TRAVEL DEMAND MANAGEMENT (TDM) 1. VISI TDM DI INDONESIA 1.1 Masalah Transportasi Kota di Indonesia Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (2005) mengungkapkan bahwa transportasi perkotaan mengalami permasalahan sangat serius akibat kemacetan yang semakin parah, tekanan migrasi desa ke kota serta persoalan pembiayaan angkutan yang sangat kompleks. Ketidakseimbangan antara panjang jalan dengan pertumbuhan kendaraan ditunjukkan dalam Tabel 1, dimana kendaraan selama 2005-2007 tumbuh 16,6% per tahun, sedangkan jalan hanya tumbuh 1,9% pada kurun yang sama. Panjang jalan nasional dan jalan propinsi bahkan tidak mengalami perubahan sama sekali. Komposisi moda transportasi yang tidak seimbang telah mengakibatkan masalah dalam efisiensi penggunaan ruang jalan. Dari total kendaraan di Indonesia sebanyak 57.747.509, sebanyak 3,6% atau 2.102.362 adalah angkutan umum penumpang (bus), sementara proporsi kendaraan pribadi dalam bentuk mobil dan sepeda motor mencapai 87,3%. Fakta terjadinya aglomerasi kota-kota metropolitan merupakan hal yang sudah dijelaskan oleh beberapa hasil studi. Bappenas-JICA (2004) dalam Studi SITRAMP (Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek) mempertegas terjadinya aglomerasi Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) sebagai bagian dari perkembangan kota Jakarta. Departemen Perhubungan (1995) dalam Studi SITNP (Surabaya Integrated Transport Network Planning) menjelaskan terjadinya aglomerasi Gerbang Kertosusilo (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan) sebagai rekasi atas perkembangan kota metropolitan Surabaya. Di wilayah lain muncul Mebidang (Medan, Binjai dan Tanjung Morawa) sebagai reaksi spasial dari perkembangan kota Medan. Kota-kota lain seperti Semarang, Palembang, Makassar juga menghadapi masalah yang sama. Ketidakseimbangan ini menyebabkan efek kemacetan yang berujung pada tingginya biaya operasional transportasi, polusi udara, stress dan penyakit. Tabel 1. Panjang Jalan dan Jumlah Kendaraan Bermotor di Indonesia
2005 KENDARAAN
Mobil Penumpang Bus Truk Sepeda Motor Jumlah Kendaraan
PANJANG JALAN
Jalan Nasional (km) Jalan Propinsi (km) Jalan Kabupetan (km) Jumlah Panjang Jalan (km)
2006
2007
Pertumbuhan (%)
5.494.034 1.184.918 2.920.826 28.556.498 38.156.276
6.615.104 1.511.129 3.541.800 33.413.222 45.081.255
8.864.961 2.102.362 4.845.938 41.935.258 57.747.509
20,5% 24,9% 22,3% 14,9% 16,6%
34.628 40.125 324.094 398.846
34.628 40.125 331.464 406.398
34.628 40.125 346.782 421.535
0% 0% 2,4% 1,9%
Sumber: diolah dari Statistik Perhubungan 2007 (BPS, 2009)
Halaman 1
Untuk memperbaiki tingkat kinerja transportasi diperlukan upaya, diantaranya dengan mengadopsi konsep “predict and provide” yang berusaha memenuhi seluruh kebutuhan perjalanan. Pendekatan ini membutuhkan dana investasi prasarana dan kebutuhan lahan yang sangat tinggi. Keterbatasan Pendanaan Untuk mempertahankan pertumbuhan, diperlukan pertumbuhan investasi infrastruktur berkisar 6-7% dari Produk Domestik Bruto (ADB, 2008). Pemerintah berupaya meningkatkan anggaran infrastruktur guna mendekatkan angka rasio besaran anggaran infrastruktur terhadap produk domestik bruto (PDB) 5% seperti negara lain di dunia, namun jika hal itu dilakukan, diperkirakan kebutuhan investasi untuk infrastruktur pada 2009-2014 mencapai Rp 1.429 triliun atau sekitar 3% PDB. Padahal APBN 2009 hanya menganggarkan anggaran sektor perhubungan mencapai 52,3 triliun terdiri 35,7 triliun (PU) dan 16,6 triliun (Dephub). Keterbatasan dana ini harus dipenuhi dari sumber lain, baik berupa pinjaman, penanaman investasi masyrakat maupun swasta. Keterbatasan Pembebasan Lahan Wilayah perkotaan mengalami keterbatasan dalam pembebasan lahan. Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan Perpres 36/2005 tentang Pembebasan Lahan, masih banyak dijumpai masalah dalam pembebasan lahan, karena tingginya biaya lahan yang ditawarkan warga masyarakjat disbanding ketersediaan dana yang dianggarkan. Akibatnya, laju pembangunan jalan dan jembatan di kota-kota metropolitan relatif sangat kecil, di Jakarta pertumbuhan panjang jalan dan jembatan hanya sebesar (1.7-1.9) % per tahun. Kota-kota di Indonesia lainnya telah mengalami kemacetan yang sangat parah, yang diindikasikan dari tingginya V/C ratio (lebih dari 0,85), kecepatan perjalanan yang rendah pada jam-jam puncak, tingginya kebutuhan biaya operasional kendaraan (VOC) dan semakin kotornya udara karena polusi udara. Kemacetan terutama terjadi di kota-kota metropolitan dan kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Palembang, Medan, Bogor, Makassar, Solo, Yogyakarta dan Bogor. Kinerja transportasi kota-kota di Indonesia dijelaskan dalam Tabel 2 menunjukkan V/C ratio berada diatas 1,0 untuk kota metropolitan, dengan kecepatan 26,9 km/jam. Tabel 2 Kondisi Umum Kinerja Lalu Lintas Perkotaan KECEPATAN RATAJUMLAH KOTA V/C RATA-RATA KELAS KOTA RATA MAKSIMAL STUDI MAKSIMAL (km/jam) Metropolitan
6
1,01
26,9
Besar
7
0,63
37,2
Sedang
20
0,66
40,2
Kecil
22
0,59
38,4
Sumber: Diolah dari Laporan Wahana Tata Nugraha Dephub, 2007
Halaman 2
Kemacetan telah menimbulkan akibat serius, karena terjadinya pemborosan akibat inefisiensi pemakaian bahan bakar, waktu hilang terbuang, polusi dan stres, serta merugikan kesehatan penduduk. Kerugian akibat kemacetan lalu-lintas di Jakarta diperkirakan mencapai Rp. 9 triliun per tahun (Prasetyo, Kompas, 2004). Biaya tersebut dikeluarkan untuk biaya operasional kendaraan akibat bahan bakar yang terbuang saat kendaraan terjebak dalam kemacetan. Tingginya kasus pencemaran udara di jakarta diindikasikan oleh konsentrasi gas pencemar NO2 yang dikeluarkan kendaraan bermotor. Polusi udara di Jakarta, 80% disebabkan oleh emisi gas buang kendaraan. Biaya yang dikeluarkan untuk kesehatan uang diakibatkan oleh polusi udara di Jakarta mencapai Rp. 100-450 juta per tahun. Study on Air Quality in Jakarta Indonesia (ADB, 2002) menunjukkan bahwa partikel Nox, CO dan THC merupakan masalah serius pada hampir seluruh wilayah udara Jakarta. Persoalan kemacetan tidak hanya dihadapi oleh megapolitan Jakarta, tetapi oleh kota metropolitan dan kota besar seperti Bandung dan Yogyakarta. Biaya kemacetan di kota Bandung mencapai Rp. 2-3 triliun per tahun (Tamin, Pikiran Rakyat, 2006). Disamping itu, munculnya penyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) menjadikan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan penduduk meningkat. Masalah kemacetan juga menyebabkan terganggunya distribusi barang dan hambatan mobilitas bisnis. Dengan menggunakan nilai kerugian diatas, dan mengakumulasikan total kerugian berdasarkan atas jumlah kota di Indonesia, yaitu 1 kota megapolitan (Jakarta), 5 kota metropolitan (Bandung, Surabaya, Medan, Makassar dan Semarang) dan 20 kota besar, maka kerugian yang diderita kota-kota Indonesia akibat kemacetan sebesar Rp. 26,5 triliun per tahun. Jumlah kerugian ini, merupakan 3 kali besar pinjaman pemerintah Indonesia ke Bank Dunia, yang mencapai US$ 0,9 miliar (atau sekitar Rp.9 triliun). Jika dibandingkan besar anggaran sektor transportasi (Dephub) sebesar Rp 5 triliun, dan sektor jalan raya (Dep.PU) yang mencapai Rp. 5 triliun, maka total anggaran tersebut hanya merupakan sepertiga dari biaya kemacetan yang terjadi.
