NASKAH PUBLIKASI
KONDISI PSIKOLOGIS WANITA ACEH MANTAN TENTARA GERAKAN ACEH MERDEKA (INONG BALEE)
Oleh : SITTI HALIMAH 02320230
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008
NASKAH PUBLIKASI
KONDISI PSIKOLOGIS WANITA ACEH MANTAN TENTARA GERAKAN ACEH MERDEKA (INONG BALEE)
Disetujui pada tanggal :
------------------------------------
Dosen Pembimbing Utama
H. Fuad Nashori, S.Psi., Msi.
KONDISI PSIKOLOGIS WANITA ACEH MANTAN TENTARA GERAKAN ACEH MERDEKA (INONG BALEE)
Sitti Halimah Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi psikologis wanita Aceh mantan Tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) setelah penahanan oleh TNI/POLRI. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah 5 orang wanita Aceh mantan Tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee). Penelitian ini berfokus pada kondisi psikologis wanita-wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang bersifat deskriptif, seperti transkip wawancara. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam terhadap subyek penelitian. Dari hasil tersebut diperoleh data-data yang mendukung pertanyaan penelitian yaitu Bagaimana kondisi psikologis wanita-wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) setelah penahanan yang dilakukan TNI/POLRI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek mengalami gangguan fisik dan psikologis setelah penahanan yang dilakukan TNI/POLRI. Sampai saat ini subyek belum pernah mendapat terapi yang layak. Kondisi semua subyek saat ini semakin lebih baik, optimis dan berpikir positif. Kata Kunci : Inong balee, TNI/POLRI, Kondisi psikologis.
I. PENGANTAR Aceh merupakan daerah yang sarat dengan tradisi pergolakan dan kekerasan yang merupakan dampak dari serangkaian sejarah yang panjang yang di alami masyarakat Tanah Rencong (Aceh Bersimbah Darah). Serangkaian pemberontakan yang dilakukan rakyat Aceh berawal dari ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah pusat, salah satunya adalah mengenai pemberian hak keistimewaan terhadap daerah Aceh yang sudah lama dijanjikan oleh pemeritah pusat yang tak kunjung dipenuhi. Untuk mengatasi hal ini pemerintah berulangkali melakukan upaya pendekatan secara militer yaitu memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM). Daerah Operasi Militer adalah cara pemerintah pusat menyelesaikan konflik dengan melibatkan militer dengan kekerasan untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai ke akar-akarnya tanpa mempertimbangkan nasib rakyat Aceh. Hal ini menambah kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah. Militer gagal merebut hati rakyat Aceh. Kematian, penghancuran desa di Aceh, pemerkosaan, memang menjadi konsukuensi logis setelah Darurat Militer diterapkan. Warga sipil adalah korban paling empuk dari dua pihak yang bersengketa. Darurat Militer juga memberi wewenang hampir tanpa batas ke Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). Menurut pasal 23 – 24 UU No 23/Prp/1959, kewenangan penguasa Darurat Militer begitu luas, bahkan nyaris tanpa batas. Sejak memerintahkan penangkapan orang yang dicurigai hingga membatasi penerbitan media massa. Akibatnya pelanggaran HAM terjadi dimanamana. Beberapa warga sipil dan aktivis HAM ditangkapi dengan tuduhan sebagai simpatisan maupun anggota GAM (Kontras, 2003).
Sejumlah kekerasan yang terus berlangsung telah menggores luka psikis yang berat di hati rakyat Aceh. Kemudian Gerakan Aceh Merdeka mengubah misinya dari menuntut keadilan menjadi tuntutan kemerdekaan bagi daerah Aceh. Korban-korban dan keluarga korban tindak kekerasan yang dilakukan militer menjadi simpatik atas perjuangan Gerakan Aceh Merdeka. Tidak sedikit korban dan keluarganya bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka ditambah lagi Gerakan Aceh Merdeka menyebarkan misi perangnya dengan perang sabilillah (perang di jalan Allah) untuk membebaskan diri dari kezaliman pemeritah. Salah satu contohnya adalah wanita-wanita Aceh yang menjadi tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee). Penerapan darurat militer di Aceh tanpa disadari telah melakukan pembalikan terhadap makna kata Inong balee yang semula sangat mulia tersebut. Operasi militer yang berlangsung di Aceh dalam kurun waktu satu tahun melirik juga Inong balee sebagai potensi ancaman untuk meluaskan perlawanan bersenjata. Para janda dari anggota GAM yang telah tewas dengan mudah diklaim sebagai Inong balee, apalagi mereka yang jelas-jelas terbukti terlibat melakukan perlawanan bersenjata (Iswandi, 2006). Perekrutan wanita-wanita Aceh sebagai Tentara Gerakan Aceh Merdeka yang dikenal dengan Inong balee dan informan bagi TNI/POLRI melibatkan dan menjadikan wanita dan anak-anak ke dalam konflik terbuka, atau menjadikan mereka bagian dari pelaku kekerasan oleh pihak-pihak yang bertikai, telah menyalahi peraturan perang dunia dan merupakan tindakan kejahatan perang (Jelajah, 2000). Peneliti sebagai rakyat Aceh telah banyak menyaksikan fenomena ini. Wanita-wanita ini direkrut menjadi tentara perempuan kemudian diberi pelatihan kemiliteran dan di persenjatai.
Konflik yang berkepanjangan di Aceh yang tidak ada habis- habisnya telah memakan korban yang tidak terhitung lagi jumlahnya, baik dari pihak TNI, GAM dan rakyat Aceh yang tidak berdosa. Hidup di daerah konflik setiap hari menjadikan rakyat menyaksikan dan mengalami tindak kekerasan yang dilakukan pihak- pihak yang bersenjata. Konflik ini juga telah membawa dampak yang sangat tidak baik pada perkembangan psikologis mereka serta menggangu kesejahteraan dan kesehatan psikologis semua pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Mereka harus hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Dalam keadaan seperti ini apabila secara terus- menerus berlanjut, maka pihak- pihak yang telibat dalam konflik ini kemungkinan besar akan mempengaruhi kondisi psikologis mereka, terlebih lagi pada wanita – wanita Aceh mantan Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) . Selama masa penahanannya dia diinterogasi dan mendapat kekerasan secara psikologis. Setelah orang tuanya melakukan negosiasi dan membayar uang tebusan dia dibebaskan bersyarat. Syarat yang ditentukan adalah harus memberi laporan dan tidak boleh berpergian keluar kota. Menurutnya hal ini sangat membawa efek negatif bagi psikologisnya. Kondisi yang dapat muncul akibat adanya kekerasan adalah: depresi, stress, dan kecemasan. Depresi merupakan bagian dari gangguan psikologis dengan karakteristik klinis berupa hilangnya kemampuan untuk mengontrol suasana hati dan pengalaman subyektif terhadap stres (Burn, 1998). Menurut Kaplan dan Sadock (1994) depresi adalah kehilangan energi, merasa sedih, tidak berharga dan merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, menarik diri dari orang lain, kehilangan minat serta kesenangan dalam melakukan aktivitas seharai-hari bahklan ada individu yang depresi berkeinginan untuk bunuh diri. Depresi merupakan
terganggunya fungsi psikologis individu yang baerkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala-gejalanya termasuk gangguan pada pola tidur seperti insomnia dan gangguan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya. Stres menurut Gibson dkk. (1996) dapat didefinisikan berdasarkan definisi stimulus dan definisi tanggapan. Definisi stimulus stres adalah kekuatan atau stimulus yang menggerakkan individu sehingga menghasilkan suatu tanggapan ketegangan. Dimana ketegangan tersebut dalam pengertian fisik mengalami perubahan bentuk. Sedangkan definisi tanggapan stres adalah sebagai berikut, stres adalah tanggapan fisiologis atau psikologis seseorang terhadap lingkungan penekan (stressor) di mana penekan adalah kejadian ekstern atau situasi yang secara potensial mengganggu. Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatanya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atah bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya yaitu, bila bukan merupakan respon terhadap perubahan lingkungan dalam bentuknya yang ekstrim kecemasan dapat mengganggu fungsi kita sehari-hari (Nevid, dkk. 2003).
A. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah diatas peneliti ingin mengetahui bagaimana kondisi psikologis wanita Aceh mantan Tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee).
B. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan memberi sumbangan teoritis bagi disiplin psikologi klinis khususnya mengenai kondisi psikologis wanita di daerah konflik. 2. Praktis Hasil penelitian ini akan menggambarkan kondisi psikologis wanita Aceh mantan Tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) dan diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait untuk segera mengambil langkah yang tepat dan melakukan rehabilitasi psikologis wanita-wanita Aceh yang terlibat dengan Gerakan Aceh Merdeka (Inong Balee).
C. Keaslian Penelitian Penelitian tentang kondisi psikologis wanita-wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) merupakan penelitian baru karena di Indonesia sendiri belum pernah secara langsung dan terbuka menerjunkan tentara wanita (KOWAT/POLWAN) ke medan peperangan. Adapun penelitian yang sudah pernah diteliti antara lain trauma akibat kerusuhan, bencana alam dan tsunami. 1. Topik Penelitian Topik yang diangkat dalam penelitian ini adalah kondisi psikologis wanita Aceh mantan Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) yang pernah ditangkap dan ditahan TNI/POLRI, sedangkan topik penelitian sebelumnya berfokus pada perbandingan antara Veteran yang mengalami PTSD dengan luka dan tanpa luka pada spinal cord yang dilakukan oleh Cynthia (1998). Penelitian yang
lainnya berfokus pada faktor resiko, stres daerah perang serta cara penyembuhan kembali kegembiraan, yang dilakukan oleh King dan King (1999). 2. Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah wanita mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) yang pernah ditangkap TNI/POLRI. Tinggal di Aceh, sedangkan penelitian sebelumnya adalah mantan tentara laki-laki (Departemen Veterans Of Affairs Medical Center, Bronx). Penelitian lainnya yaitu laki-laki dan perempuan mantan tentara nasional di Vietnam, serta veteran wanita yang berkerja di Rumah sakit Vietnam. 3. Metode pengumpulan data Penelitian menggunakan alat ukur skala CAPS (Clinician Administerred PTSD Scale), dasar teori DSM-III-R, skala Blake dan skala Blanchard. Metode yang digunakan dalam penelitian sebelumnya adalah studi kuantitatif eksperimenter. Dalam penelitian ini memakai metode kualitatif interview dan menggunakan guide interview dan teori gangguan psikologis (Stress, Depresi, Kecemasan). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan studi kasus. Kekhasan dalam penelitian ini terletak pada penempatan tentara wanita/ Inong balee dalam konflik yang berkepanjangan dan akan mengungkap kondisi psikologis mereka. Untuk mengungkap hal tersebut diperlukan wawancara secara terfokus.
D. Responden Penelitian Dalam penelitian ini peneliti mengambil responden yang relevan yaitu wanita-wanita Aceh yang pernah bergabung dalam tubuh Gerakan Aceh Merdeka dan menjadi tentara wanita gerakan tersebut. Mengenai target responden sendiri adalah wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka yang pernah tertangkap oleh TNI/ POLRI di daerah Aceh. Jumlah subyek sebanyak 5 orang.
E. Metode Pengumpulan Data Penelitian kualitatif bersifat terbuka dan luwes. Metode dan tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam disesuaikan dengan masalah. Beberapa metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif antara lain observasi wawancara, diskusi kelompok terfokus, studi riwayat hidup dan lain sebagainya (Poerwandari, 2001). Untuk dapat memperoleh gambaran tentang kondisi psikologis wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka, maka diperlukan metode yang tepat agar bisa terbangun rasa kepercayaan subyek terhadap peneliti sehingga dapat mengumpulkan data yang mendalam dan valid. Berdasarkan pertimbangan situasi subyek dan keberadaan kancah penelitian di daerah pasca konflik maka peneliti menggunakan beberapa metode yaitu : (1) Wawancara mendalam/ in depth Interview, (2) Dokumentasi.
F. Pertanyaan Penelitian Bagaimana kondisi psikologis wanita-wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) setelah penahanan yang dilakukan TNI/POLRI ?.
G. Analisis Pengumpulan Data Analisis data yang digunakan adalah analisis tematik sebagai dasar penelitian kualitatif. Boyatzis (Poerwandari, 20001) menyatakan bahwa pengunaan analisis tematik ini memungkinkan peneliti menemukan pola pihak lain yang tidak melihatnya secara jelas. Pola dan tema itu tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Setelah kita menemukan pola (seeing), kita akan melakukan klarifikasi atau mengkode pola tersebut seeing as dengan memberi label, definisi atau deskripsi. Menurut Patton (Maleong, 1989), analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Strauss dan Corbin
(Poerwandari, 2001) membagi langkah coding dalam
tiga bagian, yakni coding terbuka (open coding), koding aksial (axial coding). Dan coding selektif (selective coding). Coding terbuka memungkinkan untuk mengidentifikasi kategori-kategori, properti-properti, dan demensi-demensinya. Tahap selanjutnya adalah koding aksial yang dapat mengorganisasikan data dengan mengembangkan hubungan (koneksi) antar kategori, atau antar kategori dengan kategori yang lain. Tahap terahir adalah koding selektif, peneliti menyeleksi kategori yang paling mendasar dan secara sistematis menghubungkannya dengan kategori yang lain serta menvalidasi hubungan tersebut.
II. INDIKATOR GANGGUAN KLINIS Indikator gangguan klinis terhadap kondisi psikologis seseorang berdasarkan DSM-IV (APA,1994) diantaranya : a. Gangguan kecemasan 1. Gangguan panik tanpa agorapobia 2. Gangguan panik dengan agorapobia 1. Agorapobia tanpa riwayat gangguan panik 2. Pobia spesifik danPobia sosial 3. Gangguan obsesif kompulsif 4. Gangguan stres pasca traumatik 5. Gangguan stres akut dan Gangguan kecemasan umum 6. Gangguan kecemasan akibat kondisi medis umum 7. Gangguan kecemasan dihubungkan dengan pengguanaan zat 8. Gangguan kecemasan yang tidak dapat ditentukan b. Gangguan Mood (perasaan) 1. Gangguan depresi berat 2. Episode tunggal dan Rekuren 3. Gangguan distimik dan Gangguan depresif YTT c. Gangguan tidur Gangguan tidur parasomnias 1. Ganggaun mimpi buruk dan Gangguan teror tidur 2. Gangguan tidur berjalan dan Gangguan parasomnias YTT 3. Gangguan tidur yang dikaitkan dengan dengan gangguan mental yang lain.
d. Gangguan penyesuaian 1. Gangguan penyesuaian dengan perasaan depresi 2. Dengan kecemasan dan Dengan campuran gangguan emosi dan tingkah laku 3. Dengan campuran antara perasaan kecemasan dengan depresi dengan gangguan tingkah laku
DSM-IV-TR, 2000 (Nolen, 2007) yang membagi karakteristik simtom gejala pasca trauma dalam tiga kategori menurut karakteristiknya yaitu ; 1. Mengalami kembali peristiwa traumatik; a. Ingatan distress terhadap peristiwa yang mengerikan b. Mimpi distress mengenai peristiwa yang mengerikan 2. Emosi yang kaku dan pengaruhnya Menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan tentang peristiwa tersebut a. Menghindari kegiatan, tempat atau orang yang berkaitan dengan peristiwa tersebut b. Mengalami kesulitan kalau mengingat aspek penting dalam peristiwa tersebut. Tidak tertarik lagi dengan kegiatan sehari-hari dan Perasaan terasing dari orang lain c. Ketidakmampuan mempunyai perasaan cinta dan perasaannya terbatas d. Perasaan bahwa masa depannya akan gelap atau putus asa. 3. Terlalu waspada secara kronis a. Kesulitan tidurnSulit berkonsentrasi atau sering terbangun. b. Waspada berlebihan dan Reaksi berlebihan ketika kaget/terkejut.
1. Kondisis yang dialami Inong balee Akibat kekerasan dan terlibat dalam konflik secara terbuka muncul perasaanperasaan seperti waspada berlebihan di manapun berada termasuk di rumah sendiri, perasaan curiga yang berlebihan pada orang yang baru dikenal atau orang yang memiliki hubungan dengan kejadian traumatik, mengalami gangguan tidur, sulit mengendalikan emosi kaget secara berlebihan ketika melihat seragam loreng dan mendengar derap sepatu serta suara mobil yang keras, reaksi emosi yang berlebihan, trauma terhadap simbol-simbol perang, dan berusaha menghindar dari tempat yang didiami dan didatangi pelaku kekerasan sehingga akan mengganggu kondisi psikologisnya. Walaupun demikian Inong balee sampai saat ini kebanyakan masih berusaha untuk menjalani kehidupannya dan mereka terlihat masih mampu melakukan interaksi sosial dan bersikap hangat terhadap lingkungannya.
III. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KANDISI PSIKOLOGIS NEGATIF Gangguan kecemasan yang menyakut dengan periswa traumatis yaitu gangguan stres pasca trauma yang dapat menyebabkan meningkatnya faktor resiko pada seseorang untuk mengembangkan gangguan psikologis diantaranya menurut Robert & Thomas (2003) ada tiga faktor resiko seseorang menjadi korban gangguan psikologis yaitu; 1. Faktor sosial Adanya kealamian dari trauma dan pada tingkatan beberapa individu telah mencerminkan trauma tersebut dan adanya dukungan sosial yang mengikuti trauma, korban trauma sering dapat mengembangkan gangguan psikologis ketika trauma lebih hebat, dan ancaman kehidupan dan besarnya kebutuhan perlindungan. Contohnya korban pemerkosaan yang diduga akan lebih mudah mengembangkan gangguan pasca trauma jika pemerkosaan itu lengkap atau selesai (Galea dkk, 2002). 2. Faktor biologis Faktor biologis merupakan kecenderungan seseorang untuk mengembangkan gangguan psikologis karena ada sifat bawaan dari keluarga dengan latar belakang memiliki gangguan kecemasan. 3. Faktor psikologis Faktor biologis merupakan hasil kombinasi teori operant conditioning dan classical conditioning. Operant conditioning merupakan ketakutan terbesar ketika teror menyatu dengan trauma, sebab diasosiasikan dengan peristiwa trauma. Classical conditioning berada pada mempertahankan ketakutan.
IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KANDISI PSIKOLOGIS POSITIF Lingkungan sosial tertentu dapat menompang bagi kuatnya kesehatan mental sehingga membentuk kesehatan mental yang positif, tetapi pada aspek lain lingkungan sosial juga dapat pula menjadi tressor yang dapat menggangu kesehatan mental (Notosoedirdjo & Latipun, 1999). Kaplan dkk (1994) mengatakan bahwa adanya mekanisme hubungan interpesonal dengan tujuan untuk melindungi individu lain dari efek stres yang buruk. Pada umunya individu mempunyai sistem dukungan sosial yang kuat kerentanan terhadap penyakit mental adalah rendah, dan kemungkinan pemulihan gangguan-gangguan psikologis menjadi lebih tinggi. Sariana (2007) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah interaksi atau hubungan yang dapat membantu individu dari rasa kesedihan, terisolasi, efek stres yang buruk dan dapat membangkitkan semangat hidup individu tersebut yang dapat diperoleh dari orang lain yang dicintai seperti keluarga, teman dekat, pacar dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Sehingga individu merasa diperhatikan dihargai dinilai dan dicintai. Aspek dukungan sosial merupakan sudut pandang individu terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang dapat memberi nilai yang positif atas apa yang dihadapi oleh individu tersebut. Ada dua aspek utama dalam dukungan sosial yaitu : received support (dukungan yang diterima) dan perceived support (dukungan yang dirasakan). received support artinya prilaku membantu yang muncul secara alamiah yang diberikan, sedangkan received support diartikan sebagai keyakinan bahwa prilaku membantu akan tersedia ketika diperlukan (Norris dan Barrera, 1996).
V. HASIL PENELITIAN
1. Deskripsi Kondisi Subyek Semua subyek dalam penelitian ini berjumlah 5 orang wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka yang ditangkap dan ditahan oleh TNI/POLRI selama darurat militer kedua. Adapun data kondisi lengkapnya sebagai berikut : Tabel I. Deskripsi Kondisi Subyek Subyek
Umur
L
28
F
37
D
C
25
37
Lama ditahan -
Perlakuan yang didapat Dipukul, ditampar, ditendang
Reaksi mereka ketakutan
-
Dipukul disetrum
-
Dipukul, ditampar, ditendang dijambak, dijepit telinga, dibentak, diancam akan dibunuh, diacam akan diperkosa Dipukul, ditampar, ditendang dijepit telinga, dibentak, diancam akan dibunuh, diacam akan diperkosa Dipukul, ditendang, ditampar, diancam
Ketakutan, menangis, ingin bunuh diri, pasrah
4 bulan
4 bulan
N
28
Kondisi sekarang - optimis, berpikir positif - perasaan positif - memiliki hubungan sosial yang baik - optimis, berpikir positif perasaan positif memiliki hubungan sosial yang baik - optimis, berpikir positif perasaan positif memiliki hubungan sosial yang baik
Ketakutan, menangis, ingin bunuh diri, pasrah
- optimis, berpikir positif - perasaan positif - memiliki hubungan sosial yang baik
Ketakutan,
- optimis, berpikir positif - perasaan positif - memiliki hubungan sosial yang baik
2. Hasil Penelitian Hasil penelitian diperoleh dari hasil interview antara peneliti dan subyek penelitian, adapun hasil penelitian dan pembahasannya sebagai berikut : A. Gangguan negatif yang muncul diantaranya: a. Gangguan kecemasan : Secara umum besar Inong balee ini mengalami kembali peristiwa traumatik dalam kehidupannya sehari-hari sebagai masyarakat biasa. Hal ini dapat dilihat dari hasil kutipan wawancara berikut : 1. Gejala Stres Ingatan Semua subyek masih mengingat kejadian traumatis di masa lalu dan ingatan ini muncul kembali tiba-tiba walaupun subyek telah berusaha untuk melupakannya, ingatan yang sering muncul seperti: di saat penggerebekan rumah, di tahan, dan di siksa. Mereka teringat saat sadar maupun saat tidak sadar karena mental subyek merekam apa yang dirasakan dan di alami ketika masa perang seperti penembakan orang di depan mata dan suasana mencekam. Untuk itu subyek harus melakukan usaha melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya dan sudah masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Ingatan distress ini muncul siang maupun malam ketika subyek berada sendiri, saat tidak ada kegiatan, dan saat subyek mau tidur. “Sampai sekarangpun saya masih mengingatnya, masa-masa lalu kita yang sudah-sudah, kita sudah pernah disiksa contohnya digerebek rumah, saya memang tidak bisa melupakan hal itu . . .” (L. 45-49). “Karena kita pernah diperlakukan seperti itu makanya kita teringat kembali, apakah seorang laki-laki bagaimana memperlakukan kita, apakah ada memperlakukan begini . . .” (L. 212-215).
“Teringat juga sekali-kali, walaupun sudah kita kubur terbayang juga sekali-kali, sebab pedih sekali” (F. 59-61) “Teringat” (D. 348). “Saat saya tidur . . .” (D. 358). “ . . . kalau saya tidak bisa tidur, saya duduk sendiri pikiran saya melayang kemana-mana . .” (D. 358-360). “Teringat, sebab saya pernah ditahan, disiksa dulu, yang sangat teringat dan paling berkesan disitu” (D. 417-419). “Entahlah, maksudnya kalau mata kupejamkan hati tidak tenang, susah begitu” (D. 589-560). “Nanti kalau sendiri terpikirkan teringat seperti itu, tidak mesti malam siangpun teringat seperti itu” (C. 49-51). “Waktu sepi-sepi” (N. 68). “Ingat sejarah-sejarah yang telah lalu, begitu teringatnya, kadang-kadang orang yang ditembak didepan, kita lari, kan teringat sekali seperti itu” (N. 72-74). “Ingat, kadang-kadang, dibakar apa saja nanti, apa entah dibakar sama anak-anak sudah mengingatkan kejadian di sana” (N. 68-70). Terbayang-bayang juga ketika melihat mereka (N. 88-89).
2. Mengalami perasaan itu dengan perasaannya seolah peristiwa itu terjadi lagi Empat subyek masih mengalami kembali kejadian traumatis dengan perasaanya seolah-olah dia masih berada dalam kejadian tersebut sehingga merasa peristiwa itu terjadi kembali, seperti; merasa terbayang saat pemukulan, saat hendak bunuh diri dan saat mendapat pelatihan. Hal ini muncul saat subyek melihat kembali tempat, orang dan sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis. “Saat teringat, ada” (F. 65). “Ketika tidak ada kerjaan, saat duduk sendiri” (F. 67). “Terbayang saat dipukul dulu, ada” (D. 371). “Itu kalau saya melewatinya sampai sekarang selalu kita berdua hampir mati disitu, kami berdua saat itu mau loncat kedalam sumur, tidak sangup menahannya lagi, tidak sangup berpikir lagi, kami mau melompat berdua, berdualah saat itu, kan ada pintu sudah lama sekali kami berdua disumur, sudah selesai saya renungkan, ayah pun sudah diculik sudah tidak ada artinya lagi hidup ini, setelah itu ditendang pintunya, saya mau
melompat tidak terpikir lagi tentang dosa, soalnya saya gimana ya, sudah trauma sekali, panas sekali rasanya saya, susah sekali, panas sekali saya begitulah saya dulu, sudah ditendang sampai saya tidak diizinkan lagi masuk ke kamar mandi dikawal. (D. 421-437). “Ketika saya lihat ke gunung, teringat masa-masa latihan sekarang kami seperti ini sudah merasakan pahit dan senang, sudah kami rasakan semua” (C. 53-56). “Ya, ya seolah-olah kami masih merasakannya” (C. 59-60). “Saya teringat . . ” (C. 89). “Tidak ada apa-apa, nanti kalau kita lewat kita melihat tempat itu kita menjadi sedih, teringat untuk diri sendiri seperti itu, kita mau melakukan apa tidak tau hendak melakukan apa, kita sendiri seperti ini, ya sudah begitu saja, kalau kita pikirkan terus malah jadi stress, saat diperlakukan kita begitu cukup stress” (C. 94- 101). “Teringat apa yang pernah kita alami, mengapa pasukan inong balee sekarang biasa saja, walaupun tidak ada kegiatan, teringat ketika aman seperti ini saat konflikpun begini, tidak ada perubahan” (L. 65-69). “Ya kita sebagai orang Aceh pasti ada rasa dendam, ada rasa sakit hati kepada mereka tapi kita sudah diberikan kedamaian seperti ini, jangan lagi kita, biasa saja, tapi timbul dalam pikiran kita dulu diperlakukan seperti ini, jangan pernah ada lagi sekarang” (L. 90-95) Namun subyek ini sudah tidak merasa lagi berada dalam kejadian tersebut; “ Tidak terasa lagi”. (N. 79)
3. Stres psikologi dan fisik yang kuat ketika menginggat peristiwa tersebut Pada umunya saat mengingat kejadian traumatis subyek mengalami distress psikologis dan fisik yang kuat seperti, badan lesu, lemas, sakit badan, jantung berdebar, keluar keringat, menangis, panik, sedih, sakit hati, pedih, kesal, marah, susah, benci dan dendam. “Badan lesu seperti itu, ketika teringat buat mereka ya, saat teringat kontak senjata itu seperti panik begitu” (L. 72-74). “Terpikirkan, sedih, sedih sendiri dan orang, kita seorang pasukan inong balee diperlakukan seperti itu, tidak berarti, tidak berarti sama mereka, begitu” (L. 185-188).
“Sakit badan, ketakutan, lemas tapi marah, sakit hati, Panas rasanya hati ini” (F. 70-71). “air-air mata keluar” (F. 73). “Itu jantung berdebar-debar terus, kesal . . .” (F. 86). “ . . . kalau teringat hal itu saya merasa sangat pedih . . .” (D. 348-349). “Kalau terbayang, terbayang kesal marah ketika dipukul dulu ada” (D. 365-366). “Sakit, susah” (D. 374). “Keluar keringat, kesal marah seperti itu, kan banyak keluar keringatnya, sehabis kita hayal bukan hanya keringat air mata juga keluar” (D. 385-388). “Ketika pikiran saya berputar kekejadian itu bagaimana gak kesal sekali” (D. 399400). “ . . . merasa lemas” (C. 60), “Ketakutan, tapi tidak terlalu takut” (C. 64), “ . . . seandainya kalau bisa gimana ya, gimana, sakit hati, sakit hati benci, kalau bisa kita bunuh seperti itu, sakit hati” (C. 89-92). “Ada sekali-kali, dalam tidur pernah juga menangis (C. 309-310). “Entah tidak tahu” (C. 312). “Itu menagis sendiri saya, sedih, tapi saya teringat saya pendam dalam hati begitu” (C. 319-319). “Merasa sedihlah, karena yang dulu-dulu itu sudah pernah kita alami, merasa sedih saya” (N. 98-99). “Tapi, merasa benci, benci, seandainya berjumpa dengan orang yang saya kenal, rasanya entah apa berbicara orang itu, masih ada dendam” (N. 103-105). “Kesal” (N. 107). Namun ada seorang subyek yang hanya mengalami distress psikologis saja tapi tidak mengalami distres fisik hal ini ditunjukkan oleh: “Biasa” (N. 84). “Tidak gementar, kecuali dulu, saat awalawal kalau kita lihat mereka jangankan orangnya melihat bajunya aja takut”. (86-89).
4. Waspada berlebihan. Pada kategori waspada berlebihan subyek merasa ada orang yang selalu memata-matai sehingga takut diberitahu keberadaannya. Ciri/indikatornya yaitu : merasa curiga dan terancam, kehilangan kepercayaan dan bersikap
terlalu hati-hati, tidak asal-asalan
melangkah atau mengambil keputusan, tidak berani seperti dulu, dan selau merasa takut.
“Kecuali cuak (mata-mata/informan) itu akan diberitahukan tentang kita. Ada satu-satu yang jahat pasti kita akan diberitahukan keberadaan kita” (L. 132-135). “Reaksi, kita lihat bagaimana akalnya, maksudnya ini bagaimana apakah dia melakukan hal baik atau tidak baik harus kita selidiki dulu, kita harus pintar mengapa?, karena begini-begini kta langsung percaya kan tidak baik, istilahnya masuk kedalam duri”(L. 2001-2006). “Dalam pikiran kita ada, ada merasa terancam”(L. 210). “Karena diberitahukan oleh orang lain, istilahnya cuak (mata-mata)” (222-223). “Itu saya hati-hati sekali, yang seperti itu saya tidak sembarangan kalau tidak kenal, takut jadi seperti dulu” (F.160-163). “Ada, itu memang ada, ada mata-mata” (F. 166). “Tidak pernah, kalau pergi selalu bersama dengan keluarga” (F.169-170), “Tidak berani saya berpergian sendiri tidak sama seperti dulu” (F. 172-173). “Ternyata ada orang yang memberitahukan lagi, hai ada mata-matakan” (D. 293-294). “Dulu kan banyak sekali matamata “ (D. 296). “Takut, kalau ada yang mengajak sesuatu yang tidak jelas saya tidak mau lagi, tidak mau asal-asalan melangkah” (D. 379-381). “Tidak terancam tapi saya hatihati juga, saya sudah banyak pengalaman” (D. 634-635), “Karena pengalaman tadi” (D. 637). “Ada, itu pasti ada, bagaimana engak, kalau engak mana mungkin ketahuan kami sudah pulang kerumah, pasti ada yang melaporkan, ada mata-mata” (D. 640-643). Tidak pernah, selalu ada ditemani seperti beli baju ada teman juga (D. 647-648). “Ada, ada orang kampung, orang kampung memang sudah tahu kepulangan saya” (C. 344-345). “Sudah diketahui kepulangan saya, saya tidak ada rencana tinggal dikampung, tapi tidak sempat berangkat lagi” (C. 348-350). “Tidak pernah, saya tidak seberani dulu” (C. 353). “Tentu ada, karena diberitahu oleh Syarwan, saya tahu itu tapi untuk apa saya ingat lagi” (N. 247-248). “Tidak pernah, kalau berpergian sama suami atau keluarga” (N. 250-252). “Mungkin juga takut, tapi karena jauh juga” (N. 254).
5. Reaksi berlebihan ketika kaget/terkejut. Sejak ditangkap semua subyek selalu dibentak-bentak dan dianiaya sehingga menimbulkan stress. sehinggai reaksi subyek menjadi berlebihan ketika kaget/terkejut. Hal ini dapat dilihat pada indikator;
ketakutan, jantung berdebar, lemas, tidak bisa berbuat berbuat apapun, kesal, sakit hati, sedih, gelisah dan histeris. “Ada, ketika masa konflik memang saya sudah jantungan tapi sekarang saya sudah berobat, sudah sembuh” (L. 243-245). “Karena kita sering dibentak oleh mereka, kita sering apa, sering dianiaya oleh mereka makanya pikiran kita cepat stress jadilah kita jantungan” (L. 247-249). “Biasa saja karena saat kaget kita merasa sedih, saat seperti itu merasa gelisah jadi kita duduk-duduk aja agar tidak merasa gelisah, bekerja memang tidak sanggub lagi, karena kita sudah gelisah, ketakutan, begitu” (L. 252-256). “Ya, memang mudah sekali saya kaget, kalau dengar suara ledakan saya kaget, suara mobil yang keras, suara orang yang keras saya kaget juga” (F. 176-179). “Saya ketakutan, hati berdebar, lemas, terus tidak bisa berbuat apa-apa selama beberapa menit, lalu kesal, sakit hati, entah apa ganguin orang” (F. 182-185). “Cepat sekali saya kaget, kalau saya mendengar meriam bambu anak-anak, suara mobil yang keras, kalau ada orang yang ribut-ribut, itu memang cepat sekali saya kaget.” (D. 652-656), “Tidak ada, saya lemas, jantung saya berdebar, takut” (D. 659-660). “Cepat sekali, sedikit-sedikit orang kagetin langsung kaget, kalau saya masuk kerumah ada orang sembunyi dibelakang pintu itu saya histeris terduduk, kaget sekali, ketakutan sekali (C. 358-361). “Biasanya kalau sedang begitu ada orang yang kagetin tidak bisa berbuat apa-apa, saya terduduk tidak berbuat apapun, “mengapa kagetin saya” saya katakan begitu, “Mengapa kageti saya seperti itu, saya kasih tahu kalau saya kaget sekali saya bisa jantungan”, saya katakan” (C. 369-375). “Ya, biasa kalau saya dengar sesuatu seperti suara sepatu banyak-banyak, suara letusan seperti meriam bambu, dan kalau dikagetin kaget juga” (N. 257-259). “Tidak ada, saya ketakutan, jangtung saya berdebar, lemas, gak bisa buat apapun” (N. 261-262).
b. Gangguan mood (perasaan) Sejak adanya penangkapan itu, pada umumnya subyek mudah terganggu dan sering marah tanpa alasan. Perubahan emosi yang tidak menentu oleh
subyek dapat dilihat dari indikator cepat kesal dan tersinggung, panik, sakit hati, panas hati, judes, marah tanpa alasan, tidak bisa mengendalikan dan cepat emosi, mudah sedih, mudah menangis. “Selama ini ada, kenapa?, karena kita sudah pernah disiksa-siksa begitu jadi pikiran kita sekarang cepat panik ya, kata orang cepat kesal, cepat marah, cepat tersinggung” (L. 179-182). “memang kita cepat marah, cepat kesal, judes tetapi tetap kita beritahukan teman dulu” (L. 196-198). “Ada, setelah ditangkap itu memang cepat sekali marah, apalagi kalau saya melihat mereka langsung sakit hati, kesal, cepat marah, memang tidak sama lagi dengan yang dulu, tapi kalau tertawa sendiri tidak ada” (F. 145-149). “ . . . cepat kali marah kalau ada masalah, tidak bisa saya kendalikan emosi tidak sama lagi . . .” (F. 154-155). “Kesal, marah, kesal, kesal, kesal sendiri. Kadang-kadang saya emosi sendiri tidak jelas apa masalahnya, trus saya berdoa dengan ibu saya, trus emosi sedih sendiri, kadang sedih . . . sedih begitu, saya kalau untuk orang sayang sekali, kalau saya marah emosi, emosi terus jadi kesal-kesal hati ini” (D. 482-489). “Itu memang saya cepat sekali marah, setelah kejadian itu, sedikit-sedikit emosi kalau ada masalah cepat sekali marah, cepat panas hati, tapi kadang-kadang sewaktu-waktu mudah juga menangis, mudah iba hati apalagi kalau ingat kejadian dulu” (D. 611-617). “Kalau tertawa sendiri tanpa sebab ya engak pernahlah, kalau marah cepat sekali, cepat kesal, tapi saya juga cepat baikkan lagi” (N. 236-238). Namun ada satu subyek yang masih bisa mengendalikan emosinya dengan baik yaitu: “Kalau marah agak susah, tidak sering begitu, walaupun ada yang menyampaikan ada orang yang mengatakan tidak baik untuk kamu, kalau saya masih sanggup sabar saya tidak marah malah dengan orang yang mengatakan hal itu saya tersenyum, orang itu pasti punya perasaan sendiri, kalau tidak alhamdulillah, tidak marah walaupun dibicarakan orang lain” (C. 220-227).
c. Gangguan penyesuaian 1. Menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan tentang peristiwa tesebut. Pada umunya subyek berusaha menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan tentang peristiwa tersebut dengan cara, berusaha mengubur dan melupakan kejadian tersebut dengan melakukan ibadah sholat, melakukan aktifitas lain seperti menonton televisi, mendengar musik, mencari teman untuk berbicara, dan merasa keberatan apabila disinggung tentang peristiwa tersebut. Hal dimaksutkan agar tidak membuat diri subyek gelisah dan stress. “Saya biasa saja, jualan-jualan agar tidak tidak teringat yang begitu lagi nati mebuat stress, itu kegiatan seharihari yang saya lakukan” (L. 79-81). “ . . tapi tidak saya ingat lagi, itu sudah kukubur semua” (F. 55-56). “Tidak saya lakukan apa-apa, kadang-kadang saya duduk dibalai-balai berbicara dengan orang lain agar tidak teringat lagi” (F. 76-78). “Saya katakan itu sudah tidak perlu diingat lagi“ (F. 82). “Itu bukan saya tidak mau menceritakan, sudah saya lupakan” (F. 94-95). “ . . . saya sudah berjanji pada diri sendiri kejadian yang dulu sudah saya kubur semua, sekarang saya memulai kehidupan yang baru, tidak sanggup hidup seperti dulu lagi, itu sudah saya kubur . . .” (D. 349-359). “Ya kumpulkumpul sama teman-teman, ngobrol-ngobrol, sholat begitu tiap hari” (D. 403-404). “Itu, itu sudah membuka dan kembali lagi ke kejadian dulu, anda menanyankan, kalau bisa tidak usah ditanyak-tanyak lagi ya!, sudah saya tutup rapat” (D. 409-412). “Biasanya saya hidupkan musik, agar rileks he . . he, nonton lagu” (C. 70-71).
Namun ada satu subyek tidak berusaha menghindari pembicaraan mengenai peristiwa tersebut:
“Saya biasa saja karena sudah pernah mengalaminya, biasa aja, cuek aja memang selalu ada jangan mebuat diri sendiri gelisah lagi” (L. 84-86). “Tidak apa-apa, akan saya jawab dengan benar, apa yang saya alami saya ceritakan semua” (C. 78-80). “
2. Menghindari kegiatan, tempat atau orang yang berkaitan dengan peristiwa tersebut Hanya satu orang subyek berusaha menghindari kegiatan, tempat atau orang yang berkaitan dengan peristiwa tersebut seperti adanya usaha untuk menghindar dan tidak mau melihat tempat dan orang berhubungan
dengan
tempat
kejadian.
Hal
ini
supaya
tidak
mengingatkan kembali peristiwa dan rasa benci dan dendam. “ . . . kalau bisa gak usah saya lihat” (F. 86-87). “Begitu juga, kalau bisa saya hindari, saya hindari” (F. 89-90).
3. Tidak tertarik lagi dengan kegiatan sehari-hari Subyek merasa kehilangan semangat beraktivitas karena cepat capek. Tidak tertarik lagi dengan kegiatan sehari-hari dapat dilihat dengan indikator seperti : cepat capek, tidak sanggup berkerja berat dan penurunan semangat pada subyek sangat drastis akibat peristiwa tersebut. “Kalau cepat capek sampai sekarang masih, tidak sanggup untuk kerja berat lagi, kalaupun pergi kehutan, kesawah cuman jalan-jalan aja agar senang padahal tidak sanggup untuk kerja berat lagi” (F. 104-108). “Ada, kalau saya pikirkan tidak sanggup bekerja lagi . . .” (D. 481-482). “Saya cepat capek, cepat sekali saya capek sekarang” (C. 228-229). “Kalaupun saya kerja tidak begitu lagi, kalau dulu saya tumbuk tepung lancar sekali, kalau sekarang
cepat sekali capeknya, apapun yang saya lakukan cepat capek, entah sudah jatuh sekali semangat saya, saya tidak tahu” (C. 231-235). “Tidak sama lagi seperti dulu, dulu mau ngapain aja enak begitu” (C. 240-241). “Ada, setelah itu saya memang tidak sanggup kerja berat lagi, cepat capek . . .” (N. 206-207).
4. Mengalami kesulitan kalau mengingat aspek penting dalam peristiwa tersebut. Dua orang subyek yang mengalami kesulitan mengingat aspek penting yang terjadi dalam peristiwa tersebut, seperti adanya gejala lupa hari dan tanggal kejadian serta hanya mampu mengingat sedikit proses kejadian tersebut. Ada juga berusaha dengan sengaja melupakan kejadian agar dapat menjalani masa depan. “Datangnya subuh digrebek rumah, ditendang pitu, terus ditanya sama ibu, setelah itu ditangkap, walaupun kita merasa bersalah tapi kita biasa saja, walaupun kita sudah disiksa kita biasa saja, kita tetap pemberani, saya lainya lupa” (L. 102-106). “Itu sudah saya lupakan, yang saya ingat sedikit, bisa saya ceritakan” (F. 40-41) . “Sudah lupa, gak usah ditanya lagi” (F. 51).
d. Gangguan tidur 1. Kesulitan merasa dan mempertahankan tidurnya Akibat peristiwa tersebut empat subyek kesulitan merasa dan mempertahankan tidurnya karena sering terbangun dengan indikator, sering merasa susah, tidak tenang, gelisah, dan sering kaget saat terutama saat subyek sedang tidur. “Ada yang nyenyak ada juga yang susah tidurnya, gelisah kalau ingat kejadian dulu, lebih banyak yang susah tidurnya” (F. 139-141).
“Saat saya tidur, kalau saya tidak bisa tidur” (D. 358359). “Kadang - kadang tidurnya nyeyak, kadang- kadang susah” (D. 585-587). “Entahlah, maksudnya kalau mata kupejamkan hati tidak tenang, susah begitu” (D. 587-590) “Ada, kaget sediri seperti itu, tidak sadar kaget begitulah” (C. 294-295) “Nyenyak, kadang gelisah juga kalau lagi banyak pikiran” (N. 230-231).
Namun ada seorang subyek yang tidak mengalami hal tersebut yaitu; “Ada juga terpikirkan masalah dulu, tapi sekarang sudah damai alhamdulillah saya ucapkan, begitu”. (L. 174-181). “Tidak, tidak” (L. 184).
2.
Mimpi buruk mengenai peristiwa yang mengerikan Pada umumnya kejadian traumatis yang pernah dialami subyek tersimpan di alam bawah sadar dan muncul kembali saat subyek tidur sehingga menjadi mimpi yang sangat mengerikan serta disertai dengan gejala distres fisik dan psikologis. “Ada tapi sekali-kali” (F. 136). “Adalah sekali-kali apalagi kalau kurang darah, ada bermimpi” (D. 579-580). “Kadang- kadang tidak ada, sekalikali waktu ada tidak mesti selalu” (D. 582-583). “Ada juga sekali-kali” (C. 292). “Ada, tapi tidak sering, sekali-kali” (N. 228).
Namun ada satu subyek tidak mengalami lagi hal tersebut yaitu; “Ada juga terpikirkan masalah dulu, tapi sekarang sudah damai Alhamdulillah saya ucapkan, begitu” (L. 172). “ Tidak-tidak” (L. 176)
2. Aspek psikologis positif yang muncul diantaranya : Namun ada beberapa aspek gangguan psikologis yang seharusnya muncul namun tidak muncul pada semua subyek ini adalah :
a. Mampu melakukan hubungan sosial dengan baik Semua subyek dapat melakukan interaksi dan merasakan adanya ikatan hubungan sosial yang baik dari orang-orang terdekat dan lingkungan sekitarnya, hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara berikut : “Biasa, baik, baik” (L. 124). “Biasa juga, baik juga tidak sakit hati, tidak ada rasa dendam karena kita orang baik, bagimana ya, kita hidup sampai hari ini karena tidak pernah selisih paham dengan orang lain, dengan pemuda, dengan orang tua, dengan petua-petua” (L. 136-171). “Baik, kita harus baik dengan masyarakat walaupun sudah dianggap salah oleh kafir-jawa itu tapi kita harus baik agar mau membantu kita, ketika masa konflik sudah dianiaya kita, kalau kita baik . . .” (L. 135-139). “Sekarang, untuk sementara baik, tidak tahu hatinya” (L. 145-146). “Saya selalu baik dengan mereka semua”. (F. 111). “: Senang, saya suka berkumpul-kumpul seperti itu”. (F. 114115). “Menurut saya selama ini baik-baik aja, tapi saya tidak tahu semuanya kan” (F. 118-119). “Baik, saya tidak pernah, tidak pernah ada masalah dengan tetangga” (D. 485-486). ‘Saya suka, saya senang tenang rasanya hati saya, ada teman untuk diajak bicara”. (D. 491492). “Tidak mesti, sebab saya dengan masyarakat tidak pernah bermasalah, saya sendiri, saya tidak pernah main kerumah tetangga, selama ini saya jualan nasi jadi gak sempat berkumpul saya sibuk sendiri kalau siang saya tidak pernah ada dikampung, makanya saya tidak pernah punya masalah dengan orang lain, pagi saya pergi malam baru saya pulang, kadang jam 9, jam 10, paling cepat jam ½ 9 jadi gak sempat duduk dengan orang lain, kalau sama pemuda saya berteman semua tidak pernah sakit hati” (D. 501-513). “Saya selalu baik sekali, walaupun begini dengan masyarakat lebih baik dari pada yang sudah-sudah, siapa saja lebih dari yang dulu begitu” (C. 252-255). “Baik, baik sekali orang kampung terhadap saya, ya untuk sementara saya tahu, lebih dari itu saya tidak bisa melihatnya, kalau untuk sekarang baik sekali, saya pu tidak begitu mempermasalahkan tentang orang lain, lalai sendiri, sibuk sendiri, sibuk melakukan pekerjaan sendiri” (C. 254-264). “Saya senang banyak orang” (N. 221)
b. Mampu memiliki dan mengekspresikan perasaan cintanya Subyek juga mampu mengekspresikan perasaan cinta terhadap orang terdekat dan lingkungannya dengan bebas serta subyek mampu merasakan cinta dan kasih sayang dari keluarga, teman dan masyarakat sekitarnya, hal ini dapat dilihat dari : “Yang saya ketahui pasukan-pasukan inong balee masih sayang kepada saya, masih cinta kepada saya tapi yang tidak saya ketahui tidak saya beritahukan, saya pasukan inongg balee tapi teman saya, orang yang dekat dengan saya masih sayang kepada saya”. (L. 149-154) Sayang, walaupun ada yang dipenjara saya menyayanginya juga, ada saya jeguk-jeguk walaupu saya tahu mulut harimau tapi kita masuk juga tapi kita pergi dengan akal”. (L. 157-160) “Sayang sekali, begitu juga saya terhadap mereka saya juga” (F. 122-123). “Sayang” (D. 516). “Sayang, kalau sama orang lain saya sayang sekali, buat keluarga lebih lagi, kalau saya melihat keluarga yang kekurangan, saya sayang sekali, tidak menertawakan, saya tidak saya sama orang-orang kaya, orang miskin saya mengerti sebab saya orang miskin juga” (D. 519525) “Sayang sekali” (C. 267). “Masih sayang, masyarakat juga, ya satu kali orang baik sepuluh kali saya akan baik terhadap mereka, ya tidak pernah ada selisih sama saya, masyarkat pun tidak pernah marah-marah” (C. 270-274). “Baik-baik saja, tidak pernah ada perselisihan” (N. 218). “Menurut saya selama ini baik, saya tidak pernah mendengar yang tidak enak tentang saya, kalau keluarga memang sayang sekali” (N. 225-227).
c. Optimis dan berpikir positif Mereka juga memiliki harapan dan terus berusaha untuk mendapatkan hasil yang lebih baik serta yakin masa depannya akan menjadi lebih baik. Hal ini ditunjukkan oleh : “Tidak, dalam suatu pejuangan kita kan tidak dibolehkan mundur, tapi kita juga dilarang berputus asa oleh Allah”. (L.
175-177). Masa depan saya karena saya seorang perempuan, saya ingin masa depan sudah damai, saya pasukan inong balee ya, bagimana orang ini mengurus agar kami maju, diajarin kami, kemana yang ditunjukkan oleh atasan kami kesitu kami pergi tapi atasan menunjukkan satu jalan kesini kami ikut, begitu (L. 163-170). “Baik, kita berdoa semoga tetap baik, jangan ada lagi seperti dulu, sayapun sudah berkeluarga Insya Allah akan baik. (F. 127-128). “Kalau saya sendiri tidak pernah lagi yang seperti itu, apalagi saya sekarang sudah berkeluarga lagi” (F. 130132) “Saya berdoa untuk kedepan agar saya senang, jangan sempat saya rasakan lagi apa yang pernah saya alami, rasanya saya tidak mau terulang lagi, cukup sudah yang saya rasakan” (D. 531-535). “Ya saya sendiri ingin agar cerah, ada masa depan, bagaima caranya saya berusaha agar ada masa depan yang baik, saya berusaha untuk masa depan, saya raih kerja saya walaupun capek sekali” (C. 270-274) “Dulu pernah ada, saya tidak itu lagi hilang semangat, tapi sekarang sudah tidak lagi, sudah sepeti semula” (C. 285-287). “Untuk kedepan akan baik apalagi sudah punya anak, sekarangkan sudah lebih baik, ya kita berdoa akan baik-baik aja selalu”. (N. 230-232).
3. Aspek, Kategori dan Indikator gangguan Tabel 3. Aspek, Kategori, Sub Kategori dan Indikator Tema Ganguan kcemasan
Kategori Stres
.
Sub kategori - Stress ingatan
Indikator - Teringat kejadian traumatis - Terbayang kejadian traumatis - Melihat tempat kejadian - Waktu sepi-sepi mengingat kembali kejadian traumatis - Melihat ada yang terbakar
Selalu waspada dan kecurigaan yang tinggi
- Psikologis
- Panik, sedih, sakit hati, panas hati, marah, kesal, benci, merasa pedih, dendam dan ingin membalas, hanya memendam dihati, ketakutan
- Fisik
- Badan lesu, sakit badan, lemas, jantung berdebar, keluar keringat dan air mata
- Waspada berlebihan
-
Curiga dan terancam Kehilangan kepercayaan dan bersikap hati-hati Tidak asalasalan melangkah atau mengambil keputusan - Tidak berani, takut
Reaksi berlebihan - Ketakutan ketika kaget/ - Jantung berdebar terkejut - Lemas - Kesal - Sakit hati - Sedih - Gelisah - Histeris Gangguan mood (perasaan)
depresif
Mudah terganggu - Cepat kesal dan sering marah tersinggung, panik, tanpa alasan sakit hati, panas hati - Judes, marah tanpa alasan - Tidak bisa mengendalikan dan cepat emosi - Mudah sedih, mudah menangis
Perasaan bersalah
Gangguan penyesuaian
Gangguan dengan campuran emosi dan tingkah laku
-
Menyesali Teringat selalu/terbebani - Selalu terbayang
- Melakukan aktifitas Menghindari dan menonton pikiran, perasaan, televisi atau pembicaraan teman tentang peristiwa - Mencari untuk berbicara yang mengerikan - Sholat - Mendengar musik - Tidak mau membuat diri gelisah dan stres - Tidak mau ditanyai tentang peristiwa tersebut - Berusaha mengubur dan melupakan kejadian tersebut Menghindari - Tidak mau melihat kegiatan, tempat tempat yang atau orang yang berhubungan berkaitan dengan dengan kejadian peristiwa tersebut traumatis - Menghindari orang yang berhubungan dengan kejadian traumatis Mengalami - Lupa bagaimana kesulitan mengingat proses terjadinya peristiwa traumatis - Hanya ingat sedikit proses kejadian traumatis Turunnya aktivitas - Cepat capek (semangat) - Tidak sanggup berkerja berat lagi - Semangatnya tidak sama seperti dulu
Gangguan tidur
parasomnias - Sulit merasa dan - Merasa susah tidur - Tidak tenang/ mepertahankan gelisah tidurnya - Sering kaget tanpa alasan - Mimpi buruk
-
Bermimpi buruk Menangis dalam mimpi
4. Aspek indikator Psikologis positif Tabel 4. Aspek, Kategori dan Indikator Aspek Hubungan sosial
Kategori Interaksi dan dukungan sosial dari lingkunganya
-
Indikator Senang ketika berkumpul Senag diajak berbicara Tidak penah berselisih paham Merasa diperlakukan dengan baik
Perasaan Positif
Mampu memiliki dan mengekspresikan perasaan cintanya
-
Merasa disayangi Merasa dicintai Bisa menyayagi Mampu mencintai
Persepsi terhadap masa depan
Optimis dan berpikir positif
- Tidak pernah berputus asa - Yakin masa depan akan cerah - Terus berusaha
VI. PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian dengan wawancara mendalam yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari subyek dan perilaku yang dapat diamati saat wawancara berlangsung. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengetahui kondisi psikologis wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka
(Inong bale)
setelah dilakukan penahahan TNI/POLRI.. Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan peneliti diperoleh data bahwa subyek pernah mengalami kejadian traumatik namun setelah subyek bebas dan tinggal bersama keluarga, subyek kembali survive serta gangguan psikologisnya mulai menurun. Psikologis positif yang muncul pada diri subyek diantaranya; semua subyek dapat melakukan interaksi dan merasakan adanya ikatan hubungan sosial yang baik dari orang-orang terdekat dan lingkungan sekitarnya (ww. L. 124, 136-137, 135-139, 145-146. F. 111, 114-115, 118-119. D. 485-486, 491-492, 501-513. C. 252-255, 254-264, N. 221), subyek juga mampu mengekspresikan perasaan cinta terhadap orang terdekat dan lingkungannya dengan bebas serta mampu merasakan cinta dan kasih sayang dari keluarga, teman dan masyarakat sekitarnya (ww. L. 149-154, 157-160, F. 122-123. D. 516, 519525. C. 267, 270-274. N. 218, 225-227), serta memiliki harapan dan terus berusaha untuk mendapatkan hasil yang lebih baik serta yakin masa depanya akan menjadi lebih baik (ww. L. 163-170, 175-177, F. 127-128, 130-132. D. 531-535. C. 270274, 285-287. N. 230-232). Oleh karena itu peneliti berpendapat bahwa gangguan yang dialami subyek sudah mulai menurun. Menurut Kaplan dkk (1994) adanya mekanisme hubungan interpersonal dengan tujuan untuk melindungi individu lain
dari efek stres yang buruk, pada umunya individu mempunyai sistem dukungan sosial yang kuat
kerentanan terhadap penyakit mental adalah rendah, dan
kemungkinan pemulihan gangguan-gangguan psikologis menjadi lebih tinggi. Menurunnya gangguan yang dialami subyek, disebabkan karena mendapat dukungan sosial yang baik dari keluarga dan masyarakat sekitar tempat tinggal subyek. Hadirnya dukungan sosial dari keluarga, teman atau anggota masyarakat lainnya yang akrab dan bersahabat yang diperlukan subyek terutama pada waktu mengalami penderitaan yaitu ketika terjadi peristiwa yang tragis dan menghayati perasaan tidak bermakna, efek dari dukungan sosial ini membawa pengaruh yang positif bagi subyek sehingga subyek bisa mengekspresikan perasaan cintanya kepada orang lain, membangkitkan perasaan optimis terhadap masa depan dan mempunyai penilaian yang baik serta gambaran diri yang positif (self image). Sariana (2007) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah interaksi atau hubungan yang dapat membantu individu dari rasa kesedihan, terisolasi, efek stres yang buruk dan dapat membangkitkan semangat hidup individu tersebut yang dapat diperoleh dari orang lain yang dicintai seperti keluarga, teman dekat, pacar dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Sehingga individu merasa diperhatikan dihargai dinilai dan dicintai. Namun ada aspek gangguan psikologis lain yang masih dialami oleh subyek diantaranya: Gangguan kecemasan masih dialami oleh semua subyek yaitu; stres ingatan terhadap peristiwa yang mengerikan dapat dilihat dari ingatan yang muncul pada saat subyek sedang sendiri tanpa kegiatan, dan ketika melihat tempat kejadian karena kejadian tersebut telah masuk dan tersimpan ke dalam alam bawah sadar subyek sehingga sewaktu-waktu ingatan tersebut muncul kembali. Oleh karena itu
subyek masih merasa berada dalam kejadian konflik sehingga tidak bisa membedakan perubahan situasi damai dan saat konflik (ww. F. 59-61. D. 358-360, 589-560. C. 49-51. L. 45-49, 212-215. N. 68-70, 72-74, 88-89). Selain itu subyek juga mengalami gejala stres psikologis dan fisik yang kuat, seperti: perasaan panik, sedih, sakit hati, panas hati, marah, kesal, benci, merasa pedih, ketakutan, dendam dan ingin membalas perlakuan tersebut, dan gejala fisik seperti badan lesu, sakit badan, lemas, jantung berdebar, keluar keringat dan air mata. (ww. L 72-74, 186188. F. 70-71, 73, 86. D 348-349, 365-366, 374, 385, 388, 399-400. C. 60, 64, 8992, 309-310, 312, 318-319). N. 98-99, 103-105, 107). Namun khusus pada subyek N hanya mengalami stress psikologis tapi tidak mengalami lagi stress fisik (N. 84, 86-89). Kemudian subyek juga mengembangkan sikap waspada dan kecurigaan yang tinggi seperti; merasa terancam, kehilangan kepercayaan dan bersikap terlalu hati-hati, tidak asal-asalan melangkah atau mengambil keputusan, menurunnya keberanian dan sering ketakutan. Ketika kaget subyek juga memperlihatkan reaksi yang belebihan dan disertai ketakutan, jantung berdebar, lemas, tidak bisa berbuat berbuat apapun, kesal, sakit hati, sedih, gelisah dan histeris. (ww. L. 132-135, 210, 222-223. F. 160-163, 166, 169-170, 172-173. D. 293-294, 296, 379-381, 634-635, 640-643, 647-648. C. 344-345, 348-350, 353. N. 247-248, 250-252, 254). Hal ini sesuai dengan indikasi gangguan klinis dalam DSM-IV (1994) gangguan kecemasan 300. 02 yaitu gangguan kecemasan umum. Reaksi-reaksi seperti kaget/terkejut muncul karena sejak ditangkap selalu dibentak-bentak. Untuk mengatasi beberapa indikasi seperti waspada berlebihan subyek apabila bepergian atau keluar dari rumah selalu bersama keluarga/suami sehingga perasaan waspada tersebut dapat berkurang.
