TUGAS AKHIR
Dosen Pembimbing : Mohammad Idris .P, DRS, MM
Disusun Oleh: Nama : Dyssa Irjayanti Putri NIM : 11.12.6065 Kelompok : I Prodi dan Jurusan : S1 SISTEM INFORMASI SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK “AMIKOM” YOGYAKARTA 2011-2012 1
BAB I Pendahuluan
I.
Latar Belakang Masalah
Puji dan syukur kita panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia dan penyertaan-Nya, makalah yang berjudul “Wawasan Nusantara” ini dapat terselesaikan meskipun masih terdapat kekurangan di dalamnya. Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi poliltik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung di balik legitimasi ideology Negara Pancasila. Dengan kata lain Pancasila tidak lagi dijadikan Pandangan hidup bangsa dan Negara Indonesia. Berdasarkan kenyataan tersebut
diatas
gerakan reformasi
berupaya
untuk
mengembalikan kedudukan dan fungsi Pancasila yaitu sebagai dasar Negara Republik Indonesia yang direalisasikan dalam TAP SI MPR No. XVIII/MPR/1998 disertai dengan pencabutan P-4 dan sekaligus juga pencabutan Pancasila sebagai satu-satunya azas bagi Organisasi Sosial Politik (ORSOSPOL) di Indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup dan falsafah bangsa Indonesia yang mana dahulu pernah akan digantikan keberadaannya dari hati sanubari rakyat Indonesia oleh paham ideology lain. Pancasila adalah pandangan hidup yang ber-Ketuhanan Maha Esa yang artinya bahwa manusia adalah makhluk ciptaan tujan yang wajib percaya dan menyembah-NYA. Pancasila menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, persatuan, kesatuan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Pancasila bersifat akomodatif dan menganut system pemerintahan demokrasi berdasarkan kebijaksanaan musyawarah dan mufakat. Pancasila 2
diamalkan melalui pembangunan nasional dalam empat bidang politik, ekonomi, social budaya dan pertahanan keamanan. Dengan mendalami nilai-nilai luhur Pancasila tentu kita sadar dan yakin akan keunggulan Pancasila. Hal-hal tersebut diatas merupakan modal utama untuk menangkal bahaya laten komunisme ataupun laten-laten yang lain. Cara pandang masyarakat mengenai Pancasila mulai masa Orde Baru sampai Orde Reformasi mengalami perkembangan persepsi yang berbeda. Masa Orde Baru dimana penerapan Pancasila dilaksanakan secara konsisten dan terarah walaupun masih banyak penyimpangannya. Dari dulu hingga sekarang kita kenal dengan “Wawasan Nusantara” yang artinya cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 kini lambat laun pudar dan hampir-hampir siswa sekolah kurang mengerti akan hal ini, itu merupakan salah satu contoh kemunduran dari
penerapan dari nilai-nilai Pancasila. Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila yang biasa kita kenal dengan P4 mungkin merupakan salah satu contoh upaya pemerintah dalam menanamkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila tapi pada masa reformasi nilai-nilai tersebut mulai pudar dan hilang dalam pandangan masyarakat Indonesia. Pada masa reformasi
penghayatan dan pengamalan
Pancasila rupanya mulai hilang dari benak warga Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa merupakan salah satu contoh kurangnya pemahaman terhadap nilai luhur Pancasila. Toleransi beragama pun juga mengalami pengapuran. Jadi bila dibandingkan dengan masa reformasi penerapan nilai-nilai luhur Pancasila lebih baik pada masa orde baru yang pelaksanaannya dilakukan dengan konsisten serta tanggungjawab. Tapi mengapa TAP MPR No. 2 tahun 1978 di cabut tanpa harus ada formula penggantinya? Banyak sekali permasalahan yang harus kita sikapi dengan cermat mengenai perlunya kita memahami Pancasila dan bagaimana menjalankannya secara murni dan konsekuen ?
3
II.
1.