1.2 Visi TDM Travel Demand Management (TDM) sebagai bagian Sustainable Transport memiliki VISI untuk mengatasi kemacetan dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Tujuan TDM adalah “.. to reduce the number of vehicles using the road system while providing a wide variety of mobility options to those who wish to travel..” (Comsis, 1994). Atau dengan perkataan lain, TDM berusaha untuk mengurangi kendaraan yang menggunakan sistem jaringan jalan dengan memberikan berbagai pilihan mobilitas. TDM juga didefinisikan sebagai “measures to reduce transport demand, hence the induces movement under the bearing capacity of social, environment and operational” (Ohta, 1998). Menurut Ohta, TDM adalah alat untuk mengurangi kebutuhan perjalanan sehingga perjalanan yang dilakukan masih dalam batas-batas lingkungan dan operasional. Perubahan paradigma transportasi perkotaan dapat dijelaskan dalam skema berikut, dengan membandingkan pendekatan konvensional dan TDM, (Gambar 1).
Halaman 3
Batas Lingkungan
PT1
KT1 KT0
KT1
PT2 KT2
PT0
PENDEKATAN KONVENSIONAL
PT0
PENDEKATAN MKT
Sumber: Ohta dalam Tamin (2000)
Gambar 1. Pendekatan Konvensional (kiri) and TDM (kanan) Keterangan:
KT0 PT0 KT1 PT1 KT2 PT2
= kebutuhan transportasi pada situasi ideal = prasarana transportasi pada situasi ideal = kebutuhan transportasi pada situasi saat ini = prasarana transportasi pada situasi sata ini = kebutuhan transportasi dengan TDM = prasarana transportasi dengan TDM
Institute of Transportation Engineering (ITE) berpendapat bahwa strategi untuk mengelola kebutuhan transportasi menjadi lebih penting dan mendesak daripada strategi untuk meningkatkan kapasitas prasarana jalan. “Strategy to manage demand are now more critical to better transportation operations and system performance than strategies to increase capacity (supply) of facilities. The liability to easily and quickly add new infrastructure coupled with the growth in passenger and freight travel have led to the need for transportation system managers and operators to pay more attention to managing demands”. (ITE Journal, 2002). Dalam melakukan proses implementasi TDM, dikembangkan berbagai strategi yang berlaku spesifik untuk keadaan transportasi perkotaan melalui empat buah strategi besar: 1. Pergeseran Waktu (Time Shift), untuk tujuan yang sama. Pergeseran waktu didorong oleh beban jaringan jalan yang sangat berat karena memikul perjalanan pada waktu yang sama. Upaya pergeseran waktu perjalanan mengakibatkan puncak arus perjalanan menjadi lebih kecil ( flat). 2. Pergeseran Rute (Route Shift), untuk waktu perjalanan yang sama. Pergeseran rute didorong oleh beban jaringan jalan tertentu yang menjadi pilihan banyak pelaku perjalanan, sebagai jarak terpendek (shortest path ). Upaya pergeseran rute akan mengurangi beban volume kendaraan dan memperkecil V/C ratio. 3. Pergeseran Moda (Mode Shift), untuk lokasi dan waktu perjalanan yang sama. Pergeseran moda didorong oleh perlunya peningkatan peran moda dengan kapasitas besar untuk mengurangi pemborosan penggunaan ruang jalan.
