UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGARUH VARIASI KONSENTRASI SURFAKTAN PADA UKURAN PARTIKEL DAN EFISIENSI PENJERAPAN NIOSOM YANG MENGANDUNG EKSTRAK ETANOL 96% KULIT BATANG NANGKA (Artocarpus heterophyllus)
SKRIPSI
VERNANDA RIANTI PUTRI 1111102000015
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA APRIL 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGARUH VARIASI KONSENTRASI SURFAKTAN PADA UKURAN PARTIKEL DAN EFISIENSI PENJERAPAN NIOSOM YANG MENGANDUNG EKSTRAK ETANOL 96% KULIT BATANG NANGKA (Artocarpus heterophyllus)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
VERNANDA RIANTI PUTRI 1111102000015
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA APRIL 2015
ii
iii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Vernanda Rianti Putri Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Pengaruh Variasi Konsentrasi Surfaktan pada Ukuran Partikel dan Efisiensi Penjerapan Niosom yang Mengandung Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka (Artocarpus Heterophyllus)
Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus) mengandung senyawa polifenol yang memiliki aktivitas dalam menghambat enzim tirosinase, sehingga dapat berperan sebagai agen depigmentasi kulit. Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka diformulasikan dalam bentuk niosom untuk meningkatkan kemampuan penetrasi senyawa polifenol melalui stratum korneum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi surfaktan yang digunakan dalam formula niosom terhadap ukuran partikel dan efisiensi penjerapan. Niosom dibuat dalam tiga formula menggunakan metode hidrasi lapis tipis. Formula niosom dibuat dengan rasio konsentrasi kolesterol:surfaktan pada F1, F2, dan F3 berturut-turut adalah 1:1; 1:2; dan 1:3, serta dilakukan karakterisasi niosom meliputi ukuran partikel dan persen efisiensi penjerapan. Dihasilkan ukuran partikel masing-masing formula niosom F1, F2, dan F3 berturut-turut yaitu 155,62 nm; 174,29 nm; dan 216,30 nm, sedangkan data efisiensi penjerapan masing-masing formula niosom F1, F2, dan F3 berturut-turut yaitu 55,63%; 66,46%; dan 68,17%. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan konsentrasi surfaktan yang digunakan dalam formula niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka dapat meningkatkan ukuran partikel dan efisiensi penjerapannya.
Kata kunci : Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka, Artocarpus heterophyllus, niosom, ukuran partikel, efisiensi penjerapan.
vi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Vernanda Rianti Putri Program Study : Pharmacy Title : Effect of Surfactant Concentration to Particle Size and Entrapment Efficiency Niosome Containing Cortex 96% Ethanol Extract of Jackfruit (Artocarpus Heterophyllus)
Cortex 96% ethanol extract of jackfruit (Artocarpus heterophyllus) contains polyphenols compound that have activity in inhibiting the tyrosinase enzyme, so it can act as skin depigmentation agents. Cortex 96% ethanol extract of jackfruit has been formulated in niosome to increase the penetration of the polyphenols compound through the stratum corneum. The purpose of this study was to determine the effect of variation in surfactant concentration in niosome formula to the particle size and entrapment efficiency. Niosom made in three formulas using thin layer hydration method. Niosom was formulated with ratio concentration cholesterol:surfactant on F1, F2, and F3 respectively is 1:1; 1:2; and 1:3, and the characterization of niosome includes particle size and entrapment efficiency. The result is particle size of niosom formulas F1, F2, and F3 respectively are 155,62 nm, 174,29 nm, and 216, 30 nm, while the entrapment efficiency of niosom formulas F1, F2, and F3 respectively are 55,63%, 66,46%, and 68,17%. The conclusion of this study is increasing surfactant concentration in niosome containt 96% ethanol extract of jackfruit bark led to increase in particle size and entrapment efficiency.
Keywords: Cortex 96% ethanol extract of jackfruit, Artocarpus heterophyllus, niosomes, particle size, entrapment efficiency.
vii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW semoga kita senantiasa mendapatkan syafaat dari beliau. Skripsi dengan judul “Pengaruh Variasi Konsentrasi Surfaktan pada Ukuran Partikel serta Efisiensi Penjerapan Niosom yang Mengandung Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka (Artocarpus Heterophyllus)” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari adanya beberapa pihak yang memberikan kontribusi kepada penulis dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada : 1.
Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm, Apt sebagai Pembimbing I dan Ibu Afriani Rahma, M. Farm, Apt sebagai Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya serta memberikan ilmu terbaik yang dimiliki sehingga menutupi banyak keterbatasan penulis.
2.
Bapak Dr. Arief Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas
Kedokteran
dan
Ilmu
Kesehatan
UIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta. 4.
Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si, Apt selaku Sekretaris Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5.
Ibu dan Bapak Dosen beserta Staff Akademika Program Studi Farmasi yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
viii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6.
Kedua orang tua tercinta Ayahanda Mutrizal, S.pd dan Ibunda Lemy Rismawati, yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, dukungan, do’a dan nasihat tak terhingga yang tak akan pernah mampu penulis membalas semua itu.
7.
Keluarga beserta saudara penulis, Abang Vernando Ricco Saputra, S.T, serta adik-adik Vinda Wulandari Putri dan Vilda Mutiara Putri yang selalu memberikan semangat dan dorongan untuk kesuksesan penulis.
8.
Sahabat tersayang D8 (Puspita, Monic, Mufidah, Rifqi, Arsyad, Dhenny, dan Akas) yang selalu membantu dan memberikan semangat kepada penulis.
9.
Kakak-kakak laboran (kak Eris, kak Tiwi, kak Lisna, kak Liken, dan mba Rani) yang telah membantu keseharian penulis selama penelitian di laboratorium.
10. Kakak-kakak penulis di Farmasi yang selalu ikhlas membantu dan memberikan bimbingan. 11. Herlina, teh Vina, Meri, Icho, Nuha, Achi, Rhesa dan teman-teman farmasi angkatan 2011 lainnya yang telah menjadi keluarga kedua penulis selama menjadi mahasiswa di program studi farmasi ini. 12. Teman-teman Ikatan Keluarga Mahasiswa Minang (IKMM) Ciputat, Andam, Ipit, Rahma, Isil, Aqma, Bintan, Yandi, Armi, Dini, yang selalu membantu dan memberikan semangat kepada penulis. 13. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian naskah skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan dan kekurangan, kritik dan saran pembaca diharapkan penulis untuk memperbaiki kemampuan penulis. Jakarta, April 2015
Penulis
ix
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ......................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORIGINALITAS............................................ HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI ........................................................ HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI.......................................................... ABSTRAK ......................................................................................................... ABSTRACT ....................................................................................................... KATA PENGANTAR....................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................. DAFTAR ISI...................................................................................................... DAFTAR GAMBAR......................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
ii iii iv v vi vii viii x xi xiii xiv xv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................. 1.4. Manfaat Penelitian............................................................................ 1.5. Hipotesis Penelitian..........................................................................
1 3 3 3 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kulit.................................................................................................. 2.1.1. Anatomi Kulit....................................................................... 2.1.2. Fisiologi Kulit....................................................................... 2.1.3. Absorpsi Perkutan ................................................................ 2.1.4. Mekanisme Pigmentasi Kulit ............................................... 2.2. Tanaman yang Memiliki Aktivitas Inhibitor Tirosinase .................. 2.3. Tanaman Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk)....................... 2.3.1. Deskripsi Tanaman Nangka ................................................. 2.3.2. Kandungan Kimia................................................................. 2.4. Analisis Kadar Total Senyawa Fenolat ............................................ 2.5. Niosom ............................................................................................. 2.5.1. Klasifikasi Niosom ............................................................... 2.5.2. Metode Pembuatan Niosom ................................................. 2.6. Komponen Pembentuk Niosom ....................................................... 2.6.1. Span 60.................................................................................. 2.6.2. Kolesterol .............................................................................. 2.6.3. Metanol.................................................................................. 2.6.4. Kloroform.............................................................................. 2.6.5. Phosphate Buffer Saline (PBS) ............................................. 2.7. Karakterisasi Niosom ....................................................................... 2.7.1. Analisis Ukuran Partikel ....................................................... 2.7.2. Efisiensi Penjerapan .............................................................. 2.8. Spektrofotometer UV-Vis ................................................................
5 5 7 8 9 11 14 14 15 16 17 20 21 23 23 24 25 25 25 25 25 26 27
xi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................ 3.2. Alat ................................................................................................... 3.3. Bahan................................................................................................ 3.4. Prosedur kerja................................................................................... 3.4.1. Karakterisasi Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka ..... 3.4.2. Analisis Kadar Total Senyawa Fenolat Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka.................................................... 3.4.3. Preparasi Niosom Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka.................................................................................. 3.4.4. Karakterisasi Niosom ........................................................... BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakterisasi Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka................. 4.2. Analisis Kadar Total Senyawa Fenolat Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka........................................................................ 4.3. Preparasi Niosom ............................................................................. 4.4. Analisis Ukuran Partikel .................................................................. 4.5. Penentuan Persen Efisiensi Penjerapan............................................
29 29 29 30 30 32 33 35
37 39 42 45 47
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan....................................................................................... 51 5.2. Saran................................................................................................. 51 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 52 LAMPIRAN....................................................................................................... 55
xii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 2.8. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5.
Struktur Kulit................................................................................... 6 Biosintesis Melanin ......................................................................... 10 Bagian Batang Artocarpus heterophyllus Lamk ............................. 14 Rumus Bangun Senyawa Aktif Kulit Batang Nangka .................... 15 Reaksi Folin Ciocalteu dengan Senyawa Fenol .............................. 16 Struktur Niosom .............................................................................. 19 Struktur Molekul Span 60 ............................................................... 23 Struktur Molekul Kolesterol ........................................................... 24 Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam Aquadest ................................ 41 Hasil Pembuatan Formula Niosom ................................................. 43 Diagram Perbandingan Ukuran Partikel F1, F2, dan F3 ................. 45 Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam PBS ........................................ 47 Diagram Perbandingan %EP F1, F2, dan F3 .................................. 50
xiii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tanaman yang Memiliki Aktivitas Inhibitor Tirosinase ......................11 Tabel 3.1. Formula Niosom................................................................................... 34 Tabel 4.1. Hasil Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak ........... 37 Tabel 4.2. Hasil Penapisan Fitokimia.................................................................... 38 Tabel 4.3. Data Kadar Total Senyawa Fenolat...................................................... 41 Tabel 4.4. Data Ukuran Partikel ............................................................................ 45 Tabel 4.5. Data Persen Efisiensi Penjerapan ......................................................... 49
xiv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Lampiran 20. Lampiran 21. Lampiran 22. Lampiran 23.
Skema Prosedur Penelitian ............................................................ 55 Hasil Determinasi Kulit Batang Nangka ....................................... 56 Perhitungan Kadar Abu Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka........................................................................................... 57 Perhitungan Kadar Air Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka .............................................................................. 58 Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam Aquadest ............................................................................. 59 Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam Aquadest............................... 60 Perhitungan Kadar Total Senyawa Fenolat Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka ..................................................................... 61 Grafik Distribusi Ukuran Partikel Niosom.................................... 64 Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F1 ................................. 65 Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F2 ................................. 67 Data Distribusi Ukuran Partikel Niosom F3 ................................. 69 Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam PBS ..................................................................................... 71 Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam PBS....................................... 72 Perhitungan Kadar Total Senyawa Fenolat yang Tidak Terjerap . 73 Perhitungan % Efisiensi Penjerapan.............................................. 75 Gambar Alat dan Bahan yang digunakan ...................................... 76 Certificate of Analysis Asam Galat ............................................... 77 Certificate of Analysis Kolesterol.......................................................................... 78 Certificate of Analysis Span 60 ..................................................... 79 Certificate of Analysis Folin Ciocalteu.......................................... 80 Certificate of Analysis Tablet PBS ................................................ 81 Certificate of Analysis Metanol p.a ...................................................................... 82 Certificate of Analysis Na2CO3 ............................................................................... 84
xv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus) memiliki aktivitas sebagai
penghambat enzim tirosinase (Supriyanti, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ninin Kartika Juwita tahun 2011, ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus) merupakan inhibitor kompetitif dari tirosinase dengan nilai IC50 sebesar 142,37 ppm. Senyawa bioaktif yang didapat dari ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus) berupa senyawa polifenol yang berperan sebagai agen depigmentasi kulit (Chang, 2009). Pemilihan bahan alami sebagai senyawa aktif pada penelitian ini adalah karena dari beberapa penelitian diketahui ekstrak tanaman mampu menghambat sintesis melanin tanpa bersifat sitotoksik terhadap sel melanosit (Zhu, W; Gao, J, 2008). Mekanisme penghambatan sintesis melanin terjadi karena senyawa polifenol memiliki struktur yang mirip dengan L-DOPA sebagai substrat dan akan berkompetisi untuk berikatan dengan active site tirosinase. Enzim tirosinase berada pada lapisan basal epidermis, sehingga dibutuhkan suatu sistem penghantaran yang dapat meningkatkan penetrasi obat dan kosmetik, terutama bagi senyawa polar seperti polifenol (Sinico, C; Fadda, A. M., 2009). Hal ini dikarenakan kulit merupakan lapisan penghalang laju (rate limiting step) selama absorpsi obat perkutan. Beberapa keterbatasan telah dikaitkan dengan sediaan topikal, misalnya rendahnya penetrasi perkutan karena fungsi barrier dari stratum korneum, lapisan terluar dari kulit, (Rubio dkk., 2011). Penelitian yang berkembang saat ini menawarkan beberapa sistem yang dapat menghantarkan obat melalui kulit (Higaki; Nakayama; Suyama, 2005). Penggunaan sistem pembawa (carrier) adalah salah satu strategi untuk meningkatkan penetrasi senyawa melalui stratum korneum. Teknologi carrier, juga disebut sebagai nanoteknologi jika vesikel atau partikel berukuran nano. Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan keuntungan dari niosom sebagai penghantaran berbagai obat dan kosmetik secara topikal (Schreier;
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Bouwstra, 1994;. Korhonen, 2002;. Manosroi; Khanrin; Lohcharoenkal, 2009;. Handjani; Ribier; Rondot; Vanlerberghe, 1989). Niosom merupakan sistem penghantaran obat yang dapat diaplikasikan secara topikal karena karakteristiknya yang dapat meningkatkan penetrasi obat, memberikan pola pelepasan obat yang berkelanjutan (sustained) dan kemampuan untuk membawa obat-obatan baik yang bersifat hidrofilik maupun lipofilik (Sathali; Rajalakshmi, 2010). Bentukan vesikel niosom merupakan struktur bilayer baik unilamelar maupun multilamelar yang stabil secara kimia dan tersusun dari surfaktan nonionik misalnya sorbitan ester (span) dan kolesterol yang berfungsi sebagai bahan penstabil (Kapoor, 2011). Niosom memiliki karakteristik yang lebih menguntungkan seperti stabilitas yang lebih tinggi, ukuran partikel yang lebih kecil, dan biaya lebih rendah dari pada vesikel lipid lain seperti liposom, transfersom dan etosom (Handjani, 1979;. Uchegbu; Vyas, 1998). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi formulasi niosom adalah jumlah dan jenis surfaktan (Tangri; Khurana, 2011). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Randa, Adel, Shahira, dan Ahmed tahun 2014, formula niosom yang dipreparasi dengan metode hidrasi lapis tipis menggunakan perbedaan rasio konsentrasi kolesterol:surfaktan sebesar 1:2 dan 1:3 memiliki pengaruh terhadap ukuran
partikel
dan
efisiensi
penjerapannya.
