Program Pengembangan Dayah Di Aceh Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA1
Pendahuluan Pribahasa mengatakan bahwa yang kekal di dunia ini hanyalah perubahan. Kerana itu senang atau tidak kita selalu harus menerima perubahan. Perubahan itu bisa jadi ke arah yang positif bisa juga ke arah negatif. Agar perubahan itu bisa mengarah ke positif, maka perubahan itu harus direkayasa sehingga dapat mengarah seperti kita inginkan. Bahkan lebih bagus lagi jika lebih awal diantisipasi terhadap perubahan-perubahan tersebut. Seperti zaman itu terus berubah, bersamaan dengan itu masyarakat juga akan berubah. Jika kita dapat prediksikan perubahan tersebut, apalagi jika kita dapat memprediksikan perubahan itu mengarah ke negatif atau positif, maka kita lebih baik dapat mempersiapkan sesuatu sehingga perubahan itu selalu mengarah ke positif. Dalam hal ini tak terkecuali masyarakat kita dan juga kita harus mengantisipasinya, setidak-tidaknya dengan menyediakan lembaga pendidikan yang sudah kita yakini ampuh dalam mendidik masyarakat menjadi orang-orang yang bertakwa kepada Allah yaitu dayah. Dayah dan ulama dalam sejarah Dayah (bahasa Aceh) adalah nama lembaga yang dikenal dengan sebutan pesantren di Jawa atau surau di Padang atau pondok di Thailand. Kata dayah ini berasal dari bahasa Arab “zawiyah”.2 Istilah zawiyah, secara literal bermakna sudut, yang diyakini oleh masyarakat Aceh pertama sekali digunakan sudut mesjid Medinah ketika Nabi memberi pelajaran kepada para shahabat di awal Islam.3 Orang-orang ini, sahabat Nabi kemudian menyebarkan Islam ke tempat-tempat lain. Pada abad pertengahan, kata zawiyah dipahami sebagai pusat agama dan kehidupan sufi yang kebiasaannya menghabiskan waktu di perantauan. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada waktu-waktu tertentu juga zawiyah dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual.4 Dari ilustrasi ini dapat dipahami nama ini juga kemudian sampai ke Aceh. Sejak Islam menapak di Aceh (800 M.) sampai tahun 1903 tidak ada lain lembaga pendidikan di Aceh kecuali dayah. Dayahlah yang telah mendidik rakyat Aceh pada masa lalu sehingga mereka ada yang mampu menjadi raja, menteri, panglima militer, ulama, ahli teknologi perkapalan, pertanian, kedokteran dll. Kerana peran-peran ulama di masa dahulu, baik mengajar maupun menulis sejumlah kitab yang telah mempengaruhi pemikiran Islam di Asia Tenggara inilah yang telah mengharumkan nama Aceh pada masa lalu sampai diberi julukan Aceh sebagai Serambi Makkah. Ulama, bagi masyarakat Aceh sering dipanggil teungku. Secara kultural, teungku merupakan orang-orang tamatan dayah, atau setidak-tidaknya pernah belajar dilingkungan 1 Dosen, dan Pembantu Rektor bid. Kerjasama dan luar negeri IAIN Ar-Raniry, Darussalam Banda Aceh. 2 C. Snouck Hurgronje, The Atjehnese, A.W.S.O’Sullivan (terj), Vol.I, (Leiden: E.J.Brill, 1906), h. 63 3 Tgk. Mohd Basyah Haspy, Apresiasi terhadap Tradisi Dayah: Suatu Tinjauan Terhadap Tata Krama dan Kehidupan Dayah, (Banda Aceh: Panitia Seminar Appresiasi Pesantren di Aceh, Persatuan Dayah Inshafuddin, 1987), hal. 7 4 H.A.R. Gibb dan Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J.Brill, 1961), h. 657
130
