceh Peace Process: Why it failed. Washington: East-West Center,
Hugh Mall, et al. (1999). Contemporery Conflict Resolution, The Prevention, Mangement and Transformation of Deadly Conflict. Polity Press
Merikallio, Katri. (2006). Making Peace, Ahtisaari and Aceh, WS Bookwell Oy
Moch. Nurhasim dkk., 2008. Aceh Baru: Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Seymour Martin Lipset. (1985). Consensus and Conflict. Essay in Political Sociology: New Jersey.
Syamsudin Ishak, Otto. (2008). Perdamaian Yang Berikhtiar, Yang Menentang: Kronik Perundingan GAM – RI Di Helsinki 2005. ACSTF : Jakarta.
Web:
http://acchnet.tripod.com/what.htm (Peranan Henry Dunant Centre Sebagai Satu Upaya Resolusi Konflik di Aceh, Jolanda Mauren Hendriyete Sumual, Universitas Indonesia) diakses pada tanggal 12 Desember 2013
http://www.kbri-canberra.org.au/s_issues/aceh/articles/articles_jalanpanjang.htm (diakses tanggal 15 Agustus 2014)
Sam Kaner, Lenny Lind, Catherine Toldi, Sarah Fisk and Duane Berger, Facilitato’s Guide to Participatory Decision-Making Jossey Bass; ISBN 0-7879-8266-0 (2007), dikutip dari en.wikipedia.com/wiki/facilitator.
Background to the Conflict, http://www.hrw.org/reports/2001/aceh/indaceh080102.htm (Peranan Henry Dunant Centre Sebagai Satu Upaya Resolusi Konflik di Aceh, Jolanda Mauren Hendriyete Sumual, Universitas Indonesia)
http://www.kbricanberra.org.au/s_issues/aceh/articles/articles_jalanpanjang.htm diakses tanggal 15 Agustus 2014
http://saputrareza9474.wordpress.com/about/about-me/ diakses tanggal 15 Agustus 2014
Surat Kabar (Koran)
De Ronnie, Indra O. Keumala, Azhari A.V., EF Santa, Mirisa Hasfaria, Loc.cit., dan Percaya Desra Percaya “Aceh: Peaceful Solution of Force?”, The Jakarta Post. 21 November 2000
KMP-Dialog RI-GAM Dilanjutkan, Kompas, 29 Juni http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/29/daerah/dial19.htm
2001.
Henry Dunant Centre Dinilai Tak Mampu Fasilitasi Dialog RI-GAM, Koran Tempo, 24 Agustus 2002
Pengdam Minta Henry Dunant Transparan, Koran Tempo, 8 Agustus 2002