Hasil
penelitian
tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi surfaktan yang digunakan dalam formulasi
niosom
dapat
meningkatkan
ukuran
partikel
dan
efisiensi
penjerapannya. Kemampuan surfaktan dalam membentuk vesikel tergantung pada nilai HLB. Surfaktan dengan nilai HLB antara 4 dan 8 sesuai untuk pembentukan vesikel (Mozafari, 2007). Span 60 merupakan surfaktan nonionik yang memiliki nilai HLB 4,7. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Latifah Rahman, Ismail, dan Wahyudin tahun 2011 menunjukkan bahwa penjerapan terbaik dari tiga jenis sorbitan yang digunakan (span 20, span 60, dan span 80) dalam pembuatan niosom diperlihatkan oleh span 60. Fase temperatur transisi (TC) dari surfaktan juga mempengaruhi efisiensi penjerapan, dimana span 60 memiliki nilai temperatur transisi (TC) yang lebih tinggi sehingga tingkat penjerapannya lebih
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
baik (Chandu, Arunachalam, Jeganath, Yamini, 2012). Oleh karena itu, pada penelitian ini dipilih surfaktan nonionik dari jenis sorbitan ester, yaitu sorbitan monostearat (span 60) dengan berbagai konsentrasi. Berdasarkan uraian di atas, maka akan dibuat formula niosom yang mengandung zat aktif ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus) dengan perbandingan variasi konsentrasi surfaktan span 60 dan dilihat pengaruhnya terhadap ukuran partikel dan efisiensi penjerapan.
1.2
Rumusan Masalah Bagaimanakah pengaruh variasi konsentrasi surfaktan dalam formulasi
niosom ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus L.) terhadap ukuran partikel dan efisiensi penjerapan?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi
surfaktan dalam formulasi niosom ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus L.) terhadap ukuran partikel dan efisiensi penjerapan.
1.4
Manfaat Penelitian
1.
Bagi Pendidikan Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak pendidikan sebagai tambahan literatur yang digunakan oleh mahasiswa/i yang berkepentingan.
2.
Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak peneliti dan lainnya yang berminat di bidang penelitian yang sama sebagai dasar untuk melakukan penelitian lanjutan tentang niosom yang mengandung ekstrak kulit batang nangka yang dapat digunakan sebagai bahan aktif dalam sediaan kosmetik untuk mencegah hiperpigmentasi pada kulit.
3.
Bagi Industri Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak industri untuk mengembangkan produk-produk obat dan kosmetik berbasis sistem penghantaran nanolipid particles yang lebih berkualitas.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
1.5
Hipotesis Penelitian Peningkatan konsentrasi surfaktan dapat meningkatkan ukuran partikel dan
efisiensi penjerapan niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kulit
2.1.1 Anatomi Kulit Kulit merupakan selimut yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan dari luar. Fungsi perlindungan terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus, respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar. Luas permukaan kulit sekitar 2m2 dengan berat 10 kg jika dengan lemak atau 4 kg jika tanpa lemak (Tranggono dan Latifah, 2007). Kulit manusia terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutan. Lapisan epidermis dibentuk dari beberapa lapisan sel dengan ketebalan 0,1-1 mm dan berbeda-beda pada tiap bagian tubuh. Dari luar ke dalam lapisan epidermis terdiri dari lapisan tanduk (stratum corneum), lapisan jernih (stratum lucidum), lapisan berbutir-butir (stratum granulosum), lapisan malphigi (stratum spinosum), dan lapisan basal (stratum germinativum). Lapisan tanduk terdiri dari beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna dan sangat sedikit mengandung air. Lapisan jernih merupakan lapisan yang tipis, jernih, mengandung eleidin, dan lapisan ini terlihat jelas pada telapak tangan dan telapak kaki. Pada lapisan berbutir-butir tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar, dan berinti mengkerut. Lapisan malphigi memiliki sel yang berbentuk kubus dan seperti berduri. Intinya besar dan oval. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein. Sedangkan pada lapisan basal juga terdapat sel-sel melanosit yang tidak mengalami keratinisasi dan berfungsi membentuk pigmen melanin (Tranggono dan Latifah, 2007).
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
Pada lapisan kedua atau lapisan dermis memiliki ketebalan yang lebih daripada epidermis. Terbentuk oleh jaringan elastik dan fibrosa padat dengan elemen selular, kelenjar, dan rambut sebagai adneksa kulit. Lapisan ini terdiri atas pars papilaris, bagian yang menonjol ke dalam epidermis berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah, dan pars retikularis, bagian bawah dermis yang berhubungan dengan lapisan subkutan. Terdiri atas serabut penunjang kolagen, elasrin, dan retikulin (Wasitaatmadja, 1997). Lapisan subkutan merupakan lapisan paling dalam dari kulit. Merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak didalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma lemak yang bertambah. Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutan (Wasitaatmadja, 1997).
[Sumber: Subowo, 1993]
Gambar 2.1 Struktur Kulit
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
2.1.2 Fisiologi Kulit Faal kulit sangat kompleks dan berkaitan satu dengan lainnya di dalam tubuh manusia, dengan berbagai fungsi antara lain fungsi proteksi, fungsi absorpsi, fungsi ekskresi, fungsi sensori, fungsi pengaturan suhu tubuh, fungsi pembentukan pigmen, fungi keratinisasi, dan fungsi produksi vitamin D. a.
Fungsi Proteksi Kulit melindungi bagian dalam tubuh manusia terhadap gangguan fisik
maupun mekanik. Gangguan fisik misalnya tekanan, gesekan, tarikan, sedangkan gangguan kimiawi, seperti zat-zat kimia iritan (lisol, karbol, asam atau basa kuat lainnya). Gangguan fisik seperti panas atau dingin, gangguan sinar radiasi atau sinar ultraviolet, dan gangguan kuman, jamur, bakteri atau virus. b.
Fungsi Absorpsi Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan maupun benda padat.
Tetapi cairan yang mudah menguap lebih mungkin mudah diserap kulit, begitu pula zat yang larut dalam minyak. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban udara, metabolisme dan jenis pembawa zat yang menempel di kulit. Penyerapan dapat melalui celah antarsel, saluran kelenjar atau saluran keluar rambut. c.
Fungsi Ekskresi Kelenjar-kelenjar pada kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau
sisa metabolisme dalam tubuh misalnya NaCl, urea, asam urat, ammonia, dan sedikit lemak. Sebum yang diproduksi kelenjar palit kulit melindungi kulit dan menahan penguapan yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering. d.
Fungsi Pengindra (Sensori) Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.
Badan Ruffini yang terletak di dermis, menerima rangsangan dingin dan rangsangan panas diperankan oleh badan Krause. Badan taktil Meissner yang terletak di papil dermis menerima rangsang rabaan, demikian pula badan MerkelRenvier yang terletak di epidermis. e.
Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (Termoregulasi) Kulit melakukan peran ini dengan cara mengeluarkan keringat dan
mengerutkan otot dinding pembuluh darah kulit. Pada suhu tubuh meningkat,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
kelenjar kulit mengeluarkan banyak keringat ke permukaan kulit dan dengan penguapan keringat tersebut terbuang pula panas tubuh. Mekanisme termoregulasi ini diatur oleh sistem saraf simpatis yang mengeluarkan zat perantara asetilkolin. f.
Fungsi Pembentukan Pigmen (Melanogenesis) Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal
epidermis. Sel ini berasal dari rigi saraf, jumlahnya 1:10 dari sel basal. Jumlah melanosit serta jumlah dan besarnya melanin yang terbentuk menentukan warna kulit. Pajanan sinar matahari mempengaruhi produksi melanin. Bila pajanan bertambah produksi melanin akan meningkat. g.
Fungsi Keratinisasi Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah
bentuk lebih poligonal yaitu sel spinonum, terangkat ke atas menjadi lebih gepeng, dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas lebih gepeng, dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya mengering menjadi keras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk. Proses ini berlangsung terus-menerus dan berguna untuk fungsi rehabilitasi kulit agar dapat melaksanakan fungsinya secara baik. h.
Fungsi Produksi Vitamin D Kulit
juga
dapat
membuat
vitamin
D
dari
bahan
baku
7-
dihidroksikolesterol dengan bantuan sinar matahari. Namun produksi ini masih lebih rendah dari kebutuhan tubuh akan vitamin D dari luar makanan (Madison, 2003; Connor, 2003). 2.1.3 Absorpsi Perkutan Absorpsi perkutan adalah masuknya obat atau zat aktif dari luar ke dalam jaringan kulit dengan melewati membran sebagai pembatas. Membran pembatas ini adalah stratum corneum yang bersifat tidak permeabel terutama terhadap zat larut air, dibandingkan terhadap zat yang larut lemak. Penetrasi melintasi stratum corneum dapat terjadi karena adanya proses difusi melalui dua mekanisme yaitu transepidermal dan transappendageal. Mekanisme transepidermal merupakan penetrasi dengan cara difusi pasif. Difusi pasif melalui mekanisme ini dapat terjadi melalui dua jalur yaitu difusi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
intraseluler yang melalui sel korneosit yang berisi keratin dan difusi interseluler yang melalui ruang antar sel stratum corneum. Transepidermal merupakan jalur utama pada absorpsi perkutan karena luas permukaan kulit 100-1000 kali lebih luas dari pada luas permukaan kelenjar dalam kulit. Absorpsi melalui rute transepidermal sangat ditentukan oleh keadaan stratum corneum yang berfungsi sebagai membran semipermeabel. Jumlah zat aktif yang terpenetrasi tergantung pada gradien konsentrasi dan koefisien partisi senyawa aktif dalam minyak dan air. Mekanisme transappendageal adalah mekanisme penetrasi molekul zat aktif melalui pori-pori yang ada pada kelenjar keringat dan folikel rambut. Folikel rambut memiliki permeabilitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan stratum corneum sehingga absorpsi lebih cepat terjadi melewati pori folikel dari pada melewati stratum corneum. Mekanisme ini adalah mekanisme satu-satunya yang mungkin bagi senyawa-senyawa dengan molekul besar dengan kecepatan difusi rendah atau kelarutan yang buruk yang tidak dapat menembus stratum corneum (Troy, 2006). 2.1.4 Mekanisme Pigmentasi Kulit Warna kulit normal ditentukan oleh jumlah dan sebaran melanin yang dihasilkan oleh melanosom pada melanosit, yang jumlahnya tertentu secara genetik. Warna kulit juga dipengaruhi oleh ketebalan kulit, vaskularisasi kulit, kemampuan refleksi permukaan kulit serta kemampuan absorbsi epidermis dan dermis, selain itu juga ada beberapa pigmen lain seperti karoten (oranye), oksihemoglobin (merah), hemoglobin (biru) dan melanin (coklat) yang mempengaruhi warna kulit (Tranggono & Latifah, 2007). Paparan sinar UV pada kulit dapat memacu sekresi melanin akibat proliferasi melanosit yang meningkat. Sekresi melanin yang abnormal juga menimbulkan hiperpigmentasi dari kulit. Melanin merupakan pigmen yang dapat melindungi jaringan kulit dari penghamburan sinar UV. Melanin terbentuk melalui jalur yang disebut melanogenesis dimana enzim tirosinase berperan penting (Herrling, 2007). Tirosinase adalah enzim multicopper monooxygenase yang terdapat pada tanaman, jamur, serangga, dan mamalia termasuk manusia. Pada tanaman dan jamur, enzim ini dapat memberikan warna pada produk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
pertanian. Pada mamalia termasuk manusia, enzim tirosinase berperan pada proses melanogenesis atau hiperpigmentasi (Chang, 2009). Melanin terbentuk melalui rangkaian oksidasi dari asam amino tirosin dengan melibatkan enzim tirosinase. Tirosinase mengubah tirosin menjadi DOPA, kemudian menjadi dopakuinon. Dopakuinon diubah menjadi dopakrom melalui auto oksidasi sehingga menjadi dihidroksi indole (DHI) atau dihidroksi indole carboxy acid (DHICA) untuk membentuk eumelanin (pigmen berwarna coklat). Dengan adanya sistein atau glutation, dopakuinon diubah menjadi sisteinil dopa, reaksi ini membentuk feomelanin (pigmen berwarna kuning) (Chang, 2009). Banyaknya jumlah eumelanin dan feomelanin yang terbentuk dapat memberikan warna lain pada kulit sehingga kulit manusia tidak hanya berwarna hitam atau putih saja. Adapun biosintesis melanin dapat dilihat pada Gambar 2.2.
