MASALAH PERDAGANGAN MANUSIA YANG TERJADI DI INDONESIA
Nama
: Akbar Pradipta
Nomor
: 11.12.5954
Dosen
: Mohammad Idris .P,DRS,MM
JURUSAN SISTEM INFORMASI SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2011
L a t a r B e l a k a n g masalah Perdagangan manusia / trafficking in persons (khususnya perempuan dan anak) merupakan masalah yang hingga saat ini belum terpecahkan. Kecenderungan global menunjukkan bahwa masalah tersebut semakin mengkhawatirkan. Dalam catatan International Information Program, U.S. Department of State (2004) masalah perdagangan anak dan perempuan merupakan bentuk kejahatan terorganisire terbesar nomor tiga di dunia setelah kejahatan perdagangan obat bius dan perdagangan senjata. Salah satu alasan yang kuat adanya sindikat perdagangan manusia antar negara ini adalah adanya keuntungan yang besar disamping masih banyak juga negara atau perusahaan-perusahaan lintas negara yang memerlukan tenagatenaga kerja murah dan illegal. PBB menyebutkan bahwa sindikat perdagangan (trafficking) perempuan dan anak meraup keuntungan tujuh milliar dolar AS setiap tahunnya dan sekitar dua juta orang diperdagangkan tiap tahunnya. Sementara itu, di Indonesia sendiri, diperkirakan sekitar 40 ribu sampai 70 ribu perempuan dan anak menjadi korban perdagangan. Ada banyak faktor penyebab yang mendorong terjadinya tindak kejahatan trafficking dan memberi andil bagi keberhasilan jaringan kejahatan yangterlibat dalam perdagangan manusia. Kebanyakan orang-orang yang menjadi korban Trafficking itu adalah orang miskin dan tidak cukup memiliki peluang kehidupan ekonomi, kurang pendidikan. Praktek perdagangan orang di Indonesia, sebenarnya sudah ada sejak lama, hanya saja karena kurangnya kesadaran masyarakat dan belum adanya ketentuan yang komprehensif bagi penegak hukum serta kurang sensitifnya aparatur pemerintah terhadap praktek perdagangan orang, menyebabkan tingginya kasus perdagangan orang. Intenational Organization for Migration (IOM) sampai saat ini telah mengidentifikasikan dan memberikan bantuan bagi 3.339 korban perdagangan orang sepanjang 4 tahun terakhir (data Maret 2005 – Desember 2009). Hampir 90% diantaranya adalah perempuan dan lebih dari 25% diantaranya anak-anak yang memang paling rentan untuk diperdagangkan. Data tersebut tentu saja tidak mencerminkan jumlah korban yang sesungguhnya, karena perdagangan orang adalah jenis underreported crime. Hal ini disebabkan karena banyak korban yang tidak mempunyai kesempatan melaporkan kasusnya ke
kepolisian atau merasa takut melaporkan kasus yang menimpanya. Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara pengirim, namun juga transit dan penerima. Artinya beberapa daerah di Indonesia, dikenal sebagai daerah korban berasal dan ada beberapa daerah yang menjaditempat korban dieksploitasi. Merekatidak hanya diperdagangkan dalam wilayah Indonesia namun juga keluar wilayah negara Indonesia misalnya Malaysia, Arab Saudi dan Jepang. Perdagangan orang (trafficking) merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dimasa lalu perdagangan orang hanya dipandang sebagai pemindahan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. Para traffiker tergiur dengan keuntungan bebas pajak dan tetap menerima income dari korban yang sama dengan tingkat resiko kecil. Berdasarkan pecarian saya di lapangan, sekurang-kurangnya ada lima modus operandi perdagangan orang (trafficking) yang paling sering ditemukan, yaitu : A. Eksploitasi buruh migran. TKW / TKI yang dijanjikan pekerjaan sebagai pekerja informal seperti pembantu rumah tangga, pelayan toko, pekerja pabrik, atau pelayan restoran, lalu dikirim dan diterima oleh Agen di negara tujuan. Di negara tersebut mereka dipekerjakan layaknya seperti budak, tidak mendapatkan haknya sebagai pekerja seperti gaji dan waktu istirahat, tidak boleh meninggalkan tempat kerja ditambah dengan siksaan fisik, psikologis maupun seksual. B. Eksploitasi Prostitusi. Calon tenaga kerja dijanjikan sebagai pekerja informal seperti pembantu rumah tangga, pelayan restoran, engasu anak dan sebagainya, ternyata dilacurkan baik didalam maupun di luar negeri. Pelaku Perdagangan Orang, tidak hanya melacurkan korban di lokalisasi-lokalisasi prostitusi biasa, namun juga mengorganisir kejahatan ini dengan cara membawa korban ke hotel-hotel dan melakukan transaksi disana. Korban biasanya dikurung disebuah hotel kamar apartemen, kemudian dibawa keluar untuk melayani pelanggan dihotel-hotel tempat pelaku bertemu dengan pelanggan dan pelanggan bebas memilih korban. Pelakulah yang bertransaksi langsung dengan pelanggan sementara korban tidak memiliki kekuasaan untuk menolak, apalagi dengan penjagaan ketat dari para bodyguard, dipaksa untuk melayani pelanggan. Walaupun kadang korban tahu bahwa dia akan bekerja sebagai prostitusi, namun biasanya karena ditipu oleh pelaku, seperti tentang kondisi pekerjaannya, dijerat utang, dipaksa melayani sejumlah laki-laki
dalam satu hari dan dilarang meninggalkan lokalisasi sebelum membayar sejumlah besar uang yang dianggap utang kepada mucikari, maka korban tidak dapat berbuat apa-apa. Eksploitasi prostitusi juga dapat terjadi dilokasi perkebunan, dimana pelaku mengorganisir kegiatan ini dilokasi perkebunan terpencil dengan target pelanggan para pekerja perkebunan tersebut. C. Kerja Paksa. Laki-laki dewasa dan anak ditawari pekerjaan diperkebunan, pabrik kayu atau sebagai pekerja bangunan di luar negeri dan dijanjikan mendapatkan gaji tinggi dan fasilitas mess yang disiapkan oleh perusahaan. Sesampainya di lokasi kerja, ternyata korban dipaksa bekerja tanpa gaji dan istirahat yang cukup, dilarang meninggalkan tempat kerja dan tidak mendapatkan tempat tinggal yang layak, atau mereka yang dieksploitasi diwilayah perkebunan, biasanya tinggal digubuk-gubuk tidak permanen dan dilarang meninggalkan tempat kerja sebelum mereka menyelesaikan kontrak (biasanya 2 tahun). Lebih mengenaskan lagi, kadang-kadang, ketika pekerjaan hampir selesai, pelaku melaporkan kepada polisi setempat tentang keberadaan meeka yang biasanya tidak berdokumen. Akhirnya mereka ditangkap polisi dan dianggap melanggar peraturan keimigrasian dan tentu saja pelaku tidak perlu membayar gaji mereka. D. Training atau Pelatihan. Anak-anak yang dikirim ke luar negeri dengan alasan training atau pelatihternyata kemudian dipaksa bekerja di hotel, restoran, di kapal nelayan dan jermtanpa gaji dan waktu istirahat yang cukup. Disamping merupakan suatu situyang eksploitatif yang dapat dianggap sebagai perdagangan manusia dewasituasi-situasi seperti itu melanggar hak-hak anak berdasarkan perundanundangan Indonesia. Korban ditipu dengan alasan sebagai duta budaya, ternykemudian dilacurkan atau dipaksa menjadi penari erotis. E. Penculikan. Anak perempuan remaja diculik saat pulang sekolah lalu dibius dan dipindahkan untuk kemudian dilacurkan. Pembiusan yang sering terjadi terhadap perempuan dewasa, biasanya di kendaraan umum,misalnya di dalam bus-bus antar kota.
Perumusan Masalah Permasalahannya perlu jelas dan tegas sehingga proses penelitian benar-benar terarah dan terfokus kepermasalahan yang jelas. Berdasarkan latar belakang tersebutdiatas, jelas bahwa Penanganan tindak pidana Perdagangan Orang (Trafficking) oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat merupakan hal yang sangat penting dan signifikan dalam upaya penghapusan perdagangan (Trafficking) diJawa Barat . Mengingat luasnya permasalahan tersebut maka perlu dilakukan perumusan masalah yang Bersifat spesifik, yang dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). 2. Bagaimana Upaya Kepolisian Daerah Jawa Barat dalam penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking).
Pendekatan yuridis Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundangundangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan urgensi pidana trafficking kepada rafiker.
Pendekatan Historis Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan melalaui riwayat menjadi seorang rafiker . Pendekatan tersebut ialah pendekatan dengan cara memberikan suatu gambaran tentang halhal yang positif maupun negatif yang terjadi ketika para rafiker berada di tempat tujuan . Pendekatan ini perlu di lakukan agar para pelaku rafiker dapat mengetahui tentang kondisi yang terjadi di tempat tujuan . Dan diharapkan para rafiker mengerti dan dapat berjalan sesuai aturan yang berlaku .
Pendekatan Sosiologis Pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan melalaui jiwa seseorang rafiker . Pendekatan tersebut ialah pendekatan dengan cara memberikan motifasi yang positif pendekatan ini sangat perlu agar para refiker tidak mengalami suatu masalah yang dapat mengganggu kestabilitas jiwanya dalam bekerja di negara tujuan . Untuk itu para refiker diharapkan selalu berjuang untuk meraih apa yang diharpkannya .
Pembahasan Dalam pembahasan mengenai Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (trafficking) oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat, teori utama yang digunakan adalah teori Lawrence M.Friedman, dalam bukunya yang berjudul “The Legal System A Social Science Perspective”, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum, substansi hukum (perundangundangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi Analisis yuridis terhadap perdagangan orang, dapat juga dilakukan melalui pendekatan legal system (sistem hukum) yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Sistem Hukum Harus Memuat Substantive Law, Legal Structure, dan Legal Culture. Secara substansi hukum masalah perdagangan manusia diatur dalam kerangka hukum Internasional dan hukum nasional. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.Belum ada rumusan yang memadai tentang Human Trafficking, penggunaan yang paling mungkin untuk menunjukkan bahwa tindakan perdagangan manusia tersebut adalah sebuah kejahatan tersebut tersebar dalam berbagai undang-undang. Misalnya KUHP, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Buruh Migran, dan lain-lain. Karena itu, upaya memasukkan jenis kejahatan ini ke dalam perundang-undangan di Indonesia adalah langkah yang positif. Selain itu Trafficking Victims Protection Act – TVPA menyebutkan bentuk-bentuk perdagangan berat didefinisikan sebagai : (a). perdagangan seks dimana tindakan seks komersial diberlakukan secara paksa dengan cara penipuan atau kebohongan atau dimana seseorangdimintai secara paksa melakukan suatu tindakan sedemikian, belummencapai usia 18 tahun; atau (b).merekrut, menampung, mengangkut, menyediakan atau mendapatkanseseorang untuk bekerja atau memberikan pelayanan melalui paksaan , penipuan atau kekerasan untuk tujuan penghambaan, penjeratan utang atau perbudakan.
Kesimpulan Saran Perdagangan Orang (trafficking) adalah Setiap orang yang melakukan perekrutan,pengangkutan, penampungan,pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut diwilayah negara Repulik Indonesia . Pada tataran politis pemerintah telah menunjukkan keseriusan untuk menghapuskan perdagangan manusia termasuk perdagangan tenaga kerja, ini dibuktikan dengan telah diratifikasinya konvensi-konvensi internasional dan menuangkannya dalam peraturan nasional, namun pada tataran praktis instrument Hukum Ketenagakerjaan sejauh ini masih memberi celah bagi perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi pekerja maupun dalam lembah prostitusi. Celah tersebut baik berasal dari peraturan perundang-undangan yang secara substansi masih belum jelas dan tegas, juga dari segi penegakannya masih parsial/sektoral sebaiknya dilakukan kerjasama terpadu antar instansi. Perdagangan Tenaga Kerja sebagai sebuah tindak kejahatan perlu penanganan yang komprehensif dan memerlukan penanganan yang lintas sektoral dan melibatkan semua instansi terkait, baik Departemen Tenaga Kerja, Kepolisian, Kejaksaan, Ke-Imigrasian, Perhubungan dan sebagainya. Pola pelayanan satu atap dan menyederhanakan administrasi bagi para calon tenaga kerja yang akan bekerja keluar negeri setidaknya akan mengurangi maraknya pencaloan tenaga kerja dan TKI Illegal. Penertiban terhadap pencaloan tenaga kerja harus menjadi upaya yang serius, dimulai dengan melibatkan semua pihak: masyarakat, dunia pendidikan, aparat penegak hukum, dan pemerintah baik dengan sosialisasi melalui lembaga pelatihan tenaga kerja maupun dalam kurikulum pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi yang bertujuan sebagai bekal pengetahuan saat terjun ke dunia kerja.
Referensi ILO , Dimensi Ketenagakerjaan dalam Kebijakan Makro dan Sektoral,Seri Rekomendasi Kebijakan, Kerja Layak dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, Jakarta, 2004. ILO, Migrasi: Peluang dan Tantangan Bagi Pengentasan Kemiskinan, Seri Rekomendasi Kebijakan, Kerja Layak dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, Jakarta, 2004. Aloysius Uwiyono, Aspek Yuridis Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, Makalah, Seminar tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga KErja Indonesia Di Luar Negeri, penyelenggara BPHN, FH Unair dan Kanwil Depkum dan Ham Prov. Jawa Timur, Surabaya, 30-31 Agustus 2005. Ari Hernawan, Perlindungan dan Pembelaan Tenaga Kerja Indinesia, Mimbar Hukum, Jurnal Berkala FH UGM, Vol. 19, No. 1, Februari 2007 Dedi Haryadi dan Indrasari Tjandraningsih, Buruh Anak dan Dinamika Industri Kecil, Yayasan Akatiga, Bandung, 1995. I Gusti Made Arka, Dirjen PPTKLN Depnakertrans, Peran dan Tanggungjawab Departemen Tenaga KErja dalam Proses Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri, Makalah dalam Seminar tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri penyelenggara BPHN, FH Unair dan KAnwil Depkum dan Ham Prov. Jawa Timur, Surabaya, 3031 Agustus 2005. Republika, 12,3 Juta Orang Kerja Paksa, - Jumat, 13 Mei 2005 www.Ifip.org/report/traffickingdata in Indonesia_table_pdf, Data Perdagangan Manusia di Indonesia www.elsam.or.id, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP.