Full Paper
TRUSTWORTHINESS IN RELATIONSHIP: RECENT STUDY ON SOCIAL BEHAVIOR Penelitian ini dipublikasikan secara oral pada Third Asian Conference on Psychology and the Behavioral Sciences (ACP 2013) - Ramada Osaka Hotel, Osaka Japan pada tanggal 28-30 Maret 2013.
DENRICH SURYADI, M.Psi.,Psi. FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS TARUMANAGARA JAKARTA 2013
Trustworthiness in Relationship: Recent Study on Social Behavior*) Denrich Suryadi**) Faculty of Psychology - Tarumanagara University Jakarta Indonesia Trust (sense of trust) to others is the earliest developmental challenges through which humans according to Erikson's theory of psychosocial development (1950). Similarly to the developmental task of social relationships that will pass as teenagers and young adults. The ability to trust others is an option and as a skill that can be developed by individuals. In other words, trust can be summed up as a belief to rely on others and viewed as prosocial behavior. Someone will learn to trust other people when someone else can prove that they are trustworthy, paying attention and was able to instill confidence to determine the success and quality of a relationship. In this study, the concept is viewed through a qualitative questions about how people think about the importance of trust in relationships with others. If the trust is not owned then alienation in the social environment will occur. Research conducted on approximately 1250 participants in Jakarta in finding recent phenomena in trusting others. Keywords: trust, trustworthiness, relationship
*)Penelitian ini akan dipublikasikan secara oral pada the Third Asian Conference on Psychology and the Behavioral Sciences (ACP 2013) - Ramada Osaka Hotel, Osaka Japan pada tanggal 28-30 Maret 2013. **) Dosen peneliti Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, praktisi psikolog klinis, hipnoterapis, grafolog, dan analis perilaku.
BAB I PENDAHULUAN Perasaan percaya (sense of trust) terhadap orang lain merupakan tantangan perkembangan paling awal yang dilalui oleh manusia seturut teori perkembangan psikososial Erikson (1950). Keberadaan serta responsifitas orangtua terhadap kebutuhan anak akan membentuk sikap percaya anak terhadap orang orang lain dan lingkungannya karena anak merasa yakin dan nyaman akan ketersediaan dukungan dan rasa aman ketika anak menghadapi permasalahan. Demikian pula terhadap jalinan hubungan sosial yang akan dilalui anak semasa remaja dan dewasa. Feldman (2010) mengemukakan sebuah model penting dalam pembentukan trust pada anak yaitu apabila orangtua tidak menginginkan anaknya untuk tidak dapat dipercaya (untrustworthy) maka orangtua tidak melakukan perilaku yang menyebabkan orangtua menjadi tidak dapat dipercaya di hadapan anak, sebab norma deskriptif sedemikian rupa dapat diserap oleh anak dengan baik. Trust menurut (Straker, 2010) memiliki arti sebagai kemampuan memprediksi (predictability) apa yang akan dilakukan orang lain dan situasi apa yang akan terjadi. Trust juga berarti upaya untuk melakukan pertukaran maksud dan tujuan nilai (value exchange) yang ditawarkan dengan individu lain yang dikenal maupun tidak dikenal, juga sebagai upaya memberikan sesuatu dengan harapan akan dibalas (delayed reciprocity) di kemudian hari dengan cara apapun juga. Trust juga dijelaskan sebagai upaya untuk mencegah orang lain mengambil keuntungan atas kelemahan yang dimiliki oleh seseorang (exposed vulnerabilities).
Dengan berbagai upaya
yang dilakukan untuk mendefinisikan perasaan, sikap dan merujuk pada perilaku mempercayai, terlihat bahwa sebenarnya manusia waspada dan sadar akan adanya kemungkinan untuk dirugikan, ditipu (deceived), atau disesatkan (misled). Perilaku yang paling umum dilakukan adalah upaya untuk mendeteksi pembohong. Perilaku ini juga merupakan respon manusia secara instinktif untuk melindungi dan mempertahankan diri (survival needs). Dalam hubungan interpersonal pun seringkali banyak ditemui berbagai tantangan khususnya kemampuan untuk memilah bagaimana seharusnya seseorang mempercayai orang lain secara tepat. Kasus-kasus sosial terkait dengan rasa percaya versus rasa tidak percaya telah banyak terungkap mulai dari lingkup sosial mikro sampai lingkup sosial makro, diantaranya yaitu: kasus perselingkuhan/pengkhianatan (betrayal), kasus korupsi, isu-isu politik dan sosial, kasus penipuan barang/uang, kasus penculikan, pemerkosaan, pencurian, dan lain-lain. Semua kasus ini berawal dari ada atau tidak adanya rasa percaya yang akhirnya berlanjut kepada sejauh mana pengalaman tersebut memengaruhi terbentuknya kembali atau tidak rasa percaya
seseorang terhadap orang lain.