[Sumber: Donsing dan Viyoch, 2008]
Gambar 2.2 Biosintesis melanin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
2.2
Tanaman yang Memiliki Aktivitas Inhibitor Tirosinase Beberapa senyawa bioaktif yang telah diketahui berperan sebagai inhibitor
tirosinase dari bahan alam diantaranya: arbutin, ellagic acid, chloroforin, cojic acid, phytic acid, artokarpanon, oxyreveratrol, dan polifenol (Arung, 2006;. Supriyanti, 2009). Menurut Kim (2004) bahwa beberapa senyawa fenol dikenal berperan sebagai agen depigmentasi, karena struktur kimia senyawa fenol memiliki kemiripan dengan tirosin yang merupakan substrat dari reaksi tirosintirosinase. Adapun beberapa tanaman yang memiliki aktivitas inhibitor tirosinase dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Tanaman yang Memiliki Aktivitas Inhibitor Tirosinase No.
1.
2.
Nama Tanaman Nama Latin / Bagian yang digunakan Nangka / kulit Artocarpus batang heterophyllus Lam.
Tebu
Saccharum officinarum L.
Kandungan
Polifenol
Asam glikolat
Mekanisme Depigmentasi Penghambatan sintesis melanin terjadi karena senyawa polifenol memiliki struktur yang mirip substrat (L-DOPA) dan akan berkompetisi untuk berikatan dengan active site tirosinase, dengan nilai IC50 sebesar 142,37 ppm. mengangkat sel-sel kulit mati pada permukaan kulit, manifestasi klinis asam glikolat sangat tergantung pada konsentrasi. Pada konsentrasi rendah, asam glikolat mampu melepaskan ikatan antar keratinosit sehingga deskuamasi keratinosit yang berpigmen menjadi lebih cepat, sedang dalam konsentrasi tinggi menyebabkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
3.
Akar manis Glycyrrhiza (licorice) glabra
4.
Paper mulberry Broussonetia / akar papyrifera
efek epidermolisis sehingga deskuamasi keratinosit yang berpigmen menjadi lebih cepat, sedang dalam konsentrasi tinggi menyebabkan efek epidermolisis sehingga dapat digunakan dalam pengelupasan kimiawi guna menghilangkan lapisan epidermis sampai lapisan dermis bagian atas. Glabiridin Menghambat proses melanogenesis (pembentukan pigmen k.ulit) dan juga mencegah terjadinya proses inflamasi di kulit. Beberapa riset menunjukkan bahwa penggunaan glabiridin 0,5% secara topikal dapat menghambat sinar UV-B yang dapat memicu terbentuknya pigmentasi dan kemerahan pada kulit Oksiresvera menghambat aktivitas trol, enzim tirosinase, antioksidan membantu mengatur antosianin, pembentukan melanin asam galat, di kulit, dan flavonoid membantu dan tanin mencerahkan kulit. Melindungi kulit dari efek radikal bebas. Komponen ini dapat membantu mencegah kerusakan sel kulit, membantu memudarkan nodanoda hitam di wajah.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
5.
Teh hijau
Theae sinensis
Polifenol
6.
Jamur tiram
Pleurotus ostreatus
Polifenol
7.
Nyirih buah
/
kulit Xylocarpus granatum
Fenolat total
Menghambat pelepasan melanosom dari melanosit ke keratinosit, dan mengurangi aktivitas tirosinase. Menghambat sintesis melanin, menangkal radikal bebas dengan cara transfer elektron tunggal. Pada uji inhibitor tirosinase dilaporkan bahwa ekstrak metanol jamur tiram menunjukkan aktivitas penghambatan tirosinase lebih baik (11,36-59,56%) dibandingkan ekstrak aseton (11,37-52,05%) dan air hangat (9,6049,60%) pada konsentrasi 0,125-1,0 mg/mL. Asam galat yang terkandung pada jamur tiram diduga sebagai inhibitor tirosinase yang efektif. Senyawa fenolik dengan gugus fungsi hidroksil (-OH) dan asam karboksilat (COOH) yang secara struktural memiliki kemiripan dengan substrat tirosinase yaitu L-tirosin atau LDOPA. Senyawa tersebut memiliki satu atau lebih gugus fungsi asam yang mengindikasikan bahwa gugus fungsi tersebut memainkan peranan penting di dalam pengikatan sisi aktif enzim tirosinase.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
2.3
Tanaman Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk)
2.3.1 Deskripsi Tanaman Nangka Nangka termasuk ke dalam suku Moraceae, nama ilmiahnya adalah Artocarpus heterophyllus. Dalam bahasa Inggris, nangka dikenal dengan nama jackfruit. Tanaman nangka dapat tumbuh di daerah beriklim subtropis. Tanaman nangka berukuran sedang, ketinggiannya berkisar 8 – 25 meter dengan diameter 30 – 80 cm. Seluruh bagian tumbuhan mengeluarkan getah putih pekat apabila dilukai yang dikenal sebagai lateks. Kulit batang nangka mengandung 3,3 % tanin (Elevitch & Manner, 2006). Klasifikasi tanaman nangka adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Urticales
Famili
: Moraceae
Genus
: Artocarpus
Spesies
: Artocarpus heterophyllus Lamk
[Sumber : Elevitch & Manner, 2006]
Gambar 2.3 Bagian Batang Artocarpus heterophyllus Lamk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
2.3.2 Kandungan Kimia Batang nangka mengandung artokarpin, norartokarpin, kuwanon C, albanin A, kudraflavon B, kudraflavon C, artokarpesin, 6-prenilapigenin, brosimon I, dan 3-prenil luteolin, furanolflavon, artokarpfuranol, dihidromorin, steppogenin, norartokarpetin, artokarpanon, sikloartokarpin, sikloartokarpesin, artokarpetin, karpakromen, isoartokarpesin, dan sianomaklurin (Lim, 2012). Tanaman nangka mengandung senyawa potensial dalam menghambat tirosinase, yaitu polifenol. Dari penelitian diketahui bahwa senyawa yang menjadi penghambat tirosinase adalah senyawa golongan flavonoid pada beberapa tanaman Artocarpus (Supriyanti, 1996). Flavonoid, salah satu dari polifenol, memiliki peran besar dalam aktivitas tirosinase karena mengandung gugus fenol dan cincin pyren. Struktur dari flavonoid secara prinsip sesuai sebagai substrat dan mampu berkompetisi sehingga dapat menjadi penghambat tirosinase. Golongan flavonoid yang terdapat dalam kulit batang nangka yaitu artocarpetin (5,2′,4′ -trihydroxy-7-methoxyflavone), norartocarpetin (5,7,2’,4’tetrahydroxyflavone),
dihydromorin
(5,7,2′,4′ -tetrahydroxyflavanol),
dan
streppogenin (5,7,2’,4’-tetrahydroxyflavanone) (Chang, 2009).
[Sumber : Chang, 2009]
Gambar 2.4 Rumus Bangun Senyawa Aktif Kulit Batang Nangka
Ekstrak kulit batang nangka diekstraksi dengan metode maserasi untuk memperoleh senyawa flavonoid. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar (Ditjen POM, 2000). Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi adalah pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
kerugiannya yakni cara pengerjaannya lama, membutuhkan pelarut yang banyak dan penyarian kurang sempurna. Dalam maserasi (untuk ekstrak cairan), serbuk halus atau kasar dari tumbuhan obat yang kontak dengan pelarut disimpan dalam wadah tertutup untuk periode tertentu dengan pengadukan yang sering, sampai zat tertentu dapat terlarut. Metode ini paling cocok digunakan untuk senyawa yang termolabil (Tiwari, 2011). Senyawa flavonoid umumnya diekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol (Harborne, 1987). Ekstrak etanol kulit batang nangka berwarna cokelat kehitaman dengan bau harum kulit batang nangka. Ekstrak kulit batang nangka bersifat asam lemah karena kandungan polifenol dan flavonoid. pH ekstrak kulit batang nangka yaitu 6,23.
2.4
Analisis Kadar Total Senyawa Fenolat
Kadar fenolat total ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus) pada penelitian ini diukur dengan menggunakan prinsip Folin Ciocalteau yang didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi. Metode Folin Ciocalteau digunakan dalam menetapkan kadar polifenol dalam ekstrak etanol 96% kulit batang nangka karena metode ini bersifat spesifik terhadap senyawa fenolik (Singleton dan Rossi, 1965). Pereaksi Folin Ciocalteu merupakan larutan kompleks ion polimerik yang dibentuk dari asam fosfomolibdat dan asam hetero polifosfotungstat. Pereaksi ini terbuat dari air, natrium tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium sulfat, dan bromin (Folin, dkk., 1944).
Senyawa Fenolat
Ion Fenolat
H3(PMo13O40) + atau
H3PO4(MoO3)13 ++ + Pereaksi FolinCiocalteu
+
H2(PMo13O40)
Senyawa Fenol \
Kuinon
Kompleks molybdenum-blue
Gambar 2.5 Reaksi Folin Ciocalteu dengan Senyawa Fenol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
Reagen Folin-Ciocalteau digunakan karena senyawa golongan fenol dapat bereaksi dengan Folin membentuk larutan berwarna yang dapat diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer. Prinsip pengukuran kandungan fenolat dengan reagen Folin Ciocalteau adalah terbentuknya senyawa kompleks berwarna biru yang dapat diukur pada panjang gelombang maksimum. Pereaksi ini mengoksidasi fenolat atau gugus hidroksi fenolik mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) yang terdapat dalam pereaksi Folin Ciocalteau menjadi suatu kompleks molibdenum tungsten. Senyawa fenolik bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteau hanya dalam suasana basa agar terjadi disosiasi proton pada senyawa fenolik menjadi ion fenolat. Untuk menciptakan kondisi basa digunakan Na2CO3 15%. Warna biru yang terbentuk akan semakin tua, setara dengan konsentrasi ion fenolat yang terbentuk; artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) menjadi kompleks molibdenum-tungsten sehingga warna biru yang dihasilkan semakin tua (Apsari dan Susanti, 2011). Penentuan kadar fenolat total digunakan standar asam galat. Hal ini dikarenakan asam galat lebih stabil untuk membuat standar. Selain itu asam galat juga merupakan senyawa fenolat dan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat (Nurhayati, Kusoro Siadi dan Harjono, 2012). Asam galat merupakan turunan dari asam hidroksibenzoat yang tergolong asam fenol sederhana (Singleton dan Rossi, 1965). Asam galat merupakan senyawa polifenol yang terdapat di hampir semua tanaman, kandungan fenol asam organik ini bersifat murni dan stabil (Vermerris dan Nicholson, 2006).
2.5
Niosom Niosom merupakan suatu vesikel surfaktan non-ionik yang memiliki
struktur bilayer yang dibentuk melalui penyusunan monomer-monomer surfaktan yang terhidrasi. Bentuk vesikel niosom merupakan struktur bilayer multilamellar atau unilamellar yang tersusun dari surfaktan nonionik dan kolesterol yang berfungsi sebagai bahan penstabil (Kapoor, dkk., 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
Niosom merupakan analog liposom yang telah lebih dahulu dikenal sebagai suatu pembawa obat. Liposom merupakan partikel berbentuk vesikel yang dindingnya tersusun atas molekul lipid (konstituen utamanya adalah fosfolipid) lapis ganda yang membungkus kompartemen cairan didalamnya. Perbedaan antara keduanya adalah liposom tersusun oleh fosfolipid, sedangkan niosom dari surfaktan nonionik dan kolesterol (Blazek-Welsh, 2001). Penggunaan Surfaktan non-ionik memberikan beberapa keuntungan dibandingkan dengan liposom seperti, lebih stabil terhadap adanya reaksi oksidasi, harga yang lebih murah (Vyas; Khar, 2011). Liposom menunjukkan beberapa kekurangan, di antaranya adalah instabilitas kimia dan mahalnya harga fosfolipid, sehingga timbul pemikiran untuk mencari alternatif dari liposom yang memiliki sifat-sifat yang serupa namun lebih murah dan stabil. Niosom dapat mengatasi masalah tersebut. Niosom lebih banyak diteliti karena kelebihannya dibandingkan dengan liposom, yaitu stabilitas kimia yang lebih tinggi, tidak membutuhkan kondisi khusus untuk preparasi dan penyimpanan, tidak memiliki masalah kemurnian dan biaya pembuatan yang lebih rendah (Tripathi, dkk., 2012). Keuntungan dari penggunaan niosom dalam aplikasi kosmetik dan produk perawatan kulit adalah kemampuan untuk meningkatkan stabilitas obat yang terjerap, bioavailabilitas bahan yang sulit diserap dapat ditingkatkan, dan dapat meningkatkan penetrasi kulit (Patravale, 2009). Sistem niosom merupakan salah satu sistem vesikel yang dapat digunakan untuk mengendalikan pelepasan obat guna mempertahankan konsentrasi pada tempat target dalam waktu yang lama (Bhaskaran, 2009). Niosom dapat mengalami biodegradasi dan tidak toksik sehingga merupakan pembawa yang baik untuk perantara pada target terapetik dan menurunkan toksisitas sistemik (Trotta, 2005). Niosom terdiri dari dua komponen utama yang digunakan untuk preparasi niosom adalah kolesterol dan surfaktan nonionik. Kolesterol digunakan untuk memberikan kekakuan serta memberikan bentuk yang tepat, konformasi dalam preparasi niosom. Surfaktan memberikan peranan yang penting dalam pembuatan niosom. Beberapa surfaktan nonionik yang umumnya digunakan dalam preparasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
niosom adalah Span (span 60, 40, 20, 85, 80). Surfaktan nonionik memiliki bagian kepala yang bersifat hidrofilik dan bagian kepala yang bersifat hidrofobik (Chandu; Arunachalam; Jeganath; Yamini, 2012).
