TINJAUAN PUSTAKA Teori Belajar Menurut Soemanto (2006) teori belajar berkembang sejalan dengan perkembangan teori psikologi pendidikan. Tiga aliran psikologi pendidikan yang mendasari teori belajar yaitu : (1) Teori belajar dari psikologi behavioristik Tokoh-tokoh aliran ini sering disebut contemporary behaviorists atau S-R psychologists. Menurut teori ini tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terhadap jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya. Pandangan ini mempercayai bahwa tingkah laku murid-murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan sekarang, dan bahwa segenap tingkah laku adalah merupakan hasil belajar. Jadi kita dapat menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut. Aliran behavioristik
dipelopori
oleh
Thorndike.
Selanjutnya
tokoh-tokoh
yang
mengembangkan aliran behavioristik ialah Pavlov, Watson, Skinner, Wabon, dan Ghuthrie. (2) Teori belajar dari psikologi kognitif Menurut teori ini, tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisis, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Kaum kognitis berpandangan bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung pada insight terhadap hubunganhubungan yang ada di dalam suatu situasi. Mereka memberi tekanan pada organisasi pengamatan atas stimuli di dalam lingkungan serta pada faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan. Tokoh pelopor aliran ini ialah Mex Werheimer, yang dikenal dengan teori belajar Gestalt. Tokoh selanjutnya pada aliran kognitif ialah Kurt Koffka, Wolfgang Kohler, teori belajar Cognitive-Field Lewin, teori belajar cognitive development Piaget, dan Jerome Bruner dengan Discovery Learning.
7
(3) Teori belajar dari psikologi humanistik Perhatian psikologi humanistik yang terutama pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Tujuan utama pada pendidik ialah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada mereka. Psikologi humanistik ini timbul pada akhir tahun 1940-an dan masuk dalam dunia pendidikan pada tahun 1960-1970-an. Beberapa tokoh humanistik antara lain Comb, Maslow dan Rogers. Penggolongan teori belajar yang lain menurut Tan et. al. (2001), selain teori belajar kognitif dan behavior, dikenal teori belajar neo-behavior atau sering juga disebut neo-kognitif. Teori ini mempercayai bahwa perubahan perilaku dapat diamati dan dipengaruhi oleh proses internal. Salah satu teori yang termasuk golongan ini ialah teori belajar sosial yang dicetuskan oleh Albert Bandura. Menurut teori belajar sosial, tingkah laku manusia dari segi interaksi timbal-balik berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkah laku dan faktor lingkungan. Manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan secara timbal balik (Bandura, 1977). Selanjutnya dalam perkembangan teori belajar, muncul teori yang menjelaskan bahwa peserta didik merupakan pelaku yang aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya. Rogers (1969) sebagai pencetus teori ini, melakukan percobaan belajar yang non-direktif dengan menggunakan prinsip “self determination” dan “self-directions” dengan pendekatan “learner centered”. Menurut Rogers, pembelajaran memberikan kebebasan yang luas kepada peserta didik untuk menentukan apa yang ingin ia pelajari sesuai dengan sumber-sumber belajar yang tersedia atau yang dapat disediakan. Menurut teori ini, perilaku merupakan perwujudan diri peserta didik melalui upaya mereka dalam mengembangkan dirinya. Adanya perkembangan diri peserta didik memberi kemungkinan kepada mereka untuk meningkatkan kemandirian dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
8
Teori lainnya berkaitan dengan permasalahan sosial, Freire (1984) mengungkapkan
bahwa
pembelajaran
perlu
menggunakan
konsep
“conscientization” dan konsep “praxis”. “Conscientization” menekankan pengembangan kesadaran diri peserta didik untuk memahami lingkungannya melalui pendidikan “membebaskan”, yaitu pendidikan yang memperlakukan peserta didik sebagai subyek yang aktif. “Praxis” menekankan cara berfikir reflektif sebagai kunci keberhasilan dalam belajar dan merupakan fungsi manusia sebagai subyek yang memiliki kemampuan menelaah dengan kritis, berinteraksi, dan mengubah dunia kehidupannya. Freire mengemukakan bahwa proses penyadaran dapat dilakukan dengan pendidikan yang humanis dan dialogis (interaktif). Freire mendobrak pendidikan sistem gaya bank dan mengubahnya menjadi pendidikan ”hadap masalah” (problem-posing education), dimana guru dan murid dijadikan sebagai subjek dan menjadikan
dialog
sebagai
unsur
terpenting
dalam
pendidikan.
Freire
mengemukakan bahwa pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yaitu pengajar dan pelajar sebagai subyek yang sadar (cognitive), dan realitas dunia sebagai obyek yang tersadari (cognizable). Metode pendidikan yang di kemukakan oleh Freire mendasarkan diri pada dialog, yang merupakan hubungan horizontal antar pribadi. Selain teori belajar di atas, dikenal juga teori belajar orang dewasa (andragogi), Knowles (1980) mendefinisikan andragogi sebagai seni dan ilmu dalam membantu peserta didik (orang dewasa) untuk belajar. Teori andragogi yang pertama dikembangkan oleh Knowles, didukung oleh para pakar pendidikan lainnya, seperti Darkenwald dan Meriam, Patricia Gross dan Jarvis. Inti teori andragogi adalah teknologi keterlibatan diri peserta didik. Artinya bahwa kunci keberhasilan dalam proses pembelajaran peserta didik terletak pada keterlibatan diri mereka dalam proses pembelajaran. Asumsi yang dijadikan landasan dalam teori andragogi adalah : (1) orang dewasa mempunyai konsep diri; (2) orang dewasa memiliki akumulasi pengalaman; (3) orang dewasa mempunyai kesiapan untuk belajar; (4) orang dewasa berharap dapat segera menerapkan perolehan belajarnya; dan (5) orang dewasa memiliki kemampuan untuk belajar.
9
Belajar bagi orang dewasa mengarah pada proses pemenuhan kebutuhan belajar dan pencapaian tujuan belajar. Orang dewasa merasakan adanya kebutuhan untuk belajar dan melihat tujuan pribadinya akan tercapai melalui belajar. Proses belajar akan terpusatkan pada pengalaman sendiri melalui interaksi antara dirinya dengan lingkungannya. Kualitas belajar akan dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian seni membelajarkan orang dewasa merupakan upaya mengelola lingkungan dan interaksinya dengan peserta didik melalui proses pembelajaran. Implikasinya dalam proses pembelajaran diperlukan penggunaan metode dan teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara intensif dalam mendiagnosis kebutuhan belajar, merumuskan tujuan belajar, merangsang dan melaksanakan kegiatan belajar, serta menilai proses, hasil dan dampak pembelajaran (Sudjana, 2000). Dalam perkembangan teori belajar muncul pembelajaran partisipatif. Menurut teori ini kegiatan pembelajaran akan efektif apabila peserta didik merasa butuh belajar, menyadari bahwa belajar itu penting bagi perubahan dirinya, serta ikut ambil bagian secara aktif dalam merancang apa yang akan dipelajari, menentukan cara-cara dalam mempelajari dan merasakan manfaat dapat diperoleh dari kegiatan pembelajaran. Oleh karenanya prinsip pembelajaran partisipatif adalah : (1) berdasarkan kebutuhan belajar. Pentingnya kebutuhan belajar didasarkan asumsi bahwa peserta didik akan belajar secara efektif apabila semua komponen program pembelajaran dapat membantu peserta didik untuk memenuhi kebutuhan belajarnya; (2) berorientasi pada tujuan kegiatan pembelajaran (learner centered). Kegiatan pembelajaran partisipatif direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan belajar disusun berdasarkan kebutuhan belajar dengan mempertimbangkan pengalaman peserta didik, potensi yang dimilikinya, sumber-sumber yang tersedia pada lingkungan kehidupan mereka. Oleh karena itu, untuk dapat merumuskan tujuan belajar secara tepat dan proses belajar dapat berjalan dengan baik, perlu dilakukan identifikasi potensi, sumber-sumber bahkan hambatan yang akan dihadapi; (3) berpusat pada peserta didik. Kegiatan pembelajaran didasarkan atas dan disesuaikan dengan latar belakang kehidupan peserta didik. Peserta didik
10
diikutkan dan memegang peranan penting dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pembelajaran; (4) berangkat dari pengalaman belajar (experiental learning). Pembelajaran partisipatif dilakukan dengan berangkat dari pengetahuan, nilai dan ketrampilan yang telah dimiliki oleh peserta didik dan lebih menitikberatkan pada pendekatan pemecahan masalah.
Pembelajaran dan Proses Belajar Pembelajaran berasal dari kata dasar belajar. Pembelajaran adalah suatu disiplin yang menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan dan memperbaiki proses belajar. Sasaran utamanya adalah mempreskripsikan strategi yang optimal untuk mendorong prakarsa dan memudahkan belajar. Dengan demikian, pembelajaran adalah upaya menata lingkungan agar terjadinya proses belajar pada diri pembelajar (Dwiyogo, 2008). Bruner (1964) membedakan antara teori belajar dan teori pembelajaran. Teori belajar adalah deskriptif, sedangkan teori pembelajaran adalah preskriptif. Teori belajar mendeskripsikan adanya proses belajar, teori pembelajaran mempreskripsikan strategi atau metode pembelajaran yang optimal, yang dapat mempermudah proses belajar. Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia. Dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia merupakan hasil dari proses belajar. Proses belajar dapat berlangsung pada pendidikan formal, informal dan nonformal. Sehubungan dengan hal tersebut, Coombs (1973) memberikan pengertian yang berbeda bagi ketiga jenis pendidikan tersebut. Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi dan yang setaraf dengan itu, termasuk ke dalamnya kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional yang dilaksanakan secara terus menerus. Pendidikan informal adalah proses belajar yang berlangsung sepanjang hayat sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, ketrampilan dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari. Pengaruh lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, pekerjaan, permainan,
11
pasar, perpustakaan, dan media massa. Pendidikan nonformal adalah kegiatan yang terorganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya. Winkel (1991) menyatakan bahwa belajar merupakan kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar. Apa yang sedang terjadi dalam diri seorang yang sedang belajar, tidak dapat diketahui secara langsung hanya dengan mengamati orang itu. Bahkan, hasil belajar orang itu tidak langsung kelihatan, tanpa orang itu melakukan sesuatu yang menampakkan kemampuan yang telah diperoleh melalui belajar. Belajar terjadi dalam interaksi dengan lingkungan; dalam bergaul dengan orang, dalam memegang benda dan dalam menghadapi peristiwa manusia belajar. Namun, tidak sembarang berada di tengah-tengah lingkungan, menjamin adanya proses belajar. Orangnya harus aktif sendiri melibatkan diri dengan segala pemikiran, kemauan dan perasaannya. Dengan demikian Winkel (1991) mendefinisikan belajar sebagai suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan nilai-sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas. Perubahan-perubahan itu dapat berupa suatu hasil yang baru atau pula penyempurnaan terhadap hasil yang telah diperoleh. Marzano (1992) mengungkapkan bahwa belajar merupakan upaya pemberian makna oleh pembelajar kepada pengalamannya. Prosesnya mengarah pada pengembangan struktur kognitif dan dilakukan baik secara mandiri maupun secara sosial. Tujuan utama pembelajaran adalah membelajarkan pembelajar. Kegiatan belajar akan efektif jika melalui lima dimensi belajar yaitu: (1) Memiliki sikap dan persepsi positif terhadap belajar; (2) Mau dan mampu mendapatkan dan mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan serta membangun sikapnya; (3) Mau dan mampu memperluas serta memperdalam pengetahuan dan ketrampilan serta memantapkan sikapnya; (4) Mau dan mampu menerapkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikapnya secara bermakna; dan (5) Mau dan mampu membangun kebiasaan berpikir, bersikap dan bekerja produktif.
12
Menurut Sudjana (2000), belajar dapat merupakan suatu hasil dan sebuah proses. Belajar sebagai hasil merupakan upaya yang disengaja oleh seseorang yang bertujuan untuk mencapai tujuan belajar. Sedangkan belajar sebagai proses merupakan perilaku mengembangkan diri melalui proses penyesuaian tingkah laku. Penyesuaian tingkah laku dapat terwujud melalui kegiatan belajar, bukan karena akibat langsung dari pertumbuhan seseorang yang melakukan kegiatan belajar. Dengan demikian belajar sebagai proses adalah kegiatan seseorang yang dilakukan secara sengaja melalui penyesuaian tingkah laku dirinya dalam upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Flanders (1969), diacu dalam Klausmeier dan Goodwin (1971), menyebutkan bahwa dalam proses belajar, kualitas interaksi antara guru dan murid, murid dan murid, guru dan guru serta guru dan pegawai mempengaruhi hasil belajar. Interaksi guru dan murid sangat dipengaruhi oleh hubungan interpersonal, komunikasi verbal dan non verbal. Interaksi guru dan murid terjadi jika ada komunikasi dua arah dan seimbang. Demikian interaksi sesama murid, akan mendukung pencapaian tujuan kelompok. Kekohesivan kelompok sangat berperan dalam mendukung proses belajar. Freire (1984) memberikan perhatian pada proses belajar yang dialogis atau interaktif antara guru dan murid. Guru dan murid sama-sama menjadi subyek dalam proses belajar. Proses belajar diawali dengan penyadaran warga belajar secara bertahap atas masalah yang dihadapi, sehingga warga belajar mampu menafsirkan masalah, mampu merefleksikan dan melihat hubungan sebab akibat permasalahan yang dihadapinya dengan kondisi dan realitas yang ada, serta dapat mengambil tindakan untuk penyelesaian masalah yang dihadapi. Dwiyogo (2008) menyatakan bahwa kecenderungan pembelajaran masa depan telah mengubah pendekatan pembelajaran tradisional ke arah pembelajaran visioner (masa depan), dimana pembelajaran dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja, melalui apa saja. Artinya pembelajaran tidak tergantung pada suatu tempat tertentu seperti ruangan kelas, pada suatu waktu tertentu dengan sumber belajar yang tidak terbatas pada guru atau dosen.