Oleh karena itu peneliti ingin melihat bagaimana tingkat
kepercayaan individu yang tinggal di Jakarta terhadap orang lain dan seberapa tinggi harapan individu dalam menaruh nilai kepercayaan terhadap orang lain dalam lingkungan yang dipengaruhi oleh penanaman rasa percaya sejak dini menurut teori perkembangan psikososial Erikson; Trust vs Mistrust.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Definisi dan Penjelasan Mengenai Trust Rasa percaya (trust) seringkali dihubungkan dengan adanya perasaan tidak menentu yang kadang diasosiasikan dengan rasa sakit ketika individu mencoba untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Kemampuan untuk mempercayai orang lain merupakan sebuah pilihan dan sebagai suatu keterampilan yang dapat dikembangkan oleh individu (Wall, 2004). Menurut Wood (2010), trust merupakan keyakinan akan keterandalan seseorang dan ketergantungan terhadap orang lain secara emosional
untuk mendapatkan perhatian dan
perlindungan. Trust juga dikemukakan sebagai keyakinan bahwa informasi pribadi seseorang akan dijaga oleh orang lain (Wood, 2010). Dengan kata lain, trust dapat disimpulkan sebagai keyakinan untuk mampu mengandalkan orang lain. Masa lalu tidak dapat mengontrol atau memengaruhi rasa percaya individu terhadap individu lainnya. Pada seorang anak, kepercayaan merupakan suatu perasaan yang mudah terbentuk dan mudah pudar karena masih dipengaruhi oleh orang lain, sedangkan pada individu dewasa, rasa percaya dapat dipelajari dan dibentuk dengan lebih baik. Sedangkan sikap tidak percaya (mistrust) yang umum dimiliki oleh manusia adalah adanya kebiasaan cara pandang yang cenderung mencurigai motif orang lain (Griffin, 1997). Manusia cenderung mencoba menafsirkan pernyataan orang lain sebagai hal yang buruk sehingga persepsi mengenai dunia terlihat sinis. Trust memiliki arti kemampuan memprediksi (predictability) apa yang akan dilakukan orang lain dan situasi apa yang akan terjadi. Apabila individu berada pada lingkungan dengan orangorang yang dapat dipercaya maka individu tersebut akan memiliki rasa percaya (Straker, 2010). Dalam penelitian terhadap rasa percaya terhadap pasangan suami-istri yang dilakukan oleh Turan dan Horowitz (2007), setiap individu dipercaya memiliki pengetahuan mengenai akan tersedianya atau tidak pasangan mereka pada situasi dan kondisi yang sulit. Oleh karena setiap individu memiliki kebutuhan akan dukungan yang tepat dan efektif dari teman dekat dan pasangannya, maka individu berusaha mempelajari rasa percaya tersebut melalui pengalaman langsung ketika mereka memperoleh kebutuhan tersebut di masa lalu. Dalam hal ini seseorang sebagai pendengar tidak mampu mengenali pihak yang tidak dapat dipercaya dengan pihak yang seharusnya dipercaya, individu masih dapat melindungi dirinya dengan berupaya menafsirkan pesan yang disampaikan dalam konteks pesan tersebut masih
harus dipastikan validitasnya (suspicious context) daripada langsung menafsirkannya sebagai suatu pesan yang tidak diragukan sehingga pantas untuk dipercaya (trustworthy context). Trust berarti upaya untuk melakukan pertukaran maksud dan tujuan nilai (value exchange) yang ditawarkan dengan individu lain yang dikenal maupun tidak dikenal (Straker, 2010). Trust yang melibatkan nilai (value) muncul ketika ada harapan individu untuk menerima sesuatu sesuai dengan apa yang dibayangkan sebelumnya. Permasalahannya terletak pada adanya perbedaan individu dalam menilai sesuatu sehingga seringkali perbedaan ini membuat orang lain menjadi sulit untuk dipercaya. Trustworthiness dapat dijelaskan sebagai bentuk penilaian seberapa jauh sesuatu atau seseorang dapat diberikan kepercayaan dan kepercayaan itu dapat diprediksi sesuai dengan yang diharapkan. Trust menurut Straker (2010) juga diungkapkan sebagai upaya memberikan sesuatu dengan harapan akan dibalas (delayed reciprocity) di kemudian hari dengan cara apapun juga. Trust juga dijelaskan sebagai upaya untuk mencegah orang lain mengambil keuntungan atas kelemahan yang dimiliki oleh seseorang (exposed vulnerabilities). Trust merupakan perilaku atau tindakan yang dijelaskan baik secara emosional dan logis (Straker, 2010). Secara emosional, sikap percaya dimulai dengan adanya unsur keterbukaan terhadap orang lain atas dasar keyakinan bahwa orang lain tidak akan mengambil keuntungan daripadanya. Sedangkan secara logis, sikap percaya merupakan uji coba kemungkinan adanya keuntungan dan kerugian dalam memperhitungkan adanya kemungkinan orang lain akan melakukan perilaku tertentu sebagai respon. Trust sebagai salah satu aspek pemenuhan dan pembentuk hubungan intim/sosial Pengalaman awal merupakan merupakan kunci utama menurut Erikson (dikutip dalam Papalia & Feldman, 2012). Dalam tahapan perkembangan psikososialnya yaitu tahap Basic Trust vs Basic Mistrust, tahapan ini dimulai sejak seorang anak lahir sampai dengan usia sekitar 18 bulan. Dalam bulan-bulan awal ini, bayi akan mengembangkan kemampuan perasaan reliabel terhadap orang lain dan obyeknya di dunia mereka. Mereka perlu untuk mengembangkan keseimbangan antara rasa percaya agar mampu menjalin hubungan intim dan rasa tidak percaya untuk memungkinkan mereka melindungi dirinya sendiri. Jika rasa percaya lebih mendominasi maka anak akan mengembangkan harapan serta keyakinan bahwa mereka dapat memenuhi kebutuhan dan memperoleh keinginan mereka (Erikson, 1982). Apabila rasa tidak percaya yang mendominasi, anak akan memandang dunia sebagai lingkungan yang tidak ramah dan tidak dapat diprediksi dan akan mengalami
kesulitan
dalam
membentuk
suatu
hubungan.
Elemen
penting
dalam
mengembangkan rasa percaya adalah kepekaan, responsivitas dan pengasuhan yang konsisten (Papalia & Feldman, 2012). Dalam tahap awal terbentuknya sebuah hubungan, adanya pengungkapan diri secara timbal balik juga sangat penting karena seseorang akan mau membuka diri apabila orang lain juga membuka dirinya. Seseorang akan lebih rentan karena ada kemungkinan orang lain dapat mengkhianati kepercayaan atau menolak orang lain karena adanya fakta yang disembunyikan. Perasaan tersebut dapat dikurangi apabila orang lain juga mengurangi kerentanan tersebut dengan membuka diri. Adanya derajat trust yang tinggi merupakan salah satu aspek pemenuhan kepuasan hubungan pribadi antar pasangan menurut Brehm, Miller, Perlman, & Campbell, 2001; SteinerPappalardo & Gurung, 2002; & Veroff, 1999 seperti dikutip dalam Wood (2010). Rasa percaya yang muncul dalam suatu hubungan seiring dengan berjalannya waktu dan membutuhkan proses. Seseorang akan mempelajari untuk mempercayai orang lain ketika orang lain dapat membuktikan
bahwa mereka dapat dipercaya, memberikan perhatian dan mampu
menanamkan kepercayaan itu untuk meningkatkan kualitas hubungan (Wood, 2010). Yang diperoleh apabila ada unsur trust dalam suatu hubungan adalah adanya perasaan aman secara psikologis, ada keberanian untuk mengambil risiko, adanya perlindungan terhadap kepercayaan diri serta adanya kepedulian atas kesejahteraan diri. Menurut Wood (2010), konsep self-disclosure juga diperlukan untuk membentuk dan merefleksikan trust pada individu. Self-disclosure merupakan upaya untuk mengungkapkan diri pribadi yang belum diketahui orang lain sebelumnya. Apabila pengungkapan diri ini disertai dengan pemahaman serta kemauan untuk menjaga kerahasiaan maka trust akan mampu bertumbuh secara berkelanjutan. Dalam penelitian ini, konsep ini dilihat melalui pertanyaan secara kualitatif mengenai bagaimana pendapat individu mengenai pentingnya trust dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Dalam hubungan pertemanan, trust merupakan komponen utama yang memiliki dua dimensi, yaitu trust melibatkan faktor keyakinan bahwa individu akan mengandalkan individu lainnya dan trust berasumsi pada bagaimana individu mampu mengandalkan individu lainnya secara emosional (Wood, 2010). Dalam menjalin hubungan pertemanan yang berkualitas, dibutuhkan sebuah proses secara bertahap. Individu akan belajar untuk percaya pada orang lain ketika berinteraksi secara langsung dan menemukan bahwa orang lain melakukan apa yang mereka katakan akan lakukan dan tidak melakukan pengkhianatan. Dalam tahap selanjutnya ketika tingkat kepercayaan meningkat, perasaan akan ketidaktentuan dan ketidaknyamanan akan berkurang.