[Sumber: Chandu, 2012]
Gambar 2.6 Struktur Niosom
Menurut Mujoriya, Dhamande, dan Bodla (2011) terdapat beberapa keuntungan niosom yang digunakan untuk menjerap obat, diantaranya : a.
Niosom dapat meningkatkan kepatuhan pasien dibandingkan dengan bentuk sediaan yang berminyak.
b.
Niosom memiliki struktur dengan gugus hidrofilik, ampifilik, serta lipofilik sehingga dapat digunakan untuk menjerap zat aktif dengan berbagai kelarutan.
c.
Karakteristik vesikel pada formulasi niosom variabel dan dapat terkontrol. Dapat dilakukan perubahan pada komposisi vesikel, ukuran, volume yang dijerap, muatan permukaan serta konsentrasi pada komposisi vesikel.
d.
Vesikel dapat berperan sebagai depot yang akan melepaskan obat secara terkendali.
e.
Niosom aktif secara osmotik dan stabil, serta dapat meningkatkan stabilitas zat yang terjerap.
f.
Penanganan dan penyimpanan surfaktan tidak memerlukan persyaratan khusus.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
g.
Niosom dapat meningkatkan bioavaibilitas obat oral yag sulit diabsorpsi serta dapat meningkatkan penetrasi obat melalui kulit.
h.
Niosom dapat dibuat untuk berbagai rute, seperti oral, parenteral dan topikal.
Menurut Chandu, dkk., tahun 2012 terdapat beberapa hal yang menjadi kekurangan niosom sebagai pembawa obat, diantaranya : a.
Ketidakstabilan fisik
b.
Agregasi
c.
Fusi atau penggabungan
d.
Kebocoran dari vesikel yang menyebabkan obat yang terjerap keluar
e.
Hidrolisis
dari
obat
yang
terenkapsulasi
dapat
menyebabakan
berkurangnya masa simpan. 2.5.1 Klasifikasi Niosom Niosom dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, diantaranya: jumlah
bilayernya,
misalnya
Multilamellar
Vesicle
(MLV)
dan
Small
Unilamelllar Vesicle (SUV), ukuran, misalnya Large Unilamellar Vesicle (LUV) dan Small Unilamelllar Vesicle (SUV), dan metode pembuatan, misalnya Reverse Phase
Evaporation
(REV)
dan
dehydration–rehydration
method
(DRV)
(Makeshwar, Wasankar, 2013). Beberapa jenis niosom di antaranya: a.
Multilamellar Vesicle (MLV) MLV terdiri dari sejumlah lapisan, dengan ukuran diameter vesikel 0,5-10 µm. Vesikel multilamellar merupakan niosom yang paling sering digunakan, karena sederhana dalam pembuatan serta cukup stabil untuk penyimpanan dalam waktu yang lama. Vesikel ini cocok digunakan sebagai pembawa untuk obat yang bersifat lipofilik.
b.
Large Unilamellar Vesicle (LUV) LUV merupakan jenis niosom yang memiliki perbandingan kompartemen air/lipid yang tinggi, sehingga bahan yang terjerap akan lebih besar serta ekonomis.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
c.
Small Unilamellar Vesicle (SUV) SUV merupakan jenis niosom yang sebagian besar dibuat dari vesikel multilamellar dengan menggunakan metode sonikasi.
2.5.2 Metode Pembuatan Niosom Adapun beberapa metode pembuatan niosom adalah sebagai berikut: a.
Teknik Penjerapan Pasif Teknik ini merupakan teknik yang paling sering digunakan dalam
pembuatan niosom di mana obat tergabung selama preparasi niosom yaitu selama pembentukan niosom (Udupa, 2004). b.
Hidrasi Lapis Tipis Semua komponen pembentuk vesikel yaitu surfaktan, kolesterol dilarutkan
dalam pelarut organik yang mudah menguap dalam labu alas bulat. Pelarut organik diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu kamar yang membentuk lapisan tipis dari komponen terlarut. Lapisan tipis yang terbentuk dihidrasi dengan fase air dengan agitasi lembut sehingga terbentuk niosom. Obat dapat ditambahkan ke dalam fase air jika bersifat hidrofilik dan dapat dilarutkan dalam pelarut organik dengan senyawa lain jika bersifat hidrofobik (Baillie, Coombs, Dolan, 1986,. Palozza, 2006). c.
Injeksi Eter Surfaktan dan komponen lain dilarutkan dalam eter (dietil eter) dan
kemudian secara perlahan-lahan diinjeksikan ke dalam larutan berair yang dipertahankan pada suhu 60°C melalui jarum. Penambahan tersebut akan menyebabkan penguapan eter dan pembentukan vesikel lapis tunggal. Metode ini memiliki kelebihan dalam mengontrol ukuran, yang dapat diperoleh dengan mengontrol ukuran jarum dan kondisi lainnya. Kelemahannya adalah kelarutan bahan dalam eter yang terbatas dan sulit dalam menghilangkan eter dari formulasi akhir (Yasin, 2012,. Guinedi, 2005). d.
Penguapan Fase Balik Bahan dilarutkan dalam campuran pelarut organik yang mudah menguap
(eter dan kloroform) dan obat dilarutkan dalam fase air. Emulsi air dalam minyak terbentuk dari dua fase dalam bath sonicator. Prinsip dasar meliputi penguapan pelarut organik untuk membentuk niosom. Emulsi ini dikeringkan dalam rotary
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
evaporator pada suhu 40°C untuk membentuk gel semi solid dari vesikel besar. Sejumlah kecil buffer ditambahkan dan semi solid yang terbentuk disonikasi pada suhu 4-5°C untuk membentuk vesikel kecil unilamelar (Guinedi, dkk., 2005). e.
Ekstruksi Beberapa Membran Prinsip dasar melibatkan ekstruksi yang memaksa bagian dari campuran,
suspensi, atau emulsi dari komponen melalui membran polikarbonat berulang kali untuk memperoleh niosom dengan ukuran yang diinginkan. Fase organik dikeringkan dalam rotary evaporator dan dihidrasi dengan fase air, hasilnya diekstruksi melalui membran (Khandare, Madhavi, Tamhankar, 1994). f.
Mikrofluidisasi Kedua fase saling berinteraksi pada kecepatan yang sangat tinggi dalam
saluran mikro di dalam interaction chamber. Energi dan tumbukan kecepatan tinggi menyebabkan pembentukan niosom yang kecil dan seragam. Metode ini memiliki tingkat reprodusibilitas yang tinggi (Khandare, Madhavi, Tamhankar, 1994). g.
Sonikasi Campuran larutan obat dalam buffer, surfaktan, dan kolesterol disonikasi
dengan sonikator pemeriksaan titanium pada suhu 60°C selama 3 menit untuk menghasilkan niosom. Metode ini juga digunakan untuk memproduksi vesikel unilamelar kecil dari vesikel multilamelar besar yang dipreparasi dengan teknik lainnya (Yoshioka, Sternber, Moody, Florence, 1992). h.
Metode Gelembung Metode pembuatan niosom ini dengan satu tahap tanpa menggunakan
pelarut organik. Semua komponen didispersikan dalam buffer dan ditempatkan dalam labu alas bulat di atas penangas air dengan suhu yang dikontrol. Labu tersebut memiliki tiga leher yang dihubungkan pada refluks pendingin air, termometer, dan penyedia nitrogen. Dispersi dicampurkan dengan homogenizer selama 15 detik dan kemudian dibuat gelembung dengan nitrogen untuk membentuk niosom (Chauhan, Luorence, 1989). i.
Teknik Penjerapan Aktif Meliputi pemuatan obat setelah pembentukan niosom. Niosom dipreparasi
dan kemudian obat dimasukkan dengan mempertahankan gradien pH atau gradien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
ion untuk menfasilitasi pengambilan obat ke dalam niosom. Cara ini dapat memberikan keuntungan penjerapan 100%, perbandingan obat lipid yang tinggi, menghindari kebocoran, biaya yang efektif, dan cocok untuk obat-obat yang labil (Udupa, 2004). j.
Gradien pH Transmembran Fase organik dan komponen terlarut diuapkan untuk membentuk lapisan
dan dihidrasi dengan asam sitrat, vesikel multilamelar dibentuk dengan pembekuan yang dicairkan 3 kali dan disonikasi. Kedalam suspensi niosom ditambahkan fase air dan obat, divorteks dan pH dinaikkan hingga 7,0 sampai 7,2 dengan 1M disodium fosfat. Campuran tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 60°C selama 10 menit untuk memasukkan obat ke dalam niosom (Biju, 2006).
2.6
Komponen Pembentuk Niosom
2.6.1 Span 60 Span 60 (sorbitan monostearat) merupakan surfaktan nonionik yang berbentuk padatan pada suhu ruang karena rantai hidrokarbon jenuhnya yang relatif panjang dan titik leburnya 54°C. Span 60 memiliki rumus molekul dan berat molekul masing-masing adalah C24H46O6 dan 431. Surfaktan nonionik tersebut memiliki nilai HLB (Hydrophilic-Lipophilic Balance) rendah yaitu 4,7. Span 60 praktis tidak larut dalam air, dapat bercampur dengan alkohol, larut dalam parafin cair, mudah larut dalam eter, tidak larut dalam aseton dan propilenglikol. Penyimpanan span 60 harus di dalam wadah tertutup rapat, di tempat yang kering dan sejuk (Rowe, Sheskey, Owen, 2009).
[Sumber: Rowe, 2009]
Gambar 2.7 Struktur Molekul Span 60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
2.6.2 Kolesterol Kolesterol memiliki warna putih atau kekuningan, berupa kristal, jarum, serbuk, atau granul. Pada paparan jangka panjang terhadap cahaya dan udara, kolesterol dapat berubah menjadi warna kuning atau kecoklatan. Kolesterol memiliki rumus empiris C27H46O dan berat molekul sebesar 386,67. Titik didih dan titik leleh dari kolesterol masing-masing adalah 360°C dan 147-150°C. Kolesterol larut dalam aseton, larut 1 dalam 4,5 bagian kloroform, larut dalam minyak nabati, dan praktis tidak larut dalam air. Kolesterol dapat mengalami pengendapan oleh digitonin dan penyimpanannya harus di dalam wadah yang tertutup rapat dan terlindung dari cahaya (Rowe, Sheskey, Owen, 2009). Kolesterol merupakan steroid yang menyebabkan perubahan fluiditas dan permeabilitas dari bilayer niosom. Kolesterol merupakan metabolit steroid lilin yang dicampurkan dengan surfakta non-ionik untuk memberikan kekakuan dan keteraturan pada niosom. Kolesterol merupakan molekul ampifilik, dimana gugus OH nya akan mengarah pada fasa air, dan rantai alifatiknya akan mengarah pada rantai hidrokarbon dari surfaktan. Kekakuan yang terjadi pada niosom disebabkan karena adanya kerangka steroid yang kaku yang berinteraksi dengan molekul surfaktan sehingga membatasi pergerakan karbon dari rantai hidrokarbon surfaktan. Kolesterol juga dapat mencegah terjadinya kebocoran pada molekul surfaktan yang telah menjerap zat aktif (Sankhyan, Pawar, 2012).
[Sumber: Rowe, 2009]
Gambar 2.8 Struktur Molekul Kolesterol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
2.6.3 Metanol Metanol adalah bentuk paling sederhana dari alkohol yang biasa digunakan sebagai pelarut di industri dan sebagai bahan tambahan dari etanol dalam proses denaturasi sehingga etanol menjadi toksik. Rumus kimia dari Metanol adalah CH3OH dan dikenal dengan nama lain yaitu metil alkohol, metal hidrat, metil karbinol, wood alkohol atau spiritus. Pada keadaan atmosfer metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar dan beracun dengan bau yang khas (Martindale, 1996). 2.6.4 Kloroform Kloroform juga dikenal sebagai triklorometana, metana triklorida, trikloroform, metil triklorida, dan formil triklorida. Kloroform memiliki rumus molekul dan massa molekul relatif masing-masing adalah CHCl3 dan 119,4. Pada suhu ruang kloroform jernih, tidak berwarna, cairan mudah menguap dengan bau khas eterik (WHO, 2004). Kloroform sedikit larut dalam air, mudah larut dalam karbon disulfida, dan dapat bercampur dengan alkohol, eter, benzen, karbon tetraklorida, dan minyak yang mudah menguap (HSBD, 2009). Kloroform stabil di bawah suhu dan tekanan normal dalam wadah tertutup (Akron, 2009). 2.6.5 Phosphate Buffer Saline (PBS) Phosphate buffer saline adalah larutan isotonis yang digunakan dalam penelitian biologis. Larutan ini mengandung natrium klorida, natrium fosfat, kalium klorida, dan kalium fosfat. PBS (phosphate buffer saline) banyak digunakan karena isotonis dengan cairan tubuh manusia dan tidak bersifat toksik (Medicagi AB, 2010). PBS memiliki pH yang berkisar 7,3 – 7,5 dan osmolaritasnya berkisar 280 – 315 Mosm/ kg (Maureen, 2002).