13
Faktor Yang Mempengaruhi Proses Belajar Proses belajar dipengaruhi oleh banyak faktor, Suryabrata (2006) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi proses belajar dapat digolongkan ke dalam dua golongan besar, yaitu: (1) faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar, dan (2) faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pelajar. Faktor yang berasal dari luar diri pelajar digolongkan ke dalam dua golongan yaitu: faktor non sosial dan faktor sosial. Faktor non sosial dalam hal ini ialah : lokasi/tempat belajar, fasilitas belajar dan lainnya, sedangkan faktor sosial ialah kehadiran orang lain dalam proses belajar. Faktor yang berasal dari dalam diri pelajar digolongkan ke dalam dua golongan yaitu: faktor-faktor fisiologis dan faktor-faktor psikologis. Faktor fisiologis dalam hal ini ialah kondisi jasmani, panca indra dan lainnya; sedangkan faktor psikologis yaitu motif, kebutuhan atau cita-cita. Tan et. al. (2001) menyebutkan faktor eksternal yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial juga mempengaruhi proses belajar. Lingkungan fisik dalam hal ini ialah aksesibilitas, zone kegiatan visibilitas dan lainnya, sedangkan lingkungan sosial diantaranya ialah komunitas belajar, tingkat kekohesivan, norma dan tujuan belajar. Soemanto (2006) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1)
Faktor-faktor stimuli belajar Stimuli belajar yaitu segala hal di luar individu yang merangsang individu itu untuk mengadakan reaksi atau perbuatan belajar. Stimuli dalam hal ini mencakup materiil, penegasan, serta suasana lingkungan eksternal yang harus diterima atau dipelajari oleh si pelajar.
(2)
Faktor-faktor metode belajar Metode yang digunakan oleh guru/fasilitator menimbulkan perbedaan yang berarti bagi proses belajar
(3)
Faktor-faktor individual Faktor individual sangat besar pengaruhnya terhadap proses belajar seseorang. Faktor-faktor individual menyangkut beberapa hal, yaitu : (a) kematangan; (b) faktor usia kronologis; (c) faktor perbedaan jenis kelamin; (d) pengalaman sebelumnya; (e) kapasitas mental; (f) kondisi kesehatan jasmani; (g) kondisi kesehatan rohani; dan (h) motivasi.
14
Klausmeier dan Goodwin (1971) menyebutkan ada sembilan faktor yang mempengaruhi proses belajar, yaitu : (1)
Tujuan belajar Proses belajar dipengaruhi oleh tujuan pembelajaran, apa yang diharapkan dan diinginkan dari proses pembelajaran tersebut;
(2)
Materi pembelajaran Setiap orang yang belajar, masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan pada suatu bidang tertentu. Semakin dewasa orang yang belajar cenderung akan mendekati suatu minat atau keahlian dalam suatu bidang tertentu;
(3)
Media dan teknologi dalam pembelajaran Bangunan sekolah dilengkapi dengan perlengkapan audio, audio visual, komputer, ruangan untuk kegiatan belajar kelompok dan lainnya;
(4)
Karakteristik dan perilaku orang yang belajar Untuk memperoleh proses belajar yang efektif sangat ditentukan oleh karakteristik
dan
perilaku
pengetahuan/intelektual,
orang
yang
kemampuan
belajar
baik
psikomotorik
dan
kemampuan fisik
serta
karakteristik sikap; (5)
Karakteristik pengajar Kemampuan intelektual, ketrampilan dan sikap guru sangat berpengaruh terhadap efektifnya suatu proses belajar;
(6)
Interaksi pengajar dan orang yang belajar Interaksi pengajar dan orang yang belajar diantaranya ialah bagaimana komunikasi antara pengajar dan yang diajar, bagaimana cara pengajar menerangkan atau mengajar dan lainnya;
(7) Organisasi, organisasi kependidikan baik penyelenggaraan pendidikan, maupun organisasi keprofesian guru; (8)
Karakteristik fisik, seperti ruangan, sarana dan fasilitas lembaga pendidikan sangat menentukan keberhasilan proses belajar; dan
(9)
Hubungan rumah-sekolah dan komunitas, sekolah menjalankan fungsi sosial dimana rumah dan tetangga dimana murid berasal memberikan pengaruh terhadap proses belajar.
15
Berdasarkan kajian beberapa literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi proses belajar secara umum terbagi dua bagian besar yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi proses belajar antara lain adalah: kompetensi pengajar; pendekatan atau metode pengajaran yang digunakan; lingkungan sosial dimana pembelajar tinggal atau bermasyarakat; dan kelembagaan yang memfasilitasi proses belajar. Faktor internal yang mempengaruhi proses belajar adalah karakteritik individu pembelajar itu sendiri. Faktor internal dan eksternal tersebut, bila dikaitkan dengan proses belajar masyarakat dalam pengelolaan hutan, maka dapat disesuaikan menjadi: (1) kompetensi penyuluh dalam proses belajar; (2) pendekatan pembelajaran; (3) kelembagaan masyarakat; (4) kelembagaan pendukung pembelajaran masyarakat; dan (5) karakteristik petani pembelajar.
Karakteristik Individu Pembelajar Karakteristik individu pembelajar merupakan faktor internal yang mempengaruhi proses belajar, yang akan dikaji dalam penelitian ini. Berkaitan dengan faktor individual yang mempengaruhi proses belajar, Tan et.al (2001) menyebutkan bahwa motivasi merupakan unsur penting dalam pembelajaran. Motivasi merupakan kekuatan yang menguatkan, memelihara, dan mengarahkan perilaku ke arah pencapaian tujuan pembelajaran. Penelitian dan teori-teori menyebutkan bahwa motivasi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Menurut Soemanto (2006) motivasi intrinsik ialah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi ekstrinsik ialah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Bila dikaitkan dengan faktorfaktor yang mempengaruhi proses belajar di atas, seluruh faktor-faktor eksternal tersebut dapat menjadi motivasi eksternal bagi orang yang belajar. Bila dikaitkan dengan proses belajar dalam pendidikan nonformal, Sumardjo (1999) mengungkapkan bahwa karakteristik : ciri komunikasi, kepribadian, status sosial, motivasi intrinsik dan ekstrinsik mempengaruhi proses pembelajaran petani. Soedijanto (2004) mengungkapkan bahwa pengalaman, baik
16
yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, akan berpengaruh pada proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami keberhasilan dalam proses belajar, maka ia telah memiliki perasaan optimis akan keberhasilan di masa mendatang.
Sebaliknya
seseorang
yang
pernah
memiliki
pengalaman
mengecewakan, maka dia telah memiliki perasaan pesimis untuk dapat berhasil. Sejalan dengan itu, Soebiyanto (1998) mengungkapkan bahwa karakteristik pribadi petani (pengalaman berusahatani, motivasi, dan pendidikan formal) berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani. Demikian juga dengan karakteristik ekonomi (penguasaan lahan dan pemilikan alat produksi) berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani. Suparno (2001) mengemukakan faktor individual lain yang mempengaruhi proses belajar yaitu: konsep diri, locus of control, kecemasan. dan motivasi. Konsep diri ialah penilaian atau penghargaan yang diberikan oleh individu terhadap diri sendiri, dapat bernilai positif, negatif atau di antara keduanya. Untuk proses belajar yang baik, diperlukan konsep diri yang mengarah pada konsep diri positif. Contohnya: saya dapat berprestasi dan memiliki pemikiran yang baik untuk dikembangkan. Konsep diri biasanya dipengaruhi oleh pengalaman, pola atau praktek pengasuhan dan perkembangan fisik seseorang.
Locus of control
adalah cara bagaimana seseorang mempersepsi dan meletakkan hubungan antara perilaku dirinya dengan konsekuensi-konsekuensi dan apakah ia menerima tanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Kecemasan digambarkan sebagai keadaan emosi yang dihubungkan dengan rasa takut, tetapi obyek rasa takut itu tidak jelas.
Kompetensi Penyuluh dalam Proses Belajar Konsep kompetensi diawali pada tahun 1973 oleh Mc. Clelland, dan dikembangkan oleh Boyatzis pada tahun 1982. Beberapa definisi kompetensi antara lain: (1)
Boyatzis (1984) Kemampuan (ability) dan ketrampilan (skill) yang dimiliki seseorang untuk melakukan pekerjaan/tugas guna mencapai tujuan. Kemampuan menggambarkan sifat (bawaan atau dipelajari) yang memungkinkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang bersifat mental dan fisik.
17
Sedangkan ketrampilan berkaitan dengan pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan. (2)
Spencer dan Spencer (1993) : Kompetensi merupakan segala bentuk tentang motif, sikap, ketrampilan, pengetahuan, perilaku atau karakteristik pribadi lain yang penting, untuk melaksanakan pekerjaan atau membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior.
(3)
Samana (1994) Seseorang dikatakan kompeten apabila seseorang menguasai kecakapan kerja atau keahlian selaras dengan tuntutan bidang kerja yang bersangkutan. Kecakapan kerja tersebut diwujudkan dalam perbuatan yang bermakna, bernilai sosial dan memenuhi standar tertentu yang diakui oleh kelompok profesinya dan masyarakat yang dilayani.