Tingkat kepercayaan yang berkembang dalam hubungan sosial menurut Wood (2010) bergantung pada sejumlah faktor yaitu (a) riwayat individu yang memengaruhi kemampuan untuk mempercayai orang lain di mana individu sejak kecil melatih untuk mempercayai figur pengasuhnya melalui pola pemenuhan afeksi yang konsisten atau tidak konsisten; (b) latar belakang kehidupan keluarga yang memengaruhi berapa banyak dan cepat individu dapat mempercayai seseorang, di mana seorang anak akan mengobservasi orangtuanya dalam menjalin hubungan sosial yang akan terkait langsung dengan pertumbuhan minat sosial anak; (c) kemauan untuk mengambil risiko sebab secara nyata, trust sulit untuk dipahami dan risiko akan selalu dapat menjadi penjelasan mengapa individu hanya mempercayai individu tertentu saja. Faktor-faktor pembentuk Trust Perasaan percaya (sense of trust) terhadap orang lain merupakan tantangan perkembangan paling awal yang dilalui oleh manusia seturut teori perkembangan psikososial Erikson (1950). Keberadaan serta responsifitas orangtua terhadap kebutuhan anak akan membentuk sikap percaya anak terhadap orang orang lain dan lingkungannya karena anak merasa yakin dan nyaman akan ketersediaan dukungan dan rasa aman ketika anak menghadapi permasalahan. Demikian pula terhadap jalinan hubungan sosial yang akan dilalui anak semasa remaja dan dewasa. Kredibilitas juga merupakan aspek yang terlibat dalam pembentukan rasa percaya terhadap orang lain. Seseorang dapat dipercaya selain karena memiliki keahlian dan karisma, individu juga diharapkan memiliki kemampuan untuk dipercaya seperti kejujuran, adil, tidak mementingkan diri sendiri, dan perhatian terhadap orang lain (Gass & Seiter, 1999). Aspek moral juga menjadi bagian dari pembentukan rasa percaya baik bagi orang yang akan mempercayai dan bagi orang yang akan dipercayai. Aspek lain terkait dengan pembentukan rasa percaya adalah aspek perhatian dan kepedulian (care and concern) yang meliputi kepedulian secara pasif dan aktif, keterandalan (reliability) dan kejujuran (honesty) (Gass & Seiter, 1999). Trust melibatkan adanya unsur rasa percaya terhadap reliabilitas seseorang sesuai dengan janji yang diberikan dan secara emosional bergantung pada orang lain untuk memperoleh kesejahteraan dalam suatu hubungan (Wood, 2010). Aspek perhatian dan kepedulian terkait dengan adanya kebutuhan individu sebagai manusia yang memiliki kebutuhan sehingga apabila kebutuhan tersebut terpenuhi maka individu akan cenderung memilih orang lain atau lingkungan yang mampu menyediakan kebutuhan tersebut. Aspek reliabilitas terkait dengan ada tidaknya kekonsistenan antara yang
dikatakan dengan yang dilakukan. Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan melakukan apa yang telah dikatakan atau dijanjikan. Apabila aspek reliabilitas ini tidak dapat dipenuhi maka individu tidak dapat dipercaya. Emosi yang terkait dengan trust diantaranya adalah adanya perasaan dekat, rasa persahabatan, cinta, persetujuan, santai, dan rasa nyaman. Otentisitas dan kejujuran merupakan domain penting dalam suatu hubungan interpersonal menurut DeGreeff, Burnett, & Cooley,2009; LaFollette & Graham, 1986; Lopez & Rice, 2006; Wieselquist, Rusbult, Foster, & Agnew, 1999 dikutip dari Gillath, Sesko, Shaver, & Chun, 2010). Selain otentisitas dan kejujuran, aspek lain yang mendukung perilaku berelasi adalah rasa percaya dari pasangan/orang lain, komitmen dan kepuasan akan hubungan tersebut. Penemuan ini memperlihatkan bahwa rasa percaya turut berperan dalam pembentukan sekaligus juga sebagai penentu keberhasilan suatu hubungan. Trust dipercayai