Rumusan Masalah
Menganalisis Pancasila beserta Permasalahannya yang berkaitan dengan masalah
SARA dan HAM. 2.
Dapat memahami dan memperluas wawasan tentang permasalahan-permasalahan
yang sering terjadi dewasa ini di Indonesia 3.
Menyimpulkan dan mencari jalan keluar (solusi) dari berbagai macam masalah yang
berkaitan dengan penerapan dan pengamalan Pancasila.
III.
Pendekatan a. Historis
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang sejak zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datangnya bangsa lain yang menjajah serta menguasai bangsa Indonesia. Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia dalam perjalanan hidupnya berjuang untuk menemukan jati dirinya sebagai suatu bangsa yang merdeka, mandiri serta memiliki suatu prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup serta filsafat hidup bangsa. Setelah melalui suatu proses yang cukup panjang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia menemukan jati dirinya, yang di dalamnya tersimpul ciri khas, sifat dan karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain, oleh para pendiri negara kita dirumuskan dalam suatu rumusan yang sederhana namun mendalam, yang meliputi 5 prinsip (lima sila) yang kemudian diberi nama Pancasila. Dalam hidup berbangsa dan bernegara dewasa ini terutama dalam masa reformasi, bangsa Indonesia sebagai bangsa harus memiliki visi serta pandangan hidup yang kuat agar tidak terombang-ambing di tengah-tengah masyarakat internasional. Dengan kata lain perkataan bangsa Indonesia harus memiliki nasionalisme serta rasa kebangsaan yang kuat. Hal ini dapat terlaksana bukan melalui kekuasaan atau hegemoni ideologi melainkan suatu kesadaran berbangsa dan bernegara yang berakar pada sejarah bangsa. Terlaksana bukan melalui kekuasaan atau hegemoni ideologi melainkan suatu kesadaran berbangsa dan bernegara yang berakar pada sejarah bangsa. Jadi secara historis bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara objektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilai-nilai Pancasila tersebut tidak 4
lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, atau dengan kata lain bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila. Oleh karena itu berdasarkan fakta objektif secara historis kehidupan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai Pancasila. Atas dasar pengertian dan alas an historis inilah maka sangat penting bagi p980ara generasi penerus bangsa
terutama
kalangan
intelektual
kampus
untuk
mengkaji,
memahami
dan
mengembangkan berdasarkan pengembangan ilmiah, yang pada gilirannya akan memiliki suatu kesadaran serta wawasan kebangsaan yang kuat berdasarkan nilai-nilai yang dimilikinya sendiri. Konsekuensinya secara historis Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar filsafat negara serta ideology bangsa dan negara bukannya suatu ideology yang menguasai bangsa, namun justru nilai-nilai dari sila-sila Pancasila itu melekat dan berasal dari bangsa Indonesia itu sendiri.
b. Sosiologis Penanaman nilai-nilai Pancasila harus dilakukan secara dini, bukan hanya diterapkan pada kurikulum pembelajaran, namun juga pada perilaku kehidupan sehari-hari. "Saya setuju jika Pancasila diterapkan dalam kurikulum pembelajaran, cuma bukan jaminan namun anak-anak juga harus diterapkan bukti konkritnya, sehingga bukan omong kosong saja," kata Prof. Dr. Paulus Wirutomo, selaku Sosiolog UI, di acara 'Sarasehan Nasional I Refleksi Pidato Bung Karno, di Jakarta (6/6/2011) Dia menilai, langkah konkrit yang efektif dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila adalah melalui pengembangan perilaku anak-anak terhadap lingkungannya. "Secara umum kalau bisa di tiap sekolah mengembangkan budaya cinta kepada lingkungannya, tidak cukup hanya pembelajaran saja,”tutur Paulus. Selain itu, dia juga berharap peran serta seluruh lembaga negara dalam menerapkan nilai Pancasila bagi seluruh masyarakat juga dibutuhkan. "Yang berperan itu bukan hanya guru di sekolah-sekolah seluruh departemen juga punya peran," pungkasnya.Dia menilai, Pancasila semakin terpinggirkan dalam perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara, tak ayal, maraknya kasus korupsi dan pembangkangan terhadap nilai pancasila kerap terjadi.
