UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN DHF (DENGUE HEMORRHAGIC FEVER) DITINJAU DARI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI RUMKITAL ( RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT ) DR. MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT
SKRIPSI
SHELLY ZALLINA SUSTIAWATI 1110102000007
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JULI 2015 i
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN DHF (DENGUE HEMORRHAGIC FEVER) DITINJAU DARI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI RUMKITAL ( RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT ) DR. MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi SHELLY ZALLINA SUSTIAWATI 1110102000007
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA 2015 ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk Telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Shelly ZallinaSustiawati
NIM
: 1110102000007
Tanda Tangan :
Tanggal
:
iii
ABSTRAK Shelly Zallina Sustiawati Farmasi Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Antibiotik pada Pasien DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) di RUMKITAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Dengue Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk AedesAegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, sehingga pemberian antibiotic dalam pengobatan DHF tidak diperlukan kecuali jika terdapat komplikasi infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran pemberian antibiotik pada penatalaksanaan pasien DHF. Penelitian ini dilakukan di RUMKITAL DR Mintohardjo Jakarta Pusat. Responden yang diambil adalah pasien dengan diagnose akhir DHF di RUMKITAL DR Mintohardjo Jakarta Pusat periode 2013. Data penelitian merupakan data sekunder yaitu dari catatan medik pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian antibiotik pada penderita DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) di RUMKITAL DR Mintohardjo masih cukup besar dilihat dari catatan medik pasien tersebut. Kata Kunci: Antibiotik, DHF (Dengue Hemorrhagic Fever)
vi
ABSTRACT Shelly Zallina Sustiawati Pharmacy Evaluation rationality of Antibiotics usage for Dengue Hemorrhagic Fever’s Patient on RUMKITAL (Navy Hospital) Dr.Mintohardjo Central Jakarta. Dengue Hemorrhagic Fever is an infectious disease due to the dengue virus and transmitted through bites of Aedes Aegypti mosquitos. This disease could attack every single person and caused a death. In this case, antibiotics usage for Dengue Hemorrhagic Fever medicine treatment is not necessary, except if there’s some secondary infection complication that cause of bacteria. The research done to know the illustrate of Antibiotics usage for the DHF Patients management. The Research held in RUMKITAL Dr.Mintohardjo Central Jakarta. And take a Dengue Hemorrhagic Fever Patient diagnostics in 2013 at RUMKITAL Dr.Mintohardjo as a Respondent. Research Data is a secondary data from Patient Medical Record. The Result shows that using antibiotics to Dengue Hemorrhagic Fever patient in RUMKITAL Dr.Mintohardjo still much enough from the patient medical records. Keywords : Antibiotics, DHF
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) Ditinjau dari Penggunaan Antibiotik di RUMKITAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat” ini. Shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, teladan bagi umat manusia dalam mejalani kehidupan. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian di Instalasi Rekam Medik pada pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo, serta teori yang didapat dari berbagai literatur. Dalam menyelesaikan masa perkuliahan sampai penulisan skripsi ini tentu banyak berbagai kesulitan dan halangan yang menyertai, sehingga penulis tidak terlepas dari doa, bantuan dan bimbingan banyak pihak. Oleh karena itu, ucapan terimakasih penulis haturkan kepada: 1.
BapakYardi, Ph.D., Apt sebagai Pembimbing I dan bapak Letkol Laut (K) Drs. R. E. Aritonang, M.Si., Apt sebagai Pembimbing II yang telah memberikan ilmu, nasehat, waktu, tenaga dan pikiran selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
2.
Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Bapak Yardi, Ph.D., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran da Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Ibu Ofa Suzanthi Betha, M.Si., Apt selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan selama masa perkuliahan.
5.
Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
6.
Segenap pegawai RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang telah memberikan bimbingan da bantuan selama penelitian di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta.
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Adhan S.H dan Ibunda Niswatin yang selalu ikhlas tanpa pamrih memberikan kasih sayang, dukungan moral, material, nasehat – nasehat, serta lantunan doa di setiap waktu. 8.
Masku Alvian Meydiananda, sahabatku Kurnia Anisah, S. Farm, adekku Nasrul Ja’far dan Visa yang selalu memberikan arahan, semangat dan dukungan.
9.
Teman – teman di Program Studi Farmasi: Aina, Khulfa serta teman – teman farmasi 2010 atas semangat dan kebersamaan kita selama perkuliahan berlangsung.
10. Teman – teman seperjuangan selama penelitian di RUMKITAL Dr. Mintohardjo: LukLuk, Halida, Isti dan Rendy atas bantuan yang telah diberikan. 11. Teman – teman White House: Nia, Shulcha, Alung, Hilma dan Reka atas semangat dan kebersamaan kita selama ini. Semoga tetap terjalin persaudaraan kita dan akan terus berlanjut. 12. Keluarga IKPI Jakarta 2010 (Nurfa, Arik, Tsalis, Ahep), keluarga besar IKPI Jakarta dan keluarga FORMALA serta saudara sekosan Elvin atas dukungan dan hiburan yang telah diberikan. 13. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan penulisan yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Ciputat , 6 Juli 2015
Penulis
ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama : Shelly Zallina Sustiawati NIM : 1110102000007 Program Studi : Strata-1 Farmasi Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis Karya : Skripsi Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul: Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat pada Pasien DHF ( Dengue Hemorrhagic Fever) Ditinjau dari Penggunaan Antibiotik di RUMKITAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang – undang Hak Cipta. Demikian pernyataan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta Pada tanggal :
Yang menyatakan,
(Shelly Zallina Sustiawati)
x
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ...............................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................
iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................
iv
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................
v
ABSTRAK ...............................................................................................
vi
ABSTRACT .............................................................................................
vii
KATA PENGANTAR .............................................................................
viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIYAH .....
x
DAFTAR ISI ............................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ...................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................
1
1.1 Latar Belakang ......................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ..............................................................
2
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................
2
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................
3
1.5 Batasan Penelitian .................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................
4
2.1 Demam DHF (Dengue Hemorrhagic Fever).........................
4
2.1.1 Definisi Demam DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) .
4
2.1.2 Etiologi........................................................................
4
2.1.3 Patogenesis..................................................................
5
2.2 Rasionalitas Obat ..................................................................
8
2.3 Antibiotik ..............................................................................
11
2.3.1 Definisi antibiotik .......................................................
11
2.3.2 Penggolongan antibiotik .............................................
11
2.3.3 Penggunaan antibiotik.................................................
15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .............................................
17
3.1 Kerangka Konsep ....................................................................
17
xi
3.2 Desain Operasional .................................................................
17
3.2.1 Variabel Bebas ..............................................................
17
3.2.2 VariabelTerikat..............................................................
18
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................
20
3.4 Metode Pengumpulan Data .....................................................
20
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian ..............................................
20
3.5.1 Populasi .........................................................................
20
3.5.2 Sampel. ..........................................................................
20
3.5.3 Kriteria Sampel ....................................................
21
3.6 Sumber Data.. ................................................................
21
3.7 Analisa Data.. .................................................................
21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................
22
4.1 Hasil ...............................................................................
22
4.2 Data demografi ..............................................................
22
4.2.1 Jenis kelamin .......................................................
22
4.2.2 Umur ....................................................................
23
4.3 Data Hasil Analisis Tepat Diagnosis Penyakit .............
23
4.4 Data Hasil Analisis Tepat Indikasi ................................
24
4.5 Data Hasil Analisis Tepat Obat .....................................
24
4.6 Data Hasil Analisis Tepat Dosis ....................................
25
4.7 Data Hasil Analisis Tepat Cara pemberian ....................
27
4.8 Data Hasil Analisis Tepat Lama Pemberian ..................
27
4.9 Data Hasil Analaisis Waspada Efek Samping ...............
28
4.10 Data Hasil Analisis Tepat Pasien .................................
28
4.11 Data Hasil Analisis Lama Perawatan...........................
29
4.12 Data laboratorium ........................................................
29
4.12.1 Kadar trombosit .................................................
29
4.12.2 Kadar hematokrit ...............................................
30
4.13 Pembahasan .................................................................
30
4.13.1 Keterbatasan penelitian ......................................
30
4.13.2 Pembahasan hasil penelitian ..............................
30
4.13.2.1 Pasien DHF berdasarkan data demografi. ......
30
xii
4.13.2.1.1 Pasien DHF berdasarkan jenis kelamin .......
30
4.13.2.1.2 Pasien DHF berdasarkan umur.. ..................
31
4.13.2.2 Analisis Pasien DHF Berdasarkan Hasil Diagnosis
31
4.13.2.3 Analisa Tepat Indikasi.. ............................................
32
4.13.2.4 Analisa Tepat Obat ... ………………………………
33
4.13.2.5 Analisis Tepat Dosis ................................................
34
4.13.2.6 Analisis Tepat Cara Pemberian ................................
36
4.13.2.7 Analisis Tepat Lama Pemberian ..............................
36
4.13.2.8 Analisa waspada efek samping ................................
37
4.13.2.9 Analisa Tepat Pasien ................................................
38
4.11.2.9 Pasien DHF Berdasarkan Lama Perawatan..............
38
4.11.2.10 Pasien DHF berdasarkan data laboratorium ...........
38
4.11.2.10.1 Pasien DHF berdasarkan kadar trombosit ...........
38
4.11.2.10.2 Pasien DHF berdasarkan kadar hematokrit .........
39
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................