oleh para peneliti yang mendalami mengenai konflik sebagai kunci utama untuk menyelesaikan konflik (Myers, 2004). Apabila individu mempercayai bahwa orang lain memiliki intensi baik maka kecemasan individu tersebut akan berkurang. Namun apabila rasa percaya tersebut tidak ada, individu akan cenderung khawatir untuk membuka diri dan memberikan informasi kepada pihak lain yang mampu menjatuhkan atau melawan balik individu itu sendiri. Teori-teori psikologi sosial terkait dengan trust Social Exchange Theory Menurut teori ini, individu memiliki kecenderungan untuk mengembangkan hubungan sosial yang memberikan kesempatan baginya untuk memaksimalkan potensi diri (Chadwick-Jones, 1976; Gergen, Greenberg, 1989 dikutip dalam Devito, 2009). Teori ini juga membahas kecenderungan individu untuk lebih termotivasi untuk mengembangkan hubungan sosial dengan individu lain yang dianggap mampu memberikan balasan yang setara dengan apa yang telah diberikan sebelumnya. Comparison level theory Teori ini menjelaskan bagaimana proses dimulai sejak seseorang memasuki awal dari sebuah hubungan, individu akan berpikir mengenai reward (penghargaan) dan keuntungan yang diperoleh dari hubungan tersebut. Tingkat perbandingan tersebut dilakukan berdasarkan pengharapan yang bersifat realistik (realistic expectation) yang dirasakan oleh individu atas hubungan yang dijalaninya tersebut (Devito, 2009). Sebagai contoh, sebuah penelitian yang dilakukan pada pasangan yang menikah oleh Chahatelli dan Pearce (1986), ditemukan bahwa
inidividu
mengharapkan
akan
memperoleh
tingkat
kepercayaan
yang
tinggi,
saling
menghormati, cinta dan komitmen dari pasangannya. Ekspektansi pasangan dalam penelitian tersebut rendah secara signifikan terhadap kebutuhan untuk memiliki waktu bersama, waktu pribadi, aktivitas seksual, dan komunikasi. Ketika reward yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan, maka hubungan akan secara terus menerus dijalani.
BAB III METODE PENELITIAN
Partisipan Partisipan yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah individu dewasa dalam rentang usia 18-60 tahun dengan target sejumlah 1.250 orang yang dilakukan secara acak (random). Latar belakang agama, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial ekonomi tidak dibatasi. Domisili partisipan berada di area Jakarta dan sekitarnya (Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi). Pengukuran Alat ukur utama yang digunakan adalah kuesioner. Alat ukur ini akan digunakan sebagai sarana deskripsi tingkat kepercayaan terhadap orang lain. Dari sebanyak 1325 kuesioner yang disebarkan, hanya 1286 kuesioner yang kembali dan setelah dilakukan screening, sebanyak 31 kuesioner dianggap gugur karena ketidaklengkapan jawaban sehingga 1255 kuesioner yang dianggap layak untuk dianalisis dalam penelitian ini. Metode statistik yang digunakan berupa pengolahan data deskriptif dengan SPSS dan analisa kualitatif. Prosedur Penelitian akan dilakukan dengan melakukan kajian pustaka mengenai rasa percaya terhadap orang lain, dan merumuskan tingkat rasa percaya terhadap orang lain yang dimiliki individu khususnya individu yang berdomisili di Jakarta. Faktor-faktor tersebut dipakai dalam alat ukur berupa open dan closed ended question. Alat ukur disusun dan digandakan untuk disebarkan kepada para responden. Hasil yang terkumpul lalu dikoding dan diinput datanya melalui SPSS. Hasil statistik akan dianalisa sesuai dengan urgensi penelitian dan untuk menyusun laporan penelitian. Selanjutnya hasil penelitian akan dipublikasikan sesuai dengan konteks penelitian dan bidang ilmu penelitian.
BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN Penelitian ini berhasil menghimpun data kuesioner yang diisi dan dikembalikan oleh 1.255 partisipan yang tersebar di area Jakarta dan sekitarnya. Diferensiasi partisipan berdasarkan jenis kelamin adalah 421 orang laki-laki dan 834 orang perempuan. Data terkumpul dalam rentang waktu Juli - Agustus 2012 dan partisipan memiliki rentang usia dewasa yaitu antara usia 18-60 tahun. Pengolahan data dilakukan bulan Desember 2012. Fakta pertama yang terlihat dari penelitian ini adalah bahwa 1.187 partisipan menyatakan bahwa mereka dapat mempercayai orang lain sementara 68 partisipan lainnya menyatakan bahwa mereka tidak dapat mempercayai orang lain. Urutan teratas untuk orang lain yang dianggap mampu untuk dipercaya adalah orangtua, saudara kandung, teman, pasangan, rekan kerja, anak, tetangga, dan lain-lain (supir, PRT, mertua). Alasan mengapa para partisipan mampu untuk mempercayai figur tersebut karena mereka merasa figur tersebut selalu ada untuk menolong dan mendukung, saling menolong, tidak mengambil keuntungan daripada mereka, percaya akan apa yang dikatakan atau dirasakan merupakan suatu kenyataan, figur tersebut akan menolong karena apa yang telah partisipan lakukan terhadap mereka, menerima sesuatu sesuai dengan harapan, ketulusan orang lain dan konsistensi figur tersebut. Aspek dari kepercayaan yang dianggap penting berdasarkan urutannya adalah kredibilitas, perhatian, cinta dan persahabatan, kejujuran, moralitas, kenyamanan/kedekatan, ketulusan, dan komitmen. Para partisipan menyatakan bahwa sangat penting untuk memberikan kepercayaan kepada orang lain terutama untuk sebagai dasar untuk membangun hubungan sosial, membangun rasa kemanusiaan di dunia, untuk mengembangkan cinta, perhatian dan perasaan saling menghargai, dan dianggap penting karena sulit untuk mampu mempercayai orang lain saat ini. Terkait dengan jumlah partisipan yang memiliki rasa percaya terhadap orangtuanya yaitu sejumlah 1.134 orang, hasil ini memperlihatkan bahwa tahap dasar pembentukan hubungan berdasarkan rasa percaya yang diawali pada masa awal anak dibawah usia 18 bulan berhasil terbentuk. Kelanjutan dari proses terbentuknya rasa percaya tersebut terlihat dari bagaimana proses individu memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan bagaimana cara mereka memulihkan diri apabila hubungan tersebut tidak berhasil sehingga menyebabkan mereka mampu kembali mempercayai orang lain atau bahkan tidak mampu lagi untuk mempercayai orang lain.
Mayoritas partisipan menyatakan bahwa mempercayai orang lain saat ini masih dianggap berharga dan sangat penting untuk dilakukan meskipun mereka juga menyetujui bahwa agak sulit bagi mereka untuk mampu mempercayai orang lain. 987 partisipan pernah merasakan kekecewaan ketika mempercayai orang lain, dan 486 orang diantaranya menyatakan bahwa mereka tidak akan mampu mempercayai orang yang telah mengkhianati kepercayaan tersebut sementara 501 orang lainnya menyatakan bahwa mereka masih mampu mempercayai orang lain tersebut kembali. Sementara itu, 268 partisipan menyatakan bahwa mereka belum pernah dikecewakan dan 79 orang menyatakan kesiapan apabila mereka harus merasakan kekecewaan tersebut di masa mendatang, sementara 189 orang lainnya menyatakan bahwa mereka akan merasa sedih apabila mereka harus merasakan kekecewaan tersebut.
