TINJAUAN PUSTAKA
Konseosi dan Ke~emilikanLahan
Pengertian Lahan
Tanah (lahan) menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia. Sehubungan dengan ha1 tersebut, maka untuk mendefinislkannya harus dipahami secara utuh melalui dimensi-dimensinya atau faset-fasetnya. Dimensi-dimensi lahan atau faset-faset lahan yang dimaksud dikemukakan oleh Barlowe (1978), Saefulhakim (1994), dan Winoto (1999) sebagai berikut : 1. Lahan sebagai ruang (space). Lahan sebagai ruang d i d a n sebagai area geografis yang merupakan wadah bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi sebagai suatu sistem interaksi antara masyarakat dan sumberdaya lahan sebagai llfe support system-nya 2. Lahan sebagai alam (nature). Lahan dalam pengertian ini adalah sebagai lingkungan alamiah yang proses-proses terkait di dalamnya sangat ditentukan oleh faktor-faktor alamiah seperti iklun, batuan induk, hujan, topografi, dan lain sebagainya. 3. Lahan sebagai faktor produksi Cfactor of production). Dalam pengertian ini, lahan
diartikan sebagai sumberdaya dasar makanan, serat, bahan-bahan bangunan, mineral, energi, dan bahan-bahan alamiah lain yang dibutuhkan oleh manusia untuk memenuhi keinginan-keinginankehtdupannya.
4. Lahan sebagai barang konsumsi (consumption good). Dalam pengertian ini, lahan dipandang sebagai barang konsumsi karena adanya nilai langsung yang dinkmati masyarakat ahbat konsumsi yang dilakukan. 5. Lahan sebagai situasi (situation). Lahan dalam pengertian ini meliputi lokasi atau
posisi strategis yang dimilila lahan bak dalam hubungamya dengan pusat pasar atau pusat pengembangan maupun dalam hubungannya dengan sumberdaya lain atau kondisi geografis lahan yang bersangkutan
6. Lahan sebagai properti @rope@). Dalam pengertian ini, lahan meliputi kepemilikan beserta segala entitlement yang berkaitan dengan hak kepemilikan lahan. 7. Lahan sebagai kapital (capital). Dalam pengedan ini, lahan dipandang secara
kapital karena ciri-ciri yang dimilikinya yaitu d i m u n w a n adanya campur tangan manusia untuk mempenganh eksistensinya (walau dia juga God-grfr resource) dan expendable (walaupun lahan juga bersifat durable). Selanjutnya Haar (1968), mengungkapkan bahwa pengertian tanah tergantung dari sudut pandang terhadap tanah tersebut, diantaranya : In law it is propem; in political science it is source of power and strategy; in economics it is a factor ofproduction and a form of capitals; in social psychology it is a personalized guarantor of security; in anthropology an item of culture and impart of social system; in agriculture it means basically the soil; to geographers land can mean most of these things, but most of all perhaps surface of land use. Barlowe (1978), mengibaratkan tanah sebagai sepotong intan (batu permata) yang mempunyai banyak sisi, adakalanya tanah dipandang sebagai ruang, alam, faktor produksi, barang-barang konsumsi, milik dan modal. Disamping itu ada juga
yang memandang tanah sebagai benda yang berkaitan dengan Tuhan (sang pencipta), berkaitan dengan masyarakat, yang menimbulkan pandangan bahwa tanah sebagai kosmos, dan juga tanah adalah tabungan. Santoso (1994), memandang tanah dengan menekankan pada keberadaan manusia di atas tanah (lingkungannya), berpendapat bahwa sebagai makhluk teritorial, manusia tidak dapat hidup terlepas dari wilayah tempat bermukim. Sebagai makhluk sosial dan juga makhluk wilayah, manusia ditakdirkan tidak dapat hidup sendiri, bahkan mempunyai naluri atau dorongan untuk hdup berkelompok, dan selalu berhubungan satu sama lainnya di atas sebidang tanah dan tidak dapat hdup terpisahkan dari tanah. Pentingnya keberadaan tanah dalam kehidupan manusia, menunjukkan bahwa tanah
dijadikan
sebagai
media
pengkat
(integrative factor)
hubungan
kemasyarakatan atau sebagai sarana pemersatu. Pada h g s i tanah sebagai faktor integrasi, ditunjukkan bahwa tanah sebagai sarana pemersatu bagi masyarakat untuk tinggal bersama di wilayah tertentu, sehingga terlihat keterkaitan yang erat sekali antara tanah dan kelompok. Disini ditunjnkkan bahwa tanah yang dimiliki bersama oleh suatu kelompok sangat penting artinya bagi keberadaan dan kelangsungan hidup dari kelompok dan anggota kelompok tersebut. Seiring dengan itu, tanah juga mempakan pegangan bagi kelompok tersebut untuk menunjukkan keberadaannya bila berhadapan dengan kelompok lain. Pentingnya tanah mendorong timbulnya upaya untuk selalu mempertahankannya dan meminta tanggung jawab dari anggotanya untuk itu.
Disamping itu tanah juga berfungsi untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kemasyarakatan seperti untuk upacara seremonial, kegiatan keagamaan, dan kegiatankegiatan kemasyarakatan lain yang sangat berguna bagi kelangsungan dan keutuhan kesatuan kelompoknya. Dialektika yang terbentuk dalam hubungan manusia dan tanah akan memberi warna tersendni bagi kehidupan manusia dalam masyarakat. Hubungan tersebut di atas &pat menentukan dan mempengamh seluruh struktu~hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat, bahkan
hubungan antara manusia dalam suatu negara seperti yang dikemukakan oleh Haar (1968) bahwa hubungan kekerabatan dan teritorial (tanah yang dkuasai bersama) menentukan struktur (susunan) Huma di Mentawai, Curi di Nias, Huta dan Kuria di Batak, Marga dan Dusun di Sumatera Selatan, dan Nagari di Minangkabau.
Kepemilikan Lahan Munculnya Hak-Hak atas Lahan. Smith (dalam Hermayulis, 1999) mengemukakan bahwa tejadinya perbedaan perkembangan aturan kepemilikan lahan berkaitan erat dengan tingkat perbedaan perkembangan masyarakat. Keadaan ini menyebabkan proses tejadinya "pemunyaan"
dan selanjuntya menimbullcan
"permlikan" (right and property), sehingga menunjukkan adanya suatu proses yang membentuk suatu slklus yang terjadi berulang-ulang. Disamping itu perbedaan perkembangan aturan kepemilikan juga disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk. Pada saat jumlah penduduk semalun meningkat cepat dan kebutuhan akan tanah juga meningkat dengan cepat, maka kecil
kemungkman terjadinya tanah tak bertuan (resnuNius) yang ditinggalkan oleh yang mempunyai hak "pemunyaan" atau yang pernah menduduki Tanah Resnullius (tak bertuan)
I I
I
I
T
4 Penemuan
1
I
I
Pemunyaan (Possession)
Gambar 2. : Siklus Evolusi Timbul dan Hilangnya Hak Milk atas Tanah Berbeda dengan Smith, Boserup (1965), men&potesiskan bahwa tahapan proses indwidualisasi hak-hak atas lahan dapat dipahami sebagai suatu respons kelembagaan yang menyebabkan shadow price lahan sehingga dapat mendorong investasi atas lahan dalam jangka panjang. Pada tahap awal pembangunan, bahkan sebelum terbangunnya pertanian yang menetap, suku-suku berburu dan secara berkelompok mengontrol lokasi-lokasi tertentu dimana mereka mengumpulkan pangan dan melakukan perburuan. M ~ t a inilah s yang menyebabkan muncdnya sistem communal property right. Dengan sistem tersebut, hak-hak publik untuk mengolah sebidang lahan merupakan unsur tak terpisahkan bagi anggota suku. Hakhak pengolahan ditetapkan bagi individu-indivu secara temporer, normalnya selama
lahan yang telah dibershkan itu dapat dibuhdayakan. Jlka lahan sudah tidak subur lagi, bidang lahan tersebut dkembalikan kepada kelompok (komunal) dan keluarga mermlih lokasi baru atau lokasi yang telah ditentukan oleh kepala suku. Selanjutnya lahan-lahan yang pada saatnya m e n j d gundul,dibiarkan menjadi lahan bebas, rnisalnya untuk penggembalaan ternak yang dimilila oleh anggota yang memiliki hak-hak untuk mengolah. Variasi hak komunal
ini dimana bidang-bidang
lahan direalokasikan dari waktu ke waktu untuk mengakomodasikan pertumbuhan penduduk dan lahan penggembalaan masih dapat dijumpai di beberapa bagian negara berkembang seperti Chma, sebagian besar Afrika dan Mexico.
Bentuk-Bentuk Kepemilikan. Bromley dan Cernea (1989), mengemukakan bahwa terdapat 4 kemungkman regimproperty sumberdaya lahan, yaitu :
(I) State property Kepemilikan dan kontrol penggunaan sumberdaya ada di tangan pemerintah (negara). lndividu atau kelompok hanya dapat menggunakan sumberdaya bila seijin pemerintah. (2) Private property Private property merupakan hak kepemilikan secara indvidu. Dan property perusahaan (corporate property) juga merupakan private property yang dikelola secara kelompok.
(3) Common property
=
Res communis
Dalam pengertian ini hams diingat bahwa common property adalah merupakan private property bagi kelompok (meshpun semua anggota menggunakan dan
membuat keputusan masing-masing) dan inhvidu-individu tersebut mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam common property regime. Pandangan penting selanjutnya adalah bahwa common property memililu sesuatu (ciri) yang sangat umum sebagaimana halnya dengan private property yaitu terpisah
(exclusive)
dari
bukan
pemilik.
Common property
adalah property
kelompoWgabmgdperusahaan. (4) Regim open acces
Keadaan open acces artinya tidak ada property (resnullius), sehingga dalam keadaan ini semua orang dapat memilki sumberdaya tersebut. Perbedaan pokok dm ketiga regim property terletak pada proses pengambiilan keputusan. Pada private property atau single owner, keputusan diambil oleh pemilik secara individual. Pada common property keputusan diambil berdasarkan kesepakatan kelompok. Private property sering dianggap p a h g efisien, sedangkan pada common
property masih terdapat biaya transaksi untuk mencapai konsensus (keputusan) kelompok. Bahkan biaya transaksi tersebut dapat merusak sifat dasar regim common
propem yang tidak praktis karena ada fenomena free riding (pembonceng). Biaya transaksi dalam istilah budaya, seseorang hams menanggung biaya sementara orang
lain menikmatinya. Selanjutnya Bromley dan Cernea (1989), juga mengungkapkan bahwa antara
conzmon property dan open acces adalah berbeda. Pada situasi open acces, pengguna potensial me&
otonomi penuh untuk menggunakan sumberdaya jika tidak
seorangpun mempunyai kekuatan hukum untuk mengeluarkanlmengusir pengguna potensial tersebut. Sumberdaya dam tersebut tidak me+
aturan penangkapan dan
peqilikan dalam bentuk apapp, sehingga disebut sebagai tidak ada hak kepemilikan, yang ada hanya peuguasaan. Dalam keadaan de-an,
koneak sosial-lah yang
menetapkan hubungan-hubungan antara individu-individu terhadap obyek tertentu. Setiap pilihan kelembagaan mempunyai keunggulan kornparatif masingmasing. Di negara berkembang, private property sering bertentangan dengan nilainilai sosial budaya yang ada sebelumnya. Memperhatikan sifat dasar met dan karakteristlk sosial budaya penggunanya - common property patut dipertimbangkan sebagai solusi dibandingkan privatisasi. Common property tersebut m e ~ p a k a n private property dari kelompok dengan hak daq kewajiban individu anggota yang
sama. Keamanan Kepemilikan Lahan. Land tenure securiy dapat didefinisikan dan diukur dalam berbagai cara. Hanstad (1999), mengemukakan bahwa land security dapat diukur berdasarkan 3 kriteria penting, yaitu:
a. Breadth Breadth ada1ah ukuran kuantitas clan kualitas hak yang melekat atas lahan,
termasuk hak untuk memilib lahan secara ekslusif (menanam atau memanen, menjual atau melepas kepada pihak lain, mengagunkan sebagai jaminan kredit, menggunakan air permukaan, menambang mineral dan lain sebagainya). Land tenure rights dalam hal ini merupakan bundles of sticks @&an single entitlement). Breadth mengukur kuantitas dan kualitas dari bundle of sticks
tersebut.
b. Duration
Duration yaitu mengukur lama waktu (periode) dari hak atas tanah. C.
assurance Asuransi mempakan ukuran dari kepastian breadth clan duration hak yang dipegang oleh seseorang. Land tenure eksis dimana
seseorang dengan hak-haknya untuk memiliki
lahan, menggunakan dan menikmati keuntungan (manfaat) yang diperoleh dari lahan tersebut dalam suatu durasi Cjangka waktu) cukup panjang untuk menguasai (recoup) nilai penuh dari investasi yang ditanam di atas lahan, dengan cukup kepastian untuk mencegah (imposition) campur tangan (interjerence) dari lux. Land tenure insecurity, terjadi apabila seseorang me&
kekurangcukupan
breadth dari hak atas tanah, jangka waktu kepemilikan tidak cukup untuk memetik hasil investasi yang ditanam atau kemampuan untuk mengukuhkan hak kurang. Dengan kata lain land insecurity terjadi bila ketiga kriteria di atas tidak dapat dipendn. Pengalaman internasionat menunjukkan bahwa keamanan hak atas tanah adalah komponen esensial pembangunan ekonomi.
Land rights security dapat
memfasilitasi pembangunan ekonomi yaitu:
(1)
Meningkatkan produktivitas melalui peningkatan investasi pertanian.
(2) Meningkatkan transaksi lahan dan memfasilitasi tranfer lahan dari kegunaankegunaan (uses) yang h a n g efisien menjadi lebih efisien melalui peningkatan kepastian kontrak dan penurunan biaya pengukuhan (enforcement).
(3) Mengurangi incident sengketa tanah (land disputes) melalui dehisi atau
penetapan yang lebih jelas dan pengukuhan hak-hak. (4) Meningkatkan penggunaan kredit melalui penciptaan insentif investasi yang lebih besar, improved creditworthiness, dan peningkatan nilai agunan dan lahan.
(5) Mengurangi erosi tanah dan degradasi lingkungan (6)
Menciptakan stabilitas polibk dengan meningkatkan keterkaitaniketerlibatan petani yang lebih nyata dalam masyarakat.
Konse~siKelembagaan
Secara alamiah manusia mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan din dengan lingkungannya, termasuk lingkungan sosial budaya. Oleh karenanya akan timbul kecenderungan untuk menyerasikan hidupnya dengan dam sekitar, yang selanjutnya menimbulkan kepercayaan clan sikap-sikap tertentu terhadap dam, seperti rnistik, pamali, buyut, larangan, pantangan, dan tabu yang disampaikan secara turun menurun (Anwar, 1999). Pada saat pola tingkah laku tersebut sudah dilakukan berulang-ulang dan diterima sebagai sesuatu ha1 yang lazim dalam kehidupan bermasyarakat, maka akan menjelma menjadi suatu kekuatan socral balance. Untuk memelihara dan mengarbkulasikan nilai-nilai atau norma-norma sosial
(social morality) tersebut, maka dibutuhkan snatu pranata atau kelembagaan. Dengan demikian Koentjaraningrat (1994), mendefinisikan kelembagaan atau pranata sebagai suatu sistem pola tingkah laku dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas
untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang khusus dan kompleks dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya Soekanto (1996), mengemukakan pengertian kelembagaan sebagai sesuatu wadah atau organisasi yang sekahgus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi inti dan ciri dari kelembagaan tersebut. Bagi masyarakat Minangkabau ditemukan bentuk kelembagaan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang tenkat dalam suatu wilayah nagari. Nagan merupakan wilayah otonom terkecil terbentuk berdasarkan masyarakat genealogis yang hdup dalam tentorial tertentu. Terbentuknya nagari diawali dengan adanya komunitas masyarakat berdasarkan genealogis yang kemudian hidup dalam sualu teritorial tertentu berupa penguasaan tanah yang disebut taratak. Perkembangan komunitas dari kelompok genealogis yang lebih besar b e b u t hmpuang. Gabungan beberapa kelompok genealogis dalam suatu terotorial tertentu disebut dengan koto. Koto inilah yang menjelma menjadi nagari. Untuk mengayomi kebutuhan anak nagari, maka fungsi kelembagaan dijalankan oleh tungku tigo sajarangan (Niniak mamak, alim ulama dan cerdik pandai) yang selanjutnya berkembang menjadi urang nun ampek jinlh (Ninik mamak,
alim ulama, cerdik pan& dan bundo kanduang). Tata Nilai dan Kelembagaan Tradisional Etika dan nilai-nilai spiritual yang melekat dalam masyarakat, baik yang tertuhs maupun tidak, diwariskan secara turun temurun. Dengan diperkuat oleh
pengalaman-pengalaman bahwa nilai-nilai dan etika ini mampu mendukung masyarakat dalam menyesuaikan dm dengan lingkungannya sekaligus telap mempertahankan keberlanjutan hgkungan, maka nilai atau pengalaman tersebut dapat dijadikan suatu ilmu pengetahuan, yang disebut dengan traditional knowledge (Anwar, 2000). Dalam
(traditional
kenyataannya,
howledge)
keberlanjutannya.
masyarakat
dalam
tradisional
pengelolaan
memiliki
sumberdaya
yang
pengetahuan menjamin
Saat kondisi eksternal berubah, masyarakat akan merespon
pembahan tersebut dan selanjutnya menciptakan cara-cara baru hingga mereka tetap
survive dengan kondisi yang barn tersebut. Seragaldin (dalam Anwar, 2000) menyatakan bahwa kearifan tidak hanya berupa pengetahuan atau kecerdasan, tetapi juga kemampuan mendengar, mempelajari, memperkaya din dengan pengalaman yang berbeda-beda, dan menghargai kebenaran sekalipun berbeda pandangan. Konferensi yang disponsori oleh Departemen Lingkungan World Bank pada tanggal 27-28 September 1993 secara jelas telah mengakui bahwa traditional
knowledge mampu menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Menurut hasil konferensi hi, traditional knowledge berhubungan dengan budaya yang ada dalam masyarakat, termasuk karakteristik dan nilai-nilai spiritual masyarakat. Masyarakat lokal mempunyai hak untuk menjaga nilai-nilai atau budayanya dan pihak lain harus menghormatinya. Implementasi dari usaha masyarakat lokal
dalam menjaga t a b nilai clan
pengukuhan hak mereka adalah dalam bentuk institusi atau kelembagaan. Kelembagaan ini biasanya berbentuk kelembagaan informal yang dikenal dengan
kelembagaan adat yang berperan sebagai rule of the game dari para pelaku (stakeholders) baik secara individual, kelompok, badan atau organisasi. Hal ini pun sejalan dengan pengertian kelembagaan yang diungkapkan oleh North (1993),yaitu: "Institutions are the rules of the game in a society or, mor formally, are the humanly devised constrains that shape human interaction. In consequence they sfructure incentives in human exchange, whether political, social, or, economic. Institutional change shapes the way societies evolve through time and hence is the key to understanding historical change". Awalnya pengetahuan primitif atau traditional knowledge ini h a n g dianggap penting, narnun pada perkembangan selanjutnya para h u w a n percaya bahwa pengetahuan ini dapat dipertimbangkan sebagai pengetahuan i h a h . Secara nyata pengetahuan ini telah mampu melindungi lingkungan (bumi), tidak hanya sumberdaya alam tetapi juga kehidupan rnanusia secara keseluruhan. Dalam The Third Annual World Bank Conference on Environmentally Sustainable Development yang diselenggarakan pada tanggal 2-3 Oktober 1995, terdapat kesepakatan bahwa etika dan nilai-nilai spiritual dalam masyarakat dapat mendorong pembangunan yang berkelanjutan. Sehubungan dengan ha1 ini, beberapa pembicara / peserta konferensi menyatakan pentingnya etika dan nilai-nilai spiritual dalam pelaksanaan pembangunan: u Tingkah laku individu dan prioritas sosial tergantung pada moral, etika dan nilai-
nilai spiritual. Untuk menjamin keberlanjutan, maka pengelolaan sumberdaya
harus dimotivasi oleh sense baru, yaitu pengelolaan yang kooperatif dan didasarkan pada etka, moral, dan tradisi masyarakat (Strong, 1995). u Secara lingkungan, pembangunan yang berkelanjutan berarti memberi kepada
generasi yang akan datang kesempatan-kesempatan, setidaknya sama dengan
kesempatan-kesempatan yang dirasakan oleh generasi saat ini. Kesempatankesempatan ini dapat diukur dalam bentuk kapital (man-made,human, social, dan natural capital).
Penelitian menunjukkan bahwa man-made capital (yang
menjadi pusat perhatian para pembuat keputusanlperencana pembangunan) hanya membenkan kontribusi 20% terhadap total kesejahteraan manusia. Konbibusi terbesar diberikan oleh human dan social capital (Seragaldin, 1995). R
Modernisasi telah menyebabkan kerusakan lingkungan, merenggut kesejahteraan sekelompok masyarakat, dan menyebabkan disparitas antara yang kaya clan yang miskm. Hal yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai kelembagaan dapat mengarahkan masyarakat di masa yang akan datang (Harmon, 1995).
R
Pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi mengabakan ukuran kuantitahf nilai~ l a hutan, i tanah, lahan, clan air (nilai ekstrinsik) maupun nilai i n h i k (seperti keindahan dan air bersih) sehingga ekstemalitas terjadi di mana-mana. Proses keilmuwan mengabaikan virtue masyarakat, pengaruh budaya, dan dimensi spiritual kebdupan. Untuk itu diperlukan paradigma bam yang mampu berpikir secara holistik yang menekankan pada manusia secara keseluruhan, memasukkan aspek sosial-budaya dan politlk (Choudhry, 1995).
R
Tanpa kepercayaanlagama, dorongan, dan political will dari masyarakat yang akan ddayani dalam pembangunan, maka keberlanjutan sosial tidak akan tercapai.
Upaya keberlanjutan berarti mengubah perilaku masyarakat yang
mencakup tiga hal, yaitu: (I) mengetahui perhatian terdalam dari masyarakat, dalam hal ini adalah nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, (2) menyediakan altematif-altematif yang nyata dalam memberi pilihan bagi
masyarakat dalam mementh kebutuhannya, (3) mengkutsertakan masyarakat dalam pembuatan keputusan-keputusan yang mempengaruhi kebidupan mereka dan masa depan anak-anak mereka. Nilai-nilai yang diingmkan masyarakat adalah keamanan, kebebasan, kemajuan, kesempatan, keberagaman, komunitas, keberlanjutan, lingkungm yang bark, dan pemerintahm yang bak (Rice, 1995). R
Dalam membangun mfiastruktur pembangunan perkotaan, bukan hanya isu-isu teknlk saja yang hams diperhatikan tetapi apakah kota akan 'berfungsi' bagi masyarakat. Intinya adalah pembangunan harus disesuaikan dengan keinginan masyarakat
sehingga hasllnya
dapat berfungsiidimanfaatkan masyarakat
(Thurdin, 1995).
Dengan demikian pembangunan hams memperhatikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat serta 'hal-hay yang diingnkan dan diharapkan oleh mereka. Jlka tidak, justru yang muncul adalah kesengsaraan masyarakat dan ketidakberlanjutan kehidupan.
Beberapa contoh pembangunan yang mengabaikan nilai-nilai dalam
masyarakat antara lain: (1) pembangunan bendungan yang mengorbankan hutan dan lahan masyarakat yang justru menyengsarakan rakyat, (2) serbuan modernisasi yang berusaha merambah hutan sehingga menimbulkan protes clan masyarakat sekitar hutan dan LSM yang peduli terhadap lingkungan, (3) penemuan-penemuan varietas unggul yang ternyata telah men&hgkan
varietas-varietas lokal yang leblh
bervariasi dan tahan terhadap berbagai hama.
Varietas unggul justru sangat
tergantung pada pupuk, obat-obatan, ataupun pestisida yang sebenarnya tidak aman
untuk hgkungan.
Masih banyak contoh-contoh lain yang tidak memungkmkan
untuk msebutkan satu persatu di sini.
Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional Hukum adat me~pr%kansumber utama dalam pembangunan hukum pertanahan nasional yang b u s k a n sebagai konsepsi yang komunahstik religius, yang memungkmkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsw-unsur kebersamaan. Hukum adat berfungsi sebagai sumber utama dalam mengambil bahan-bahan yang diperlukan, sedang dalam hubungannya dengan hukum tanah nasional posit& norma-norma hukum adat berfungsi sebagai hukum yang melengkapi. Pengakuan norma-norma hukum adat sebagai pelengkap hukum tanah tertulis tersebut bukanlah tanpa syarat. Norma-norma hukum tersebut berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UWA. Secara rinci pasal 5 UUPA menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercanhun dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsw-unsw yang bersandar pada hukum agraria. Sebagai wujud dari pengakuan terhadap hukum adat adalah pengakuan terhadap tanah-tanah adat dan tanah ulayat. Hak ulayat diakui oleh UUPA tetapi pengakuan itu disertai 2 syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya mash ada. Di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali,
dan di daerah dimana tidak pemah ada hak ulayat, tidak akan dilahirkan hak ulayat baru. Ada beberapa kriteria dalam penentuan masih adanya halt ulayat, yaitu:
a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
tertentu,
yang
mengakui
dan
menerapkan
ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-han' b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan sehari-hari, dan c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya
tatanan hukurn adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Berkaitan dengan bak ulayat (common property resources) berbagai temuan studi mengenai pengelolaannya menunjukkan adanya kegagalan maupun keberhasilan dalam pengelolaannya.
Informasi mengenai kegagalan ataupun keberhasilan
pengelolaan common property resources tersebut dapat dijadikan masukan (rekomendasi) untuk pengelolaan common property resources yang mengarah pada efisiensi, pemerataan, dan keberlanjutan. Jlka hak-hak ulayat telah d k h h k a n dan
dalam pelaksanaannya menghti persyaratan-persyaratan pengelolaan common property resources di bawah ini, maka sistem hak-hak ulayat dapat bejalan efekbf. Persyaratan-persyaratan tersebut menurut Anwar (2000), adalah:
Terhdung dari intewensi luar Batas-batas sumberdaya hams jelas demarkasinya Kriteria keanggotaan komunal yang jelas Bebas untuk membuat pengaturan dalam adat sendiri Pemanfaatan sumberdaya hendaknya dilakukan secara konsewatif Peraturan pemanfaatan harus jelas dan mudah diterangkan Sanksi hukum h a s ditegakkan Distribusi hasil pemanfaatan hams adil Biaya transaksi dalam mengatasi sengketa hams ringan Institusi hendaknya berjenjang, fleksibel dan mudah dikontrol
Konflik-Konflik dan Penyelesaiannva
Pengertian Konflik KO&
dalam kehidupan itu selalu ada. Manusia hidup tidak pernah sepi dari
konflik. Konflik melibatkan pertarunganipertentangan antara dua pihak kelompok atau lebih yang menyangkut sod-sod perbedaan nilai, status, wewenang kekuasaan dan perebutan hak-hak akses terhadap sumberdaya yang langka (Anwar, 1999). Implikasi dm konflik adalah akan menciptakan suatu perubahan atau dmamika. Konfhk merupakan salah s a t - cara bagaimana sebuah keluarga, komunitas, perusahaan, dan masyarakat mengalami perubahan. Konflik juga dapat mengubah pemahamaa hta akan sesama, mendorong kita untuk memobilisasi sumberdaya
dengan cara-cara baru dengan lebih efisien. Konflik dapat membawa kita pada klarifikasi piban-pilihan
dan membangun kekuatan untuk mencari solusi
penyelesaiannya. Kebanyakan konflik mempunyai sebab-sebab ganda, biasanya merupakan kombinasi dari masalah-masalah dalam hubungan antara pihak-pihak yang berbkai yang mengarah pada k o d i k yang terbuka. Sehubungan dengan banyak dan rumitnya pemahaman masalah kontlik ini, maka menurut Anwar (1999), konflik dapat dikelompokkan kedalam kriteria berikut : 1. K o d k data, terjadi ketka orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untnk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai data apa saja yang relevan, menterjemahkan lnformasi dengan
cara yang berbeda atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda. 2. K o d k kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang diasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian dengan yang diingmkan. 3. K o d k hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang
buta, salah persepsi atau stereotip, salah komunikasi atau tingkah laku negatif yang berulang (repetitif). Konflik ini seringkali memicu perbkaian dan menjurus pada lmgkaran spiral dari ko&
destruktif yang tidak perlu.
4. Konflik nilai, disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian. KO&
nilai baru muncul ke&a orang berusaha untuk memaksa suatu sistem
nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu nilai yang ekslusif dimana didalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan kepercayaan.
5. Konfhk struktural, terjadi ketka terjadi ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya serta struktur sosial yang berpotensi menghasilkan konflk. Konflik akan cenderung menja& bumerang dalam proses pembangunan. Konfik tersebut dapat terjadi antar individu, antar kelompok masyarakat, antar pemuka adat, antara pemuka adat dengan pengambil kebiiakan dan juga bahkan bisa terjadi antar pengambil kebijakan. Untuk itu perlu adanya kearifan untuk bisa keluar dari lingkaran konflik dan dapat me-manage konflik menjadi suatu berkah dan mereduksi konflik menjadi suatu 'cahaya' pencerahan dalam proses pembangunan.
Penyelesaian Kontlik KO&
melibatkan beberapa stakeholders yaitu mereka yang mempunyai
kepentingan terhadap suatu sumberdaya baik sebagai pengguna maupun sebagai pengelola. Berkaitan dengan upaya untuk mengatasi konflik, Anwar (1999), mengemukakan beberapa strategi untuk mengatasi konflik. Strategi pertama yaitu melalui instrumen yang berbasis kekuasaan baik melalui kekuasaan fisik seperti melalui tindakan militer maupun berupa kekuasaan ekonomi berupa penyuapan. Strategi kedua adalah berbasis hak-hak yang terdin dari hak-hak legal (melahi peradilan) dan berbasis norma-noma (melalui hukum adat). Dan yang ketiga adalah berbasis kepentingan yang terdiri dari landasan kepentingan dan kebutuhan (melalui mediasi) dan mengidentifikasi akar penyebab masalah.
Dalam proses pembangunan, dari ketiga strategi tersebut yang lebih representatif untuk dilaksanakau adalah strategi kedua dan ketiga, karena untuk strategi yang pertama cendemg akan dapat menimbulkan kodik yang baru.
Konsolidasi dan Reeistrasi Lahan
Konsolidasi lahan adalah suatu kebijakan menata kembali kepemilikan dan penggunaan lahan diantaranya menata persediaan lahan untuk mf~astruktu~ dan perkembangan fasilitas publik dalam kerangka meningkatkan kualitas lingkungan dan konsemasi sumberdaya alam dengan pemberdayaan partisipasi aktif dari pemilik lahan dan masyarakat (BPN, 1993). Konsolidasi lahan bertujuan untuk mewujudkan optimasi penggunaan lahan dengan peningkatan efisiensi dan produktivitas dari penggunaan lahan serta kelengkapan hak kepemilikan lahan. Disamping pola pemberdayaan, maka untuk mewujudkan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dalam skala nasional diperlukan perangkat hukum tertulis. Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapapun yang berkepentingan akan dengan mudah dapat mengetahui kemungkman apa yang tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukan. Selanjutnya bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban, larangan-larangan apa yang ada dalam menguasai tanah dengan hak-hak tertenty sanksi apa yang dhadapi jika mengabailcan ketentuan-ketentuan yang bersanmtan, serta hal-ha1 lain yang berhubungan dengan penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyainya.
Seiring dengan tujuan ini, maka diimplementasikan dengan bentuk penyelenggaraan pendaftaxan tanah yang efektif. Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh negara/pemerintah secara terus menerus dan teratur, bempa pengumpulan keterangan atau data mengenai tanah-tanah tertentu yang aria di wdayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya (Parlindungan, 1999). Tujuan dan pendaftarm tanah s e p d yang termaktub dalam UUPA adalah: a) Untuk memberikan kepastian hukum clan perhdungan hukum kepada "pemegang
hak" yang terdaftar haknya, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. b) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-hdang tanah tertentu. c) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Hubunean Keamanan Keoemilikan Lahan dengan Perkembangan Ekonomi Wilavah
Kerangka konseptual yang menghubungkan registrasi lahan terhadap pengembangan pasar finansial dan p e m b u h a n ekonomi mempunyai l i keterkaitan, yaitu: (i) Keterkaitan kepastian penyakapanlpemilikan lahan dengan
insentif investasi, (ii) keterkaitan antara hak atas lahan dengan agunan dan kredit; (iii) keterkaitan antara likuiditas lahan, mobilisasi tabungan (deposito) dan investasi ;(iv) keterkaitan antara pasar lahan, transaksi ekonomi dan efisiensi; dan (v) keterkaitan mobilitas tenagakerja dan efisiensi (Anwar, 2000). Pola keterkaitan tersebut dapat dihhat dalam gambar benkut :
Kepastian hak yang lehib besar kepada petani
investasi yang lebih besar
. Mendorong penyediaan kredit jangka panjang murah yang l e b i besar
Meningkatkan investasi
permintaan untuk input variabel
kredit jangka pendek murah yang lebih besar
I I~inpluuil*l~ Meningkatkan penggunaan
output per hektar
m 1 Meningkatkan harga
Meningkatkan pendapatan petani
Gambar 3. Kerangka Konseptual: Kepastian Hak Lahan dan Peningkatan Produktivitas Lahan (Anwar, 1999)
REDISTRIBUSI ASSET LAHAN MELALUI BERNEGOSIASI KEARAH REGISTRASI LAHAN
1
1
Pasar lahan yang efisien
Memperbaib biaya dm efisiensi alakasi atas l a i
Meningkah efisiensi alokasi
DI WILAYAH PEDESAAN
PERTUMBUaAN EKONOM
Gambar 4.
Gagasan Kerangka Konseptual yang Mengkaitkan Redistribusi Asset Lahan kepada Pengembangan Pasar Finausial di Wilayah Pedesaan yang Menyumbang kepada Pertumbuhan Ekonomi (Anwar, 1999)