Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah VOLUME 1, NOMOR 1, Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip REINTEGRASI MANTAN KOMBATAN GERAKAN ACEH MERDEKA (Studi di Gampong Dayah Tanoh Kecamatn Mutiara Kabupaten Pidie) Fajrul Zuhri1 , Khairulyadi2 Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsyiah Email:
[email protected]
ABSTRAK Melihat perjalanan MoU yang ditandatangani oleh kedua pihak di Helsinki pada 2 Januari 2005 atas inisiatif mantan Presiden Finlandia Martti Athisari telah mengalami beberapa tahap proses perundingan hingga pembuatan draft nota kesepakatan sampai tanggal 17 Juli 2005, akhirnya penandatangan nota kesepakatan damai dilangsungkan 15 Agustus 2005. Di dalam MoU yang sudah di tandatangani oleh kedua belah pihak ada hal penting yang harus dilihat yaitu mengenai penyelesaian masalah konflik yang harus sesuai dengan apa yang telah disepakai bersama. Hal ini dilakukan untuk tidak terjadinya dan juga timbul konflik baru. Melihat kondisi ini maka tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana proses reintegrasi eks kombatan kedalam masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif, dimana yang menjadi informan diperole dengan metode purposive sampling. Teori yang di pakai dalam penelitian ini adalah teori konflik Lewes A, Coser. Hasil penelitian menunjukan bahwa Reintegrasi bertujuan untuk membangun kembali norma-norma, nilai-nilai dan struktur sosial ekonomi masyarakat paska terjadianya konflik. Proses reintegrasi mantan kombatan GAM terus dilakukan sampai para mantan kombatan telah benar-benar kembali kepada masyarakat walaupun sampai saat ini integrasi sosial para mantan kombatan GAM masih menjadi masalah seperti integrasi ideologis. Selain itu respon masyarakat kepada para kombatan GAM dan tahanan politik yang kembali lebih dahulu ke gampong tidak menimbulkan masalah. Sebagian besar dari GAM yang aktif (80%) kembali ke desa pada dua bulan setelah penandatanganan MoU. Dalam hampir banyak kasus, tingkat penerimaan terhadap anggota GAM yang kembali cukup tinggi yaitu 90% pada bulan-bulan selanjutnya. Kata Kunci : Reintegrasi, Eks Kombaran, Masyarakat.
ABSTRACT Looking at the journey of MOU that was signed by both parties in Helsinki on January 2, 2005 at the initiative of former of Finland President Martti Athisari has undergone several stages of the negotiation process and the drafting of a memorandum of understanding until July 17, 2005, eventually the signing of peace agreement took place on August 15, 2005. In the MoU already signed by the two sides, there are important things that must be seen that the settlement of the conflict Corresponding Author :
[email protected] JIM FISIP Unsyiah: AGB, Vol. 1. No 1. Januari 2017: 1-13
1
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah VOLUME 1, NOMOR 1, Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip should be in accordance with what has been agreed. This is done for the absence and also for no arising new conflicts. Seeing this condition, the purpose of this study was to determine how the process of reintegration of ex-combatants into society. This study used the qualitative descriptive research which the informants were obtained by using purposive sampling method. The theory used in this study was theory of conflict of Lewes A Coser. The results showed that the reintegration aims to rebuild the norms, values and socio-economic structures of post-conflict societies. The reintegration of former of GAM combatants is consecutively continued until the excombatants have been really back to society even though until now the Social Integration of the former combatants is still a problem as the ideological integration. Then, the society’s responds to the GAM combatants and political prisoners who firstly returned to the village did not pose a problem. Most of active GAM (80%) returned to the society in two months after signing the MoU. In almost all cases, the level of acceptance of GAM returnees is quite high at the percentage of 90% in the following months. Keywords: Reintegration of Ex-combatants, Society. PENDAHULUAN Setelah berlangsungnya konflik selama lebih dua dekade, GAM dan RI berunding tentang kesepakatan perdamaian yang dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Deklarasi ini ditandatangani oleh kedua pihak di Helsinki pada 2 Januari 2005 atas inisiatif mantan Presiden Finlandia Martti Athisari (Kawilarang, 2010:176). Kemudian, setelah mengalami beberapa tahap proses perundingan hingga pembuatan draft nota kesepakatan hingga tanggal 17 Juli 2005, akhirnya penandatangan nota kesepakatan damai dilangsungkan 15 Agustus 2005. Perjanjian Helsinki ini di antara poin pentingnya adalah bahwa pemerintah Indonesia akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi GAM. Selengkapnya dalam nota kesepakatan MoU pasal (3.2.5) yang berbunyi “Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak, . Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut: a) semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja, b) semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah peratanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.” Berdasarkan nota kesepahaman tersebut, setelah perdamaian Aceh adanya kesepakatan tentang pengadaan reintegrasi untuk korban konflik dan terutama untuk mantan kombatan GAM. Pengadaan reintegrasi ini sangat penting dilakukan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Yusuf Kalla (Lebang, 2006:37) bahwa reintegrasi diperlukan dalam pemulian konflk, untuk membantu GAM yang telah turun gunung, Reintegrasi Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka di Gampong Dayah Tanoh Kecamatan Mutirara Kabupaten Pidie (Fajrul Zuhri, Khairulyadi) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. No 1. Januari 2017 1-13
2