2.7
Karakterisasi Niosom
2.7.1 Analisis Ukuran Partikel Analisis ukuran partikel niosom dilakukan dengan menggunakan alat Particle Size Analyzer. Metode yang digunakan dalam pengukuran partikel melibatkan suatu proses yang dikenal dengan Dynamic Light Scattering (DLS). Dynamic Light Scattering (juga dikenal dengan PCS-Photon Correlation Spectroscopy) mengukur gerak Brown dan menghubungkannya dengan ukuran
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
partikel. Proses tersebut dikakukan dengan cara menyinari partikel dengan laser dan menganalisis intensitas fluktuasi cahaya yang tersebar. Jika partikel kecil disinari oleh sumber cahaya seperti laser, partikel tersebut akan menyebar ke segala arah. Partikel yang tersuspensi dalam cairan tidak pernah dalam keadaan diam. Partikel akan terus bergerak karena gerak Brown. Gerak Brown adalah gerakan partikel karena tumbukan acak dengan molekul cairan yang mengelilingi partikel. Sifat penting dari gerak Brown untuk DLS adalah bahwa partikel kecil bergerak lebih cepat dan partikel yang lebih besar bergerak lebih lambat. Suhu harus diketahui secara akurat karena diperlukan untuk mengetahui viskositasnya. Kestabilan suhu diperlukan jika arus konveksi dalam sampel akan menyebabkan pergerakan yang tidak acak yang akan merusak akurasi interpretasi ukuran. Suhu yang lebih tinggi akan menyebabkan gerak Brown semakin cepat. Kecepatan dari gerak Brown didefinisikan sebagai koefisien difusi translasi (D). Ukuran partikel yang diukur dengan instrumen Dynamic Light Scattering (DLS) adalah diameter partikel yang berdifusi pada kecepatan yang sama. Sistem tersebut menentukan ukuran dengan terlebih dahulu mengukur gerak Brown dari partikel-partikel dalam sampel menggunakan DLS dan kemudian menerjemahkan ukuran menggunakan teori-teori yang telah ditetapkan. Partikel-partikel dalam cairan bergerak secara acak dan kecepatan dari pergerakan tersebut digunakan untuk menentukan ukuran dari partikel (Malvern, 2012). 2.7.2 Efisiensi Penjerapan Obat yang tidak terjerap dapat dihilangkan atau dipisahkan dengan berbagai teknik, di antaranya : a.
Dialisis Dispersi cairan niosom didialisis dalam tabung dialisis dengan menggunakan buffer fosfat atau normal saline atau larutan glukosa.
b.
Gel filtration Obat yang tidak terjerap dihilangkan dari niosom menggunakan filtrasi gel melalui kolom sephadex-G-50 dan di elusi dengan buffer garam fosfat atau normal salin.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
c.
Sentrifugasi Suspensi niosom disentrifugasi dan supernatannya dipisahkan. Pelet yang diperoleh dicuci kemudian disuspensikan kembali untuk mendapatkan niosom yang bebas dari obat yang tidak terjerap. Efisiensi penjerapan vesikel ditentukan dengan memisahkan obat bebas
dari vesikel perjerap obat dengan menggunakan teknik ultrasentifugasi. Suspensi niosom disentrifugasi selama 50 menit pada 50.000 rpm dan suhu 4°C dengan tujuan untuk memisahkan obat yang tidak terjerap. Jumlah obat bebas (FD) ditentukan pada supernatan. Supernatan hasil sentrifugasi ditetapkan kadarnya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Pham, Maalej, Charcosset, 2012).
Efisiensi penjerapan (%EE) dihitung dengan rumus : %EE =
-
x 100%
(2. 1)
Keterangan: TD
= total senyawa fenolat yang terdapat dalam formula
FD
= jumlah senyawa fenolat yang terdeteksi pada supernatan (tidak terjerap).
2.8
Spektrofotometer UV – Vis Spektrofotometer digunakan untuk mengukur serapan sinar ultraviolet dan
sinar tampak oleh suatu materi dalam bentuk larutannya. Jumlah cahaya yang diserap oleh suatu zat dalam larutan berbanding lurus dengan konsentrasi zat dalam larutannya. Sinar tampak memiliki daerah panjang gelombang dari 400 nm hingga 750 nm. Sinar tampak tersusun dari beberapa warna, yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu. Umumnya senyawa yang dapat memberikan serapan ketika diukur dengan spektrofotometer adalah senyawa yang memiliki gugus kromofor. Kromofor adalah gugus fungsional yang mengabsorbsi radiasi ultraviolet dan tampak, jika mereka diikat oleh senyawa-senyawa bukan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
pengabsorbsi (auksokrom). Auksokrom adalah gugus fungsional yang memiliki elektron bebas, seperti OH, -O, -NH3, dan –OCH3. Lambert – Beer telah menurunkan secara empirik hubungan antara intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan tebalnya larutan dan hubungan antara intensitas sinar dengan konsentrasi zat. Hukum Lambert – Beer : A = log (Io/ It) = γ.b.c = a.b.c Keterangan:
(2. 2)
A = serapan Io = Intensitas sinar yang datang It = Intensitas sinar yang diteruskan γ = absorbtivitas molekuler (mol.cm. It-1) a = daya serap (g.cm. It-1) b = tebal larutan / kuvet (cm) c = konsentrasi (g. It-1.mg.ml-1)
Hukum Lambert – Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan. Dalam hukum Lambert – Beer terdapat beberapa pembatasan yaitu sinar yang digunakan dianggap monokromatis, penyerapan terjadi dalam suatu volume ruang memiliki penampang luas yang sama, senyawa yang menyerap dalam larutan tidak tergantung terhadap yang lain dalam larutan tersebut, tidak terjadi peristiwa fluoresensi atau fosforisensi, dan indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan. Dalam aplikasinya, terdapat beberapa persyaratan agar hukum LambertBeer dapat digunakan, yaitu: a.
Konsentrasi larutan yang diukur harus encer.
b.
Zat pengabsorbsi (zat yang dianalisis) tidak boleh terdisosiasi, berasosiasi, atau bereaksi dengan pelarut menghasilkan produk lain.
c.
Radiasi cahaya yang digunakan untuk pengukuran harus monokromatis (cahaya yang mempunyai satu macam panjang gelombang).
d.
Kekeruhan larutan yang disebabkan oleh partikel-partikel koloid misalnya menyebabkan penyimpangan hukum Lambert-Beer.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II, Laboratorium
Farmakognosi dan Fitokimia, dan Laboratorium Kimia Obat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Laboratorium Analisa Bahan Fakultas MIPA Jurusan Fisika Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan November 2014 sampai bulan Maret 2015.
3.2
Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer
UV-Vis (Hitachi, Jepang), vacuum rotary evaporator (Eyela N-1000, Jepang), ultrasentrifuge (Himac CP 100WX, Hitachi, Jepang), tube (Hitachi, Jepang), particle size analysis (Vasco, Perancis), vortex (VM-300, Taiwan), autoklaf digital (MC 30-L., Ltd, Jepang), mikropipet (Rainin, USA), timbangan analitik (KERN ACJ 220-4M, Balingen), pH meter (Horiba F-52, Jepang), glass beads, dan alat-alat gelas lain yang biasa digunakan.
3.3
Bahan Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka yang diperoleh dengan metode
maserasi (LIPI, Indonesia), span 60 (Croda, Singapura), kolesterol 95,9% (TCI, Jepang), kloroform p.a. (Merck, Jerman), metanol p.a. (Merck, Jerman), Na2CO3 p.a. (Sinopharm, China), Folin Ciocalteu (Merck, Jerman), Phosfate Buffer Saline pH 7,3 (Oxoid, Inggris), asam galat standar 98,5% (Sigma, USA), dan aquadest.
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
3.4
Prosedur Kerja
3.4.1
Karakterisasi Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka
3.4.1.1 Uji Parameter Spesifik Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka a.
Identitas Pendeskripsian tata nama, yaitu nama ekstrak, nama latin tumbuhan,
bagian tumbuhan yang digunakan, dan nama Indonesia tumbuhan (Depkes RI, 2000). b.
Organoleptik Penetapan organoleptik yaitu dengan pengenalan secara fisik dengan
menggunakan panca indera dalam mendiskripsikan bentuk, warna, bau (Depkes RI, 2000). 3.4.1.2 Uji Parameter Non Spesifik Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka a.
Kadar Abu Sebanyak 1,1 gram ekstrak ditimbang seksama (W1) dimasukkan dalam
krus yang sebelumnya telah dipijarkan dan ditimbang (W0). Setelah itu ekstrak dipijar dengan menggunakan tanur secara perlahan-lahan dengan suhu dinaikkan secara bertahap hingga 600±25°C hingga arang habis. Kemudian ditimbang hingga bobot tetap (W2). %
x 100%
(3. 1)
Keterangan : W0 = bobot cawan kosong (gram) W1 = bobot ekstrak awal (gram) W2 = bobot cawan + ekstrak setelah diabukan (gram) b.
Kadar Air Ekstrak ditimbang secara seksama sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke
dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105ºC selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol timbang dengan batang pengaduk. Kemudian dikeringkan dalam oven 105ºC selama 5 jam dan ditimbang. Pengeringan dilanjutkan kemudian ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25% (Depkes RI, 2000).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
%
x 100%
(3. 2)
Keterangan : W0 = bobot ekstrak sebelum dikeringkan (gram) W1 = bobot ekstrak setelah dikeringkan (gram) 3.4.1.3 Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka a.
Alkaloid Sebanyak 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga
diperoleh residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCL 2N. Larutan yang didapat kemudian dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan dengan asam encer yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan pereaksi Dragendroff sebanyak 3 tetes dan tabung ketiga ditambahkan pereaksi Mayer sebanyak 3 tetes. Terbentuknya endapan jingga pada tabung kedua dan endapan kuning pada tabung ketiga menunjukkan adanya alkaloid (Farnsworth, 1966). b.
Flavonoid Sejumlah ekstrak ditambahkan dengan 100 mL air panas, dididihkan
selama 5 menit, kemudian disaring. Diambil filtratnya, pindahkan ke dalam tabung reaksi. Filtrat sebanyak 5 mL ditambahkan 0,05 g serbuk Mg dan 1 mL HCL pekat, dan amil alkohol, kemudian dikocok kuat-kuat. Terbentuknya warna merah, kuning, atau jingga menunjukkan sampel mengandung flavonoid (Harborne, 1987). c.
Saponin Beberapa mL ekstrak ditambahkan dengan 10 mL air sambil dikocok
selama 1 menit, lalu ditambahkan 2 tetes HCL 1 N. Bila busa yang terbentuk tetap stabil selama kurang lebih 7 menit, maka ekstrak positif mengandung saponin (Harborne, 1987). d.
Steroid Sejumlah 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga
diperoleh residu. Residu kemudian dilarutkan dalam kloroform dan disaring. Filtrat ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 2 tetes. Larutan dikocok perlahan dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
dibiarkan selama beberapa menit. Terbentuknya cincin coklat kemerahan menunjukkan bahwa ekstrak mengandung steroid (Harborne, 1987). e.
Tanin dan Polifenol Sejumlah 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga
diperoleh residu. Residu kemudian direaksikan dengan FeCl3 10%. Terbentuknya warna biru tua, biru kehitaman, atau hitam kehijauan menunjukkan adanya senyawa polifenol dan tanin ( Robinson, 1991., Jones and Kinghorn, 2006).
3.4.2 Analisis Kadar Total Senyawa Fenolat Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka 3.4.2.1 Pembuatan Larutan Induk Asam Galat dalam Aquadest Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 1000 ppm (mg/L) dapat dibuat dengan cara 10 mg asam galat standar dilarutkan dalam 1 mL metanol p.a, lalu ditambahkan aquadest di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas (Ratnayani, 2012). 3.4.2.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam Aquadest Larutan standar asam galat 40 ppm dibuat dengan cara mengambil 0,2 mL larutan induk asam galat 1000 ppm, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL, dan ditambahkan aquadest sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL larutan standar 40 ppm dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL aquadest. Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Campuran larutan tersebut kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 400 sampai 800 nm. Hasil yang diperoleh dibuat dalam bentuk kurva, sebagai sumbu y adalah absorbansi dan panjang gelombang cahaya sebagai sumbu x. Dari kurva tersebut dapat ditentukan panjang gelombang yang memberikan serapan maksimum (Alvian, Susanti, 2012,. Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014). 3.4.2.3 Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam Aquadest Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan 80 μg/ml dibuat dengan cara mengambil masing-masing sebanyak 0,2 mL; 0,3 mL; 0,4 mL; 0,5 mL; 0,6 mL; 0,7 mL dan 0,8 mL larutan induk asam galat 1000
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
ppm, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, dan ditambahkan aquadest sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL dari masing-masing seri konsentrasi larutan tersebut dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL aquadest. Campuran larutan tersebut kemudian diinkubasi selama 2 jam. Semua larutan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 755 nm, kemudian dibuat kurva kalibrasi hubungan antara konsentrasi asam galat (μg/ mL) dengan absorbansi (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014). 3.4.2.4 Penentuan Total Senyawa Fenolat dalam Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka Sebanyak 10 mg ekstrak etanol 96% kulit batang nangka dilarutkan dalam 1 mL metanol p.a, lalu ditambahkan aquadest di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL larutan ekstrak yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin Ciocalteu dan 2 mL larutan natrium karbonat 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL aquadest. Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Campuran larutan tersebut diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 755 nm, kadar senyawa fenolat total dapat dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linear dari kurva kalibrasi (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).
