ANALISA PERBAIKAN MISCHWERK HRT 30000 REAKTOR PUTARAN HORISONTAL DENGAN METODE OVERLAY
TUGAS SARJANA Karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Universitas Mercu Buana
Oleh
Rio Sunarko 0130311-064
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS MERCU BUANA 2007
LEMBAR PENGESAHAN
ANALISA PERBAIKAN MISCHWERK HRT 30000 REAKTOR PUTARAN HORISONTAL DENGAN METODE OVERLAY
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Meraih Gelar Sarjana Teknik (S1) Pada Fakultas Teknologi Industri Jurusan Teknik Mesin Universitas Mercu Buana
Pembimbing Tugas Akhir
Ir. Ruli Nutranta, M. Eng.
i
ABSTRAK Tanggal 12 Maret 2002 salah satu agitator yang dimiliki PT Risjad Brasali mengalami kerusakan cukup serius yaitu retak pada poros agitator ± 3/4 dari diameter poros dan diperkirakan dapat menyebabkan poros tersebut patah pada saat penggunaannya. Fungsi dari agitator tersebut adalah mengaduk bahan-bahan kimia yang sangat korosif. Bahan-bahan kimia tersebut antara lain IPA, Monochlora Acetid Acid, Sodium Hydroxyde, dan Hydrogen Peroxide yang berupa gel. Perusahaan tersebut menghendaki perbaikan pada poros agitator tersebut sehingga bisa digunakan kembali. Dalam tugas akhir ini, permasalahan yang diangkat meliputi: 1. Kondisi kerja dan komposisi material agitator maupun extension shaft. 2. Analisa distribusi stress pada daerah transisi antara lengan pengaduk dengan poros agitator dengan Finite Element Method MSC/NASTRAN untuk mengetahui besarnya nilai stress yang terjadi 3. Proses
pengelasan
extension
shaft,
meliputi
parameter
pengelasan, proses pengelasan, dan perlakuan terhadap hasil lasan. Metode perbaikan yang dipakai adalah memotong poros agitator pada daerah retakan. Kemudian bagian yang dipotong tersebut diganti dengan poros baru dengan material yang sama dan disambungkan ke poros utamanya. Dari perhitungan yang dilakukan didapat nilai masukan panas (Heat Input) sebesar 0.77 kJ/mm (maksimum HI = 1.5 kJ/mm). Sedangkan stress yang terjadi pada area antara lengan pengaduk dengan poros agitator sebesar 204.5 Mpa (maksimal stress = 220 Mpa). Untuk meningkatkan angka keamanan (Safety Factor) pada area tersebut di buat chamfer sebesar 10 mm didapat angka keamanan 1.75.
viii
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAAN…………………………………………………….. i LEMBAR PERSETUJUAN…………………………………………………….. ii PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR………………………………….iii KATA PENGANTAR…………………………………………………………….. iv DAFTAR ISI………………………………………………………………………. vi ABSTRAK………………………………………………………………………… viii DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………… ix DAFTAR TABEL………………………………………………………………… x NOTASI…………………………………………………………………………… xi DAFTAR ISTILAH……………………………………………………………….. xii BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………… 1 1.1 Latar Belakang Masalah ………………………………………………1 1.2 Tujuan & Manfaat Penulisan………………………………………… 2 1.3 Ruang Lingkup Masalah……………………………………… …….. 2 1.4 Metode Penulisan…………………………………………………….. 3 1.5 Sistematika Penulisan………………………………………………… 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………. 5 2.1. Sifat Mampu Las Baja Tahan Karat Austenittik……………………. 5 2.2. Weld Overlay……………………………………………………………7 2.3. Submerged Arc Welding……………………………………………… 9 2.4. Persentase Pencairan Pada Proses Pengelasan…………………..11 2.5. Teori Analisa Elemen Tak Hingga……………………………………13 2.5.1
Definisi Analisa Elemen Tak Hingga ………………………. 13
BAB III DATA PENGAMATAN………………………………………………….17 3.1. Benda Kerja……………………………………………………………. 17 3.1.1. Kondisi Kerja & Material Benda Kerja………………………. 17 3.1.2 Kerusakan Pada Poros Agitator…………………………….. 19 3.2. Proses Pengelasan…………………………………………………… 22 vi
3.2.1. Material Poros Sambungan………………………………….. 22 3.2.2. Parameter Proses Pengelasan Poros Sambungan……….. 23 3.3. Prosedure pemrograman Finite Element Analysis menggunakan MSC visualNastran 4D………………………………25 BAB IV ANALISA……………………………………………………………….. 33 4.1. Material Benda Kerja & Poros Sambungan…………………………33 4.1.1. Material Benda Kerja………………………………………… 33 4.1.2. Material Extension Shaft………………………………….
35
4.2. Proses Pengelasan…………………………………………………… 37 4.2.1. Perhitungan Prosentase Pencairan Pada Logam Lasan… 37 4.2.2. Prediksi Mikrostruktur Pada Logam Lasan………………… 40 4.2.3. Prediksi Komposisi Kimia Hasil Lasan……………………… 43 4.2.4. Masukan Panas………………………………………………. 45 4.2.5. Perlakuan Terhadap Hasil Lasan…………………………… 47 4.3. Analisa Distribusi Stress Pada Poros Agitator………………….….48 4.3.1. Analisa Beban & Perhitungan Pada Poros………………… 48 4.3.2. Hasil Finite Element Analysis……………………………….. 51 4.3.3. Analisa Strees Pada Daerah Transisi antara Lengan Pengaduk Dengan Poros Agitator………………………….. 52 BAB V KESIMPULAN………………………………………………………….. 57 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 60 LAMPIRAN……………………………………………………………………… 61
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1.
Komposisi kimia AISI 904L
19
Tabel 3.2.
Komposisi kimia AISI 316L
23
Tabel 4.1.
Material yang sesuai dengan AISI 904L
36
Tabel 4.2.
Diagram Schaeffler pengelasan
41
Tabel 4.3.
Komposisi kimia hasil pengelasan
44
Tabel 4.4.
Data Teknik dari Agitator
52
Tabel 4.5.
Perbandingan radius terhadap gaya geser
53
Tabel 4.6.
Perbandingan radius terhadap faktor keamanan
55
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.
Skema Weld Overlay
8
Gambar 2.2.
Contoh gambar 2-D dimodelkan di komputer
14
Gambar 2.3.
Contoh gambar 3-D dimodelkan di komputer
15
Gambar 2.4.
Contoh gambar dari Mesh
16
Gambar 3.1.
Dimensional Agitator
18
Gambar 3.2.
Foto Agitator
19
Gambar 3.3.
Posisi retak pada poros agitator
20
Gambar 3.4.
Letak retak pada agitator
21
Gambar 3.5.
Alur retak pada agitator
21
Gambar 3.6.
Dimensi poros sambungan
23
Gambar 3.7.. Pengelasan overlay poros sambungan
25
Gambar 3.8.
Ikon MSC visualNastran 4D
26
Gambar 3.9.
Tampilan File Menu
26
Gambar 3.10. Tampilan Properties
27
Gambar 3.11. Tampilan Display Setting
27
Gambar 3.12. Tampilan Properties FEA.
28
Gambar 3.13. Model setelah proses Meshing
28
Gambar 3.14. Gaya yang ditambahkan pada Model.
29
Gambar 3.15. Tampilan Force Properties.
30
Gambar 3.16. Tombol Solve FEA
31
Gambar 3.17. Kontur Von Misses
32
Gambar 4.1.
Komponen gaya pada tiap blade
49
Gambar 4.2.
Radius terjadinya gaya
49
Gambar 4.3.
Beban yang diterima tiap lengan
50
Gambar 4.4.
Kontur Von Misses
51
Gambar 4.5.
Kontur Von Misses yang diperbesar
51
Gambar 4.6.
Dimensi chamfer
56
ix
DAFTAR ISTILAH Agitator
= Mesin pengaduk bahan-bahan kimia.
Base metal
= Logam induk.
Blending
= Proses penghalusan permukaan hasil lasan.
Dressing
= Proses penghalusan permukaan hasil lasan.
Extension Shaft
= Poros penyambung.
Fully austenite
= Kondisi logam hasil lasan yang 100% berfase austenit.
Heat Affected Zone
= Area disekeliling pengelasan yang memiliki kekerasan lebih tinggi daripada logam induk.
Heat input
= Masukkan panas pada proses pengelasan.
Hot cracking
= Retak panas.
Intergranullar attack
= Retak yang terjadi pada batas butir akibat kekurangan Cr.
Liquation crack
= Retak yang terjadi akibat adanya fasa cair bersuhu rendah pada batas butir didalam kristal..
Mesh
= Kumpulan dari nodes yang membentuk jarring-jaring.
Nodes
= Titik-titik yang terletak pada sudut dan tengah dari model
Non Destructive Test
= Metode inspeksi logam untuk mengetahui indikasi retak.
Passivation
= Pembentukan lapisan oksida pada permukaan lasan.
Pickling
= Passivation dengan cara memberi lapisan kimia.
Plant Shutdown
= Penghentian proses produksi.
Sensitasi
= Pembentukan karbida pada suhu tinggi.
Solidification crack
= Retak yang terjadi akibat adanya fasa cair bersuhu rendah pada hasil lasan.
Strip filler
= Logam pengisi yang berbentuk plat.
Submerged Arc Welding
= Pengelasan dimana busur listrik dilindungi oleh fluks.
Weld overlay
= Salah satu metode pengelasan dengan cara memberi lapisan logam pada base metal.
xii
DAFTAR NOTASI
Simbol
Keterangan
Satuan
A
Diameter
mm
D
Luas area pengelasan
In2
d
diameter Filler
In
di
Diameter Dalam Stub Shaft
mm
do
Diameter Luar Stub Shaft
mm
FA
Gaya searah dengan sumbu poros
KN
FT
Gaya tegak lurus dengan sumbu poros
KN
HI
Masukan panas
KJ/mm
I
Kuat Arus
A
Kts
Konstanta
-
L
Panjang Electrode
In
MR
Kecepatan rata-rata pencairan Elektrode
lb/min
N
Daya Normal
kW
n
Rpm
rpm
r
Radius terjadinya gaya
m
S
Kecepatan Las
inch/min
SF
Faktor keamanan
-
T
Torsi maksimal dari motor
Nm
V
Tegangan
V
σu
Tegangan Maksimal Agitator
MPa
σy
Tegangan Mulur Agitator
MPa
ζ
Gaya geser
MPa
%dilution
Persentase pencairan
%
xi
BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Kerusakan
pada
komponen-komponen
teknis
pada
suatu
perusahaan akan menyebabkan penghentian produksi (plant shutdown) yang berarti kerugian bagi perusahaan. Oleh karena itu harus segera diambil tindakan terhadap komponen yang mengalami kerusakan tersebut. Tindakan tersebut bisa berupa penggantian dengan komponen yang baru atau perbaikan komponen yang mengalami kerusakan tersebut. Apabila komponen tersebut bisa diperbaiki, maka biaya yang harus dikeluarkan akan lebih sedikit dibandingkan dengan penggantian dengan komponen baru. Tetapi, proses perbaikan tersebut harus benarbenar diperhitungkan karena bisa mempengaruhi umur kerja komponen tersebut selanjutnya. Komponen berputar berupa agitator yang dimiliki PT. Risjad Brasali mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut berupa retak (crack) pada bagian porosnya yang bisa menyebabkan poros tersebut patah pada saat penggunaannya. Perusahaan tersebut menghendaki perbaikan pada poros agitatornya tersebut sehingga bisa digunakan kembali. Proses perbaikan tersebut diserahkan kepada PT. Sulzer Hickham Indonesia.
Tugas Akhir
1
BAB I PENDAHULUAN
Pada saat proses perbaikannya, diputuskan untuk memotong poros agitator pada bagian daerah retakan. Kemudian bagian yang dipotong tersebut diganti dengan poros baru dengan material yang sama dan disambungkan ke poros utamanya.
1.2. Tujuan Dan Manfaat Penulisan Tujuan penulisan dengan topik ini adalah: mengetahui proses pengelasan weld overlay pada proses perbaikan yang dilakukan pada agitator yang mengalami keretakan Mengetahui analisa pemilihan proses perbaikan suatu komponen Mengetahui proses-proses perbaikan yang dilakukan
1.3. Ruang Lingkup Masalah Pada kesempatan ini penulis membahas proses pengelasan overlay poros sambungan yang dilakukan oleh PT Sulzer Hickham Indonesia sebagai bagian pada proses perbaikan sebuah agitator milik PT Risjad Brasali yang mengalami kerusakan.
Tugas Akhir
2
BAB I PENDAHULUAN
1.4. Metode Penulisan Dalam penulisan tugas akhir ini, usaha yang dilakukan penulis : Pengamatan langsung, dengan cara datang secara langsung ke lokasi tempat perbaikan Diskusi dengan sumber yang terlibat dalam proses perbaikan Tinjauan pustaka, penulis mencari dan mempelajari buku referensi atau melalui penelusuran internet untuk mendapatkan data-data yang berhubungan dengan proses perbaikan.
1.5. Sistematika Penulisan Agar lebih terarah dan memudahkan, maka penulisan laporan ini dibagi atas beberapa bab sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN berisi latar belakang, tujuan dan manfaat, batasan masalah, metode penulisan dan sistematika penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA berisi mengenai hal-hal dasar yang berhubungan dengan proses pengelasan yang dilakukan
BAB III
DATA PENGAMATAN berisi mengenai data-data yang didapat dari hasil pengamatan secara langsung ke lapangan
Tugas Akhir
3
BAB I PENDAHULUAN
BAB IV
ANALISIS berisi mengenai analisis terhadap proses yang dilakukan,mencakup analisis distribusi stress dan finite element analisis
BAB V
KESIMPULAN kesimpulan
DAN
dan
SARAN
saran
yang
berisi didapat
mengenai setelah
melakukan analisa
Tugas Akhir
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sifat Mampu Las Baja Tahan Karat Austenitik Baja tahan karat austenitik umumnya mengandung 16-26% krom (Cr)
dan
8-22%
nikel
(Ni).
Kandungan
unsur
utama
ini
akan
mempertahankan fasa austenit pada suhu kamar. Baja ini merupakan baja tahan karat yang paling mudah untuk dilas (mampu lasnya tinggi). Akibat sifat fisiknya, jenis baja ini memiliki sifat las yang berbeda dibandingkan baja tahan karat jenis feritik, martensitik, ataupun duplex. Sebagai contoh, besar konduktivitas termal baja austenit sekitar setengah dari baja feritik. Oleh karena itu masukan panas pengelasan untuk menghasilkan penetrasi yang sama akan lebih kecil. Pada sisi lain, kofisien termal ekspansi baja austenitik lebih tinggi 30-40% dibandingkan baja feritik, yang akan meningkatkan distorsi dan tegangan sisa yang muncul saat pengelasan. Yang harus menjadi perhatian pada proses pengelasan baja tahan karat austenitik adalah kerentanannya terhadap solification dan liquation cracking. Material ini bisa ditingkatkan ketahanannya terhadap retak panas dengan mengatur komposisi dan mengatur mikrostruktur sehingga bisa menghasilkan logam las yang mengandung lebih dari 3%
Tugas Akhir
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
fasa ferit. Keberadaan ferit akan melarutkan pengotor yang bisa menghasilkan segregasi dan interdendritic cracking. Untuk mengurangi kerentanan terhadap retak panas, maka keberadaan unsur-unsur pembentuk senyawa bertemperatur cair rendah harus dijaga tetap minimum. Unsur-unsur tersebut antara lain fosfor (P), sulfur (S), boron (B), selenium (Se), niobium (Nb), titanium (Ti), dan silikon (Si). Penambahan unsur oksigen dan nitrogen bisa mengurangi pembentukan senyawa bertemperatur cair rendah. Tetapi keberadaan oksigen dan nitrogen bisa menyebabkan porositas pada hasil pengelasan. Mangan (Mn) sering digunakan untuk mengikat sulfur dan silikon sehingga tidak membentuk senyawa bertemperatur cair rendah. Untuk memperkirakan kandungan ferit pada baja tahan karat dapat menggunakan tiga metode di bawah ini. Pengukuran dengan peralatan seperti Magna Gauge, yang secara prinsip mengukur kekuatan magnetik material Penghitungan
komposisi
kimia
dengan
menggunakan
diagram
Schaeffler, Delong, dan Welding Research Council (WRC) Pengamatan struktur mikro Parameter pengelasan, pangaruh temperatur, dan ukuran, bentuk, serta orientasi dari fasa ferit akan mempengaruhi hasil pengukuran.