dayah. Hal ini dipahami kerana sampai sekarang ini dayah, untuk kultur Aceh, masih dipandang sebagai soko guru pendidikan agama dan keulamaan. Demikian juga orang-orang yang terlibat dalam lembaga keagamaan desa adalah umumnya lulusan dari dayah. Dalam masyarakat Aceh golongan ulama adalah salah satu kelompok yang amat penting, antara lain kerana posisinya sebagai pemimpin-pemimpin informal.5 Dalam sejarah masyarakat Aceh, terdapat hubungan-hubungan antara ulama, masyarakat dan pemerintah yang sangat intim. Hal ini dapat dilihat dari satu contoh, kebersamaan mereka ketika berjuang mempertahankan negara dari agresi penjajahan Belanda. Bahkan juga ketika usaha mengusir Belanda yang telah berusaha menduduki Aceh secara paksa. Pada masa tersebut posisi ulama malah di depan, bertindak sebagai pemimpin rakyat Aceh. Posisi ulama yang demikian, tidak hanya disebabkan oleh anggapan masyarakat sebagai orang-orang yang berilmu tinggi, tetapi juga sebagai pemimpin-pemimpin dan panglima perang. Mereka juga selalu dapat membuat interpretasi situasional berdasarkan nilai agama.6 Kedudukan ulama yang begitu dominan dalam masyarakat Aceh, sebenarnya tidak hanya selama perang kolonial Belanda di Aceh, tetapi telah dimulai sejak terbentuknya masyarakat Aceh yang islami, yaitu sejak awal terbentuknya sistem politik, yang berwujud dalam bentuk kerajaan-kerajaan Islam di kawasan pantai. Hal ini berkaitan erat dengan proses islamisasi sebagai pra kondisi terciptanya sistem politik. Peran ulama di Aceh, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan telah terlihat sejak awal terbentuk masyarakat Islam secara politik yaitu pada masa-masa kesultanan Islam. Contoh kongkritnya pada masa pemerintahan Malik Al-Zahir. Ibnu Batutah yang mengunjungi kerajaan itu tahun 1345 menulis dalam catatannya bahwa raja yang memerintah sangat taat beragama dan baginda sentiasa dikelilingi oleh para ahli agama. Diantara mereka adalah Qadi Syarif Amir Sayyid dari Shiraz dan Tajuddin dari Isfahan.7 Ketika Iskandar Muda memerintah Kerajaan Islam Aceh Darussalam (1607-1636), dia memilih Syeikh Syamsuddin al-Sumatrani sebagai penasehatnya dan sebagai mufti yang bertanggungjawab dalam urusan keagamaan.8 Nuruddin Ar-Raniri dipilih sebagai Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam pada periode Sultan Iskandar Tsani. Ulama ini bertugas tidak hanya dalam bidang agama, tetapi juga dalam ekonomi dan politik.9 Syeikh 'Abdul Rauf al-Singkili di tetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil Kerajaan Islam Aceh selama periode empat orang ratu di Aceh.10 Abdul Rauf sudah banyak meninggalkan jasanya dalam menyelesaikan konflikkonflik masyarakat Aceh. Konflik tersebut antara lain, pertama, konflik keagamaan yang terjadi antara pengikut ajaran wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah al-Funsuri dan 5
T. Ibrahim Alfian, "Cendekiawan dan Ulama dalam Masyarakat Aceh: Sebuah Pengamatan Permulaan", dlm Alfian (ed.) Segi-Segi Sosial Budaya Mas yar akat Aceh , (Jakarta: LP3ES, 1977), hal. 204. 6 T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), hal. 17 7 Muhammd Gade Ismail, Pasai Dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13 Sampai dengan Abad ke-16 (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasiona1,1993), hal. 33. 8 Teuku Iskandar, De Hikayat At jeh (`S-Gravenhage: N. V De Nederlandshe Boek-en Steendrukkerij, V H. L. Smits, 1959), hal. 153. 9 Azyumardi Azra, The Transmission of Islamic Reform to Indonesia.- Networks of Middle East and Malay Indonesian Ulama in Seventeenth and Eightteenth Centuries,dissertasi Ph.D (New York: Colombia University, 1992), hal. 351. 10 A. Hasjmy, 59 Aceh Merdeka Di Bawah Pemerintahan Ratu (Jakarta: Bulan Bintang,1977), ha1.40.
131
Syamsuddin al-Sumatrani dengan pengikut ajaran Nuruddin ar-Raniri yang menentang aliran wujudiyah. Kedua, ketika terjadi konflik politik antara ulama yang tidak sependapat dengan kepemimpinan wanita dengan ulama-ulama yang setuju bahwa wanita boleh menjadi pemimpin negara dalam negara Islam. 11 Konflik antara rakyat Aceh dan pemerintahan pusat yang terjadi pada tahun 1953 sampai 1960-an, juga telah melibatkan sejumlah ulama dalam usaha menyelesaikannya sehingga tercipta kedamaian lagi di Aceh. 12 Misalnya usaha dari Tgk Nur El-Ibrahimi 13 di Jakarta berusaha menjelaskan kepada pemerintah, mengenai kedudukan sebenarnya Gerakan DI-TII di Aceh, sebab-sebab muncul dan kiprahnya di Aceh. Dengan demikian dapat memperkecil rasa permusuhan pemerintah terhadap gerakan ini. Tgk Nur Ibrahimi sendiri juga diutus ke Aceh untuk membujuk Tgk M. Daud Beureueh agar mau berkompromi dengan pemerintah RI, menyelesaikan perbedaan pandangan antara Aceh dan Jakarta. Diangkatnya A. Hasjmy, 14 sebagai gubernur Aceh pada tahun 1967, secara eksplisit terkandung niat pemerintah pusat untuk menjadi sarana penyelesaian konflik di Aceh ketika itu. Konflik antara rakyat Indonesia yang ada di Aceh dengan PKI di tahun 1965, lagilagi ulama muncul sebagai pemberi fatwa untuk penyelesaian. Diawali oleh peristiwa yang tak terlupakan oleh bangsa Indonesia yaitu "Gerakan 30 September PKI". Gerakan ini telah merongrong kewibawaan negara dan puncaknya telah terbunuh sejumlah jenderal dan kegelisahan rakyat terutama sekali umat Islam kerana ajarannya yang atheis dan tindakan-tindakan kekejaman diluar prikemanusiaan. Hal ini dianggap memerlukan tindakan yang tegas dari pemerintah, kerana kalau tidak, dikhawatirkan akan terjadi peristiwa yang sangat merugikan negara dan bangsa Indonesia bahkan juga akan merugikan umat Islam. Namun, pemerintah ketika itu tidak memiliki kekuatan untuk menghancurkannya. Ishak Juarsa sebagai paglima KODAM I ketika itu meminta pandangan dan fatwa ulama. Musyawarah ulama dalam hal tersebut telah sepakat mengharamkan partai Komunis dan siapa yang menjadi anggotanya dihukum kafir. 15 Dengan fatwa itulah kemudian KODAM I Iskandar Muda mulai melancarkan pembersihan terhadap partai Komunis. Keputusan dan tindakan ini dianggap suatu tindakan tegas dan paling berani, kerana Aceh lebih dahulu bertindak sebelum dimulai di daerah-daerah lain dalam wilayah Indonesia.16 Pengalaman paling akhir adalah konflik antara Pemerintah Pusat RI dan GAM. Pertentangan ini lebih terjurus pada politik yang diawali oleh salah penanganan pemerintah terhadap daerah Aceh baik dalam masalah ekonomi, politik, pendidikan, bahkan adat dan budaya. Konflik ini pun telah memakan korban yang begitu banyak baik manusia maupun harta benda termasuk lembaga-lembaga pendidikan yang itu semua berakibat kerugian bagi masyarakat Aceh. Sekian tahun konflik ini berjalan dan bermacam usaha telah dilakukan oleh pemerintah baik melalui saluran dialog maupun 11
C. Snouck Hurgronje, "Een Mekkaansh Gezantschap Naar Atjeh in 1683, BKI 65, (1993),
hal. 144 12
Nur El Ibrahimy, Tgk Muhamad Daud Beureueh (Jakarta: Gunung Agung, 1990). Tgk M. Nur El-Ibrahimi adalah salah seorang pengurud PUSA di Aceh kemudian terpilih menjadi anggota DPR (Konstituante) melalui partai Masyumi 14 A. Hasjmy selain sebagai intelektual, pernah menjadi wartawan dan penulis terkenal, juga dikenal sebagai ulama. A. Hasjmy sejak kepulangannya dari Jakarta di tahun 1967 terus menjadi anggota majhs Ulama Aceh, pernah menjadi wakil ketua dan sejak meninggalnya Tgk Abdullah Ujong Rimba, A. Hasjmy menjabat ketua MUI Aceh hingga akhir hayatnya pada tahun 1998, 15 Tgk. Abdullah Ujung Rimba, "Prasaran Pada Musyawarah Alim Ulama Se-Daerah Istimewa Atjeh tg117-18, Desember 1965." 16 Hamish McDonald, Suharto's lndoneria (Honolulu: The University Press of Hawai, 1981), hal. 63; Ismuha, Sejarah Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh: Sekretariat Majlis Ulama Propinsi Aceh, 1983). 13
132
operasi militer, namun konflik tersebut tetap berlangsung dan korbanpun tidak dapat dihindari. Terakhir pemerintah Pusat berusaha mengajak ulama secara intens agar terlibat untuk meredam konflik ini dengan cara mengajak ulama berdialog dengan para pemimpin GAM, baik yang di dalam maupun yang berada di luar negeri. Keterlibatan mereka sedikit demi sedikit telah mengendurkan ketegangan-ketegangan dan pada akhirnya mereka sepakat untuk mengadakan perjanjian perdamaian. Dan Aceh sekarang sedang menikmati kedamaian. Memang, peran ulama dalam masyarakat Aceh masih dominan, tetapi menghadapi dunia global sekarang, Aceh pun telah menjadi salah satu titik dari dunia global tersebut. Apalagi setelah tsunami dan meredanya konflik Aceh benar-benar telah menjadi salah satu pusat informasi internasional. Kerana itu, ulama alumnus dayah yang banyak telah berhasil mengayomi umat hendaknya dapat juga berperan di tingkat nasional dan internasional. Alumni dayah ini sebaiknya juga dapat berfungsi sebagai penyejuk tidak hanya masyarakat Aceh, tetapi juga masyarakat nasional bahkan internasional. Melihat pada sikap dan fungsi mereka yang selalu ingin membawa masyarakat ke dalam damai, seharusnya mereka juga menjadi sumber informasi bagi masyarakat internasional. Bagi ummat Islam sendiri dibutuhkan ulamaulama yang dalam, luas, dan kuat ilmunya untuk memberi penjelasan mengenai Islam, bahwa Islam ini sebenarnya agama yang ingin menciptakan rahmat untuk kehidupan umat di permukaan bumi ini. Tidak seperti dipahami oleh sebagian orang selama ini seakan-akan Islam itu sama dengan teroris. Rencana Pembangunan Aceh 20 tahun Akan datang Sesuai amanat Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006, agama Islam diharapkan akan menjadi acuan pada setiap aspek pembangunan mulai dari pembinaan politik, penciptaan keamanan, penguatan pertahanan, ketertiban sampai pada pembangunan ekonomi, hukum, dan sosial budaya. Disamping pembangunan agama yang diharapkan menjadi landasan ideal pembangunan Aceh ke depan, totalitas pembangunan juga harus memiliki ruh agama. Diantara ruang lingkup pembangunan agama Islam ditujukan untuk memulihkan fungsi lembaga-lembaga keagamaan, sarana dan prasarana ibadah, pendidikan, pendalaman nilai-nilai keislaman, sehingga dapat memberikan pelayanan publik secara maksimal dan optimal di bidang agama. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan pemerintahan Aceh menuju masyarakat yang bermartabat berdasarkan Syari’at Islam secara kaffah, maka pembangunan dibidang agama untuk masa 20 tahun kedepan diharapkan mampu menjadikan fungsi dan peranan agama Islam serta adat istiadat17 sebagai jati diri dan kebanggaan masyarakat Aceh yang mandiri dan madani. Oleh kerana itu pembangunan yang harus dikembangkan pada masa yang akan datang ditujukan kepada perbaikan dan peningkatan kualitas umat dalam bidang aqidah, syari’at, akhlak, ibadah, mu’amalah, dakwah dan pendidikan agama Islam yang sinergis dengan pengembangan di sektor atau bidang lain. Pembangunan agama dilakukan untuk meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis baik intern umat beragama maupun antar umat beragama dan pemerintah, sehingga akan tercapai tasamuh (toleransi), tenggang rasa, kasih sayang, dan tolong menolong. Untuk itu pembangunan bidang agama hendaknya betul-betul meningkatkan kualitas, peran berbagai lembaga agama dan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab pada agama termasuk sumber daya ulama yang di antaranya adalah dayah. Pembangunan agama diarahkan untuk memantapkan fungsi dan peran agama sebagai modal dasar pembangunan Aceh yang berbasis pada akhlak mulia, etika, moral dan sosial 17
Adat istiadat ini dimaksudkan, adat Aceh yang bersumber pada Islam dan adat istiadat pun yang sejalan dengan ruh Islam.
133
yang mengacu pada IPTAQ dan IPTEK guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Pemerintahan Aceh harus terus menerus diusahakan dalam situasi yang aman, damai, maju dan mandiri. Hal ini harus tercermin dari meningkatnya rasa aman dan damai bagi seluruh rakyatnya, serta terjaganya keutuhan wilayah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan kedaulatan Negara RI dan ancaman disintegrasi bangsa. Pembangunan tersebut harus memiliki pencapaian terwujudnya karakter masyarakat yang agamis, dinamis, tangguh, kompetitif, berakhlak mulia dan bercirikan pada watak dan perilaku masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah, berakhlak mulia, tasamuh, yang berorientasi pada IPTAQ dan IPTEK, tercermin dalam meningkatnya pergaulan antara sesama bangsa melalui peradaban, harkat dan martabat. Pendidikan di Dayah dan Orientasinya Berdasarkan prediksi perkembangan zaman dan masyarakat masa akan datang maka rencana pembangunan Aceh pun memerlukan visi masa depan. Rencana pembangunan itu termasuk lembaga pendidikan seperti dayah. Berdasarkan visi pembangunan yang direncanakan masa datang, maka kita pun harus menyesuaikan program-program pengembangan dayah untuk masa akan datang. Penyesuaiannya mulai dari tujuan dari pendidikan dayah, artinya untuk apa kita didik santri-santri di dayah, mau menjadi apa mereka setelah menamatkan pendidikan di dayah. Penyesuaian ini juga membutuhkan rekayasa kurikulum sehingga akan dapat menghasilkan alumnus seperti yang kita harapkan. Sejalan dengan