(4)
Sumardjo (2006) Kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap sesuai dengan petunjuk kerja yang ditetapkan. Rogers (1983) mengemukakan bahwa seorang penyuluh dikatakan
kompeten apabila dia berhasil melaksanakan serangkaian tugasnya yang mencakup : (1) kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menjalin hubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat sasarannya; (2) kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menjadi perantara/mediator antara sumber-sumber inovasi dengan pemerintah, lembaga penyuluhan dan masyarakat sasarannya; dan (3) kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menyesuaikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan kebutuhan yang dapat dirasakan oleh pemerintah atau lembaga penyuluhan dan masyarakat sasarannya. Menurut Spencer dan Spencer (1993) berdasarkan kriteria yang digunakan untuk memprediksi kinerja suatu pekerjaan, kompetensi dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu “threshold” dan “differentiating”. Threshold competencies merupakan karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik utama tersebut adalah pengetahuan atau keahlian dasar terkait dengan bidang kompetensinya. Differentiating competencies adalah faktor-faktor yang dapat digunakan untuk membedakan antara individu yang berkinerja baik dengan yang berkinerja rendah. Dalam konteks penyuluhan, Sumardjo (2008) menyatakan bahwa threshold competencies
18
atau keahlian dasar seorang penyuluh adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif, kemampuan membangun kerja sama (networking), dan kemampuan mengembangkan inovasi secara berkelanjutan. Sedangkan Differentiating competencies dalam konteks penyuluh adalah menyangkut orientasi motivasi melaksanakan tugas penyuluhannya. Chamala dan Shingi (1997) mengungkapkan bahwa penyuluh ke depan harus memiliki kompetensi dalam menjalankan empat peranan penting, yaitu: (1) pemberdayaan; (2) pengelolaan kelompok dan organisasi masyarakat; (3) pengembangan sumberdaya manusia; serta (4) pemecahan masalah dan pendidikan. Peranan pemberdayaan dalam hal ini ialah kegiatan membantu masyarakat untuk membangun, mengembangkan dan meningkatkan kekuasaan (power) masyarakat melalui kemitraan, pembagian peran dan bekerja sama. Kekuasaan dalam pemberdayaan berasal dari menggali energi laten yang tersembunyi, yang ada dalam masyarakat itu sendiri dan membangun kegiatan bersama untuk kepentingan bersama. Peranan pengelolaan kelompok atau organisasi masyarakat dalam hal ini ialah: Penyuluh harus menguasai prinsip pengelolaan kelompok dan organisasi kemasyarakatan agar masyarakat terutama kelompok yang lemah dapat mengembangkan diri mereka secara mandiri. Pemahaman terhadap struktur, hukum, aturan dan peranan akan menolong pemimpin lokal untuk merencanakan, mengimplementasikan dan mengawasi program sehingga dapat menjalankan peranannya dengan baik. Peranan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dimaksudkan sebagai upaya memberdayakan dan memberikan peran kepada semua orang dalam masyarakat. Pengembangan kapabilitas secara teknis harus dikombinasikan dengan kapabilitas manajemen. Kompetensi penyuluh dalam hal ini adalah melatih anggota baik secara individu maupun kelompok untuk mengembangkan ketrampilan dan meningkatkan kapasitas dalam manajemen organisasi, seperti perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan. Peranan pemecahan permasalahan dan pendidikan dalam hal ini adalah penyuluh memiliki kemampuan bukan untuk mencarikan pemecahan masalah yang tepat untuk permasalahan masyarakat, tetapi untuk membantu masyarakat agar mereka dapat mengambil solusi bagi permasalahan mereka sendiri. Peranan dalam pendidikan dalam hal ini mengubah
19
metode ceramah kepada pendekatan learning by doing dan merangsang petani dan organisasi petani untuk melaksanakan percobaan atau penelitian dan proyek pembelajaran dengan berbuat (action-learning project). Berkaitan dengan penyelenggaraan penyuluhan pertanian, Sumardjo (2006) mengemukakan bahwa ada delapan kompetensi yang diperlukan oleh penyuluh sarjana untuk dapat mendukung pelaksanaan pekerjaannya yaitu : (1) kemampuan berkomunikasi secara konvergen dan efektif; (2) kemampuan bersinergi kerja sama dalam tim; (3) kemampuan akses informasi dan penguasaan inovasi; (4) sikap kritis terhadap kebutuhan atau ketrampilan analisis masalah, (5) keinovatifan atau penguasaan teknologi informasi dan desain komunikasi multimedia; (6) berwawasan luas dan membangun jejaring kerja; (7) pemahaman potensi wilayah dan kebutuhan petani; dan (8) ketrampilan berpikir logis. Nuryanto
(2008)
mengungkapkan
bahwa
berdasarkan
tugas-tugas
penyuluh, tuntutan kompetensi sesuai dengan kebutuhan masyarakat merumuskan kompetensi dalam pembangunan pertanian yaitu: (1) keefektivan komunikasi; (2) pemanfaatan media internet, (3) membangun jejaring kerja; (4) mengakses informasi; (5) pemahaman inovasi; (6) bekerja sama dalam tim; (7) analisis masalah; (8) berpikir secara sistem/logis; (9) pemahaman potensi wilayah; dan (10) pemahaman kebutuhan petani. Kementerian Kehutanan, dalam hal ini Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, menetapkan empat kompetensi yang perlu dikuasai oleh Penyuluh Kehutanan yaitu: (1) menguasai teknologi penyuluhan kehutanan, yaitu mengembangkan sistem, metode, materi dan alat bantu; (2) menguasai teknologi pemberdayaan pendampingan masyarakat, yaitu strategi, pengembangan kapasitas, produktivitas, kapabilitas, mobilitas; (3) menguasai substansi sektor kehutanan, yaitu isu-isu, kebijakan pembangunan, teknologi, kontribusi; serta (4) menguasai substansi agrisilvobisnis dan sosial ekonomi, yaitu penyediaan sarana produksi, produksi/budidaya,
pengolahan
hasil/pasca
panen,
pemasaran,
lembaga
pendukung. Sejalan dengan Chamala dan Shingi (1997), Moyo dan Hagmann (1999) menegaskan bahwa penyuluhan yang efektif di masa mendatang membutuhkan perubahan secara radikal, dari penyuluhan yang mengandalkan kemampuan
20
penyuluh dari segi teknis menjadi lebih luas yaitu kompetensi penyuluh dalam mengembangkan kapasitas masyarakat untuk memecahkan masalah. Kompetensi utama yang dibutuhkan oleh penyuluh menurut Moyo dan Hagmann (1999) ialah : (1) pemahaman dan orientasi mendalam terhadap visi pembangunan partisipatif yang dititikberatkan pada pengembangan sumberdaya manusia dan kemandirian sebagai tujuan penyuluhan; (2) memiliki pandangan terhadap berbagai pendekatan dan metode penyuluhan dan mengkombinasikannya dengan berbagai elemen yang ditemui
dalam
pekerjaannya;
(3)
memahami
secara
mendalam
proses
pembelajaran dan pendekatan sistem; (4) kreatif menemukan metode dan cara yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran; (5) kemampuan berkomunikasi dan keahlian memfasilitasi yang didasarkan pada sikap positif pada klien; (6) kemampuan melakukan komunikasi dan menjembatani hubungan dengan berbagai pihak/institusi; (7) pengetahuan teknis berkaitan dengan pemecahan masalah yang dihadapi berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam secara efektif dan keamanan pangan, dalam hal ini pengetahuan secara umum, bukan pengetahuan spesifik terhadap suatu komoditi dan lainnya; (8) memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang manajemen dan organisasi penyuluhan. Berdasarkan kajian beberapa literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi ialah kemampuan seseorang yang diwujudkan dalam pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, sesuai dengan standar kerja yang ditetapkan atau bahkan dapat mencapai sasaran ideal yang diharapkan. Berkaitan dengan penyuluhan kehutanan, kompetensi yang perlu dan diharapkan dimiliki oleh penyuluh kehutanan adalah: (1) kemampuan mengembangkan komunikasi; (2) kemampuan mengenali dan memahami kebutuhan petani; (3) kemampuan menganalisa masalah; (4) kemampuan mengembangkan kemitraan; (5) kemampuan mengembangkan kapasitas/SDM petani; (6) kemampuan mengembangkan manajemen dan kelembagaan petani; (7) kemampuan mengembangkan teknis pengelolaan hutan secara lestari.
Pendekatan Pembelajaran Prinsip utama dalam pertanian berkelanjutan menurut Roling dan Pretty (1997) adalah pandangan baru mengenai pembelajaran (learning). Pembelajaran
21
(learning) berbeda dengan pengajaran (teaching). Pengajaran (teaching) lebih menekankan transfer pengetahuan dari seseorang yang tahu kepada seseorang yang tidak tahu. Pengajaran merupakan model yang umum dalam kurikulum pendidikan pada banyak organisasi. Pada institusi pendidikan, paradigma pengajaran ditekankan pada penyampaian materi pelajaran kepada murid/peserta, tidak memberikan tekanan pada proses pengembangan diri dan peningkatan kemampuan belajar pada peserta. Roling dan Pretty (1997) mengemukakan untuk pembelajaran pertanian berkelanjutan membutuhkan transformasi mendasar pada tujuan, strategi, teori, persepsi, ketrampilan, pekerja organisasi dan tenaga profesional. Pergeseran dari pengajaran ke pembelajaran menggeser fokus pembelajaran dari apa yang kita pelajari ke arah bagaimana kita belajar dan dengan siapa kita belajar. Empat elemen mendasar yang diperlukan dalam pembelajaran adalah : (1)
Sistem informasi Pertanian berkelanjutan harus menciptakan perubahan lingkungan sehingga petani dapat melakukan observasi, pencatatan dan pemantauan;
(2)
Kerangka kerja konseptual Pertanian berkelanjutan merupakan pengetahuan intensif sehingga petani harus memiliki pengetahuan luas yang berkaitan dengan usaha yang dilakukan;
(3)
Ketrampilan Petani membutuhkan ketrampilan yang lebih luas berkaitan dengan usahanya;
(4)
Sistem manajemen yang lebih tinggi tingkatannya Pertanian berkelanjutan membutuhkan manajemen yang bersifat sistemik. Dalam penyuluhan pertanian sudah lama digunakan model difusi inovasi
atau transfer teknologi dalam pembangunan pertanian, dimana teknologi ditransfer dari peneliti kepada petani. Pendekatan dengan sistem Latihan dan Kunjungan (Training and Visit – T & V) banyak dikembangkan di negara-negara berkembang sejak tahun 1967, yang diawali di Turki (Roling dan Pretty, 1997). Perubahan paradigma penyuluhan menggeser pendekatan T & V atau pendekatan direktif ke arah pendekatan penyuluhan partisipatif.
Pengertian partisipatif
22
menurut Moyo dan Hagmann (1999) adalah masyarakat petani mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk menganalisis kehidupannya sendiri sehingga mereka secara bertahap mampu menentukan rencana kegiatan secara mandiri, melaksanakan dan memantau, termasuk mengambil keputusan di setiap tahap kegiatan. Inti partisipatif ialah proses interaktif dan pemberdayaan. Leeuwis (2004) mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran, peserta harus melalui proses : (1) menjadi sadar; (2) berminat; (3) terlibat aktif dalam pengalaman pembelajaran (dalam hal ini negosiasi); (4) terbentuk praktek dan rutinitas beradaptasi. Sedangkan Moyo dan Hagmann (1999) menyatakan proses pembelajaran dalam Participatory Extension Approach (PEA) terdiri dari 4 fase dan 12 tahap yaitu : (1) fase I : mempersiapkan masyarakat/komunitas: mobilisasi sosial; (2) fase II: perencanaan aksi tingkat komunitas; (3) fase III: pelaksanaan/pengalaman petani; dan (4) fase IV: monitoring proses melalui sharing pengalaman dan ide. Kolb (1984), diacu dalam Leeuwis (2004), memperkenalkan model pembelajaran ”experiental learning” yang digunakan secara luas. Inti model pembelajaran ini ialah bagaimana masyarakat belajar melalui pengalaman. Tipe pembelajaran ini sangat ”berkuasa” (powerful), kesimpulan diambil oleh masyarakat sendiri berdasarkan pengalaman mereka sendiri untuk mendapatkan dampak yang lebih besar dibandingkan dengan pandangan yang diformulasikan oleh orang lain berdasarkan pengalaman yang tidak dapat diidentifikasi oleh peserta belajar. Pendekatan ini juga sering kali dikaitkan dengan ”learning by doing” atau ”discovery learning”. Model pembelajaran ini menekankan bahwa pembelajaran terjadi dari interaksi berkelanjutan antara proses berpikir dan bertindak: tindakan konkrit merupakan hasil dari pengalaman tertentu, yang direfleksikan, sehingga menghasilkan perubahan kognisi, sehingga dapat mengakibatkan tindakan atau aksi baru. Model ini mengimplikasikan bahwa pembelajaran dapat diperluas dengan mendukung secara aktif langkah dasar dan proses perubahan selama proses belajar, dengan menawarkan kesempatan pembelajaran yang baru.
23
Kelembagaan Masyarakat Kesuksesan sistem pertanian berkelanjutan tidak hanya bergantung pada motivasi, ketrampilan dan pengetahuan individu petani, tetapi pada tindakan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lokal secara keseluruhan (Pretty, 1995). Sejalan dengan itu Ostrom (1990), diacu dalam Pretty (1995), menegaskan bahwa kegagalan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan disebabkan oleh fokus pengelolaan tanpa mempertimbangkan kerangka kelembagaan di lokasi tersebut.
Hasil studi Bank Dunia terhadap proyek
pembangunan pertanian selama ini menunjukkan bahwa keberhasilan proyek secara berkelanjutan terjadi bila memberikan perhatian pada pembangunan kelembagaan dan partisipasi masyarakat (Cernea, 1988). Menurut Uphoff (1986) istilah kelembagaan atau institusi dan organisasi sering membingungkan dan bersifat interchangeably. Secara keilmuan ’social institution’ dan ’social organization’ berada pada level yang sama. Kelembagaan seringkali digunakan untuk mencakup kedua pengertian tersebut. Uphoff (1986) mendefinisikan institusi atau kelembagaan sebagai sebuah kumpulan norma dan perilaku yang berlangsung lama dengan melayani tujuan yang bernilai sosial, sedangkan organisasi adalah struktur peranan yang dikenali dan diterima. Kelembagaan masyarakat atau lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial merupakan terjemahan langsung istilah “social institution”. Belum ada kesepakatan mengenai istilah Indonesia untuk social institution, Soekanto (2006) menggunakan
istilah
pranata
sosial,
bangunan
sosial
atau
lembaga
kemasyarakatan. Menurut Soekanto (2006) lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kebutuhan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan memiliki fungsi antara lain: a. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat : bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan; b. Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara;
24
c. Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial: artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Uphoff (1992), diacu dalam Pretty (1995), menggunakan istilah “lokal” untuk institusi atau kelembagaan masyarakat, karena memiliki karakteristik khusus. Institusi atau kelembagaan lokal dalam hal ini berarti menjadi dasar untuk kegiatan kolektif, untuk membentuk konsensus, untuk menjalankan peran dan tanggung jawab koordinasi, dan untuk mengumpulkan, menganalisa dan mengevaluasi informasi. Fungsi organisasi dan institusi lokal menurut Uphoff (1992); Cernea (1991, 1993); Curtis (1991); Norton (1992); IFAP (1992) adalah : (a) Mengatur sumberdaya (tenaga kerja) untuk menghasilkan produk lebih banyak; (b) Menggerakkan sumberdaya material untuk menolong produksi lebih banyak (kredit, tabungan, pemasaran); (c) Menolong beberapa kelompok untuk mencapai
akses
baru
untuk
sumberdaya
produktif;
(d)
Mengamankan
keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam; (e) Menyediakan infrastruktur sosial pada tingkat desa; (f) Mempengaruhi kebijakan institusi yang mempengaruhi mereka; (g) Menyediakan keterkaitan antara petani, peneliti dan pelayanan penyuluhan; (h) Meningkatkan akses populasi penduduk desa kepada informasi; (i) Meningkatkan aliran informasi dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat; (j) Meningkatkan kohesi sosial; (k) Menyediakan kerangka kerja untuk
kegiatan
kerjasama;
(l)
Membantu
mengatur
masyarakat
untuk
menghasilkan dan menggunakan pengetahuan dan penelitian mereka untuk advokasi hak mereka; dan (m) Menjadi mediator untuk akses terhadap sumberdaya bagi kelompok terpilih. Menurut Ostrom (1990) dan Roling (1994), diacu dalam Pretty (1995), proses pembentukan kelompok mandiri pada tingkat lokal harus merupakan sebuah proses dalam masyarakat itu sendiri (organik) dan harus tidak ditekan atau dikerjakan terlalu cepat. The International Federation of Agricultural ProceduresIFAP (1992) menyatakan ada empat elemen penting dalam mendukung penguatan organisasi petani, yaitu: (1) mengembangkan kemampuan keuangan (financial) dengan sumberdaya yang dimiliki, terutama yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari anggota kelompok; (2) pembentukan struktur pemilihan wakil petani; (3)
memperoleh pengakuan sebagai legitimasi suara petani; dan (4)
25
mengembangkan perencanaan mandiri, pengelolaan dan penyediaan pelayanan yang efektif. Untuk
pembangunan
pertanian
berkelanjutan,
Pretty
(1995)
mengungkapkan enam tipe kelompok atau institusi lokal yang secara langsung berhubungan dengan kebutuhan pertanian berkelanjutan, yaitu: (1) organisasi komunitas/masyarakat, seperti kelompok tani; (2) kelompok pengelolaan sumberdaya alam, seperti untuk kelompok petani pengguna irigasi; (3) kelompok petani peneliti; (4) kelompok penyuluhan petani kepada petani (farmers to farmers); (5) kelompok pengelola kredit; dan (6) kelompok konsumen. Kelembagaan berisikan dua aspek penting yaitu “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian”. Aspek kelembagaan meliputi perilaku atau perilaku sosial, dimana inti kajiannya adalah tentang value, norm, custom, mores, folksway, usage, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain-lain. Sementara dalam aspek keorganisasian meliputi struktur atau struktur sosial dengan inti kajiannya terletak pada aspek peran. Perhatian pokok aspek kelembagaan adalah perilaku dengan faktor-faktor yang menyebabkan perilaku tersebut. Sekumpulan faktor-faktor tersebut disetarakan dengan apa yang disebut Koentjaraningrat (1997) dengan “wujud ideel kebudayaan” yaitu berupa ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya yang disebut sebagai adat istiadat atau adat. Wujud ideel kebudayaan terbagi menjadi 4 lapisan mulai dari yang paling abstrak yaitu sistem nilai-budaya, sistem norma-norma, sistem hukum dan peraturan-peraturan khusus. Norma merupakan aturan sosial, patokan berperilaku yang pantas, atau tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan. Kekuatan mengikat sistem norma terbagi menjadi empat tingkatan dari yang paling ringan yaitu cara (usage), kebiasaan (folksways), tata kelakuan (mores) dan adat istiadat (custom). Norma bersumber dari nilai dan merupakan wujud konkrit dari nilai. Dalam norma termuat hal-hal tentang keharusan, dianjurkan, dibolehkan, atau larangan. Norma mengontrol perilaku masyarakat. Dengan adanya norma-norma tersebut, dalam setiap masyarakat diselenggarakan pengendalian sosial atau social control (Soekanto, 2006).