5
c. Yuridis Bangsa Indonesia memiliki budaya yang beragam dan multikultur berdasarkan etnis dan Bahasa. Masyarakat Indonesia mengakui dan menghargai lintas budaya, betapa pun kecilnya. Perbedaan ini harus dipandang sebagai potensi kekuatan bangsa.Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keragaman ini diikat dalam norma dan aturan untuk menjaga harmoni kehidupan untuk mewujudkan kesadaran moral dan hukum. Arus informasi yang berdampak pada goyahnya jati diri bangsa, diperlukan komitmen kebangsaan untuk mewujudkan cinta tanah air, kesadaran bela negara, persatuan nasional dalam suasana saling menghargai keberagaman. Persatuan dalam keberagaman budaya, adat istiadat, tradisi harus dibina dan ditingkatkan secara demokratis, terpola dan terus-menerus.
BAB II PEMBAHASAN
Dengan adanya rumusan masalah yang telah disediakan, maka diuraikan jawaban dari rumusan masalah tersebut sebagai berikut.
a. Isu SARA Realitas budaya nusantara yang plural berdasarkan kemajemukan komunitas etnis yang hidup di atas pulau atau gugusan pulau yang dipisahkan oleh lautan menunjukkan berbagai macam perbedaan. Perbedaan peta geografis dan etnis-kultural inilah yang berpotensi sebagai sumber dari berbagai jenis konflik yang timbul secara alamiah atau yang dengan sengaja direkayasa menjadi konflik. Jenis konflik ditimbulkan, antara lain, oleh isu SARA dan oleh adanya ketegangan antara keinginan untuk mempertahankan diri sebagai komunitas lokal pada satu sisi, dan pada sisi lain lemahnya perekat keadilan yang seharusnya dapat merekat seluruh komunitas agar dapat mempersatukan diri sebagai sebuah bangsa dengan makna dalam ungkapan bhinneka tunggal ika sebagai jati diri.
6
Secara alamiah timbul konflik pada sebagian komunitas nusantara yang ingin mempertahankan identitas komunalnya dalam konteks etnis-kultural, termasuk SARA, menghadapi nasionalisme melalui arus transformasi politik yang ingin membangun sebuah masyarakat baru, yaitu masyarakat bangsa dari seluruh komunitas nusantara yang hidup di dalam bekas wilayah jajahan Hindia Belanda yang heterogenik. Berdasarkan keinginan alamiah inilah pula, maka ada elite yang ingin daerahnya merdeka sebagai negara atau merdeka di dalam status negara federal setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Di antara konflik yang paling meresahkan ialah konflik yang bersumber dari isu SARA dan isu yang ditimbulkan oleh kecenderungan kuat sebagian warga dan kelompok komunitas nusantara yang menolak persatuan Indonesia (NKRI) atau tak menginginkan terbangunnya masyarakat baru yang bernama bangsa Indonesia. Konflik di dalam membangun sebuah masyarakat bangsa yang utuh, aman, dan damai ditimbulkan oleh transformasi politik yang diwujudkan melalui pembangunan bangsa secara tak adil atau yang menyimpang dari tujuan nasional sebagai dari kepentingan bersama. Secara fenomenal dapat disimak bahwa sebagian kerusuhan dan pemberontakan di sejumlah daerah bermuatan bibit konflik yang berisu SARA atau berisu separatisme. Sebagian pemberontakan yang bernuansa separatisme disebabkan oleh kesenjangan dari proses pembangunan dan hasilnya antara pusat dan daerah. Keadilan yang manifestasi tidak dapat atau kurang dinikmati, baik di dalam partisipasi pembangunan, maupun di dalam penikmatan hasil pembangunan antara pusat dan daerah, telah melahirkan kesenjangan yang mengundang konflik dan ketegangan yang berkembang menjadi pemberontakan. Pemadaman pemberontakan terhadap gerakan separatis di sejumlah daerah, seperti RMS, PRRI/Permesta, Daud Beureu di Aceh, Kartosuwiryo di Jabar, Kahar Muzakkar di Sulsel, dan gerakan OPM, secara militer atau secara represif tidak menyelesaikan akar persoalan. Selama keadilan yang menjadi substansi utama yang dapat merekat segenap masyarakat plural di atas bumi nusantara gagal diwujudkan, selama itu potensi konflik akan tetap mengancam, termasuk ancaman politik yang bernuansa separatisme. Berbagai kerusuhan yang bernuansa SARA selama ini dan api pemberontakan di tahun 50-an dan sesudahnya beraroma separatisme sudah berhasil dipadamkan. Namun, bara apinya mungkin saja masih tersisa. Lanjutan tindakan pemulihan kehidupan masyarakat melalui pembangunan yang berkeadilan dan berkeseimbangan adalah jawaban jitu untuk benar-benar memadamkan seluruh sumber api kerusuhan dan pemberontakan dalam berbagai 7
bentuknya. Terwujudnya keadilan akan menyempitkan kesenjangan sebagai lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya potensi konflik, baik yang bernuansa SARA, maupun yang bermuatan isu separatisme. Isu-isu SARA yang saat ini sedang menjadi perbincangan di kalangan publik tentang maraknya paham-paham sesat yang sangat meresahkan bahkan sampai kasus penistaan agama yang dilakukan oleh salah satu ormas agama tertentu tehadap agama lain sangat mengganggu ketentraman kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Bila kita bertolak dari dasar Negara kita yaitu Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa Indonesia khususnya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa telah dijelaskan secara gamblang bahwa setiap warganegara Indonesia diwajibkan memeluk agama yang telah ada untuk diyakini. Dalam pengertian inilah maka Negara menegaskan dalam Pokok Pikiran ke – IV UUD 1945 bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa atas dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Pada proses reformasi dewasa ini di beberapa wilayah Negara Indonesia terjadi konflik sosial yang bersumber pada masalah SARA khususnya masalah agama. Hal ini menunjukkan kemunduran bangsa Indonesia kearah kehidupan beragama yang tidak berkemanusiaan dan betapa melemahnya toleransi kehidupan beragama yang berdasarkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Bila kita mengerti dan memahami apa yang telah dijabarkan dalam butir-butir Pancasila tentunya kasus-kasus konflik social yang menjurus pada SARA tentunya dapat kita hindari. b.
Hak Asasi Manusia (HAM) Masalah HAM menjadi salah satu pusat perhatian manusia sejagat, sejak
pertengahan abad kedua puluh. Hingga kini, ia tetap menjadi isu aktual dalam berbagai peristiwa sosial, politik dan ekonomi, di tingkat nasional maupun internasional. Menurut konsiderans UU Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 bahwa yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-NYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Disamping itu menurut UU No. 39 ttahun 1999 tersebut juga menentukan Hak Asasi Manusia adalah hakhak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak Asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain. 8
Hak Asasi tidak dapat dituntut pelaksanaannya secara mutlak karena penuntutan pelaksanaan hak asasi secara mutlak berarti melanggar hak asasi yang sama dari orang lain. Hak Asasi Manusia yang kemudian disingkat HAM adalah permasalahan yang selama dua atau tiga tahun terakhir menjadi bahan perbincangan masyarakat. Banyak contoh kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran HAM pada saat pelaksanaan jajak pendapat Referendum Timor Timur. Kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di daerah Serambi Mekkah Aceh yang banyak menelan korban jiwa dari pihak masyarakat sipil dan disinyalir banyak di lakukan oleh oknum-oknum tentara yang notabene adalah para aparat-aparat Negara sampai dengan kasus sengketa tanah yang melibatkan salah satu unsur alat pertahanan negara yaitu tentara dalam hal ini Marinir dengan warga Alas Tlogo Pasuruan. Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Banyak tokoh yang dinyatakan sebagai tersangka tapi pada kenyataannya para pelaku masih bebas berkeliaran sementara keluarga korban menanti kepastian hukum tentang apa yang dialaminya. Tapi perlu kita ketahui sebenarnya kesalahan maupun pelanggaran itu juga tidak sepenuhnya dilakukan oleh para oknum tentara. Masyarakat sipil mempunyai hak untuk hidup tentara pun demikian. UU No. 39 tahun 1999 juga menentukan Kewajiban Dasar Manusia yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Seperti yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28i ayat 5 (amandemen ke 2) yang berbunyi “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”. Pasal 28j ayat 1 dan 2 (amandemen ke 2) yang intinya setiap manusia wajib menghormati hak asasi manusia dan wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Jadi dalam masalah ini kita perlu secara cermat menanggapi kasus-kasus seperti ini karena permasalahan yang demikian sangatlah kompleks dan sangat rentan terhadap perpecahan atau ancaman diintegrasi bangsa.