40
5.1 Kesimpulan..............................................................................
40
5.2 Saran……… ….......................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
41
LAMPIRAN ..........................................................................................
43
xiii
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
4.1 Kriteria pasien.. ...................................................................................
22
4.2 Data demografi pasien DHF berdasarkan jenis kelamin .....................
22
4.3 Data demografi pasien DHF berdasarkan umur…………………… ..
23
4.4 Distribusi frekuensi pasien berdasarkan hasil diagnosis DHF ............
23
4.5 Distribusi pemberian antibiotik pasien berdasarkan indikasi..............
24
4.6 Distribusi antibiotik yang diberikan kepada pasien DHF ...................
24
4.7 Distribusi dosis obat yang diberikan kepada pasien DHF ..................
25
4.8 Distribusi antibiotik berdasarkan cara pemberian ..............................
27
4.9 Distribusi lama pemberian antibiotik pasien DHF .............................
27
4.10 Distribusi frekuensi data klinis pasien ..............................................
28
4.11 Distribusi antibiotik berdasarkan kondisi pasien ..............................
28
4.12 Distribusi frekuensi lama perawatan pasien ......................................
29
4.13 Parameter laboratorium pasien berdasarkan kadar trombosit ...........
29
4.14 Distribusi frekuensi kadar hematokrit pasien ....................................
30
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Definisi kelompok umur .......................................................
43
Lampiran 2. Alur penelitian ......................................................................
44
Lampiran 3. Surat izin melakukan penelitian di RUMKITAL .................
45
Lampiran 4. Mintohardjo Surat permohonan izin pengambilan data Kabag Minmed RSMTH .................................................................
46
Lampiran 5. Surat permohonan izin pengambilan data Kasubbag Rawat Inap RSMTH ................................................................................
xv
47
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Virus tersebut termasuk dalam group B Arthopod borne viruses (arboviruses) (Chen dkk, 2009). Pasien yang terinfeksi virus dengue akan terjadi respon berupa sekresi mediator vasoaktif yang berakibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan perembesan
cairan
ke
ekstravaskuler
(plasma
kebocoran),
sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Supriatna, 2010). Sampai saat ini belum ada terapi yang spesifik untuk DHF. Karena disebabkan oleh virus, maka pemberian antibiotik dalam pengobatan DHF tidak diperlukan kecuali jika terdapat infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri dan apabila terjadi DSS (Dengue Syok Syndrome), mengingat kemungkinan infeksi sekunder dapat terjadi dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Namun dalam beberapa kasus penanganan pasien DHF masih ditemukan pemberian antibiotik. Prinsip pengobatan demam berdarah adalah penggantian volume cairan akibat pembocoran plasma dan mempertahankan oksigenasi jaringan akibat syok hipovolemik (Hapsari, 2010). Pada penelitian yang dilakukaan oleh staff Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang, Afiana Rohmani dan Mery Tiyas Anggraini di rumah sakit Roemani Semarang tahun 2010, menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik yang tidak sesuai pada pasien DHF anak masih luas. Dengan hasil penderita DHF tanpa komplikasi sebesar 88%, sementara yang tidak mendapatkan antibiotik hanya 5%. Di samping itu, informasi yang didapat dari Departemen Farmasi RUMKITAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr. Mintohardjo bahwa dari catatan rekam medis pasien DHF ditemukan penggunaan antibiotik secara luas. Antibiotik
merupakan
obat
untuk
menghentikan
atau
menekan
pertumbuhan kuman atau bakteri. Penggunaan antibiotik yang berlebihan (tidak rasional) pada beberapa kasus yang tidak tepat, dapat menyebabkan peningkatan
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
biaya pengobatan dan efek samping dari pemberian antibiotik seperti terjadinya resistensi (Hooton dan Levy, 2001). Rasionalitas antibiotik adalah penggunaan antibiotik yang didasarkan asas tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, serta waspada terhadap efek samping yang mungkin timbul dari pemberian antibiotik secara rasional. Penggunaan obat yang rasional lebih diarahkan pada pasien agar didapatkan hasil yang aman, efektif dan efisien (DepKes RI, 1997). Penggunaan Obat secara Rasional (POR) merupakan suatu kampanye yang disebarkan ke seluruh dunia, juga di Indonesia. Dalam situsnya, WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu dan biaya yang sesuai, POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif (Swestika, 2013). Beberapa tahun terakhir, kasus DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) seringkali muncul di musim pancaroba, khususnya bulan januari di awal tahun. Karena itu, masyarakat perlu mengetahui penyebab penyakit DHF, mengenali tanda dan gejalanya, sehingga mampu mencegah dan menanggulangi dengan baik. Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita DHF di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang dan 641 diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun 2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita (Kemenkes, 2015) Berdasarkan data dari penelitian sebelumnya dan angka kejadian DHF di Indonesia serta informasi yang didapat dari Departemen Farmasi di RUMKITAL Dr. Mintohardjo, maka diperlukan kajian lebih lanjut mengenai rasionalitas penggunaan antibiotik. Oleh karena itu, peneliti hendak melakukan penelitian pada pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo mengenai evaluasi penggunaan obat antibiotik terhadap pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
1.2
Perumusan Masalah Apakah penggunaan antibiotik terhadap pasien DHF di RUMKITAL Dr.
Mintoharjo sudah memenuhi konsep rasional.
1.3
Tujuan Penelitian
Mengetahui gambaran pemberian antibiotik terhadap pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintoharjo Jakarta Pusat.
Untuk mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.
1.4
Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan dapat diperoleh data – data ilmiah yang memberikan informasi tentang penggunaan antibiotik terhadap pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan landasan bagi tenaga medis agar penggunaan antibiotik dapat mengikuti kaidah rasionalitas.
1.5
Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi rasionalitas penggunaan obat
pada pasien DHF ditinjau dari penggunaan antibiotik. Dalam penelitian ini, tidak dilakukan analisis tepat interval waktu pemberian, obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau, tepat informasi, tipat tindak lanjut (follow-up), tepat penyerahan obat (dispensing) dan kepatuhan pasien terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan minum obat. Karena data yang dikumpulkan merupakan data retrospektif sehingga tidak semua informasi dapat diperoleh dengan lengkap.
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Demam DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) 2.1.1 Definisi DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) Demam berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit demam akut terutama menyerang pada anak – anak, dan saat ini cenderung polanya berubah ke orang dewasa. Gejala yang ditimbulkan dengan manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan shock yang dapat menimbulkan kematian (Depkes, 2006). Infeksi virus dengue dapat menyebabkan Demam Dengue (DD), Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), dan Syndrom Shock Dengue (SSD). Infeksi dengue di jumpai sepanjang tahun dan meningkat pada musim hujan. Demam berdarah dengue merupakan penyakit infeksi yang masih menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini masih disebabkan oleh karena tingginya angka morbiditas dan mortalitas (Depkes, 2006). Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue adalah penyakitr menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, terutama pada anak (Nursalam, 2005).
2.1.2 Etiologi Penyebab demam berdarah adalah virus dengue sejenis arbovirus yang dibawa oleh nyamuk Aedes Aegypti sebagai vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Virus dengue penyebab demam berdarah termasuk group B Arthopod borne virus (arbovirusess) dan sekarang dikenal sebagai genus flavirus, family flaviridae dan mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Ternyata DEN 2 dan DEN 3 merupakan serotipe yang paling banyak sebagai penyebab. Dalam hal ini penularan melibatkan tiga faktor yaitu manusia, virus dan virus perantara. Nyamuk – nyamuk tersebut dapat menularkan virus dengue kepada manusia baik secara langsung, yaitu setelah menggigit orang yang
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
sedang mengalami viremia, maupun secara tidak langsung setelah mengalami masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8 – 10 hari. Pada manusia diperlukan waktu 4 – 6 hari atau 13 – 14 hari sebelum menjadi sakit setelah virus masuk dalam tubuh (Nursalam, 2005). Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus sebagai vector ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Infeksi pertama kali dapat memberi gejala sebagai demam dengue. Apabila orang itu mendapat infeksi berulang oleh tipe virus dengue yang berlainan akan menimbulkan reaksi yang berbeda. DHF dapat terjadi bila seseorang yang telah terinfeksi dengue pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya (Mansjoer, 2000).
