eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2(1): 231-244 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
Upaya ARF Dalam Penyelesaian Konflik Klaim Kepulauan Spratly M.Khalil Afif1 NIM.0702045076
Abstract The research explains ASEAN’s Regional Forum Efforts in Conflict Settlement of Spratly Islands claims. This research describes factors which pushed ASEAN to attain and makes an efforts in Conflict Settlement of Spratly Islands Claims in 2000-2010, where the conflict has occurred in a long period and there is no any indication to subside. The results of the study indicate that there is a connection between the main issue of ASEAN’s efforts in conflict settlement and involved countries desire to reduce in peaceful way and avoid an open conflict. Keywords:ASEAN, Spratly Islands Pendahuluan Kepulauan Spratly merupakan pulau yang tidak berpenghuni dan relatif tidak ada aktivitas ekonomi daratannya yang terletak di laut China selatan, dibatasi 4° LU dan 109° BT ke arah Barat Laut antara 11° 31’ LU dan 117° BT dan karang yang luas daratannya kurang dari 4 km², tetapi melingkupi lautan seluas 410.000 km². Kepulauan ini dibatasi oleh wilayah perairan dari beberapa negara yaitu: Filipina, Vietnam, Indonesia dan Malaysia. Kepulauan ini terletak kurang lebih 1.100 Km dari pelabuhan Yu Lin (P.Hainan) Republik Rakyat China (RRC) dan 500 Km dari pantai Kalimantan bagian Utara. Wilayah ini telah lama dianggap sebagai sumber utama ketegangan di Asia Timur. Mengatasi resiko untuk kemungkinan konflik diatas sengketa pengklaiman kepulauan Spratly telah menjadi tantangan yang signifikan dalam hubungan regional. Tantangan ini sekarang ditemui, sebagian besar melewati konsultasi diplomatik antara negara anggota ASEAN dan Cina. Secara khusus, upaya yang cukup besar telah dikeluarkan lebih dari dekade yang lalu dalam membangun sebuah pengendalian yang kooperatif untuk Laut Cina Selatan yang dapat membantu mengurangi potensi konflik yang telah lama muncul di wilayah tersebut. (www.irjournal.webs.com, diakses pada tanggal 12 Januari 2010) 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 231-244
Kawasan ini menjadi sangat penting karena merupakan kawasan yang bernilai ekonomis, politis dan strategis, juga potensi geografis maupun potensi sumber daya alam yang dimilikinya. Selain itu, kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur lintas laut perdagangan internasional). Kepulauan spratly terhubung langsung dengan samudra Indonesia, selat malaka, selat sunda dan samudra pasifik sehingga menjadikan kawasan itu mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerjasama. Paling tidak ada 6 negara yang mengajukan klaim atas wilayah tersebut yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Brunei, Filipina dan Malaysia, belum termasuk negara-negara maju yang juga punya kepentingan tersendiri terhadap kepulauan ini. Pertentangan antar negara dalam memperebutkan kepulauan Spratly tidak hanya sebatas mengklaim pulau itu sebagai miliknya. Tetapi lebih jauh, masing-masing negara telah melakukan pendudukan di kepulauan Spratly. Misalnya saja dengan mengibarkan bendera, menduduki dan membangun benteng, mendirikan bangunan dan tanda-tanda di atas pulau itu; mengadakan stasiun penelitian pengetahuan yang seharusnya berada di bawah mandat organisasi internasional, mengeluarkan undang-undang, menggabungkan pulau-pulau dengan provinsi berdekatan, menerbitkan peta-peta baru, menerbitkan dokumen-dokumen sejarah yang berkaitan dengan dasar tuntutan; mengizinkan turis dan jurnalis berkunjung ke pulau-pulau “mereka”, memberikan konsensi minyak kepada perusahaan asing di wilayah sengketa dan menempatkan pasukan militer. (www.tabailenge.wordpress.com, diakses pada tanggal 12 Januari 2010) Konflik akibat sengketa ini cukup banyak terjadi. Dimulai pada konflik bersenjata antara Cina dan Vietnam pada tahun 1988. Selain itu juga terjadi tembak menembak antara kapal perang Cina dan Filipina dekat pulau Campones pada tahun 1996. ( http://repository.unhas.ac.id, diakses pada tanggal 20 Juli 2011) Memanasnya kembali ketegangan sejak akhir Februari 2011 terkait perebutan wilayah atas Kepulauan Spratly antara China dan empat negara anggota ASEAN; yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei membuat situasi dan kondisi di Laut China Selatan tidak aman dikarenakan ketidakpastian hak kepemilikan atas kepulauan Spratly dan sewaktu-waktu bisa terjadi perang antar Negara yang bertikai. Dalam rangka meredakan konflik mengenai kepemilikan Spratly, negara-negara yang terlibat sengketa berusaha melakukan perundingan dan dialog bilateral. Pertemuan bilateral dilakukan oleh negara-negara yang berkonflik sejak 1988 untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui diskusi dan konsultasi. Dari pertemuan-pertemuan ini, terlihat bahwa negara-negara tersebut setuju untuk mencari penyelesaian secara damai melalui konsultasi, membangun rasa percaya, membentuk berbagai kerja sama, dan berusaha untuk tidak menggunakan kekuatan senjata. Selain itu, ketiga negara tersebut (Cina, Vietnam dan Filipina) setuju untuk mengakui atau menyelesaikan sengketa mereka atas dasar prinsipprinsip hukum Internasional, termasuk Konvensi Hukum Laut 1982 (KLH 1992). (www.irjournal.webs.com, diakses pada tanggal 12 Januari 2010) Namun pertemuan bilateral tersebut tidak berjalan sesuai dengan keinginan. Ini dilihat 232
Upaya ARF dalam penyelesaian Konflik Klaim Kepulauan Spratly (M. Khalil. Afif.)