Halaman 4
4. Pergeseran Lokasi (Location Shift), untuk lokasi, waktu dan moda perjalanan yang sama. Pergeseran lokasi didorong untuk menyebarkan konsentrasi perjalanan pada wilayah sempit dengan jaringan jalan yang pelayanannya terbatas.
2. Identifikasi Potensi TDM di Indonesia Kota-kota di Indonesia sudah melakukan beberapa strategi TDM, walupun skala dan distribusi besarannya berbeda-beda. Berikut diuraikan aplikasi TDM yang sudah dilakukan, kendala yang dihadapi serta potensi pemanfaatan TDM dalam skala kota yang lebih besar dan terarah. 2.1 Aplikasi TDM yang Sudah Diterapkan Komponen tindakan dalam lingkup TDM yang dapat dilakukan meliputi tiga hal yaitu (a) kebijakan/ regulasi/ tindakan yang bersifat ekonomi, (b) tindakan yang bersifat fisik, (c) tindakan yang bersifat disain dan (d) tindakan pendukung. A. Kebijakan/ Regulasi/ Tindakan bersifat Ekonomi
KEBIJAKAN/ REGULASI/ TINDAKAN BERSIFAT EKONOMI
PUSH
KOTA JAKARTA
JAKARTA JAKARTA
PEMBATASAN AKSES KENDARAAN PRIBADI 1. Road Pricing 2.
Congestion Pricing
3. 4. 5.
Pajak Penjualan/ Impor Biaya Registrasi Kendaraan/ Pajak Jalan Raya Sistem Kuota Kendaraan
6.
Parking Pricing
PULL
PERBAIKAN PELAYANAN ANGKUTAN UMUM 1. Integrasi Sistem dan Struktur Tarif 2. Jaringan Prioritas Angkutan Umum berbasis Koridor INSENTIF UNTUK KOMUTER 1. Parking spot cashout 2. 3.
Pengurangan pajak bagi pengguna transit pass Pengurangan pajak bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda
7. Manajemen Parkir 8. Pembatasan Nomor Kendaraan 9. Zona Emisi Rendah 10. Zona kecepatan 20 km/jam PENGALAMAN IMPLEMENTASI DI KOTA-KOTA DI INDONESIA JENIS TINDAKAN JENIS TINDAKAN a. Penerapan Pembatasan Keterisian a. Pemberlakuan tarif lanjutan Penumpang “3 in 1” sejak tahun bagi operasional BRT di 1992 mulai 06.30-10.00. seluruh koridor Jakarta. Diperpanjang untuk waktu sore 16.00-19.00 sejak operasional busway koridor 1, tahun 2004. b. Pemberlakukan tarif feeder BRT sebagai satu kesatuan dengan BRT b. Car Free Day pada hari-hari libur c. Operasional Bus Sekolah tiap pekan terakhir di koridor dengan tarif gratis bagi siswa padat Jl. Sudirman. SMP dan SMA
Halaman 5
JAKARTA
c.
SELURUH WILAYAH INDONESIA
e.
SELURUH WILAYAH INDONESIA
f.
Pemeriksaan dan perawatan (I&M) untuk kendaraan pribadi dan kendaraan umum secara langsung dengan program Langit Biru oleh Swiss Contact. Penerapan Pajak Kendaraan Bermotor Progresif dalam UU PDRD, dimana pajak lebih tinggi dikenakan pada kepemilikan jumlah kendaraan yang lebih besar dari 1, dengan besaran 2-10% untuk kendaraan kedua, dan seterusnya. Pengenaan pajak impor kendaraan yang tinggi, termasuk PPN, PPh, PPNBM, sehingga kendaraan impor harganya bisa mencapai 200% dari harga jual di tempat produsen.
d.