2.1.3 Patogenesis a. Proses perjalanan penyakit Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dimana virus tersebut akan masuk ke aliran darah, maka terjadilah viremia (virus dalam aliran darah). Kemudian aliran darah beredar ke seluruh tubuh maka virus tersebut dapat dengan mudah menyerang organ tubuh manusia. Paling banyak organ yang terserang adalah system gastrointestinal, hepar, pembuluh darah dan pada reaksi imunologi. Jika virus masuk ke dalam system gastrointestinal maka tidak jarang pasien mengeluh mual, muntah dan anoreksia. Bila virus menyerang organ hepar, maka virus dengue tersebut mengganggu system kerja hepar, dimana salah satunya adalah tempat sintesis dan oksidasi lemak, namun karena hati terserang virus dengue maka hati tidak dapat memecahkan asam lemak tersebut menjadi benda – benda keton, sehingga akan menyebabkan pembesaran hepar atau hepatomegali, dimana pembesaran hepar ini akan menekan abdomen dan menyebabkan distensi abdomen. Virus dengue juga masuk ke pembuluh darah dan menyebabkan peradangan pada pembuluh darah vaskuler atau terjadi vaskulitis yang mana akan menurunkan jumlah trombosit (trombositopenia) dan
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
faktor koagulasi merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat. Dapat terjadi kebocoran plasma yang akan menyebabkan hipoksia jaringan, asidosis metabolik dan berakhir dengan kematian. Bila virus bereaksi dengan antibody maka mengaktivasi system komplemen untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator faktor meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah atau terjadi demam, dimana dapat terjadi DHF dengan derajat I, II, II, IV (Mansjoer, 2000).
b. Manifestasi klinik Standar DHF menurut WHO (1997) yang telah ditetapkan tanda klinis, yaitu: a) Demam tinggi mendadak dan terus – menerus selama 2 – 7 hari (tanpa sebab yang jelas) b) Manifestasi perdarahan, termasuk paling tidak setelah di uji dengan tourniquet positif dan tampak bentuk lain perdarahan spontan (petechia, purpura, echimosis, epistaksis, perdarahan gusi dan hematemesis melena) c) Pembesaran hati d) Syok, yang ditandai nadi cepat dan lemah (130 x/menit), disertai oleh tekanan darah menurun (tekanan systole manurun sampai 80 mmHg atau kurang) dan kulit yang teraba dingin dan lembab, terutama pada ujung hidung, jari dan kaki. Penderita mengalami gelisah serta timbul sianosis di sekitar mulut.
c. Klasifikasi Berdasarkan derajat beratnya DHF secara klinis dibagi sebagai berikut (Mansjoer, 2005): a)
Derajat I (ringan) Terdapat demam mendadak selama 2 – 7 hari disertai gejala klinis lain dengan manifestasi perdarahan teringan yaitu uji tourniquet positif.
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
b) Derajat II (sedang) Ditemukan pula perdarahan kulit dan manifestasi perdarahan yang lebih hebat seperti: ptikie, purpura, ekimosis dan perdarahan konjugtiva. c)
Derajat III Didapatkan perdarahan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah tekanan menurun (20 mmHg) hipotens, sianosis disekira mulut, kulit dingin dan lembab, gelisah.
d) Derajat IV Terdapat dengue syok syndrome (DSS) dengan nadi dan tekanan darah yang tidak terukur.
d. Komplikasi Adapun komplikasi dari penyakit demam berdarah (Hidayat, 2004) diantaranya: a) Perdarahan
gastrointestinal
karena
trombositopenia
serta
terganggunya fungsi trombosit di samping difisiensi yang ringan atau sedang. b) Syok hipovolumik karena kekurangan plasma sampai 20% atau lebih, menghilangnya plasma melalui endhotelium ditandai dengan peningkatan hematokrit yang menyebabkan asidosis metabolik, bahkan menimbulkan kematian. c) Efusi pleura terjadi karena kerusakan dinding pembuluh darah bersifat sementara, dengan pemberian cairan yang cukup syok dapat di atasi dari efusi pleura biasanya menghilang setelah beberapa kali perawatan. d) Kegagalan sirkulasi darah terjadi karena pembuluh darah terhadap protein plasma dan efusi pada ruang serosa di bawah peritoneal pleura.
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
2.2
Rasionalitas Obat Penggunaan Obat secara Rasional (POR) merupakan suatu kampanye yang disebarkan ke seluruh dunia, juga di Indonesia. Dalam situsnya, WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu dan biaya yang sesuai, POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif. WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Tujuan dari penggunaan obat rasional yaitu untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang terjangkau. Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria: a. Tepat Diagnosis Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya. b. Tepat Indikasi Penyakit Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
c. Tepat Pemilihan Obat Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. d. Tepat Dosis Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan. e. Tepat Cara Pemberian Obat antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivitasnya. f. Tepat Interval Waktu Pemberian Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam. g. Tepat Lama Pemberian Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing – masing. Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 1014 hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan. h. Waspada Terhadap Efek Samping Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian dengan dosis terapi, karena itu
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah d wajah. i. Tepat Penilaian Kondisi Pasien Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna. j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat – obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB. k. Tepat Informasi Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi. l. Tepat Tindak Lanjut (follow-up) Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tidak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping. m. Tepat Penyerahan Obat (dispensing) Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Dalam menyerahkan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien. n. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:
Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
Jenis sediaan obat terlalu beragam
Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara minum/menggunakan obat
Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek ikutan (urin menjadi merah karena minum rifampisin)
tanpa
diberikan
penjelasan
terlebih
dahulu
(KemenKes RI, 2011).
2.3
Antibiotik 2.3.1 Definisi Antibiotik Antibiotik adalah agen yang digunakan untuk mencegah dan mengobati suatu infeksi karena bakteri ( Mitrea, 2008 ). Akan tetapi, istilah antibiotik sebenarnya mengacu pada zat kimia yang dihasilkan oleh satu macam organisme, terutama fungi yang menghambat pertumbuhan atau membunuh organisme yang lain ( Michael, 2006 ).
2.3.2 Penggolongan Antibiotik Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Berdasarkan struktur kimia antibiotik Berdasarkan strukturnya kimianya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut: a) Golongan Aminoglikosida, antara lain amikasin, dibekasin, gentamisin, kanamisin, neomisin, netilmisin, paromomisin, sisomisin, streptomisin, tobramisin. b) Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan karbapenem (ertapenem, iipenem, meropenem), golongan sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin). Penisilin adalah suatu agen
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
antibacterial yang dihasilkan dari jamur jenis Penicillium chrysognum. c) Golongan
Glikopeptida,
antara
lain
vankomisin,
teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin. d) Golongan Poliketida, antara lain golongan makrolida (eritromisin, golongan
azitromisin,
ketolida
klariromisin,
(telitromisin),
roksitromisin),
golongan
tetrasiklin
(doksisiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin). e) Golongan Polimiksin, antara polimiksin dan kolistin. f) Golongan Kinolon (fluorokinolon), antara lain asam nalidiksat,
siprofloksasin,
ofloksasin,
norfloksasin,
levofloksasin dan trovafloksasin. g) Golongan
Streptogramin,
antara
lain
pristinamycin,
virginiamycin, mikamycin dan kinupristin-dalfopristin. h) Golongan Oksazolidinon, antara lain linezaolid. i) Golongan Sulfonamida, antara lain kotrimoksazol dan trimetoprim. j) Antibiotik lain yang penting, seperti kloramfenikol, klindamisin dan asam fusidat.
2. Berdasarkan toksisitas selektif Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang bersifat bakteriostatik dan ada yang bersifat bakterisid ( Farmakologi dan terapi edisi 5, 2008 ). Agen bakteriostatik menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan agen bakterisida membunuh bakteri. Perbedaan ini biasanya tidak penting secara klinis selama mekanisme pertahanan pejamu terlibat dalam eliminasi akhir patogen bakteri. Pengecualiannya adalah terapi infeksi pada pasien immunocompromised dimana menggunakan agen – agen bakterisida (Michael, 2006). Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masing – masing
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal
(KBM).
Antibiotik
tertentu
aktivitasnya
dapat
meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM (Famakologi dan terapi edisi 5, 2008).
3. Berdasarkan mekanisme kerja antibiotik Berdasarkan
mekanisme
kerjanya
terhadap
bakteri,
antibiotik dikelompokkan sebagai berikut: a) Inhibitor sintesis dinding sel bakteri Memiliki efek bakterisidal dengan cara memecah enzim dinding sel dan menghambat enzim dalam sintesis dinding sel. Contohnya antara lain golongan beta-laktam seperti penisilin,
sefalosporin,
karbapenem,
monobaktam,
basitrasin, fosfomycin dan daptomycin. b) Inhibitor sintesis protein bakteri Memiliki efek bakterisidal atau bakteriostatik dengan cara mengganggu sintesis protein tanpa mengganggu sel – sel normal dan menghambat tahap – tahap sintesis protein. Obat – obat yang aktivitasnya menginhibitor sintesis protein bakteri seperti aminoglikosida, makrolida, tetrasiklin, streptogamin, klindamisin, oksazolidinon, kloramfenikol. c) Menghambat sintesa folat Mekanisme kerja ini terdapat pada obat – obat seperti sulfonamida
dan
trimetoprim.
Bakteri
tidak
dapat
mengabsorbsi asam folat, tetapi harus membuat asam folat dari
PABA
(asam
paraaminobenzoat),
pteridin
dan
glutamate. Sedangkan pada manusia, asam folat merupakan vitamin dan kita tidak dapat menyintesis asam folat. Hal ini menjadi suatu target yang baik dan selektif untuk senyawa – senyawa antimikroba. d) Mengubah permeabilitas membran sel
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
Memiliki efek bakteriostatik dan bakterisidal dengan menhilangkan permeabilitas membran dan oleh karena hilangnya substansi seluler menyebabkan sel menjadi lisis. Obat – obat yang memiliki aktivitas ini antara lain polimiksin, amfoterisin B, gramisidin, nistatin, kolistin. e) Mengganggu sintesis DNA Mekanisme kerja ini terdapat pada obat – obat seperti metronidasol, kinolon, novobiosin. Obat – obat ini menghambat
asam
deoksiribonukleat
(DNA)
girase
sehingga menghambat sintesis DNA. DNA girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang menyebabkan terbukanya dan terbentuknya superheliks pada DNA sehingga menghambat replikasi DNA. f) Mengganggu sintesa RNA, seperti rifampisin (Janet, 2006 dan Hayes, 1996). 4. Berdasarkan aktivitas antibiotik Berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut: a) Antibiotik spektrum luas (broad spectrum) Contohnya seperti tetrsiklin dan sefalosporin efektif terhadap organisme baik gram positif maupun gram negatif. Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati penyakit infeksi
yang menyerang belum
diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas. b) Antibiotik spekrtum sempit (narrow spectrum) Golongan ini terutama efektif untuk melawan satu jenis organisme. Contohnya penisilin dan eritromisin dipakai untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif. Karena antibiotik berspektrum sempit bersifat selektif, maka obat – obat ini lebih aktif dalam melawan organisme tunggal daripada antibiotik berspektrum luas (Hayes, 1996).