Tugas Akhir
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Weld Overlay Dibandingkan dengan baja karbon atau baja paduan rendah, umumnya baja tahan karat lebih mahal karena banyaknya unsur paduan yang terdapat di dalamnya, ataupun terdapat unsur-unsur dalam jumlah kecil yang memang mahal harganya. Dalam banyak kasus, ketahanan korosi hanya dibutuhkan komponen pada bagian permukaannya saja. Sehingga tidak menjadi masalah apabila komponen tersebut terbuat dari baja
karbon
atau
baja
paduan
rendah,
yang
penting
adalah
permukaannya terdapat lapisan tahan karat. Proses pelapisan material dengan paduan tahan karat bisa mengurangi penggunaan paduan tahan karat solid hingga 80 %. Proses pelapisan baja karbon dan baja paduan rendah dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain roll bonding, explosive bonding, weld overlaying dan “wallpapering”. Weld overlay merupakan salah satu proses pelapisan yang dilakukan dengan jalan pengelasan yang memberi lapisan weld metal pada komponen sehingga terdapat lapisan tahan korosi pada komponen tersebut. Ketebalan lapisan tersebut adalah sekitar 3 mm atau lebih. Material pelapisnya biasanya adalah baja tahan karat austenitik atau paduan nikel, kadang juga digunakan paduan tembaga. Proses
weld
overlay
banyak
dilakukan
dengan
proses
pengelasan SAW (Submerged Arc Welding), kadang menggunakan SMAW, TIG, MIG, plasma arc, ataupun electroslag welding. Filler metal
Tugas Akhir
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
yang digunakan bisa berupa kawat terbungkus ataupun kawat tanpa bungkus, bahkan bisa menggunakan strip filler. Teknik weld overlay merupakan cara yang sempurna untuk memberikan sifat baru yang tidak dimiliki oleh base metal. Teknik ini digunakan untuk melapisi base metal yang murah atau kualitasnya rendah dengan material yang mahal sehingga komponen tersebut tidak seluruhnya terbuat dari material yang mahal. Skema weld overlay secara umum :
Gambar 2.1 Skema Weld Overlay
Yang harus diperhatikan dalam teknik weld overlay adalah ketebalan dari lapisan weld metal. Hal lain yang harus diperhatikan juga adalah posisi pengelasan, karena beberapa metoda pengelasan memiliki keterbatasan pada posisi pengelasannya. Sebagai contoh adalah SAW hanya bisa digunakan pada posisi horizontal. Untuk proses yang menghasilkan weld metal yang lebar dan lambat membeku, maka posisi vertikal atau overhead sulit atau bahkan mustahil untuk dilakukan.
Tugas Akhir
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Hal penting lainnya adalah mikrostruktur dari logam lasan yang dipengaruhi oleh parameter pengelasan. Apabila parameter tersebut diubah, maka mikrostruktur yang dihasilkan juga berubah dan sifatnya pun berubah.
2.3. Submerged Arc Welding Submerged Arc Welding adalah proses pengelasan busur listrik dimana busur listrik tersebut dilindungi oleh butiran flux sehingga tidak dipengaruhi oleh atmosfer lingkungan. Panas yang dihasilkan dalam proses pengelasan berasal dari busur listrik antara elektroda berupa kawat lasan dan benda kerja. Kelebihan dari proses SAW adalah : Busurnya
dilindungi
flux
sehingga
mengurangi
kilatan,
percikan, dan asap dari busur Arus yang tinggi sehingga meningkatkan penetrasi hasil lasan Memungkinkan untuk laju pengendapan dan laju kawat yang tinggi Biaya untuk satu satuan panjang sambungan relatif rendah Flux mampu menghilangkan unsur pengotor seperti oksigen, nitogren, dan sulfur dari hasil lasan Bisa menghasilkan hasil lasan dengan kadar hidrogen yang rendah
Tugas Akhir
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Perlindungan
oleh
flux
sangat
substansial
dan
tidak
dipengaruhi oleh angin. Lain halnya pada pengelasan TIG dan MIG Flux yang digunakan bisa didaur ulang sesuai dengan prosedur Kekurangan dari SAW adalah :
Biaya awal untuk pencatu daya, alat kontrol, wire feeder, dan flux-handling tinggi
Sambungan harus diletakkan secara datar atau horizontal agar flux bisa digunakan
Slag yang dihasilkan harus dihilangkan sebelum dilakukan proses pengelasan berikutnya
Karena membutuhkan masukan panas yang tinggi, proses ini digunakan untuk mengelas pelat dengan ketebalan lebih dari 6,4 mm
Proses SAW ini yang paling banyak dilakukan untuk melakukan weld overlay. Hal ini disebabkan karena bisa menghasilkan hasil lasan yang lebar dalam waktu yang cepat. Proses pengelasan ini bisa diatur dengan penggunaan kawat las tunggal (single wire) atau lebih (multiple wire) ataupun pelat (strip). Proses SAW umumnya menggunakan arus bolak-balik
(alternating current), tapi terkadang arus searah (direct
current) bisa digunakan.
Tugas Akhir
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kawat las tunggal umumnya yang sering dipakai pada proses weld overlay yang terbatas daerah lasnya atau yang terbatas masukan panasnya (heat input). Diameter kawat las biasanya berukuran 1,6 hingga 4,8 mm. Kawat dengan diameter kecil dengan proses osilasi digunakan untuk menghasilkan pencairan (dilution) yang kecil, untuk menghasilkan manik las yang lebar (hingga 25 mm), dan untuk menghasilkan batas manik las yang seragam.
2.4. Persentase Pencairan Pada Proses Pengelasan Untuk pengontrolan komposisi kimia dari hasil lasan bisa dilihat dari
persentase
dilution
(pencairan).
Persentase
pencairan
membandingkan antara banyaknya base metal yang mencair dan logam pengisi yang mencair. Yang membedakan antara pengelasan suatu sambungan dengan pengendapan logam melalui proses pengelasan overlay adalah area dari pencairan. Untuk proses overlay, persentase pencairan dihitung dengan cara jumlah base metal yang mencair (x) dibagi dengan total pencairan base metal dan filler metal (x+y). Perhitungannya berdasarkan rumus berikut. %dilution
=x/(x+y)
Pada proses overlay baja tahan karat harus diperhatikanpengaruh persentase pencairan logam pengisi dengan base metal terhadap keseimbangan komposisi dan metalurgi, seperti kadar ferit yang tepat
Tugas Akhir
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
untuk mengurangi kerentanan terhadap retak, kehadiran martensit padahasil lasan dan sebagainya. Secara
umum
parameter-parameter
yang
mempengaruhi
persentase pencairan pada suatu proses pengelasan adalah sebagai berikut.
Kuat Arus, semakin tinggi arus, semakin tinggi pencairan
Polaritas. DCEN menghasilkan pecairan yang lebih kecil dibanding
DCEP.
Arus
bolak-balik
menghasilkan
pencairan di antaranya.
Ukuran elektroda. Semakin kecil elektroda, dengan ampere yang kecil akan menghasilkan pencairan yang kecil
Kecepatan Las. Semakin tinggi kecepatan las akan menghasilkan pencairan yang semakin banyak
Osilasi. Semakin lebar osilasi elektroda akan mengurangi pencairan
Tugas Akhir
Posisi pengelasan.
Pelindung busur las
Filler metal tambahan
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.5. Teori Analisa Elemen Tak Hingga (Finite Element Analysis) Metode Elemen Tak Hingga (FEA) pertama kali dikembangkan pada tahun 1943 oleh R. Courant, dengan menggunakan metode Ritz untuk menghitung getaran yang terjadi di suat mesin. Tahun 1956 sebuah tulisan berjudul “Stiffness and Deflection of Complex Structures” di terbitkan oleh M. J. Turner, R. W. Clough, H. C. Martin, and L. J. Topp mendefinisikan lebih luas mengenai analisa elemen tak hingga. Awal tahun 70-an, penggunaan Analisa Elemen Tak Hingga (FEA) terbatas hanya pada industri pesawat terbang, otomotif, militer , dan industri nuklir karena mahalnya perangkat komputer. Sejak menurunnya biaya perakitan dan kemajuan pesat teknologi komputer, FEA telah dikembangkan sampai tahap ketelitian hasil yang tinggi. Sekarang sebuah komputer yang sangat canggih dapat melakukan perhitungan dan menampilkan hasil yang sangat akurat untuk semua parameter yang dimasukan.
2.5.1. Definisi Analisa Elemen Tak Hingga (FEA) FEA adalah teknik simulasi komputer yang menggunakan Metode Elemen Tak Hingga untuk melakukan perhitungan persamaan parsial maupun diferensial suatu desain atau konstruksi. Terdiri dari rancangan atau material yang di modelkan di komputer, kemudian disimulasikan sesuai dengan kondisi yang diinginkan. Analisa Elemen Tak Hingga digunakan baik pada rancangan produk baru atau rancangan yang sudah
Tugas Akhir
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
ada yang ingin diperbaiki lagi. Kita dapat melakukan verifikasi sebuah rancangan dengan metode ini untuk mengetahui apakah rancangan tersebut dapat berfungsi sesuai spesifikasi yang diinginkan sebelum dilakukan proses fabrikasi. Umumnya ada 2 type analisis yang digunakan pada dunia industri : 1. 2-D model Untuk 2-D model memerlukan spesifikasi komputer yang standar. Model ini keakuratan hasil perhitungannya masih di bawah 3-D model.
Gambar 2.2. Contoh gambar 2-D dimodelkan di komputer
Tugas Akhir
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. 3-D model 3-D modeling memiliki keakuratan hasil penghitungan yang tinggi sehingga memerlukan spesifikasi komputer yang lebih tinggi daripada 2-D model. Berikut ini contoh gambar untuk 2-D dan 3-D model :
Gambar 2.3. Contoh gambar 3-D yang dimodelkan di komputer
FEA menggunakan sistem titik yang kompleks yang disebut “nodes”. Nodes biasanya terletak pada sudut maupun ditengah garis sisi dari model. Kumpulan nodes tersebut dihubungkan dengan garis yang akan membentuk jaring yang disebut “mesh”.
Tugas Akhir
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.4. Contoh gambar dari Mesh
Mesh diprogram dengan cara memasukan parameter-parameter yang berisi sifat material dan struktur dari desain yang akan kita simulasi. Mesh akan menunjukan reaksi dari struktur jika mendapat beban dengan nilai tertentu. Nodes memiliki kepadatan tertentu tergantung pada antisipasi level stress untuk area tertentu. Area yang menerima stress yang cukup tinggi biasanya memiliki kepadatan nodes yang tinggi dibanding area yang menerima stress kecil.
Tugas Akhir
16
BAB III DATA PENGAMATAN
BAB III DATA PENGAMATAN
3.1. Benda Kerja 3.1.1. Kondisi Kerja Dan Material Komponen yang diperbaiki adalah sebuah agitator milik PT Risjad Brasali. Komponen ini berfungsi sebagai pengaduk bahan-bahan kimia berupa gel pada perusahaan tersebut. Berikut data umum mengenai agitator tersebut : Nama
: Mischwerk Mixing Tool HRT 30000
Pemilik
: PT Risjad Brasali
Putaran (max)
: 33 rpm
Daya
: 400 kW
Torsi (max)
: 230000 Nm
Temperatur Kerja (max) : 70o C Proses pengadukan tersebut melibatkan :
• Iso Proparol Alkohol (IPA) • Monochlora Acetic Acid • Sodium Hydroxyde • Hydrogen Peroxide
Tugas Akhir
17
BAB III DATA PENGAMATAN
Poros agitator ini memiliki 16 lengan pengaduk yeng berfungsi mengaduk bahan kimia tersebut di atas. Lengan tersebut memiliki sudut 25o dari porosnya. Dimensi dan geometri dari agitator bisa dilihat pada gambar di bawah berikut.
Gambar 3.1. Dimensional Agitator
Tugas Akhir
18
BAB III DATA PENGAMATAN
Gambar 3.2. Foto dari Agitator
Agitator ini terbuat dari baja tahan karat dengan kelas AISI 904L. Komposisi kimia kelas ini bisa dilihat dari tabel berikut: Grade Min Max
C 0.02
Mn 2.00
Si 1.0
P -
S -
904L 0.045 0.035
Cr 19.0
Mo 4.0
Ni 23.0
Cu 1.0
23.0
5.0
28.0
2.0
Tabel 3.1 Komposisi Kimia AISI 904L
3.1.2. Kerusakan Poros Agitator Poros agitator mengalami retak yang melingkar sepanjang ¾ keliling porosnya. Retak ini mengakibatkan perubahan dimensi pada
Tugas Akhir
19
BAB III DATA PENGAMATAN
porosnya sehingga 2 buah lengan pengaduknya mengenai permukaan dalam dari rumah reaktor (reactor housing). Akibatnya pada rumah tersebut terdapat cacat goresan yang cukup besar. Letak retakan pada poros agitator berada pada dekat lengan no. 7. Gambar serta posisi retak dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 3.3. Posisi retak pada poros Agitator
Untuk lebih jelas dari kondisi kerusakan pada poros Agitator dapat dilihat dari beberapa foto dibawah ini.
Tugas Akhir
20
BAB III DATA PENGAMATAN
Gambar 3.4 Letak Retak Pada Agitator
Gambar 3.5 Alur Retak Pada Agitator
Tugas Akhir
21
BAB III DATA PENGAMATAN
Dari hasil analisa kegagalan terhadap poros agitator ini disebutkan bahwa penyebab keretakan tersebut adalah adanya retak mikro (microcrack) pada hasil pengelasan lengan pengaduk ke porosnya. Retak tersebut bermula dari terbentuknya solidification crack, yang disebabkan adanya fasa-fasa bertemperatur cair rendah pada hasil lasan. Akibatnya pada saat pendinginan dan penyusutan terjadi, retak semakin panjang dan berubah menjadi retak makro (macrocrack). Pengamatan pada HAZ (Heat Affected Zone) menunjukkan adanya microcrack yang dikenal dengan liquation crack atau HAZ crack. Retak ini juga terjadi akibat adanya fasa bertemperatur cair rendah pada batas butir di dalam kristal. Retak ini bisa berkembang dengan adanya deformasi plastik pada sambungan las. Kedua retak di atas, solidification crack dan liquation crack, dikenal sebagai retak panas (hot cracking).
3.2. Proses Pengelasan 3.2.1. Poros Sambungan Pada proses perbaikan agitator digunakan poros sambungan sebagai penyambung antara dua bagian poros agitator yang dipotong untuk menghilangkan bagian retaknya. Poros sambungan tersebut terbuat dari material yang berbeda dengan material agitator kemudian di-overlay dengan material yang sama dengan agitator tersebut.
Tugas Akhir
22
BAB III DATA PENGAMATAN
Base metal dari poros sambungan tersebut terbuat dari kelas AISI 316L. Komposisi kimia dari kelas ini bisa dilihat dari tabel berikut. Grade min 316L max
C -
Mn -
Si -
P -
S -
Cr 16.0
Mo 2.0
Ni 11.0
N -
0.030
2.00
0.75
0.045
0.030
18.0
3.0
14.0
0.1
Tabel 3.2 Komposisi Kimia Kelas AISI 316L
Extension shaft ini akan disambung dengan dua bagian poros agitator yang telah dipotong. Dimensi dari extension shaft bisa dilihat dari gambar berikut.
Gambar 3.6 Dimensi Poros Sambungan
3.2.2. Parameter Proses Pengelasan Poros Sambungan Proses
pengelasan
weod
overlay
poros
sambungan
menggunakan proses pengelasan SAW (Submerged Arc Welding) untuk menghasilkan manik las yang lebar dalam waktu yang cepat. Proses SAW pada overlaying poros sambungan harus menggunakan filler metal yang
Tugas Akhir
23
BAB III DATA PENGAMATAN
sesuai dengan material dari poros agitator, AISI 904L, dengan harapan permukaan poros agitator nantinya akan sama seluruhnya. Filler metal yang digunakan adalah ER 385 yang banyak digunakan untuk mengelas AISI 904L. Parameter pengelasan SAW yang digunakan adalah sebagai berikut. 1. Wire Diameter
: 1,6 mm
2. Surface Speed
: 21 ipm
3. Arus listrik
: 220 A
4. Strike Tegangan
: 29 V
Wire Speed
: 77 ipm
5. Weld Time Tegangan
: 31 V
Wire Speed
: 155 ipm
6. Axial Travel Speed : 7 ipm 7. Lama Pengelasan : 206 dt/rotasi 8. Jumlah Lapisan
Tugas Akhir
: 6 lapisan
24
BAB III DATA PENGAMATAN
Berikut adalah gambar pelaksanaan overlay poros sambungan.
Gambar 3.7 Pengelasan Overlay poros sambungan
3.3. Prosedure pemrograman Finite Element Analysis menggunakan MSC visualNastran 4D Analisa stress dilakukan bertujuan untuk mengetahui distribusi stress sepanjang poros. Langkah ini dilakukan untuk mencari data posisi stress tertinggi yang mengakibatkan poros retak. Analisa stress dilakukan menggunakan Finite Element Method CAE MSC visualNastran 4D dimana rotor dikonstruksi ulang tiap bagianya yang terdiri dari Plate Element dan Rigid Element. Rigid Element dibuat untuk mengetahui beban yang diterima oleh tiap-tiap blade. Agitator yang dimodelkan dengan FEA terdiri dari 9,366 element dan 9,287 nodes.
Tugas Akhir
25
BAB III DATA PENGAMATAN
1) Buka visualNastran 4D (vN4D). Dari Start Menu pilih : All Programs, MSC.visualNastran Desktop, MSC.visualNastran 4D.
Gambar 3.7 ikon MSC visualNastran 4D
2) Import gambar yang akan disimulasi. Dari File menu pilih open dan klik file yang akan di import. Pada ikon Specify length pilih satuan yang dipakai (In atau mm). Klik Open.
Gambar 3.8 Tampilan File Menu
3) Verifikasi Model. Klik kanan pada model dan pilih Properties. Pilih tab Geometry. Masukkan dimensi dari model. Width, Length dan Height.
Tugas Akhir
26
BAB III DATA PENGAMATAN
Gambar 3.9 Tampilan Properties 4) Setting Units. Dari menu World pilih Display Settings. Pada tab Display Settings klik tab Units. Dari Unit System klik ke bawah, pilih satuan unit yang akan dipakai, misalkan English(slugs).
Gambar 3.10 Tampilan Display Setting 5) Proses Meshing pada model. Klik kanan pada objek model and pilih Properties. Klik tab FEA dan klik Include in FEA pada checkbox. Klik tab Mesh, tunggu beberapa menit
Tugas Akhir
27
BAB III DATA PENGAMATAN
sampai komputer menampilkan gambar mesh di layar, kemudian klik Show mesh checkbox.
Gambar 3.11 Tampilan Properties. Untuk mendapatkan tampilan mesh yang akurat dapat mensettingnya dengan cara klik tab Default mesh size masukkan 0.125 dan klik Apply. Klik Mesh dan tunggu sampai muncul kembali tampilan mesh di layar.
Gambar 3.12 Model setelah proses Meshing.
Tugas Akhir
28
BAB III DATA PENGAMATAN
5) Pemilihan Material. Klik kanan pada objek dan pilih Properties kemudian klik tab Materials. Klik kursor ke bawah untuk menetukan material yang diinginkan. Jika tidak terdapat jenis material yang diinginkan dapat menambahkan material pada daftar yang ada, dengan cara klik Material Library atau Create Material. 6) Menambahkan Load pada Model.
Dari menu Insert klik Force (atau klik icon
). Klik pada model,
kemudian klik tiap-tiap lengan dari model tempat terjadinya gaya.
Gambar 3.13 Gaya yang ditambahkan pada Model. Klik kanan pada panah , kemudian pilih Properties. Dibawah tab Appearance klik Name dan ketik Left Force. Dibawah tab Structural
Tugas Akhir
29
BAB III DATA PENGAMATAN
Load ubah koordinat X, Y, and Z to 0, 100, dan 0. Ulangi prosedur diatas sampai 8 kali (ada 8 lengan yang arah gayanya ke kiri).
Gambar 3.14 Tampilan Force Properties. Selanjut ulangi lagi prosedur diatas untuk gaya ke kanan. Klik kanan pada panah , kemudian pilih Properties. Dibawah tab Appearance klik Name dan ketik Right Force. Dibawah tab Structural Load ubah koordinat X, Y, and Z to 0, 100, dan 0. Ulangi prosedur diatas sampai 8 kali (ada 8 lengan yang arah gayanya ke kanan). 7) Run Stress Finite Element Analysis. Untuk melakukan proses FEA solver, klik tombol Solve FEA. Komputer akan melakukan penghitung stress yang akan terjadi pada model, tingkat stress pada tiap bagian dari model dibedakan dengan warna yang
Tugas Akhir
30
BAB III DATA PENGAMATAN
berbeda. Sedangkan untuk mengetahui nilai stress yang terjadi klik World, kemudian pilih Display Settings, FEA Display, and Contour Data. Pada layar sebelaah kanan pilih Stress kemudian ubah dari von Mises ke MAX_PRINCIPAL.
Gambar 3.15 Tombol Solve FEA.
Tugas Akhir
31
BAB III DATA PENGAMATAN
Gambar 3.16 Kontur Von Misses.
Tugas Akhir
32
BAB IV ANALISIS
BAB IV ANALISIS
4.1. Material Benda Kerja & Extension Shaft 4.1.1 Material Benda Kerja Benda kerja adalah agitator yang berfungsi mengaduk bahanbahan kimia yang bersifat korosif. Bahan-bahan kimia tersebut antara lain IPA, Monochlora Acetic Acid, Sodium Hydroxyde, dan Hydrogen Peroxide berupa gel. Agitator ini terbuat dari AISI 904L yang memiliki kandungan kimia seperti pada tabel 3.1. Material ini merupakan non-stabilised low carbon austenitic stainless steel. Non stabilised berarti material ini tidak mengandung unsur-unsur penstabil yang bisa mencegah terjadinya sensitisasi pada baja tahan karat. Baja tahan karat ataupun baja paduan tinggi umumnya rentan terhadap fenomena sensitisasi. Fenomena ini terjadi pada saat temperatur benda mencapai 400o – 850o C. Pada rentang temperatur tersebut, unsur Cromium (Cr) akan bereaksi dengan karbon (C) membentuk karbida. Reaksinya sebagai berikut.
Cr + C Æ CrxOy Reaksi ini banyak terjadi di batas butir austenit. Pada batas butir akan kekurangan cromium (Cr depletion) akibatnya Fe akan mudah teroksidasi
Tugas Akhir
33
BAB IV ANALISIS
oleh oksigen sehingga menimbulkan karat pada batas butir (intergranular attack). Dengan penggunaan kelas “L” (low carbon), fenomena ini bisa dikurangi, karena karbon yang maksimum dikandung adalah 0,03%, sehingga kemungkinan karbida krom terbentuk adalah kecil. Cara lainnya adalah dengan adanya unsur-unsur penstabil yang akan membentuk karbida pada rentang temperatur tersebut sehingga karbida Cr tidak terbentuk. Untuk penstabil pada baja tahan karat antara lain titanium (Ti) dan niobium (Nb). Material AISI 904L merupakan salah satu jenis stainless steel yang memiliki kadar karbon rendah (kelas “L”), sehingga walaupun merupakan non-stabilised stainless steel (tidak mengandung unsur penstabil), tetapi kelas ini tidak begitu rentan terhadap intergranular attack. Berdasarkan kompisisi kimianya pada tabel 3.1, kelas 904L ini memilki kelebihan tertentu antara lain, kandungan nikel (Ni) yang tinggi akan
meningkatkan
ketahanan
terhadap
SCC
(Stress
Corrosion
Cracking). Molybdenum (Mo) akan meningkatkan ketahanan terhadap pitting dan crevice corrosion. Adanya kandungan tembaga (Cu) akan meningkatkan ketahanan terhadap sulphuric acid dan reducing acid lainnya.
Tugas Akhir
34
BAB IV ANALISIS
Dengan kelebihannya tersebut, maka kelas 904L ini sesuai dengan kondisi kerja agitator yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia yang merupakan medium korosi.
4.1.2 Material Extension Shaft Extension shaft merupakan poros pengganti bagian agitator yang dipotong untuk menghilangkan bagian retaknya. Extension shaft ini jelas harus memiliki sifat yang sama dengan poros agitator. Artinya extension shaft ini harus terbuat dari AISI 904L. Apabila digunakan poros penyambung dari 904L maka akan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, karena kelas ini mahal harganya akibat banyaknya kandungan nikel dan molybdenum. Untuk mengurangi biaya, digunakan poros yang terbuat material lain yang kualitasnya lebih rendah dibandingkan dengan 904L. Untuk mencapai sifat permukaan yang sama dengan poros agitator, material ini selanjutnya dilapisi dengan 904L dengan proses weld overlay. Hal ini bisa dilakukan karena penggunaan ketahanan karat dari agitator ini hanya pada bagian permukaan luarnya saja. Bagian luar ini yang berhubungan dengan medium korosi. Bagian dalam dari poros agitator tidak berhibungan dengan medium apapun, sehingga tidak membutuhkan ketahanan korosi yang tinggi. Pada proses pemilihan material base metal untuk proses weld overlay extension shaft diperhitungkan kemungkinan adanya gel-gel
Tugas Akhir
35
BAB IV ANALISIS
bersifat korosif yang masuk ke dalam poros agitator. Hal ini benar terjadi yaitu saat penerimaan agitator, terlihat bekas-bekas gel pada permukaan dalam poros agitator. Kemungkinan masuknya gel ini harusnya sangat kecil, bahkan mustahil, karena apabila gel tersebut masuk, berarti terjadi retak pada permukaan poros agitator. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya korosi pada permukaan dalam extension shaft apabila terjadi keretakan lagi, maka untuk base metalnya dibutuhkan material yang yang memiliki ketahanan korosi yang cukup bagus dan mendekati kemampuan dari kelas AISI 904L. Jenis baja tahan karat yeng memiliki sifat mirip dengan 904L dapat dilihat dari tabel berikut.
Grade 316L
Karakteristik Lebih murah, tetapi ketahan korosinya lebih rendah. Digunakan bila kebutuhan akan ketahanan terhadap pitting dan
6Mo crevice corrosion meningkat Sangat mirip dengan 904L. Dengan 2205 didapatkan kekuatan 2205
mekanik yang lebih tinggi dan harganya lebih murah dibanding 904L. 2205 tidak cocok untuk temperatur kerja di atas 300o C.
Super
Digunakan apabila dibutuhkan ketahan korosi dan kekuatan
Duplex
mekanik yang lebih tinggi. Tabel 4.1 Material yang Sesuai Dengan AISI 904L
Tugas Akhir
36
BAB IV ANALISIS
Dari 4 material yang memiliki sifat mirip dengan 904L, kelas 316L yang memiliki harga paling murah. Komposisi kimia kelas ini bisa dilihat pada tabel 3.2. Kelas ini termasuk baja tahan karat austenitik dan memiliki kadar krom dan nikel yang cukup untuk ketahanan korosi. Kelas ini juga mengandung molybdenum yang berfungsi mencegah pitting corrosion. Dibandingkan dengan kelas 904L, 316L jauh lebih murah. Harga untuk 904L solid dua kali lipat dari harga 316L. Oleh karena itu kemudian dipilih AISI 316L. 316L termasuk kelas “L” (low carbon) dengan kadar karbon maksimum 0,03%. Hal ini memberi keuntungan karena akan mengurangi kerentanan hasil pengelasan terhadap fenomena sensitisasi. Terlebih logam pengisi nantinya merupakan material 904L yang juga low carbon sehingga kadar karbon pada logam las yang dihasilkan akan rendah.
4 .2. Proses Weld Overlay 4.2.1. Perhitungan Persentase Pencairan Pada Logam Lasan Untuk menghitung persentase pencairan pada pengelasan, bisa dilakukan pengujian struktur makro. Pengujian ini dilakukan dengan cara melakukan etsa makro terhadap benda kerja yang sudah dilas. Setelah dietsa, akan terlihat jelas batas pencairan dan batas daerah HAZ (Heat Affected Zone). Kemudian dihitung luas daerah masing-masing.
Tugas Akhir
37
BAB IV ANALISIS
Pada proses pengelasan overlay agitator ini, tidak dilakukan pengujian makro terhadap hasil lasan. Penulis dalam melakukan penghitungan persentase pencairan menggunakan rumus yang biasa digunakan untuk proses pengelasan SAW. Berikut ini data-data yang didapat di lapangan untuk melakukan perhitungan : Arus Pengelasan (I) = 220 A Diameter Kawat (d) = 1/16 in Electrode stickout (L) = 1,5 in Kecepatan Las (S)
= 21 ipm
Rumus ini hanya memasukkan parameter arus dan diameter kawat serta kecepatan lasan dalam perhitungannya. Rumus tersebut adalah sebagai berikut. Untuk kecepatan pencairan elektrode (MR) :
I ⎡ 2 − 7 ⎛ IL ⎞ MR = ⎢0.35 + d + 2.08 × 10 ⎜ 2 ⎟ 1000 ⎢⎣ ⎝d ⎠
1.22
⎤ ⎥ ⎥⎦
= 220/1000[0.35+1/162+2.08x10-7(220x1.5/1/162] MR = 0.125 lb/min Dimana: MR = Electrode Melting Rate (lb/min) I
= Kuat Arus Pengelasan (A)
d
= diameter kawat (in)
L
= electrode stickout (in)
Tugas Akhir
38
BAB IV ANALISIS
Luasan pengelasan (A):
A=
I 1.55 10 3.95 S 0.903
A = 2201.55/(103.95x210.903) A = 0.0307 in2 Dimana: A = Area of Weld Bead (in2) I = Kuat Arus Pengelasan (A) S = Kecepatan Las (ipm) Persentase pencairan :
% dilution = 100 −
353MR AS
= 100-(353x0.125)/(0.0307x21) = 32 % Dimana A
= Area of Weld Bead (in2)
% dilution
= persentase pencairan
S
= Kecepatan Las (ipm)
MR
= Electrode Melting Rate (lb/min)
Jadi pada pengelasan overlay extension shaft agitator terjadi pencairan base metal sebanyak 32 % dari total hasil lasan.
Tugas Akhir
39
BAB IV ANALISIS
4.2.2. Prediksi Mikrostruktur Pada Logam Lasan Pada proses pengelasan weld overlay extension shaft, bisa diperkirakan fasa-fasa yang terdapat pada mikrostrukturnya. Perkiraan fasa pada hasil pengelasan menggunakan parameter-parameter atau prosedur
pengelasan.
Dalam
memperkirakan
fasa
tersebut,
bisa
menggunakan diagram Schaeffler yang memperhitungkan komposisi kimia dari base metal dan filler metal serta proses pengelasan yang digunakan. Penghitungan komposisi kimia menggunakan rumus di bawah ini. Nieq = %Ni + 30 x %C + 0,5 x %Mn Creq = %Cr + %Mo + 1,5 x %Si + 0,5 % Nb Base metal yang digunakan dalam proses pengelasan adalah AISI 316L dengan komposisi kimia 0.03C—2.00Mn—1.00Si—16-18Cr—1014Ni—0.045P—0.03S—2-3Mo. Dan filler metal yang digunakan adalah ER 385 dengan komposisi kimia
0.025C—1.0-2.5Mn—0.5Si—19.5-
21.5Cr—24-26Ni—0.02P—0.03S—4.2-5.2Mo—1.2-2.0Cu Dengan menggunakan tersebut di atas maka dapat dihitung Nieq dan Creq dari base metal dan filler metal. Nieq (316L)
= 14,4
Creq (316L)
= 20,6
Nieq (ER 385) = 27,1 Creq (ER 385) = 27 Hasil perhitungan tersebut kemudian diplotkan pada diagram Schaeffler untuk menentukan fasa pada hasil lasan.
Tugas Akhir
40
BAB IV ANALISIS
ER 385 32% dilution
316L
Tabel 4.2 Diagram Schaeffler Pengelasan
Titik yang menunjukkan fasa hasil pengelasan terletak pada garis yang menghubungkan base metal dan filler metal. Posisinya tergantung dari besar persentase dilution yang terjadi saat pengelasan. Sebagian besar garis penghubung terletak pada daerah 100% austenit.
Jadi
dapat
diperkirakan
bahwa
hasil
pengelasan
akan
mempunyai fasa fully austenitic. Fasa ferit bisa muncul apabila persentase dilution di atas 70%. Proses pengelasan yang dilakukan adalah weld overlay yang berarti dilakukan pengelasan berlapis. Banyaknya lapisan logam lasan adalah sebanyak 6 lapis. Perkiraan fasa hasil lasan untuk pengelasan
Tugas Akhir
41
BAB IV ANALISIS
yang berlapis dilakukan dengan menghubungkan garis antara filler metal dengan titik hasil lasan sebelumnya. Titik tersebut semakin banyak lapisan akan semakin mendekati titik filler metal yang berarti semakin memasuki daerah 100% austenit.
Hal ini semakin menguatkan perkiraan yang
dilakukan bahwa hasil lasan weld overlay material 316L dengan logam pengisi ER 385 akan menghasilkan logam lasan yang berfasa 100% austenit. Dengan menggunakan hasil perhitungan persentase pencairan di atas yaitu terjadi 32% pencairan. Akan didapat titik yang berada daerah fully austenitic. Pada diagram Schaeffler, titik tersebut ditunjukkan oleh tanda panah. Hasil pengujian kemampuan megnetiknya menunjukkan bahwa lapisan logam lasan sama sekali tidak terpengaruh oleh magnet. Demikian juga dengan poros utamanya yang terbuat dari AISI 904L yang fully austenitic. Hasil pengujian magnetik semakin menguatkan dugaan bahwa hasil lasan merupakan fully austenitic. Karena dari diagram fasa Fe-Fe3C, fasa austenit berada di atas garis Curie yang berarti bersifat non-magnetik. Fasa austenit bisa bersifat non-magnetik apabila seluruh fasanya adalah austenit (fully austenitic), tidak ada fasa ferit atau yang lainnya.
Tugas Akhir
42
BAB IV ANALISIS
4.2.3. Prediksi Komposisi Kimia Hasil Lasan Error! Bookmark not defined.Komposisi kimia dari hasil suatu hasil lasan bisa diketahui dengan menguji hasil lasan tersebut dengan menggunakan teknik spektroskopi massa. Pada proses pengelasan overlay agitator, penulis hanya memprediksi komposisi kima hasil pengelasan dengan menggunakn data-data yang ada. Proses
prediksi
komposisi
kimia
ini
menggunakan
hasil
perhitungan persentase pencairan (% dilution). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut. %w Y = XA %w YA + XB %w YB %w Y = persen berat unsur Y di hasil lasan %w YA = persen berat unsur Y di base metal %w YB = persen berat unsur Y di filler metal XA
= fraksi mol base metal di hasil lasan
XB
= fraksi mol filler metal di hasil lasan
XA + XB = 1 Dengan menggunakan persentase pencairan (% dilution) proses pengelasan sebesar 32%, dan memperhitungkan jumlah layer yang dihasilkan, didapat hasil sebagai berikut.
Tugas Akhir
43
BAB IV ANALISIS
C Mn P S Si Cr Ni Mo Ni Cu
316L 0.03 2 0.045 0.03 0.75 17 12.5 2.5 0.1 -
904L 0.02 2 0.045 0.035 1 21 25.5 4.5 1.5
Layer 1 Layer 2 0.0232 0.021 2 2 0.045 0.045 0.0334 0.0344 0.92 0.974 19.72 20.59 21.34 24.16 3.86 4.29 0.032 0.01 1.08 0.73
Layer 3 Layer 4 Layer 5 Layer 6 0.0203 0.0201 0.02 0.02 2 2 2 2 0.045 0.045 0.045 0.045 0.0348 0.0349 0.0349 0.0349 0.991 0.997 0.999 0.999 20.87 20.95 20.98 20.99 25.07 25.36 25.45 25.48 4.43 4.47 4.49 4.49 0.0032 0.001 0.00032 0.0001 0.496 0.373 0.229 0.155
Tabel 4.3 Komposisi Kimia Hasil Pengelasan
Penghitungan ini menggunakan asumsi bahwa proses pengelasan berjalan dengan sempurna dan tidak ada pengotor-pengotor pada permukaan benda kerja yang dapat mempengaruhi komposisi kima hasil lasan.
Pengotor tersebut misalnya adanya minyak atau oli pada
permukaan benda kerja akibatnya akan mempengaruhi kandungan sulfur (S) dan fosfor (P).
Adanya peningkatan unsur-unsur pengotor akan
meningkatkan kerentanan hasil lasan terhadap retak. Apabila asumsi yang digunakan benar, maka bisa dilihat bahwa hasil pengelasan overlay akan menghasilkan hasil lasan yang memiliki komposisi mendekati kelas 904L. Hal ini berarti pada komposisi kimia permukaan paling luar extension shaft sama dengan komposisi kimia dari shaft agitator. Dengan hal ini diharapkan extension shaft akan memiliki sifat dan karakteristik yang sama dengan poros utamanya.
Tugas Akhir
44
BAB IV ANALISIS
4.2.4. Masukan Panas Proses pengelasan baja tahan karat austenitik sangat rentan terhadap retak panas. Cacat ini bisa dihindari dengan adanya kandungan ferit pada hasil lasannya, minimal 3% volume. Pada proses pengelasan overlay extension shaft, keberadaan ferit sulit dimunculkan, walaupun dengan perubahan parameter pengelasan. Hal ini bisa dilihat dari diagram Schaeffler. Posisi base metal dan filler metal pada diagram tersebut menunjukkan hasil lasan tidak mengandung ferit, semuanya austenit. Kondisi fully austenit ini jelas menghasilkan hasil lasan yang sangat rentan terhadap retak panas. Untuk
menghindari
terjadinya
retak
panas,
pada
proses
pengelasan yang menghasilkan fasa fully austenitic, digunakan masukan panas yang serendah mungkin. Masukan panas yang rendah ditujukan untuk mengurangi terbentuknya senyawa-senyawa yang bertemperatur cair rendah. Dengan masukan panas yang kecil, pengkasaran butir-butir austenit akan bisa dikurangi. Apabila ukuran butir austenit meningkat, kecenderungan terjadinya retak panas akan meningkat, karena fasa bertemperatur cair rendah akan lebih mudah terakumulasi pada butir yang membesar. Pada saat proses pengelasan overlay, diusahakan agar masukan panas yang dihasilkan selama proses pengelasan kecil. Oleh karena itu digunakan parameter pengelasan dengan nilai yang minimal dari yang
Tugas Akhir
45
BAB IV ANALISIS
direkomendasikan
dari
produsen
filler
metal.
Parameter
yang
direkomendasikan adalah sebagai berikut. Kuat Arus
= 210-250 A
Voltase
= 29-32 V
Kec. Las
= 20-30 ipm
Heat Input max
= 1,5 kJ/mm
Masukan panas (heat input) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut. HI =
60 V I v
HI
= Heat input (J/in)
V
= voltase (V)
I
= kuat arus (A)
v
= kecepatan Las (ipm)
Dengan menghitung parameter pengelasan yang digunakan, yaitu Kuat Arus
= 220 A
Voltase
= 31V
Kec. Las
= 21 ipm
dapat diketahui bahwa masukan panas selama proses pengelasan overlay adalah sebesar : HI
= 60x220x31/21 = 194856 J/in = 0.77 kJ/mm
Tugas Akhir
46
BAB IV ANALISIS
Besar masukan panas yang terjadi di bawah batas maksimal yang direkomendasikan, sehingga kerentanan terhadap retak panas bisa dikurangi. Hasil pengujian NDT (Non Destuctive Test) dengan metode ultra sonic menunjukkan bahwa pada hasil lasan tidak terjadi keretakan, sehingga bisa disimpulkan bahwa masukan panas yang dihasilkan sudah sesuai dengan keinginan untuk mencegah retak.
4.2.5. Perlakuan Terhadap hasil Lasan Ketahanan korosi dari baja tahan karat dimulai dengan reaksi antara permukaan baja dengan oksigen, membentuk lapisan tipis sebagai pelindung dari karat. Lapisan ini adalah lapisan oksida, sering disebut dengan lapisan pasif, dan proses pembentukannya disebut dengan passivation. Korosi bisa muncul pada baja tahan karat apabila laipsan tipis oksida ini rusak, terganggu, atau kekurangan krom (Cr depletion). Hal ini bisa terjadi setelah baja ini berada pada temperatur yang tinggi, salah satu contohnya adalah saat pengelasan. Untuk memperbaiki lapisan oksida yang rusak setelah pengelasan bisa dilakukan dengan 2 cara yaitu secara mekanik dan secara kimia. Cara mekanik menggunakan gerinda untuk menghilangkan lapisan yang rusak dan memperbaiki permukaan hasil lasan, karena lapisan oksida akan semakin bagus dan kontinyu apabila permukaannya halus. Cara
Tugas Akhir
47
BAB IV ANALISIS
kimia menggunakan asam untuk menghilangkan kerak, slag, dan pengotor lainnya. Cara ini desebut dengan pickling. Setelah dilakukan pembersihan dari kotoran, untuk membangun kembali lapisan oksida (proses passivation), bisa hanya dengan cara dibiarkan di udara bebas ataupun dengan menggunakan asam untuk meningkatkan laju terbentuknya lapisan oksida. Pada proses pengelasan agitator ini, setelah dilas dilakukan proses dressing dan blending untuk menghaluskan permukaan las, kemudian dilanjutkan dengan proses pickling dengen menggunakan gel selama 1 jam. Kemudian hasil lasan dibiarkan di udara bebas untuk membentuk lapisan oksidanya secara otomatis.
4.3. Analisa Stress Pada Lengan Pengaduk Dan Poros Agitator Dengan Finite Element Method 4.3.1. Analisa Beban dan Perhitungan pada Poros Diandaikan bahwa beban yang terjadi pada poros adalah Beban Statik.Besarnya beban yang terjadi pada poros sebanding dengan beban torsi maksimal pada motor yaitu 230.000 Nm. Gaya torsi tersebut kemudian dikonversikan menjadi gaya normal pada tiap blade seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Tugas Akhir
48
BAB IV ANALISIS
Gambar 4.1. Komponen gaya pada tiap blade
Gambar 4.2. Radius dimana terjadinya gaya
Dari gambar 3.1. kita dapat menghitung besarnya gaya FT sebagai berikut:
dimana: FT
= Gaya tegak lurus dengan sumbu poros (kN)
T
= Torsi maksimal dari motor (Nm)
r
= Radius terjadinya gaya (m)
Sedangkan untuk gaya axial pada blade:
Tugas Akhir
49
BAB IV ANALISIS
dimana: FA
= Gaya searah dengan sumbu poros (kN)
FT
= Gaya tegak lurus dengan sumbu poros (kN)
Dan resultan gayanya adalah:
Gambar 3.3 dibawah ini menunjukan beban yang diterima oleh tiap lengan setelah dilakukan analisa dengan Finite Element Analysis
Gambar 4.3. Beban yang diterima oleh tiap lengan
Pada gambar 3.3 menunjukan bahwa gaya pada 8 blade dikiri dengan 8 blade dikanan berbeda. Hal ini disebabkan ole perbedaan orientasi tiap blade.
Tugas Akhir
50
BAB IV ANALISIS
4.3.2. Hasil Finite Elemen Analisis Dari FEA menunjukan bahwa area stres tertinggi terjadi pada area transisi pada tiap lengan. Gambar 3.4 menunjukan kontur VON MISSES
Gambar 4.4. Kontur Von Misses
Pada kontur Von Misses terlihat bahwa stress maksimum sebesar 204.5 Mpa terjadi pada area transisi pada tiap lengan.
Gambar 4.5. Kontur Von Misses yang diperbesar
Tugas Akhir
51
BAB IV ANALISIS
Material rotor adalah DIN I 4359 yang kurang lebih sama dengan AISI 904L (super austenite stainless steel). AISI 904L mempunyai batas tegangan mulur sebesar 220 Mpa sehingga di dapat faktor keamanan Von Misses untuk batas mulur nya sebesar 1.08. Selama beroperasi normal rotor hanya menerima beban sebesar 72,344 Nm ( berdasarkan informasi customer). Sehingga pada perhitungan gaya torsi yang dipakai adalah 72,344 Nm bukan 230,000Nm, didapatkan faktor keamanan menjadi 3,4. Dilihat dari hasil perhitungan ini menunjukan bahwa tidak ada kesalahan desain pada lengan pengaduk dan poros yang menyebabkan kerusakan.
4.3.3. Analisa Stress pada Daerah Transisi antara Lengan Pengaduk dengan Poros Agitator Data Teknik: No
Data Teknik
Nilai
1
Torsi Maksimal Motor (Tm)
230,000 Nm
2
Daya Normal (N)
250 kW
3
Rpm (n)
33 rpm
4
Diameter (D)
550 mm
5
Diameter Luar Stub Shaft (do)
300 mm
6
Diameter Dalam Stub Shaft (di)
280 mm
7
Tegangan Maksimal Agitator (σu)
490 MPa
8
Tegangan Mulur Agitator (σy)
220 Mpa
Tabel 4.4 Data Teknik dari Agitator Dari data-data diatas kita dapat menghitung besarnya stress yang terjadi pada sambungan lengan dengan poros agitator.
Tugas Akhir
52
BAB IV ANALISIS
Beban torsi ( berdasarkan beban operasional)
Nominal stress pada gaya geser :
Besarnya nilai gaya geser ditentukan dengan diagram di bawah berikut :
Tabel 4.5. diagram perbandingan radius terhadap gaya geser
Jika radius, r = 4 mm maka : •
D/d = 1.83
•
r/d = 0.013
•
Besarnya konsentrasi stress dari grafik, Kts = 2.8
Tugas Akhir
53
BAB IV ANALISIS
•
Stress akibat gaya geser yang terjadi adalah :
•
Faktor keamanan :
Jika radius, r = 6mm, maka : •
D/d = 1.83
•
r/d = 0.02
•
Besarnya konsentrasi stress dari grafik, Kts = 2.3
•
Stress akibat gaya geser yang terjadi adalah :
•
Faktor keamanan:
Jika radius, r = 10 mm, maka : •
D/d = 1.83
•
r/d = 0.033
•
Besarnya konsentrasi stress dari grafik, Kts = 1.93
•
Stress akibat gaya geser yang terjadi adalah :
•
Faktor keamanan:
Tugas Akhir
54
BAB IV ANALISIS
Diagram dibawah ini menunjukan perbandingan antarafaktor keamanan dengan radius :
Gambar 4.6. Tabel perbandingan radius terhadap faktor keamanan
Pengembangan pada area kritis ini dibutuhkan untuk mengurangi level stress pada sambungan lengan dengan poros dengan cara memperbesar radius atau chamfer, tapi perbesarannya tetap mengacu pada area yang ada. Penambahan chamfer 10 mm pada sambungan dapat meningkatkan faktor keamanan diatas 1.0 ( faktor keamanan untuk r 10 mm = 1.15). Untuk
meningkatkan nilai faktor keamanan yang maksimal
direkomendasikan dengan cara penambahan chamfer daripada radius. Karena resultan faktor keamanan dan area gaya geser yang lebih besar untuk nilai besarnya ketinggian pengelasan yang sama.
Tugas Akhir
55
BAB IV ANALISIS
Gambar 4.6. Dimensi dari chamfer
Detail dari kalkulasi untuk chamfer : Stress akibat gaya geser yang terjadi adalah :
Untuk h = 10 mm, maka :
Faktor keamanan :
Tugas Akhir
56
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang bisa diambil setelah proses perbaikan yang dilakukan oleh PT Sulzer Hickham Indonesia adalah sebagai berikut: 1.
Proses overlay merupakan salah satu cara untuk meminimalisir biaya produksi dari suatu baja tahan karat. Hal ini bisa diterapkan apabila ketahanan karat yang dibutuhkan hanya pada salah satu sisi komponen. Sifat ketahanan karat tersebut diberikan dengan jalan memberikan atau mengendapkan lapisan tahan karat dengan spesifikasi tertentu pada salah satu sisinya dengan proses pengelasan.
2.
Pada proses pengelasan overlay agitator, hasil lasan akan memiliki struktur mikro dengan fasa 100% austenit. Fasa ini sangat rentan terhadap retak panas. Penggunaan masukan panas yang terbatas sangat cocok untuk menghindari retak panas, karena dengan masukan panas yang kecil, diharapkan tidak terjadi pengkasaran butir yang bisa menjadi tempat terakumulasinya fasa bertemperatur cair rendah penyebab terjadinya retak panas. Pada proses yang sudah dilakukan didapat masukan panas sebesar 0.77 kJ/mm, jauh dibawah batas maksimal yang diijinkan yaitu Heat Input max
Tugas Akhir
=
1,5
57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
kJ/mm. Sehingga setelah dilakukan pengecekan NDT dengan ultrasonic tidak ditemukan indikasi retak panas. 3.
Perlakuan
setelah
melakukan
blending
proses dan
pengelasan dressing
untuk
selesai
adalah
menghaluskan
permukaan las kemudian dilanjutkan deng proses pickling yaitu dengan melapisi permukaan las dengan gel dan dibiarkan selama 1 jam. Tujuannya adalah menghilangkan kerak, slag dan pengotor lainnya yang dapat menyebabkan korosi pada hasil lasan. 4.
Stress yang terjadi pada daerah transisi antara lengan dengan poros agitator adalah 204.5 Mpa. Walapun masih dibawah batas tegangan mulur maksimal untuk material AISI 904L yaitu 220 Mpa dan faktor keamanan Von Misses untuk batas mulur tersebut sebesar 1.08 maka untuk meningkatkan faktor keamanan yang lebih maksimal dilakukan pembuatan chamfer pada daerah transisi tersebut sebesar h=10 mm dan didapat faktor keamanan = 1.75. Saran yang diajukan adalah :
1.
Apabila tidak dibutuhkan keberadaan hasil pengelasan berfasa fully austenitic, maka pengelasan bisa dilakukan dengan menggunakan perpaduan base metal dan filler metal yang menghasilkan kandungan ferit pada baja tahan karat austenitik untuk menghindari terjadinya fenomena retak panas.
Tugas Akhir
58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
2.
Agar dilakukan pengujian lebih detail terhadap hasil lasan secara tepat untuk memberikan keyakinan terhadap proses yang dilakukan, misal melakukan pengamatan struktur mikro dari hasil lasan untuk mengetahui komposisi yang lebih pasti.
3.
Perlu diperhatikan juga untuk penambah chamfer/radius pada area transisi antara sambungan lengan dengan poros agitator. Karena dilihat dari hasil perhitungan menunjukkan nilai chamfer/radius dapat menambah nilai keamanan dari desain.
Tugas Akhir
59
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
1. American Society for Material, ASM Handbook, vol. 1, American Society for Material, 1995. 2. American Society for Material, ASM Handbook, vol. 6, American Society for Material, 1995. 3. American Welding Society, Welding Handbook, Vol.1, American Welding Society, Edisi 8,1998. 4. Erich Folkhard, Welding Metallurgy of Stainless Steel, John Wiley & Sons, New York, 1990. 5. R. M. Brick and R. B. Gordon, Structure and Properties of Engineering Material, Edisi 4, McGraw Hill, 1977. 6. V. B. John, Introduction to Engineering Material, Edisi 2, Macmillan Publisihng Company, 1983.
Tugas Akhir
60