3.4.3 Preparasi Niosom Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka 3.4.3.1 Pembuatan Larutan PBS pH 7,3 Larutan fosfat buffer salin pH 7,3 dibuat dengan melarutkan 10 buah tablet phosphate buffered saline yang mengandung natrium klorida (8 g/L), kalium klorida (0,2 g/L), kalium dihidrogen fosfat (0,2 g/L) dan dinatrium hidrogen fosfat (1,15 g/L) dalam 1000 mL air bebas karbondioksida, kemudian diautoklaf pada suhu 115°C selama 10 menit menggunakan autoklaf digital (Oxoid, Inggris).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
3.4.3.2 Formulasi Niosom Niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka sebagai bahan aktif diformulasikan dengan menggunakan span 60 sebagai surfaktan nonionik, kolesterol sebagai bahan penstabil, dan PBS (phosphate buffered saline) pH 7,3 sebagai fase air. Adapun formula niosom dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Formula Niosom Bahan Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka Kolesterol Span 60 PBS pH 7,3
F1 100 mg
F2 100 mg
F3 100 mg
200 mg 200 mg 12,5 mL
200 mg 400 mg 12,5 mL
200 mg 600 mg 12,5 mL
3.4.3.3 Pembuatan Niosom dengan Metode Hidrasi Lapis Tipis Niosom dibuat dengan menggunakan metode hidrasi lapis tipis. Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka, span 60, dan kolesterol (Tabel 3.1) dilarutkan dalam pelarut organik. Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka dilarutkan dalam metanol p.a, kolesterol dan span 60 dilarutkan dalam kloroform p.a. Pelarut kemudian diuapkan dengan vacuum rotary evaporator pada suhu 60°C dengan kecepatan 180 rpm hingga terbentuk lapisan tipis pada dinding labu, kemudian disimpan selama 1x24 jam untuk menghilangkan sisa pelarut dan membentuk lapisan yang compact. Lapisan film yang terbentuk dihidrasi dengan fase air PBS (Phosphate Buffer Saline) pH 7,3 dengan bantuan mekanik glass beads pada suhu 60°C dengan kecepatan 20 rpm untuk membentuk suspensi niosom (Ruckmani dan Sankar, 2010).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
3.4.4
Karakterisasi Niosom
3.4.4.1 Analisis Ukuran Partikel Suspensi niosom yang telah terbentuk dapat dianalisis ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel serta indeks polidispersitasnya oleh Dynamic Light Scattering (DLS) dengan menggunakan alat Particle Size Analyzer (PSA) (Dahiya, dkk., 2011). Suspensi niosom diteteskan pada tempat sampel alat PSA dan dilakukan measuring hingga didapatkan hasil ukuran partikel, distribusi ukuran partikel, dan indeks polidispersitas dari masing-masing formula niosom. 3.4.1.2 Penentuan Persen Efisiensi Penjerapan Efisiensi penjerapan vesikel ditentukan dengan memisahkan obat bebas dari vesikel penjerap obat dengan menggunakan teknik ultrasentifugasi. Suspensi niosom disentrifugasi selama 50 menit pada 50.000 rpm dan suhu 4°C dengan tujuan untuk memisahkan obat yang tidak terjerap. Jumlah obat bebas (FD) ditentukan pada supernatan. Supernatan hasil sentrifugasi ditetapkan kadarnya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Pham, Maalej, Charcosset, 2012). Efisiensi penjerapan (%EE) dihitung dengan rumus : x 100%
(3. 3)
Keterangan:
a.
TD
= total senyawa fenolat yang terdapat dalam formula
FD
= jumlah senyawa fenolat yang terdeteksi pada supernatan
Pembuatan Larutan Induk Asam Galat dalam PBS (Phophate Buffer Saline) Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 1000 ppm (mg/L) dapat
dibuat dengan cara 10 mg asam galat standar dilarutkan dalam 1 mL metanol p.a, lalu ditambahkan PBS (phosphate buffer saline) di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas (Ratnayani, 2012).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
b.
Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam PBS (Phophate Buffer Saline) Larutan standar asam galat 40 ppm dibuat dengan cara mengambil 0,2 mL
larutan induk asam galat 1000 ppm, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL, dan ditambahkan PBS (phosphate buffer saline) sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL larutan standar 40 ppm dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL PBS (phosphate buffer saline). Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Campuran larutan tersebut kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 400 sampai 800 nm. Hasil yang diperoleh dibuat dalam bentuk kurva, sebagai sumbu y adalah absorbansi dan panjang gelombang cahaya sebagai sumbu x. Dari kurva tersebut dapat ditentukan panjang gelombang yang memberikan serapan maksimum (Alvian, Susanti, 2012,. Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014). c.
Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam PBS (Phophate Buffer Saline) Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan
80 μg/ml dibuat dengan cara mengambil masing-masing sebanyak 0,2 mL; 0,3 mL; 0,4 mL; 0,5 mL; 0,6 mL; 0,7 mL dan 0,8 mL larutan induk asam galat 1000 ppm, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, dan ditambahkan PBS (phosphate buffer saline) sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL dari masingmasing seri konsentrasi larutan tersebut dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL PBS (phosphate buffer saline). Larutan tersebut diinkubasi selama 2 jam. Semua larutan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 756 nm, kemudian dibuat kurva kalibrasi hubungan antara konsentrasi asam galat (μg/ml) dengan absorbansi (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Karakterisasi Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka yang telah diperoleh dilakukan
karakterisasi yang meliputi uji parameter spesifik, uji parameter non spesifik, dan uji penapisan fitokimia. Pengujian parameter spesifik meliputi identitas dan organoleptik ekstrak etanol 96% kulit batang nangka. Tujuan identitas ekstrak adalah memberikan objektivitas dari nama dan spesifikasi dari tanaman, sedangkan pengamatan organoleptik ekstrak bertujuan sebagai pengenalan awal menggunakan panca indera dengan mendeskripsikan bentuk, warna, dan bau (Depkes RI, 2000). Adapun data hasil identitas dan organoleptik ekstrak etanol 96% kulit batang nangka dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil Uji Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak Parameter Identitas: Nama ekstrak Nama latin Bagian tanaman Organoleptik: Warna Bau Bentuk Non spesifik: Kadar abu Kadar Air
Hasil Ekstrak etanol 96% kuli batang nangka Artocarpus heterophyllus Lam. Kulit batang Coklat kehitaman Khas kulit batang nangka Ekstrak kental 1,32% 13,17%
Pengujian parameter non spesifik yang dilakukan terhadap ekstrak etanol 96% kulit batang nangka meliputi kadar abu dan kadar air. Penentuan kadar abu dilakukan bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Pengujian kadar abu dilakukan dengan metode gravimetri. Prinsip kerja penentuan parameter kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga tinggal unsur mineral dan
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
anorganik. Hasil kadar abu ekstrak etanol 96% kulit batang nangka diperoleh sebesar 1,32%. Hal ini menunjukkan bahwa sisa anorganik yang terdapat dalam ekstrak etanol 96% sebesar 1,32%. Hasil kadar abu yang didapatkan tersebut sesuai dengan standar simplisia batang nangka di Materia Medika Indonesia yaitu < 3,5% (Depkes, RI., 2000: 17 dan Depkes, RI., 1986:66). Perhitungan kadar abu ekstrak etanol 96% kulit batang nangka dapat dilihat pada Lampiran 3. Selain itu, pada penentuan parameter non spesifik dilakukan juga pengujian kadar air pada ekstrak. Tujuan dari pemeriksaan kadar air adalah untuk memberikan batasan minimal atau rentang besarnya kandungan air dalam bahan (Depkes RI, 2000). Dari pengujian yang dilakukan diperoleh hasil kadar air ekstrak etanol 96% kulit batang nangka sebesar 13,17%. Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka ini merupakan ekstrak kental dan masuk ke dalam batas untuk ekstrak kental yaitu 5-30% (Voigt, 2004). Adapun perhitungan kadar air ekstrak etanol 96% kulit batang nangka dapat dilihat pada Lampiran 4. Selanjutnya dilakukan pengujian penapisan fitokimia terhadap ekstrak etanol 96% kulit batang nangka. Penapisan fitokimia bertujuan untuk mengetahui keberadaan golongan senyawa metabolit sekunder yang ada didalam ekstrak etanol 96% kulit batang nangka, serta dapat pula menjadi gambaran kandungan ekstrak secara kualitatif. Penapisan fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Artocarpus heterophyllus) yang berasal dari perkebunan LIPI Cibinong, Bogor, memberikan hasil positif untuk alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan polifenol. Berdasarkan hasil tersebut golongan senyawa aktif yang diinginkan yaitu polifenol dapat teridentifikasi. Adapun data hasil pengujian penapisan fitokimia ekstrak etanol 96% kulit batang nangka dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Hasil Penapisan Fitokimia Golongan senyawa Alkaloid Flavonoid Saponin Steroid Tanin Polifenol
Hasil penapisan + + + + +
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
Pada identifikasi alkaloid pereaksi yang digunakan adalah mayer, dragendorf, dan bouchardat. Pereaksi ini bereaksi dengan alkaloid membentuk senyawa kompleks yang mengendap (Fransworth, 1966). Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan setelah penambahan pereaksi. Pada hasil uji ekstrak etanol 96% kulit batang nangka menunjukkan hasil positif. Hasil positif pada identifikasi saponin diamati melalui banyak dan stabilnya busa yang terbentuk. Pada hasil uji ini ekstrak etanol 96% kulit batang nangka menunjukkan hasil yang positif. Identifikasi tanin dilakukan dengan reaksi warna FeCl3. Warna yang terbentuk dihasilkan dari reaksi antara inti fenolik yang terdapat pada tanin dengan ion Fe³⁺ dari pereaksi FeCl3 membentuk senyawa kompleks berwarna (Harborne, 1987). Hasil uji pada ekstrak etanol 96% kulit batang nangka menunjukkan hasil yang positif. Identifikasi steroid menunjukkan hasil yang positif ditandai dengan terbentuknya cincin coklat kemerahan. Hasil uji ekstrak etanol 96% kulit batang nangka menunjukkan hasil yang negatif. Identifikasi flavonoid dilakukan dengan cara mereaksikan Mg/HCl prinsipnya adalah reduksi menggunakan Mg. Pengamatan identifikasi flavonoid adalah melalui lapisan amil alkohol berwarna merah, kuning, atau jingga yang terbentuk. Hasil uji pada ekstrak etanol 96% kulit batang nangka menunjukkan hasil yang positif mengandung senyawa golongan flavonoid, dimana dari penelitian diketahui bahwa senyawa yang menjadi penghambat enzim tirosinase adalah senyawa golonga flavonoid pada beberapa tanaman Artocarpus (Supriyanti, 1996).
4.2
Analisis Kadar Total Senyawa Fenolat Ekstrak Etanol 96% Kulit Batang Nangka Langkah pertama yang dilakukan dalam analisis kadar total senyawa
fenolat dalam ekstrak etanol 96% kulit batang nangka adalah menentukan panjang gelombang maksimum asam galat dalam aquadest. Penetapan panjang gelombang maksimum bertujuan untuk mengetahui panjang gelombang dimana saat senyawa memberikan absorbansi yang maksimum sehingga dapat memberikan absorbansi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
yang sensitif dan kuantitatif, dimana kenaikan kadar yang kecil dapat memberikan peningkatan absorbansi yang signifikan (Handayani, 2011). Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan menggunakan larutan standar asam galat dengan konsentrasi 40 µg/ml dengan larutan blanko aquadest. Hasil pengukuran menunjukkan puncak serapan pada panjang gelombang 755 nm. Menurut literatur, panjang gelombang yang digunakan untuk mengukur kadar polifenol dengan menggunakan metode Folin Ciocalteau adalah 760 nm (Ratnayani, 2012). Perbedaan hasil panjang gelombang yang didapatkan dengan literatur dapat dipengaruhi oleh proses preparasi dan kondisi lingkungan. Hasil tersebut tidak berbeda secara signifikan sehingga panjang gelombang tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk penentuan kadar total senyawa fenolat yang terkandung dalam ekstrak etanol 96% kulit batang nangka. Adapun hasil pengukuran panjang gelombang maksimum asam galat dalam aquadest dapat dilihat pada Lampiran 5. Selanjutnya, dilakukan penetapan kurva kalibrasi yang bertujuan untuk mendapatkan persamaan regresi yang akan digunakan untuk menghitung kadar polifenol dalam sampel ekstrak etanol 96% kulit batang nangka (Handayani, 2011). Pada pembuatan kurva kalibrasi akan didapatkan persamaan garis kurva asam galat dan nilai r. Nilai r atau koefisien korelasi adalah suatu nilai yang berkisar dari 0 hingga 1 yang menyatakan seberapa dekat atau sesuai antara nilai perkiraan pada garis persamaan kurva dengan data aktual yang didapat. Jika r mendekati nilai 1, maka dapat dikatakan perbedaan antara nilai-y perkiraan dan nilai-y aktual hampir sama. Sedangkan bila r mendekati 0, dapat dikatakan persamaan garis yang didapat tidak dapat membantu prediksi nilai-y (Kusumaningati, 2009). Penentuan kadar fenolat total dalam ekstrak etanol 96% kulit batang nangka menggunakan larutan standar asam galat dalam aquadest dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan 80 µg/ mL. Masing-masing seri konsentrasi larutan divorteks terlebih dahulu sebelum diinkubasi agar larutan bercampur homogen. Hasil dari pengukuran absorbansi sejumlah larutan standar asam galat pada panjang gelombang 755 nm diperoleh persamaan regresi y = 0,010x + 0,006 dengan r = 0,9999. Nilai ini menunjukkan bahwa absorbansi dengan konsentrasi memberikan hubungan yang linier, sehingga dapat digunakan untuk perhitungan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
kadar total senyawa fenolat yang terkandung dalam ekstrak etanol 96% kulit batang nangka. Adapun kurva kalibrasi asam galat dalam aquadest dapat dilihat pada Gambar 4.2.