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
5. Berdasarkan daya hambat antibiotik Terdapat 2 daya hambat antibiotik terhadap kuman yaitu ( Farmakologi dan terapi edisi 5, 2008): a) Time dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya hambat maksimal jika kadarnya dipertahankan cukup lama di atas Kadar Hambat Minimal kuman. Contohnya pada antibiotik penisilin, sefalosporin, linezoid dan eritromisin. b) Concentration dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya hambat maksimal jika kadarnya relatif tinggi atau dalam dosis besar, tapi tidak perlu mempertahankan kadar tinggi ini dalam waktu lama. Contohnya pada antibiotik aminoglikosida, fluorokuinolon dan ketolid.
2.3.3 Penggunaan Antibiotik Pemakaian obat secara rasional berarti hanya menggunakan obat – obatan yang telah terbukti keamanan dan efektifitasnya dengan uji klinik. Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria pemakaian obat secara rasional meliputi (DepKes RI, 1997) : tepat indikasi, tepat obat, tepat penderita, tepat dosis dan cara pemakaian serta waspada efek samping. Peresepan dan penggunaan antibiotik yang terlalu berlebihan dapat memicu terjadinya resistensi antibiotik. Atas indikasinya penggunaan antibiotik dapat digolongkan menjadi antibiotik untuk terapi definitif, terapi empiris dan terapi profilaksis. Terapi secara definitif hanya digunakan untuk mengobati infeksi karena bakteri, untuk mengetahui bahwa infeksi tersebut disebabkan karena bakteri, dokter dapat memastikannya dengan kultur bakteri, uji sensitivitas, tes serologi dan tes lainnya. Pada terapi empiris, pemberian antibiotik diberikan pada kasus
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
infeksi yang belum diketahui jenis kumannya seperti pada kasus gawat karena sepsis, pasien imunokompromise dan sebagainya. Terapi antibiotik pada kasus ini diberikan berdasarkan data epidemiologi kuman yang ada. Sedangkan terapi profilaksis adalah terapi antibiotik yang diberikan untuk pencegahan pada pasien yang rentan terkena infeksi. Antibiotik yang diberikan adalah antibiotik yang berspektrum sempit dan spesifik ( Vindi, 2009 ).
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
BAB III METODE PENELITIAN 3.1
Kerangka Konsep Variabel Bebas
Variabel Terikat
Penggunaan rasional Tepat diagnosis Tepat indikasi Tepat obat Tepat dosis Tepat cara pemberian Tepat lama pemberian Waspada efek samping Tepat pasien
Penggunaan antibiotik
Penggunaan tidak rasional
3.2
Variabel Luar
Ketersediaan sarana diagnostik Promosi obat Ketersediaan obat Permintaan pasien
Desain Operasional 3.2.1 Variabel Bebas 3.2.1.1 Penggunaan Obat Antibiotik Pada Pasien DHF Definisi: obat antibiotik yang digunakan pada pengobatan DHF. Skala
: Nominal
Kategori
:
a.
Golongan Aminoglikosida
b.
Golongan Beta-Laktam
c.
Golongan Glikopeptida
d.
Golongan Poliketida
e.
Golongan Polimiksin
f.
Golongan Kinolon
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
g.
Golongan Streptogramin
h.
Golongan Oksazolidinon
i.
Golongan Sulfonamida
j.
Kloramfenikol
k.
Klindamisin
l.
Asam Fusidat
3.2.2 Variabel Terikat 3.2.2.1 Tepat Diagnosis Definisi: penggunaan obat sesuai dengan diagnosis pasien Skala
: Nominal
Kategori
:
i.
Tepat
ii. Tidak tepat
3.2.2.2 Tepat Indikasi Definisi: penggunaan obat sesuai indikasi berdasarkan diagnosis pasien. Skala
: Nominal
Kategori
:
i.
Tepat
ii.
Tidak tepat
3.2.2.3 Tepat Obat Definisi: pemilihan obat antibiotik pada pasien DHF berdasarkan pengobatan. Skala
: Nominal
Kategori
:
i.
Tepat
ii.
Tidak tepat
3.2.2.4 Tepat Dosis Definisi: ketepatan pemberian dosis antibiotik pada pasien DHF.
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
Skala
: Nominal
Kategori
:
i.
Tepat
ii.
Tidak tepat
3.2.2.5. Tepat Cara Pemberian Definisi: ketepatan cara pemberian obat berdasarkan kondisi dan keadaan pasien. Skala
: Nominal
Kategori
:
i.
Tepat
ii.
Tidak tepat
3.2.2.6 Tepat Lama Pemberian Definisi: lama pemberian obat sesuai dengan penyakit pasien. Skala
: Nominal
Kategori
:
i.
Tepat
ii.
Tidak tepat
3.2.2.7 Efek Samping Definisi: efek samping yang ditimbulkan akibat pemberian obat antibiotik pada pasien DHF. Skala
: Nominal
Kategori
:
i.
Ada
ii.
Tidak ada
3.2.2.8 Tepat Pasien Definisi: obat yang digunakan pasien mempertimbang kondisi individu pasien yang bersangkutan. Skala
: Nominal
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
Kategori
3.3
:
i.
Tepat
ii.
Tidak tepat
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret – Mei 2014. Sedangkan lokasi penelitian dilakukan di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jl. Bendungan
Hilir
No.
17,
Jakarta
Pusat
Telp.
(021)5703081-
85(021)5749037-40 Fax. (021)5711997 Indonesia.
3.4
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini berupa data sekunder yaitu pengambilan data dilakukan dari catatan medis pasien DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) yang ada di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.
3.5
Populasi dan Sampel Penelitian 3.5.1
Populasi Populasi penelitian adalah semua catatan medis pasien DHF
(Dengue Hemorrhagic Fever) di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat pada periode tahun 2013.
3.5.2
Sampel Sampel adalah semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi dari
pasien DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) di RUMKITAL Dr. Mintohardjo pada periode tahun 2013 sebanyak 26 pasien. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria diambil sebagai sampel penelitian.
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
3.6.3
Kriteria sampel
a) Kriteria inklusi
Pasien dengan diagnosa penyakit DHF dengan atau tanpa disertai infeksi sekunder.
Pasien dengan catatan medis yang lengkap.
b) Kriteria eksklusi
Pasien yang pindah ke Rumah Sakit lain sebelum terapi selesai dilaksanakan.
3.7 Sumber Data Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder yang didapatkan dari catatan medis antara lain:
3.8
a.
Nama antibiotik
b.
Indikasi
c.
Dosis
d.
Lama pemberian
e.
Cara pemberian
f.
Jenis penggunaan
g.
Data demografi (umur, jenis kelamin)
h.
Data klinis
i.
Data laboratorium
Analisa Data Analisis data dilakukan secara analisa deskriptif. Analisa deskriptif dilakukan dengan menguraikan data – data yang didapatkan dari catatan medis antara lain nama antibiotik, indikasi, dosis, lama pemberian, cara pemberian, jenis pemberian, data demografi (umur, jenis kelamin), data klinis dan data laboratorium pasien.
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Dari jumlah 52 sampel pasien Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dengan jumlah 26 pasien diberikan antibiotik dan jumlah 26 pasien tidak diberikan antibiotik yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Angkatan Laut (RUMKITAL) Dr. Mintohardjo. Data tersebut diambil dari bagian Instalasi Rekam Medik, untuk melihat gambaran dari setiap pemberian obat antibiotik terhadap pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang diteliti sesuai dengan kriteria inklusi. Sedangkan dari jumlah 24 data dengan kriteria eksklusi, sehingga total sampel yang didapat sebesar 76 sampel. Tabel 4.1 Kriteria pasien DHF Kriteria Diberikan antibiotik Tidak diberikan antibiotik Total *N: jumlah pasien
Jumlah pasien N 26 26 52
% 50 50 100
4.2. Data demografi 4.2.1. Jenis kelamin Tabel 4.2 Data demografi pasien DHF berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Laki – laki Perempuan Total *N: jumlah pasien
Jumlah pasien DHF N 24 28 52
% 46,6 53,8 100
Tabel diatas menunjukkan bahwa dari 52 pasien DHF yang diambil datanya secara retrospektif terlihat jenis kelamin yang paling banyak adalah perempuan (53,8%) dan selebihnya adalah laki – laki (46,6%).