dengan masih adanya pergesekan-pergesekan antar negara-negara yang berkonflik tersebut. Tidak efektifnya pertemuan bilateral negara-negara yang bekonflik tersebut dilihat ASEAN sebagai ancaman keamanan kawasan yang suatu saat bisa menjadi konflik terbuka. ASEAN berpandangan bahwa, terjadinya beberapa insiden antara China – Filipina dan Vietnam kembali menciptakan ketegangan serta berpotensi menciptakan perang terbuka terhadap ketiga negara yang terlibat sekaligus menciptakan gangguan keamanan di laut china selatan. Ini menunjukkan bahwa masih ada beberapa hal yang masih belum ditaati dan disepakati di antara negara yang berkonflik, tujuan dari campur tangan ASEAN adalah untuk memastikan bahwa perselisihan yang terjadi di Laut Cina Selatan yang melibatkan 4 Negara anggota ASEAN ( Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam) dengan China, dapat diselesaikan dengan cara-cara diplomatik, tanpa harus menggunakan kekuatan militer. ASEAN berupaya menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan yang aman, tertib, damai dan stabil. Dan itu hanya dimungkinkan apabila masalah Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan dapat diselesaikan melalui pendekatan diplomasi yang mengutamakan dialog bagi para pihak yang terlibat sengketa. Penelitian yang digunakan adalah Deskriptif, yaitu memberikan gambaran dan menjelaskan Upaya yang dilakukan oleh ASEAN dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Laut China Selatan yaitu sengketa antar negara anggota ASEAN dan Cina terhadap kepemilikan Kepulauan Spratly. Serta teknik analisa data yang digunakan penulis adalah teknik analisis kualitatif. Kerangka Dasar Teori 1. Konsep resolusi konflik (Peranan pihak ketiga) Dalam setiap konflik pastilah akan merujuk pada penyelesaian konflik itu sendiri,dimana penyelesaian dapat memakan waktu yang pendek atau panjang sehingga memerlukan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Adapun pihak ketiga ini diperlukan sebagai negosiasi atau mediator antar negara yang bertikai. Menurut Burton, resolusi konflik artinya menghentikan konflik dengan cara-cara yang analitis dan masuk ke akar permasalahan. Resolusi konflik dalam jangka panjang merupakan suatu proses analisis dan penyelesaian masalah yg mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan, juga perubahan-perubahan institusi yg diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. (www.scripps.ohiou.edu, diakses pada tanggal 18 Januari 2010). Terdapat 3 prosedur pokok dalam penyelesaian konflik yaitu: a. Mediasi,yaitu adanya campur tangan pihak ketiga dalam proses perundingan tanpa terkait didalamnya kepentingan langsung dalam isu2 yg menjadi pokok permasalahan. b. Perundingan bilateral atau multilateral diantara pihak yg terlibat langsung dalam konflik tersebut. 233
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 231-244
c. Adanya keputusan, dimana satu pihak independent memutuskan suatu penyelesaian melalui jenis imbalan tertentu.
Resolusi konflik diusahakan untuk melihat dan masuk keakar sebuah permasalahan agar masalah tersebut tidak meluas dan melebar, yang diperlukan dalam penelitian ini. Sehingga nantinya akan terlihat upaya penyelesaian yang tepat. Dalam kasus ini resolusi konflik yang digunakan yaitu melalui mediasi. Dengan adanya campur tangan ASEAN dalam penyelesaian konflik di kepulauan Spratly diharapkan mampu memecahkan masalah serta menangani dampak yang muncul akibat konflik tersebut dan pada akhirnya akan menghasilkan suatu keputusan yang tidak berpengaruh terhadap hubungan bilateral negara yg berkonflik dan stabilitas keamanan di kawasan laut Cina Selatan. ASEAN sebagai mediator berunding langsung dengan pihak-pihak yang berkonflik menahan diri agar tidak terprovokasi atas tindakan arogan yang dilakukan oleh salah satu pihak, seperti latihan-latihan militer diwilayah sengketa tersebut, meminta dan mencegah dilakukannya gencatan senjata. Upaya yang dilakukan ini adalah untuk mencegah adanya konflik terbuka yang bisa berarah kepada gencatan senjata dan dapat mengganggu stabilitas keamanan kawasan. 2. Konsep Peran Organisasi Internasional Peran organisasi Internasional dapat dibagi kedalam tiga kategori yaitu : ( T.May Rudy – 2005: 97) 1. Sebagai instrument. Organisasi Internasional digunakan oleh Negara-negara anggotanya untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan tujuan politik luar negerinya. 2. Sebagai arena. Organisasi Internasional merupakan tempat bertemu bagi anggota-anggotanya untuk membicarakan dan membahas masalah-masalah yang dihadapi. Tidak jarang organisasi Internasional digunakan beberapa negara untuk mengangkat masalah dalam negerinya, ataupun masalah dalam negeri negara lain dengan tujuan untuk dapat perhatian internasional 3. Sebagai aktor independen. Organisasi internasional dapat membuat keputusan keputusan sendiri, tanpa dipengaruhi oleh kekuasaan atau paksaan dari luar organisasi. Bila dilihat dari beberapa peran organisasi internasional diatas, ASEAN termasuk dalam poin kedua, yaitu sebagai arena karena organisasi internasional bersifat fungsional yg bertujuan untuk mengatasi masalah yang timbul terhadap pihak yang terkait serta digunakan sebagai wadah bertemu bagi para anggota untuk membicarakan dan membahas masalah-masalah yg dihadapi, dalam hal kepulauan Spratly ini ASEAN berperan sebagai mediator dalam penyelesaian masalah di kepualauan Spratly. Untuk menjalankan fungsi itu ASEAN menggunakan normative-contractual sebagai pendekatannya. Normative- contractual adalah konsepsi ASEAN kedaulatan, kesetaraan negara dan non-intervensi dalam urusan internal merupakan pilar utama dari konsepsi 234
Upaya ARF dalam penyelesaian Konflik Klaim Kepulauan Spratly (M. Khalil. Afif.)
ASEAN tentang ketertiban keamanan regional yang menekankan penyesuaian damai sengketa dan penggunaan non kekerasan dalam interaksi internasional negara-negara Asia. (Muthiah Allagappa -2003:77) Penekanan ASEAN pada prinsip-prinsip dan norma-norma serta konsep keamanan komprehensif dan ketahanan nasional, berdasarkan dari kelemahan negara-negara. 3. Confidence Building Measures (CBMs) Konsep confidence building measures adalah upaya-upaya yang dilakukan pihakpihak yang sedang dalam kondisi sebelum, selama maupun pasca konflik. Upaya ini ditujukan untuk mengurangi tingkat kecemasan, ketakutan terhadap penggunaan kekuatan militer, ataupun adanya ancaman dari pihak lawan dengan melakukan komunikasi, verifikasi dan transparansi dalam aktivitas masing-masing negara, terutama dalam isu sentral maupun vital yang dianggap menentukan skala ketegangan antar pihak yang berkonflik. ( http:/www.beyondintractability.org, diakses tanggal 20 November 2013 ). Tujuan akhir dari upaya ini adalah terbentuknya rasa kepercayaan yang penuh dan tinggi antara satu sama lain sehingga ketegangan dapat dikurangi bahkan dapat dieliminasi. Kepercayaan bersama sangat penting untuk mengurangi kemungkinan konfrontasi kekerasan. Keberadaan CBMs sangat strategis sebagai landasan dalam melakukan dialog negosiasi (http://www.csrc.or.id, diakses pada 21 November 2013). Hal ini penting karena kecurigaan dan kecemasan yang meliputi gabungan suatu negara tidak akan membawa perjalanan yang lebih baik dan stabil diantara negara-negara tersebut.
Hasil Penelitian Kepulauan Spratly merupakan pulau yang terletak di laut China selatan, secara geografis dibatasi oleh 4° LU dan 109° BT ke arah Barat Laut antara 11° 31’ LU dan 117° BT dan karang yang luas daratannya kurang dari 4 km², tetapi melingkupi lautan seluas 410.000 km². Kepulauan ini dibatasi oleh wilayah perairan dari beberapa negara yaitu: Filipina, Vietnam, Indonesia dan Malaysia. Kepulauan ini terletak kurang lebih 1.100 Km dari pelabuhan Yu Lin (P.Hainan) Republik Rakyat China (RRC) dan 500 Km dari pantai Kalimantan bagian Utara. Secara ekonomi kepulauan Spratly diperkirakan mengandung bahan-bahan tambang yang sangat kaya, seperti minyak, alumunium, serta gas alam (www.mb.com.ph, diakses pada tanggal 20 Juni 2011) Kekayaan sumber alam yang besar, itulah yang menyebabkan wilayah ini menjadi rebutan banyak pihak. Pertikaian di kepulauan tersebut sebenarnya sudah berlangsung lama dan aktor yang berperan di dalamnya tidak hanya Vietnam dan RRC, tetapi juga melibatkan dua negara anggota ASEAN lainnya, yaitu Malaysia dan Filipina, serta Taiwan. Sebab dasarnya dapat dilacak kembali ke klaim historik yang beranekaragam, konsiderasi ekonomi, serta pertimbangan geostrategis negara-negara yang terlibat. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dari hampir semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan saling tumpang tindih, sehingga menimbulkan masalah penentuan batas. Pemilikan sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan memperbesar permasalahan ini sehingga menimbulkan ketegangan tentang hak 235
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 231-244
atas laut teritorial atau Landas Kontinen. (CPF Luhuhima-1997 : 283-284). Persoalannya menjadi lebih berat karena klaim-klaim tersebut saling tumpang tindih karena masing-masing negara mendasarkan klaimnya pada kebenaran versinya sendiri, baik historis maupun legal formal. Jika dilihat berdasarkan UNCLOS 1982, semua pihak/ negara yang terlibat konflik ini berhak memilki wilayah klaim dari masing-masing pihak negara tersebut. Karena sesuai pasal-pasal yang disebutkan diatas, semua negara tepi laut Cina yaitu Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filipina, Cina dan Brunei Darussalam memiliki hak kedaulatan yang sama. Namun didalam UNCLOS 1982 tidak hanya membahas tentang masalah hak tersebut, tetapi juga terdapat pasal yang berisi tentang bagaimana cara penyelesaian konflik jika terjadi klaim wilayah yang tumpang tindih yaitu delimitasi batas maritim masing-masing negara. Adapun masing-masing negara juga telah mencoba menyelesaikan konflik tersebut antara masing- masing mereka. Cina dan Vietnam telah merundingkan dan membentuk