TINJAUAN PUSTAKA
Simbiosis Inang-Parasit dan Spesifitas Simbiosis atau interaksi antara dua individu yang berlainan spesies bisa ditemukan dalam suatu ekosistem. Simbiosis bisa dikelompokkan berdasarkan untung dan rugi antara spesies-spesies yang bersimbiosis. Beberapa jenis simbiosis yaitu simbiosis mutualisme merupakan interaksi di antara dua spesies yang saling menguntungkan, simbiosis komensalisme merupakan interaksi dua spesies yang tidak saling menguntungkan ataupun merugikan dan simbiosis parasitisme (Brotowidjoyo 1987). Parasit merupakan organisme yang menumpang hidup pada organisme lain yang disebut dengan inang. Kusumamihardja (1988) menyatakan parasitisme hanya terjadi bila salah satu spesies bergantung dan mendapatkan makanan dan perlindungan dari spesies yang ditumpanginya. Kehadiran parasit dalam tubuh inang dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar atau lingkungan meliputi habitat dan lingkungan inang serta kesediaan makanan yang cukup bagi inang untuk menunjang kehidupan parasit. Faktor dalam meliputi kondisi tubuh inang tempat parasit bermukim yakni diorgan tubuh (Sprent 1963). Inang berperan penting di alam dalam penentuan kehadiran parasit. Kecocokan inang merupakan penyesuaian alami satu jenis parasit pada satu atau beberapa inang. Parasit ini mempunyai batasan ekologi yang sempit pada inangnya saja. . inang, selain mengganggu kehidupan inang, parasit juga berperan sebagai pengontrol dinamika produksi inang (Newey et al. 2005) Kennedy (1975) menjelaskan bahwa ekologi parasit adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara parasit dengan lingkungan habitatnya. Ekologi parasit meliputi distribusi parasit dengan tekanan pada sumber makanannya dan interaksi jenis-jenis parasit dalam satu habitat. Pada umumnya parasit tidak terdapat pada berbagai jenis inang atau parasit itu memiliki inang pilihan. Secara alami parasit itu menunjukkan derajat preferensi inang. Derajat preferensi inang adalah produk adaptasi biologis yang diperoleh oleh moyangnya dan diturunkan pada progeninya. Makin tinggi derajat preferensi itu menyebabkan adanya spesifitas inang (Brotowidjoyo 1987).
Little et al. (2006) menyatakan bahwa infeksi maupun infestasi parasit terhadap inang bersifat luas dan memiliki spesifitas. Parasit tersebut hanya akan menyerang satu atau sejumlah kecil inang. Spesifitas terjadi karena adanya adaptasi lokal parasit terhadap populasi inang. Mekanisme spesifitas sangat tergantung pada distribusi geografi antara inang dan parasitnya. Spesifitas tergolong atas tiga bagian yaitu spesifik yaitu parasit hanya akan menyerang satu inang tertentu, multi inang yaitu satu jenis parasit itu dapat menyerang berbagai kelompok hewan dan multi parasit terjadi bila satu inang dapat di jumpai berbagai jenis parasit (Sudina 2000; Yasa & Guntoro 2004 ). Prevalensi merupakan persentase jenis parasit yang menginfestasi kurakura. Prevalensi berhubungan dengan habitat, penyebaran dan sumber perairan (Pramiati 2002). Intensitas merupakan derajat jenis parasit yang menginfestasi kura-kura. prevalensi dan intensitas dari parasit yang menginfestasi inang merupakan suatu pendekatan dalam pemahaman dampak parasit terhadap populasi
Karakteristik kura-kura sebagai inang Kura-kura merupakan salah satu anggota dari kelompok herpetofauna. Herpetofauna merupakan semua hewan yang termasuk dalam kelas hewan melata yaitu kelas Amphibia dan Reptilia. Herpetofauna berasal dari kata herpeton yang berarti hewan yang berjalan merayap (Goin & Zug 1993). Secara umum kura-kura dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok Cryptodira yang umumnya dapat memasukkan kepala ke dalam perisainya dan kelompok Pleurodira yang kepala dan lehernya hanya dibelokkan ke samping apabila bersembunyi. Kura-kura kelompok Pleurodira dapat mudah dikenali. Selain dari lehernya yang tidak dapat dimasukkan ke dalam perisainya, juga dari bagian perisai perutnya yang mempunyai keping intergular (Ernst & Barbour 1989). Morfologi kura-kura mudah dikenali dengan adanya perisai punggung dan perisai perut. Ciri-ciri luar seperti keping perisai, kepala, sisik dan warna merupakan pilihan yang termuda dan cukup handal untuk mengidentifikasi kura-kura.
Cuora amboinensis Cuora amboinensis atau yang dikenal dengan nama Southeast Asian Box Turtle C. amboinensis (Daudin, 1802), Wallacean Box Turtle C. a. amboinensis (Daudin, 1802), Malayan Box Turtle C. a. kamaroma Rummler and Fritz 1991, Indonesian Box Turtle C. a. couro (Schweigger, 1812), Burmese Box Turtle C. a. lineata McCord and Philippen, 1998. Di Indonesia, kura-kura air tawar secara umum dikenal dengan nama ‘Kura Kura’, nama khas tergantung kepada nama daerah tempat kura-kura tersebut, misalnya: Kura Kura ambon, Kura Kura kuning, Kura Kura batok, Kura Kura PD, Baning Banya, Kura Kurakatup, Kura kura tangkop, Kangkop (Schoppe 2008). Cuora amboinensis merupakan salah satu anggota kelompok terrapin atau kura-kura air tawar. Cuora amboinensis memiliki ciri antara lain bentuk karapas yang relatif tinggi dengan tiga buah lunas pada keping vertebral dan keping kostal. Urutan panjang keping vertebral 2 > 3 > 1 > 4 > 5 sedangkan urutan panjang hubungan antara plastron adalah abdominal >< anal > pectoral > gular > femoral > humeral. Keping inguinal dan aksilar sangat kecil, keping anal tidak berlekuk pada bagian belakang.. Ekor pendek, anggota tubuh mempunyai jari-jari yang berselaput, hewan jantan mempunyai plastron yang cekung dan ekor yang lebih tebal sedangkan yang betina mempunyai plastron yang datar dan ekor yang pendek. Besarnya dapat mencapai 20 cm (Ernst & Barbour 1989; Iskandar 2000). Warna karapas coklat hingga hitam, plastron pada umumnya berwarna putih atau krem putih dengan bercak hitam pada setiap kepingnya, pada kepala terdapat garis kuning yang melingkar mengikuti tepi bagian atas kepala sangat spesifik, matanya mempunyai iris berwarna kuning dan hitam pada sisinya.
Gambar 1. Cuora amboinensis
Cuora amboinensis menyukai habitat perairan yang dangkal dan berarus sedang, selain di sungai, cuora ini dapat di jumpai pada rawa, persawahan dan laut (Iskandar, 2000). Senneka & Tabaka (2004) menyatakan lingkungan perairan yang menjadi habitat C. amboinensis memiliki kisaran suhu antara 25-280C. Cuora merupakan salah satu spesies yang mendiami habitat semi aquatik tetapi untuk juvenil selalu berada di dalam air (Taylor 1920). Cuora amboinensis menghabiskan sebagian besar waktunya di perairan, dan naik ke darat untuk berjemur dan membuat sarang. Murray (2004) menyatakan penyebaran C. amboinensis meliputi India (pulau Nicobar, Assam), Bangladesh, Myanmar, Thailand, Vietnam, Malaysia Singapura, Filipina. Penyebaran C. amboinensis di Indonesia meliputi daerah Sumatra, Jawa, Borneo, Nias, Enggano, Simeulue, Sumbawa, Halmahera, Seram, Maluku dan Sumbawa (Iskandar 2000). Cuora amboinensis termasuk ke dalam hewan dengan status konservasi apendix II sites dengan status “Vulnerable”, tetapi walaupun hewan ini tidak dikategorikan sebagai hewan langka namun di eksploitasi dan dimanfaatkan secara besar-besaran sehingga mengandung resiko kepunahan (CITES, Apendiks I dan II).
Hewan-hewan Parasit Kelompok hewan yang bersifat parasit ini tergolong ke dalam Filum Protozoa, Filum Platyhelminthes, Filum Nemathelminthes dan Filum Arthropoda. Parasit ini terdapat di permukaan luar tubuh dan hidup di dalam tubuh (Sains & Hartini 1999). Protozoa merupakan hewan uniseluler yang berukuran mikroskopis dan bersifat parasit pada beberapa spesies hewan invertebrata maupun vertebrata (Semans 2006). Filum Platyhelminthes dan Nemathelminthes tergolong ke dalam kelompok cacing. Platyhelminthes berasal dari bahasa Yunani yakni platys berarti pipih dan helmiths yang berarti cacing (Romimohtarto, 2005). Ciri khas lain yang dapat dijumpai adalah hewan tidak beruas, simetri bilateral, tidak mempunyai anus maupun rongga tubuh atau selom, hermafrodit, dapat hidup bebas di dalam
air sungai dan di laut ataupun hidup parasit pada tubuh hewan lain (Mollaret 2006). Ciri yang lain adalah berukuran lebih kecil dari 10mm pada beberapa jenis. Makanan berupa hewan-hewan invertebrata kecil (Brown 1979) Nematoda merupakan anggota filum Nemathelminthes. Karakteristik nematoda adalah mempunyai saluran usus dan rongga badan, berbentuk bulat tidak bersegmen, tubuhnya dilapisi oleh kutikula. Ciri lain ditandai dengan adanya sebuah mulut pada ujung anterior, mulut dikelilingi oleh bibir. Arthropoda memiliki anggota kelompok yang bersifat vektor parasit dan ada juga yang hidup bebas di alam. Karakteristik hewan ini adalah tubuhnya berbuku-buku, memilik eksoskeleton, berhabitat di darat maupun di perairan (Cable 1997). Berdasarkan habitat parasit dalam tubuh inang maka analisis endoparasit dapat dilakukan melalui feses. Marquard & Petersen (2007) menyatakan bahwa feses dapat digunakan untuk mengetahui parasit yang hidup di saluran pencernaan. Endoparasit dalam tubuh inang mungkin terdapat dalam sistem tubuh inang yaitu sistem pencernaan, sistem sirkulasi dan sistem respirasi. Dalam sistem pencernaan, parasit dapat dijumpai dalam saluran dan dinding saluran pencernaan, yaitu duodenum, ileum, yeyunum, sekum, kolon dan rektum. Parasit-parasit yang mendiami saluran dan dinding saluran pencernaan memperoleh makanannya dengan cara mengabsorpsi makanan yang terlarut di dinding sel dan di jaringan tersebut. Organ paru-paru dalam sistem respirasi merupakan organ lintasan bagi cacing nematoda dan merupakan tempat berbiaknya larva trematoda. Sistem pencernaan pada kura-kura (Gambar 2) terdiri dari mulut, kerongkongan, lambung, usus dan kloaka. Di dalam saluran pencernaan inilah parasit bermukim, khususnya di bagian usus.
Gambar 2. Sistem pencernaan kura-kura
Karakteristik Wilayah Penelitian Pulau Sulawesi atau yang dulu lebih dikenal dengan nama Celebes merupakan salah satu pulau besar Indonesia. Sulawesi merupakan pulau kelima terbesar di Indonesia. Pulau ini terbentuk sebagai akibat benturan beberapa patahan benua Gondwana tiga juta tahun yang lalu (Lang & Vogel, 2006). Indonesia terletak pada tiga pertemuan lempeng yaitu Australia, Eurasia dan Pasifik. Pertemuan ketiga lempeng tersebut membentuk pulau di zaman Eocene. Sulawesi terletak diantara Borneo dan Maluku dan juga terletak antara dua benua yaitu Asia dan Australia. Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyarankan garis pemisah fauna yang dikenal sebagai garis Wallace (Gambar 3). Garis ini memisahkan wilayah zoogeografi Oriental dan Australia garis ini memisahkan sebagian besar fauna Asia dan Australia (Cox & Moore 2000).
Gambar 3. Garis Wallace Fauna dan flora yang mendiami pulau Sulawesi merupakan hewan transisi bersifat khas dan memiliki tingkat endemisitas tinggi. Tingkat endemisitas yang tinggi pada fauna terdapat dalam kelompok mamalia, amphibia, dan invertebrata. Pulau ini memiliki daratan yang luas dan sejumlah kepulauan dengan topografi dan ekosistem yang beragam (Whitten et al. 1987; Gillespie et al. 2005). Iskandar & Tjan 1996 melaporkan terdapat 115 taksa reptilia yang bersifat endemik di pulau ini. Salah satu propinsi di Sulawesi yakni Propinsi Sulawesi Selatan yang beribukota di Makassar terletak antara 0o12’-8o Lintang Selatan dan 116o48’122o36’ Bujur Timur dengan luas wilayah berkisar 45.574,56 km2 yang meliputi 22 kabupaten dan 3 kota.