26
Pengendalian sosial menurut Soekanto (2006) mencakup segala proses baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku. Pengendalian sosial terutama bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat, atau mencapai
keadaan
damai
melalui
keserasian
antara
kepastian
dengan
keadilan/kesebandingan. Pengendalian sosial yang umumnya diterapkan lebih dulu adalah pengendalian sosial yang dianggap paling lunak, misalnya nasehatnasehat yang tidak mengikat. Taraf selanjutnya adalah menerapkan pengendalian sosial yang lebih ketat untuk kemudian bila diperlukan pengendalian sosial yang lebih keras. Pelanggaran terhadap norma memiliki hukuman (sanksi) yang berbeda sesuai dengan level kekuatan yang mengikat. Soekanto (2006) menjelaskan lebih lanjut bahwa pengendalian sosial berkaitan erat dengan konformitas (conformity) dan penyimpangan (deviation). Konformitas merupakan proses penyesuaian diri dengan masyarakat, dengan cara mengindahkan kaidah dan nilai-nilai masyarakat. Penyimpangan (deviasi) merupakan penyimpangan terhadap kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat. Kaidah dalam masyarakat berfungsi sebagai pengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain atau antara seseorang dengan masyarakatnya. Dalam masyarakat homogen dan tradisional, konformitas warga masyarakat cenderung kuat. Misalnya masyarakat di desa terpencil, dimana tradisi dipelihara dan dipertahankan dengan kuat, warga masyarakat tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengadakan konformitas terhadap kaidah-kaidah serta nilai yang berlaku. Masyarakat di kota keadaannya berbeda, karena anggota masyarakat selalu berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kotanya. Adanya peralatan modern di bidang komunikasi massa memungkinkan orang kota mengikuti perkembangan dan perubahan. Dengan demikian konformitas rendah sehingga institusionalisasi sulit terjadi. Konformitas biasanya menghasilkan ketaatan dan kepatuhan. Penyimpangan (deviasi) pada masyarakat tradisional yang relatif statis tidak akan disukai. Deviasi terhadap kaidah-kaidah dalam masyarakat yang tradisional memerlukan suatu keberanian dan kebijaksanaan tersendiri. Namun,
27
bila masyarakat tradisional tersebut merasakan manfaat dari suatu deviasi tertentu, penyimpangan tersebut akan diterima. Penyimpangan (deviasi) akan terjadi jika terdapat ketidakserasian antara aspirasi dengan saluran-saluran yang tujuannya untuk mencapai cita-cita tersebut. Selain
”aspek
kelembagaan”,
kelembagaan
berisikan
”aspek
keorganisasian”. Fokus utama aspek keorganisasian adalah ”struktur”. Struktur dalam kelembagaan sangat penting karena menyediakan kejelasan tentang bagianbagian pekerjaan dalam aktivitas kelembagaan, bagaimana kaitan antar fungsifungsi
yang
berbeda,
penjenjangan
antar
bagian,
konfigurasi
otoritas,
kesalinghubungan antar otoritas, serta berhubungan dengan lingkungan sekitar. Struktur mencakup beberapa pemahaman sebagai berikut : (1) menggambarkan bagaimana hubungan antar bagian dalam lembaga secara keseluruhan; (2) tujuan; (3) peran dan keterkaitan antar bagian; (4) keanggotaan; (5) kepemimpinan; dan (6) konflik. Tujuan merupakan salah satu ciri kelembagaan modern (”organisasi”), yang biasanya pembentukan kelembagaan secara sengaja karena adanya tujuan tertentu. Ketika kelembagaan yang ada dipandang tidak memadai untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, maka disepakati untuk membentuk kelembagaan baru. Namun pada hakekatnya semua kelembagaan pasti memiliki tujuan, baik kelembagaan tradisional maupun modern. Suatu kelembagaan dibangun karena ada tujuan, dan akan tetap eksis sepanjang masih mampu digunakan untuk memenuhi tujuan tersebut. Peran mengacu pada sekumpulan harapan dari anggota kelompok terhadap perilaku seseorang yang memiliki posisi tertentu. Adanya kejelasan peran, keterkaitan hubungan antar peran, tingkat integrasi sosial dan kohesi sosial yang terbentuk dalam suatu kelembagaan akan mengarah kepada iklim kerja sama dan koordinasi dalam kelembagaan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi eksistensi kelembagaan tersebut. Kepemimpinan penting karena menjadi kunci keberhasilan suatu kelembagaan.
Soekanto
(2006)
mendefinisikan
kepemimpinan
sebagai
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain (yaitu orang yang dipimpinnya atau pengikut-pengikutnya) sehingga orang lain tersebut bertingkah
28
laku sebagaimana dikehendaki pemimpin tersebut. Kepemimpinan kadangkala dibedakan antara kepemimpinan sebagai kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Kepemimpinan sebagai kedudukan, merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Kepemimpinan sebagai suatu proses sosial meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau sesuatu badan yang menyebabkan gerak dari warga masyarakat. Setelah mengkaji beberapa literatur mengenai kelembagaan masyarakat di atas, dapat disimpulkan dalam penelitian ini kelembagaan mengandung pengertian institusi dan organisasi. Sebagai institusi, kelembagaan merupakan sekumpulan norma yang disepakati bersama untuk menjadi pedoman dalam bertingkahlaku. Dalam pengertian sebagai organisasi, kelembagaan merupakan sekumpulan orang yang memiliki peran tertentu yang terstruktur untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu kelembagaan masyarakat dalam penelitian ini diwakili oleh peubah yang mengandung pengertian institusi dan organisasi, yaitu : (1) kejelasan norma; (2) penegakan sanksi; (3) tingkat konformitas; (4) tingkat deviasi; (5) kesesuaian tujuan; (6) kepemimpinan; dan (7) kesesuaian peran dan keterkaitan antar bagian.
Kelembagaan pendukung proses belajar Pretty (1995) mengemukakan bahwa untuk sistem pertanian berkelanjutan, selain teknologi konservasi sumberdaya alam dan pengembangan kelompok atau kelembagaan lokal, dibutuhkan unsur penting lainnya yaitu kelembagaan eksternal yang diorganisir, yang bekerja sama dengan kelembagaan lainnya dan petani. Pada era modernisasi, kelembagaan eksternal cenderung mengabaikan pengetahuan dan inisiatif masyarakat lokal. Menurut Pretty (1995) untuk pertanian berkelanjutan, kelembagaan atau organisasi eksternal harus mengubah pola atau cara kerja mereka yaitu lebih ke arah multidisipliner, lebih banyak melibatkan komunitas petani (lebih partisipatif) dalam penelitian, penyuluhan dan kegiatan pembangunan, serta melakukan perubahan (evolusi) proses pembelajaran dalam organisasi dan pengembangan tenaga profesional pertanian itu sendiri secara menyeluruh.
29
Dalam sistem pertanian berkelanjutan pendekatan penyuluhan direktif perlu diubah mengarah kepada pendekatan sistem penyuluhan partisipatif, yang dimulai dari organisasi pembelajaran. Beberapa perubahan antara lain adalah penyuluhan perlu membangun sistem komunikasi tradisional dan melibatkan para petani dalam proses penyuluhan. Sistem insentif perlu diberikan kepada pekerja atau penyuluh di lapangan yang dapat bekerja sama dan menjalin hubungan yang erat dengan petani. Partisipasi petani yang menjadi bagian dari penyuluhan harus benar-benar interaktif dan pemberdayaan. Hal ini merupakan perubahan dari sebelumnya dimana partisipasi hanya dilihat dari kehadiran petani dalam pertemuan atau adanya keterwakilan petani dalam suatu komite. Bagi
kelembagaan
eksternal
yang
mendukung
sistem
pertanian
berkelanjutan, baik kelembagaan penelitian, penyuluhan maupun perencanaan, baik pemerintah maupun organisasi non pemerintah harus melembagakan pendekatan dan struktur yang mendorong pembelajaran. Hasil penelitian Narayan (1993), diacu dalam Pretty (1995), terhadap pentingnya partisipasi dalam proyek pengairan
menunjukkan
bahwa
keterlibatan
masyarakat
atau
partisipasi
masyarakat dipengaruhi oleh seberapa banyak faktor dalam kelembagaan eksternal yang merupakan kebutuhan atau minat masyarakat lokal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesuksesan kelembagaan eksternal ditentukan oleh : sejauh mana kelembagaan eksternal tersebut mengakomodir orientasi utama atau nilai-nilai yang dipercaya oleh masyarakat lokal, respons selama pelaksanaan dan pemberian kesempatan masyarakat lokal untuk mengambil keputusan. Tiga ranah kemampuan pembelajaran yang dapat ditingkatkan oleh kelembagaan pertanian ialah: (1) Mendukung penelitian dan menghormati perbedaan; (2) Mendukung keterkaitan dan kerja kelompok; dan (3) Pemantauan dan evaluasi diri untuk peningkatan pembelajaran. Kelembagaan eksternal berkaitan dengan pengembangan pertanian berkelanjutan perlu mendukung upayaupaya untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi. Adanya perbedaan harus dipandang sebagai pengayaan pemahaman yang memperluas keilmuan dari berbagai sudut pandang. Kelembagaan atau organisasi pembelajaran memerlukan analisa kolektif dan hubungan yang baik antar berbagai macam institusi/lembaga. Dengan bekerja
30
sama dalam kelompok, dapat melakukan pendekatan terhadap situasi dari berbagai perspektif, dapat memantau pekerjaan satu dengan lainnya dan dapat mengerjakan bermacam-macam tugas secara simultan. Bekerja sama dalam suatu kelompok memiliki daya atau kekuatan yang sangat besar dan produktif jika berfungsi dengan baik, serta output yang dihasilkan pun memiliki nilai yang lebih besar daripada penjumlahan anggota secara individual. Menurut Handy (1985), diacu dalam Pretty (1995) sebuah kelompok dapat menjalankan fungsi sebagai sebuah tim, perlu melalui beberapa tahapan yaitu: (1) pembentukan atau forming; (2) merebut perhatian/menyerang atau storming; (3) membentuk norma atau norming; dan (4) menampilkan kinerja atau performing. Pada tahap awal, merupakan kumpulan individu dengan agenda dan keahlian masing-masing dan tidak ada berbagi pengalaman. Namun lama kelamaan mereka saling mengenal, pada tahap ini nilai-nilai dan prinsip personal ditantang, peranan dan tanggung jawab diterima atau ditolak, dan tujuan kelompok mulai didefinisikan lebih jelas. Bila pada tahap ini lebih banyak konflik daripada kesepakatan maka kelompok ini akan bubar atau terpecah. Tetapi bila pada tahapan ini banyak ditemukan kesepakatan, akan meningkatkan kohesi kelompok. Pada tahapan pembentukan norma, anggota kelompok memahami peranannya dalam hubungan satu dengan lainnya dan membangun visi dan tujuan bersama, serta menentukan identitas dan norma perilaku kelompok secara jelas. Pada tahapan ini kelompok yang bermitra ini sudah ajeg atau mapan. Pada saat norma bersama terbentuk, kelompok siap untuk melakukan aksi dan memasuki tahapan performing. Pada tahapan ini kelompok ini dapat melakukan pekerjaan lebih efektif sebagai sebuah tim kerja. Pemantauan dan evaluasi diri yang dilakukan oleh masing-masing lembaga eksternal sangat penting dalam proses pembelajaran. Dengan adanya evaluasi oleh masing-masing kelembagaan dapat merefleksikan tugas dan tanggung jawab lembaga atau organisasinya sendiri, maupun tanggung jawab bersama, dan kemudian merancang perubahan baik untuk organisasinya secara individual maupun secara kelompok atau kolaborasi.
31
Untuk pertanian berkelanjutan diperlukan kelembagaan atau organisasi yang lebih terdesentralisasi, merupakan tim yang multidisipliner, fleksibel dan heterogen, serta output sesuai dengan permintaan atau kebutuhan petani. Kelembagaan tersebut harus dapat beroperasi dalam keadaan turbulensi. Kelembagaan ini harus realistik dan cepat menanggapi masukan, sehingga memiliki respons adaptif untuk perubahan. Lingkungan pembelajaran harus dititikberatkan pada pemecahan masalah, interaktif dan berdasarkan kondisi di lapangan (Tabel 1). Tabel 1. Perbandingan perangkat kelembagaan pembelajaran lama dan baru
Model pengambilan keputusan
Perangkat kelembagaan lama Sentralistik dan standar
Perangkat kelembagaan baru Desentralisasi, fleksibel dan partisipatif
Model perencanaan dan penyampaian teknologi atau pelayanan
Satu rancangan, paket tertentu, didorong oleh penawaran
Desain pelibatan, pilihan luas, ditarik oleh permintaan
Respons terhadap perubahan eksternal
Mengumpulkan data sebelum bertindak
Bertindak secepatnya dan memantau konsekuensinya
Model pembelajaran di lapangan
Pembelajaran di lapangan oleh turis pembangunan pedesaan dan survey menggunakan kuesioner, kesalahan disembunyikan atau diabaikan
Pembelajaran dengan dialog dan sistem pembelajaran partisipatif, kesalahan tidak dihukum
Model internal
pembelajaran Pembelajaran satu arah, mengabaikan umpan balik dari peserta yang memberikan dampak kesan yang tidak baik
Pembelajaran dua arah dengan penyediaan waktu untuk merefleksikan pengalaman, menggunakan pemantauan partisipasi dan evaluasi diri
Pentingnya kreativitas
Ditekan bila tidak sesuai dengan prosedur dan struktur yang ada
Ditantang untuk mencoba atau mengalami, dan kesalahan tidak dihukum
Keterkaitan, hubungan dan gabungan (persekutuan)
Lembaga bekerja terisolasi, individu dalam kelembagaan bekerja sendiri
Kelembagaan terkait secara formal dan informal satu dengan lainnya; individu terkait dengan tekanan tugas dan kelompok informal
Sumber: Diadaptasi dari Pretty (1995).
32
Sejalan dengan pendapat tersebut, Moyo dan Hagman (1999) berpendapat bahwa dalam mengembangkan penyuluhan partisipatif, diperlukan peningkatan kapabilitas pelayanan organisasi penyuluhan. Perubahan orientasi penyuluhan dari yang berbasis kompetensi teknis kepada pengembangan kapasitas masyarakat untuk pemecahan masalah, membutuhkan transformasi organisasi dan pendekatan penyuluhan
yang
dilakukan.
Sumardjo
(1999)
mengemukakan
bahwa
kelembagaan kemitraan antara petani dengan investor swasta di dalam sistem agribisnis yang berhasil mengembangkan kerjasama saling menguntungkan dan berkesinambungan terbukti merupakan salah satu penerap model pola penyuluhan dengan model komunikasi konvergen yang ideal. Untuk mengkaji kelembagaan pendukung proses belajar petani, dalam penelitian ini digunakan pengertian kelembagaan sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1992). Kelembagaan sosial, atau pranata sosial menurut Koentjaraningrat (1992) adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi komplekskompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Pranata-pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan mata pencaharian hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribusi harta benda, yang disebut economic institutions antara lain pertanian, peternakan, koperasi, industri dan lainnya. Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia akan pendidikan supaya menjadi masyarakat yang berguna adalah educational institutions, contohnya adalah
pesantren, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah
menengah dan lainnya. Selanjutnya Koentjaraningrat (1992) menyebutkan bahwa pranata sosial berpusat pada suatu kelakuan berpola, dengan komponen-komponennya yaitu : (1) sistem norma; (2) tata kelakukan; (3) peralatan; dan (4) manusia atau personel yang melaksanakan kelakuan berpola tersebut. Sistem norma diturunkan dari nilai-nilai, sehingga sistem nilai berada lebih tinggi dari sistem norma. Untuk memahami sistem nilai merupakan upaya yang paling sulit, karena bersifat abstrak. Lebih mudah untuk melihat sistem norma, yang berpretensi menggambarkan sistem nilai. Nilai (value) merupakan konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
33
buruk. Ia mencerminkan suatu kualitas preferensi dalam tindakan, memberi perasaan identitas, dan menentukan seperangkat tujuan yang hendak dicapai oleh suatu kelompok masyarakat tersebut. Karena itu, nilai merupakan unsur pokok dan fundamental dalam masyarakat, serta menjadi tonggak bangunan struktur sosial. Di masyarakat umum juga dikenal nilai dan norma kelembagaan, yaitu nilai dan norma yang hidup pada satu kelembagaan tertentu saja. Nilai dan norma dalam satu kelembagaan adalah spesifik, meskipun tatanan nilai dan norma yang ada di lingkungan ikut mempengaruhinya. Untuk memahami nilai, digunakan kerangka Kluckhon (1961), diacu dalam Koentjaraningrat (1992) yaitu konsep orientasi nilai budaya manusia yang ditentukan berdasarkan lima masalah dalam hidup. Masalah dasar dalam hidup tersebut adalah: (1) hakekat hidup; (2) hakekat karya; (3) persepsi manusia tentang waktu; (4) pandangan manusia terhadap alam; dan (5) hakekat hubungan antara manusia dengan sesamanya. Mengacu
pada
tiga
wujud
kebudayaan
yang
dikemukakan
Koentjaraningrat (1992) yaitu wujud ideel, wujud kelakuan, dan wujud fisik, maka sistem nilai dan norma termasuk ke dalam wujud pertama kebudayaan yaitu wujud ideel. Tata kelakuan termasuk ke dalam wujud kedua yaitu wujud kelakuan. Tata kelakuan adalah segala aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelembagaan atau pranata dalam rangka mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam masyarakat. Personel dan fasilitas atau peralatan fisik merupakan wujud ketiga kebudayaan, yaitu wujud fisik. Berkaitan dengan personel, untuk pembangunan pertanian berkelanjutan sangat diperlukan perubahan peranan profesional pembangunan. Pergeseran dari tipe pengajaran (teaching) kepada pembelajaran (learning) membutuhkan konsep, nilai, metode dan perilaku baru para profesional pembangunan (Pretty,1995). Profesional yang baru dalam pembangunan berkelanjutan, perlu bekerja multidisipliner, bekerja sama dan ada keterkaitan dengan disiplin ilmu lain, juga memiliki hubungan dan komunikasi yang baik dengan masyarakat baik di kota dan di desa, serta memiliki kesadaran terus menerus mengenai interaksi dan pembangunan.
34
Para penyuluh atau tenaga kerja yang bekerja dan berhubungan dengan masyarakat (pendamping) harus memahami benar bahwa konsep penyuluhan ke depan adalah bekerja bersama masyarakat, bukan bekerja untuk masyarakat: menolong masyarakat untuk menjadi mandiri, bukan membuat masyarakat bergantung kepada para penyuluh; menjadikan masyarakat aktor inti dalam drama, dan bukan di samping panggung atau menjadi penonton. Penggunaan metode penyuluhan partisipatif harus dilengkapi dengan kegiatan menciptakan kelembagaan yang tepat untuk maju dan lingkungan belajar yang tepat bagi individu sehingga dapat mengembangkan kapasitas mereka dalam pemecahan masalah. Organisasi eksternal baik pemerintah dan non pemerintah bekerja sinergis dan saling melengkapi dalam pembangunan masyarakat. Organisasi non pemerintah berperan dalam mengembangkan ketrampilan masyarakat dalam manajemen kelompok atau kelembagaan dan pengembangan Sumber Daya Manusia. Pemerintah berperan dalam meningkatkan kemampuan dan ketrampilan teknis dan memberikan fasilitas. Interaksi antar pemerintah, organisasi non pemerintah dan masyarakat terjalin dalam forum formal seperti pertemuan, pelatihan, dan lainnya. Di masa mendatang diharapkan kemitraan dapat dikembangkan melalui interaksi informal dimana masing-masing pihak mengerti tugas dan peran utama yang diembannya, serta mengembangkan kepercayaan dan kesadaran akan pentingnya peran dan kegiatan satu sama lainnya (Pretty, 1995). Chamala dan Shingi (1997) menguraikan beberapa peran yang dapat dilakukan oleh kelembagaan eksternal (pemerintah dan non pemerintah) dalam mendukung kegiatan pembelajaran masyarakat, khususnya dalam penguatan kelembagaan petani : (1) meningkatkan kapabilitas teknis tenaga penyuluh; (2) meningkatkan ketrampilan tenaga pendamping masyarakat dalam manajemen kelompok; (3) meningkatkan sikap mental dan komitmen terhadap kelompok; (4) penggunaan metode perencanaan partisipatif: pendekatan direktif ke partisipatif, top down atau bottom-up, atau memadukan metode untuk memaksimalkan partisipasi; (5) Perbedaan cara atau tujuan: beberapa kelompok dibentuk sebagai salah satu cara pengembangan, sementara kelompok lainnya dibentuk untuk menerima subsidi dari pemerintah. Kelompok dapat menerima pertolongan, tetapi
35
juga perlu memobilisasi sumberdaya mereka dimiliki; (6) Memberi dukungan kepada petugas penyuluh lapangan.
Perubahan Perilaku sebagai Hasil Proses Belajar Hasil dari suatu proses belajar ialah adanya perubahan perilaku. Deskripsi hasil belajar banyak dikemukakan para ahli, dengan sudut pandang dan terminologi masing-masing, beberapa di antaranya yang banyak dikenal ialah Bloom et. al (1956), Merril (1983), Gagne (1985), Marzano (2000) dan yang terakhir revisi dari Taksonomi Bloom, yang diperkenalkan oleh Anderson dan Krathwohl (2001). Taksonomi tujuan pendidikan yang dikenal dengan Taksonomi Bloom merupakan acuan yang telah banyak digunakan dalam mengukur hasil suatu proses belajar dalam perkembangan pendidikan di Indonesia, maupun di seluruh dunia. Taksonomi tujuan pendidikan tersebut diklasifikasikan ke dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik (Tabel 2). Ranah kognitif berkaitan dengan kemampuan untuk mengingat kembali hal-hal yang telah dipelajari, dan membentuk kemampuan berpikir. Ranah afektif berkaitan dengan kemampuan dalam bentuk respon minat (sikap mental). Ranah psikomotorik berkaitan dengan kemampuan dalam mengaplikasikan teori dalam bentuk praktek (Suparno, 2001). Ranah kognitif mempunyai enam tingkatan, dari tingkat paling rendah yang menunjukkan kemampuan sederhana, sampai tingkat paling tinggi yang menunjukkan kemampuan lebih kompleks. Keenam tingkatan itu ialah (1) pengetahuan, yaitu kegiatan-kegiatan untuk mengingat berbagai informasi yang pernah diketahui tentang fakta, metode atau teknik maupun mengingat hal-hal yang bersifat aturan, prinsip-prinsip, atau generalisasi; (2) pemahaman, yaitu kemampuan untuk menangkap arti dari apa yang tersaji, kemampuan untuk menterjemahkan dari satu bentuk ke bentuk yang lain dalam kata-kata, angka, maupun interpretasi berbentuk penjelasan, ringkasan, prediksi dan hubungan sebab-akibat; (3) aplikasi, yaitu kemampuan untuk memanfaatkan bahan-bahan yang telah dipelajari dalam situasi yang baru; (4) analisis, yaitu kemampuan menguraikan bahan-bahan yang telah dipelajari menjadi komponen-komponen atau bagian-bagian sehingga struktur dari yang dipelajari itu menjadi lebih jelas.