Tim penyelesaian Garis Batas Kedua Negara, Malaysia dan Filipina juga melakukan hal yang sama, yaitu dengan melakukan kerjasama eksplorasi minyak dan gas di wilayah Spratly. Namun, pada akhirnya pertemuan bilateral juga tidak dapat menyelesaikan masalah. Proses perjanjian-perjanjian dan kesepakatan yang dibentuk sama sekali tidak membahas kedaulatan wilayah yang menjadi inti dari konflik Laut Cina Selatan ini khususnya Kepulauan Spratly. Perbedaan pandangan dalam menentukan batas-batas negara dan sulitnya penentuan batas teritorial di laut menjadi hal yang tidak dapat dihindari dalam perundingan masing- masing negara yang berkonflik tersebut, sehingga membuat masalah ini tidak selesai begitu saja. ASEAN sebagai organisasi kawasan di Asia Tenggara mengambil inisiatif dalam mengurangi eskalasi konflik Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan dengan membentuk ASEAN Regional Forum (ARF) sebagai mekanisme multilateral pertama di Asia Pasifik untuk membicarakan masalah-masalah politik dan keamanan kawasan. Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ASEAN di Jakarta tahun 1990, pada saat itu Menteri Luar Negeri Kanada dan Menteri Luar Negeri Australia mengusulkan supaya negara-negara Asia Pasifik membentuk Conference on Security in Asia Pasifik (CSCA). Pada tahun 1993 ARF dibentuk saat diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri ASEAN (AMM) di Singapura dalam pertemuan informal working dinner. Konsensus ini membuka jalan bagi upaya diplomatik semua kekuatan regional yang besar secara simultan melalui struktur interaksi yang akan dimodelkan pada pengalaman ASEAN. (Jurgen Haacke-2005:77) Dengan banyaknya gagasan-gagasan seperti itu, membuat ASEAN tidak ingin kehilangan suara dan inisiatif dalam masalah-masalah keamanan di Asia Tenggara dan Asia Pasifik, sehingga hal ini medorong ASEAN untuk mengambil inisiatif atas masalah atas masalah keamanan di Asia Pasifik. Dorongan ini makin kuat ketika pada tahun 1991. Pada KTT ASEAN di Singapura tahun 1992, memutuskan untuk menggunakan ASEAN-PMC (ASEAN Post Ministerial Conference) sebagai forum dialog masalah keamanan di Asia Pasifik, yang pada saat itu dianggap cukup memadai untuk mencegah dan 236
Upaya ARF dalam penyelesaian Konflik Klaim Kepulauan Spratly (M. Khalil. Afif.)
menyelesaikan konflik yang terjadi di kawasan. Tetapi kelemahannya China dan Rusia bukan merupakan anggota dari ASEAN-PMC. Lalu untuk memperbaharui ASEAN-PMC terbentuklah ARF (ASEAN Regional Forum) di Singapura pada tahun 1993. Dapat ditarik kesimpulan bahwa terbentuknya ARF merupakan pengembangan dari pembahasan keamanan kawasan Asia Pasifik yang diselenggarakan dalam forum ASEAN-PMC. Keterlibatan ASEAN dalam konflik laut cina selatan yaitu melalui forum ini, dengan diadakannya membangun rasa percaya (CBMs) antara negara yang berkonflik. Konflik di Kepulauan Spratly melibatkan lima negara; Cina, Filipina, Malaysia, Brunei dan Vietnam. Setiap negara memiliki setidaknya klaim parsial ke pulau-pulau itu dengan empat dari enam negara yang terlibat dalam konflik sekarang bagian dari ASEAN, dan bagian seperlima dari forum regional, itu dapat memberikan kerangka kerja untuk resolusi konflik. (www.dtic.mil, diakses pada 23 Juni 2012) Dengan beberapa langkah-langkah yang dilaksanakan oleh ASEAN dalam upaya pencegahan konflik Kepulauan Spratly, ASEAN mempunyai beberapa tujuan dalam melakukan resolusi konfik tersebut. Adapun tujuan dari resolusi konflik ini adalah mencegah konflik antar negara, untuk mencegah perselisihan menjadi konflik terbuka, dan jika konflik pecah, maka harus memastikan penyebarannya sekecil mungkin, jangan sampai negara-negara sekitar terprovokasi. ASEAN melakukan upaya pencegahan konflik ini dengan tujuan untuk mencegah perselisihan dan memastikan negara-negara sekitar terpengaruh dan tidak terlibat. A. Resolusi Konflik Regionalisme ASEAN merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan yang lebih luas yaitu regionalisme Asia Pasifik karena dalam sengketa konflik Kepulauan Spratly yang terletak di Laut Cina Selatan ini tidak hanya melibatkan negara-negara Asia Tenggara saja tetapi juga melibatkan negara-negara non-ASEAN seperti Cina dan Taiwan. Ada empat keputusan organisasi ASEAN yang dapat dijadikan landasan dan instrument dalam pengelolaan konflik Kepulauan Spratly ini. Keempat keputusan organisasional tersebut antara lain : (www.aseansec.org, diakses pada tanggal 18 april 2012 ) 1. Deklarasi Kuala Lumpur 1971 Deklarasi ini membahas tentang kawasan damai, bebas, dan netral atau disebut dengan Zone of Peace. Freedom, and Neutrality (ZOPFAN). 