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah VOLUME 1, NOMOR 1, Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip agar hidup normal bersama masyarakat. Dengan demikian, masyarakat pun akan merasa aman. Dengan keamanan, otomatis pertumbuhan ekonomi akan berjalan. Mustafa Abubakar juga berpendapat bahwa reintegrasi segera diaksanakan, seperti penyediaan dana sosial-ekonomi untuk mantan tahanan politik, juga kesempatan kerja untuk mantan anggota GAM. Ia menyatakan akan membentuk Badan Reintegrasi Aceh.”Di badan itu, akan ada wakil pemerintah, ulama, dan GAM,” sebut Mustafa (dalam Lebang, 2006: 37). Pada tanggal 2 Mei 2006, BRA (Badan Reintegrasi Aceh) dibentuk. Badan tersebut dibentuk atas inisiatif pemerintahan pusat melalui Intruksi Presiden No. 15 Tahun 2005 Pembentukan BRA tak lain dimaksudkan sebagai program pendamping dari pusat. Adapun program utama BRA meliputi: (a) bantuan kesejahteraan sosial untuk masyarakat korban konflik dan (b) memfasilitasi budaya lokaluntuk perdamaian NAD (Basyar, dkk, 2008:80). Tugas pokok dan fungsi BRA adalah: 1. Membuat strategi, kebijakan, program dan prosedur pemberdayaan ekonomi dan bantuan sosial untuk korban konflik (sebagai pedoman bagi BRA kabupaten/kota). 2. Pelaksana pemberdayaan ekonomi (untuk mantan TNA, mantan Tarpol/Napol, GAM Non-TNA, dan relawan PETA). 3. Memonitor dan mengevaluasi program pemberdayaan ekonomi dan bantuan sosial untuk korban konflik yang dilakukan oleh BRA kabupaten/kota. 4. Membuat laporan kepada pihak terkait. Setelah adanya perdamaian, guna berjalannya reintegrasi sebagaimana yang diharapkan, selain membentuk BRA, pemerintah kemudian membentuk suatu wadah untuk menampung semua mantan anggota GAM yang dinamakan KPA (Komite Peralihan Aceh). KPA dibentuk untuk menjaga kendali dan sebagai sumber atau data informasi tentang mantan kombantan GAM. Pengurusnya terdiri atas panglimapanglima GAM dari tingkat kecamatan di seluruh Aceh (Basyar, 2007:97). Peran dan fungsi KPA ini sendiri mengacu kepada isi kesepakatan dalam MoU tentang reintegrasi dan penyejahteraan mantan kombantan GAM di dalam masyarakat serta pembangunan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Pengurus KPA terdiri atas panglima-panglima GAM dari tingkat kecamatan sampai provinsi. Menurut beberapa narasumber dari unsur GAM, KPA merupakan wadah bagi mantan kombantan GAM agar mereka tidak merasa seperti anak ayam kehilangan induk. Dengan melihat posisi KPA dalam struktur organisasi di Aceh, adalah jelas bahwa KPA ini lebih mengutamakan kepentingan para mantan GAM atau kombantan. Demikian juga dalam kaitan dengan proses reintegrasi, KPA menempatkan diri sebagai informan atau narasumber penting personil mantan GAM/ kombantan GAM yang harus mendapatkan dana dari BRA. Dalam perkembangannya, KPA cenderung memperluas cakupan perannya. Perluasan peran KPA tersebut bisa jadi akan menyerupai intervensi militer dalam kehidupan masyarakat bila tidak ditempatkan pada posisinya yang tepat. Oleh karena itu, kajian secara serius dan cepat sangat diperlukan untuk solusi atas peran KPA agar KPA tidak mengulangi kesalahan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tempo dulu yang terlibat dalam politik dan birokrasi.
Reintegrasi Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka di Gampong Dayah Tanoh Kecamatan Mutirara Kabupaten Pidie (Fajrul Zuhri, Khairulyadi) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. No 1. Januari 2017 1-13
3
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah VOLUME 1, NOMOR 1, Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip Dalam pelaksanaan reintegrasi yang dilakukan oleh BRA dengan berwadahkan KPA, pada kenyataannya banyak program reintegrasi di lapangan tidak selalu dapat dilaksanakan dengan lancar. Beberapa hambatan harus dihadapi oleh Badan pelaksana BRA dalam melaksanakan tugasnya sebagai agant of reintegration. Dari segi pendanaan, pemerintah berkomitmen untuk mengalokasikan dukungan pendanaan yang bersumber dari APBN sejak tahun 2005 hingga tahun 2007. Dalam hal pencairan dana, BRA menerapkan ketentuan bahwa setiap proposal yang diajukan harus disetujui dulu oleh KPA kemudian baru diteruskan ke BRA.Meski demikian, praktik di lapangan kerap tidak sesuai dengan harapan BRA. Dana tersebut banyak dibagi-bagikan kepada mantan kombantan daripada dijadikan sebagai modal kerja (Bhakti, 2008:164). Jika berbicara tentang peran KPA sebagai wadah yang menjaga perdamaian Aceh dan mewujudkan cita-cita Aceh sebagaimana yang telah tertuang dalam perjanjian MoU Helsinki dengan misi menyejahterakan rakyat Aceh, pada kenyataan masih jauh dari harapan. Tidak dipungkiri, selain pembagian dana tidak digunakan untuk modal kerja, masih banyak juga para kombatan yang belum mendapatkan dana atau bantuan dari pemerintah aceh. Adapun bantuan yang telah dibagikan untuk para kombatan GAM itu tidak merata dan yang diberikan hanya kepada para kombatan yang bekerja atau yang dekat dengan petinggi pemerintah, sedangkan para kombatan yang tinggal di daerah terpelosok tidak mendapatkan bantuan yang sesuai harapan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi mantan kombatan GAM, baik dari segi ekonomi yang masih di bawah taraf mencukupi kebutuhan, hunian yang masih belum dapat dikatakan layak, infrastruktur yang tidak layak bahkan tidak ketersediaan, ataupun dari segi tersedianya lapangan pekerjaan yang masih minim. Dengan kata lain reintergrasi yang dijanjikan untuk para mantan kombatan GAM belum berjalan seperti yang diharapkan. Proses reintegrasi yang telah dilakukan oleh badan yang di bentuk pemerintah sebenarnya sudah dilakukan tetapi dalam proses perjalanannya masih banyak ditemukan masalah, seperti tidak tepat sasaran, tidak jelasnya program dan bantuan yang diberikan, hingga konflik internal di lembaga atau badan yang dibentuk oleh pemerintah itu.
TINJAUAN PUSTAKA Integrasi adalah keadaan di mana semua bagian dari suatu sistem sosial mempunyai hubungan timbal-balik yang pas secara keseluruhan. Integrasi adalah pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan dalam suatu sistem masyarakat. Adapun integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian anggota masyarakat memiliki kesepakatan tetang batas-batas teritorial tempat mereka tinggal (Raharjo, 2009:50). Dalam kaitannya dengan konflik, integrasi merupakan kondisi yang diinginkan setelah konflik terjadi. Maksudnya jika konflik terjadi, diharapkan pihakpihak yang berkonflik mau kembali melakukan kegiatan yang bersifat timbal-balik dan konstan yang pada akhirnya menciptakan integrasi.
Reintegrasi Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka di Gampong Dayah Tanoh Kecamatan Mutirara Kabupaten Pidie (Fajrul Zuhri, Khairulyadi) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. No 1. Januari 2017 1-13
4
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah VOLUME 1, NOMOR 1, Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip Menurut penelitian dari Fakhrurrazi ini ditemukan bahwa (1) Program-program reintegrasi yang dicanangkan dan dilaksanakan oleh BRDA relatif kurang optimal. Banyak hambatan-hambatan yang harus diatasi terkait bidang ekonomi; politik, hukum dan keamanan; dan sosial budaya. (2) Kurang efektifnya program yang dicanangkan BRDA disebabkan oleh beberapa kelemahan pada aspek hukum dan budget BRDA, serta kurangnya koordinasi dengan lembaga donor lainnya. Dalam papernya, Ernest melakukan pengamatan tentang (1) bagaimana mantan kombatan setelah terjadinya konflik, (2) bagaimana proses reintegrasi mantan kombatan dan pemberontak seusai perang di Afrika, yaitu bagaimana pemerintah setempat mereintegrasi para mantan kombatan, dan (3) kendala apa saja yang dialami, baik oleh pihak pemerintah maupun oleh para mantan kombatan itu sendiri dalam menuju reintegrasi ke dalam masyarakat sipil, serta (4) bagaimana program DDR (Deconstruction, Demobilitation, and Reintegration) sebagai program yang berfungsi untuk mengembalikan mantan kombatan tersebut kembali ke kehidupan sipil. Kesimpulan dari pengamatan tersebut ditemukan bahwa (1) Setelah terjadinya berbagai macam konflik di Afrika, banyak mantan kombatan yang tidak mempunyai pegangan untuk hidup sehingga mereka bertahan hidup dengan Teori konflik yang dikonsepsikan Coser merupakan sebuah sistem sosial yang bersifat fungsional. Bagi lewis A. Coser ,konflik yang terjadi di dalam masyarakat tidak semata-mata menunjukkan fungsi negatif saja, tetapi dapat pula menimbulkan dampak positif. Oleh karena itu, konflik bisa menguntungkan bagi sistem yang bersangkutan. Bagi Coser, konfik adalah salah satu bentuk interaksi dan tak perlu diingkari keberadaannya. Seperti halnya dengan George Simmel yang berpendapat bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang dasar dan proses konflik itu berhubungan dengan bentuk-bentuk alternatif seperti kerja sama dalam berbagai cara yang tak terhitung jumlahnya dan bersifat kompleks. Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Kalr Marx Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional. Coser menyatakan perselisihan atau konflik dapat berlangsung antara individu, kumpulan atau antara individu. Bagaimanapun, konflik antara kelompok senantiasa ada di tempat orang itu hidup bersama. Coser juga menyatakan, konflik itu unsur interaksi yang sangat penting dan sama sekali tidak boleh dikatakan bahwa konflik selalu tidak baik atau memecah belah atau merusak. Konflik bisa saja menyumbang banyak kepada kelestarian kelompok atau mempererat hubungan antara anggotanya. Seperti menghadapi musuh bersama dapat mengintegrasikan orang menghasilkan solidaritas dan keterlibatan dan membuat orang lupa akan perselisihan intern mereka sendiri.
Reintegrasi Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka di Gampong Dayah Tanoh Kecamatan Mutirara Kabupaten Pidie (Fajrul Zuhri, Khairulyadi) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. No 1. Januari 2017 1-13
5
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah VOLUME 1, NOMOR 1, Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip Konflik merupakan cara atau alat untuk mempertahankan, mempersatukan dan bahkan mempertegas sistem sosial yang ada. Contoh yang paling jelas untuk memahami fungsi positif konflik adalah hal-hal yang menyangkut dinamika hubungan antara “in-group (kelompok dalam) dengan “out-group” (kelompok luar). Berikut ini adalah sejumlah proposisi yang dikemukakan oleh lewis A.Coser: 1. Kekuatan solidaritas internal dan integrasi kelompok dalam (in group ) akan bertambah tinggi apabila tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar bertambah besar. 2. Integritas yang semakin tinggi dari kelompok yang terlibat dalam konflik dapat membantu memperkuat batas antara kelompok itu dan kelompokkelompok lainnya dalam lingkungan itu, khususnya kelompok yang bermusuhan atau secara potensi dapat menimbulkan permusuhan. 3. Dalam kelompok itu ada kemungkinan berkurangnya toleransi akan perpecahan, dan semakin tingginya tekanan pada konsesus dan konformintas. 4. Para penyimpang dalam kelompok itu tidak lagi ditoleransikan, mereka tidak dapat dibujuk masuk kejalan yang benar, mereka mungkin diusir atau dimasukkan dalam pengawasan yang ketat. Konflik dan integrasi merupakan dua konsep yang biasanya digunakan secara bersama-sama dan tidak dapat dipisahkan karena yang satu merupakan kebalikan dari yang lainnya. Seperti yang dijelaskan oleh Achmad Fedyani Saefudin dalam bukunya: “Konflik didefinisikan sebagai pertentangan yang bersifat langsung dan didasari antara individu-individu, individu dengan kelompok atau kelompok untuk mencapai tujuan yang sama, sedangkan integrasi didefinisikan sabagai penyatuan kelompok-kelompok yang terjadinya terpisah satu sama lain dengan melenyapkan perbedaan-perbedaan sosial dan kebudayaan yang ada sebelumnya, selain itu integrasi juga diartikan sebagai diterimanya seorang individu oleh anggota-anggota lain dari suatu kelompok.” Reintegrasi sosial bertujuan untuk membangun kembali norma-norma, nilainilai dan struktur sosial ekonomi masyarakat paska terjadianya konflik. Banyak hal yang harus diperhatikan dalam menjalankan atau melaksanakan reintegrasi mantan kombatan agar biasa menjadi kembali seperti sebelum konflik. Ada beberapa hal yang harus dilihat dan diperhatikan dengan jelas bahwa konflik mengakibatkan dampak yang membuat kehidupan sosial menjadi terpuruk seperti disintegrasi sosial, ada beberapa faktor yang harus dilihat seperti (Nylsonn,2005): 1. Konfil mengakibatkan disintegrasi yang mengarah ke fragmentasi. Pada saat konflik, banyak terjadi pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan kepada masyarakat atau pemuda-pemuda untuk bergabung dengan para kombatan, pemaksaan penggabungan ini membuat pemecah atau tejadinya disintegrasi sosial dalam manyarakat.
Reintegrasi Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka di Gampong Dayah Tanoh Kecamatan Mutirara Kabupaten Pidie (Fajrul Zuhri, Khairulyadi) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. No 1. Januari 2017 1-13
6
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah VOLUME 1, NOMOR 1, Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip 2. Buruknya hubungan ekonomi. Konflik atau perang membuat masyarakat tidak biasa beraktivitas seperti biasanya, perang membuat petani tidak biasa berkebun dan menjual hasil pertaniannya, sedangkan warga kehilangan daya beli akibat perang dan akibatnya tatanan ekonomi hancur dan banyak pengangguran. 3. Konflik mengakibatkan disintegrasi hukum. Selama konflik pemerintah kehilagan kontrol dalam menegakkan hukum dan lebih memfokuskan untuk mencari atau memerangi kombatan, tanpa maksimalnya penegakan hukum oleh pemerintah, mayarakat membuat hukum sendiri yang berlandaskan demi kelangsungan hidup lebih penting, maka banyak terjadi kekerasan dan tindakan-tindakan melawan hukum negara dibenarkan selama situasi konflik. Integrasi Instrumental yakni integrasi yang tampak secara visual dari adanya ikatan-ikatan sosial diantara individu-individu di dalam masyarakat. Adapun ciriciri integrasi instrumental ialah: a. b. c. d.
Adanya norma atau kepentingan tertentu sebagai pengikat atau instrument Adanya keseragaman aktivitas keseharian Adanya keseragaman pakaian Adanya tujuan tertentu yang disesuaikan dengan kepentingan kelompok.
Integrasi Ideologis yakni suatu bentuk integrasi yang tidak terlihat atau nampak secara visual yang terbentuk dari ikatan spiritual atau ideologis yang kuat dan mendasar melalui proses alamiah tanpa adanya suatu paksaan dan ikatan. Interaksi ideologis ini menggambarkan adanya kesepahaman dalam nilai-nilai, persepsi, serta tujuan diantara orang-orang yang terikat menjadi satu kesatuan sosial. Adapun ciriciri integrasi ini ialah sebagai berikut: a. b. c. d.
Adanya persamaan nilai-nilai yang mendasar yang terbentuk atas kehendak sendiri dan bukan atas dasar adanya ikatan atau paksaan. Adanya persamaan persepsi, yakni suatu pandangan yang diilhami oleh nilainilai yang sama diantara anggota kelompok. Adanya persamaan orientasi kerja diantara anggota kelompok. Adanya tujuan yang sama yang mengacu pada prinsip-prinsip ideologis yang dianut.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang komprehensif dan lebih mendalam yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang menunjukkan hasil akhir dari penelitian yang digunakan untuk informasi yang bersifat menerangkan dalam bentuk uraian, maka data tersebut tidak dilakukan analisis statistik melainkan dengan berbentuk penjelasan yang menggambarkan keadaan proses tersebut. Reintegrasi Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka di Gampong Dayah Tanoh Kecamatan Mutirara Kabupaten Pidie (Fajrul Zuhri, Khairulyadi) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. No 1. Januari 2017 1-13
7
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah VOLUME 1, NOMOR 1, Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip Untuk memperoleh data yang akurat dan terpecaya guna untuk kepentingan penelitian, maka dibutuhkan informan yang memahami hal terkait. Adapun informan yang dimaksud adalah : a. Informan sebanyak 3 anggota Mantan kombatan. b. Informan sebanyak 3 masyarakat sipil. c. Para korban konflik dan mantan GAM yang menyerah sebelum damainya Aceh. Sedangkan yang menjadi Informan kunci (key informan) dalam penelitian ini adalah orang yang memiliki pengetahuan yang lebih luas dan mendalam tentang permasalahan yang sedang diteliti. Dalam hal ini yang menjadi informan kunci, yaitu antara lain: Kepala KPA sagoe, tokoh Agama, dan keuchik Gampong. Penelitian ini menggunakan dua jenis sumber data. Adapun data yang digunakan adalah: 1. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung di lapangan melalui hasil wawancara dari sumber asli (informan) dan beberapa pihak yang terkait untuk mengumpulkan data dengan mengadakan dialog secara langsung dan mengajukan pertanyaan yang dibahas dalam penelitian ini terhadap nara sumber informan dan beberapa pihak terkait lainnya. Sehingga setelah dilakukan wawancara maka akan disusun pembahasan secara berurutan. 2. Data sekunder atau lebih tepat disebut sebagai data penunjang dalam penelitian ini, yaitu melalui studi perpustakaan yang menyangkut masalah yang diteliti dengan mempelajari buku-buku dan menelaah buku-buku, majalah, surat kabar, karya ilmiah, artikel, bulletin dan lain-lain yang berkaitan dengan dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang diperoleh melalui penelitian ini yaitu kepustakaan dan lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara membaca buku teks, jurnal, peraturan perundang-undangan, dll, yang berkaitan dengan penelitian ini, sedangkan penelitian lapangan dilakukan dengan cara wawancara langsung informan yang sudah ditetapkan. Dalam penelitian ini, penulis menganalisis data secara bertahap. Pertama dilakukan dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan lapangan, dan dokumen sehingga dapat ditemukan hal-hal pokok dari proyek yang diteliti yang berkenaan dengan fokus penelitian. Kedua, dilakukan dengan merangkum hal-hal pokok yang ditemukan dalam susunan yang sistematis, yaitu data disusun dengan cara menggolongkan ke dalam pola, tema, unit atau kategori sehingga tema sentral dapat diketahui dengan mudah kemudian diberi makna sesuai materi penelitian. Ketiga, dilakukan pengujian tentang kesimpulan yang telah diambil dengan data pembandingan yang bersumber dari hasil pengumpulan data dan penunjang lainnya. Pengujian ini dimaksudkan untuk melihat kebenaran hasil analisis sehingga melahirkan kesimpulan yang diambil dengan menghubungkan atau mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian dengan teori-teori para ahli.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Reintegrasi Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka di Gampong Dayah Tanoh Kecamatan Mutirara Kabupaten Pidie (Fajrul Zuhri, Khairulyadi) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. No 1. Januari 2017 1-13
8
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah VOLUME 1, NOMOR 1, Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip Dalam kaitannya dengan konflik, integrasi merupakan kondisi yang diinginkan setelah konflik terjadi. Maksudnya jika konflik terjadi, diharapkan pihak-pihak yang berkonflik mau kembali melakukan kegiatan yang bersifat timbal-balik dan konstan yang pada akhirnya menciptakan integrasi (Murdiyatmoko, 2007:35). Untuk sampai kepada proses reintegrasi para mantan kombatan ke dalam masyarakat ada berbagai bentuk integrasi yang harus dilihat sebagai proses reintegrasinya berjalan dengan baik. Ada dua integrasi, yaitu integrasi instrumental dan integrasi ideologis dimana kedua integrasi tersebut memiliki ciri-ciri yang harus ada pada proses reintegrasi. Proses reintegrasi para mantan kombatan ini kemudian tidak memiliki masalah dan juga para mantan kombatan sudah mulai hidup berdampingan dengan masyarakat. Masalah lain yang juga harus dipahami adalah masih eklusifnya beberapa mantan kombatan dalam kehidupan masyarakat hal ini terlihat dari bentuk integrasi sosial para mantan kombatan. Integrasi sosial ini kemudian dibagi dalam dua aspek, yaitu pertama integrasi instrumental yakni integrasi yang tampak secara nyata dari adanya ikatan-ikatan sosial di antara individu-individu di dalam masyarakat. Hal ini kemudian masih kurang dalam kehidupan para mantan kombatan untuk berbaur dengan masyarakat serta belum mengikatnya suatu kepentingan bersama sekaligus masih kurangnya keseragaman aktivitas keseharian walaupun sebagian mantan kombatan sudah sudah mulai berjalan dengan masyarakat. Integrasi Instrumental Berbicara masalah intergrasi, ada bentuk integrasi yang biasa disebut dengan integrasi instrumental dimana integrasi instrumental merupakan integrasi yang menilai dan memiliki ciri adanya kepentingan tertentu, adanya keseragaman aktivitas dan juga adanya tujuan bersama untuk mencapai pada suatu kepentingan. Dalam kaitanyan dengan reintegrasi mantan kombatan GAM ke dalam masyarakat integrasi instrumrntal menjadi salah satu penilaian terhadap proses reintegrasi para mantan kombatan. Kita sadar betul bahwa integrasi sebenarnya berujung pada proses reintegrasi dimana reintegrasi para mantan kombatan ini berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh semua lapisan dan juga berdasarkan MOU yang sudah ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Melihat reintegrasi para mantan kombatan ke masyarakat sebenarnya ini adalah penyatuan kembali sesuatu yang pernah terpisah. Dalam hal penyelesaian konflik Aceh, reintegrasi yang dimaksudkan adalah penyatuan kembali para anggota GAM dengan masyarakat. Sesuai nota kesepahaman Helsinki, dalam program reintegrasi ini adalah para mantan kombatan GAM sebanyak 3.000 personel, dan narapidana GAM sebanyak 2.000 orang yang masih ditahan/dipenjara. Pekerjaan pertama pemerintah setelah penandatanganan nota kesepahaman Helsinki adalah memberikan amnesti umum kepada semua orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM (butir 3.1), dan pembebasan narapidana dan tahanan politik akibat konflik. Nota kesepahaman Helsinki mengamanahkan pelaksanaan amnesti sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari (tanggal 31 Agustus 2005). Integrasi ideologis. Dalam integrasi ideologi, ada ciri-ciri yang kemudian disebut dengan adanya persamaan nilai nilai yang mendasar yang terbentuk atas kehendak sendiri, Reintegrasi Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka di Gampong Dayah Tanoh Kecamatan Mutirara Kabupaten Pidie (Fajrul Zuhri, Khairulyadi) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. No 1. Januari 2017 1-13
9
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah VOLUME 1, NOMOR 1, Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip adanya persamaan persepsi serta adanya persamaan orientasi kerja. Adanya persamaan yang menjadi patokan dalam proses reintegrasi sebenarnya dapat dikatakan proses reintegrasi sudah selesai di dataran mantan kombatan dan masyarakat. Akan tetapi, hal ini tidak dapat dikatakan sudah selesai karena disebabkan oleh adanya masalah yang timbul dalam masyarakat terhadap reintegrasi mantan kombata ke dalam masyarakat. Persamaan yang ada pada ciri-ciri integrasi tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Hal ini terjadi karena proses persamaan para mantan kombatan dengan masyarakat belumlah selesai. Hal ini dikarenakan sebagian para mantan kombatan masih menilai mereka lebih dan memiliki kekuatan sebagai pejuang serta mempunyai ideologi yang berbeda dengan masyarakat sehingga dengan kondisi ini para mantan kombatan selalu memperlihatkan diri berbeda dan terkesan eklusif dibandingkan dengan masyarakat yang lain. Selain itu, kehidupan masyarakat masihlah terkelompok-kelompok karena mereka beranggapan masih mempunyai ideologi yang sama. Melihat kondisi ini dapat dipahami bahwa proses reintegrasi para manta kombatan GAM dalam hal integrasi ideologi belumlah selesai. Hal ini kemudian berbeda dengan integrasi instrumental yang bisa dikatakan tidak memiliki masalah dalam proses reintegrasi mantan kombatan GAM. Lahirnya Badan Reintegrasi Aceh Sebagai Proses Kembalinya Para Eks Kombatan Kedalam Masyarakat. Menindak lanjuti Inpres No. 15/2005 yang berisi tentang instruksi agar Gubernur Provinsi Aceh merencanakan dan melaksanakan reintegrasi dan perberdayaan setiap orang yang terlibat dalam GAM ke dalam masyarakat maka Pemerintah membentuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA) pada tanggal 11 Februari 2006 melalui SK Gubernur No. 330/ 032/2006. Namun, setelah badan ini dibentuk banyak masalah yang kemudian timbul dari mulai tidak berjalan dan lambatnya proses reintegrasi karena harus menunggu dana yang bersumber dari APBN, hingga masalah konflik internal lembaga, dan terakhir perubahan nama menjadi Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A). Selain itu, juga ada masalah legalitas dan aturan yang belum jelas terhadap pembentukan Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Hal ini dikarenakan mengingat bahwa SK gubernur tidaklah cukup menjadi dasar hukum untuk menjalankan lembaga ini yang memiliki kewenangan yang begitu besar terlebih dalam hal pengelolaan anggaran. Hal ini kemudian menjadi desakan dan pekerjaan rumah untuk legislatif periode 2014-2019 untuk membuat aturan terhadap lembaga atau badan yang akan menanggulangi masalah reintegrasi. Pekerjaan rumah ini kemudian diselesaikan oleh legislatif periode 2014 – 2019 dengan membuat rancangan Qanun tentang Badan Reintegrasi Aceh (BRA).
Respon Masyarakat Terhadap Eks Kombatan Pasca Reintegrasi. Mantan kombatan GAM mulai membaur dengan masyarakat. Setelah para kombatan kembali ke desa-desa, kemudian terjadi adanya rehabilitasi harta benda Reintegrasi Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka di Gampong Dayah Tanoh Kecamatan Mutirara Kabupaten Pidie (Fajrul Zuhri, Khairulyadi) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. No 1. Januari 2017 1-13
10
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah VOLUME 1, NOMOR 1, Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip publik dan perorangan yang rusak akibat konflik. Kemudian, ada juga kebutuhan untuk berintegrasi, namun pada mantan kombatan GAM ini masih dipertanyakan. Mereka perlu beradaptasi kembali dengan lingkungan yang baru karena kehidupan mereka yanng selama ini memang menjauhkan diri dari keadaan yang semestinya. Berbagai upaya reintegrasi dilakukan oleh pemerintah, seperti penyaluran dana reintegrasi dan tanah pertanian kepada eks kombatan GAM. Namun, muncul berbagai kendala dengan tidak adanya transparasi dari pihak-pihak yang terkait. Terjadinya perbedaan kepentingan ini kemudian dapat memunculkan konflik baru. Pemerintah menginginkan adanya transparansi agar mudah dalam mempertanggungjawabkan laporan, namun dengan alasan keamanan para kombatan menolak adanya transparansi dengan menjaga kerahasiaan nama para mantan kombatan GAM. Pada awal-awal memang permasalahan-permasalahan dengan alasan keaman sangat di khawatirkan oleh para mantan kombatan Gam. Namun, dalam perjalanan proses reintegrasi dan sudah kembalinya para mantan kombatan GAM ke dalam masyarakat dan mulai hidup normal di masyarakat, kekhawatiran terhadap keamanan dan proses integrasi bisa berjalan dengan baik walaupun masih ada kendala yang lain timbul kembali. Kembalinya para mantan kombatan ini sebenarnya sudah dilaporkan oleh World Bank pada tahun 2006 yang memuat berbagai hal soal tidak adanya masalah dalam masyarakat terhadap para mantan kombatan. Masalah dalam masyarakat terhadap para mantan kombatan juga tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Ada juga beberapa masyarakat yang memang tidak suka dengan para mantan kombatan. Hal ini dikarenkan oleh penilaian dan tingkah laku para mantan kombatan yang sangat tidak baik dan terkesan sangat eklusif. Hasil wawancara dengan beberapa narasumber yang berasal dari masyarakat terlihat ada pro dan kontra terhadap kehidupan para kombatan dalam bersosialisai dengan masyarakat. Memang sebenarnya dalam kehidupan masyarakat tidak semua mantan kombatan ini tidak diterima oleh masyarakat. Hanya beberapa saja dari mereka tidak disukai oleh masyarakat karena tingkah laku. Ketidaksukaan masyarakat ini sebenarnya juga bisa dikatakan bukan masalah yang besar karena sampai saat ini belum ada kasus antara masyarakat dan para mantan kombatan mencuat ke permukaan publik. Namun, ketidaksukaan beberapa masyarakat kepada para mantan kombatan telah menjadi rahasia umum yang diketahui oleh semua orang.
KESIMPULAN DAN SARAN Reintegrasi sebenarnya bertujuan untuk membangun kembali norma-norma, nilai-nilai dan struktur sosial ekonomi masyarakat paska terjadianya konflikproses reintegrasi mantan kombatan GAM yang paling terpenting ialah bagaimana kemudian para mantan kombatan ini dapat kembali kedalam masyarakat dan sekaligus dapat bersosialisasi dengan masyarakat. Dengan didukung oleh pemerintah melalui program-program yang menjadi bagian dalam proses reintegrasi yang ada pada badan yang di bentuk oleh pemerintah, yaitu Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Pada proses reintegrasi mantan kombatan GAM sebenarnya terdapat beberapa masalah, yaitu tidak jelasnya dan juga tidak terbukanya proses reintegrasi oleh Reintegrasi Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka di Gampong Dayah Tanoh Kecamatan Mutirara Kabupaten Pidie (Fajrul Zuhri, Khairulyadi) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. No 1. Januari 2017 1-13
11
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah VOLUME 1, NOMOR 1, Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip pemerintah yang kemudian dianggab oleh sebagian besar mantan kombatan GAM proses reintegrasi adalah program yang gagal. Secara bentuk integrasi sosial, integrasi instrumentallah yang bisa dikatakan sudah bisa mulai dijalankan dalam kehidupan para mantan kombatan, tetapi dalam hal integrasi ideologis para mantan kombatan masih memisahkan diri dan terkesan eklusif karena masih bergaul berkelompok-kelompok dan menganggap merekan mempunyai ideologi sendiri dan juga berbeda dengan masyarakat. Para kombatan GAM yang kembali lebih dahulu ke gampong tidak menimbulkan masalah. Sebagian besar dari GAM yang aktif(80%) kembali ke desa pada dua bulan setelah penandatanganan MoU. Dalam hampirbanyak kasus, tingkat penerimaan terrhadap anggota GAM yang kembali cukup tinggi;90% anggota GAM dilaporkan tidak menghadapi masalah yang berat dan jikalau adamasalah bukanlah yang besar.Hal ini terjadi karena mereka yang telah kembali ke desa dan mengenali muka-muka warga desanya. Sebagian besar kombatan juga berusaha pulang ke kampung halamannya untuk waktu yang pendek ketika konflik terjadi. Tetapi tidak menutup kemungkinan ada beberapa masyarakat yang menolak dan kurang suka terhadap mantan kombatan. DAFTAR PUSTAKA Basyar, M. Hamdan, dkk. 2008. Aceh Baru: Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi. Jakarta: Pustaka Pelajar. Bhakti, Ikmar Nusa. 2008. Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki. Jakarta: Pustaka Pelajar. Bungin, Burhan. 2005. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosifis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Hamdani, dkk, 2013. Pedoman Penulisan Skripsi.Banda Aceh: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala. Kawilarang, Harry.2010. Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki. Banda Aceh: Bandar Publishing. Maryati, Kun dan Juju Suryawati. 2001. Soisologi untuk SMA dan MA Kelas XI.. Jakarta: Erlangga. Murdiyatmoko, Janu. 2007. Sosiologi: Memahami dan Mengkaji Masyarakat untuk SMA/MA. Bandung:Grafindo Media Pratama. Raharjo, Agung S. S. 2009. Buku Kantong Sosiologi SMA IPS. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Soekanto, Soerjono, 2006, ‘Sosiologi Suatu Pegantar. Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo. Reintegrasi Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka di Gampong Dayah Tanoh Kecamatan Mutirara Kabupaten Pidie (Fajrul Zuhri, Khairulyadi) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. No 1. Januari 2017 1-13
12
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah VOLUME 1, NOMOR 1, Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hasyim, Syarifuddin dan Effendi Hasan. 2012 Peran Komite Peralihan Aceh dalam Menjaga Perdamain di Aceh (Studi Khusus Gangguan Keamanan Menjelang Pemilukada 2012 di Banda Aceh Jurnal. Banda Aceh: Unsyiah. Hasyim, Syarifuddin, dkk. 2016. Media Pemikiran dan Aplikasi Universitas Syiah Kuala. Jurnal Volume 10, Nomor 2. Banda Aceh: Unsyiah. Fakhurrazi. 2011. Peran Badan Reintergrasi Damai Aceh Dalam Proses Genjatan Senjata, Demobilisasi, dan Reintergrasi di Aceh Jurnal. Aceh: Universitas Malikulsaleh. Nota kesepahaman antara pemerintah RI dan GAM 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Undang-UndangPenyenggaraan Pemerintahan di Aceh Nomor 3.2 Tahun 2005 tentang Reintergrasi Kedalam Masyarakat. World Bank (2006). GAM Reintegration Needs Assessment: Enhancing Peace throughCommunity-level 0Development Programming. Banda Aceh/Jakarta: World Bank/DSF. Kurniawan, Aris. 2015. Pengertian dan Faktor-Faktor Integrasi Sosial Menurut Ahli. (http://www.gurupendidikan.com/pengertian-dan-faktor-faktorintegrasi-sosial-menurut-para-ahli/ diunduh tanggal 7 Desember 2015) Wulandari, lly dwi. 2014. Perubahan Sosial Dan 0Kebudayaan. (http://lillydwiwulandari.blogspot.co.id/2014/10/makalah-perubahan-sosialdan-kebudayaan.html diunduh tanggal 7 Desember 2015) Zain, Rahmad Fadli. 2009. Tranformasi Politik Gerakan Aceh Merdeka. Jakarta:FISIP UI. Seputar Pengetahua. 2015. Pengertian Integrasi dan Bentuk-Bentuk. (http://www.seputarpengetahuan.com/2015/09/pengertian-integrasi-danbentuk-bentuk.html diunduh tanggal 7 Desember 2015) Harsch, Ernest. 2005. Reintegration of ex-combatants. (http://www.un.org/africarenewal/magazine/october-2005/reintegration-excombatants diunduh tanggal 10 Januari 2016)
Reintegrasi Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka di Gampong Dayah Tanoh Kecamatan Mutirara Kabupaten Pidie (Fajrul Zuhri, Khairulyadi) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. No 1. Januari 2017 1-13
13
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah VOLUME 1, NOMOR 1, Januari 2017 www.jim.unsyiah.ac.id/fisip
Reintegrasi Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka di Gampong Dayah Tanoh Kecamatan Mutirara Kabupaten Pidie (Fajrul Zuhri, Khairulyadi) Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 1. No 1. Januari 2017 1-13 14