TINJAUAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka a. Masalah Sosial dan Kemiskinan Gillin dan Gillin (2001) mengemukakan bahwa masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial, atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan
pokok
warga
kelompok
sosial
tersebut,
sehingga
menyebabkan ketimpangan sosial. Soekanto (2001) menegaskan bahwa masalah sosial timbul dari kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor-faktor ekonomis, biologis, bio-psikologis, dan kebudayaan. Hal tersebut didasari kenyataan bahwa setiap masyarakat mempunyai norma yang berkaitan dengan kesejahteraan, kebendaan, kesehatan fisik dan mental, serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial. Penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma tersebut merupakan gejala abnormal yang dapat dikatakan sebagai masalah sosial. Ketimpanganketimpangan yang terjadi di masyarakat dapat dianggap sebagai masalah sosial bergantung pada persepsi dan sistem nilai sosial masayarakat tersebut. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya sama antara lain :
kemiskinan, kejahatan,
dis-organisasi keluarga, masalah
generasi muda dalam masyarakat modern, pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat (pelacuran, kenakalan remaja, alkoholisme, homoseksualitas, masalah kependudukan, masalah lingkungan hidup, penyalahgunaan wewenang tata laksana birokrasi). Kemiskinan merupakan salah satu bentuk masalah sosial.
Soekanto
(2001) mengemukakan kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Kemiskinan adalah suatu kondisi kehidupan serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yang mencakup kebutuhan terhadap sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Secara umum ada tiga faktor kritis yang mempengaruhi terjadinya kemiskinan masyarakat tersebut, baik di perkotaan maupun di pedesaan, yaitu (1) semakin cepatnya laju pertumbuhan penduduk, (2) semakin sempitnya kesempatan kerja
yang ada dan terbuka, dan (3) semakin sempitnya lahan pertanian. Chambers (1987) mengemukakan lima “ketidakberuntungan” sebagai kondisi kemiskinan yang dialami kelompok rumah tangga miskin, yaitu (1) keterbatasan pemilikan aset (poor), (2) kondisi fisik yang lemah (physically weak), (3) keterisolasian (isolation), (4) kerentanan (vulnerable), dan (5) ketidakberdayaan (powerless). Chamber (1987) juga mengemukakan bahwa fenomena kemiskinan sebaiknya ditinjau melalui perspekstif yang komprehensif. Fenomena kemiskinan secara umum mengindikasikan perkembangan jumlah penyandang masalah kemiskinan yang semakin meningkat. Kondisi tersebut terjadi pula di Kelurahan Campaka dan harus segera ditangani dengan memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada warga masyarakat miskin dengan langkah penting penanggulangan kemiskinan yang diwujudkan melalui upaya pengembangan masyarakat. Fenomena ketahanan usaha sektor informal dalam menghadapi krisis moneter merupakan hal penting yang perlu dipahami bahwa pengembangan usaha sektor informal bagi warga masyarakat miskin merupakan alternatif penanggulangan kemiskinan.
b. Kesejahteraan Sosial Dunham (1965) menjelaskan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu bidang
usaha
badan/organisasi
kemanusiaan dan
yang
berbagai
luas
pelayanan
dan dan
mencakup
jenis-jenis
kegiatan-kegiatan
yang
terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial melalui pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di dalam beberapa bidang seperti kehidupan keluarga dan anak, kesehatan, penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan, dan hubunganhubungan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial (Dunham, 1965) mempunyai perhatian utama terhadap individu-individu, kelompok-kelompok, komunitaskomunitas, dan kesatuan-kesatuan penduduk yang lebih luas. Pelayanan ini mencakup perawatan, penyembuhan dan pencegahan. Pengembangan usaha sektor informal bagi warga masyarakat miskin adalah salah satu alternatif penanggulangan kemiskinan. Pengembangan usaha sektor informal tersebut harus diarahkan sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi
dengan
tujuan
meningkatkan
kesejahteraan
sosial
melalui
pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di dalam beberapa bidang seperti kehidupan keluarga dan anak, kesehatan,
penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan, dan hubunganhubungan sosial. Pengembangan usaha sektor informal tersebut berupaya mewujudkan keberdayaan usaha sektor informal. Pemberdayaan
usaha
sektor
informal
berupaya
mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dengan mempertautkan orang-orang dengan sumbersumber,
kesempatan-kesempatan,
kapasitas
mereka
sehingga
pengetahuan
dapat
dan
menentukan
keterampilan
masa
untuk
depannya
dan
berpartisipasi dalam kehidupan komunitas mereka.
