13
2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Masyarakat dan Interaksi antar Anggotanya Di dalam kehidupan bermasyarakat selalu terjadi interaksi. Setiap
masyarakat merupakan suatu kesatuan individu yang antara satu dan lainnya berada dalam hubungan interaksi yang berpola mantap (Koentjaraningrat 2002) dan salah satu bentuk interaksi itu adalah pertukaran ekonomi. Interaksi tersebut dapat dijalankan karena pada masyarakat terdapat prasarana untuk berinteraksi seperti jaringan jalan, jaringan telekomunikasi, media massa baik cetak maupun elektronik,
hingga
upacara-upacara
pada
hari-hari
besar
tertentu
(Koentjaraningrat 2002). Tetapi bukan berarti sekumpulan manusia yang saling berinteraksi tersebut dapat serta merta disebut sebagai masyarakat, karena bisa jadi sekumpulan manusia itu sebenarnya adalah kerumunan (crowd). Anggota kerumunan bisa jadi saling berinteraksi satu sama lain. Hal yang membedakan antara masyarakat dengan kerumunan adalah bahwa masyarakat memiliki pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupan, dan pola tingkah laku itu bersifat mantap dan berkesinambungan, atau telah menjadi adat istiadat yang khas. Pola tingkah laku itu dapat menjadi mantap dan berkesinambungan karena adanya sistem norma, hukum, dan aturan-aturan khas (Koentjaraningrat 2002). Terakhir, ciri lain yang melekat pada sekumpulan manusia yang disebut masyarakat adalah dimilikinya rasa identitas diantara para warga atau anggotanya. Rasa identitas ini membuatnya menjadi satu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya (Koentjaraningrat 2002). Konsep interaksi sangat penting dalam menganalisis masyarakat. Interaksi itu terjadi bila seorang anggota masyarakat berbuat demikian rupa sehingga menimbulkan respon atau reaksi dari anggota lainnya. Dalam menganalisis proses interaksi harus dibedakan dua hal pokok antara (i) kontak, dan (ii) komunikasi. Kontak antar individu tidak hanya mungkin terjadi pada jarak dekat seperti misalnya berhadapan muka atau sejauh jangkauan panca indera manusia saja, melainkan dapat terjadi pada jarak yang teramat jauh melalui alat-alat kebudayaan masa kini seperti buku, media massa, telepon, dan teknologi informasi. Ketika buku dibaca, maka telah terjalin kontak antara pembaca dengan penulis. Komunikasi muncul setelah terjadi kontak dalam bentuk reaksi
14
pihak kedua sebagai akibat ditangkapnya pesan yang dikeluarkan oleh pihak pertama (Koentjaraningrat 2002). Adanya kontak belum berarti adanya komunikasi, seperti misalnya seorang pembaca yang tidak dapat memahami tulisan seorang penulis. Sering terjadi juga ketika pesan yang dikeluarkan oleh pihak pertama ditangkap secara berbeda oleh pihak kedua sehingga menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan. Banyak proses interaksi di masyarakat yang berlangsung semacam itu sehingga menimbulkan berbagai ketegangan (Koentjaraningrat 2002).
2.2
Kelembagaan Ilmu sosiologi dan antropologi menerjemahkan institution sebagai pranata.
Pranata adalah sistem aturan-aturan yang menata rangkaian tindakan sehingga dapat berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan bermasyarakat (Koentjaraningrat 2002). Institution seringkali juga dialihbahasakan menjadi institusi. Terjemahan dari buku The Sociology of Social Change karya PiÖtr Sztompka menyebutkan bahwa institusi sosial adalah ikatan dalam bentuk aturan (seperti nilai, norma, ketentuan, dan cita-cita) yang menghubungkan antar individu dalam kehidupan bersama (Sztompka 1993). Ilmu ekonomi menerjemahkan institution sebagai kelembagaan. North (1991, diacu dalam Williamson 1993) menyebutkan bahwa kelembagaan adalah batasan-batasan yang dibuat oleh manusia (humanly devised constraints) sehingga interaksi politik, ekonomi, dan sosial dapat lebih terstruktur. Schotter (1981, diacu dalam Williamson 1993) menyebutkan bahwa kelembagaan adalah kebiasaan dalam bertingkahlaku yang disetujui bersama oleh para anggota masyarakat sekaligus sebagai pengatur dalam bertingkahlaku pada situasisituasi tertentu. Satu definisi yang cukup lengkap mengenai kelembagaan diajukan oleh Lin & Nugent (1995, diacu dalam Rodrik 1999) yang menyatakan bahwa kelembagaan adalah seperangkat aturan mengenai perilaku yang dibuat oleh manusia yang mengatur dan membentuk interaksi antar individu sehingga orang dapat terbantu untuk membangun perkiraan tentang apa yang orang lain akan lakukan. Beragam kata yang menjadi terjemahan dari kata institution tersebut memiliki garis kesamaan substansi. Kesamaan tersebut adalah (i) di dalam institution terkandung aturan, (ii) aturan tersebut menata tindakan atau perilaku
15
dari kumpulan manusia tersebut, dan (iii) karena ditata, maka tindakan atau perilaku tersebut menjadi berpola atau menjadi kebiasaan. Mengingat penelitian ini dibangun dari ilmu ekonomi dan nomenklatur kelembagaan lebih umum digunakan dibandingkan dengan pranata, maka penelitian ini menggunakan nomenklatur kelembagaan. Kelembagaan (institution) seringkali disangka orang memiliki arti yang sama dengan organisasi. Ini adalah sebuah kesalahan karena organisasi sebenarnya subkomponen dari kelembagaan (Poel 2005). Jika kelembagaan adalah aturan main, maka organisasi adalah pemainnya. Secara lengkapnya, organisasi didefinisikan sebagai sekelompok individu yang diikat oleh satu keinginan bersama untuk mencapai tujuan tertentu (North, diacu dalam Shirley 2004, diacu dalam Poel 2005). Kehidupan bermasyarakat menuntut adanya kelembagaan. Ungkapan Latin kuno menyatakan ubi societas ibi ius yang berarti dimana ada masyarakat di sana ada hukum. Setiap jenis interaksi dan kerjasama mensyaratkan adanya norma bersama. Norma bersama adalah salah satu hal yang menyebabkan orang dapat memprediksi perilaku orang lain (Segerstedt, diacu dalam Sztompka 1993). Norma bersama adalah salah satu contoh dari kelembagaan. Adanya kebutuhan akan kelembagaan mendorong manusia untuk membuatnya. Sistem aturan sosial adalah buatan manusia (Burns & Flam, diacu dalam Sztompka 1993). Manusia melakukannya melalui tiga cara (i) penciptaan, (ii) penafsiran (interpretasi), dan (iii) penerapan. Pembuatan kelembagaan menjadi medan konflik sosial dan perjuangan dan medan politik. Kelembagaan, yang dilahirkan dari tindakan manusia, pada akhirnya juga akan memaksa tindakan manusia (Sztompka 1993). Jumlah kelembagaan yang dibuat oleh suatu masyarakat tergantung pada kompleksitas kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Semakin kompleks kebudayaan, maka akan semakin banyak jumlah kelembagaannya. Mengingat masyarakat selalu menjadi semakin kompleks, maka jumlah kelembagaan pun menjadi selalu bertambah (Koentjaraningrat 2002).
16
2.2.1 Kelembagaan dan Sumber Daya Wilayah Kelembagaan menjadi salah satu pilar dari ilmu wilayah (regional science). Jika ilmu wilayah bertitik tolak dari fakta bahwa sumber daya tidak hanay langka tetapi juga tersebar tidak merata secara spasial, maka kelembagaan berperan penting dalam mengatur penggunaan/alokasi sumber daya yang langka dan tersebar tidak merata tersebut secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Sistem kelembagaan yang ada mempengaruhi penguasaan dan pengelolaan sumber daya tersebut, misalnya penggunaan kawasan hutan oleh masyarakat adat sekitar hutan yang dipengaruhi oleh aturan adat (Rustiadi et al. 2006). Kelembagaan dapat dilihat sebagai distribusi hak kepemilikan, yaitu seperangkat aturan yang mendefinisikan kapasitas seseorang untuk menentukan pilihan atas penggunaan suatu sumber daya (Allen 2005). Tanpa distribusi hak kepemilikan, maka kompetisi atas suatu sumber daya akan berlangsung dengan kekerasan hingga menjadi dunia yang anarkis (Alchian 2002; Allen 2005). Sumber daya baru dapat dikatakan sebagai sumberdaya apabila telah memenuhi dua kriteria yaitu (i) manusia memiliki pengetahuan dan teknologi untuk memanfaatkannya, dan (ii) ada permintaan terhadap sumberdaya tersebut (Fauzi 2004). Sebagai gambaran, pada masa dimana manusia belum mengetahui bagaimana eksplorasi minyak bumi dan manusia juga masih menggunakan kuda sebagai alat transportasi, maka pada masa itu minyak bumi bukanlah sumberdaya. Sumber daya (resources) berbeda dengan modal (capital). Jika sumber daya adalah aset untuk memenuhi kepuasan manusia (Grima dan Berkes, diacu dalam Fauzi 2004) atau kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu (Ensiklopedia Webster, diacu dalam Fauzi 2004) atau sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi (Fauzi 2004), maka modal adalah sumber daya yang tidak dikonsumsi saat ini melainkan pada masa mendatang mengingat ada kemungkinan bahwa tingkat konsumsi di masa mendatang dapat lebih tinggi dibanding saat ini (Bates 1990, diacu dalam Ostrom 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Secara garis besar, modal dibagi menjadi dua yaitu modal alam (natural capital) dan modal buatan manusia (human-made capital, untuk selanjutnya disebut modal buatan) (Ostrom 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999).
17
Jelas bahwa pembeda utama antara kedua golongan itu adalah apakah keberadaan sumber daya tersebut dibuat oleh manusia ataukah terbentuk melalui proses alamiah (Fauzi 2004). Modal alam adalah sumber paling utama (ultimate source) dan gudang bagi seluruh produktivitas manusia (Jansson et al. 1994, diacu dalam Ostrom 1999 dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Modal buatan itu terbagi lagi menjadi modal fisik (physical capital), modal manusia (human capital), dan modal sosial (social capital). Modal fisik meliputi banyak jenis seperti bangunan, jalan, bahkan hewan ternak dan berbagai peralatan (tools). Modal manusia adalah pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan dan diimplementasikan manusia pada aktivitasnya. Modal manusia ini dapat dibentuk secara sadar melalui pendidikan dan pelatihan maupun dibentuk secara tak sadar melalui pengalaman (Ostrom 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Modal sosial akan dijelaskan dalam sub bab tersendiri selanjutnya.