9
Hak Asasi Manusia Dari membandingkan beberapa definisi tentang hak, ia dapat dimaknai sebagai sesuatu nilai yang diinginkan seseorang untuk melindungi dirinya, agar ia dapat memelihara dan
meningkatkan
kehidupannya
dan
mengembangkan
kepribadiannya. i
Hak
itu
mengimplisitkan kewajiban, karena pada umumnya seseorang berbicara tentang hak manakala ia mempunyai tuntutan yang harus dipenuhi pihak lain. Dalam pergaulan masyarakat, adalah mustahil membicarakan tanpa secara langsung mengaitkan hak itu dengan kewajiban orang atau pihak lain. Dari sejumlah hak-hak manusia itu ada yang dinilai asasi. Dalam kata asasi terkandung makna bahwa subjek yang memiliki hak semacam itu adalah manusia secara keseluruhan, tanpa membedakan status, suku, adat istiadat, agama, ras, atau warna kulit, bahkan tanpa mengenal kenisbian relevansi menurut waktu dan tempat. Dengan demikian, hak asasi manusia haruslah sedemikian penting, mendasar, diakui oleh semua peradaban, dan mutlak pemenuhannya. Kesadaran akan hak asasi dalam peradaban Barat timbul pada abad ke-17 dan ke 18 Masehi sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja kaum feodal terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan. Sebagaimana dapat diketahui dalam sejarah, masayarakat manusia pada zaman dahulu terdiri dari dua lapisan besar : lapisan atas, minoritas, yang mempunyai hak-hak; dan lapisan bawah, yang tidak mempunyai hak-hak tetapi hanya mempunyai kewajiban-kewajiban, sehingga mereka diperlakukan sewenangsewenang oleh lapisan atas. Kesadaran itu memicu upaya-upaya perumusan dan pendeklerasian HAM, menurut catatan sejarah HAM berkembang melalalui beberapa tahap. Hal ini terutama dapat dilihat dalam sejarah ketatanegaraan di Inggris dan Prancis. Yaitu ditandainya dengan keberhasilan rakyat Inggris memperoleh hak tertentu dari raja dan pemerintahan Inggris yang dituangkan dalam berbagai piagam seperti: Petition Of Rights tahun 1628, Habeas Corpus Act
tahun 1679 dan Bill Of Rights tahun 1689 serta
dikeluarkannya Declaration des D du Citoyen tahun 1789 di Prancis. ii Selain dua negara di atas, Bill Of Rights juga terjadi di negara bagian Virginia tahun 1776, deklarasi kemerdekaan 13 Negara Bagian Amerika Serikat tahun 1789. Setelah berakhirnya perang dunia I dan II dibentuk PBB dan dikeluarkan pernyataan HAM internasional : Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember
10
1948, dan disusul dengan Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966 dan Covenant on Economic, Social and Cultur Rights tahun 1966 dan Optional Protocol to he Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966. Kempat dokumen HAM internasional sering disebut sebagai The International Bill Of Human Rights. Dokumen-dokumen tersebut merupakan instrumen normatif HAM internasional yang harus dihormati dan dipatuhi oleh setiap negara anggota PBB. Bahkan dalam Covenant on Civil and Political Rights dimuat beberapa HAM yang penerapannya tidak dapat diperkecualikan meskipun dalam keadaan sabagai luar biasa. Apapun kedaaannya hak-hak yang dianggap sebagai intisari dari HAM harus tetap dihormati. Adanya pengakuan dan perlindungan kedudukan pribadi dalam instrumen HAM tersebut menunjukkan adanya kemajuan dalam nilai dan norma yang mendasari hubungan antar negara. HAM yang dulu lebih merupakan urusan dalam negri masing-masing negara telah bergeser menjadi nilai dan hubungan internasional, yaitu dibuktikan dengan adanya persetujuan semua negara, setidak-tidaknya negara-negara anggota PBB terhadap deklarasi, konvensi dan konvenan HAM internasional.Deklarasi PBB tersebut dapat diklasifakasikan dalam tiga katagori: 1.
Hak sipil dan hak ploitik, hak persamaan /kemerdekaan sejak lahir (pasal 1), hak
untuk hidup (pasal 3), hak untuk memperoleh keadilan didepan hukum (pasal 6-8), hak untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi (tidak sewenang-wenang) dalam penyelesain tertib sosial (pasal 5, dan 9-11), hak untuk bebas bergerak, mencari suaka ke negara lain, dan menetapkan suatu kewarganegaraan (pasal 13-15), hak untuk menikah dan membangun keluarga (pasal 16), hak untuk bebas berpikir, berkesadaran dan beragama (pasal 18-19), dan hak untuk berkumpul dan berserikat (pasal 20-21). 2.
Hak eknomi dan sosial (pasal 22- 28) antara lain; hak untuk bekerja dan memeperoleh
upah yang layak, hak untuk beristirahat dan berkreasi, hak untuk mendapat liburan periodik dengan (tetap) mendapat upah, hak untuk menikmati standar hidup yang cukup, termasuk perumahan dan pelayanan medis, hak untuk memperoleh jaminan sosial, hak untuk memperoleh pendidikan, dan hak untuk berperan serta dalam kegiatan kebudayaan. 3.
Dan hak kolektif mencakup hak semua bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri,
hak semua ras dan suku bangsa untuk bebas dari segala bentuk diskrimainasi, hak masyarakat untuk bebas dari neo-kolonialisme (pasal 28-30).
11
Hak-hak asasi manusia di atas, walaupun merupakan dekalarasi PBB dimana seluruh bangsa dari pelbagai penjuru dunia terlibat, namun harus diakui berasal dari buah pemikiran dan anak peradaban barat. Pengaturan HAM di Indonesia dapat dilihat dari berbagai peraturan perundangundangan, khususnya dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 serta peraturan perundangan lain diluar UUD 1945, misalnya HAM yang berhubungan dengan proses peradilan dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan sebagainya. Sedangkan konsepsi HAM bangsa Indonesia dapat dilihat dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan tercantum dalam Bidang Pembangunan Hukum yang menyatakan bahwa : "HAM sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa adalah hak-hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia dan Meliputi : hak untuk hidup layak, hak memeluk agama dan beribadat menurut agama masing-masing, hak untuk berkeluarga dan memperoleh keturunan melalui perkawinan yang sah, hak untuk mengembangkan diri termasuk memperoleh pendidikan, hak untuk berusaha, hak milik perseorangan, hak memperoleh kepastian hukum dan persamaan kedudukan dalam hukum, keadilan dan rasa aman, hak mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul." Dari latar historis beberapa perumusan dan dekalarasi HAM (yaitu: perlindungan terhadap kebebasn individu di depan kekuasan raja, kaum feodal atau negara yang domina atau tersentaralisasi), dan kesadaran ontologis
tentang struktur deklarasi PBB, serta
kesadaran historis tentang peradaban yang
melahirkannya, dapatlah diidentifikasi
karektaristik utama HAM. Perspektif Barat dalam melihat HAM dapat disebut bersifat antrhoposentris, dengan pengertian bahwa manusia dipandang sebagai ukuran bagi segala sesuatu karena ia adalah pusat atau ttitik tolak dari semua pemikiran dan perbuatan. Produk dari perspektif antrhoposentris ini tidak lain adalah individu yang otonom. Hak dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang diinginkan seseorang untuk melindungi dirinya, agar ia dapat ia memelihara dan meningkatkan kehidupannya dan mengembangkan kepribadiannya. Ketika diberi imbuhan asasi, maka ia sedemikian penting, mendasar, diakui oleh semua peradaban, dan mutlak pemenuhannya.
12
Setelah melalui proses yang panjang, kesadaran akan hak asasi manusia mengglobal sejak 10 Desember 1948 dengan ditetapkannya oleh PBB Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia. Deklarasi PBB ini, juga deklarasi-deklarasi sebelumnya, dirancang untuk melindungi kebebasan individu di depan kekuasaan raja, kaum feodal, atau negara yang cenderung dominan dan terdesentralisasi. Karena itu, deklarasi-deklarasi tersebut, yang nota bene anak peradaban Barat, melihat hak-hak asasi manusia dalam perspektif anthroposentris. Dalam hal pelaksanaan hak-hak asasi manusia dalam Pancasila yang perlu mendapat perhatian kita adalah bahwa disamping hak-hak asasi, wajib-wajib asasi harus kita penuhi terlebih dahulu dengan penuh rasa tanggungjawab. Hak-hak asasi manusia dilaksanakan dalam rangka hak-hak serta kewajiban warga Negara
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Kondisi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dewasa ini serta penyimpangan implementasi Pancasila pada masa Orde Lama dan Orde Baru yang menimbulkan gerakan reformasi di Indonesia sehingga terjadilah suatu perubahan yang cukup besar dalam berbagai bidang terutama bidang kenegaraan, hukum maupun politik. Maka dari itu sebagai warganegara yang baik sebaiknya kita tahu beberapa hal-hal sebagai berikut : a.
Dalam penegakan hak asasi manusia kita sebagai mahasiswa harus bersifat objektif dan benar-benar
berdasarkan kebenaran moral demi harkat dan
martabat manusia bukan karena kepentingan politik. b.
Perlu disadari bahwa dalam penegakan hak asasi manusia tersebut pelanggaran hak asasi manusia dapat dilakukan seseorang, kelompok orang termasuk aparat Negara, penguasa Negara baik disengaja ataupun tidak (UU No. 39 tahun 1999).
13
c.
Sistem ekonomi harus berdasarkan pada nilai dan upaya terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan kesejahteraan akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi.
d.
Kehidupan beragama dalam Negara Indonesia dewasa ini harus dikembangkan kearah terciptanya kehidupan bersama yang penuh toleransi, saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
B. Saran dan Kritik Untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan memadukannya dengan wawasan nusantara diperlukan usaha yang cukup keras. Salah satunya kita harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Selain itu, kita juga harus mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara Indonesia yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya.
BAB IV REFERENSI -
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. PARADIGMA. Yogyakarta
-
Darmodiharjo, Dardji. 1977. Orientasi Singkat Pancasila. Universitas Brawijaya. Malang.
-
Suruji, Andi dkk. 21 Desember 1998. Rubrik UTAMA dan Rubrik OPINI. Harian KOMPAS
-
Sri Sumantri M, Refleksi HAM di Indonesia, hal 1-4
-
Harian Pagi Fajar Makassar, 08 Apr 2006
-
http://jbahonar.files.wordpress.com/2008/05/pancasila-dan-permasalahannya.doc
14
15