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
4.2.2. Umur Tabel 4.3 Data demografi pasien DHF berdasarkan umur (ICD-10 WHO,1992) Jumlah pasien DHF
Umur (tahun)
N 1 29 21 1 0 52
< 1 tahun 1 – 14 tahun 15 – 44 tahun 45 – 64 tahun >65 tahun Total *N: jumlah pasien
% 2 55,7 40,4 2 0 100
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 52 pasien DHF yang diambil datanya terlihat umur yang paling banyak adalah 1 – 14 tahun sebesar 29 pasien (55,7%), diikuti oleh umur 15 – 44 tahun sebesar 21 pasien (40,4%), umur dibawah 1 tahun sebesar 1 pasien (2%), umur 45 – 64 sebanyak 1 pasien (2%) dan tidak ada pasien yang berumur diatas 45 tahun. Pengelompokkan umur diatas menurut ICD-10 WHO, 1992.
4.3. Data Hasil Analisis Tepat Diagnosis Penyakit Tabel 4.4 Distribusi frekuensi pasien berdasarkan Hasil Diagnosis DHF Diagnosis Tanpa infeksi sekunder Dengan infeksi sekunder *Trombosit
<100. 000* 29
Diagnosis Tpt Tdk √ √
2
100.000 – 150.000* 20
7
Diagnosis Tpt Tdk √ √
>150. 000* -
3
Diagnosis Tpt Tdk √
Berdasarkan data tabel di atas dapat diketahui bahwa pasien DHF berdasarkan diagnosis adalah DHF tanpa infeksi sekunder dengan trombosit < 100.000 sebesar 29 pasien (55,7%) dari 52 pasien merupakan tepat diagnosis, dengan trombosit 100.000 – 150.000 20 pasien (38 %) dari 52 pasien merupakan tepat diagnosis dan dengan trombosit > 150.000 tidak ada. Semetara pasien DHF yang disertai infeksi sekunder dengan trombosit < 100.000 terdapat 2 pasien
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
merupakan tepat diagnosis, dengan trombosit 100.000 – 150.000 ada 7 pasien termasuk tepat diagnosis dan dengan trombosit > 150.000 terdapat 3 pasien (5,7 %) dari 52 pasien yang merupakan tepat diagnosis.
4.4. Data Hasil Analisis Tepat Indikasi Tabel 4.5 Distribusi pemberian antibiotik pasien berdasarkan indikasi
Obat Antibiotik Tanpa AB
Tanpa disertai infeksi sekunder 19 21
Indikasi Tpt Tdk √ √
Tifoid
Indikasi Tpt Tdk √
2 1
ISPA
√
5 4
√
Indikasi Tpt Tdk
√
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pemberian antibiotik pada pasien DHF dengan indikasi tanpa disertai infeksi sekunder adalah cukup tinggi yaitu 19 pasien (36,53 %) dari 52 pasien merupakan tidak tepat indikasi. Sedangkan pasien DHF dengan indikasi disertai infeksi tifoid ada 2 pasien dan ISPA ada 5 pasien termasuk tepat indikasi. Sementara pasien DHF tanpa disertai infeksi sekunder yang tidak diberikan antibiotik sebanyak 21 pasien (40,38 %) dari 52 pasien merupakan tepat indikasi. Sedangkan pasien DHF yang disertai infeksi tifoid ada 1 pasien dan ISPA ada 4 pasien termasuk tidak tepat indikasi.
4.5. Data Hasil Analisis Tepat Obat Tabel 4.6 Distribusi Antibiotik yang diberikan kepada pasien DHF Tanpa Obat disertai Tpt Tdk infeksi Seftriakson 13 √ Sefiksim 0 Sefadroksil 3 √ Siprofloksasin 1 √ Sefotaksim 1 √ Amoksisilin 1 √ Tanpa AB 21 √ Antibiotik
Tifoid 1 1 0 0 0 0 1
Obat Tpt Tdk √ √
√
ISPA 3 2 0 0 0 0 4
Obat Tpt Tdk √ √
√
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pemberian antibiotik pada pasien DHF dengan diagnosis tanpa disertai infeksi adalah cukup tinggi yaitu 13 pasien
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
(25 %) dari 52 pasien. Antibiotik yang paling banyak diberikan adalah seftriakson sebanyak 19 pasien, merupakan tidak tepat obat. Sedangkan pasien DHF dengan diagnosis disertai infeksi tifoid 1 pasien dan ISPA 3 pasien yang diberikan seftriakson dapat dikatakan tepat obat. Sementara pasien DHF dengan diagnosis tanpa disertai infeksi yang tidak diberikan antibiotik sebanyak 21 pasien (40,38 %) dari 52 pasien merupakan tepat obat. Sedangkan pasien DHF dengan diagnosis disertai infeksi tifoid yang tidak diberikan antibiotik 1 pasien dan ISPA 4 pasien termasuk tidak tepat obat.
4.6. Data Hasil Analisis Tepat Dosis Tabel 4.7 Distribusi dosis obat yang diberikan kepada pasien DHF Berat badan
Umur (tahun) o < 1 tahun Seftriakson Sefikisim Siprofloksasin Sefadroksil Sefotaksim
6,5 kg
Sefikisim
Siprofloksasin Sefadroksil
25
Dosis pemakaian
Dosis literatur*
50-180 mg /kg/hr
1
3,8
2x300 mg
16 5 3 1 1
61,5 19,2 11,5 3,8 3,8
2x1 g 1x1 g 2x400 mg 1x1 ½
25 kg 36 kg
1 1
3,8 3,8
45 kg
1
3,8
22 kg 27 kg 23 kg
1 1 1
3,8 3,8 3,8
Amoksisilin o 1 – 14 tahun Seftriakson
Jumlah pasien DHF N % 1 3,8
Anak > 12 th 250 mg/hr dan anak < 12 th 125 mg/hr 1x1 kapsul 8 mg/kg/hr 3x1 kapsul . Maks. 400 mg/hr 2x500 mg 250 mg 2x/hr 3x300 mg 30 3x400 mg mg/kg/hr 2x250 mg maks. 2 g/hr
Dosis Tpt
Tdk
√
√ √ √ √
√ √
√ √ √ √
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
Sefotaksim Amoksisilin o 15 – 44 tahun Seftriakson
9 7
34,6 26,9
2x1 g
Sefikisim
1
3,8
2x1 kapsul
Siprofloksasin Sefadroksil Sefotaksim Amoksisilin
1
3,8
2x500 mg
0
0
0
0
26
100
o 45 – 64 tahun Seftriakson Sefikisim Siprofloksasin Sefadroksil Sefotaksim Amoksisilin o >65 tahun Seftriakson Sefikisim Siprofloksasin Sefadroksil Sefotaksim Amoksisilin Total *Pediatric Dosage Handbook
1-2 g tiap 1224 jam 400 mg/hr
√
250-500 mg tiap 8 jam maks. 23 g/hr
√
√
Tabel di atas menunjukkan antibiotik yang tidak tepat dosis antara lain seftriakson untuk pasien umur 1 – 14 tahun, sefiksim untuk pasien 1 – 14 tahun dengan dosis yang kurang yaitu 1x 1 kapsul dan siprofloksasin untuk pasien umur 1 – 14 tahun. Sedangkan antibiotik yang termasuk tepat dosis antara lain sefotaksim untuk pasien denganumur < 1 tahun, sefiksim untuk pasien umur 1 – 14 tahun dengan dosis 3x1 kapsul, sefadroksil untuk pasien umur 1 – 14 tahun, seftriakson untuk pasien umur 15 – 44 tahun, sefiksim untuk pasien umur 15 – 44 tahun dan amoksisilin untuk pasien umur 15 – 44 tahun.
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
4.7. Data Hasil Analisis tepat Cara Pemberian Tabel. 4.8 Distribusi antibiotik berdasarkan cara pemberian Cara pemberian
Nama antibiotik
Oral
Ketepatan
Injeksi
Tepat
√
√
Seftriakson Sefiksim
√
√
Siprofloksasin
√
√
Sefadroksil
√
√ √
Sefotaksim
√
√
Amoksisilin
Tidak
√
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa semua cara pemberian antibiotik dapat dikatakan tepat cara pemberian.
4.8. Data Hasil Analisis Tepat Lama Pemberian Tabel 4.9 Distribusi lama pemberian antibiotik pasien DHF 1-3 Nama hr* antibiotik Seftriakson 3 Sefiksim 1 Sefadroksil 1 Siprofloksasin Sefotaksim Amoksisilin *Lama Pemberian
Ktepatn Tpt Tdk √ √ √
4-6 hr* 12
Ktepatn Tpt Tdk √
7-9 hr* 2
2 1 1 1
Ktepatn Tpt Tdk
>9 hr* 2
Ktepatn Tpt Tdk √
√
√ √ √ √
Dari tabel diatas dapat diketahui lama pemberian antibiotik yang paling banyak adalah selama 4 – 6 hari merupakan tepat lama pemberian. Terdapat pula lama pemberian selama 1 – 3 hari, 7 – 9 hari dan > 9 hari merupakan tidak tepat lama pemberian.
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
4.9. Data Hasil Analisis Waspada Efek Samping Tabel 4.10 Distribusi frekuensi data klinis pasien Jumlah pasien DHF N dg antibiotik N tanpa antibiotik 23 24 17 17 11 13 9 3 7 5 2 1 2 2 2 7 1 2 0 2
Keluhan Demam/panas Mual/muntah Pusing/sakit kepala Lemas Batuk/pilek Mimisan Nyeri ulu hati Nyeri sendi/nyeri otot Bintik – bintik merah Diare *N: jumlah pasien
Dari data tabel di atas menunjukkan bahwa pasien DHF yang diberikan antibiotik maupun tidak diberikan tanpa antibiotik, paling banyak mengalami keluhan demam atau panas yaitu sebesar 23 pasien untuk pasien DHF yang diberikan antibiotik dan 24 pasien untuk pasien DHF yang tidak diberikan antibiotik. Kemudian masing – masing 17 pasien mengalami keluhan mual dan muntah untuk pasien DHF dengan antibiotik dan tanpa antibitik. Diare adalah keluhan paling sedikit yang dialami pasien DHF yaitu sebanyak 2 pasien yang tidak diberikan antibiotik.