36
Kemampuan menganalisis ini akan memungkinkan seseorang memahami hubungan-hubungan dan dapat mengenali bagian-bagian dari seuatu keseluruhan dengan baik. (5) sintesis ialah kemampuan mengkombinasikan unsur-unsur yang terpisah-pisah sehingga menjadi bentuk kesatuan yang baru; dan (6) evaluasi, yaitu kemampuan memberi penilaian terhadap bahan-bahan ataupun fakta berdasarkan kriteria tertentu. Tabel 2. Klasifikasi Jenjang Perubahan Perilaku Aspek Perilaku Pengetahuan (Kognitif)
Jenjang (1) Mengetahui
(2) Memahami (3) Menggunakan (4) Menganalisis (5) Mensintesa (6) Mengevaluasi Sikap (Afektif)
(1) Menerima (2) Menanggapi (3) Menilai (4) Mengorganisir (5) Menghayati
Ketrampilan (Psikomotorik)
(1) Menyadari (2) (3) (4) (5)
Menyiapkan diri Mencoba-coba Terbiasa Trampil
(6) Adaptasi (7) Mencipta
Keterangan Mengetahui spesifikasi Mengetahui pengertian Mengetahui prinsip/teori Menerjemahkan sendiri, mengartikan dan mengeksplorasi Menggunakan pengetahuan untuk kegiatan praktis dalam kehidupan sehari-hari Menganalisis unsur-unsur hubungan prinsip Menyusun dan mengkombinasikan bagianbagian sehingga membentuk kesatuan Menilai pengertian, kegiatan Menyadari kemauan untuk menerima Memperhatikan secara selektif Menanggapi dengan diam, kemauan menanggapi, menunjukkan kepuasannya Menerima nilai-nilai, memilih nilai-nilai, menunjukkan kesepakatan Mengembangkan konsep, nilai-nilai Mengubah sikap, menunjukkan sikap yang mantap Membedakan rangsangan, memilih isyarat Menterjemahkan Sikap mental, fisik, emosi Menirukan, mencoba dengan kesalahan Melakukan dengan benar Trampil dalam ketidakpastian, trampil secara otomatis Menggabungkan dengan ketrampilan lain Menciptakan ketrampilan baru
Sumber: Diadaptasi dari Seng et. al. (2001).
Ranah afektif mempunyai enam tingkatan sebagai berikut: (1) Menerima atau menaruh perhatian, yang diwujudkan dalam keinginan untuk mengambil bagian dalam kegiatan yang berhubungan dengan obyek. Selanjutnya memberikan perhatian secara terpilih selective attention, yaitu berupa perhatian pada bagianbagian khusus dari obyek; (2) Memberi respon, yaitu keinginan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan secara sukarela; (3) memberi penilaian,
37
yaitu kegiatan yang telah diikuti dengan baik dan bertanggung jawab bahkan memberikan refleksi tentang kegiatan tersebut, mulai tumbuh rasa pengabdian dan melibatkan diri secara aktif; (4) pengorganisasian, yaitu berdasarkan penilaian terhadap kegiatan yang dilakukan, dibandingkan dengan standar etika dan lainnya sehingga membentuk konseptualisasi nilai; (5) karakterisasi, yaitu tahapan dimana individu siap menilai apa yang telah diyakininya, bila penilaian atau pandangan yang diyakininya harus dibuah/direvisi. Ranah psikomotorik atau keterampilan adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik. Tujuh tahapan dalam ranah psikomotorik yaitu: (1) menyadari ialah dapat membeda-bedakan, memilih dan menyadari rangsangan, isyarat; (2) menyiapkan diri dalam mental, fisik, emosi; (3) mencoba-coba yaitu mulai melakukan/meniru walaupun masih melakukan kesalahan; (4) terbiasa ialah sudah melakukan dengan benar; (5) trampil ialah sudah cekatan melakukan dengan benar; (6) adaptasi ialah dapat menyesuaikan dan menggabungkan dengan ketrampilan lain; dan (7) mencipta ialah dapat menghasilkan ketrampilan baru. Merril (1983), diacu dalam Dwiyogo (2008) mengajukan teori yang dinamakan Component Display Theory untuk menjelaskan hasil belajar. Menurutnya hasil belajar pada dasarnya terdiri atas dua dimensi, yaitu dimensi isi dan dimensi unjuk kerja. Dimensi isi terdiri atas empat jenis, yaitu : fakta, konsep, prosedur, dan prinsip. Fakta adalah suatu informasi yang masing-masing berdiri sendiri seperti nama, tanggal, atau peristiwa. Konsep adalah suatu kelompok objek, peristiwa atau simbol yang semuanya mempunyai karakteristik dan dapat diidentifikasi dengan nama yang sama. Prosedur adalah urutan tindakan langkah demi langkah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Prinsip adalah suatu hubungan sebab akibat atau saling berhubungan antar konsep yang digunakan untuk menginterpretasikan keadaan. Dimensi unjuk kerja terdiri atas tiga jenis, yaitu: mengingat, menggunakan dan menemukan. Mengingat adalah unjuk kerja untuk mengingat informasiinformasi yang telah diperolehnya dalam memori jangka panjang. Menggunakan adalah unjuk kerja yang mempersyaratkan aplikasi berbagai abstraksi dalam berbagai masalah. Menemukan adalah unjuk kerja yang mensyarakatkan penemuan hal baru melalui kegiatan analisis dan sintesis.
38
Kedua dimensi tersebut dihubungkan sehingga dapat diklasifikasikan hubungan dimensi isi dan unjuk kerja. Hubungan keduanya disilangkan menghasilkan sepuluh jenis, yaitu: (1) mengingat fakta; (2) mengingat konsep; (3) mengingat prosedur; (4) mengingat prinsip; (5) menggunakan konsep; (6) menggunakan prosedur; (7) menggunakan prinsip; (8) menemukan konsep; (9) menemukan prosedur; dan (10) menemukan prinsip. Hasil belajar menurut Gagne (1985), diacu dalam Dwiyogo (2008), terdiri dari lima golongan kompetensi, yaitu: (1) informasi verbal, (2) ketrampilan intelektual, (3) strategi kognitif; (4) ketrampilan motorik, dan (5) sikap. Kelima ragam belajar tersebut masing-masing diperoleh dengan cara yang berbeda. Artinya, masing-masing memerlukan ketrampilan prasyarat yang berbeda dan perangkat langkah proses kognitif yang berbeda pula. Penjelasan lebih lengkap lima ragam kapabilitas belajar dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Lima Ragam Kapabilitas Belajar, Kinerja/Unjuk Kerja Kategori Kapabilitas Belajar
Kapabilitas
Kinerja/Unjuk kerja
Contoh
Informasi verbal
Pengungkapan informasi yang disimpan (fakta, label)
Menyatakan atau mengkomunikasikan informasi
Menjelaskan definisi pencemaran lingkungan
Ketrampilan intelektual
Operasi mental yang memungkinkan merespon terhadap lingkungan
Berinteraksi dengan lingkungan menggunakan lambang
Membedakan warna merah dan biru; menghitung luas segi tiga
Strategi kognitif
Proses pengontrolan yang mengatur berpikir dan belajar pada diri pembelajar
Mengelola secara efisien kegiatan mengingat, berpikir dan belajar
Membuat satu set kartu catatan untuk penulisan karya ilmiah
Keterampilan motorik
Kemampuan, kemulusan dalam melakukan serangkaian gerakan fisik
Mendemonstrasikan serangkaian gerakan fisik atau tindakan
Mengikat tali sepatu; menirukan cara menari
Memilih tindakan pribadi untuk mendekati atau menjauhi orang, objek atau peristiwa
Memilih mengunjungi museum seni daripada menonton konser
Sikap
Melakukan tindakan positif atau negatif terhadap orang, objek atau peristiwa Sumber : Dwiyogo (2008)
39
Marzano (2000) mengusulkan taksonomi baru untuk menjawab keterbatasan taksonomi Bloom. Taksonomi yang dikembangkan Marzano dibuat dari tiga sistem dan domain pengetahuan. Ketiga sistem tersebut adalah Sistem Diri (Self-system), Sistem Metakognitif dan Sistem Kognitif. Pada saat berhadapan dengan pilihan untuk memulai tugas baru, Sistem Diri memutuskan apakah melanjutkan kebiasaan yang dijalankan saat ini atau masuk dalam aktivitas baru; Sistem Metakognitif mengatur berbagai tujuan dan menjaga tingkat pencapaian tujuan-tujuan tersebut; Sistem Kognitif memproses seluruh informasi yang dibutuhkan, dan domain pengetahuan menyediakan isinya. Marzano berpendapat bahwa pengetahuan adalah bahan bakar yang memberi tenaga pada proses berpikir. Pengetahuan adalah sebuah faktor penting dalam berpikir. Tanpa adanya kecukupan informasi tentang mata pelajaran, sistem-sistem yang lain hanya bekerja sedikit sekali dan tidak akan dapat merekayasa proses belajar dengan sukses. Menurut Marzano pengetahuan dapat digolongkan ke dalam tiga bagian yaitu: informasi, prosedur mental, dan prosedur fisik. Informasi terdiri dari pengorganisasian beragam gagasan, seperti prinsipprinsip, penyederhanaan, dan rincian, seperti kamus istilah dan fakta-fakta. Berbagai prinsip dan penyederhanaan tersebut penting karena hal-hal tersebut memungkinkan kita untuk dapat menyimpan lebih banyak informasi dengan usaha yang lebih sedikit dengan menempatkan beragam konsep ke dalam bebagai kategori. Prosedur Mental adalah berbagai prosedur mental yang mencakup mulai dari beragam proses yang rumit sampai kepada tugas-tugas yang lebih sederhana seperti taktik: membaca peta dan lainnya, algoritma : perhitungan yang panjan dan lainnya; serta aturan-aturan tunggal: aturan permodalan dan lainnya. Prosedur fisik adalah kemampuan fisik yang dibutuhkan seperti membaca buku, gerakan mata, dan lainnya. Proses mental pada Sistem Kognitif dilaksanakan dari domain pengetahuan, proses ini memberi banyak orang akses informasi dan prosedur dalam ingatan mereka dan membantunya memanipulasi dan menggunakan pengetahuan ini. Sistem kognitif ini terdiri dari empat komponen yaitu : penarikan pengetahuan, pemahaman, analisis dan penggunaan pengetahuan. Setiap proses
40
terbentuk dari seluruh proses sebelumnya. Sistem Metakognitif adalah ”pengendalian misi” dari proses berpikir dan mengatur semua sistem lainnya. Sistem ini menentukan berbagai tujuan dan membuat berbagai keputusan tentang informasi apa yang dibutuhkan dan proses kognitif apa yang sangat sesuai dengan tujuan. Kemudian memantau berbagai proses dan membuat perubahan sebagaimana dibutuhkan. Sistem Diri Sendiri meliputi berbagai sikap, keyakinan dan perasaan yang menentukan motivasi seseorang untuk menyelesaikan tugas. Berbagai faktor yang berkontribusi untuk motivasi ialah: kepentingan, keefektifan dan emosi. Kepentingan adalah tanggapan seseorang dalam menentukan seberapa penting tugas tersebut untuk dirinya: apakah yang ingin dia pelajari, apakah yakin bahwa ia membutuhkannya. Keefektifan mengacu kepada keyakinan banyak orang mengenai kemampuan mereka menyelesaikan sebuah tugas dengan sukses. Seseorang yang memiliki keyakinan tinggi akan kemampuan yang dimilikinya dari berbagai sumber untuk sukses, akan dapat mengerjakan tugas dan mengatasi berbagai tantangan yang dihadapinya. Emosi memiliki dampak besar terhadap motivasi, seseorang yang efektif menggunakan kecakapan metakognitifny untuk membantu berdamai dengan berbagai tanggapan emosional dan mengambil keuntungan dari berbagai tanggapan positif. Anderson dan Krathwohl (2001) melakukan revisi dan penyesuaian atas taksonomi Bloom. Revisi yang dilakukan oleh Anderson dan Krathwohl adalah merevisi dimensi kognitif dari satu dimensi dengan enam tingkatan, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sinstesis dan evaluasi menjadi dua dimensi yaitu dimensi proses kognitif dan dimensi pengetahuan. Klasifikasi proses kognitif dibagi menjadi enam kategori yaitu : (1) Mengingat (Remembering), (2) Memahami (Understanding); (3) Menerapkan (Applying); (4) Menganalisa (Analysing); (5) Mengevaluasi (Evaluating); dan (6) Berkreasi (Creating). Proses mengingat (remembering) terdiri atas pengenalan kembali dan memanggil ulang (recall) informasi yang sesuai dari ingatan jangka panjang. Proses memahami (understanding) adalah kemampuan untuk mengartikan dan memaknai dari bahan pendidikan, seperti bahan bacaan dan penjelasan guru.