c. Pengembangan Masyarakat dan Pemberdayaan Pengembangan masyarakat adalah suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif. Pengembangan
masyarakat
bertujuan
memberdayakan
masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat mempunyai arti mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa sehingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya. Masyarakat yang berdaya (Sumardjo dan Saharudin, 2004) memiliki ciri-ciri (1) mampu memahami diri dan potensinya, (2) mampu merencanakan (pengantisipasian kondisi perubahan di masa depan) dan mengarahkan dirinya sendiri, (3) memiliki kekuatan berunding, bekerja sama saling
menguntungkan
dengan
bargaining
power
yang
memadai,
(4)
bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Di era globalisasi (Santoso, 2004), ciri-ciri masyarakat ini dapat dilihat memiliki etos kerja yang tinggi, prestatif, peka dan tanggap, inovatif, relijius, fleksibel, dan jati diri dengan swa-kendali. Ciri-ciri masyarakat seperti itu sudah seharusnya dimiliki masyarakat, namun bila belum memiliki ciri-ciri tersebut merupakan tantangan bagi pengembang masyarakat untuk mewujudkannya. Pemberdayaan mempertautkan
orang
merupakan dengan
sarana
untuk
sumber-sumber,
memberikan
atau
kesempatan-kesempatan,
pengetahuan dan keterampilan untuk kapasitas mereka sehingga dapat menentukan masa depannya dan berpartisipasi dalam kehidupan komunitas mereka (Ife, 1995 : 182). Ife (1995 : 183) mengemukakan pemberdayaan lebih lanjut bahwa pemberdayaan ditujukan untuk membawa masyarakat yang tidak beruntung atau tidak berdaya kepada masyarakat yang lebih adil dan memperkuat anggota komunitas lokal sebagai komunitas serta berupaya mewujudkan komunitas dengan berbasis yang efektif. Masyarakat merupakan
kesatuan utuh yang harus dilibatkan dalam proses pemberdayaan masyarakat dan diberikan semangat untuk melakukan pengendalian pada kegiatan mereka sendiri dan melalui program ini dapat lebih mampu mengendalikan atas kehidupan mereka dan komunitasnya. Masyarakat adalah bagian dari proses pemberdayaan dan pemberdayaan merupakan kebutuhan mereka sendiri, sehingga suatu proses pemberdayaan membutuhkan waktu, energi, komitmen dan memerlukan perubahan struktural yang mungkin banyak hambatan dan rintangan. Dharmawan (2004) mendefinisikan makna pemberdayaan sebagai “a process of having enough energy enabling people to expand their capabilities, to have greater bargaining power, to make their own decisions, and to more easily acces to a source of better living” (suatu proses pencapaian kecukupan energi yang memungkinkan orang-orang untuk mengembangkan kapabilitasnya, untuk memiliki
kekuatan
rebut-tawar
yang
lebih
besar,
untuk
menentukan
keputusannya sendiri, dan untuk mengakses sumber kehidupan yang lebih baik secara lebih mudah). Dengan pengertian ini dapat dikemukakan bahwa pemberdayaan merupakan peningkatan kemampuan masyarakat, pemberian kekuasaan untuk menentukan keputusan sendiri dan penguatan posisi rebut tawar masyarakat dalam berbagai kepentingan dan kebutuhan mengakses sumber daya yang diperlukan. Pemberdayaan
dilaksanakan
untuk
mengantisipasi
situasi
ketidakberdayaan yang dialami kelayan (client) baik secara perorangan, kelompok maupun komunitas. Penjelasan mengenai ketidakberdayaan secara lebih
lengkap
disampaikan
ketidakberuntungan
oleh
(disadvantage).
Ife
yang Ife
mengacu
(1995
:
56)
kepada
konsep
mengemukakan
empowerment aims to increase the power of disadvantage (pemberdayaan dilakukan
untuk
memberikan
atau
meningkatkan
kemampuan
kepada
masyarakat yang lemah atau tidak beruntung). Ife membagi kelompok-kelompok yang tidak beruntung tersebut ke dalam tiga kelompok sebagai berikut : 1.