2. Traktat Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara Traktat ini dihasilkan dan disetujui pada KTT ASEAN 1 tahun 1976 3. Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF) ASEAN Regional Forum dibentuk pada tahun 1993 dan pertemuan pertama dilangsungkan di Bangkok. 4. KTT ASEAN V (1995) Pada KTT ASEAN V menghasilkan Traktat mengenai kawasan bebas senjata nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South Last Asia Zone-Nuclear Free Zone). 237
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 231-244
Dan instrument yang dapat mencegah konflik Kepulauan Spratly adalah Normative-Contractual, yang merupakan refleksi dari sikap ASEAN konsep ini adalah konsep tentang ketertiban keamanan regional yang menekankan penyesuaian damai sengketa dan penggunaan non kekerasan dalam interaksi Internasional negara-negara Asia. ASEAN mengusahakan pengakuan dan penghormatan Asia Tenggara sebagai zona damai, bebas dan netral oleh kekuatan luar sekaligus memperluas kerjasama antar negara sebagai prasyarat bagi memperkuat persahabatan semua negara di kawasan. Pedoman yang terdapat dalam konsep tersebut adalah bahwa regionalisme Asia Tenggara tidak boleh mengganggu kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, keutuhan wilayah dan kepribadian nasional suatu bangsa. Dan bahwa setiap negara harus dapat melangsungkan kehidupan nasionalnya bebas dari campur tangan, subversi, atau tekanan luar. Program konsep tersebut mempunyai unsurunsur yang sangat berperan dalam pencegahan konflik, yaitu memperkuat jaringan kerjasama bilateral antara negara-negara ASEAN, mengembangkan suatu bangunan yang mengikat negara-negara ASEAN dan negara di sekitarnya, mengembangkan politik dan keamanan demi terciptanya perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan di negara-negara ASEAN, serta mengembangkan dan memaksimalkan program Piagam PBB. (Amitay Acharya- 2001: 97-98) Kemudian dalam tindakannya ASEAN membentuk forum resmi antar pemerintah yang disebut dengan ASEAN Regional Forum (ARF) dengan tujuan membangun kepercayaan antara negara-negara ASEAN dan negara-negara Asia Pasifik untuk membicarakan masalah-masalah kawasan regional secara terbuka melalui jalan damai. Dengan demikian, ARF merupakan forum multilateral pertama di Asia Pasifik untuk membahas isu-isu keamanan. Pembentukan lembaga ini merupakan sebuah langkah mendahului oleh negara-negara ASEAN, yang memberi arti sukses dan kemandirian pengelompokkan regional tersebut. Hal ini juga merupakan bukti keunggulan ASEAN dalam memanfaatkan momentum agenda keamanan kawasan, misalnya upaya ASEAN dalam melakukan dialog multilateral tentang masalah Kepulauan Spratly ini. Upaya tersebut merupakan upaya penting untuk mencegah pecahnya konflik antar negara yang terlibat sengketa perbatasan di kawasan Asia Pasifik. (Bambang Cipto – 2007 : 35-36) Melalui forum ini ASEAN mengemban peran terdepan sehingga masalah ini menjadi isu yang dibahas dalam forum dialog resmi lainnya. Dan dalam forum dialog ini berhasil menduduki 22 negara se-Asia Pasifik untuk mencari jalan penyelesaian konflik dengan terciptanya code of conduct antar negara yang bersengketa. Norms-building ini penting unuk mengatur usaha-usaha kerjasama yang dilakukan. ARF merupakan forum keamanan yang cukup berperan penting dalam penyelesaian konflik regional seperti konflik Kepulauan Spratly. ASEAN sebagai suatu organisasi yang melindungi kepentingan Negara-negara anggotanya berusaha mencari cara untuk bias, meredam atau menyelesaikan persengketaan yang ada di laut Cina Selatan, berbagai upaya telah dilakukan tetapi belum mencapai suatu titik penyelesaian. ASEAN Regional Forum sebagai forum untuk mendiskusikan dan menegosiasikan permasalahan-permasalahan 238
Upaya ARF dalam penyelesaian Konflik Klaim Kepulauan Spratly (M. Khalil. Afif.)
yang ada di kawasan Asia tenggara. Pada ARF kedua di Brunei Darussalam, telah dikeluarkan 3 konsep dalam penyelesaian persengketaan Laut Cina Selatan yaitu Confidence Building Measures (CBMs), Preventive Diplomacy (PD) dan Conflict Resolution (CR). Langkah-langkah Confidence Building Measures dan Preventive Diplomacy yang ditempuh oleh ARF dalam menciptakan dialog keamanan antara lain melalui kerjasama militer yang didasarkan atas dasar adanya komunikasi, transparansi, pembatasan (limitation) dan verifikasi yang diimplementasikan dalam programprogram yang diajukan oleh ASEAN melalui pertemuan ASEAN Regional Forum, yang antara lain : 1. Kerjasama dalam pengawasan senjata yang dipakai dilapangan dan kerjasama dalam perjanjian non-proliferasi 2. Transparansi terhadap kekuatan militer yang dimilikinya atau yang digunakannya di wilayah Laut Cina Selatan dengan mempublikasikan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pertahanan dan keamanan. 3. Kegiatan-kegiatan bersama seperti latihan militer bersama, Kursus-kursus pelatihan dan pertukaran petugas penjagaan atau saling mengunjungi fasilitas fasilitas militer dan observasi pelatihan-pelatihan diantara mereka. 4. Dalam Early Warning of Conflict Situations atau peringatan awal dari keadaan konflik. Pada awalnya Cina, Malaysia dan sebagian negara lainnya, menolak untuk membahas permasalahan persengketaan Laut Cina Selatan secara bersama dan hanya menginginkan permasalahan tersebut diselesaikan secara bilateral diantara kedua negara yang terlibat bentrokan militer. Tetapi setelah berlangsung beberapa tahun dan adanya peningkatan kerjasama antara pihak-pihak yang terkait, mulai ada kesepahaman antara Cina dengan negara-negara ASEAN. Untuk mengurangi kendala-kendala yang di hadapi dalam pengimplementasian CBMs dan PD ASEAN berhasil mendekati Cina untuk duduk bersama mendiskusikan hal-hal yang diperlukan untuk mengurangi ketegangan di wilayah persengketaan. Semula Cina tidak pernah mau membicarakan permasalahan persengketaan Laut Cina Selatan secara multilateral dan hanya ingin mencari penyelesaian persengketaan melalui jalan bilateral atau pembicaraan dua negara, tetapi dengan adanya CBM dan PD yang dijalankan oleh pihak-pihak yang terkait di lapangan, pada akhirnya Cina bersedia membicarakan permasalahan tersebut secara multilateral dengan negara-negara ASEAN untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut melalui cara-cara yang damai. Pada November 2002 Menteri luar negeri ASEAN dan Wakil Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi menandatangani Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea pada pertemuan ASEAN di Phnom Penh yang bertujuan untuk mencegah ketegangan dalam persengketaan wilayah dan untuk mengurangi resiko dari konflik militer di Laut Cina Selatan. Kemudian pada 7 Oktober 2003 Cina menandatangani perjanjian The Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia atau Traktat Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara ini 239
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 231-244
adalah traktat atau perjanjian perdamaian diantara negara-negara Asia Tenggara, yang di bentuk oleh negara-negara pendiri dari ASEAN. Perjanjian ini sebagai tanda hubungan perdamaian antara Cina dengan negara-negara. Perjanjian tersebut menandakan hubungan baik antara Cina dan ASEAN dalam menyelesaikan permasalahan persengketaan Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan, karena perjanjian ini dilanjutkan dengan perjanjian-perjanjian lainnya antara Cina dan ASEAN baik dalam kerjasama di bidang militer maupun pengelolaan bersama kekayaan-kekayaan alam yang ada di Laut Cina Selatan, sehingga semua pihak mendapatkan keuntungan atas eksplorasi yang dilakukan. Ini adalah keberhasilan dari program CBMs dan PD dalam mempererat persahabatan diantara pihak-pihak yang terkait dalam persengketaan tersebut. Sehingga ketegangan yang ada di wilayah Laut Cina Selatan khususnya di Kepulauan Spratly yang diakibatkan oleh persengketaan yang ada bisa diredakan. Program-program CBMs dan PD yang disepakati oleh pihak-pihak yang bersengketa di Laut Cina Selatan, berusaha diimplementasikan dan diaplikasikan oleh semua pihak, walaupun pada awalnya banyak kendala, tetapi seiring dengan waktu semua pihak berusaha melaksanakan program-programnya dengan baik sehingga ketegangan bisa diredakan dan timbul saling pengertian dan kesepahaman diantara mereka. pihak-pihak yang terkait juga mempunyai keinginan untuk menyelesaikan persengketaan secara mutilateral melalui ASEAN Regional Forum, dan menghasilkan perjanjian-perjanjian dalam penyelesaian persengketaan Laut Cina Selatan khususnya kepulauan Spratly dan Paracel yang juga mempererat hubungan diantara Cina, Taiwan dan negara-negara ASEAN baik dalam kerjasama militer dari kekuatan-kekuatan militer yang ada di wilayah Laut Cina Selatan juga kerjasama dalam pengelolaan bersama kekayaan-kekayaan alam yang berada di wilayah tersebut. Dari uraian diatas nampak bahwa ARF memiliki peran yang signifikan dalam berbagai isu keamanan yang menyimpan sejumlah konflik. Selain itu makna ARF menjadi semakin penting sebagai satu-satunya forum dialog yang paling banyak diminati oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Forum ini telah berkembang lebih dari sekadar forum untuk menumbuhkan saling percaya dan secara resmi forum ini telah membicarakan pembentukan tata regional baru di Asia Pasifik. Meski demikian, sebagai forum dialog keamanan multilateral dan pembangunan saling percaya di kawasan Asia Pasifik, diharapkan dapat membuka jalan bagi mediasi berbagai persoalan yang dihadapi negara-negara ASEAN seperti pada kasus Laut Cina Selatan ini. Peran ARF dengan memberi kontribusi yang lebih luas kepada kawasan Asia Pasifik untuk membahas masalah-masalah keamanan di kawasan secara komprehensif. Melalui pertemuan tahunan ARF yang membahas dan menyamakan pandangan antara negara-negara yang berkonflik untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas keamanan kawasan dan berupaya menurunkan tingkat kerahasiaan dalam kegiatan politik dan militer untuk membantu negara-negara membedakan berbagai persepsi ancaman yang ada sesuai dengan bobotnya. Pertemuan ini menghasilkan ASEAN Concept Paper yang menjelaskan mengenai isi dari 240
Upaya ARF dalam penyelesaian Konflik Klaim Kepulauan Spratly (M. Khalil. Afif.)
masing-masing tahapan yang ada didalam ARF, pertemuan ini dihadiri oleh semua negara anggota ARF. Pada pertemuan ke 9 Menteri Luar Negeri negaranegara ASEAN dan Menteri Luar Negeri China menyepakati Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea yang diadakan di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam pada tanggal 31 Juli 2002. Perjanjian ini adalah langkah yang menandai adanya hubungan baik antara China dengan negaranegara ASEAN dalam menyelesaikan permasalahan persengketaan Kepulauan Spratly. B. Upaya ASEAN Membangun kepercayaan diantara pihak yang berkonflik Membangun saling pengertian dalam hal hubungan antar negara dalam kawasan, dengan diadakannya pertemuan pertama ARF di bangkok pada bulan Juli 1994 dan bertemunya Menteri Luar Negeri China, Vietnam dan Filipina, ASEAN telah menjalankan fungsinya. Pada pertemuan ini Menteri Luar Negeri China, Vietnam dan Filipina sama-sama menolak pandangan konflik militer. Isu kedaulatan Kepulauan Spratly di bahas untuk pertama kalinya pada Agustus 1994, antara China, Vietnam dan Filipina oleh Menteri Luar Negeri negara tersebut. Sebelumnya dilaporkan bahwa pertemuan itu akan membahas pengembangan bersama daerah ini. Laporan setelah pertemuan menyatakan bahwa pertemuan ini gagal menjembatani kesenjangan pihak-pihak yang bersengketa, namun pihak-pihak yang bersengketa sepakat bahwa perbedaan pandangan harus diselesaikan secara rasional melalui perundingan. Atas dasar itu kemudian Presiden Jiang Zemin berkunjung ke Hanoi pada bulan November 1994, dan kedua belah pihak memutuskan bahwa harus dibentuk Join Working Group untuk membahas masalah Spratly, menurut Menteri Luar Negeri China, hal ini akan menciptakan penyelesaian masalah antar negaranegara yang bersengketa secara bertahap. Dalam membatasi eskalasi konflik dilakukan dengan penandatangan The Conduct Of Parties in The South China Sea pada tanggal 4 November 2002 di Kamboja. Pertemuan ini dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Brunei Darussalam Mohamed Bolkiah, Menteri Luar Negeri China Wang Yi, Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Nambong, Menteri Luar Negeri Indonesia Dr. Hassan Wirayuda, Menteri Luar Negeri Laos Somsayat Lengsavat, Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Syed Hamid Albar, Menteri Luar Negeri Myanmar Win Aung, Menteri Luar Negeri Filipina Blas F. Ople, Menteri Luar Negeri Singapura Prof. S Jayakumar, Menteri Luar Negeri Thailand Dr. Surakiart Sathirathai dan Menteri Luar Negeri Vietnam Nguyen Dy Nien. Para peserta sepakat bahwa pertemuan ini telah membuat kontribusi penting untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan di kawasan Laut China Selatan dan untuk mempromosikan pembangunan dan kerjasama. Hal ini juga mengacu pada Cooperation in Southeast Asia (TAC). Isi deklarasinya adalah ( www.aseansec.org, diakses pada 28 Mei 2013 ): 1. Para pihak menegaskan kembali komitmen mereka dengan tujuan dan prinsip prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi 1982 PBB tentang Hukum Laut, Traktat Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara, Lima Prinsip Damai Koeksistensi dan prinsip-prinsip universal yang diakui hukum 241
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 231-244
internasional yang akan berfungsi sebagai norma dasar yang mengatur hubungan antar negara. 2. Para pihak berkomitmen untuk mencari cara untuk membangun kepercayaan dan keyakinan sesuai dengan prinsip-prinsip dan atas dasar kesetaraan dan saling menghormati. 3. Para pihak menegaskan rasa hormat mereka dan komitmen terhadap kebebasan navigasi dan penerbangan di atas Laut China Selatan sebagaimana diatur oleh prinsip-prinsip hukum internasional, termasuk Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut. 4. Para pihak-pihak berjanji untuk menyelesaikan teritorial dan sengketa yurisdiksi dengan cara damai, tanpa menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan, melalui konsultasi dan negosiasi dengan negara-negara yang bersangkutan, sesuai dengan prinsip-prinsip universal yang diakui hukum internasional, termasuk 1982 Konvensi PBB tentang hukum laut. 5. Para pihak berjanji untuk menahan diri dalam pelaksanaan kegiatan yang akan mempersulit atau mengeskalasi perselisihan dan mempengaruhi perdamaian dan stabilitas termasuk, menahan diri dari tindakan menghuni pulau, karang, beting, cays dan fitur lainnya yang tidak berpenghuni dan untuk menangani perbedaan mereka secara konstuktif. 6. Sambil menunggu penyelesaian damai sengketa teritorial dan yurisdiksi para pihak yang bersangkutan untuk melakukan mengintensifkan upaya mencari cara, dalam semangat kerjasama dan kesepahaman, untuk membangun kepercayaan dan keyakinan di antara mereka, 7. Menunggu penyelesaian komprehensif lama dari sengketa, para pihak yang bersangkutan dapat menjelajahi atau melakukan kegiatan koperasi. 8. Para pihak yang bersangkutan siap untuk melanjutkan konsultasi dan dialog tentang masalah yang relevan, melalui modalitas yang harus disepakati dan termasuk transparansi dalam membangun harmoni, saling pemahaman dan kerjasama, dan resolusi damai memfasilitasi perselisihan. 9. Para pihak berjanji untuk menghormati ketentuan-ketentuan Deklarasi ini dan mengambil tindakan dengan konsisten. 10. Para pihak mendorong negara-negara lain untuk menghormati prinsip-prinsip yang terkandung dalam deklarasi. 11. Para pihak yang bersangkutan menegaskan bahwa penerapan kode etik dalam Laut Cina Selatan akan lebih mempromosikan perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut dan setuju untuk bekerjasama atas dasar konsensus, terhadap pencapaian akhir tujuan ini. Deklarasi ini bertujuan untuk mengurangi ancaman perang dan bentrokan militer di Laut Cina Selatan. Deklarasi ini mempunyai arti yang sangat signifikan dalam menciptakan kerjasama antara negara yang berkonflik, stabilitas keamanan, perdamaian dan promosi tindakan membangun kepercayaan. Beberapa pertemuan kerjasama dibidang militer, politik maupun bidang lainnya telah dilakukan, pertemuan-pertemuan ini membawa dampak yang sangat signifikan bagi hubungan negara-negara yang berkonflik. Setelah ditandatanganinya Code of Parties in The South China Sea, China dan Vietnam sepakat untuk memperat kerjasama diantara kedua negara yang berarti konflik 242
Upaya ARF dalam penyelesaian Konflik Klaim Kepulauan Spratly (M. Khalil. Afif.)
antara China dengan Vietnam telah terselesaikan dengan damai tanpa penggunaan kekerasan. Kesimpulan Dengan telah dilakukannya deklarasi resmi antara ASEAN dan China telah menunjukkan pengakuan atas kebutuhan untuk mendefinisikan kerangka dan parameter keterlibatan ASEAN. ASEAN telah berhasil dalam menyediakan platform untuk membahas perbedaan secara damai, menciptakan intermeshing ekonomi untuk meningkatkan saling ketergantungan, dan menolak keinginan salah satu pihak dibantu oleh negara luar. Penegasan kembali China baru-baru ini atas kepemilikan Kepulauan Spratly yang menyoroti sengketa maritim dapat menyebabkan konflik di kawasan itu menjadi panas kembali kecuali dikelola dengan hati-hati. Jadi hal-hal yang bertentangan antara negara-negara ASEAN dengan China dapat diatasi. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa di satu sisi Cina juga mempercayai posisi ASEAN untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai dan dilakukan pada negosiasi diplomatik pada semua konferensi ASEAN. Hal itu mendukung komitmen China untuk mengelola sengketa ini tanpa penggunaan kekerasan. Meskipun dalam proses negosiasi multilateral telah meningkatkan tingkat kepercayaan antara aktor , tapi untuk menunjukkan bahwa pembicaraan multilateral dalam dialog ASEAN-China (ARF) dan tindakan membangun kepercayaan yang dianut memang mengubah konflik menjadi potensi kerjasama, maka tidak akan berulang lagi intensitas militer seperti konfrontasi Sino - Vietnam atau konfrontasi Sino - Filipina. Lebih penting partisipasi China dalam ARF telah menyebabkan konsesi atau kompromi mengenai klaim teritorial di Kepulauan Spratly . Akibatnya jelas bahwa kelangsungan hidup dan keberhasilan sebuah organisasi regional untuk mengelola masalah konflik sangatlah efektif, karena tidak terulangnya konfrontasi yang pernah terjadi sebelumnya, dapat diatasi dengan baik karena upaya ASEAN dapat mengubah potensi konflik menjadi potensi kerjasama diantara negara-negara yang bersengketa. Daftar Pustaka Buku Acharya Amitay, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and Problem of Regional Order, New York: Routledge, 2001 Alagappa Muthiah, 2003. Asian Security Order,Intrumental and Normative Features, Stanford University Press, California Cipto Bambang MA, 2007 Hubungan Internasional Di Asia Tenggara, Teropong terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Habib Hasan, Kapita Selekta: Strategi dan Hubungan Internasional, Jakarta: CSIS. 1996. Haacke Jurgen,”ASEAN Diplomatic Security Culture, origins, development and prospects, 2003, 2005, Routledge, USA and Canada hal 77 243
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 231-244
Hurwitt Mara C, US Strategy in Southeasth Asia: The Spratly Island Dispute (master thesis). Defence Technical information center http://www.mb.com.ph/articles/358043/263trilillion-oil-reserves Luhulima CPF. 1997. ASEAN Menuju Postur Baru. Jakarta: CSIS. Hlm. 286287. Rudy T. May, 2005. Administrasi dan Organisasi Internasional. Refika Aditama, Bandung. Media massa cetak dan elektronik / internet Aspek Politik dan Keamanan dalam Konflik di Laut Cina Selatan , tersedia di http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/1204/SKRIPSI %20BAB%20I%20%20V.docx?sequence=2 China Strategy in Southeasth Asia : South China Sea Dispute. Defence Technical Information Center, tersedia di (http://www.bcm.com.ph/article/384053/353), diakses tanggal 20 Maret 2013 Hubungan antara Cina dan Filipina menurun menyusul sengketa wilayah di Scarborough Shoal, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/07/120731_southchinasea.sh tml, diakses tanggal 29 Juni 2013 Kerangka teoritis penyelesaian konflik, tersedia di (http://scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ef.htm), diakses tanggal 4 Januari 2012 Konflik laut Cina Selatan, tersedia di (http://www.irjournal.webs.com/apps/blog/show/4113964), diakses tanggal 27 januari 2012 Sengketa kepulauan Spratly : Tantangan bagi Indonesia sebagai ketua ASEAN 2011, tersedia di (http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politikinternasional/472-sengketa-kepulauan-spratly-tantangan-bagi-indonesiasebagai-ketua-asean-2011), diakses tanggal 28 januari 2012 The Joint Communique of ASEAN Foreign Minister, Brunei: Agustus 1995, terdapat pada http://www.aseansec.org, diakses tanggal 22 April 2012
244