41
Kecakapan turunan (subskill) dari proses ini mencakup mengartikan dan memaknai
sendiri,
mencontohkan,
membuat
klasifikasi,
meringkas,
menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan. Proses ketiga, yaitu menerapkan (applying), mengacu kepada penggunaan sebuah prosedur yang telah dipelajari baik dalam situasi yang telah dikenal maupun pada situasi yang baru. Proses berikutnya adalah menganalisis (analyzing), terdiri dari memecah pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil dan memikirkan bagaimana bagianbagian tersebut berhubungan dengan struktur keseluruhan seutuhnya. Para siswa menganalisis dengan membedakan, mengorganisasikan, dan memberikan atribut yang bersesuaian. Mengevaluasi, yang merupakan puncak dari taksonomi yang asli, adalah proses kelima dari enam proses di dalam versi yang diperbaiki. Evaluasi tersebut mencakup pemeriksaan (checking) dan pengritisian (critiquing). Menciptakan (creating), proses yang tidak termasuk dalam taksonomi yang lebih dulu, dan merupakan komponen tertinggi dari versi yang baru ini. Kecakapan ini melibatkan usaha untuk meletakkan berbagai hal secara bersama untuk menghasilkan suatu pengetahuan baru. Agar berhasil menghasilkan sesuatu yang baru, para pelajar membangkitkan, merencanakan dan menghasilkan. Revisi taksonomi lebih menegaskan ’dimensi proses’ yang menjadi prinsip teori kognitif, yaitu bagaimana sebuah pengetahuan itu diproses dalam otak manusia. Revisi taksonomi ini juga lebih melihat fungsi otak dalam satu kesatuan ranah (domain). Dimensi pengetahuan diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu:
(1) pengetahuan faktual, (2) pengetahuan konseptual, (3) pengetahuan
prosedural dan (4) pengetahuan metakognisi. Pengetahuan Faktual adalah pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri, yaitu pemisahan elemen isi dan sedikit informasi. Meliputi istilah pengetahuan, pengetahuan umum dan elemenelemen. Pengetahuan konseptual adalah pengetahuan yang lebih rumit dalam bentuk pengetahuan yang tersusun. Meliputi pengetahuan pengklasifikasian kategori, prinsip-prinsip dan generalisasi, teori-teori, model-model, dan struktur. Pengetahuan prosedural adalah ‘pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu’. Meliputi pengetahuan ketrampilan dan algoritma, teknik-teknik dan metode-metode, maupun kriteria penentuan penggunaan pengetahuan atau pembenaran ‘ketika melakukan apa’ dalam domain dan disiplin khusus. Terakhir,
42
pengetahuan metakognitif adalah ‘pengetahuan mengenai pengertian umum maupun kesadaran, dan pengetahuan tentang salah satu pengertian itu sendiri’. Meliputi pengetahuan strategi, pengetahuan tentang tugas-tugas, termasuk pengetahuan kontekstual dan kondisional, dan pengetahuan itu sendiri Penyuluhan Merupakan Pembelajaran Masyarakat Penyuluhan pada dasarnya merupakan proses pembelajaran masyarakat, yang bertujuan mencapai perubahan perilaku individu (Sumardjo, 1999). Falsafah dasar penyuluhan menurut Slamet (1995) adalah : (1) penyuluhan adalah proses pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses demokrasi; (3) penyuluhan adalah proses kontinyu. Oleh karena itu, pada falsafah penyuluhan bermakna “Menolong orang agar orang tersebut mampu menolong dirinya sendiri, melalui pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraannya” (To help people to help themselves through educational means to improve their level of living). Penyuluhan sebagai proses pendidikan, penyuluh harus dapat membawa perubahan manusia dalam hal aspek-aspek perilaku, baik kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Sebagai
proses
demokrasi,
penyuluh
harus
mampu
mengembangkan kemampuan masyarakat. Penyuluh harus mampu mengajak sasaran
penyuluhan
berfikir,
berdiskusi,
menyelesaikan
masalahnya,
merencanakan dan bertindak bersama-sama di bawah bimbingan orang-orang di antara mereka, sehingga berlaku penyelesaian dari mereka oleh mereka dan untuk mereka. Penyuluhan sebagai proses kontinyu, penyuluhan harus dimulai dari keadaan petani pada waktu itu ke arah tujuan yang mereka kehendaki, berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan yang senantiasa berkembang, yang dirasakan oleh sasaran penyuluhan. Bila penyuluh melihat adanya kebutuhan, tetapi kebutuhan itu belum dirasakan oleh sasaran penyuluhan, padahal kebutuhan tersebut dinilai sangat vital dan mendesak, maka penyuluh perlu berusaha terlebih dahulu untuk menyadarkan sasaran akan kebutuhan yang ada tersebut (real need) menjadi kebutuhan yang dirasakan (felt need) oleh sasaran (Sumardjo, 1999). Selanjutnya Sumardjo (1999) menyebutkan bahwa penyuluhan sebagai proses pembelajaran petani harus menerapkan azas-azas penyuluhan sebagai
43
berikut Azas kemitraan berarti menempatkan sasaran/petani bukan sebagai murid, tetapi sebagai teman dan partner (mitra) belajar bagi penyuluh atau pihak-pihak yang berperan sebagai penyuluh. Azas pengalaman nyata, bermakna bahwa proses belajar yang berlangsung menyangkut situasi nyata yang dihadapi petani pada saat itu dan dalam menghadapi kehidupan menyambut masa depannya. Azas kebersamaan berarti pembelajaran menekankan kelompok merupakan media belajar yang penting, interaksi di dalamnya merupakan media belajar yang efektif. Setiap anggota kelompok perlu mempunyai kesadaran bahwa permasalahan anggota kelompok juga menjadi permasalahannya. Azas kesinambungan berarti menekankan bahwa hasil belajar menimbulkan efek ganda (multiplier effect) sehingga pembelajaran perlu berkembang dan berkesinambungan sesuai dengan perkembangan tingkat kebutuhan petani pada masa itu.
Azas manfaat yaitu
menekankan bahwa materi penyuluhan harus sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan oleh sasaran belajar dan akan bermanfaat untuk mengatasi masalah yang dihadapi sekarang. Azas kesesuaian artinya bahwa materi penyuluhan yang dipilih secara teknik sesuai dengan lingkungan fisik dan dari segi non teknis tidak bertentangan dengan sistem norma dan sistem sosial setempat dan penerapannya sesuai dengan tingkat kemampuan peserta belajar (petani). Azas lokalitas artinya menekankan bahwa materi dan metoda penyuluhan perlu memperhatikan kesesuaian materi, kondisi masyarakat dan sarana penyuluhan serta prasarana setempat (lokal). Azas keterpaduan yaitu mengembangkan kekompakan antara materi penyuluhan sehingga lebih sesuai dengan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, dengan pembahasan antar materi maupun antara berbagai pihak yang berperan sebagai penyuluh terintegrasi untuk tujuan yang jelas, yaitu mengatasi permasalahan sasaran penyuluhan. Paradigma penyuluhan saat ini juga telah mengalami pergeseran, penyuluhan bukan lagi merupakan transfer pengetahuan dan teknologi dari penyuluh kepada petani tetapi merupakan
proses belajar (learning process).
Sejalan dengan itu, Chambers (1993) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan nyata antara program pembangunan yang dijalankan dengan menggunakan pendekatan “cetak biru” dan “proses belajar” sebagaimana disajikan pada Tabel 4.
44
Perbedaan tersebut baik dalam hal munculnya ide, tahapan pendekatan, desain program, organisasi, sumberdaya, fokus manajemen, komunikasi, kepemimpinan, pengaruh yang dihasilkan dan lainnya. Hasil atau pengaruh dari pendekatan yang digunakan merupakan unsur penting yang perlu menjadi perhatian bagi para pengambil kebijakan pembangunan. Pengaruh atau hasil yang dicapai pada pendekatan proses belajar adalah pemberdayaan, sedangkan pendekatan cetak biru membangkitkan ketergantungan. Tabel 4. Perbandingan Pendekatan Cetak Biru dan Proses Belajar Cetak Biru
Proses Belajar
Ide berawal dari
Kota besar
Desa
Tahap pertama
Pengumpulan data dan rencana
Kesadaran dan tindakan
Desain
Statis, oleh ahli
Berkembang, rakyat terlibat
Organisasi pendukung
Ada atau dibangun dari atas
Dibangun dari bawah dan tersebar
Sumberdaya utama
Dana dan tenaga teknis dari pusat
Rakyat setempat dan aset mereka
Pelatihan dan pengembangan staf
Di kelas dan didaktik
Belajar dari lapang melalui tindakan
Implementasi
Cepat dan tersebar luas
Bertahap, lokal, dan dekat rakyat
Fokus manajemen
Menghabiskan anggaran dan menyelesaikan proyek tepat waktu
Penyempurnaan dan performasi terus menerus
Isi tindakan
Standar
Beragam
Komunikasi
Vertikal, menata ke bawah, lapor ke atas
Menyamping; saling belajar dan berbagi pengalaman
Kepemimpinan
Posisional, berubah
Personal, berlanjut
Evaluasi
Eksternal, sebentarsebentar
Internal, terus menerus
Kesalahan
Dipendam
Dicakup
Membangkitkan ketergantungan Sumber : Diadaptasi dari Chambers (1993)
Pengaruh
Pemberdayaan
45
Hutan Rakyat Hutan secara singkat dan sederhana didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon. Menurut Dictionary of Forestry yang diedit oleh Helms (1998), hutan (forest) didefinisikan : An ecosystem characterized by a more or less dense and extensive tree cover, often consisting of stands varying in characteristics such as species composition, structure, age class, and associated processes, and commonly including meadows, strams, fish and wildlife (suatu ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon yang kurang lebih padat dan tersebar, seringkali terdiri dari tegakan-tegakan yang beragam ciri-cirinya seperti komposisi jenis, struktur, klas umur, dan proses-proses terkait, dan umumnya mencakup padang rumput, sungai-sungai kecil, ikan dan satwa liar). Menurut Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan dinyatakan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan satusnya hutan terdiri dari hutan hak dan hutan negara. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan hak tersebut sering disebut hutan rakyat. Selanjutnya mengenai hutan hak diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak). Hutan hak menurut peraturan tersebut adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah, yang diatasnya didominasi oleh pepohonan dalam suatu ekosistem yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota. Tanah yang telah dibebani alas titel atau hak atas tanah berupa sertifikat hak milik, hak guna usaha, dan hak pakai, dapat ditunjuk sebagai hutan hak menurut fungsinya. Hutan hak mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan tak dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan pemanfaatan jasa lingkungan.
46
Pengertian hutan rakyat sampai dengan saat ini sangat beragam, pengertian hutan rakyat menurut Undang-Undang dimaksud berdasarkan status pemilikan tanahnya, bukan berdasarkan pelakunya atau subyek yang mengelola hutan. Kepmenhut 369/Kpts-V/2003 menjelaskan hutan rakyat (HR) lebih rinci yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 Ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%. Sedangkan hutan rakyat campuran ialah : (1) areal hutan rakyat yang ditanami dengan tanaman kayu-kayuan yang dicampur dengan tanaman pertanian dengan perbandingan penutupan tajuk tanaman kayukayuan lebih dari 50% (Kepmenhut 101/Kpts-II/1996); (2) sistem penanaman hutan dengan tanaman tumpangsari jenis tanaman pangan atau perkebunan yang ditanam sebagai tanaman pencampur dengan memanfaatkan ruang tumbuh yang belum terkena naungan selama 2-3 tahun dan hasil akhirnya berupa tanaman kayu-kayuan (Kepdirjen 109/Kpts/V/1997). Hutan rakyat murni (HRM) adalah kegiatan usaha hutan rakyat dimana tanaman yang diusahakan secara keseluruhannya adalah tanaman kayu-kayuan (Kepdirjen 109/Kpts-V/1997) dan Hutan rakyat swadaya adalah lahan miliki atau lahan marga yang ditanaman tanaman pohon kayu-kayuan dan buah-buahan yang dilaksanakan oleh kelompok tani secara swadaya (Kepmenhut 679/Kpts-II/1996). Pada mulanya pengembangan hutan rakyat berasal dari kegiatan penghijauan untuk rehabilitasi lahan milik masyarakat. Pada perkembangannya kegiatan hutan rakyat berkembang menjadi unit usaha masyarakat yang bertujuan disamping untuk rehabilitasi lahan juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dari hasil penjualan dan pemanfaatan kayu. Peranan hutan rakyat berkembang dan menjadi signifikan setelah adanya permintaan untuk pemenuhan kebutuhan kayu. Pada saat ini permintaan kayu semakin meningkat di lain pihak kapasitas produksi dari hutan alam cenderung menurun. Disamping itu kayu dari hutan rakyat saat ini memiliki nilai ekonomi yang cukup baik. Kondisi ini menjadi peluang yang sangat potensial untuk pengembangan hutan rakyat lebih lanjut, yang akan mendorong berkembangnya usaha rakyat di pedesaan.
47
Pengembangan hutan rakyat merupakan salah satu alternatif pengelolaan hutan di Indonesia yang berorientasi kepada pemberdayaan ekonomi yang berbasiskan rakyat kecil (ekonomi kerakyatan).