4.10. Data Hasil Analisis Tepat Pasien Tabel 4.11 Distribusi Antibiotik berdasarkan kondisi pasien Kelainan
Kerusakan
ginjal
hati
A
-
B
-
Pasien
Keterangan
Alergi
Umur
-
-
< 1 tahun
√
-
-
1 – 14
√
Tepat
Tidak
tahun C
-
-
-
15 – 44
√
tahun
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
Tabel diatas menunjukkan bahwa tidak ada pasien yang mempunyai kelainan ginjal, kerusakan hati atau riwayat alergi. Data yang ada untuk menentukan ketepatan pasien hanya data umur pasien. Dilihat dari data umur yang ada, menunjukkan semua tepat pasien.
4.11. Data Hasil Analisis Lama perawatan Tabel 4.12 Distribusi frekuensi lama perawatan pasien Lama perawatan 1 – 3 hari 4 – 6 hari 7 – 9 hari >9 hari Total *N: jumlah pasien
Jumlah pasien DHF N 15 33 3 1 52
% 28,8 63 5,7 2 100
Dari data tabel diatas dapat diketahui bahwa lama perawatan pasien DHF terbanyak adalah 4 – 6 hari yaitu 33 pasien (63%), diikuti terbanyak kedua adalah 1 – 3 hari yaitu sebanyak 15 pasien (28,8%). Selanjutnya 7 – 9 hari sebanyak 3 pasien (5,7%) dan paling sedikit pasien DHF dengan lama perawatan selama lebih dari 9 hari yaitu 1 pasien (2%).
4.12. Data laboratorium Parameter laboratorium yang dijadikan acuan adalah kadar trombosit dan hematokrit. Distribusi frekuensi kadar trombosit dan hemtokrit pada sampel pasien DHF pada saat dating ke RS adalah sebagai berikut:
4.12.1. Kadar trombosit Tabel 4.13 Parameter laboratorium pasien berdasarkan kadar trombosit Kadar trombosit <100.000 (trombositopenia) 100.000-150.000 (trombositopenia ringan) >150.000 Total *N: jumlah pasien 29
Jumlah pasien DHF N 29
% 55,7
20
38
3 52
5,7 100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa pasien dengan trombositopenia sebanyak 29 pasien (55,7%), sedangkan pasien dengan trombositopenia ringan sebanyak 20 pasien (38%) dan pasien dengan trombositopenia tinggi sebanyak 3 pasien (5,7%).
4.12.2. Kadar hematokrit Tabel 4.14 Distribusi frekuensi kadar hematokrit pasien Kadar hematokrit ≤ 40 Vol % >40 Vol % (hemokonsentrasi) Total *N: jumlah pasien
Jumlah pasien DHF N 24 28 52
% 46 53,8 100
Dari tabel di atas, jumlah pasien dengan keadaan hemokonsentrasi lebih banyak dibanding pasien dengan kadar hematokrit normal, yaitu sebesar 28 pasien (53,8%).
4.13. Pembahasan 4.13.1. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi keterbatasan antara lain: kemungkinan masih ada keterbatasan waktu penelitian, keterbatasan dana penelitian dan keterbatasan data yang dikumpulkan untuk penelitian ini data retrospektif sehingga tidak semua informasi dapat diperoleh dengan lengkap.
4.13.2. Pembahasan Hasil Penelitian 4.13.2.1. Pasien DHF berdasarkan data demografi 4.13.2.1.1. Pasien DHF berdasarkan jenis kelamin Berdasarkan pengelompokkan jenis kelamin, tidak ada perbedaan yang mencolok antara jumlah pasien dengan jenis kelamin laki – laki maupun perempuan. Secara keseluruhan jumlah pasien dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak yaitu 28 pasien (53,8%) dan pasien dengan jenis kelamin laki – laki sebanyak 24 pasien (46,6%). Penelitian
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
yang dilakukan oleh Afiana dan Mery (2012) dari Universitas Muhammadiyah Semarang menunjukkan bahwa pasien DHF yang paling banyak adalah pasien dengan jenis kelamin laki – laki yaitu sebesar 330 anak (55,09%) dari keseluruhan jumlah populasi sebesar 599 anak.
4.13.2.1.2. Pasien DHF berdasarkan umur Berdasarkan data demografi dari pengelompokkan umur pasien DHF, sebagian besar pasien DHF pada kelompok umur 1 – 14 tahun yaitu sebesar 29 pasien (55,7%) dengan 16 pasien (61,5%) diberikan antibiotik, kemudian pasien pada kelompok 15 – 44 tahun sebesar 21 pasien (40,4%) dengan 9 pasien (34,6%) diberikan antibiotik dan kelompok umur < 1 tahun sebesar 1 pasien (3,8%) yang diberikan antibiotik. Penelitian yang dilakukan oleh Aryu (2010) menunjukkan bahwa dalam penelitiannya pasien DHF yang paling banyak adalah pasien pada kelompok umur < 15 tahun yaitu sebesar 95% dan mengalami pergeseran dengan adanya peningkatan proporsi pasien pada kelompok umur 15 – 44 tahun, sedangkan proporsi pasien pada kelompok umur >45 tahun sangat rendah. Hal ini mungkin dikarenakan pengaruh dari sistem imun anak – anak yang kurang kebal dan pola hidup yang kurang diperhatikan.
4.13.2.2. Analisis Pasien DHF Berdasarkan Hasil Tepat Diagnosis Berdasarkan hasil data yang dilihat dari diagnosis pasien yang diperoleh menunjukkan bahwa pasien yang tanpa disertai infeksi dengan trombosit > 100.000/µL (trombositopenia) paling banyak yaitu 29 pasien (55,7 %) dari 52 pasien merupakan tepat diagnosis, dengan trombosit 100.000 – 150.000 terdapat 20 pasien (38 %) dari 52 pasien termasuk tepat diagnosis dan dengan trombosit > 150.000 tidak ada untuk pasien tanpa disertai infeksi sekunder. Sementara, untuk pasien dengan disertai infeksi sekunder dengan trombosit < 100.000 terdapat 2 pasien, dengan trombosit 100.000 – 150.000 terdapat 7 pasien dan pasien yang disertai infeksi sekunder dengan trombosit > 150.000 terdapat 3 pasien bisa dikatakan tepat diagnosis. Untuk pasien dengan trombosit > 150.000 kemungkinan
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
belum masuk pada fase demam atau fase syok, yang mana trombosit dalam jumlah normal atau lebih akan kemudian menurun pada fase tersebut. Berdasarkan diagnosis DHF menurut kriteria WHO 1999, secara klinis pasien DHF dengan trombositopenia (< 100.000/µL). Terjadi penurunan hitung trombosit dari nilai normal. Umumnya pada masa akut jumlah trombosit 100.000/mm3 darah untuk patokan rawat inap dan rawat jalan 150.000/mm3. Pada saat awal infeksi, trombosit dalam jumlah normal kemudian menurun drastis, hingga saat fase demam, fase syok mencapai puncak terendah (bisa mencapai 20.000), setelah itu perlahan naik kembali pada fase konvalesken, setelah itu 7 – 10 setelah sakit maka akan kembali normal.
4.13.2.3. Analisis Tepat Indikasi Berdasarkan hasil penelitian dari pemberian antibiotik pada pasien DHF, antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan tanpa komplikasi infeksi tidak tepat. Antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan disertai infeksi tifoid merupakan tepat indikasi. Akan tetapi, terdapat 1 pasien yang disertai infeksi tifoid tidak diberikan antibiotik merupakan tidak tepat indikasi, karena pengobatan dari tifoid yaitu antibiotik. Kemudian antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan disertai infeksi ISPA termasuk tepat indikasi dan terdapat pula 4 pasien yang disertai infeksi ISPA tidak diberikan antibiotik termasuk tidak tepat indikasi. Sesuai indikasi antibiotik secara umum yaitu antibiotik mempunyai indikasi penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Sedangkan DHF itu sendiri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (Nursalam, 2005). Karena disebabkan oleh virus, maka pemberian antibiotik dalam pengobatan DHF tidak diperlukan kecuali jika terdapat infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri dan apabila terjadi DSS (Dengue Syok
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
Syndrome), mengingat kemungkinan infeksi sekunder dapat terjadi dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. karena antibiotik yang digunakan kebanyakan adalah golongan sefalosporin generasi ketiga. Dimana, sefalosporin generasi ketiga sebaiknya diberikan pada pasien apabila pemberian sefalosporin generasi pertama dan generasi kedua sudah tidak bisa untuk memperbaiki keadaan pasien (Farmakologi bergambar).