perkembangan masyarakat yang kebanyakan sebagai dampak perkembangan teknologi akan mempengaruhi pula perkembangan umat Islam. Kerana itu ulama yang dihasilkan oleh dayah di masa hadapan maka harus pula disesuaikan dengan tuntutan zaman. Dayah sudah seharusnya mampu memproduksi ulama tidak hanya untuk kosumsi regional, tetapi untul level nasional dan internasional. Ada beberapa kebutuhan di masing-masing level ini. Ulama tingkat regional dibutuhkan misalnya kebutuhan a.) Teungku imum dan guru rumoh beut (rumah pengajian). b.) Hakim mahkamah syari’ah. c.) Da’i perbatasan dalam rangka menjaga aqidah ummat. d.) Tenaga wilayatul hisbah yang benarbenar profesional, memiliki ilmu intelligen dll. e.) Tenaga sosialisasi penerapan syari’at Islam (da’i), dengan berbagai metode dan berbagai fasilitas, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan sains serta teknologi. f.) Sumber berita untuk pers daerah dalam menyejukkan ummat. Ulama level nasional untuk memenuhi: a.) Kebutuhan pada hakim agung dalam bidang syari’at Islam. b.) Calon menteri agama. c.) Calon ketua Majelis Ulama Indonesia. d.) Anggota fatwa hukum tingkat nasional. e.) Kebutuhan konsultan para menteri. f.) Da’i /penceramah untuk kebutuhan dalam wilayah Indonesia. g.) Penceramah hari-hari besar Islam di Istana dan pendopo-pendopo, dan kantor-kantor perusahaan besar. h.) Sumber berita pers nasional dalam rangka memberi solusi-solusi permasalahan nasional Ulama level internasional dibutuhkan dalam rangka memenuhi: a.) Kebutuhan pada pimpinan organisasi Islam internasional. b.) Pemberi fatwa mengenai hukum-hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat internasional. c.) Pemberi pendapat solusi-solusi persoalan internasional antar umat Islam dan/atau antar negara. d.) Sumber berita pers untuk kosumsi internasioanal yang dapat menyegukkan ummat di tingkat internasional. e.) Untusan perunding untuk keselamatan ummat tingkat internasional. Selama ini dayah memang mempersiapkan alumnusnya menjadi ulama, tetapi ulama yang dihasilkan selama ini hanya dapat berkiprah tingkat regional saja. Pertama, kerana bahasa yang dipelajari terbatas. Bahasa Arab yang dipelajari bahasa Arab kitab klasik dan juga bahasa pasif, sehingga tidak dapat berkomunikasi dengan dunia luar. Kitab yang
134
berbahasa Arab klasik kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lama, yang tidak hidup lagi dalam masyarakat dan bahkan tidak memperhatikan struktur bahasa. Sebagiannya malah juga diterjemahkan ke dalam bahasa Aceh atau dicampur antara bahasa Indonesia dan bahasa Aceh. Akibat dari ini mereka tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik, dan kerana itu pula komunikasi mereka dalam bidang ilmu tidak begitu lancar. Lebih-lebih lagi dalam bahasa tulisan, mereka hampir tidak ada yang dapat menembus dunia baca publik. Kedua, kitab yang diajarkan selama ini sebagai kitab warisan dari gurunya di mana mereka mengaji sebelumnya. Hampir semua kitab, terutama sekali yang berhubungan dengan fiqih, yang dipelajari adalah kitab klasik yang ditulis sekitar lima ratus tahun yang lalu dan