Hutan rakyat perlu terus
dikembangkan, karena telah dibuktikan melalui berbagai penelitian bahwa hutan rakyat memberikan manfaat baik dari segi ekonomis maupun segi ekologis. Dari dari segi ekonomi, hutan rakyat dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan kayu bakar, kayu perkakas dan hasil hutan lainnya, juga memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat. Dari segi ekologis, hutan rakyat dapat merehabilitasi lahan kritis, menahan erosi, mengurangi bahaya banjir, perbaikan tata air dan lainnya. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, luas hutan rakyat di Indonesia sampai dengan April 2006 tercatat 1.272.505,61 hektar yang tersebar di 24 propinsi di antaranya diperkirakan seluas 500.000 hektar terdapat di Jawa. Potensi tegakan tanaman kayu tersebut diperkirakan mencapai 43 juta m3 yang terutama terdiri dari kayu sengon, jati, akasia, sonokeling, mahoni dan jenis tanaman buahbuahan (Dephut, 2009). Keberadaan hutan rakyat di Jawa, sebagaimana hutan rakyat lainnya tidak semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikro organisme, mineral tanah, air dan udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya. Oleh karena itu ada berbagai macam pengelolaan hutan rakyat, yang bervariasi dari suatu wilayah ke wilayah lainnya yang dikembangkan masyarakat berdasarkan kebudayaannya, misalnya : hutan rakyat dengan sistem agroforestry kebun campuran dan pekarangan di daerah Kalimendong dan Jonggolsari, Wonosobo; dan di Sukabumi
dikembangkan hutan rakyat dengan
tanaman sengon yang dikombinasi dengan tanaman padi pada saat musim hujan dan dengan pisang atau kelapa bila sengon sudah rimbun (Suhardjito, 2000). Keberhasilan pembangunan hutan rakyat akan memberikan sumbangan yang positif terhadap pembangunan nasional, dalam bentuk : (a) memberikan produksi kayu dan hasil hutan ikutan; (b) memperluas kesempatan kerja dan aksesibilitas di pedesaan; (c) memperbaiki sistem tata air dan meningkatkan perlindungan tanah dari gangguan erosi; (d) meningkatkan penguraian oksida karbon (CO2) dan polutan lain di udara karena adanya peningkatan proses
48
fotosintesis di permukaan bumi; (e) menjaga agar kadar oksigen di udara tetap pada tingkat yang menguntungkan bagi mahluk hidup; dan (f) menyediakan habitat untuk menjaga keragaman hayati (biodiversity) flora dan fauna. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dikaji oleh Badan Litbang Kehutanan dari beberapa lokasi hutan rakyat, permasalahan-permasalahan yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan hutan rakyat dikelompokan ke dalam empat sub sistem, yaitu: produksi, pengolahan hasil, pemasaran, kelembagaan dan kebijakan serta peraturan perundangan (Mindawati et.al., 2006). Permasalahan pada sub sistem produksi antara lain: (a) keterbatasan pengetahuan masyarakat dalam teknik silvikultur; (b) keterbatasan modal masyarakat; (c) luas pemilikan lahan yang sempit dan lokasi yang terpencar menyulitkan pengelolaan dalam satu kesatuan manajemen; (d) pembinaan tidak berkelanjutan dan hanya diarahkan pada kegiatan keproyekan jangka pendek. Permasalahan pada sub sistem pengolahan hasil terutama pada penanganan pasca panen yang lemah. Hal ini disebabkan oleh: (a) keterbatasan modal petani; (b) keterbatasan pengetahuan petani dalam pengolahan kayu dan limbah kayu; dan (c) produk kayu belum sesuai dengan persyaratan yang diminta pasar. Permasalahan pada sub sistem pemasaran disebabkan oleh: (a) pemasaran masih dilakukan perorangan sehingga posisi tawar petani lemah; (b) belum mantapnya tata niaga dan informasi pasar kayu rakyat; (c) peraturan yang berkaitan dengan izin tebang bagi petani masih dirasakan cukup rumit; dan (d) belum ada jaminan tentang kejelasan pasar dan perlindungan harga kayu rakyat yang wajar. Permasalahan pada sub sistem kelembagaan, kebijakan dan peraturan perundangan adalah : (a) sumber daya manusia masih rendah, intervensi pemerintah dalam pembentukan kelompok sifatnya top down dan pembinaan tidak berkelanjutan atau bersifat keproyekan; (b) kebijakan pembangunan kehutanan masih mengacu pada penanaman dan belum dirancang secara terpadu dengan komoditi yang lain agar pemanfaatan lahan lebih optimal; (c) kurang komunikasi baik antar multipihak. Selain itu pelaksanaan pembangunan hutan rakyat masih kurang memperhatikan kaitan antar sektor maupun antar sub sektor untuk keberhasilan seluruh sistem; aturan organisasi seringkali tidak jelas; dan
49
peraturan perundangan yang menyangkut hutan rakyat masih terbatas baik di tingkat pusat maupun daerah, dan belum ada rencana strategis pengembangan hutan rakyat pada setiap kabupaten sehingga sulit diketahui potensi dan sebaran lokasi hutan rakyat. Akibatnya data dan informasi mengenai perkiraan produksi kayu rakyat masih belum akurat.
Sistem Sertifikasi Ekolabel Pengelolaan Hutan Lestari Pengelolaan
Hutan
Berkelanjutan/Lestari
(Sustainable
Forest
Management) merupakan salah satu perwujudan komitmen bangsa Indonesia terhadap kesepakatan internasional Biodiversity Convention tahun 1992 di Rio de Janeiro, yang ditetapkan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1994. Penerapan sertifikasi Ekolabel yang merupakan persyaratan untuk memasuki pasaran kayu global, mulai diterapkan pada tahun 2000 terhadap kayu hasil hutan produksi. Sertifikasi Ekolabel merupakan salah satu kebijakan kebijakan pemerintah sebagai bagian dari upaya mengembangkan Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia, juga merupakan “ruang” intervensi organisasi non pemerintah (ornop) terhadap pasar kayu global. Bagi ornop, sertifikasi ekolabel dapat menjadi instrumen efektif untuk mendorong proses demokratisasi pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia, antara lain melalui transparansi informasi kehutanan dan pelibatan masyarakat dalam proses sertifikasi (LEI, 2007). Komitmen berbagai pihak untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari telah melahirkan berbagai ukuran/standar kelestarian yang dituangkan ke dalam bentuk seperangkat kriteria dan indikator ataupun ke dalam bentuk ‘prinsip’ dan kriteria. Ukuran/standar kelestarian tersebut ada yang secara khusus diarahkan untuk menilai kinerja pengelolaan hutan yang dilakukan oleh suatu ‘Forest Management Unit’ (FMU) sebagai suatu persyaratan untuk memperoleh sertifikat untuk memenuhi permintaan pasar ataupun yang digunakan terbatas pada upaya untuk mendorong FMU untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari. Ukuran/standar kelestarian tersebut telah banyak dikembangkan, baik oleh lembaga pemerintah maupun non-pemerintah dengan cakupan nasional, regional maupun
internasional.
Beberapa
lembaga
yang
telah
mengembangkan
50
ukuran/standar kelestarian antara lain : ‘International Timber Tropical Organization’ (ITTO), ‘Forest Stewardship Council (FSC) Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), ‘Pan-European Forest Certification’ (PEFC), Center For International
Forestry
Research
(CIFOR)
dan
Kementerian
Kehutanan
(Kemenhut). Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Lestari yang dirumuskan oleh lembaga-lembaga tersebut berbeda-beda, namun secara umum mencakup aspek-aspek yang hampir sama, yaitu minimal mencakup aspek kesehatan hutan atau kelestarian hutan secara fisik, ekologi, biologi, aspek ekonomi hutan serta aspek sosial hutan terhadap kehidupan masyarakat. Berbeda degan institusi lainnya, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) membedakan kriteria dan indikator pengelolaan hutan di hutan alam, hutan produksi, maupun Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBML). CIFOR secara lebih rinci dan khusus menekankan kriteria dan indikator pengelolaan hutan yang dikelola oleh masyarakat. Sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat mendapat perhatian khusus, karena sebelum ini
dianggap sebagai sebuah
anakronisme di era modern, merusak hutan, tidak efisien dan tidak produktif (Ritchie et.al., 2001). Pandangan ini menyebabkan terhambatnya sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat, bahkan berdampak pada hilangnya sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya. Beberapa dekade terakhir, pandangan tersebut telah terbantahkan dengan terbuktinya keberhasilan pengelolaan hutan lestari oleh masyarakat secara tradisional, antara lain pengelolaan repong damar di Krui Lampung, kebun kemenyan di Tapanuli Utara, pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Gunung Kidul. CIFOR merumuskan kriteria dan indikator Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat secara Lestari (PHML), yang disimpulkan dalam empat prinsip pengelolaan
hutan
secara
lestari,
yaitu:
(1)
kesejahteraan
masyarakat
(kelembagaan) terjamin; (2) kesejahteraan rakyat terjamin; (3) kesehatan lansekap hutan terjamin; dan (4) lindungan eksternal mendukung PHML. Kesejahteraan masyarakat terjamin dalam hal ini ialah kemampuan masyarakat untuk mengelola, mengembangkan peraturan manajemen dan menjalankannya, serta mengelola wilayahnya yang telah diakui secara de jure. Kemampuan masyarakat tersebut
51
digolongkan ke dalam empat bagian : (a) lembaga/organisasi masyarakat dan partisipasi; (b) mekanisme pengelolaan lokal (norma, peraturan, undang-undang dan lainnya); (c) manajemen konflik; dan (d) kewenangan untuk mengelola (status kepemilikan) (Ritchie et.al., 2001). Kesejahteraan rakyat dalam hal ini ialah seberapa jauh hutan menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat, masyarakat memperoleh kesejahteraan lebih tinggi dengan berinteraksi dengan hutan serta kesempatan masyarakat untuk mempertahankan
kepentingan
pribadi
untuk
menjaga
kelangsungan
hidup/kelestarian hutan. Kesejahteraan rakyat diuraikan ke dalam empat bagian, yaitu : (a) kesehatan dan makanan; (b) kesejahteraan (mata pencaharian, pembagian
biaya
dan
keuntungan,
kesetaraan);
(c)
kebijaksanaan
dan
kebersamaan dalam berbagi ilmu pengetahuan; dan (d) kesepakatan kepemilikan lahan di dalam masyarakat. Kesehatan lansekap hutan terjamin dihasilkan dari sistem pengelolaan hutan yang ditetapkan. Sistem pengelolaan hutan tersebut terdiri dari lima bagian, yaitu : (a) perencanaan (zonasi dan kawasan dilindungi); (b) pengelolaan fungsi ekosistem; (c) intervensi produktif; (d) kesehatan hutan; dan (e) keanekaragaman lanskap. Prinsip lingkungan eksternal yang mendukung PML ialah seberapa jauh masyarakat didukung oleh badan-badan eksternal seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam mengelola hutan secara lestari, serta bagaimana “kesehatan” hubungan kemitraan tersebut. Prinsip ini terdiri dari empat bagian yaitu : (a) hubungan dengan pihak ketiga; (b) kebijakan dan kerangka hukum; (c) ekonomi; dan (d) pendidikan dan informasi. LEI (2007) menetapkan secara khusus kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari yang diperuntukkan bagi unit pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia ke dalam kategori Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Hutan yang dapat dikategorikan ke dalam PHBML antara lain hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan adat, dan hutan lainnya yang dikelola oleh masyarakat. Kriteria dan
indikator sertifikasi PHBML
menurut LEI terbagi ke dalam tiga bagian yaitu : (1) Kelestarian fungsi produksi; (2) Kelestarian fungsi ekologi dan (3) Kelestarian fungsi sosial.
52
Kelestarian fungsi produksi ialah terjaminnya keberlanjutan pemanfaatan hasil hutan dan usahanya. Kelestarian fungsi produksi dibagi ke dalam tiga kriteria yaitu : (a) Kelestarian sumberdaya, (b) Kelestarian hasil, dan (c) Kelestarian usaha. Kelestarian sumberdaya hutan adalah terjaminnya kemantapan dan keamanan kawasan hutan berbasis masyarakat sehingga memberikan kepastian usaha jangka panjang. Kelestarian hasil adalah keberlanjutan dan atau peningkatan produksi hasil hutan dari waktu ke waktu akibat peningkatan upaya pengelolaan hutan. Kelestarian usaha adalah kemampuan unit manajemen dalam mengelola hutan berbasis masyarakat untuk memberikan keuntungan dalam batasbatas kemampuan daya dukung hutan. Kelestarian fungsi ekologi adalah terjaminnya fungsi hutan sebagai sistem penyangga kehidupan berbagai spesies asli dan ekosistem di dalam unit manajemen. Kelestarian fungsi ekologi terdiri dari dua kriteria yaitu : (a) Stabilitas ekosistem, dan (b) Sintasan spesifik langka/endemik/dilindungi. Kestabilan ekosistem dalam hal ini ialah ukuran keseimbangan dinamis dari struktur dan fungsi ekosistem hutan berikut komponen-komponennya sehingga menjamin kapasitas produksi optimum sesuai dengan batas-batas daya lenting ekologisnya. Sintasan spesies endemik/langka/dilindungi adalah kemampuan spesies flora-fauna endemik/langka/dilindungi untuk beradaptasi dengan habitat hutan berbasis masyarakat. Kelestarian
fungsi
sosial
ialah
terjaminnya
keberlanjutan
fungsi
pengusahaan hutan bagi kehidupan masyarakat setempat yang tergantung pada hutan, baik langsung maupun tidak langsung secara lintas generasi. Kelestarian fungsi sosial terdiri dari empat kriteria yaitu : (a) Kejelasan sistem tenurial lahan dan hutan komunitas; (b) Terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas; (c) Terbangunnya pola hubungan sosial yang simetris dalam proses produksi; dan (d) Keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas. Kejelasan sistem tenurial dalam hal ini adalah keberadaan serangkaian hak dan kewajiban yang mengatur hubungan antar pihak-pihak yang mengelola dan memanfaatkan hutan yang bersumber dari pihak-pihak pengelola dan yang menjamin kehidupan masyarakat secara lintas generasi tidak diabaikan akibat keberadaan unit manajemen, sebagaimana tergambarkan dalam tata batas yang
53
terdefinisikan secara jelas dan telah disepakati oleh pihak yang terkait di dalamnya.
Terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi masyarakat
dalam hal ini adalah kegiatan ekonomi dan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat tetap dapat berlangsung, termasuk terbukanya kesempatan kerja dan peluang berusaha yang terbuka, bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat secara lintas generasi. Keadilan manfaat adalah upaya-upaya untuk menciptakan pembagian manfaat secara adil antara pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan. Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat ternyata telah terbukti dapat memenuhi kriteria dan indikator kelestarian yang ditetapkan oleh lembagalembaga tersebut. Sejak tahun 2004 sampai dengan saat ini LEI, FSC bekerja sama dengan berbagai pihak telah mengeluarkan sertifikat Ekolabel bagi enam unit pengelolaan hutan yang dikelola oleh masyarakat, dua di antaranya ialah Hutan Rakyat di Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Gunung Kidul.