Kelompok lemah secara struktur primer (primary structural disadvantaged groups), yaitu mereka yang tidak beruntung akibat tekanan-tekanan ketidakberuntungan struktural yang terkait dengan kelas, gender dan etnis yang mencakup orang miskin, penganggur, wanita, masyarakat lokal dan kelompok minoritas.
2.
Kelompok lemah khusus (others disadvantaged groups) antara lain orang jompo, anak dan remaja, penyandang cacat (fisik, mental), gay, lesbian, dan komunitas adat terpencil. Kelompok ini bukan akibat dari tekanan ketidakberuntungan struktur, namun perlu dipertimbangkan dalam program pemberdayaan komunitas.
3.
Kelompok lemah secara personal (the personally disadvantaged groups) adalah kelompok masyarakat yang menjadi tidak beruntung sebagai hasil dari siklus personal yang meliputi mereka yang mengalami masalah pribadi, keluarga, kesedihan dan krisis identitas. Kelompok ini membutuhkan akses terhadap lebih banyak sumber untuk memecahkan masalah yang dihadapi sehingga perlu memperoleh pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan
ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial yang bertujuan untuk memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan (Kartasasmita, 1996).
Pemberdayaan
usaha
sektor
informal
bertujuan
menggali
dan
mengembangkan potensi ekonomi rakyat secara partisipatif untuk menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis, sehingga potensi yang dimiliki rakyat miskin atau masyarakat golongan marjinal akan meningkat bukan hanya sisi ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya. Pemberdayaan
usaha
sektor
informal
merupakan
perwujudan
pengembangan ekonomi lokal yang mendayagunakan sumber daya lokal yang ada pada suatu masyarakat, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya kelembagaan. Berdasarkan pemikiran tersebut dapat dikatakan bahwa warga masyarakat miskin bukannya tidak memiliki apa-apa, sebetulnya mereka mempunyai potensi berupa motivasi, modal, dan pengalaman namun belum dapat dioptimalkan. Oleh karena itu mereka dihimpun dalam kelompok dan difasilitasi upaya-upaya mereka untuk mampu mencapai peningkatan taraf kesejahteraan mereka. Pemberdayaan usaha sektor informal adalah salah satu solusi yang penulis ajukan sebagai upaya pengembangan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan dan pengangguran di kelurahan Campaka, dan diharapkan
dapat
pengembangan mewujudkan Campaka.
menunjang
masyarakat
kesejahteraan
Pemberdayaan
dari sosial usaha
pengimplementasian pemerintah masyarakat, sektor
maupun
program-program pihak
khususnya
informal
ini
di
lain
untuk
Kelurahan
diharapkan
dapat
memperkuat
keberlangsungan
dan
kesinambungan
program-program
pengembangan masyarakat yang telah ada di Kelurahan Campaka.
d. Usaha Sektor Informal Usaha Sektor Informal didefinisikan sebagai suatu unit berskala kecil yang berkecimpung dalam produksi dan pendistribusian barang-barang dan jasa, yang lebih bertujuan untuk menghasilkan peluang kerja daripada peningkatan keuntungan usaha (Lubell, 1991). Usaha Sektor Informal dapat dikelompokkan berdasarkan jenis usahanya, misalnya kelompok pedagang keliling, usaha warungan, dan usaha-usaha jasa lainnya. Merton (1968) berdasarkan konsep sosiologis mengemukakan definisi kelompok dimana kelompok adalah sejumlah orang yang berinteraksi satu sama lain berdasarkan pola-pola yang terbentuk didasarkan pada relasi sosial diantara mereka. Shaw (1981 : 454) menyatakan kelompok adalah dua orang atau lebih yang berinteraksi satu sama lain dalam suatu cara/kebiasaan seperti itu dimana masing-masing orang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orang lain. Hal yang harus diperhatikan dalam upaya pemberdayaan usaha sektor informal adalah pemahaman mengenai karakteristik usaha sektor informal. Karakteristik usaha sektor informal menurut Magdalena (1991) antara lain :
Kegiatan usahanya tidak terorganisir secara baik, karena unit usaha muncul tanpa menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal.
Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha.
Pola kegiatan usaha tidak teratur dengan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja.
Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai di sektor ini.
Unit usaha berganti-ganti dari satu sub sektor ke sub sektor yang lain.
Teknologi yang digunakan masih tradisional.
Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasinya juga kecil.
Untuk menjalankan usaha tidak memerlukan pendidikan formal, sebagian besar keterampilan usaha diperoleh dari pengalaman sambil bekerja.
Pada umumnya unit usaha termasuk ‘one man enterprise’ dan kalaupun pekerja biasanya berasal dari keluarga sendiri.
Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
Jika memakai patokan dari Madgalena di atas, maka bentuk unit usaha sektor informal yang banyak dijumpai di Indonesia meliputi usaha-usaha di bidang pertanian, misalnya buruh tani, peternak kecil, pedagang eceran (pemilik warung), pedagang kaki lima, pemilik bengkel sepeda, pemulung dan penarik becak di daerah perkotaan. sebagai
suatu
unit
usaha
Usaha sektor informal lebih dapat dimengerti yang
berdasarkan
skala
ekonomis
tidak
memperhitungkan adanya kelayakan usaha, seperti permodalan, pembukuan, keterampilan, pemasaran, perencanaan usaha. Selain itu keberadaan beberapa sub sektor sering dianggap ilegal oleh pemerintah dan oleh karena itu tidak mrendapatkan perlindungan dalam bentuk produk hukum. Kenyataan kondisi usaha sektor informal sebagaimana digambarkan Madgalena (1991) memberikan gambaran ketidakberdayaan usaha sektor informal. Pemberdayaan usaha sektor informal berupaya memperkuat keberadaan kelompok sektor ini dalam mengembangkan
usahanya
untuk
meningkatkan
taraf
kesejahteraan
masyarakat, dan mampu mengakses berbagai sumber daya yang diperlukan dan membuka peluang kerja bagi masyarakat. De Soto (1991) membahas sektor informal kedalam tiga kategori umum sektor informal yaitu pemukiman informal, perdagangan informal dan angkutan informal. Pemukiman informal adalah pemukiman yang dibangun oleh masyarakat yang terpaksa tidak mengikuti aturan-aturan hukum pendirian bangunan. Pengangkutan informal adalah berbagai usaha di bidang tansportasi secara informal yang bergerak di luar hukum. Perdagangan informal adalah berbagai bentuk perdagangan dengan jenis usaha tidak terkait kegiatan kriminal namun melaksanakan kegiatan ekonomi di luar hukum. Pengkajian akan difokuskan terhadap pemberdayaan usaha sektor informal di bidang perdagangan informal. Perdagangan informal tersebut mencakup usaha-usaha seperti perdagangan jalanan/pedagang kaki lima, pasar informal, warung, kios, dan pedagang keliling. Pemberdayaan ditujukan kepada para pelaku usaha sektor informal di bidang perdagangan informal. Pemberdayaan usaha sektor informal diharapkan dapat mengatasi permasalahan usaha sektor informal. Permasalahan usaha sektor informal dapat ditinjau dari berbagai aspek (Yustika, 2000), antara lain :
Secara ideologis, wacana transformasi masih belum banyak yang mampu diserap dan dipahami oleh benak mereka, bahwa terhambatnya proses kemajuan usaha mereka bukan saja diakibatkan oleh keterbatasan modal dan rendahnya keterampilan, melainkan juga adanya kebijakan kebijakan pemerintah (pusat /daerah) yang memang kurang menghendaki keberadaan mereka.
Secara organisasi, pelaku usaha sektor informal belum memiliki manajemen usaha yang dapat mengefisienkan (ke dalam) usaha mereka dan mempunyai daya tawar (ke luar).
Secara ekonomi, faktor keterbatasan modal dan akses terhadap pasar merupakan hambatan berat yang belum dapat tertanggulangi selama ini.
Secara jejaring (networking), ketidakmampuan pelaku usaha sektor informal mengorganisir dirinya dalam suatu kelompok atau komunitas atau pun membuka jaringan ke luar.