BAB VI DISKUSI DAN SARAN DISKUSI Kesimpulan yang terlihat dari penelitian ini adalah memberikan kepercayaan kepada orang lain merupakan upaya yang tidak mudah untuk dilakukan khususnya menyangkut bagaimana kepercayaan tersebut terkait dengan hubungan yang mengandalkan timbal balik antar individu, khususnya di Jakarta. Hasil ini memperlihatkan seberapa besar anggota masyarakat masih memiliki dan memberikan rasa percaya kepada orang-orang yang berada di lingkungan sekitarnya. Rasa percaya juga tidak hanya terfokus pada bagaimana individu mempercayai individu lain melainkan juga bagaimana individu tersebut memulai untuk percaya pada dirinya sendiri. Kepercayaan merupakan hubungan yang resiprokal, bersifat timbal balik sehingga menjadi individu yang mampu dipercaya juga menjadi hal yang sama pentingnya dengan memberikan rasa percaya kepada orang lain. Orangtua dalam penelitian ini merupakan figur yang signifikan mampu dipercaya bagi kebanyakan partisipan. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas orangtua telah menjadi contoh yang ideal bagi partisipan untuk belajar mengembangkan rasa percaya dan pengembangan kepercayaan tersebut berhasil dilakukan sejak usia dini menurut Erikson (1950). Para partisipan yang mampu membentuk basic trust pada awal kehidupannya akan memiliki rasa percaya terhadap orangtuanya dan kemampuannya ini memengaruhi bagaimana mereka menjalin hubungan serta memiliki kemampuan untuk mempercayai orang lain sebagai aspek dasar terbentuknya suatu hubungan. SARAN Masukan yang diperoleh saat penelitian ini dipresentasikan adalah perlunya untuk lebih membatas lingkup dari konteks trust (kepercayaan), misalnya trust pada pasangan suami istri, rekan bisnis, hubungan persahabatan, rekan kerja, dan lain sebagainya. Dengan membatasi lingkup konteks Trust, maka akan lebih didapatkan analisis yang mendalam. Salah satu tindak lanjut dari penelitian ini adalah penelitian yang akan dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Psikologi yang akan membahas mengenai Trust pada hubungan jarak jauh (Long Distance
Relationship). Peran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai pembimbing. Penelitian lain yang akan berlanjut adalah penelitian yang akan lebih dispesifikan pada hubungan antar pasangan yang akan menikah.
DAFTAR PUSTAKA Devito, J. A. (2009). Human communication: The basic course (2nd ed.). New York, NY: Pearson Education, Inc. Erikson, E. H. (1950). Childhood and society. Oxford, England: Norton. Erikson, E. H. (1982). The life cycle completed. New York: Norton. Feldman, R. (2009). The liar in your life: The way to truthful relationships. New York, NY: Hachette Book Group. Feldman, R. (2010). Liar: The truth about lying. New York, NY: Hachette Book Group. Gass, R. H., & Seiter, J. S.(1999). Persuasion, social influences and compliance gaining. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon. Gillath, O., Sesko, A. K., Shaver, P. R., & Chun, D. S. Attachment, authenticity, and honesty: Dispositional and experimentally induced security can reduce self and other deception. Journal of Personality and Social Psychology, 2010, Vol.98, No.5, 841-855. New York, NY: American Psychological Association. Griffin, E.(1997). A first look at communication theory (3rd.ed.). New York, NY: McGraw-Hill Companies, Inc. Myers, D. G. (2004). Exploring social psychology (3rd ed.). New York, NY: McGraw-Hill Companies, Inc. Papalia, D.E. & Feldman, R.D. (2012). Experience human development (12th. ed.). McGraw-Hill Companies, Inc. Schul, Y., Mayo, R., & Burnstein, E. Encoding under trust and distrust: The spontaneous activation of incongruent cognitions. Journal of Personality and Social Psychology, 2004, Vol.86, No.5, 668-679. New York, NY: American Psychological Association. Straker, D. 2010. Changing minds: In detail (2nd ed.). London, UK: Syque Press. Turan, B. & Horowitz, L. M. Can i count on you to be there for me?: Individual differences in a knowledge structure. Journal of Personality and Social Psychology, 2007, Vol.93, No.3, 447-465. New York, NY: American Psychological Association. Wall, C. (2004). The courage to trust: A guide to build deep and lasting relationship. Oakland, CA: New Harbinger Pubilcations, Inc. Wood, J. T. (2010). Interpersonal communication: Everyday encounters (6th ed.). Boston, MA: Wadsworth.