4.13.2.4. Analisa Tepat Obat Berdasarkan hasil penelitian dari pemberian antibiotik pada pasien DHF, antibiotik yang paling banyak diberikan adalah seftriakson. Antibiotik yang diindikasikan untuk pasien dengan diagnosis tanpa disertai infeksi tidak tepat. Antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan disertai infeksi tifoid dapat dikatakan tepat obat. Akan tetapi, pemilihan antibiotik seftriakson bukan merupakan pengobatan pilihan utama untuk infeksi tifoid. Pengobatan untuk tifoid pilihan utama menggunakan antibiotik seperti kloramfenikol. Kemudian antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan disertai infeksi ISPA juga dapat dikatakan
tepat.
Namun,
pemilihan
antibiotik
seftriakson
bukan
merupakan pengobatan pilihan utama. Seftriakson merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga. Dimana, sefalosporin generasi ketiga sebaiknya diberikan pada pasien apabila pemberian sefalosporin generasi pertama dan generasi kedua sudah tidak bisa untuk memperbaiki keadaan pasien (Farmakologi bergambar). Seftriakson termasuk anitibiotik spektrum luas yaitu golongan sefalosporin. Karena termasuk sefalosporin generasi ketiga, seftriakson sebaiknya diberikan pada pasien apabila sefalosporin generasi pertama dan generasi kedua sudah tidak bisa untuk memperbaiki keadaan pasien. Seftriakson diberikan sebagai generasi selanjutnya untuk perbaikan dari generasi pertama dan generasi kedua (Farmakologi bergambar). Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati penyakit infeksi
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
yang menyerang, belum diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas (Farmakologi bergambar).
4.13.2.5. Analisis Tepat Dosis Berdasarkan hasil penelitian yang dilihat dari dosis yang diberikan kepada pasien paling banyak pasien DHF diberikan antibiotik seftriakson dengan dosis 2 g sehari dan seftriakson dengan dosis 1 g sehari yaitu keseluruhan pasien masing – masing sebanyak 12 pasien (10,6%) dan 3 pasien (5,7%) serta dosis 2x400 mg 1 pasien (1,9%) dosis 1x1 ½ g 1 pasien (1,9%). Apabila dilihat dari hasil data berdasarkan umur, pasien dengan kelompok umur 1 – 14 tahun adalah paling banyak, untuk pasien pada kelompok umur 1 – 14 tahun terdapat 5 pasien (12 tahun, 12 tahun, 12 tahun, 9 tahun, 6 tahun) dengan dosis 2 g sehari, 3 pasien (10 tahun, 9 tahun, 1 tahun) dengan dosis 1 g sehari dan 1 pasien (4 tahun) dengan dosis 2x400 mg serta 1 pasien (7 tahun) dengan dosis 1x1 ½ g yang diberikan antibiotik seftriakson. Sedangkan pasien yang diberikan antibiotik lain sebanyak 6 pasien untuk kelompok umur 1 – 14 tahun, yaitu antibiotik sefadroksil 3 pasien (6 tahun) dengan masing – masing dosis 3x300 mg, (6 tahun) dosis 3x400 mg dan (8 tahun) dosis 2x250 mg, sefiksim 2 pasien (7 tahun) dengan dosis 1x1 g dan (11 tahun) dosis 3x1 g dan ciprofloksasin 1 pasien (12 tahun) dengan dosis 2x500 mg. Sehingga jumlah pasien dengan kelompok umur 1 – 14 tahun yang diberikan antibiotik sebanyak 16 pasien (61,5%). Dalam buku Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 - 2003) menyatakan bahwa dosis dari seftriakson untuk orang dewasa adalah 1 – 2 g setiap 12 – 24 jam, untuk anak > 12 tahun 250 mg dalam dosis tunggal dan anak < 12 tahun 125 mg dalam dosis tunggal. Dalam penelitian ini, pasien anak – anak dengan umur 1 – 14 tahun adalah yang paling banyak. Sehingga untuk pasien anak – anak dengan umur 1 – 14 tahun, dosis yang diberikan adalah tidak sesuai atau terlalu besar. Sedangkan untuk pasien dewasa, dosis yang diberikan sudah sesuai menurut buku literatur Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003). Untuk sefadroksil,
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
menurut buku Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003) dosis bayi dan anak – anak adalah 30 mg/kg/hari terbagi dalam 2 kali sehari, dosis maksimal hingga 2 g/hari, dosis orang dewasa adalah 1 – 2 g/hari dalam 1 – 2 dosis terbagi, dosis maksimum untuk orang dewasa 4 g/hari. Dalam penelitian ini, pasien yang diberikan sefadroksil terdapat 3 pasien dengan kelompok umur 1 – 14 tahun untuk masing – masing dosis 3x300 mg (6 tahun), dosis 3x400 mg (8 tahun) dan dosis 2x250 mg (6 tahun). Untuk kelompok umur 1 – 14 tahun dosis yang diberikan sesuai dengan buku literatur Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003). Dalam penelitian ini, untuk antibiotik sefiksim diberikan dosis 1x1 kapsul (7 tahun) dan dosis 3x1 kapsul (11 tahun) pada kelompok umur 1 – 14 tahun serta pada kelompok umur 15 – 44 tahun (34 tahun) dengan dosis 2x1 kapsul. Disini, dosis 1x1 kapsul yang diberikan untuk pasien pada kelompok umur 1 – 14 tahun dengan berat badan 25 kg adalah kurang, sedangkan dosis 3x1 kapsul yang diberikan untuk pasien pada kelompok umur 1 – 14 tahun sesuai menurut buku literatur Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003) yaitu dosis untuk bayi dan anak 8 mg/kg/hari dibagi setiap 12 – 24 jam, dosis maksimum 400 mg/hari, dewasa 400 mg/hari setiap 12 – 24 jam. Apabila diberikan untuk pasien dewasa dosis tersebut juga sesuai menurut buku literatur Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003). Sedangkan antibiotik siprofloksasin terdapat 1 pasien dengan dosis 2x500 mg untuk kelompok umur 1 – 14 tahun (12 tahun). Pada buku Drug Information Handbook, menyatakan bahwa dosis untuk dewasa infeksi ringan 250 mg 2x/hari, infeksi berat 500 – 750 mg 2x/hari, sehingga dosis yang diberikan sesuai untuk orang dewasa dan kurang sesuai untuk kelompok umur 1 – 14 tahun. Antibiotik sefotaksim, di sini digunakan pada pasien kelompok umur < 1 tahun yaitu umur 6 bulan dengan dosis yang diberikan 2x300 mg. Dalam buku Drug Information Handbook menunjukkan, dosis untuk bayi dan anak 1 bulan sampai 12 tahun adalah 50 – 180 mg/kg/hari dalam dosis terbagi setiap 4 – 6 jam. Untuk pasien dengan umur 6 bulan, dosis tersebut yang diberikan sesuai menurut buku Drug Information Handbook.
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
Antibiotik selanjutnya yang digunakan adalah amoksisilin, yaitu diberikan pada pasien kelompok umur 15 – 44 tahun (27 tahun) dengan dosis 3x500 mg. Dalam buku Drug Information Handbook menyatakan, dosis untuk anak ≤ 3 bulan adalah 20 – 30 mg/kg/hari terbagi setiap 12 jam, untuk anak > 3 bulan atau < 40 kg adalah 20 – 50 mg/kg/hari dosis terbagi setiap 8 – 12 jam, dan untuk dewasa adalah 250 – 500 mg setiap 8 jam atau 500 – 875 mg 2x sehari, dosis maksimum 2 – 3 g/hari. Jadi, dosis amoksisilin yang diberikan sesuai dengan buku Drug Information Handbook untuk pasien pada kelompok umur 15 – 44 tahun.
4.13.2.6. Analisis Tepat Cara Pemberian Berdasarkan data hasil cara pemberian, antibiotik yang diberikan paling banyak diberikan secara oral yaitu merupakan tepat cara pemberian. Cara pemberian secara injeksi juga termasuk tepat cara pemberian. Dalam penelitian ini, pasien yang paling banyak adalah pasien dengan umur 1 – 14 tahun. Antibiotik lebih banyak diberikan secara oral kemungkinan dikarenakan kebanyakan pasien adalah pasien umur 1 – 14 tahun yang akan lebih susah diberikan secara injeksi dibandingkan diberikan secara oral. Karena bentuk sediaan antibiotik yang tersedia di rumah sakit maupun di pasaran adalah berupa tablet, kapsul atau puyer dan tidak bisa diberikan secara injkesi sehingga cara pemberiannya secara oral.
4.13.2.7. Analisis Tepat Lama Pemberian Berdasarkan hasil lama pemberian obat antibiotik menunjukkan bahwa sebagian besar pasien DHF diberikan terapi antibiotik yaitu berkisar antara 4 – 6 hari yang merupakan tepat lama pemberian. Sementara untuk lama pemberian selama 1 – 3 hari, 7 – 9 hari dan > 9 hari merupakan tidak tepat lama pemberian. Dimana, berdasarkan lama pemberian antibiotik secara umum adalah antibiotik paling lama diberikan selama 7 hari atau sampai antibiotik tersebut habis. Distribusi frekuensi lama pemberian obat antibiotik disini berdasarkan lama perawatan pasien di RS Mintohardjo, yaitu pasien
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
diberikan terapi obat antibiotik pada saat pasien datang ke RS sampai pasien keluar dari RS. Akan tetapi, ada beberapa pasien yang diberikan antibiotik berkisar antara 1 – 3 hari kemudian pada hari berikutnya tidak diberikan antibiotik. Hal ini dikarenakan keluhan pasien pada hari selanjutnya yang memungkinkan untuk tidak diberikan antibiotik.
4.13.2.8. Analisis waspada efek samping Berdasarkan hasil penelitian dari keluhan pasien, demam atau panas, mual, muntah, sakit kepala atau pusing dan lemas adalah keluhan yang paling banyak dikeluhkan oleh pasien DHF, baik pasien DHF yang diberikan antibiotik maupun pasien DHF yang tidak diberikan antibiotik. Infeksi dari gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus pertama kali dapat memberi gejala sebagai demam dengue. Keluhan pasien tersebut dapat juga ditimbulkan dari efek samping obat antibiotik seperti seftriakson yang menimbulkan efek samping gastrointestinal yaitu faeces encer / diare, mual, muntah, stomatitis dan glositis. Sefiksim memberikan efek samping seperti syok, reaksi hipersensitivitas, kelainan hematologi, peningkatan hasil tes fungsi hati, gangguan saluran cerna, disfungsi ginjal, gangguan pernapasan, sakit kepala atau pusing. Siprofloksasin mempunyai efek samping seperti mual, rasa tidak enak pada perut, dyspepsia, kembung, diare dan stomatitis, kolitis psedomembranosa, sakit kepala, pusing, tidak enak badan, mengantuk, rasa capek, kegelisahan, insomnia, terkadang depresi, halusinasi, pandangan kabur, psikosis dan kejang serta kulit kemerahan. Sedangkan untuk amoksisilin mempunyai efek samping berupa reaksi kepekaan seperti erythematosus maculopapular, rash, urtikaria, serum sickness. Reaksi kepekaan yang serius dan fatal pada amoksisilin adalah anafilaksis terutama terjadi pada penderita yang hipersensitif pada penisilin, gangguan saluran pencernaan seperti mual, muntah dan diare, reaksi – reaksi hematologik (biasanya bersifat reversibel).
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
4.13.2.9. Analisis Tepat Pasien Berdasarkan data catatan rekam medis yang didapatkan, tidak dituliskan atau tidak dicantumkan bahwasannya pasien mempunyai riwayat alergi, adanya penyakit kelainan ginjal atau kerusakan hati dan kondisi khusus misalnya pasien tersebut hamil, laktasi, balita atau lansia. Sehingga terdapat kesulitan untuk mempertimbangkan pemilihan obat dan untuk menganalisis ketepatan pasien, apakah obat yang diberikan pada pasien tersebut telah memenuhi syarat tepat pasien atau tidak. Dalam teori pada penelitian ini, obat yang akan digunakan oleh pasien
mempertimbangkan
kondisi
individu
atau
pasien
yang
bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan ginal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya pemberian obat golongan Aminoglikosida pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus dihindari (Swestika, 2013).
4.13.2.10. Pasien DHF berdasarkan lama perawatan Berdasarkan hasil penelitian dari lama perawatan pasien DHF, sebagian besar pasien dirawat di RS selama 4 – 6 hari. Pada penelitian oleh Afiana dan Mery (2012) dari Universitas Muhammadiyah Semarang menunjukkan bahwa pasien DHF paling lama dirawat selama 4 – 6 hari di Rumah Sakit. Ini dilihat dari hasil laboratorium pasien, dimana hasil data laboratorium berdasarkan kadar trombosit pasien semakin meningkat setiap harinya. Sehingga memungkinkan pasien untuk tidak dirawat di rumah sakit atau diperbolehkan pulang. Kadar trombosit normal adalah 150.000 sampai 450.000 trombosit per mikro-liter darah.
4.13.2.11. Pasien DHF berdasarkan data laboratorium 4.13.2.11.1. Pasien DHF berdasarkan kadar trombosit Berdasarkan hasil data laboratorium dilihat dari kadar trombosit menunjukkan bahwa sebagian besar pasien mengalami trombositopenia.
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
Penelitian Afiana dan Merry (2012) dari Universitas Muhammadiyah Semarang, menunjukkan adanya penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa terjadi pada pasien DHF, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai hari ke-8 sakit, yang sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan hemtokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DHF, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi.
4.13.2.11.2. Pasien DHF berdasarkan kadar hematokrit Berdasarkan hasil kadar hematokrit menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok antara jumlah pasien dengan hemokonsentrasi maupun dengan kadar hematokrit normal. Jumlah pasien dengan keadaan hemokonsentrasi lebih banyak dibanding pasien dengan kadar hematokrit normal. Pada penelitian yang dilakukan oleh Afiana dan Mery (2010) menunjukkan jumlah pasien dengan keadaan hemokonsentrasi lebih sedikit disbanding pasien dengan kadar hematokrit normal. Peningkatan nilai hematokrit terjadi sebelum atau bersamaan dengan penurunan jumlah trombosit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan.
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Dari hasil penelitian ini dengan total jumlah 76 sampel terdiri dari 52 sampel pasien Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) yang masuk kriteria inklusi dengan jumlah 26 pasien diberikan antibiotik dan jumlah 26 pasien tidak diberikan antibiotik serta jumlah 24 data dengan kriteria ekslusi. 2. Dari 52 pasien DHF yang menjalani Rawat Inap di Rumah Sakit Angkatan Laut (RUMKITAL) Dr. Mintohardjo lebih banyak ditemukan jenis kelamin perempuan dengan usia berkisar antara 1 – 14 tahun. 3. Penggunaan obat antibiotik yang paling banyak adalah golongan sefalosporin seftriakson. 4. Terdapat pemberian obat antibiotik pada pasien Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) yaitu tidak tepat indikasi, tidak tepat obat dan tidak tepat dosis sebanyak 12 pasien (46,15 %) dari 26 pasien. Untuk ketepatan pasien tidak bisa disimpulkan karena data yang didapat kurang lengkap. 5.2. Saran 1. Kepada peneliti selanjutnya agar dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan obat antibiotik pada pasien Dengue Hemorrhagic Fever (DHF). 2. Kepada dokter/perawat di Rumah Sakit agar memperjelas penulisan Rekam Medis.
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
DAFTAR PUSTAKA Dertarani, Vindi. 2009. Kajian rasionalitas penggunaan antibiotik di bagian Ilmu Bedah RSUP Dr. Kariadi periode Agustus-Desember 2008. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Hooton, T. M., and Levy, S. B. 2001. Confronting The Antibiotic Resistance Crisis: Making Appropriate Therapeutic Decisions in Community Medical Practic., Medscape Portals.
http://www.rsaldrmintohardjo.com/ (diakses pada tgl 6 Feb. 2014 pukul 10:49)
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasinoal.
Ken Chen, Herdiman T. Pohan, Robert Sinto. 2009. Diagnosis dan Terapi cairan pada Demam Berdarah Dengue. Jurnal Medicinus , 22 (1) , 3–7.
Kee JL, Hayes ER. 1996. Pharmacology: a Nursing Process Approach. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. h. 324-327.
Mitrea, LS. 2008. Pharmacology. Canada: Natural Medicine Books. h. 53.
MM DEAH Hapsari. 2010. Tata Laksana Infeksi Dengue. Dalam : : MM DEAH Hapsari, editor. Update Demam Berdarah Dengue : Naskah lengkap. Semarang : Balai Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 45-74
Moh Supriatna. 2010. Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : MM DEAH Hapsari, editor. Update Demam Berdarah Dengue : Naskah lengkap. Semarang : Balai Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 7-28
Neal, Michael J. 2006. Medical Pharmacology At a Glance. Edisi 5. Penerbit Erlangga.. h. 81
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
Rohmani, Afiana dan Merry T.A. 2012. Pemakaian Antibiotik Pada Kasus Demam Berdarah Dengue Anak Di Rumah Sakit Roemani Semarang Tahun 2010. Semarang: FK UMS. ISBN: 978-602-18809-0-6. Seminal Hasil – Hasil Penelitian-LPPM UNIMUS 2012.
Staf Pengajar Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 585- 586.
Staf Pengajar Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 587- 588, 590-595 Stringer, Janet L. 2006. Basic Concepts in Pharmacology: a Student’s Survival Guide. Edisi 3. (diterjemahkan oleh: dr. Huriawati Hartanto). Jakarta: Buku Kedokteran EGC. h. 186 – 199.
Swandari, Swestika. 2013. Penggunaan Obat Rasional (POR) Melalui Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada. http:bppkmakassar.com diakses pada 4 Maret 2014 pukul 17.26 WIB. Taketomo, Carol K. Hodding, Jane H. Kraus, Donna M. 2002 – 2003. Pediatric Dosage Handbook edisi 9. American Pharmaceutical Association.
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
Lampiran 1. DEFINISI KELOMPOK USIA (Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003)
Bayi
: umur 1 bulan – 1 tahun
Anak – anak : umur 1 – 12 tahun Remaja
: umur 13 – 18 tahun
Dewasa
: umur > 18 tahun
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
Lampiran 2. Alur Penelitian
Pengajuan surat izin penelitian kepada KARUMKIT dan BANGDIKLAT RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta
Surat disetujui oleh KARUMKIT, diterima dan di ACC oleh pihak BANGDIKLAT
Surat ke pihak ruang rawat dari BANGDIKLAT
Administrasi pembayaran
Surat ke pihak perawat ( kepala bidang perawat ) dari BANGDIKLAT
Surat ke ruang rekam medis dari BANGDIKLAT
Pengolahan data
Pengambilan data di ruang rekam medis
Penyusunan skripsi
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
Lampiran 3
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
Lampiran 4
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
Lampiran 5
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta