RAKYAT REPUBLIK INDONESI ---------------------------------
LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI III DPR RI DENGAN MENTERI HUKUM DAN HAM DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI --------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Sifat Jenis Rapat Hari/tanggal Waktu Tempat Ketua Rapat Sekretaris Rapat Hadir
Izin Acara
: : : : : : : : : : : :
2013-2014 IV 3 Terbuka Rapat Kerja Komisi III DPR RI Senin,19 Mei 2014 Pukul 14.40 – 15.45 WIB Ruang Rapat Komisi III DPR RI. Drs. Al Muzzamil Yusuf, M.Si/Wakil Ketua Komisi III DPR RI. Dra. Tri Budi Utami, M.Si / Kabag Set.Komisi III DPR-RI. 20 orang Anggota dari 49 orang Anggota Komisi III DPR-RI. Pemerintah: 1. Menteri Hukum dan HAM RI 2. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (diwakili) 3. Ketua LPSK beserta jajarannya. : 5 orang Anggota. : 1. Penjelasan Presiden terhadap :RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 2. Pandangan mini Fraksi-fraksi terhadap RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 3. Membahas Mekanisme pembahasan RUU
KESIMPULAN/KEPUTUSAN I. PENDAHULUAN Rapat Kerja Komisi III DPR RI dibuka pukul 14.40 WIB oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Drs. Al Muzzamil Yusuf, M.Si dengan agenda rapat sebagaimana tersebut diatas.
II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN 1. Keterangan Presiden yang disampaikan melalui Menteri Hukum dan HAM dalam rangka pembahasan terhadap RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebagai berikut:
1
KETERANGAN PRESIDEN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Jakarta, 19 Mei 2014
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua, Saudara Pimpinan dan Anggota Komisi III DPR RI yang terhormat, Hadirin yang kami hormati, Pertama-tama marilah kita panjatkan Puji Syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena pada hari ini kita dapat hadir dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dan Pemerintah dalam rangka penyampaian keterangan Presiden atas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pemerintah juga mengucapkan terima kasih atas atensi DPR-RI yang telah memprioritaskan RUU ini pada masa sidang sekarang walaupun Pemerintah menyadari bahwa RUU yang dibahas pada Komisi III cukup banyak. Sebagaimana diketahui bahwa RUU tersebut telah disampaikan Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui surat nomor R-09/Pres/02/2014 tanggal 11 Februari 2014 dan di dalam surat tersebut Presiden menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, baik sendirisendiri maupun bersama-sama untuk mewakili Presiden dalam pembahasan RUU tersebut di DPR RI guna mendapatkan persetujuan bersama. Dalam kesempatan yang berbahagia ini, perkenankan kami mewakili Presiden untuk menyampaikan Keterangan Presiden atas RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Penyusunan RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan bagian dari upaya menyempurnakan beberapa substansi untuk menyesuaikan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor, dan ahli dalam konteks implementasi hukum acara pidana untuk mendorong upaya penegakan hukum dan hak asasi manusia. Saudara Pimpinan dan Anggota Komisi III DPR RI yang terhormat, Hadirin yang kami hormati, Pasal 28J ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selanjutnya dalam Pasal 28J ayat (2) diatur bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
2
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan penjelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan Saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya Saksi yang dapat mendukung tugas dari penegak hukum. Padahal, adanya Saksi dan Korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang telah berlaku selama lebih dari 7 (tujuh) tahun dan tentunya telah memberikan pengalaman bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai satu-satunya lembaga yang diamanatkan menjalankan tugas dan fungsi sesuai ketentuan dalam Undang-Undang tersebut. Sejak diberlakukannya Undang-Undang tersebut, LPSK kerap menemukan sejumlah kendala dan kelemahan yang cukup signifikan dalam melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya dalam konteks substansi pemberian perlindungan dan kelembagaan LPSK. Beberapa kendala dan kelemahan tersebut mengakibatkan upaya penegakan hukum ataupun penyelesaian berbagai tindak kejahatan belum dapat berjalan dengan maksimal. Proses pencarian kebenaran materil yang seharusnya ditopang dengan kesaksian yang memadai tidak dapat tercapai. Selain itu, dampak yang lebih luas adalah tidak terungkapnya kejahatan-kejahatan tertentu, misalnya kasus pelanggaran HAM yang berat, kejahatan terorganisir, kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus kejahatan seksual terhadap anak, kasus korupsi, dan kasus-kasus lainnya. Hal-hal yang ditemukan LPSK dalam praktiknya selama ini serta berbagai perkembangan dalam sistem peradilan pidana, merupakan salah satu alasan utama diperlukannya perubahan dan penyempurnaan secara komprehensif terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hal ini mengingat bahwa upaya pencarian keadilan dalam sistem peradilan pidana sejatinya tidak akan dapat dicapai jika sistem peradilan pidana mengabaikan fungsi dan peranan saksi dan korban dalam menemukan kebenaran materil dari suatu perkara pidana. Kebutuhan adanya perubahan tersebut telah berbanding lurus dengan harapan masyarakat luas akan pentingnya perlindungan saksi dan korban dalam rangka penegakan hukum, keadilan, serta perlindungan terhadap hak asasi manusia. Aspirasi publik untuk memperkuat keberadaan LPSK dalam menjalankan tugas dan fungsinya tercermin dari meningkatnya jumlah permohonan perlindungan dari tahun ke tahun, selain itu dukungan untuk melakukan perubahan undang-undang juga berasal dari lembaga-lembaga terkait yang berwenang baik dalam lingkup pemerintahan maupun dari Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk itu, secara umum, terdapat beberapa kelemahan dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menghambat pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban, antara lain:
3
Pertama, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum memenuhi perkembangan kebutuhan masyarakat termasuk standar dan instrumen hukum internasional; Kedua, keterbatasan kewenangan yang menyangkut substansi penjabaran dari pelaksanaan kewenangan LPSK yang berimplikasi pada kualitas pemberian layanan perlindungan saksi, korban, saksi pelaku, pelapor, dan ahli; dan Ketiga, kelembagaan yang belum memadai untuk mendukung pelaksanaan kewenangan LPSK dalam pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban. Saudara Pimpinan dan Anggota Komisi III DPR RI yang terhormat, Hadirin yang kami hormati, Dalam RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini dapat kami sampaikan beberapa substansi pokok sebagai berikut: 1. Penyelarasan definisi pokok dalam konteks Perlindungan Saksi dan Korban, yang disesuaikan dengan peraturan Perundang-undangan, standar, maupun instrumen Hukum Internasional yang relevan dengan perlindungan Saksi dan Korban, yang telah diratifikasi oleh negara Republik Indonesia; 2. Perluasan hak yang diberikan kepada Saksi dan Korban yaitu hak untuk dirahasiakan identitasnya, mendapat tempat kediaman sementara, dan mendapat pendampingan dalam proses peradilan. Selain itu, RUU ini memperluas subjek yang mendapatkan perlindungan selaras dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat yang meliputi juga pelapor (Whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collabolator), dan ahli. Pelapor dan Saksi pelaku memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi; 3. Pengaturan secara komprehensif tata cara pemberian bantuan, restitusi, dan kompensasi terhadap korban dan/atau keluarganya dalam rangka penguatan landasan hukum bagi aparat penegak hukum dalam pengajuan dan pelaksanaan pemberian bantuan, restitusi, dan kompensasi; 4. Penguatan kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang berupa revitalisasi organisasi dan penguatan kewenangan dalam rangka pelaksanaan pemberian perlindungan terhadap Saksi dan Korban; 5. Pengaturan mengenai perlindungan terhadap anak di bawah umur yang menjadi Saksi atau menjadi Korban yang memerlukan mekanisme khusus dan belum diatur; dan 6. Perubahan ketentuan pidana berupa penambahan terhadap subjek tindak pidana guna menjamin terwujudnya kepastian hukum. Saudara Pimpinan dan Anggota Komisi III DPR RI yang terhormat, hadirin yang kami hormati, Demikianlah keterangan Presiden terhadap RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini kami sampaikan. Besar harapan kami agar kiranya RUU ini dapat segera dibahas dan mendapatkan persetujuan bersama dari DPR-RI pada masa periode DPR-RI saat ini dan dilakukan sesuai dengan tahap-tahap pembicaraan yang telah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Atas segala perhatian dan kerjasama dari pimpinan dan Anggota Komisi III DPR RI yang terhormat, kami mengucapkan terima kasih, Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa melimpahkan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua, Amin. 4
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. ATAS NAMA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
2. Pandangan Fraksi-fraksi DPR RI terhadap RUU tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebagai berikut : 1) Fraksi PD disampaikan oleh Yth. Himatul Alyah Setyawati, SH.,MH. menyatakan persetujuannya terhadap RUU tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk disahkan dan ditetapkan menjadi Undang-Undang sesuai dengan perundangundangan yang berlaku. 2) Fraksi PG disampaikan oleh Yth. DR. H Deding Ishak menyatakan menerima penjelasan pemerintah dan menyetujui RUU tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk dibahas lebih lanjut. 3) Fraksi PDIP disampaikan oleh Yth. Drs. M. Nurdin, MM. Fraksi PDI Perjuangan menyetujui adanya perubahan terhadap UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta siap melaksanakan pembahasan lebih lanjut. 4) Fraksi PKS disampaikan oleh Yth. Drs. Adang Daradjatun menyatakan menyetujui RUU untuk dibahas agar lebih beradab dan berkeadilan. 5) Fraksi PAN disampaikan secara tertulis, yang menyatakan sepakat untuk membahas lebih lanjut. 6) Fraksi PPP disampaikan oleh Yth. Drs. A. Kurdi Moekri menyatakan bahwa UU yang ada saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, oleh karena itu F.PPP sepakat dan siap untuk membahas RUU perubahannya. 7) Fraksi PKB disampaikan secara tertulis menyatakan persetujuannya dengan catatan-catatan atas RUU tersebut untuk dibahas lebih lanjut. 8) Fraksi Gerindra disampaikan oleh Yth. Desmond Junaedi Mahesa, menyatakan persetujuannya RUU untuk segera membahas RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang diajukan Pemerintah. 9) Fraksi Hanura disampaikan secara tertulis oleh H.Syarifuddin Sudding, SH.,MH. pada pokoknya siap untuk membhas RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 3. Rapat Kerja menyetujui terhadap Mekanisme Pembahasan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 4. Diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama, Komisi III DPR RI menawarkan kepada Fraksi-fraksi untuk segera menyusun Dafar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
5
III. KESIMPULAN/KEPUTUSAN Setelah mendengarkan keterangan Presiden yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM serta pandangan fraksi-fraksi yang telah disampaikan melalui juru bicaranya masing-masing, Rapat Kerja Komisi III DPR RI menyetujui untuk membahas lebih lanjut RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Rapat ditutup tepat pukul 15.45 WIB PIMPINAN KOMISI III DPR RI WAKIL KETUA,
DRS. AL MUZZAMIL YUSUF, M.Si.
6