2.2.2 New Institutional Economics Secara konseptual, biaya transaksi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1937 oleh Ronald Coase dengan makalahnya berjudul The Nature of the Firm. Tetapi makalah tersebut tidak hanya memperkenalkan biaya transaksi ke dalam analisis ekonomi semata, melainkan juga menjadi awal dari apa yang disebut dengan New Institutional Economics. Istilah New Institutional Economics sendiri diciptakan
oleh
Oliver
Williamson
untuk
membedakannya
dengan
Old
Institutional Economics (Coase 1998). New
Institutional
Economics
berangkat
dari
pemahaman
bahwa
kesejahteraan (welfare) masyarakat ditentukan oleh aliran barang dan jasa, sedangkan aliran ini ditentukan oleh produktivitas sistem ekonomi. Adam Smith menjelaskan bahwa produktivitas sistem ekonomi bergantung pada pembagian kerja (division of labor) atau spesialisasi, tetapi spesialisasi ini hanya dapat terjadi ketika pertukaran (exchange) dapat dilakukan. Ada biaya untuk melakukan pertukaran, dan ketika pertukaran dapat dilakukan dengan biaya yang semakin rendah, maka pada gilirannya spesialisasi akan semakin banyak sehingga produktivitas dari sistem ekonomi menjadi meningkat (Coase 1998). Artinya, tinggi rendahnya biaya untuk melakukan pertukaran (the costs of exchange) mempengaruhi tingkat produktivitas dari suatu sistem ekonomi.
18
Tetapi
biaya
untuk
melakukan
pertukaran
ini
dipengaruhi
oleh
kelembagaan yang ada dimana di dalam kelembagaan tersebut mencakup sistem hukum, sistem politik, sistem sosial, sistem pendidikan, budaya, dan lainnya. Melihat keterkaitan ini, maka dapat dinyatakan bahwa kelembagaanlah yang menentukan kinerja perekonomian dan hal ini yang menjadi arti penting dari New Institutional Economics (Coase 1998). Allen (2005) menyatakan bahwa: “institutions are chosen (either explicitly through a conscious act or implicitly through trial and error) to maximize the gains from trade and production net of transaction costs.”
Ini disebut oleh Allen sebagai hipotesis utama (grand hypothesis) dari New Institutional Economics. Pada hipotesis ini dapat dilihat perpaduan antara kerangka neoklasik (maximize the gains from trade and production) dengan kerangka kelembagaan (net of transaction costs). Allen
(2005)
selanjutnya
menambahkan
bahwa
New
Institutional
Economics memiliki dua karakter kritis (critical characteristics): pertama, asumsinya bahwa biaya transaksi selalu positif, dan kedua, kelembagaan yang dijadikan subyek penelitian ekonomi adalah kelembagaan yang telah lama bertahan (long lived institutions) karena menandakan bahwa kelembagaan tersebut efisien (Allen 2005).
2.3
Biaya Transaksi Secara konseptual, biaya transaksi diperkenalkan pertama kali pada tahun
1937 oleh Ronald Coase dengan makalahnya berjudul The Nature of the Firm. Coase sendiri menyatakan (Coase 1998): “It is commonly said, and it may be true, that the new institutional economics started with my article, The Nature of the Firm (1937), with its explicit introduction of transaction costs into economic analysis.”
Coase sendiri tidak pernah mendefinisikan biaya transaksi. Hanya saja, Coase menyatakan bahwa terdapat biaya atas penggunaan mekanisme harga (the cost of using the price mechanism) (Allen 1999). Penjelasan mengenai pernyataan tersebut diawali dengan pertanyaan Coase (1992 dalam Allen 1999): “We had a factor of production, management, whose function was to coordinate. Why was it needed if the pricing system provided all the coordination necessary?”
19
Jawaban atas pertanyaan ini adalah bahwa terdapat biaya untuk menggunakan mekanisme harga. Contoh dari biaya semacam ini yang diberikan oleh Coase misalnya adalah proses mencari harga (discovering what prices are) serta negosiasi dan pembuatan kontrak (Allen 1999). Mekanisme harga digunakan untuk mengalokasikan sumber daya, dan ketika ada biaya untuk menjalankan mekanisme harga tersebut, maka mekanisme tersebut akan bersaing dengan mekanisme lain seperti perusahaan (firms) dan pemerintah. Setiap metode alokasi sumber daya tidak pernah gratis, selalu ada biayanya. Coase berargumen bahwa ada saat ketika mekanisme perusahaan dan manajemennya menggantikan pasar, dan ada saat lainnya ketika harga pasar (market prices) digunakan untuk mengalokasikan barang dan jasa (Allen 1999). Setelah The Nature of the Firm yang ditulis pada tahun 1937, baru pada makalah Coase selanjutnya yang berjudul The Problem of Social Cost (1960) dinyatakan secara eksplisit adanya keterkaitan antara biaya transaksi dengan hak-hak kepemilikan (property rights). Keterkaitan antara biaya transaksi dengan hak kepemilikan dirangkum pada apa yang dinamakan sebagai Teori Coase (Coase Theorem) (Allen 1999): “In the absence of transaction costs, the allocation of resources is independent of the distribution of property rights.”
Pendapat tersebut oleh Cheung (1969) lantas diperluas dalam konteks kontrak dan pilihan jenis kontrak (contract choices) (Allen 1999). Cheung secara eksplisit menyatakan bahwa pilihan akan jenis kontrak dipengaruhi oleh biaya transaksi yang terkandung pada masing-masing jenis kontrak tersebut. Biaya transaksi semacam ini tidak hanya meliputi biaya antar aktor pasar (across markets) tetapi juga internal di dalam perusahaan (internal to the firm) (Allen 1999).
2.3.1 Definisi Biaya Transaksi Definisi biaya transaksi dapat dibedakan menjadi dua golongan utama yaitu golongan neoklasik dan golongan hak kepemilikan. Golongan neoklasik mendefinisikan biaya transaksi sebagai biaya yang ditimbulkan oleh transfer hak kepemilikan. Definisi ini memang merujuk pada hak kepemilikan, tetapi biaya transaksi hanya muncul ketika transfer terjadi (Allen 1999). Dapat juga dikatakan bahwa biaya transaksi adalah biaya untuk melaksanakan transaksi (cost of
20
transacting) atau biaya yang muncul pada saat melakukan pertukaran (costs that arise in an exchange). Sebagai orang yang memperkenalkan biaya transaksi pertama kali, Coase termasuk ke dalam golongan neoklasik. Coase (1998) menulis: “...the lower the costs of exchange (transaction costs if you will),...”
Costs of transacting dicontohkan dengan permisalan seorang pemilik perkebunan yang bertransaksi dengan seorang petani hingga membuat satu kesepakatan dan costs of transacting meliputi usaha yang dikeluarkan oleh pemilik perkebunan untuk menuju rumah petani, lantas waktu dan naskahnaskah yang disusun untuk membuat kesepakatan, dan akhirnya usaha yang dikeluarkan untuk kembali pulang setelah kesepakatan terjadi. Contoh lebih lengkapnya sebagaimana dinyatakan oleh Stavins (1995, diacu dalam Allen 1999): “In general, transaction costs are ubiquitous in market economies and can arise from the transfer of property right because parties to exchanges must find one another, communicate and exchange information. There may be necessity to inspect and measure goods to be transferred, draw up contracts, consult with lawyers or other experts and transfer title. Depending upon who provides these services, transaction costs can take one of two forms, inputs or resources including time – by a buyers and/or a seller or a margin between the buying and selling price of a commodity in a given market”.
Definisi pertama ini adalah definisi yang paling umum diterima. Biaya semacam ini adalah serupa (equivalent) dengan pajak (taxes) atas transaksi yang dilakukan (Allen 1991). Menyerupakan biaya transaksi seperti pajak adalah sebuah kesalahan. Implikasi atas penyerupaan itu adalah biaya transaksi itu sederhana, mudah diamati, dan tergolong jenis biaya pada umumnya (ordinary costs) yang dapat langsung dimasukkan pada fungsi biaya (costs function) sebagaimana lainnya. Ketika biaya transaksi diperlakukan seperti pajak, maka analisis nantinya tidak akan dapat menjelaskan keberadaan hubungan-hubungan kontrak (contractual relationships) yang bersifat spesifik, padahal untuk alasan inilah biaya transaksi awal mulanya ada (Allen 1991). Definisi selanjutnya adalah definisi dari golongan hak kepemilikan, digagas oleh Allen (1991) dengan menyatakan bahwa biaya transaksi adalah segala sumber daya yang digunakan untuk membangun dan menjaga hak-hak kepemilikan (resources used to establish and maintain property rights). Definisi
21
ini secara tegas menyatakan hubungan antara biaya transaksi dengan hak kepemilikan. Implikasi dari definisi ini adalah biaya transaksi sebesar nol dan hak kepemilikan yang lengkap adalah dua situasi yang sama. Pernyataan “jika biaya transaksi sama dengan nol dan hak kepemilikan lengkap” adalah pengulangan yang tidak perlu. Jika biaya transaksi sangat tinggi, maka hak kepemilikan menjadi nol (Allen 1999). Menggunakan definisi dari golongan hak kepemilikan ini, maka dapat ditarik secara lebih tegas garis pembatas antara biaya produksi (seperti biaya transportasi) dengan biaya transaksi. Definisi dari golongan hak kepemilikan ini juga konsisten dengan teori Coase. Coase (1960, diacu dalam Allen 1991) menyatakan: “when transaction costs are zero, the gains from trade are maximized, independent of any initial distribution of property rights”.
Biaya transaksi sama dengan nol adalah sama dengan situasi ketika hak kepemilikan terdefinisikan dengan sempurna (perfectly defined property rights). Jika hak kepemilikan tidak terdefinisikan dengan sempurna, maka usaha akan dilakukan untuk menyempurnakannya. Biaya atas usaha yang dilakukan inilah yang disebut sebagai biaya transaksi. Oleh karena itu, biaya transaksi adalah sumber bagi segala penjelasan mengenai distribusi hak kepemilikan (distribution of property rights) (Allen 1991). Jika biaya transaksi sama dengan pajak (sebagaimana pada definisi neoklasik), maka teori Coase tersebut akan tetap berlaku bahkan ketika biaya transaksi tersebut positif. Oleh karena itu, definisi neoklasik yang mengecualikan usaha-usaha untuk membangun hak kepemilikan menjadi tidak konsisten dengan teori Coase (Allen 1991). Pembeda
lain
antara
golongan
neoklasik
dengan
golongan
hak
kepemilikan adalah jenis biaya penegakan (enforcement-type cost) di dalam perusahaan bukanlah biaya transaksi. Hal ini dikarenakan biaya transaksi hanya muncul antar perusahaan atau individu pada saat proses pertukaran terjadi (Allen 1999). Lebih lengkapnya mengenai perbedaan definisi biaya transaksi dan implikasinya antara golongan neoklasik dan golongan hak kepemilikan dapat dilihat pada Tabel 1.
22
Tabel 1
Perbedaan definisi biaya transaksi berikut implikasinya antara golongan neoklasik dengan golongan hak kepemilikan Perbedaan definisi biaya transaksi dan implikasinya
Komponen perbedaan Terkait dengan hak kepemilikan
Perbedaan dengan biaya produksi
Golongan neoklasik
Biaya transaksi hanya muncul pada saat transfer hak kepemilikan Serupa dengan biaya produksi, utamanya biaya transportasi. Juga serupa dengan pajak (taxes)
Golongan hak kepemilikan Biaya transaksi, selain muncul pada saat transfer hak kepemilikan, juga muncul sebagai biaya untuk menjaga (maintain) hak kepemilikan
Perbedaannya jelas dengan biaya produksi
Internal/eksternal terhadap aktor pasar
Eksternal terhadap aktor pasar karena biaya transaksi hanya muncul sebagai biaya antar aktor pasar (across market)
Selain eksternal, juga internal terhadap aktor pasar (internal to the firm)
Konsistensi dengan Teori Coase
Tidak konsisten
Konsisten
Sumber: Penulis dengan mengolah dari Allen (1991, 1999)
Biaya transaksi bersifat spesifik untuk masing-masing aktor pasar. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada satu harga pasar yang efektif (single effective market price) pada saat pertukaran terjadi (Sadoulet & de Janvry 1995, diacu dalam Gabre-Madhin 2001).
2.3.2 Penyebab Timbulnya Biaya Transaksi Berdasarkan definisi Allen (1991), maka biaya transaksi akan muncul pada tiga situasi. Pertama, biaya transaksi akan muncul pada situasi pertukaran yang dipaksakan (coerced exchange) seperti pencurian. Biaya atas kunci pengaman, anjing penjaga, dan senjata api yang digunakan untuk mencegah perampokan adalah biaya transaksi. Demikian juga halnya biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perampokan seperti alat pembuka kunci, tongkat, atau lainnya adalah juga biaya transaksi. Kedua, biaya transaksi akan muncul pada usaha-usaha untuk mencegah atau mengambil keuntungan melalui free riding pada barangbarang publik (public goods). Ketiga, dan yang terpenting, biaya transaksi muncul pada semua jenis transaksi lainnya. Pada setiap pertukaran yang bersifat sukarela (voluntary exchanges, sebagai lawan dari coerced exchange), biaya
23
transaksi muncul sebagai usaha yang dilakukan untuk menangkap kesejahteraan (wealth) orang lain sekaligus mencegah kesejahteraannya sendiri diambil orang lain. Melihat tiga situasi tersebut, maka biaya transaksi bersifat ada dimanamana (ubiquitous) (Allen 1991). Biaya transaksi memang tidak dapat dihilangkan. Biaya transaksi sebesar nol tidak dapat terjadi di dunia nyata (Allen 1991, 2005). Hal ini dikarenakan hak kepemilikan tidak pernah lengkap (incomplete) dan tidak pernah sempurna (imperfect) (Allen 2005). Hak kepemilikan dikatakan tidak lengkap jika sebagian hak atas suatu barang/sumber daya berada di tangan orang lain. Hak kepemilikan dikatakan tidak sempurna jika penegakan atas hak akan suatu barang/sumber daya terlalu mahal untuk dilakukan (Allen 2005). Penyebabnya adalah eksternalitas dan pembatasan-pembatasan hak oleh peraturan-peraturan, baik formal maupun informal (Rodrik 1999; Alchian 2002). Sebagai contoh adalah polusi suara yang diderita oleh pemilik rumah di tepi jalan raya. Pada situasi well-established property rights, maka pemilik rumah dapat menagih para pengguna jalan sebagai kompensasi atas polusi suara yang melintasi hak kepemilikannya (rumah di tepi jalan). Akan tetapi hal ini akan menjadi terlalu mahal terutama untuk pengawasannya. Ini adalah contoh dari eksternalitas. Contoh lain adalah seseorang yang melintasi halaman rumah milik orang lain tanpa permisi bukan lantas menjadikan si pemilik berhak untuk menembaknya. Ada peraturan-peraturan lain dalam bentuk hukum tertulis maupun norma yang membatasi hak kepemilikan. Semua masyarakat di negaranegara di dunia mempraktekkan pembatasan dari penggunaan hak kepemilikan privat sepanjang pembatasan itu dilakukan demi kepentingan publik (Rodrik 1999). Biaya transaksi juga terkait dengan informasi yang tidak gratis. Allen (1991) menyatakan: ”Information regarding the number and levels of each good’s attributes is not free”.
Implikasi langsung dari pernyataan ini adalah bahwa biaya informasi adalah syarat perlu (necessary condition) bagi permasalahan biaya transaksi. Meskipun demikian, biaya informasi tidak selalu menjadi biaya transaksi. Biaya yang muncul atas pengumpulan informasi yang independen terhadap suatu pertukaran, dalam arti biaya ini ada meskipun tanpa terjadinya sebuah pertukaran, adalah biaya informasi dan bukan biaya transaksi. Termasuk juga di
24
dalam hal ini adalah kegiatan-kegiatan seperti mencari mitra dagang, memilih barang-barang yang diperlukan, atau membandingkan dan mencari harga terbaik adalah biaya informasi, dan bukan biaya transaksi (Allen 1991). Tetapi asumsi informasi yang tidak gratis tidak cukup untuk menjelaskan munculnya biaya transaksi. Asumsi kedua diperlukan dan asumsi tersebut adalah bahwa barang (goods) merupakan vektor dari karakter variabilitas dan karakter kemungkinan untuk dimodifikasi (vectors of variable and alterable attributes) (Allen 1991). Pembeda utama antara kedua karakter tersebut adalah bahwa variabilitas ialah perubahan yang disebabkan oleh alam sedangkan karakter kemungkinan untuk dimodifikasi (untuk selanjutnya disebut karakter alterable) adalah perubahan yang disebabkan oleh manusia (Allen 1991). Selengkapnya mengenai contoh dari kedua karakter ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2
Contoh karakter variabilitas dan karakter alterable sebagai vektor terhadap barang (goods) Karakter
Alterable (dapat dimodifikasi oleh manusia)
Variable (dapat beragam karena alam)
Kesemua yang lainnya
Non-variable (tidak dapat beragam karena alam)
Mawar
Non-alterable (tidak dapat dimodifikasi oleh manusia) Gempa bumi Topan badai Tuhan
Sumber: Allen (1991)
Asumsi kedua ini menjadi penting karena karakter variabilitas dan karakter alterable menentukan muncul tidaknya biaya transaksi. Jika sebuah barang memiliki variabilitas dan dapat dimodifikasi oleh manusia, maka biaya transaksi akan muncul. Jika hanya salah satu karakter saja yang melekat pada suatu barang, maka biaya transaksi akan sama dengan nol (Allen 1991). Sebagai contoh adalah telur. Jika telur tidak dapat beragam karena alam, sedangkan telur tersebut dapat dimodifikasi oleh manusia, maka ketika misalnya kuning telurnya disedot dan cairannya diganti dengan zat lain tanpa memecahkan kulit telur lantas telur tersebut dijual, maka si penjual pasti tidak akan dapat lari dari tuduhan berperilaku curang. Hal ini dikarenakan telur tersebut tidak memiliki karakter variabilitas sehingga tidak mungkin berubah karena alam. Segala perubahan terhadap telur pastinya dipersalahkan kepada penjual yang berperilaku curang.
25
Demikian pula sebaliknya. Jika telur tersebut tidak dapat dimodifikasi oleh manusia tetapi memiliki karakter variabilitas, maka andaikan telur yang dijual tidak sesuai dengan seharusnya kesalahan akan ditimpakan kepada alam. Pada situasi seperti ini dimana hanya salah satu karakter saja yang melekat (variabilitas atau alterable), maka biaya transaksi sama dengan nol karena dapat diketahui secara langsung dan pasti penyebab dari perubahan kualitas barang. Perilaku curang dapat dilakukan tanpa terdeteksi jika barang memiliki karakter variabilitas dan alterable. Pada situasi ini biaya transaksi akan muncul akibat ketidakmampuan untuk mengetahui penyebab dari perubahan kualitas barang, apakah disebabkan oleh peristiwa acak karena alam ataukah eksploitasi secara sengaja. Atau lebih singkatnya, biaya transaksi muncul ketika ada situasi informasi yang tidak lengkap (incomplete information) (Allen 1991). Perlu dicatat bahwa asumsi tersebut berlaku untuk pertukaran yang bersifat sukarela (voluntary exchange). Pada situasi pertukaran yang tidak bersifat sukarela, maka biaya transaksi tetap akan muncul meskipun tidak ada karakter variabilitas dan alterable. Contoh pertukaran yang tidak bersifat sukarela misalnya adalah pencurian dan free riding pada barang-barang publik (public goods) (Allen 1991). Cordella (2001) menyatakan bahwa biaya transaksi timbul dikarenakan kompleksitas (complexity) dan ketidakpastian (uncertainty) dari sistem ekonomi sehingga biaya transaksi didefinisikannya sebagai ukuran yang menunjukkan tingkat efisiensi dalam mengelola ketidakpastian. Knight (1971 dalam Allen 1991) menambahkan
bahwa
ketidakpastian
adalah
situasi
dimana
distribusi
probabilitas tidak diketahui (unknown probability distributions) dan ini adalah lawan dari risiko (risks) karena risiko adalah situasi ketika probabilitas diketahui. McManus (1975 dalam Allen 1991) menyatakan bahwa ketidakpastian yang disampaikan oleh Knight tersebut disebabkan oleh perilaku oportunistik. Senada dengan McManus, Cordella (2001) menyatakan bahwa kompleksitas dan ketidakpastian tersebut terkait dengan perilaku manusia atau lingkungan (human behaviour or environmental) dan hal-hal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable events). Perilaku oportunistik tentunya hanya dapat terjadi pada kasus dimana barang yang ditransaksikan bersifat dapat berubah karena alam (variable) dan oleh manusia (alterable).
26
Perilaku manusia atau lingkungan (human behaviour or environmental) dan hal-hal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable events) adalah hasil dari distribusi informasi yang timpang (unequal distribution of information) diantara para aktor yang terlibat di dalam transaksi. Ackerlof (1970 dalam Allen 1991) menyatakannya dengan istilah lain yaitu informasi asimetris (asymmetric information). Adanya informasi yang asimetris menyebabkan informasi bukan hanya tidak gratis, melainkan juga lebih mahal (more costly) bagi satu pihak untuk mendapatkannya dibandingkan pihak yang lain. Usaha-usaha yang dilakukan untuk memanfaatkan keuntungan dari informasi yang timpang akan mengakibatkan biaya transaksi. Dan sekali lagi, agar konsep informasi asimetris ini dapat menjelaskan biaya transaksi maka asumsi yang harus digunakan adalah bahwa barang yang ditransaksikan bersifat dapat berubah karena alam (variable) dan oleh manusia (alterable) (Allen 1991). Biaya transaksi juga terkait dengan spesifisitas aset (asset specificity). Spesifisitas aset adalah keterbatasan aset untuk dialihkan (lack of transferability) penggunaannya ke penggunaan lain yang berbeda dari yang dimaksudkan pada awalnya
(http://faculty.washington.edu/krumme/gloss/a.html,
diakses
7
September 2006). Menard (2004, diacu dalam Poel 2005) mendefinisikan spesifisitas aset sebagai nilai dari investasi yang akan hilang jika aset digunakan secara berbeda dibanding penggunaan yang dimaksudkan di awal. Spesifisitas aset menyebabkan ketergantungan (Williamson 1998, diacu dalam Poel 2005). Aset dengan spesifisitas yang tinggi membutuhkan kontrak yang kuat atau internalisasi
untuk
mengantisipasi
ancaman
perilaku
oportunistik
(http://faculty.washington.edu/krumme/gloss/a.html, diakses 7 September 2006). Potensi untuk mengundang perilaku oportunistik inilah yang mengaitkan antara spesifisitas aset dan biaya transaksi. Biaya transaksi terkandung di dalam ketidakpastian, konsentrasi, dan spesifisitas aset (Klein et al. 1978; Williamson 1985; Frank & Henderson 1992, diacu dalam Temu & Winter-Nelson 2001). Spesifisitas aset dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis dan jenis-jenis yang sering dikaji dalam penelitian mengenai biaya transaksi adalah (Poel 2005): (i)
physical asset specificity, misalnya adalah mesin yang khusus dibeli oleh suatu perusahaan untuk satu konsumen atau bahkan satu jenis transaksi (Hobbs 1999);
27
(ii)
human asset specificity, misalnya adalah pengetahuan dan keterampilan khusus yang dibutuhkan oleh suatu perusahaan untuk melayani konsumen tertentu (Afuah 2001);
(iii)
site asset specificity, misalnya adalah aset dari dua pihak yang dibangun berdekatan untuk mempermudah pertukaran dan mengurangi biaya transaksi (Hobbs 1999); dan
(iv)
dedicated asset specificity, adalah kasus dimana suatu perusahaan butuh untuk berinvestasi pada peralatan/perlengkapan (equipment) yang dapat memenuhi permintaan khusus dari konsumen tertentu (Afuah 2001). Investasi
pada
aset yang
spesifik
untuk satu
jenis
penggunaan
menyebabkan munculnya biaya yang disebut sunk cost. Begitu investasi dilakukan, maka aset tidak dapat lagi dijual karena aset tersebut tidak dapat digunakan untuk jenis-jenis penggunaan lainnya (Allen 2005). Tabel 3 menunjukkan asumsi-asumsi yang mendasari munculnya biaya transaksi sekaligus juga bentuk-bentuk situasi yang memunculkan biaya transaksi. Perlu diperhatikan bahwa Tabel 3 hanya memuat hak kepemilikan pada sumber daya fisik dan manusia dan tidak memuat hak kepemilikan pada sumber daya alam dan sosial. Hal ini dikarenakan kelembagaan pemuda yang menjadi subyek dari penelitian ini tidak mengatur penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam, sedangkan hak kepemilikan pada sumber daya sosial menjadi satu topik besar tersendiri yang dipisahkan dari penelitian ini. Tabel 3
Asumsi yang mendasari dan situasi-situasi yang memunculkan biaya transaksi pada hak kepemilikan sumber daya fisik dan manusia Hak kepemilikan pada
Asumsi dasar
Asumsi Situasi yang selanjutnya memunculkan (akibat dari biaya asumsi dasar) transaksi
Sumber daya fisik (mengandung asset specificity) Privat
Publik
Common
v
v
v
Sumber daya manusia (mengandung asset specificity) Publik
Common
Coerced exchange
Information is costly
Incomplete information (or bounded rationality)
Free riding
v
v
v
v
Variable and alterable attributes of goods
Oportunistic behavior (or maximization with guile)
Privatization
v
v
v
v
v
v
v
v
Asymmetric information
Voluntary exchange
v
28
2.3.3 Macam-macam Penggolongan Biaya Transaksi Williamson (1996) menggolongkan biaya transaksi ke dalam dua jenis yaitu (i) ex ante costs, dan (ii) ex post costs. Ex ante costs adalah biaya yang meliputi perancangan, negosiasi, dan rencana pengamanan (safeguarding) sebuah kesepakatan. Di dalam sebuah kemitraan, ex ante costs akan meningkat pada proses-proses awal. Ex ante costs dapat digolongkan kembali menjadi biaya pencarian (search costs) dan biaya pembuatan kesepakatan (contracting costs). Biaya pencarian meliputi biaya identifikasi dan evaluasi mitra potensial, sedangkan biaya pembuatan kontrak meliputi negosiasi dan penyusunan kesepakatan antara mitra. Ex ante costs seringkali muncul pada saat sebelum kemitraan secara resmi dimulai (Williamson 1985; North 1990; diacu dalam Jobin 2005). Ex post costs dibedakan atas biaya pengawasan (monitoring costs) dan biaya penegakan (enforcement costs). Biaya pengawasan muncul pada saat dilakukannya pengawasan untuk memastikan bahwa setiap mitra memenuhi segala ketentuan yang tertuang dalam kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Biaya penegakan meliputi negosiasi ulang (renegotiation atau ex post bargaining) dan pemberian sangsi kepada mitra yang tidak dapat memenuhi kesepakatan yang dibuat (Williamson 1985; North 1990; diacu dalam Jobin 2005). North & Thomas (1973) membagi biaya transaksi ke dalam tiga tipe yaitu (i) biaya pencarian (search cost) yaitu biaya untuk mendapat informasi mengenai keuntungan atau kerugian dari suatu transaksi (cost of allocating information about opportunity of the exchange), (ii) biaya negosiasi (negotiation cost) yaitu biaya untuk merundingkan syarat-syarat suatu transaksi (cost of negotiating the terms of the exchange), dan (iii) biaya penegakan (enforcement cost) yaitu biaya untuk menegakkan suatu kontrak atau transaksi (cost of enforcing the contract) (Anggraini 2005). Furubotn & Richter (1997), diacu dalam Benham & Benham (2001) diacu dalam Anggraini (2005) mendefinisikan dua varian dalam setiap tipe biaya transaksi yaitu (i) biaya transaksi tetap (fixed transaction cost), yaitu investasi khusus dan (ii) biaya transaksi peubah (variable transaction cost), yaitu biaya yang tergantung pada jumlah atau volume transaksi. Hal ini senada dengan permodelan yang dibangun oleh Cordella (2001) yaitu biaya transaksi (TC)
29
sebagai dependent variable dipengaruhi oleh independent variable meliputi biaya infrastruktur (CI) dan biaya koordinasi (CC). Biaya infrastruktur adalah fixed cost, sedangkan biaya koordinasi adalah variable cost (Cordella 2001). de Soto (1989), diacu dalam Anggraini (2005) menyatakan bahwa biaya transaksi juga muncul dari aspek-aspek non-pasar (non-marketed transaction cost). Biaya transaksi non-pasar tersebut diantaranya adalah sumber daya yang dikeluarkan/dihabiskan dalam situasi menunggu (resources spent in waiting), mendapatkan izin usaha, upacara peresmian (cutting through red tapes), dan menyuap pejabat (bribing officials). Biaya transaksi non-pasar ini merajalela (rampant) dalam pembangunan ekonomi. Terlihat bahwa kesemua penggolongan biaya transaksi tersebut adalah penggolongan berdasarkan mazhab neoklasik karena kesemua penggolongan tersebut ada pada situasi berlangsungnya transfer hak kepemilikan dan biaya transaksi yang muncul adalah biaya antar aktor pasar (across market). Menggunakan mazhab hak kepemilikan, biaya transaksi tidak hanya muncul ketika ada transfer hak kepemilikan pada situasi pertukaran sukarela, tetapi juga muncul pada upaya-upaya untuk mencegah atau mengambil keuntungan dari pertukaran yang dipaksakan. Mazhab hak kepemilikan menyatakan bahwa biaya transaksi tidak hanya muncul sebagai biaya antar aktor pasar (across market) saja, melainkan juga biaya internal di dalam aktor pasar (atau internal to the firms) (Cheung 1969, diacu dalam Allen 1999).
2.3.4 Pengukuran Biaya Transaksi Biaya
transaksi
tidak
dapat
dihitung
secara
langsung
melainkan
diperkirakan (estimated) dengan menggunakan berbagai pendekatan (proxy) (Gabre-Madhin 2001). Pada tahun 1999, Allen menyatakan hanya ada dua penelitian yang berupaya untuk mengukur biaya transaksi (measure the level of transaction costs), pertama yang dilakukan oleh Wallis dan North (1986) dan penelitian kedua dilakukan oleh Masten, Meehan, dan Snyder (1991). Penelitian yang dilakukan oleh Wallis & North (1986), dinilai oleh Allen (1999) sebagai penelitian pertama yang berupaya mengukur biaya transaksi dan barangkali juga paling ambisius. Mengingat biaya transaksi tidak dapat dihitung secara langsung melainkan diperkirakan (estimated), maka perkiraan yang digunakan oleh Wallis & North adalah gaji/upah yang diterima para pekerja pada
30
jenis-jenis pekerjaan transaksional (transactional work) di Amerika Serikat. Jenisjenis pekerjaan yang dianggap 100% transaksional adalah akuntan; pengacara dan hakim; hubungan masyarakat, baik terhadap individu maupun terhadap tenaga kerja (personal and labor relations); manajer; kesekretariatan/bagian administrasi (clerical); tenaga penjualan (sales workers); supervisor/mandor (foremen); pengawas (inspectors); penjaga; polisi dan militer; serta pekerja pos (Wallis & North 1986). Ostrom (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) memang membedakan antara aktivitas transformasi dengan aktivitas transaksi. Aktivitas transformasi adalah digunakannya seperangkat input fisik untuk diubah menjadi bentuk output yang berbeda yang nantinya dapat digunakan baik untuk aktivitas transformasi selanjutnya ataupun langsung dikonsumsi. Aktivitas transaksi adalah hubungan antar individu terkait yang membutuhkan waktu dan energi untuk menyelesaikan aktivitas transformasi. Penghitungan gaji/upah yang diterima para pekerja pada jenis-jenis pekerjaan transaksional menghasilkan temuan bahwa dalam rentang 100 tahun (1870-1970) penghasilan dari sektor transaksional terus meningkat dari tahun ke tahun hingga pada tahun 1970 mencapai setengah (54,7%) dari produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat. Selengkapnya mengenai hasil penghitungan ini dapat dilihat pada Tabel 4 Tabel 4
Penghitungan biaya transaksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika Serikat 1870-1970
Tahun
Biaya transaksi pada sektor privat
Biaya transaksi pada sektor publik
Total biaya transaksi terhadap PDB
1870
22,5%
3,6%
26,1%
1890
29,1%
3,6%
32,7%
1910
31,5%
3,7%
35,2%
1930
38,2%
8,2%
46,3%
1950
40,3%
10,9%
51,2%
1970
40,8%
13,9%
54,7%
Sumber: Wallis & North (1986)
Penelitian ini mendapatkan kritikan misalnya oleh Davis (1986, diacu dalam Allen 1999). Davis berargumen bahwa setiap jenis pekerjaan memiliki baik elemen transaksional maupun transformasi dan menjadi tidak mungkin untuk memisahkan kedua elemen ini. Sebagai contohnya adalah petani yang berperan
31
baik sebagai manajer/pemasar (fungsi transaksi) sekaligus juga pembudidaya tanaman (fungsi transformasi). Atas argumen inilah yang mungkin menjelaskan mengapa penelitian semacam yang dilakukan oleh Wallis dan North menjadi penelitian pertama sekaligus terakhir (Allen 1999). Penelitian kedua yang dilakukan oleh Masten, Meehan, dan Snyder (1991) dinilai Allen (1999) sebagai penelitian yang lebih kompleks untuk menghitung biaya transaksi. Masten, Meehan, dan Snyder menyatakan bahwa kebanyakan pendekatan (proxies) yang digunakan hanya melihat pada risiko dari pertukaran pasar (the hazards of market exchange) dan tidak melihat pada biaya pengaturan internal (internal cost of governance). Pendekatan macam ini akan gagal untuk melihat antara biaya transaksi internal dan eksternal (Allen 1999). Masten, Meehan, dan Snyder yang melihat pada kasus pembuatan kontrak pembangunan galangan kapal Angkatan Laut menemukan bahwa biaya organisasi (organization costs) adalah sebesar 14% dari total biaya. Jika yang dipilih adalah kesepakatan kontrak yang salah, maka diperkirakan bahwa hal ini akan menyebabkan peningkatan biaya organisasi hingga mencapai 70% (Allen 1999).
2.3.5 Keterkaitan antara Biaya Transaksi dengan Hak Kepemilikan Penjelasan mengenai keterkaitan antara biaya transaksi dengan hak kepemilikan tentu harus diawali dengan pengertian akan hak kepemilikan itu sendiri. Hak kepemilikan adalah kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh pihak yang memiliki sumber daya untuk menentukan bagaimana sumber daya tersebut digunakan. Anwar (1994) mendefinisikan hak kepemilikan (property rights) sebagai penegasan secara legal mengenai hak-hak kepemilikan dari suatu sumber daya dengan disertai keterbatasan-keterbatasan dalam caranya sumber daya tersebut dimanfaatkan. Akan tetapi hak kepemilikan bukan saja menjadi ada karena hukum (legal rights), melainkan juga ada karena kenyataan. Definisi yang dikemukakan oleh Anwar (1994) adalah definisi yang belum lengkap. Alchian (1965, 1979, diacu dalam Allen 1999) menyebutkannya sebagai hak ekonomi (economic rights) selain hak legal. Hak ekonomi melekat pada kepemilikan legal, tetapi tidak berlaku sepenuhnya. Seseorang bisa jadi secara hukum memiliki sebuah sepeda motor meskipun pada kenyataannya sepeda motor tersebut ada di tangan
32
seorang pencuri, artinya hak ekonomi ada di tangan pencuri meskipun nilai dari barang curian itu lebih rendah jika dibandingkan ketika hak ekonomi berada di tangan pemilik sahnya (Allen 1999, 2005). Hak ekonomi adalah hak untuk memilih bentuk-bentuk penggunaan sumber daya yang dikehendaki, sedangkan hak legal adalah bentuk-bentuk pilihan yang didukung oleh hukum (Allen 1999). Seringkali kedua jenis hak ini saling tumpang tindih tetapi pembedaan yang tegas perlu dilakukan karena perilaku ditentukan oleh hak ekonomi, bukan oleh hak legal (Allen 2005). Dalam bahasa Rodrik (1999), kata kunci dari hak kepemilikan bukanlah kepemilikan (ownership), melainkan kontrol. Tujuan paling mendasar dari adanya hak kepemilikan ini adalah menghilangkan persaingan-persaingan yang bersifat merusak/dengan kekerasan untuk mendapatkan kontrol atas suatu sumber daya. Hak kepemilikan yang terdefinisikan dan terlindungi dengan sempurna (well-defined and well-protected) akan menggantikan persaingan dengan kekerasan menjadi persaingan secara damai (Alchian 2002). Menggunakan istilah Allen (2005), tidak terdefinisikannya hak kepemilikan akan menyebabkan dunia menjadi dunia yang anarkis (a world of anarchy). Dibangunnya hak kepemilikan yang terjamin dan stabil menurut argumen North & Thomas (1973) dan North & Weingast (1989) (diacu dalam Rodrik 1999) adalah elemen kunci dari kemajuan negara-negara Barat sekaligus juga sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi modern. Alasan dari argumen ini adalah tanpa hak kepemilikan yang terjamin, maka seorang pengusaha tidak memiliki kontrol yang cukup atas hasil dari suatu aset sehingga pengusaha tersebut tidak mempunyai insentif baik untuk mengumpulkan aset maupun berinovasi. Berdasarkan rezim pengelolaan sumber daya, hak kepemilikan dapat digolongkan menjadi hak kepemilikan publik/pemerintah (public/state property) dan hak kepemilikan privat (private property) (Alchian 2002). Diantara kedua golongan ini terdapat kategori residual yang disebut sebagai akses terbuka (open access) dan hak kepemilikan bersama (common property) (Kanbur 1992). Hak kepemilikan privat dapat ditransfer menjadi hak kepemilikan publik. Ada kalanya transfer hak ini dapat membuat ekonomi berjalan lebih efektif, ada kalanya juga membuat menjadi tidak efektif (Alchian 2002). Rezim common property pun dapat hancur dikarenakan faktor lingkungan yang berubah (Kanbur 1992). Tentu yang terburuk adalah ketika hak kepemilikan dihilangkan (Alchian 2002).
33
Hak kepemilikan privat tidak harus dipegang oleh satu individu saja. Hak kepemilikan tersebut bisa dibagi dan setiap orang yang memilikinya mendapat bagian yang jelas dari nilai pasarnya sementara keputusan mengenai bentukbentuk penggunaan sumber daya dibuat melalui mekanisme yang disepakati bersama. Contoh klasik dari hak kepemilikan privat ini adalah perusahaan (corporation). Di dalam perusahaan, porsi kepemilikan terdefinisikan dengan jelas dan hak untuk memutuskan bentuk-bentuk penggunaan sumber daya didelegasikan kepada manajemen. Hak kepemilikan privat memiliki tiga elemen dasar (i) eksklusivitas hak untuk memilih bentuk penggunaan sumber daya, (ii) eksklusivitas hak untuk mendapatkan jasa/keuntungan dari sumber daya, dan (iii) hak untuk mempertukarkan sumber daya tersebut dengan berdasarkan pada kesepakatan bersama (Alchian 2002). Orang meningkatkan hak kepemilikan privatnya melalui tiga jalan (i) mencuri barang, (ii) privatisasi barang yang sebelumnya adalah barang publik, dan (iii) bekerjasama dengan individu lain melalui sebuah kesepakatan yang membagi manfaat ekonomi yang didapatkan dari hak baru (Allen 1999). Hak kepemilikan publik tentunya ada terhadap barang-barang publik (public goods). Barang publik memiliki dua karakter utama (i) noneksklusif, artinya tidak ada pihak yang dapat dikecualikan untuk turut mendapatkan manfaat dari barang tersebut (atau jika dapat maka proses untuk mengecualikan pihak-pihak tertentu adalah sangat mahal), dan (ii) nonrival, artinya penambahan tingkat konsumsi tidak mengakibatkan penambahan biaya produksi dan pengurangan konsumsi pihak lain. Tetapi, karena banyak juga jenis barang nonrival yang diproduksi secara privat (misalnya kolam renang dan jalan tol dimana konsumen harus membayar untuk menggunakannya) maka barang publik lebih sering dikaitkan dengan karakter noneksklusif (Nicholson 1998). Allen (2005) menyatakan bahwa barang publik adalah barang yang ketika dikonsumsi salah satu pihak tidak mengurangi/menghalangi konsumsi yang bisa dilakukan pihak lain. Rezim common property (res communes) sebelumnya sering dipertukarkan dengan rezim open access (res nullius). Hal ini dipicu oleh makalah Garrett Hardin pada tahun 1968 yang berjudul The Tragedy of the Commons. Tragedi tersebut diilustrasikan oleh Hardin sebagai berikut: pada suatu ladang penggembalaan yang terbuka bagi siapapun, maka para pengembala yang rasional akan memaksimalkan keuntungan masing-masing dengan terus
34
menambah hewan gembalanya hingga yang terjadi selanjutnya adalah jumlah rumput yang tidak mencukupi kebutuhan merumput. Inilah tragedi tersebut, dan selanjutnya Hardin (1968) menyatakan bahwa “freedom in a commons brings ruin to all”. Salah satu mekanisme manajemen sumber daya adalah tidak ada manajemen sama sekali, dan mekanisme inilah yang berlaku pada ilustrasi yang diberikan oleh Hardin. Mekanisme tanpa manajemen adalah rezim open access yang mengarah menuju tragedi, sedangkan sumber daya yang dikelola secara komunal untuk mengontrol eksploitasi disebut sebagai common property. Rezim common property justru dapat mengelola sumber daya alam dengan baik selama ribuan tahun. Tragedi yang dimaksudkan oleh Hardin seharusnya bukanlah the tragedy of the common property, melainkan the tragedy of the open access. Open access tidak bisa saling dipertukarkan dengan common property sehingga keduanya menjadi dua kategori residual antara hak kepemilikan privat dan publik (Kanbur 1992). Hak kepemilikan yang lengkap (complete property right) menyebabkan perilaku diskriminatif menjadi lebih mahal. Hal ini dikarenakan pada situasi hak kepemilikan yang lengkap, maka nilai pasar akan lebih berpengaruh sedangkan status atau ciri-ciri seseorang yang turut berkompetisi menjadi kurang berpengaruh karena status atau ciri-ciri tersebut dapat dikompensasi dengan penyesuaian harga. Sebagai contoh adalah seorang wanita kulit hitam yang ingin menyewa apartemen dari seorang pemilik kulit putih. Jika si pemilik memiliki hak kepemilikan yang lengkap, maka ia dapat menentukan biaya sewa pada tingkat berapapun yang diinginkan. Meskipun sebenarnya si pemilik lebih menghendaki penyewa kulit putih, wanita kulit hitam dapat mengkompensasinya dengan biaya sewa yang lebih tinggi. Andaikan si pemilik pada akhirnya tetap menyewakan apartemennya kepada penyewa kulit putih yang membayar lebih rendah, maka si pemilik menanggung biaya atas perlakuan diskriminatif (Alchian 2002). Hak kepemilikan privat dapat dikurangi misalnya melalui mekanisme kontrol harga dan pelarangan transfer hak kepemilikan. Menurut Alchian (2002) pengurangan hak kepemilikan privat ini berdampak buruk terhadap masyarakat. Perilaku diskriminatif menjadi lebih murah, bahkan dapat menjadi nol, ketika pemerintah menerapkan kontrol sewa dengan menetapkan biaya sewa di bawah tingkat pasar. Wanita kulit hitam pada contoh sebelumnya tidak dapat
35
mengkompensasi kekurangan fisiknya dengan membayar sewa lebih mahal. Si pemilik, yang tidak dapat lagi menerima harga penuh, akan memilih calon penyewa dengan ciri-ciri pribadi yang disukai, seperi usia, jenis kelamin, etnis, dan agama, tanpa menanggung biaya atas perlakuan diskriminatif (Alchian 2002). Hak kepemilikan yang dikurangi berakibat pada pengurangan tingkat kesejahteraan, dan pada saat hak kepemilikan benar-benar tidak terdefinisikan maka kesejahteraan akan sama dengan nol. Contoh dari hal ini adalah budak yang tidak memiliki hak legal dan hak ekonomi sehingga menjadi orang termiskin diantara semua orang miskin. Contoh lain adalah nilai barang curian yang lebih rendah di pasar gelap menunjukkan bahwa hak kepemilikan yang dikurangi menyebabkan pengurangan kesejahteraan (Allen 2005). Dua contoh ekstrim dari kasus hak kepemilikan yang dikurangi adalah pada negara-negara sosialis dan sumber daya milik bersama (commonly owned resources). Pada sistem sosialis, agen-agen negara mengontrol sumber daya secara penuh. Orang yang berpikir dapat memanfaatkan sumber daya tersebut secara lebih bernilai tidak dapat membeli hak kepemilikan karena hak tersebut tidak dijual pada harga berapapun. Oleh karena itu, agen negara tidak mendapatkan apapun ketika nilai dari sumber daya yang dikelola meningkat, demikian juga tidak kehilangan apapun ketika nilainya menurun. Akhirnya, tidak ada insentif bagi agen negara untuk memperhatikan perubahan nilai pasar. Demikian pula halnya yang terjadi dengan sumber daya milik bersama, tidak ada insentif bagi siapapun untuk menjaga sumber daya tersebut selain eksploitasi berlebihan (Alchian 2002). Hak kepemilikan mengandung kompleksitas dan banyak permasalahan yang sulit untuk dipecahkan. Salah satu kompleksitas tersebut adalah eksternalitas. Alchian (2002) dalam pertanyaannya menyebutkan: “If I operate a factory that emits smoke, foul smells, or airborne acids over your land, am I using your land without your permission?” “The cost of establishing private property rights-so that I could pay you a mutually agreeable price to pollute your air-may be too expensive.”
Terdapat jenis sumber daya yang terlalu mahal biaya untuk mengawasi dan mengontrolnya, misalnya adalah udara. Biaya inilah yang disebut dengan biaya untuk membangun hak kepemilikan (the cost of establishing property right). Biaya inilah yang oleh Allen (1991, 1999) disebut sebagai biaya transaksi. Ketika
36
biaya ini menjadi terlalu mahal, maka hak kepemilikan menjadi lebih sulit untuk ditegakkan. Oleh karena itu dibutuhkan mekanisme kontrol lain misalnya melalui kewenangan pemerintah dengan penetapan perundang-undangan (Alchian 2002). Fauzi (2005) menyatakan bahwa biaya transaksi yang diminimumkan ditambah dengan well-established property rights menyebabkan eksternalitas negatif yang timbul dapat diinternalisasikan melalui proses bargaining. Implikasi dari pernyataan ini adalah eksternalitas negatif menjadi muncul akibat biaya transaksi yang terlalu mahal sehingga hak kepemilikan tidak well-established. Sejatinya, hak kepemilikan memang tidak pernah lengkap (incomplete) karena adanya eksternalitas atau peraturan-peraturan, baik formal maupun informal, yang membatasi bentuk-bentuk penggunaan sumber daya. Hak kepemilikan dikatakan tidak lengkap ketika sebagian hak berada di tangan orang lain. Barang (goods) adalah bendel hak kepemilikan (bundle of rights), dan tidak keseluruhan dari bendel tersebut berada di tangan satu orang. Hak kepemilikan juga tidak pernah sempurna (imperfect), yaitu ketika penegakan hak tersebut terlalu mahal (too costly) (Allen 2005). Hak kepemilikan yang tidak pernah lengkap dan tidak pernah sempurna menyebabkan biaya transaksi ada dimanamana (ubiqitous).
2.3.6 Keterkaitan antara Biaya Transaksi dengan Kelembagaan Kelembagaan (institution) sebenarnya adalah seperangkat hak kepemilikan (sets of property right). Kelembagaan mengalokasikan/mendistribusikan hak kepemilikan (distribution of property rights) (Allen 1999). Allen (2005) menyatakan: “…institution as a distribution of property rights; that is a set of rules and constraints that define our ability to exercise choices…”
Hal ini dapat dipahami sebagai berikut: hak kepemilikan diatur dalam aturan main yang jelas (disebut sebagai legal rights) sedangkan aturan main adalah substansi dari kelembagaan. Contoh dari kelembagaan misalnya adalah hukum dan peraturan lainnya yang melindungi hak kepemilikan (Williamson 1998, diacu dalam Poel 2005). Kembali kepada Teori Coase yang menyatakan “in the absence of transaction costs, the allocation of resources is independent of the distribution of
37
property rights”, teori ini dapat ditafsirkan bahwa aturan main (dalam bentuk distribusi hak kepemilikan) menjadi tidak berpengaruh pada situasi ketika tawar menawar (bargaining) dapat dilakukan tanpa biaya (costlessly), sebuah situasi ketika biaya transaksi sama dengan nol. Sederhananya, teori Coase adalah aplikasi ilmu ekonomi terhadap situasi ketika tawar menawar dapat dilakukan tanpa biaya dan aturan main berubah (Allen 2005). Tetapi, karena hak kepemilikan selalu tidak pernah lengkap (incomplete) dan tidak pernah sempurna (imperfect) menyebabkan biaya transaksi akan selalu positif dan disinilah kelembagaan menjadi penting. Dapat dikatakan bahwa kelembagaan adalah fungsi dari biaya transaksi. Allen (2005) menyatakan secara tegas keterkaitan antara biaya transaksi dengan kelembagaan: “…when transaction costs are zero, then the institutional rules do not matter. When transaction costs are positive (which they always are) then institution have significant consequences for the allocation of resources.”
Bentuk-bentuk kelembagaan itu sebenarnya adalah pilihan, dan pilihan yang dijatuhkan tergantung dari bentuk kelembagaan mana yang paling dapat memaksimumkan keuntungan dari perdagangan dan produksi di atas biaya transaksi yang harus dikeluarkan. Hal ini yang dinyatakan oleh Allen (2005) sebagai hipotesis utama (grand hypothesis) dari New Institutional Economics. Kelembagaan adalah buatan manusia (humanly devised) yang didesain untuk mengurangi biaya transaksi (Allen 2005). Salah satu caranya adalah dengan membantu membangun perkiraan tentang apa yang akan dilakukan orang lain (Lin & Nugent 1995, diacu dalam Rodrik 1999). Tingkat ketidakpastian mempengaruhi biaya transaksi. Peran utama dari kelembagaan adalah mengurangi tingkat ketidakpastian (North 1991, diacu dalam Poel 2005). Keadaan (setting) kelembagaan yang ada menentukan bagaimana organisasi-organisasi
membangun
kontrak.
Kontrak
menjadi
dasar
bagi
berjalannya pertukaran impersonal atau pertukaran anonim (impersonalized exchange/anonymous exchange). Adanya kontrak menjadikan pertukaran berevolusi dari yang awalnya adalah pertukaran personal (personalized exchange), yaitu pertukaran yang dilakukan antar orang yang saling mengenal satu sama lain (North & Thomas 1973, diacu dalam Gabre-Madhin 2001). Cheung (1969, diacu dalam Allen 1999) secara eksplisit menyatakan bahwa pilihan akan jenis kontrak dipengaruhi oleh biaya transaksi yang terkandung pada masing-masing jenis kontrak tersebut. Membangun kontrak adalah
38
keharusan untuk meminimumkan biaya transaksi. Perubahan kelembagaan seharusnya
dapat
menyebabkan
perubahan
dalam
kontrak
untuk
meminimumkan biaya transaksi. Berbagai literatur menyatakan bahwa kelembagaan informal lebih dapat meminimalkan biaya transaksi daripada kelembagaan formal. Kelembagaan sosial (social institutions), menurut banyak ekonom seperti Douglass North, Oliver Williamson, dan Ronald Coase, lebih efisien dalam urusan mekanisme alokasi sumber daya, utamanya ketika terdapat biaya transaksi dalam pengalokasiannya (Stiglitz 1999 di dalam Dasgupta & Serageldin [ed] 1999). Dalam kasus masyarakat tradisional, kelembagaan pasar non formal yang dibangun oleh masyarakat sebagai media bertransaksi seringkali lebih efisien dibandingkan kelembagaan pasar formal yang lebih mahal biaya transaksinya (Anwar 1994). Sedangkan kelembagaan formal, sebagai contoh adalah negara (state), membebankan biaya transaksi yang begitu besar pada proses seperti pendirian usaha baru (setting up a new business) atau restrukturisasi usaha lama, dan seringkali dibutuhkan penyuapan (Chhibber 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Tetapi, tidak selamanya kelembagaan informal itu efisien. Stiglitz menunjukkan kelembagaan sosial yang disfungsional (dysfunctional social institutions), misalnya adalah Kolombia, Amerika Serikat, Meksiko, dan lainnya akan menjadi lebih baik tanpa adanya perdagangan narkotika (narcotics trafficking). Tanpa adanya perdagangan narkotika, maka tingkat pendapatan yang sama (the same level of income) akan dapat lebih dinikmati (Stiglitz 1999, di dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Kelembagaan pun tidak selalu didesain agar efisien secara sosial (socially efficient). Bahkan, kerap kali kelembagaan didesain hanya untuk melayani kepentingan dari pihak yang memiliki kuasa untuk membuat peraturan-peraturan (North 1995). Kelembagaan dapat didesain untuk mengurangi biaya transaksi, tetapi seringkali yang terjadi adalah sebaliknya (Rao 2003).