0,9 0,8
Absorbansi
0,7 0,6 0,5
y = 0,010x + 0,006 R = 0,9999
0,4
Absorbansi
0,3
Linear (Absorbansi)
0,2 0,1 0 0
20
40
60
80
100
Konsentrasi (µg/ml) Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam Aquadest
Kadar total senyawa fenolat yang diperoleh dari masing-masing absorbansi adalah 61,6 ppm, 60,9 ppm, dan 61,5 ppm. Dari data tersebut didapatkan rata-rata kadar total senyawa fenolat yaitu 61,33 ppm. Sehingga dapat dihitung rata-rata kadar total senyawa fenolat yang terkandung dalam ekstrak etanol 96% kulit batang nangka yaitu sebanyak 6,13%. Perhitungan kadar total senyawa fenolat ekstrak etanol 96% kulit batang nangka dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 4.3 Data Kadar Total Senyawa Fenolat Sampel 1 2 3 Rata-rata
Kadar total (µg/ml) 61,6 60,9 61,5 61,33±0,38
Kadar total (%) 6,16 6,09 6,15 6,13±0,04
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
Bahan aktif yang digunakan dalam pembuatan niosom pada penelitian ini adalah ekstrak etanol 96% kulit batang nangka yang berperan sebagai agen depigmentasi. Uji polifenol dilakukan untuk menghitung kadar senyawa polifenol dalam ekstrak etanol 96% kulit batang nangka. Pengujian kandungan senyawa fenolat total merupakan dasar aktivitas antihiperpigmentasi, karena diketahui bahwa senyawa fenolat berperan dalam mencegah terjadinya proses pigmentasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ninin K. J. tahun 2011, dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol 96% kulit batang nangka merupakan inhibitor kompetitif dari tirosinase dan mekanisme penghambatan terjadi karena senyawa aktif dari ekstrak kulit batang nangka memiliki struktur yang mirip dengan LDOPA sebagai substrat dan akan berkompetisi untuk berikatan dengan active site tirosinase. Ekstrak etanol 96% kulit batang nangka memiliki sifat sebagai inhibitor tirosinase dengan nilai IC50 sebesar 142,37 ppm. Sediaan krim yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka 1,5% dan 2% memiliki aktivitas penghambatan tirosinase berturut-turut sebesar 10,64% (28,29 ppm) dan 11,34% (30,31 ppm). Besarnya nilai persen penghambatan bergantung pada konsentrasi ekstrak yang digunakan. Dari nilai IC50, ekstrak etanol 96% kulit batang nangka memiliki aktivitas penghambatan tirosinase yang cukup tinggi, artinya IC50 didapatkan pada konsentrasi ekstrak 100 ppm (Moon, Yim, Song, Lee, dan Hyun, 2010).
4.3
Preparasi Niosom Niosom yang dihasilkan berbentuk suspensi berwarna coklat muda agak
kental dengan bau khas ekstrak kulit batang nangka. Pada suspensi niosom F1 warna yang terbentuk lebih gelap dari F2, dan pada suspensi niosom F2 warna yang terbentuk lebih gelap dari pada F3. Suspensi niosom F2 yang terbentuk memiliki konsistensi yang lebih kental dari F1, dan suspensi niosom F3 yang terbentuk memiliki konsistensi yang lebih kental dari F2. Hal ini disebabkan karena perbedaan konsentrasi surfaktan yang ditambahkan ke dalam formula niosom. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan konsentrasi surfaktan dapat menghasilkan niosom dengan warna yang lebih terang dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
konsistensi yang lebih kental. Adapun hasil suspensi niosom yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Gambar 4.2 Hasil Pembuatan Formula Niosom Formula yang digunakan terdiri dari bahan aktif ekstrak etanol 96% kulit batang nangka, kolesterol sebagai bahan penstabil, span 60 sebagai surfaktan nonionik, metanol p.a dan kloroform p.a sebagai pelarut organik, dan PBS (phosphate buffer saline) pH 7,3 sebagai fase air. Pada pembuatan niosom ini digunakan kolesterol untuk mencegah kebocoran dari vesikel karena kolesterol mengepak barisan molekul lipid pada lapisan lipid ganda vesikel (Rahman, Ismail, dan Wahyudin, 2011). Kolesterol digunakan untuk memberikan kekakuan dan bentuk yang tepat pada saat preparasi niosom (Chandu, 2012). Pelarut yang digunakan untuk larutan surfaktan adalah kloroform p.a karena dapat melarutkan sorbitan monostearat dan kolesterol (Reynold, 1982), serta mudah menguap (Anonim, 1979) sehingga mempercepat penyalutan. Niosom dibentuk dari surfaktan nonionik dan kolesterol. Pada penelitian ini dipilih surfaktan nonionik dari jenis sorbitan ester, yaitu sorbitan monostearat (span 60) dengan berbagai konsentrasi. Surfaktan nonionik memiliki peran penting dalam pembentukan niosom, memiliki bagian kepala hidrofilik dan bagian ekor hidrofobik (Chandu, Arunachalam, Jeganath, Yamini, 2012). Kombinasi sorbitan monostearat dan kolesterol dipilih dalam formula karena mudah didapat dan dapat membentuk niosom pada beberapa penelitian yang telah dipublikasikan (Blazek, 2001; Hu, 2000; Manconi dkk., 2002). Kombinasi surfaktan yang sering digunakan sebagai bahan niosom yang terdapat di literatur terdiri dari sorbitan monostearat (span 60) dan kolesterol yang dapat menghasilkan niosom yang stabil
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
(Blazek-Rhodes, 2001). Niosom yang dibentuk dari kombinasi surfaktan span 60 dan kolesterol memiliki efisiensi penjerapan yang lebih baik dibandingkan jenis surfaktan lainnya (Pando, Gutierrez, Coca, dan Pazos, 2013). Metode yang digunakan dalam pembuatan niosom pada penelitian ini adalah hidrasi lapis tipis. Metode hidrasi lapis tipis adalah metode yang paling sering digunakan karena lebih mudah. Prinsip metode ini terdiri dari dua tahap yaitu dengan menguapkan pelarut organik sehingga terbentuk lapisan tipis disekitar labu yang kemudian dihidrasi dengan fase air berupa larutan dapar fosfat pH 7,3. Proses penguapan pelarut yang dilakukan terhadap masing-masing formula niosom menggunakan vacuum rotary evaporator suhu 60°C dengan kecepatan 180 rpm. Pembuatan vesikel secara spontan terjadi ketika lapis tipis dihidrasi dengan PBS (phosphate buffer saline) pH 7,3. Hidrasi ini dilakukan untuk mengembangkan vesikel dan mengoptimalkan penjerapan obat. Hidrasi dilakukan dengan menggunakan fase air yang dapat melarutkan obat. Proses hidrasi yang dilakukan terhadap masing-masing formula niosom menggunakan rotary evaporator suhu 60°C dengan kecepatan 20 rpm. Pengelupasan lapisan tipis lipid pada proses hidrasi dengan larutan PBS dibantu dengan menggunakan glass beads. Glass beads merupakan bola-bola kaca berukuran kecil yang tidak merusak labu alas bulat. Glass beads dapat membantu mengangkat kerak lapisan lipid yang menempel pada dinding labu secara mekanik. Setelah seluruh lapisan lipid terangkat pada dinding labu, kecepatan rotary evaporator dapat dinaikkan menjadi 180 rpm sehingga lapisan tipis dapat terdispersi sempurna dalam larutan dapar fosfat pH 7,3 dan membentuk suspensi niosom yang homogen. Vesikel yang mengembang terjadi karena masuknya cairan ke dalamnya, sehingga dengan adanya obat terlarut pada fase air, diharapkan obat akan ikut masuk ke dalam vesikel. Penjerapan senyawa polifenol ke dalam niosom berlangsung mulai saat pembentukan lapis tipis, di mana senyawa polifenol akan terdisposisi pada bagian polar atau non polar molekul surfaktan. Proses hidrasi juga dapat meningkatkan penjerapan senyawa polifenol pada niosom. Besarnya konsentrasi obat yang terjerap tergantung dari kemampuan obat untuk terdisposisi pada bagian polar dan nonpolar molekul lipid yang membentuk vesikel dan kemampuannya berdifusi ke vesikel saat berlangsungnya hidrasi (Rahman, Ismail, dan Wahyudin, 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
4.4
Analisis Ukuran Partikel Analisis ukuran partikel dilakukan terhadap formula niosom yang telah
dihasilkan dengan menggunakan alat particle size analyzer. Data ukuran partikel dan indeks polidispersitas masing-masing formula niosom dapat dilihat pada Tabel 4.4. Data tersebut menunjukkan bahwa dengan peningkatan konsentrasi surfaktan span 60 yang ditambahkan kedalam formula niosom akan meningkatkan ukuran partikelnya.
Tabel 4.4 Data Ukuran Partikel Formula
Ukuran partikel (nm)
F1 F2 F3
155,62 172,29 216,30
PDI (Polydispersity Index) 0,1380 0,2850 0,0940
Ukuran Partikel (nm)
80 70 60 50 40
F1
30
F2
20
F3
10 0 F1
F2
F3
Formula Niosom Gambar 4.3 Diagram Perbandingan ukuran partikel F1, F2, dan F3
Hasil penentuan pengaruh variasi konsentrasi surfaktan terhadap ukuran partikel dalam formula niosom yang diperoleh sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Randa, Adel, Shahira, dan Ahmed tahun 2014, peningkatan konsentrasi surfaktan yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
digunakan dalam formulasi niosom dapat meningkatkan ukuran partikel. Hal ini disebabkan karena semakin banyak surfaktan yang bergabung membentuk vesikel multilamelar sehingga ukuran partikel niosom bertambah besar. Peningkatan konsentrasi surfaktan dapat menyebabkan permukaan partikel menjadi lebih kasar dan membuat dinding vesikel lebih tebal. Konsentrasi surfaktan yang lebih tinggi cenderung membuat vesikel lebih tahan terhadap gangguan lingkungan disekitarnya (Wathoni, Sriwidodo, dan Insani, 2013). Setiap kumpulan partikel biasanya disebut polidispersi. Semakin tinggi nilai polidispersitas menunjukkan distribusi ukuran partikel yang tidak seragam, hal ini disebabkan karena nanopartikel tersebut saling beragregasi membentuk kumpulan-kumpulan (saling berkelompok) sehingga terdispersi tidak seragam (polidispers), dan menyebabkan kestabilan dari nanopartikel berkurang. Nanopartikel dapat digolongkan ke dalam kelompok yang bersifat monodispers jika diperoleh nilai indeks polidispersitas < 0,7. Indeks polidispersitas adalah parameter untuk menentukan homogenitas dari nanopartikel. (Nidhin, Indumathy, Sreeram, dan Nair, 2008). Hasil indeks polidispersitas dari masing-masing formula niosom tersebut menunjukkan bahwa niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka yang terbentuk bersifat monodispers dengan nilai polidispersitas yang cukup rendah. Indeks polidispersitas dari masing-masing formula niosom mengindikasikan partikel yang terbentuk terdispersi seragam sehingga memiliki kecenderungan stabil secara fisik, tidak terjadi agregasi pada partikel yang menyebabkan perbesaran ukuran partikel. Hasil ini penting dalam mengurangi kendala penyimpanan nanopartikel yang cenderung tidak stabil akibat beragregasi. Diharapkan dengan indeks polidispersitas yang rendah dan ukuran partikel yang stabil akan tetap mempertahankan ukuran partikel niosom (Sari, 2012). Adapun grafik distribusi ukuran masing-masing formula niosom dapat dilihat pada Lampiran 8.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
4.5
Penentuan Persen Efisiensi Penjerapan Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan menggunakan larutan
standar asam galat dengan konsentrasi 40 µg/ mL dengan larutan blanko PBS (phosphate buffer saline). Penggunaan larutan PBS (phosphate buffer saline) sebagai blanko disebabkan karena PBS (phosphate buffer saline) merupakan fase air yang digunakan pada saat proses hidrasi niosom. Hasil pengukuran menunjukkan puncak serapan pada panjang gelombang 756 nm. Menurut literatur, panjang gelombang yang digunakan untuk mengukur kadar polifenol dengan menggunakan metode Folin Ciocalteau adalah 760 nm (Ratnayani, 2012). Perbedaan hasil panjang gelombang yang didapatkan dengan literatur dapat dipengaruhi oleh proses preparasi dan kondisi lingkungan. Hasil tersebut tidak berbeda secara signifikan sehingga panjang gelombang tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk penentuan kadar total senyawa fenolat yang tidak terjerap dalam niosom. Adapun hasil pengukuran panjang gelombang maksimum asam galat dalam PBS (phosphate buffer saline) dapat dilihat pada Lampiran 12.
1 0,9
Absorbansi
0,8 0,7 y = 0,011x + 0,005 R = 0,9999
0,6 0,5 0,4
Absorbansi
0,3
Linear (Absorbansi )
0,2 0,1 0 0
20
40
60
80
100
Konsentrasi (µg/ml)
Gambar 4.4 Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam PBS
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
Selanjutnya, dilakukan penetapan kurva kalibrasi yang bertujuan untuk mendapatkan persamaan regresi yang akan digunakan untuk menghitung kadar senyawa fenolat yang tidak terjerap dalam niosom. Penentuan kadar senyawa fenolat yang tidak terjerap dalam niosom menggunakan larutan standar asam galat dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan 80 µg/ mL dengan blanko PBS (phosphate buffer saline). Masing-masing seri konsentrasi larutan di vortex terlebih dahulu sebelum diinkubasi agar larutan bercampur homogen. Hasil dari pengukuran absorbansi sejumlah larutan standar asam galat pada panjang gelombang 756 nm diperoleh persamaan regresi y = 0,011x + 0,005 dengan r = 0,9999. Nilai ini menunjukkan bahwa absorbansi dengan konsentrasi memberikan hubungan yang linier, sehingga dapat digunakan untuk perhitungan kadar obat yang tidak terjerap dalam niosom. Adapun kurva kalibrasi asam galat dalam PBS dapat dilihat pada Gambar 4.5. Metode yang digunakan untuk memisahkan antara obat bebas dan obat yang terjerap niosom adalah dengan menggunakan teknik ultrasentrifugasi. Prinsipnya adalah pemisahan obat yang tidak terjerap dari suspensi niosom. Vesikel niosom yang telah terbentuk disentrifugasi selama 50 menit pada 50.000 rpm dan suhu 4°C. Supernatan hasil sentrifugasi merupakan kadar senyawa fenolat yang tidak terjerap dan dapat diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer. Jika jumlah obat yang terdeteksi pada supernatan sama dengan jumlah obat yang ditambahkan ke dalam formula maka dapat diasumsikan bahwa tidak ada obat yang terjerap, tetapi jika berbeda diperkirakan telah terbentuk niosom yang dapat membawa obat (Blazek-Rhodes, 2001). Kadar senyawa fenolat yang tidak terjerap dalam niosom ditentukan dengan memasukkan absorbansi supernatan pada kurva kalibrasi. Pengukuran dilakukan secara duplo dan dihitung rata-rata kadar yang dihasilkan dari dua kali pengukuran masing-masing formula niosom. Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa jumlah senyawa fenolat yang terdeteksi pada supernatan berbeda dengan jumlah senyawa fenolat yang ditambahkan ke dalam formula, sehingga dapat disimpulkan bahwa proses hidrasi dapat menghasilkan niosom yang dapat menjerap senyawa aktif. Perhitungan kadar total senyawa fenolat yang tidak terjerap pada masing-masing formula niosom dapat dilihat pada Lampiran 14.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
Penentuan persen efisiensi penjerapan niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka dihitung dengan membandingkan total senyawa fenolat yang terjerap dalam niosom dengan total senyawa fenolat yang terdapat dalam formula. Masing-masing formula niosom mengandung 100 mg ekstrak etanol 96% kulit batang nangka, sehingga total senyawa fenolat yang ditambahkan ke dalam masing-masing formula adalah 6,13% x 100 mg = 6,13 mg. Perhitungan persen efisiensi penjerapan masing-masing formula niosom dapat dilihat pada Lampiran 15.