Penggunaan bahan bakar hemat polusi udara dengan BBG dan CNG untuk taksi dan busway
B. Tindakan Bersifat Fisik
TINDAKAN YANG BERSIFAT FISIK/ TEKNIS
PUSH
PENGURANGAN MOBILITAS KENDARAAN PRIBADI a. Pengurangan jumlah ketersediaan ruang parkir b. Traffic Cells c. Traffic Calming REALOKASI RUANG JALAN a. Menghubungkan wilayah yang belum terhubungkan KAWASAN PEMBATASAN LALU LINTAS a. Kawasan khusus pejalan kaki
PULL
PERBAIKAN KUALITAS PELAYANAN ANGKUTAN UMUM a. BRT b. Bus lane c. Bus Priority d. LRT dan KA Komuter PERBAIKAN PRASARANA BUS
Kualitas bus Halte dan Terminal yang nyaman c. Kemudahan menemukan informasi rute dan time table bus dan KA PERBAIKAN PRASARANA SEPEDA a. Trotoar dan penyeberangan yang nyaman b. Zone khusus sepeda PERBAIKAN ALTERNATIF MOBILITAS a. Pelayanan Car Sharing b. Pelayanan untuk Pengguna Sepeda dalam ruang jalan yang sama c. Perbaikan pelayanan taksi, bajaj dan becak. PENGALAMAN IMPLEMENTASI DI KOTA-KOTA
Halaman 6
a. b.
KOTA JAKARTA
KOTA BESAR
JAKARTA
DI INDONESIA JENIS TINDAKAN a. Penggunaan kawasan pejalan kaki pada wilayah Kota Tua sebagai obyek wisata internasional. b. Pembangunan fasilitas fisik berupa speed trap pada jalan-jalan tol, penyempitan geometrik jalan pada ruas dan simpang pada jalan-jalan yang banyak pejalan kaki
a.
b.
c.
JAKARTA
d.
JAKARTA
e.
KOTA-KOTA BESAR
f.
KOTA-KOTA BESAR
g.
KOTA-KOTA BESAR
h.
JAKARTA
i.
JENIS TINDAKAN Pembangunan BRT koridor 1 sampai 8 dimulai tahun 2004. Direncanakan akan dibangun 15 koridor sampai tahun 2015. Pembangunan sistem BRT di kota-kota Semarang, Bogor, Batam, Bandung dan Yogyakarta. Operasional Bus Sekolah dengan tarif gratis bagi siswa SMP dan SMA Penggunaan bahan bakar hemat polusi udara dengan BBG dan CNG untuk taksi dan busway Pembangunan Halte yang nyaman pada BRT disertai dengan tempat pemasukan tiket dengan kartu pembayaran elektronik Pembangunan halte yang nyaman. Pembangunan terminal bus baru yang nyaman, bersih, dipisahkan antara terminal dalam kota dan luar kota. Pembangunan jalur sepeda di Yogyakarta, Palembang dan Balikpapan. Pengoperasiaon bajaj dengan 4 silinder berbahan bakar gas.
C. Tindakan Bersifat Disain/ Plan
TINDAKAN YANG BERSIFAT DISAIN/PLAN
PUSH
KOTA
PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN TERPADU a. Perencanaan Spasial Regional b. Transit Oriented Development
c. Standard Perencanaan Parkir Kendaraan d. Pelengkap Kebijakan transportasi PENGALAMAN IMPLEMENTASI DI KOTA-KOTA DI INDONESIA JENIS TINDAKAN
Halaman 7
PULL
PERENCANAAN KENDARAAN TIDAK BERMOTOR a. Perencanaan jalan untuk sepeda/ pejalan kaki b. Keterhubungan antar struktur jalan c. Peta dan kondisi darurat untuk bantuan
JENIS TINDAKAN
JAKARTA KOTA BESAR JAKARTA
a. Perencanaan TOD pada stasiun KA Gambir, Stasiun Kota dan Stsiun Manggarai
a.
Perencanaan lokasi jalur sepeda
b.
b. Standard perencanaan parkir sesuai aturan tata bangunan.
c.
Perbaikan sistem trotoar dan halte angkutan umum Informasi keselamatan, mobile ambulans
D. Tindakan Pendukung TINDAKAN YANG BERSIFAT PENDUKUNG
PUSH
PENEGAKAN HUKUM a. Fines, tickets and towing
KOTA JAKARTA
KOTA BESAR
PULL
KEPEDULIAN MASYARAKAT a. Sosialisasi pentingnya TDM b.
Even khusus seperti Car Free Day PENGALAMAN IMPLEMENTASI DI KOTA-KOTA DI INDONESIA JENIS TINDAKAN JENIS TINDAKAN a. Sistem penegakan hukum dengan a. Car Free Day pada hari-hari melibatkan pengadilan, menghindari libur tiap akhir bulan korupsi aparat penegak hokum di lapangan b. Sosialisasi TDM di kota-kota Palembang, Semarang, Solo, Yogyakarta dan Bogor
2.2 Kendala Penerapan TDM a. Perencanaan Tidak Komprehensif Sejauh ini di Indonesia sudah mempunyai beberapa pengalaman dalam penerapan TDM, misalkan penerapan jalur khusus bus di berbagai kota besar, penerapan pembatasan jumlah penumpang pada ruas-ruas jalan tertentu three-in-one di Jakarta serta belum lama ini, sejak April 1995, penerapan Pajak Progresif Kenderaan Bermotor di DKI Jakarta dan beberapa propinsi lainnya dengan sasaran untuk mengendalikan jumlah kendaraan. Yang perlu dicatat dari pengalaman di Indonesia ini adalah penerapan cara-cara diatas terkesan kurang direncanakan dengan komprehensif, kurang koordinasi, dan penerapannya agak terburu-buru sebelum persiapannya benar -benar matang dan berbagai efek negatif yang mungkin muncul bisa diidentifikasi (Bangun, 2005). Masyarakat yang tidak siap dan terkejut dengan adanya kebijaksanaan baru dalam transportasi apalagi disertai implementasi yang terlalu sering berubah (dalam penetapan jalur khusus bus). b. Penentuan Kewenangan Belum Jelas Penerapan BRT di berbagai kota besar, antara lain, Bandung, Bogor, Yogyakarta dan Semarang menunjukkan adanya persoalan koordinasi karena adanya tarik menarik dalam penentuan kewenangan. Bahkan kondisi ini terjadi di Jakarta. Contohnya dalam penerapan BRT untuk koridor 9 (Taman Mini- Grogol) dan koridor 10 (Cawang- Priok). Implementasi BRT di 2 koridor tersebut terkendala karena jalan-jalan tersebut merupakan jalan nasional, yang kewenangannya
Halaman 8
adalah dibawah pemerintah pusat, berdasarkan PP 38/2007 tentang Pembagian Tugas Pemerintah Pusat dan Daerah. Tanpa ada persetujuan instansi pusat, operasional koridor 9 dan 10 tidak akan jalan, padahal pembangunan prasarana fisik dan halte sudah selesai dilakukan sejak 2 tahun yang lalu. pada sisi lain, keberadaan BRT yang memerlukan dana cukup besar untuk membangun dan mengoperasikannya, memerlukan anggaran cukup besar yang tidak akan mampu seluruhnya ditangani oleh pemerintah pusat. c. Pengelolaan Keuangan Belum Jelas Rencana penerapan ERP (Electronic Road Pricing) di Jakarta telah dilakukan oleh pemprop DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan dibantu ITDP Indonesia (2006). Persoalan yang menjadi kendala adalah siapa yang berhak mengelola revenue yang akan diperoleh dari kegiatan ERP tersebut. Paradigma yang berkembang adalah dibawah pengaturan pusat melalui Departemen Keuangan dalam bentuk Pajak Kendaraan atau dikelola oleh daerah dalam bentuk Retribusi. d. Tidak Ada Dukungan Perundangan Salah satu alternatif yang mengganjal penerapan Road Pricing adalah tidak adanya legal framework yang mampu menaungi penerapannya pada jalan yang sudah ada. Menurut UU 14/1992 jalan umum adalah untuk semua, dan tidak boleh di “pricing’, kecuali ada jalan baru yang memang didisain untuk itu sebagaimana jalan tol yang sekarang ada. Pada UU 22/2009 sudah ada klausul TDM pada pasal 133 tetapi masih membutuhkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengimplementasikannya. e. Ketidaksiapan Angkutan Umum Pengurangan kendaraan pribadi sebagai sasaran TDM harus diimbangi dengan penyediaan fasilitas angkutan umum yang memadai. Pada saat ini pelayanan angkutan umum, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya menjadi kendala tersendiri. Oleh karena itu pemerintah berusaha menciptakan sistem baru, BRT, pada kota-kota besar sebagai percontohan, tetapi tampaknya kota-kota tersebut belum menunjukkan kinerja BRT yang baik. f.
Social Cost Tinggi Penerapan TDM dianggap akan merugikan salah satu kelompok tertentu. Persepsi beberapa ahli dalam melihat alternative TDM adalah biaya social (social cost) yang tinggi yang akan berdampak besar bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Studi Sitramp (BappenasJICA, 2004) dari hasil Wawancara Rumah Tangga (HVS) yang dilakukan menunjukkan bahwa komposisi penduduk miskin yang tinggal di Jakarta merupakan dominasi para pengguna jalan, sekitar 43,8% merupakan Low Income Group dengan pendapatan dibawah Rp. 1 juta.
g. Kurang Sosialisasi Penerapan TDM membutuhkan sosialisasi agar visi dan misi TDM dapat dimengerti, namun persoalannya sosialisasi sangat kurang, sehingga penetrasi startegi masih sangat terbatas. Proses sosialisasi mencakup dua hal yaitu (a) Persepsi masyarakat tentang faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam memilih moda transportasi dan (b) Ketersediaan moda transportasi dan kesiapannya untuk digunakan menekan penggunaan kendaraan pribadi.
Halaman 9
2.3 Matriks Seleksi TDM Hasil evaluasi kendala TDM kemudian dibandingkan dengan potensi pemecahan masalah berdasarkan pengalaman kota-kota di Indonesia dijelaskan dalam Tabel 3. Tabel 3. Matriks Evaluasi TDM Tindakan TDM Regulasi
Fisik
Disain/Plan
Pendukung
Perencanaan
Kewenangan
Pengelolaan Keuangan
Dukungan Perundangan
YA
Push Pull Push
YA
Angkutan Umum
Social Cost
Sosialisasi
Skor
YA
YA
YA
4
YA
YA
YA
4
YA
1
Pull
YA
Push
YA
YA
YA
Pull
YA
YA
YA
Push Pull
1 YA
YA
5
YA
YA
6
YA
YA
2
YA
YA
2
YA
Hasil matriks evaluasi menunjukkan bahwa tidak semua tindakan TDM memiliki potensi keberhasilan untuk diterapkan di kota-kota di Indonesia. Skor evaluasi menunjukkan semakin besar masalah, semakin tinggi nilainya. Table 3 menggambarkan bahwa tindakan paling memungkinkan untuk dilakukan di Indonesia adalah tindakan yang bersifat fisik. Pilihan pelaksanaan harus didahului dengan Penyusuan Kebijakan TDM sebagai kemauan kuat pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Perundangan (PP) maupun Keputusan Menteri (KM).