Secara advokasi, selama ini belum banyak terdapat upaya advokasi yang tumbuh dari dalam pelaku usaha sektor informal sendiri, dimana kebanyakan advokasi yang terjadi adalah karena adanya pihak luar yang merasa peduli dengan nasib pelaku usaha sektor informal, seperti mahasiswa, intelektual, dan LSM.
Realitas
tersebut
menggambarkan
betapa
untuk
memberdayakan
(empowering) pelaku usaha sektor informal diperlukan upaya menyeluruh meliputi tersedianya kebijakan yang memihak keberadaannya, pengelolaan proporsi aktivitas ekonomi dengan pelaku ekonomi lainnya, pengorganisasian sebagai sarana penguatan politik, dan metoda pembinaan yang lebih partisipatif. Seluruh upaya tersebut merupakan kesatuan utuh yang saat ini perlu disosialiasikan kepada pelaku usaha sektor informal sendiri dan pengambil kebijakan untuk membangun atau menyemangati kehidupan ekonominya, sehingga tidak akan ada lagi pemikiran pada pengambil kebijakan yang memandang keberadaan usaha sektor informal sebagai entitas ekonomi yang hanya bisa menyumbangkan ketidaktertiban dan kekumuhan, melainkan harus dilihat
sebagai
komunitas
yang
potensial
untuk
membangun
jaringan
perekonomian rakyat. Pendayagunaan potensi usaha sektor informal sebagai dasar jaringan perekonomian rakyat menjadi salah satu alasan mengapa pemberdayaan usaha sektor informal penting dilakukan. Hal yang perlu
diperhatikan dalam pemberdayaan usaha sektor informal adalah penerapan pengembangan
kelembagaan
dan
modal
sosial
dalam
langkah-langkah
pemecahan masalah usaha sektor informal. Pengembangan kelembagaan dan modal sosial merupakan suatu instrumen yang dapat digunakan untuk memberdayakan masyarakat, khususnya usaha sektor informal untuk dapat menanggulangi kemiskinan yang dialami warga masyarakat miskin dengan memanfaatkan potensi yang mereka miliki. Potensi usaha sektor informal telah membuktikan
kehandalannya
dalam
menunjang
perekonomian
negara,
perekonomian rakyat, dan menampung luapan tenaga kerja.
Kerangka Pemikiran Kajian ini berawal dari adanya kenyataan di kelurahan Campaka masih terdapat warga masyarakat yang berada dalam kategori Keluarga Sejahtera 1 (miskin) sebagai suatu fakta kemiskinan yang perlu ditanggulangi. Programprogram penanggulangan kemiskinan yang telah diberikan kepada masyarakat kelurahan Campaka belum mencapai hasil dan tujuan yang diharapkan. Penulis mencoba untuk menggali langkah-langkah yang diperlukan untuk menunjang pencapaian keberhasilan suatu program pengembangan masyarakat. Kajian pengembangan
masyarakat
yang
dikaji
oleh
penulis
ditujukan
pada
Pemberdayaan Usaha Sektor Informal di Kelurahan Campaka Kecamatan Andir. Kajian tentang Pemberdayaan Usaha Sektor Informal tersebut didasarkan pada kerangka pemikiran tentang ketidakberdayaan pelaku usaha sektor informal di Kelurahan Campaka Kecamatan Andir sebagaimana digambarkan pada gambar di bawah ini :
PERMASALAHAN USAHA SEKTOR INFORMAL
KETIDAKBERDAYAAN USAHA SEKTOR INFORMAL CARA USAHA
FAKTOR INTERNAL • Sikap kewirausahaan • Modal • Tingkat Keterampilan menggunakan teknologi usaha FAKTOR EKSTERNAL • Mekanisme sosialisasi bantuan dari pemilik bantuan • Fluktuasi harga bahan baku
JENIS PRODUK
INDIKATOR : • Pelaku usaha sektor informal belum mampu mengakses sumber dayasumber daya yang diperlukan untuk mengembangkan usahanya. • Pelaku usaha sektor informal belum mampu meningkatkan pendapatan secara mandiri dan berkesinambungan. • Pelaku usaha sektor informal belum mampu meningkatkan taraf kesejahteraannya.
Keterangan Gambar : = mempengaruhi
Gambar 1.
Kerangka Pemikiran Ketidakberdayaan Usaha Sektor Informal Di Kelurahan Campaka Kecamatan Andir Kota Bandung
Kerangka pemikiran pada Gambar 1 memberikan gambaran bahwa ketidakberdayaan
usaha
sektor
informal
berkaitan
erat
dengan
faktor
permasalahan internal dan eksternal. Permasalahan internal yang dialami usaha sektor informal meliputi sikap kewirausahaan (sikap dalam mengambil resiko, sikap terhadap waktu, sikap terhadap kerja keras, sikap menghitung hasil usaha, tangung jawab individu terhadap keberlangsungan usahanya, dan sikap inovatif) pelaku usaha sektor informal, keterbatasan modal dan tingkat keterampilan menggunakan teknologi usaha. Permasalahan eksternal yang dialami usaha sektor informal meliputi mekanisme sosial penyampaian informasi bantuan usaha dari pemilik bantuan usaha (pemerintah dan swasta) dan fluktuasi harga bahan baku. Permasalahan internal dan eksternal tersebut mempengaruhi cara usaha dan jenis produk yang dihasilkannya. Contoh ilustrasi kondisi seperti itu adalah pelaku usaha sektor informal misalnya memiliki modal hanya berjumlah Rp. 300.000,- sehingga hanya cukup untuk membuka usaha berjualan nasi kuning di pinggir
jalan
dan
tidak
mungkin
baginya
membuka
usaha
warungan.
Permasalahan internal dan eksternal yang dialami pelaku usaha sektor informal mengakibatkan ketidakberdayaan usaha sektor informal. Ketidakberdayaan pelaku usaha sektor informal mempunyai ciri-ciri 1) Pelaku usaha sektor informal belum mampu mengakses sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk mengembangkan usahanya, 2) Pelaku usaha sektor informal belum mampu meningkatkan pendapatan secara mandiri dan berkesinambungan, 3) Pelaku usaha sektor informal belum mampu meningkatkan taraf kesejahteraannya. Pemberdayaan usaha sektor informal dilakukan melalui pemecahan masalah internal dan eksternal mengupayakan keberdayaan pelaku usaha sektor informal. Keberdayaan usaha sektor informal dapat diketahui melalui indikator kualitatif keberdayaan usaha sektor informal yaitu : 1.
Pelaku usaha sektor informal mampu mengakses sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk mengembangkan usahanya.
2.
Pelaku usaha sektor informal memperoleh peningkatan pendapatan secara mandiri dan berkesinambungan.
3.
Pelaku
usaha
sektor
informal
mampu
meningkatkan
taraf
kesejahteraannya. Selain itu, keberdayaan usaha sektor informal dapat ditinjau melalui indikator kuantitatif yaitu :
1.
50 % pelaku usaha sektor informal dapat melakukan pembentukan kelompok usaha di setiap RT di lingkungan Kelurahan Campaka dalam jangka waktu tiga bulan.
2.
100 % pelaku usaha sektor informal dapat membentuk jaringan usaha sektor informal dengan memberikan dua orang perwakilan pelaku usaha sektor informal setiap RT di tingkat RW dalam jangka waktu satu bulan.
3.
100 % pelaku usaha sektor informal dapat membentuk jaringan usaha sektor informal dengan memberikan dua orang perwakilan pelaku usaha sektor informal setiap RW di tingkat Kelurahan dalam jangka waktu satu bulan.
4.
50 % pelaku usaha mampu mengakses sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk mengembangkan usahanya.
5.
50
%
pelaku
usaha
sektor
informal
dapat
meningkatkan
taraf
pendapatannya.
Keberdayaan usaha sektor informal tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan suatu strategi utama seperti : 1.
Peningkatan kualitas dan kapasitas SDM pelaku usaha sektor informal.
2.
Peningkatan taraf pendapatan pelaku usaha sektor informal.
3.
Peningkatan
kemampuan
pelaku
usaha
sektor
informal
dalam
memanfaatkan teknologi. 4.
Peningkatan kemampuan pelaku usaha sektor informal dalam mengakses berbagai informasi.
5.
Peningkatan kemampuan kewirausahaan pelaku usaha sektor informal.
6.
Penataan kembali peraturan atau perundang-undangan mengenai usaha sektor informal dilandasi keberpihakan terhadap usaha sektor informal dan keteraturan tata kota.