2.3.7 Keterkaitan antara Biaya Transaksi dengan Modal Sosial Konsep modal sosial adalah konsep yang masih diperdebatkan. Beberapa menyatakan bahwa konsep modal sosial adalah konsep yang lemah (Solow 1999; Hjerppe 2003, diacu dalam Poel 2005). Solow (1999, dalam Dasgupta &
39
Serageldin [ed.] 1999) menyoroti penggunaaan istilah modal (capital) dalam modal sosial, dan menyarakankan istilah behavioral patterns yang lebih tepat untuk menggantikan modal sosial. Putnam dan beberapa akademisi terkemuka lainnya dalam hal modal sosial mendefinisikan modal sosial sebagai pengetahuan yang dimiliki bersama (shared knowledge), kesepahaman (understandings), norma, aturan, dan harapan (expectations) mengenai pola interaksi yang dilakukan oleh sekelompok individu pada aktivitas-aktivitas yang berulang (recurrent activities) (Coleman 1988, Ostrom 1990, 1992, Putnam et al. 1993, diacu dalam Ostrom 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Uphoff (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menyatakan bahwa membangun definisi mengenai modal sosial tidaklah membantu memberikan pemahaman mengenai apa yang menyusun modal sosial. Uphoff (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menggolongkan modal sosial dalam dua kategori (i) kategori struktural, dan (ii) kategori kognitif. Uphoff (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) berargumen bahwa penggolongan ini penting untuk memahami modal sosial, dan sama pentingnya seperti memahami natural capital dengan menggunakan kategori sumber daya yang bisa diperbaharui dan tidak bisa diperbaharui. Kategori struktural adalah berbagai elemen dari organisasi sosial, khususnya seperti peran (roles), aturan (rules), keteladanan (precedents), dan tata cara (procedures) sebagaimana juga berbagai jenis jaringan (networks) yang berkontribusi terhadap berlangsungnya kerjasama, dan lebih khususnya lagi adalah aksi bersama yang saling menguntungkan (MBCA: Mutually Beneficial Collective Action). MBCA adalah bentuk keuntungan yang dihasilkan oleh modal sosial. Kategori kognitif berasal dari proses-proses mental dan berbagai gagasan, yang didukung oleh budaya dan ideologi, khususnya norma, nilai, sopan santun, dan keyakinan yang berkontribusi terhadap perilaku untuk bekerjasama dan MBCA. Kategori ini adalah kategori yang bersifat intrinsik dan tidak dapat diamati langsung, berbeda halnya dengan kategori struktural (Uphoff 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Kategori struktural berasal dari proses-proses kognitif, artinya kedua kategori ini terkait satu sama lain. Kedua kategori ini dihubungkan oleh apa yang
40
disebut sebagai harapan (expectations) (Uphoff 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Kategori
struktural
memfasilitasi
(facilitate)
berlangsungnya
MBCA,
sedangkan kategori kognitif mendorong orang (predispose) untuk menuju MBCA. Kategori struktural inilah, utamanya dalam bentuk jaringan, yang menurunkan biaya transaksi karena interaksi yang sudah terpola menyebabkan hasil yang didapatkan dari kerjasama dapat lebih diprediksikan dan menguntungkan. Stiglitz (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) menambahkan orang yang berada dalam satu jaringan yang sama akan lebih saling mengenal satu sama lain berikut ekspektansinya. Kategori kognitif melatari (rationalize) perilaku untuk bekerjasama dan membuatnya menjadi perilaku yang dihargai/dihormati (Uphoff 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Gabre-Madhin
(2001)
mengenai
kelembagaan pasar, biaya transaksi, dan modal sosial di pasar komoditas tanaman biji-bijian (grain market) di Etiopia mengangkat satu pertanyaan kunci: bagaimana pembeli dan penjual bertemu dan mengoordinasikan pertukaran barang? Dibuktikan di dalam penelitian tersebut bahwa usaha yang dikeluarkan oleh pedagang untuk mencari pasar dipengaruhi oleh modal sosial yang dimilikinya dalam bentuk jumlah mitra yang dipercayai (Gabre-Madhin 2001). Salah satu bentuk biaya transaksi yang dikaji dalam penelitian ini adalah biaya tenaga kerja (labor) yang dibutuhkan dalam proses mencari pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial dapat memampukan pedagang untuk mencari mitra dagang secara lebih mudah (Gabre-Madhin 2001). Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Uphoff (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) bahwa kategori struktural, salah satunya dalam bentuk jaringan (networks), adalah kategori modal sosial yang dapat mengurangi biaya transaksi. Meskipun demikian, penelitian ini tidak mengungkapkan secara lebih jauh mengenai tingkat minimalisasi biaya transaksi yang dipengaruhi oleh modal sosial. Selain kategori struktural dari modal sosial dalam bentuk jaringan, ada aspek lain yang dapat meminimalkan biaya transaksi yaitu reputasi (Solow 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999; Stiglitz 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Stiglitz melihat bahwa reputasi adalah salah satu dari empat aspek modal sosial (tiga lainnya adalah tacit knowledge, collection of
41
networks, dan organizational capital) meskipun Solow tidak mengaitkan reputasi dengan modal sosial (karena Solow tidak setuju dengan penggunaan konsep modal dalam modal sosial). Reputasi dapat meminimalkan biaya transaksi karena reputasi memunculkan kepercayaan (trust), dan dengan kepercayaan itulah maka tidak diperlukan lagi sumber daya untuk mencegah perilaku-perilaku eksploitatif (Solow 1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999). Melalui
pengurangan
biaya
transaksi,
maka
modal
sosial
dapat
mempengaruhi kinerja ekonomi. Tetapi tidak hanya itu saja, Omori (2003) mengidentifikasi 18 jalur (channels) modal sosial dapat mempengaruhi kinerja ekonomi. Delapan belas jalur tersebut digolongkan menjadi tiga yaitu bisnis, rumah tangga, dan pemerintah. Pada jalur bisnis, modal sosial mempengaruhi kinerja ekonomi diantaranya melalui (i) mengurangi biaya atas kontrak dan perbuatan hukum (legal actions), (ii) membuat negosiasi dapat lebih menghasilkan (fruitful) karena masing-masing pihak dapat mencapai Pareto-Optimal outcome, (iii) memfasilitasi pertukaran informasi sehingga alokasi sumber daya dapat dilakukan lebih efisien, (iv) memampukan komunitas lokal untuk membangun kekhasannya masing-masing sehingga menjadi pembeda dengan lainnya dan membuka peluang bisnis baru, (v) baiknya situasi keamanan sebagai wujud dari modal sosial membuat bisnis menjadi semakin menguntungkan (Omori 2003). Pengaruh modal sosial pada jalur rumah tangga diantaranya adalah (i) mempengaruhi rasio tabungan (saving ratio) karena orang yang berorientasi pada kepentingan sosial akan menyisihkan dan menyimpan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain, (ii) mendorong konsumsi kolektif melalui kegiatankegiatan yang dilakukan bersama, (iii) mendorong investasi pada modal manusia (human capital) karena pada situasi modal sosial yang baik maka orang dapat memprediksi perilaku orang lain secara lebih tepat sehingga tidak ada ketakutan akan hasil yang mengecewakan nantinya dari investasi yang dilakukan (Omori 2003). Pada jalur pemerintah, modal sosial mempengaruhi kinerja ekonomi melalui (i) manajemen fasilitas dan layanan publik berbasis masyarakat, hal ini semacam common property yang dikelola oleh komunitas setempat yang memiliki modal sosial yang baik sehingga dari sisi pembiayaan akan lebih efektif, (ii) aktivitas pemerintah akan lebih efisien karena didukung oleh masyarakat yang
42
bekerjasama dengan baik, (iii) keuntungan-keuntungan non-ekonomi dari modal sosial mempengaruhi keseimbangan fiskal, sebagai contoh adalah tingkat aktivitas sosial yang diketahui memiliki hubungan dengan kesehatan, umur panjang, dan kebahagiaan. Hal ini pada gilirannya dapat mengurangi belanja pemerintah untuk sektor kesehatan, (iv) membentuk harga lahan karena komunitas dengan modal sosial yang baik akan mengundang orang luar untuk turut tinggal dan menikmati kebersamaan dengan komunitas tersebut sehingga meningkatkan harga lahan, dan (v) meningkatkan kemandirian ekonomi suatu wilayah dengan cara mendorong rasa memiliki warga terhadap wilayahnya dan memfasilitasi berlangsungnya kerjasama yang saling menguntungkan (Omori 2003).
2.3.8 Contoh Permodelan Biaya Transaksi Berikut ini adalah permodelan biaya transaksi oleh Cordella (2001). Model ini digunakan untuk menggambarkan biaya transaksi pada suatu organisasi dengan struktur hirarkis: Tc = Ci + Cc….………………….............................( 2.1) dimana Tc
=
biaya transaksi;
Ci
=
biaya infrastruktur;
Cc
=
biaya koordinasi.
Permodelan ini dibangun dalam konteks untuk menghitung pengaruh dari teknologi informasi (IT: information technology) terhadap minimalisasi biaya transaksi sehingga biaya koordinasi (CC) adalah fungsi dari eksternalitas jaringan IT (CC = f ITe). Biaya infrastruktur adalah biaya tetap (fixed cost). Biaya tetap ini dibutuhkan oleh organisasi untuk melangsungkan kontak, baik fisik maupun komunikasi antar sesama anggotanya (Bressand & Distler 1995, diacu dalam Cordella 2001). Sebagai contoh antara lain adalah jaringan teknologi informasi (information technology network), bangunan dan investasi fisik lainnya untuk menyediakan tempat dan alat bagi para anggota organisasi untuk berinteraksi (Cordella 2001). Sedangkan biaya koordinasi adalah biaya peubah (variable cost). Biaya koordinasi ini didefinisikan sebagai biaya yang muncul akibat adanya kebutuhan
43
untuk saling berbagi informasi dan aksi yang dapat mendukung berlangsungnya aksi bersama antara para anggotanya (Alchian & Demzets 1972, diacu dalam Cordella 2001). Sebagai tambahan, biaya peubah ini tidak hanya mencakup biaya langsung (direct cost) atas usaha mengumpulkan dan mengirimkan informasi, tetapi juga biaya atas waktu akibat adanya selang waktu antara dilangsungkannya komunikasi dan diambilnya keputusan (Milgrom & Roberts 1992, diacu dalam Cordella 2001). Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Gabre-Madhin
(2001)
mengenai
kelembagaan pasar, biaya transaksi, dan modal sosial di pasar komoditas tanaman biji-bijian (grain market) di Etiopia melihat biaya transaksi dari sisi biaya pencarian (search cost) mitra untuk bertransaksi dan biaya menunggu (resources spent in waiting) dalam bentuk stok komoditas (grains stock) ketika proses pencarian sedang berlangsung. Biaya transaksi ini lantas diestimasi dengan menggunakan opportunity costs dari biaya pencarian dan biaya menunggu. Opportunity costs diturunkan sebagai shadow costs dari fungsi penerimaaan para pedagang (trader’s profit function). Fungsi maksimalisasi penerimaan (trader’s revenue maximization) adalah sebagai berikut:
R = ϒδLαKβeε-ωL-υK…..………….......................(2.2) dimana R
=
penerimaan dikurangi
bersih
biaya
(net
revenue),
pemasaran
yaitu
(revenue
penerimaan
minus
physical
untuk
aktivitas
marketing costs); ϒ
=
modal sosial;
ω
=
opportunity
costs
biaya
tenaga
kerja
pencarian (search labor, L); υ
=
opportunity costs dari working capital (K).
Berdasarkan first-order condition dari maksimalisasi profit, maka shadow opportunity costs dari ω (ω*) dan υ (υ*) adalah ω*=αR/L; υ*=βR/K.
44
2.4
Kajian Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Rony (1996) mengenai transaksi jual beli
lahan di kota Bogor menunjukkan bahwa biaya transaksi yang muncul pada saat jual beli tersebut dapat digolongkan menjadi tiga yaitu (i) biaya kontrak, (ii) biaya pengawasan dan penegakan hukum, dan (iii) biaya informasi. Biaya kontrak adalah biaya yang diperlukan untuk pembuatan akta kesepakatan jual beli, dalam hal ini adalah biaya yang dikeluarkan untuk jasa pejabat pembuat akta tanah (camat dan notaris) berikut para saksi. Biaya pengawasan dan penegakan hukum adalah biaya yang diperlukan untuk melakukan pengamanan dan jaminan bahwa pelaksanaan suatu keputusan hukum jual-beli dapat berlangsung lancar dan mencegah pihak luar yang tidak berkompeten terlibat dalam kegiatan transaksi. Biaya informasi adalah biaya yang diperlukan untuk memperoleh seluruh informasi mengenai lahan, penjual, pembeli, harga, kondisi, dan mekanisme perolehannya. Biaya ini berbentuk biaya jasa yang diberikan kepada calo tanah atas keterlibatannya dalam jual beli lahan (Rony 1996). Beberapa temuan penting dari penelitian tersebut adalah (i) hak kepemilikan yang semakin lengkap (dalam bentuk lahan yang berstatus hak milik) dapat lebih menurunkan biaya transaksi. Pada hak kepemilikan yang kurang lengkap (dalam bentuk lahan yang berstatus milik adat), biaya transaksinya menjadi lebih besar utamanya pada biaya kontrak, (ii) kelembagaan formal yang kurang ditegakkan (dalam bentuk aturan mengenai biaya legalisasi akta jual beli dan biaya administrasi pengurusan izin prinsip) menyebabkan biaya transaksi menjadi meningkat karena pungutan-pungutan dikenakan melebihi ketentuan. Praktek-praktek inipun sebenarnya juga telah melembaga. Chhibber (1999, dalam Dasgupta & Serageldin [ed.] 1999) memang menyebutkan bahwa praktek-praktek korupsi menjadi kontributor biaya transaksi, (iii) meskipun keterlibatan pihak ketiga (dalam penelitian ini adalah calo tanah) meningkatkan biaya transaksi, namun keterlibatannya tetap saja dibutuhkan karena para calo tanah ini menyediakan segala informasi yang diperlukan sehingga calon pembeli dapat menghindarkan diri dari kerugian atas suatu transaksi. Penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2005) di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi menunjukkan bahwa setiap Rp 100,00 dari penerimaan petani pemilik, maka Rp 19,00 harus dikeluarkan sebagai biaya transaksi atau dengan kata lain rasio biaya transaksi terhadap penerimaan (transaction cost to
45
benefit ratio) adalah sebesar 0,19. Untuk petani penggarap, rasionya lebih kecil yaitu 0,18. Jika dilihat rasio biaya transaksi terhadap biaya total (transaction cost to total cost ratio), maka petani pemilik memiliki rasio lebih besar yaitu 0,30 bila dibandingkan dengan petani penggarap yang memiliki rasio 0,21. Artinya, untuk petani pemilik, setiap Rp 100,00 yang dikeluarkan sebagai biaya produksi maka sebesar Rp 30,00 adalah biaya yang dikeluarkan untuk biaya transaksi. Nelayan, yang juga diteliti pada penelitian yang sama, menghadapi biaya transaksi pula. Nelayan dibedakan atas nelayan kincang dan nelayan diesel. Rasio biaya transaksi terhadap penerimaan nelayan kincang sebesar 0,17 sedangkan untuk nelayan diesel sebesar 0,10. Rasio biaya transaksi terhadap biaya total untuk nelayan kincang sebesar 0,24 sedangkan untuk nelayan diesel sebesar 0,15. Selengkapnya mengenai biaya transaksi yang dihadapi petani dan nelayan di Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5
Rasio biaya transaksi yang dihadapi petani dan nelayan di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Petani Rasio
Nelayan
Pemilik
Penggarap
Kincang
Diesel
Rasio biaya transaksi terhadap biaya total (transaction cost to total cost ratio)
0.30
0.21
0.24
0.15
Rasio biaya transaksi terhadap penerimaan (transaction cost to benefit ratio)
0.19
0.18
0.17
0.10
Sumber: Diolah dari Anggraini (2005)
Komponen biaya transaksi yang dihadapi oleh setiap pelaku ekonomi pada penelitian Anggraini (2005) tidaklah sama. Petani pemilik menghadapi komponen biaya transaksi meliputi (i) biaya transaksi tetap (fixed transaction costs) yaitu biaya pengesahan jual beli tanah dan biaya peralihan hak tanah dan bangunan (BPHTB), dan (ii) biaya transaksi peubah (variable transaction cost) meliputi biaya mempertahankan kontrak, biaya perantara (middlemen costs), biaya pengangkutan hasil panen, dan pungutan penggunaan irigasi. Petani penggarap menghadapi komponen biaya transaksi yang sama seperti petani pemilik kecuali untuk biaya transaksi tetap dan biaya mempertahankan kontrak. Nelayan diesel menghadapi komponen biaya transaksi meliputi biaya manajemen, retribusi hasil tangkapan, biaya tambat dan keamanan kapal, dan biaya pelaksanaan tradisi laut. Nelayan kincang menghadapi biaya transaksi meliputi biaya perantara bakul
46
(middlemen costs), biaya tambat dan keamanan perahu, dan biaya pelaksanaan tradisi laut. Hal ini mendukung pernyataan Sadoulet & de Janvry (1995, diacu dalam Gabre-Madhin 2001) yang menyatakan bahwa biaya transaksi bersifat spesifik untuk masing-masing aktor pasar dan tidak ada satu harga pasar yang efektif (single effective market price) pada saat pertukaran terjadi. Penelitian tersebut menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab biaya transaksi pada nelayan dan petani diantaranya adalah struktur pasar yang tidak sempurna dan penegakan aturan yang lemah. Struktur pasar yang tidak sempurna ditandai dengan jumlah pembeli yang jauh lebih sedikit dibanding jumlah penjual dan informasi yang bersifat asimetris antara pembeli dan penjual. Penegakan aturan yang lemah terkait dengan tidak berjalannya pelelangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebagaimana mestinya dan pengawasan terhadap kebijakan harga dasar gabah mengingat petani selalu mendapatkan harga gabah yang lebih rendah dibandingkan harga pasar. Struktur pasar yang tidak
sempurna
dan
penegakan
aturan
yang
lemah
sejatinya
adalah
permasalahan-permasalahan kelembagaan. Bentuk disertasi
kelembagaan
Sukmadinata
mempengaruhi
(1995)
mengenai
biaya
transaksi.
kelembagaan
Berdasarkan
transaksi
dalam
pemasaran hasil usaha penangkapan ikan di Jawa Timur, diketahui bahwa kelembagaan
penjualan
hasil
tangkapan
melalui
TPI/PPI
(Pusat-pusat
Pendaratan Ikan) menyebabkan biaya transaksi yang lebih tinggi bagi nelayan dibandingkan dengan jika nelayan menjual hasil tangkapannya di luar TPI/PPI. Demikian pula halnya dengan tesis yang disampaikan Yani (1999). Menggunakan kasus budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung (KJA) di wilayah Kepulauan Riau, disimpulkan bahwa mekanisme kontrak informal antara nelayan KJA dengan tauke (tauke adalah orang-orang yang memiliki modal usaha di bidang perikanan dan memberikan pinjaman modal usaha kepada nelayan) untuk urusan penjualan ikan mampu menurunkan biaya transaksi sebesar Rp 19.436,88 untuk setiap ekor ikan kerapu yang diperdagangkan. Di dalam mekanisme kontrak informal ini, nelayan KJA adalah sebagai penerima harga (price taker) saja, sedangkan tauke sebagai penentu harga. Mekanisme kontrak informal ini dapat disebut sebagai principal-agent relation (PAR). Principal dapat diartikan sebagai pemimpin atau sponsor dan dalam PAR ini tauke-lah yang menjadi principal karena perannya sebagai
47
penentu harga. Agent dapat diartikan sebagai anak buah dan ini diperankan oleh nelayan KJA karena nelayan sebagai penerima harga. PAR adalah salah satu alternatif bentuk kelembagaan yang dipilih oleh tauke dan nelayan KJA untuk melaksanakan transaksi penjualan ikan. Terdapat alternatif bentuk kelembagaan lain yaitu pasar terbatas, kontrak formal, aliansi strategis, koperasi formal, dan integrasi vertikal. Dasar pemilihan bentuk kelembagaan utamanya adalah tingkat pengurangan ketidakpastian dan biaya transaksi. Secara umum, kelembagaan pasar terbatas menyebabkan biaya transaksi yang tinggi, sistem kontrak formal bersifat kurang adaptif terhadap perubahan situasi sehingga kurang bisa menghadapai ketidakpastian, dan aliansi strategis melibatkan aset yang bersifat spesifik (assets specificity) sehingga meningkatkan biaya transaksi. Kelembagaan koperasi formal sebenarnya dapat meningkatkan posisi tawar nelayan KJA tetapi belum mampu menawarkan keuntungan finansial kepada anggotanya. Mengenai bentuk kelembagaan integrasi vertikal, ini adalah bentuk kelembagaan ideal karena (i) resiko dan keuntungan ditanggung bersama antara nelayan dan tauke, (ii) hubungan kerjasama bersifat jangka panjang, (iii) informasi sempurna (perfect information) dan terdistribusi merata, (iv) adanya stabilitas usaha, dan (v) kedua belah pihak terikat pada kesepakatan yang dibuat. Hanya saja, untuk menuju bentuk kelembagaan integrasi vertikal ini ada syarat yang harus dipenuhi yaitu produk dengan mutu yang terstandarisasi, memiliki sarana transportasi yang memadai, dan modal yang mendukung. Mengingat syarat ini belum dapat dipenuhi maka integrasi vertikal belum dipilih sebagai bentuk kelembagaan yang menangani transaksi penjualan ikan. Hal-hal yang mendasari sehingga PAR menjadi bentuk kelembagaan yang meminimumkan biaya transaksi adalah transaksi didasari oleh sikap saling percaya (trust) dan kekeluargaan sebagai kebiasaan yang telah tumbuh dan berkembang
sejak
lama
dalam
struktur
masyarakat
nelayan
pantai.
Ketidakpastian pun, sebagai satu faktor penyebab munculnya biaya transaksi, dapat dikurangi baik ketidakpastian dari pihak nelayan seperti pemenuhan kebutuhan operasional dan fluktuasi harga maupun ketidakpastian dari pihak tauke seperti pasokan ikan kerapu hidup yang tidak berkesinambungan. Penelitian yang dilakukan oleh Poel (2005) mengenai kelembagaan informal, biaya transaksi, dan rasa saling percaya dengan studi kasus mengenai
48
pembangunan rumah oleh kaum migran di Ghana menyatakan bahwa kelembagaan baru dapat meminimumkan biaya transaksi jika kelembagaan tersebut dapat mendorong munculnya saling percaya (trust) terlebih dahulu. Saling percaya menghubungkan kelembagaan dengan biaya transaksi.