Gangguan mood (perasaan) yang muncul pada subyek hampir sama antara satu dengan yang lain ditunjukkan dengan gejala mudah terganggu dan sering marah tanpa alasan yang dialami dengan perubahan emosi yang tidak menentu oleh subyek seperti; cepat kesal dan tersinggung, panik, sakit hati, panas hati, judes, marah tanpa alasan, tidak bisa mengendalikan dan cepat emosi, mudah sedih, mudah menangis (ww. L. 179-182, 196-198. F. 145-149, 154-155. D. 482-489, 611-617. N. 236-238. Hal ini sesuai dalam DSM-IV (1994) gangguan mood (perasaan) dengan kategori gangguan depresif. Namun ada seorang subyek yang tidak mengalami gangguan itu lagi karena dia masih mampu mengendalikan perasaan dengan baik, sabar dan tidak marah/tersenyum (ww. C. 220-227). Subyek mengalami gangguan tidur dengan gejala; kesulitan dalam merasa dan mempertahankan tidurnya atau sering terbangun, merasa gelisah dan kaget tanpa alasan, sering bermimpi buruk serta menangis dalam mimpinya hal ini sesuai dengan indikasi dalam DSM-IV (1994) gangguan tidur parasomnias dengan diagnogsis 307.47, gangguan mimpi buruk. Aspek ini dapat dilihat dari (ww. F 136. D 579-580. C. 292). Namun ada satu subyek tidak mengalami lagi gangguan tidur karena subyek berusaha melupakan, dan subyek dapat melihat sisi positifnya yaitu situasi Aceh sekarang sudah damai (L. 172, 176). Selain itu subyek juga mengalami gangguan penyesuaian yang ditunjukkan oleh gejala menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan tentang peristiwa yang dialami oleh inong balee tersebut seperti: berusaha mengubur dan melupakan kejadian tersebut dengan cara melakukan ibadah sholat, melakukan aktivitas dan menonton televisi, mendengar musik, mencari teman untuk berbicara, dan merasa keberatan ditanyai tentang peristiwa tersebut agar tidak membuat diri gelisah dan
stres (ww. L. 79-81. F. 55-56, 76-78, 82, 94-95. D. 348-359, 403-404, 409-412. C. 70-71, 78-80). Namun ada satu subyek tidak berusaha menghindari pembicaraan mengenai peristiwa tersebut karena merasa sudah pernah mengalaminya, cuek saja supaya jangan membuat diri sendiri gelisah lagi (ww. L. 84-86). Pada gangguan penyesuaian tingkah laku ditunjukkan oleh adanya usaha dari subyek untuk menghindari kegiatan, tempat atau orang yang berkaitan dengan peristiwa tersebut hanya dialami oleh satu subyek saja (ww. F. 86-87,89-90). Hal ini ditunjukkan dengan adanya usaha untuk menghindar dan tidak mau melihat tempat dan orang berhubungan dengan tempat kejadian, dan gejala mengalami kesulitan kalau mengingat aspek penting dalam peristiwa tersebut seperti: lupa hari dan tanggal kejadian serta hanya mampu mengingat sedikit proses kejadian tersebut. hal ini sengaja dilakukan agar subyek bisa menjalani hidupnya dan menatap masa depanya. Subyek yang mengalami gangguan diatas sebanyak 2 orang yaitu : (ww. L. 102-106 dan F. 40-41, 51). Semua subyek juga mengalami gejala menurunnya aktivitas kegiatan sehari-hari dapat ditunjukkan dengan cepat capek, tidak sanggup berkerja berat lagi dan penurunan semangat pada subyek tersebut serta mengalami kesulitan berkonsentrasi sehingga subyek sering terbengong-bengong, tidak mampu menyelesaikan suatu tugas atau masalah sendiri. Didalam hasil wawancara, tidak semua subyek mengalami kategori gangguan, ada beberapa subyek yang sama sekali sudah tidak mengalami lagi dan ada subyek yang hanya mengalami satu kategori saja. Hal ini disebabkan subyek mengalami kemampuan diri yang baik dan adanya dukungan sosial yang diperoleh sehingga membuat subyek lebih survive serta mampu menurunkan intesintas
gangguan yang mereka alami meskipun belum memperoleh terapi dan konseling dari para ahli. Pada dasarnya dalam penelitian ini masih terdapat banyak kelemahan dan kekurangan, karena peneliti dalam penggalian data-data tidak melakukan wawancara lebih lanjut terhadap keluarga maupun masyarakat untuk mengetahui pengaruh dukungan yang diberikan terhadap perkembangan kondisi psikologis Inong balee ini. Kekurangan yang lain dapat dilihat pada data dan tempat peristiwa itu berlangsung tidak dapat dimunculkan dokumentasinya karena situasi yang tidak memungkinkan. Selain itu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti terhadap subyek masih kurang tepat (dalam hal ini terlalu mengarahkan) sehingga dapat dianggap kurang netral.
VII. KESIMPULAN A. Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) mengalami gangguan psikologis setelah penahanan TNI/POLRI. Namun hal ini sudah mulai menurun dan dalam proses penyembuhan karena adanya pengaruh dukungan sosial yang baik dari lingkungannya, sehingga menumbuhkan aspek psikologis positif pada subyek dan subyek menjadi survive kembali.
B. Saran 1. Bagi pemerintah dan para ahli (Psikolog) : Diharapkan agar dapat memberi bantuan konseling dan terapi kepada wanita-wanita Aceh yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) yang mengalami gangguan psikologis. 2. Bagi subyek dan keluarga : diharapkan menghubungi pihak-pihak terkait untuk berusaha mendapatkan bantuan konseling dan psikoterapi agar dapat segera mengatasi gangguan psikologis yang masih muncul, juga terus meningkatkan dukungan sosial dan emosional kepada korban. 3. Untuk peneliti berikutnya : Dapat melakukan penelitian pada Inong balee secara keseluruhan agar dapat mengetahui gangguan psikologis yang lain dengan menggunakan guide interview yang lebih netral. Penelitian ini juga dapat difokuskan pada responden yang berbeda di antaranya; korban konflik dari pihak sipil, korban konflik dari eks GAM, pada keluarga dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Burns, D.D. 1998. Terapi Kognitif. Pendekatan Baru Bagi Penanganan Depresi. Jakarta. Erlangga. Gibson, J.L, Ivancevich, J.M., dan Donnelly, J.H. 1996. Organisasi Perilaku Struktur Proses, Edisi kelima. Jakarta: Binarupa Aksara Kaplan dan Sadock. 1994. Sinopsis Psikiatri. Jilid 2. Edisi Ketujuh. Jakarta. Binarupa Aksara. Kontras. 2003. Darurat Militer Di Aceh. No. 7/VII. W. King, A. King, dkk 1999. Journal Of Abnormal Psychology. Volum, 108. No. 1, 164-170 Radnitz Cythia L., Louis Hsu., Dennis D. Tirch., Jeffrey Willard., Lynn B. Lillian., Stacey Walczac., Joanne Festa., Lysandra Perez-Strumolo., Charles P. Broderick, Martin Bink., Ilana Schlein., Neil Bockian., Leon Green & Arthur Cytryn. 1998. Journal Of Abnormal Psychology. Volum, 107. No. 4, 679-680. Maleong, L.J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Roesdakarya. Nevid Jeffrey. S., Spencer A. Rathus., Beverly. G. 1997. Abnormal Psychology. In A Changing World. Third Edition. Prentice-Hall, Inc. Poerwandari, K. 2001. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Prilaku Manusia. Jakarta : LPSP3. Fakultas Psikologi UI. Syahputra, I. 2006 . Jurnalisme damai. Kelompok Pilar Media, PT. Nuansa Aksara. Yogyakarta. W. King, A. King, dkk 1999. Journal Of Abnormal Psychology. Volum, 108. No. 1, 164-170. www.Kompas.com