terbatas pada kitab-kitab dalam mazhab Imam Syafi’i, misalnya Matan Taqrib, Fathul Qarib, Al-Bajuri, I’anat al-Thalibin, Mahalli, Syarah Muhazzab, Fath al-Wahab, Tuhfah dll.18 Dalam pelajaran tafsir mereka hanya menggunakan kitab tafsir Jalalain. Kitab tafsir ini lebih beroriantasi pada penjelasan makna bahasa. Untuk pelajaran sejarah mereka hanya menggunakan kitab khulasah dan Nurul Yakin. Pembahasan sejarah Islam dalam kitab ini hanya sampai masa Al-Khulafa al-Rasyidun saja. 19 Sedangkan dalam bidang tasawuf yang paling tinggi mereka gunakan kitab Ihya Ulumiddin karangan Imam al-Ghazali. Untuk pelajaran Tauhid mereka menggunakan kitab Syarkawi ‘Ala al-Hududi20 Melihat pada kurikulum yang ditawarkan agaknya pemahaman mereka dalam bidang fiqih klasik cukup dalam. Demikian juga bahasa Arab cukup kuat ilmu dasarnya bahkan juga vocabulary dalam ilmu Tawhid, Fiqih dan Tasawwuf. Tetapi melihat pada persoalanpersoalan yang muncul sekarang agaknya belum cukup sumber bacaan mereka yang membuat mereka lancar dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul sekarang. Dalam hal inilah agaknya perlu dipikirkan apa usaha yang dapat dilakukan sehingga ulama dayah yang akan dihasilkan akan datang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah kita singgung sebelumnya. Mungkin kalau diusahakan untuk merubah kurikulum secara spontan di dayah, tidak dapat diterima oleh ulama-ulama dayah. Pertama, hal itu merupakan domain nya ulama dayah. Kedua, mereka harus lebih dulu meneliti apakah kitab-kitab tersebut sejalan dengan aliran tauhid mereka yaitu aliran ahlussunnah wa al-Jama’ah dan fiqih mazhab Syafi’i. Ketiga, kalau juga di ajarkan, siapa gurunya, dan guru itu juga harus diuji apakah sejalan dengan aliran pemikiran mereka, kecuali ilmu yang tidak berhubungan dengan ilmu agama seperti ilmu bahasa. Hal yang mungkin dapat dilakukan dalam waktu dekat adalah menyediakan perpustakaan untuk mereka dan kemudian mengisinya dengan kitab-kitab atau buku yang dianggap diperlukan dan sangat bermanfaat dalam mengembang cakrawala mereka. Perlu diingat mengisi perpustakaan dayah tidak boleh menyamakan dengan mengisi perpustakaan sekolah. Kita harus sangat selektif sehingga tidak menimbulkan kesan kita ingin merusak citra dayah yang sudah sangat dicintai oleh masyarakat kerana kebersihannya dari warna lagha atau maksiat. Artinya ilmu yang dipelajarinya benar-benar ilmu Allah, sehingga menuntut ilmu di dayah benar-benar merupakan jihad fi sabilillah. Program jangka panjang adalah mengadakan pendidikan Studi Purna Dayah kepada alumni dayah yang telah menamatkan kitab mahalli, atau tamat Fathu al-Wahab, bagusnya yang sudah tamat tuhfah (kalau ada), dengan kurikulum khusus, seperti perbandingan mazhab, 18
Tgk H. Jamaluddin Waly, Eksistensi Dayah Shalafiyah di Aceh, paper pada Pelatihan Metodologi Pembelajaran di Dayah Shalafiyah, Banda aceh 2 Desember 2006. 19 Wawancara dengan tgk Bustami, salah satu pimpinan Dayah Riyadhussalihin, Lam Ateuk A. Besar. 20 Wawancara dengan Tgk Tarmizi, salah satu alumnus dayah salafiah Mudi Mesra, Samalanga, Kab. Bireun.
135
fiqh dalam bidang ekonomi modern, fiqh siyasah, mulai dari klasik sampai modern. Dalam bidang sejarah, tarikh Islam lengkap dari masa klasik, masa pertengahan sampai masa modern, termasuk sejarah pekembangan ilmu dalam Islam. Tafsir, sejarah tafsir dan perbandingan tafsir. Dalam bidang hadits, dimulai dari sejarah pengkodifikasian hadits sampai takhrij hadits. Mata pelajaran khusus lainnya adalah analisis kitab. Kitab apa yang akan dianalisis tergantung kesepakatan antara guru dan mahasiswa. Sebenarnya ada banyak potensi dasar yang dimiliki dayah yang mudah dikembangkan. Pertama telah sangat kuat dalam ilmu bahasa Arab dan memiliki dasar keterampilan berbahasa Indonesia. Agar mereka dapat berkomunikasi tingkat nasional, tinggal membiasakan menggunakan bahasa Indonesia yang benar melalui membaca surat kabar, artikel-artikel ilmiah dan buku-buku yang terbit sekarang sehingga dengan demikian sekaligus terperbaiki bahasa Indonesia dan mendapat ilmu baru. Untuk memiliki alat komunikasi tingkat internasional, tinggal mengaktifkan bahasa Arabnya yang sudah cukup kuat dalam membaca teks. Ada satu lagi potensi besar di dayah, mereka banyak yang menguasai ilmu mantik dengan kuat dan juga ilmu ushul Fiqh. Ilmu ini sangat dipentingkan dalam melatih kemampuan dalam berdialog dengan ilmu-ilmu lain atau ilmuwan lainnya. Ilmu ini hanya perlu penambahan pendalaman saja. Sangat sempurna lagi jika mereka ingin menghiasinya dengan ilmu filsafat. Terserah kepada mereka setuju atau tidak dengan ilmu filsafat, tetapi sangat baik jika dipelajari sehingga ketika menolak pendapat orang lain yang menggunakan filsafat cukup mudah kerana ilmu itu telah dikuasai sebelumnya. Seperti juga Imam Al-Gazali telah mampu menolak pikiran filsafat orang lain kerana dia sendiri menguasai ilmu filsafat baik. Bangunan Fisik yang Diharapkan di Masa Datang Untuk suksesnya pendidikan dayah seperti kita harapkan kitapun harus melengkapi fasilitasfasilitas penting yang menunjang pelaksanaan pendidikan. Demikian juga fasilitas tersebut selain untuk menunjang suksesnya pendidikan juga untuk mengundang daya tarik siswa yang akan belajar di sana. Selama ini fasilitas yang ada di dayah sangat-sangat terbatas. Malah ada diantara dayah, ruang belajar pun tidak memenuhi syarat, baik dari sisi kesehatan maupun sisi kenyamanan. Ada diantara dayah yang masih menggunakan tempat tidur bersama, dan kamar itu pula digunakan sebagai tempat shalat jamaah. Di masa akan datang pemerintah harus memfasilitasi pembangunan dayah sehingga menjadi lembaga pendidikan yang memenuhi standar bersih lingkungan dan sehat, mulai dari tata ruang sampai lingkungan. Diperkirakan sekarang hanya 30% dayah yang memenuhi standar ini. Hal ini penting untuk kenyamanan santri belajar, baik untuk betahnya mereka belajar dalam waktu yang lama maupun untuk menjadi daya tarik mereka belajar di dayah. Di samping itu juga demi kesehatan mereka dan kebanggaan. Secara psikologis anak muda pasti ada kebanggaan terhadap kampusnya yang menarik. Demikian juga dengan perpustakaan dayah. Diperkirakan hampir semua dayah salafiah yang ada sekarang tidak memiliki perpustakaan. Kalau ada kitab-kitab dan buku-buku yang didistribusikan oleh berbagai lembaga selama ini, mereka tempatkan di rumah pimpinan dayah. Tidak ada pegawai dan tidak ada sistem. Padahal perpustakaan adalah guru yang paling efektif bagi setiap santri yang memiliki minat baca tinggi. Kesimpulan
136
Sebagaimana kenyataan bahwa alam ini terus berubah dan sebagiannya kearah kemajuan, maka tidak boleh tidak umat Islam pun berusaha menyesuaikan ilmunya dengan perubahan tersebut. Sebenarnya yang terbaik adalah justeru umat Islam yang membuat kemajuankemajuan sehingga umat lain yang harus melakukan penyesuaian-penyesuaian. Dalam hal ini tidak terkecuali masyarakat yang berkutat dengan dayah apakah kerana aktivitas hari-harinya di dayah atau orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan dayah, harus memikirkan lebih serius sehingga dayah akan terus diminati dan dikagumi oleh umat di masamasa hadapan.
137