2.4 Rekomendasi Penerapan TDM di Indonesia Langkah jangka pendek (Short Term) yang dapat dilakukan untuk menerapkan TDM bagi kota-kota di Indonesia adalah menetapkan struktur pengambil keputusan pelaksana TDM dan menyusun kerangka kebijakan (legal framework) yang menjelaskan hak dan tanggung jawab pelaksanaan TDM. A. PENYUSUNAN KEBIJAKAN TDM Langkah aksi yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam penyusunan kebijakan TDM antara lain adalah: Departemen Perhubungan menyusun Draft Kebijakan Nasional (White Paper) tentang Pedoman TDM dan Petunjuk Penyelenggaraan TDM untuk Perkotaan di Indonesia.
Halaman
10
Pemerintah Daerah menetapkan Draft Kebijakan Perkotaan (City Policy Papers) mencakup strategi secara khusus bagi setiap kota-kota, sesuai Manual White Paper yang disusun pemerintah pusat. Departemen Perhubungan melakukan pembinaan secaar efektif, realistis dan terarah kepada pemerintah daerah. Departemen Perhubungan menyusun upaya Kebijakan/ Regulasi/ Tindakan yang bersifat ekonomi agar kota-kota dapat mudah melakukan akses TDM, baik yang bersifat regulatif, teknis maupun penegakan hukum. Pemerintah pusat memfasilitas daerah dalam bentuk dukungan subsidi bagi pembangunan fasilitas TDM yang berguna untuk meningkatkan perpindahan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum. Pemerintah memberikan reward bagi daerah yang berhasil menurunkan tingkat ketergantungan sistem transportasinya kepada kendaraan pribadi, mengurangi konsumsi bahan bakar dan mengurangi tingkat emisi kendaraan.
B. Pull- PENGEMBANGAN ANGKUTAN UMUM MASSAL - BRT Pengembangan BRT untuk kota-kota besar dan metropolitan dilakukan secara terpadu. Konsep penerapan BRT untuk kota-kota dapat mengacu konsep BRT sebagai “high-quality, customeroriented transit [system] that delivers fast, comfortable and low-cost urban mobility” (IEA, 2002), dimana prosedur impementasi penerapan BRT dengan mengacu kepada rekomendasi Wright (GTZ, 2009). Rincian pengembangan BRT untuk kota-kota di Indonesia dapat dilihat pada Discussion Paper Public Transport. C
Push-PENGURANGAN KETERSEDIAAN RUANG PARKIR Keterbatasan ruang parkir kendaraan pada kawasan pusat kota akan menyebabkan kendaraan yang masuk akan memenuhi seluruh akses ruang parkir, sehingga diperlukan upaya untuk membatasi jumalh dan ketersediaan lokasi parkir. Alternative lain adalah dengan meningkatkan tariff parkir pada jam-jam tertentu.
D
Push- PERBAIKAN PRASARANA PEJALAN KAKI DAN SEPEDA Penyediaan kawasan khusus bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda merupakan upaya untuk mengurangi pemborosan energi, sarana berolah raga, meningkatkan akses angkutan umum melalui penyediaan jalur khusus sepeda. Sedangkan penyediaan fasilitas bagi pejalan kaki merupakan upaya untuk memuliakan pengguna jalan yang berjalan menyusur atau menyebarang jalan.
E
Push- PERBAIKAN PELAYANAN CAR SHARING Penggunaan kendaraan secara bersama-sama perlu didorong agar mencegah keterisian kendaraan tunggal (1 orang) dan 2 (dua orang). Fasilitas untuk Car Sharing perlu dibuat terutama pada kawasan perumahan dan stasiun atau terminal.
F. Sosialisasi TDM Penerapan TDM dimulai dari tahap sosialisasi kebijakan dan strategi agar mempunyai akar pemahaman kepada masyarakat.
Halaman
11