Tabel 4.5 Data Persen Efisiensi Penjerapan Formula F1 F2 F3
Jumlah senyawa fenolat yang terjerap (mg) 3,41 4,07 4,18
Persen efisiensi penjerapan 55,63 66,46 68,17
Berdasarkan data persen efisiensi penjerapan (Tabel 4.5) formula niosom yang dipreparasi dengan metode hidrasi lapis tipis menggunakan perbedaan rasio konsentrasi kolesterol:surfaktan 1:1, 1:2, dan 1:3 memiliki efisiensi penjerapan berturut-turut sebesar 55,63%, 66,46%, dan 68,17%. Data tersebut menunjukkan bahwa dengan peningkatan konsentrasi surfaktan span 60 yang ditambahkan kedalam formula niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka akan meningkatkan persen efisiensi penjerapannya. Hasil penentuan pengaruh variasi konsentrasi surfaktan terhadap persen efisiensi penjerapan dalam formula niosom yang diperoleh sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Randa, Adel, Shahira, dan Ahmed tahun 2014, peningkatan konsentrasi surfaktan yang digunakan dalam formulasi niosom dapat meningkatkan persen efisiensi penjerapan. Hal ini disebabkan karena dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan akan membuat membran niosom menjadi kurang permeabel yang selanjutnya dapat meningkatkan proses enkapsulasi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
80 70
% EP
60 50 40
F1
30
F2
20
F3
10 0 F1
F2
F3
Formula Niosom Gambar 4.5 Diagram Perbandingan % EP F1, F2, dan F3
Total senyawa fenolat yang ditambahkan ke dalam masing-masing formula niosom adalah 6,13 mg. Dari data persen efisiensi penjerapan yang telah diperoleh pada masing-masing formula dapat dihitung jumlah senyawa fenolat yang terjerap ke dalam vesikel niosom. F1 yang mengandung surfaktan span 60 dengan konsentrasi 200 mg mampu menjerap senyawa fenolat dari ekstrak etanol 96% yang ditambahkan sebesar 3,41 mg. F2 yang mengandung surfaktan span 60 dengan konsentrasi 400 mg mampu menjerap senyawa fenolat sebesar 4,07 mg. Sedangkan F3 yang mengandung surfaktan span 60 dengan konsentrasi 600 mg mampu menjerap senyawa fenolat sebesar 4,18 mg. Peningkatan jumlah senyawa fenolat yang terjerap antara F1 dan F2 yaitu sebesar 0,664 mg. Sedangkan peningkatan jumlah surfaktan span 60 pada F2 ke F3 menunjukkan jumlah penjerapan senyawa fenolat yang lebih kecil yaitu 0,105 mg. Hal ini menunjukkan bahwa dengan peningkatan konsentrasi surfaktan span 60 ke dalam formula dapat meningkatkan jumlah senyawa fenolat yang terjerap, namun setelah titik tertentu peningkatan konsentrasi surfaktan span 60 tidak mampu meningkatkan efisiensi penjerapan secara signifikan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Peningkatan konsentrasi surfaktan dapat menyebabkan peningkatan ukuran
partikel dan persen efisiensi penjerapan niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka, dengan hasil ukuran partikel F1, F2, dan F3 berturutturut sebesar 155,62 nm, 174, 29 nm, dan 216, 30 nm, dan efisiensi penjerapan F1, F2, dan F3 berturut-turut sebesar 55,63%, 66, 46%, dan 68, 17%.
5.2
Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, untuk mendapatkan formula
yang terbaik perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap uji penetrasi masingmasing formula niosom yang mengandung ekstrak etanol 96% kulit batang nangka.
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Riza. Susanti, Hari. 2012. Determination Of Total Phenolic Content Of Methanolic Extracts Red Rosell (Hibiscus sabdariffa Linn) Calyxs In Variation Of Growing Area By Spectrophotometry. Yogyakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Ahmad Dahlan. 02 (1), 73-80. Alves, Jonierison PONTIS., et al. 2014. “Food Science and Technology”. Color, Phenolic and Flavonoid Content, and Antioxidant Activity of Honey from Roraima. Brazil: Campinas., 34(1) : 69-73. ISSN 0101-2061. Anam, Syariful., et al. 2013. Standarisasi Ekstrak Etil Asetat Kayu Sanrego (Lunasia amara Blanco). Palu: Program Studi Farmasi & Jurusan Biologi, Universitas Tadulako. ISSN: 2338-0950, Vol.2(3): 1-8. Anonin, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Anwar, Effionora, Henry, dan Mahdi Jufri. 2004. Studi Kemampuan Niosom yang Menggunakan Maltodekstrin Pati Garut (Maranta Arundinaceae Linn.) Sebagai Pembawa Klorfeniramin Maleat. Depok: Departemen Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Makara, Sains, Vol. 8, No.2. Chandu, V. Pola., et al . 2012. “International Journal Of Novel Trends In Pharmaceutical Sciences”. Niosomes : A Novel Drug Delivery System. IJNTPS. 2, 25-31. Chang, T.S. 2009. An Updated Review of Tyrosinase Inhibitors. Department of Biological Science and Technology. Taiwan: National University Tainan. Dewi, I.D.A.D.Y. dkk. 2013. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol 95% Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.). Bali, Indonesia: Jurusan Farmasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Handayani, Puput. 2011. Optimasi Komposisi Cetyl Alcohol Sebagai Emulsifying Agent dan Gliserin Sebagai Humectant dalam Krim Sunscreen Ekstrak Kental Apel Merah (Pyrus malus L.): Aplikasi Desain Faktorial. Yogyakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma. Hanifah, Nisa Dian, 2013. Formulasi Krim Ekstrak Batang Nangka (Artocarpus Heterophyllus Lamk.). Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNISBA. Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Bandung: Penerbit ITB. Hindritiani, Reti, Diah Dhianawaty, Muchtan Sujatno, Endang Sutedja, dan Setiawan. 2013. Penurunan Aktivitas Tirosinase dan Jumlah Melanin oleh Fraksi Etil Asetat Buah Malaka (Phyllantus emblica) pada Mouse Melanoma B16 Cell-Line. Bandung: Universitas Padjadjaran45 (2): 118-24.
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
Jufri, Mahdi, Effionora Anwar, Joshita Djajadisastra. 2004. Pembuatan Niosom Berbasis Maltodekstrin DE 5-10 dari Pati Singkong (Manihot Utilissima). Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. ISSN: 1693-9883, Vol. I, No. 1. Juwita, Ninin Kartika, Joshita Djajadisastra, dan Azizahwati. 2011. Uji Penghambatan Tirosinase dan Stabilitas Fisik Sediaan Krim Pemutih yang Mengandung Ekstrak Kulit Batang Nangka (Artocarpus Heterophyllus). Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Kusumaningati, Ratna W. 2009. Analisis Kandungan Fenol Total Jahe (Zingiber officinale Roscoe). Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Li, Danhui, Zimei Wu, Nataly Martini, dan Jingyuan Wen. 2012. Advanced Carrier Systems in Cosmetics and Cosmeceuticals. New Zealand: School of Pharmacy, Faculty of Medical and Health Sciences, The University Of Auckland. J. Cosmet. Sci., 62, 549 – 563. Lohani, Alka, Anurug Verma, Himanshi Joshi, Nity Yadav, dan Neha Karki. 2014. Nanotechnology-Based Cosmeceuticals. India: School of Pharmaceutical Sciences, IFTM University, Institute of Management and Technology, Dehradun, Uttarakhand, Institute of Biotechnology, patwadangar. ISRN Dermatology, Vol 2014. Mahardika, Hastri. 2012. Uji Penghambatan Tirosinase Secara In Vitro Serta Stabilitas Fisik dan Stabilitas Kimia Sediaan Krim yang Mengandung Asam Azelat. Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Makeshawar, Kshitij B, Wasankar, Suraj R. 2013. Niosome: A Novel Drug Delivery System. Asian Parmapres 3(1), 16-20. Manosroi, Aranya. 2012. Anti-Aging Efficacy of Topical Formulations Containing Niosomes Entrapped with Rice Bran Bioactive Compounds. Natural Products Research and Development Center (NPRDC),.50(2): 208–224. Nawawi, Riani Hapsari. 2012. Uji Aktivitas, Stabilitas Fisik dan Keamanan Sediaan Gel pencerah Kulit yang Mengandung Ekstrak Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus). Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Pando, D., G. Gutierrez, J. Coca, C. Pazos, 2013. Preparation and Characterization of Niosomes Containing Resveratrol. Spain: Department of Chemical and Environmental Engineering, University of Oviedo. Pham, Thi Thuy. 2012. “Colloids and Surfaces B: Biointerfaces”. Liposome and Niosome Preparation Using A Membrane Contactor for Scale-Up. France. 94, 15 - 21. Purwanti, Tutiek, Tristiana Erawati, Noorma Rosita, Abdulloh Suyuti, dan Uci Chilmi Nasrudah. 2013. Pelepasan dan Penetrasi Natrium Diklofenak Sistem Niosom Span 60 dalam Basis Gel HPMC 400. Surabaya: Departemen Farmasetika, Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga. Putri, Wisda Seviana, F. M Titin Supriyanti, Zackiyah. 2012. Penentuan Aktivitas dan Jenis Inhibisi Ekstrak Metanol Kulit Batang Nangka Artocarpus heterophyllus Lamk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
Sebagai Inhibitor Tirosinase. Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia. ISSN 2087-7412, Vol 1, No 1. Rahimpour, Yahya, dan Hamed Hamishehkar. 2012. Recent Advances In Novel Drug Carrier System: Niosomes As Carrier In Dermal Drug Delivery. Iran: Tabriz University of Medical Sciences. Rahman, Latifah, Isriany Ismail, Elly Wahyudin. 2011. Kapasitas Jerap Niosom Terhadap Ketoprofen dan Prediksi Penggunaan Transdermal. Makassar: Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, dan Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri, Alauddin. MFI, 22 (2), 85-91. Rahmawati, Anita. 2009. Kandungan Fenol Total Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia). Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ratnayani, Ketut A.A.I.A. dkk. 2012. Jurnal Kimia. Kadar Total Senyawa Fenolat Pada Madu Randu dan Madu Kelengkeng Serta Uji Aktivitas Antiradikal Bebas Dengan Metode DPPH (Difenilpikril Hidrazil). Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Bukit, Jimbaran. 6(2) : 163-168. Robinson, T. (1991). Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 152 – 196. Ruckmani, Kandasamy & Sankar, Veintramuthu. 2010. Formulation and Optimization of Zidovudine Niosomes. American Association of Pharmaceutical Scientists. 03(03) : 1119-1127. Sari, Zhuisa Martiara. 2012. Pembuatan dan Karakterisasi Fisikokimia Nanopartikel Emas (Nanogold)-Dendrimer Poliamidoamin (Pamam) Generasi 4. Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Saini, Nitin, Pankaj Dang, Davinder Singh, 2014. Niosomes: A Novel Drug Delivery System. Department of Pharmaceutics, M.M. University, Mullana-Ambala. ISSN: 2321-7855. Stojanovic, Zoran. Markovic, Smilja. 2010. “Technics New Material”. Determination of Particle Size Distributions by Laser Diffraction. Belgrade. 21, 11 – 20. Tangri et al. 2011. Niosomes: Formulation and Evaluation. Uttarakhand: Faculty of Pharmacy-Mussoorie Diversion Road. Zahra, Soraya. 2012. Optimalisasi Formula Sunscreen Cream Berbahan Aktif Nanopropolis dengan Menggunakan Emollient Isopropyl Myristate dan Emulsifier Span 60. Depok: FT UI. Zaki, Randa M., Adel A. Ali, Shahira F. El Menshawe, Ahmed Abdel Bary. 2014. Formulation and In Vitro Evaluation of Diacerein Loaded Niosomes. Egypt: Faculty of Pharmacy, Beni Suef University, and Faculty of Pharmacy, Cairo University. Wathoni, Nasrul, Sriwidodo, dan Uray Camila Insani. 2013. Characterization and Optimization of Natural Maltodextrin-based Niosomes. Bandung: Department of Pharmaceutics, Faculty of Pharmacy, Universitas Padjadjaran. ISSN 2231-3354.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta