BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Anak Usia Prasekolah 2.1.1. Pengertian UNESCO dengan persetujuan negara-negara anggotanya membuat International Standard Classification of Education (ISCED) dengan 7 klasifikasi penjenjangan mulai dari prasekolah sampai dengan pendidikan tinggi. Jenjang Prasekolah (Level 0) disebut juga sebagai pendidikan usia dini. Pendidikan prasekolah adalah pendidikan bagi anak usia 3-5 tahun. Beberapa negara memulai lebih awal (2 tahun) dan beberapa negara lain mengakhiri lebih lambat (6 tahun). Dinyatakan pula bahwa untuk beberapa negara pendidikan usia dini termasuk baik pendidikan prasekolah maupun pendidikan dasar (Harianti, 2003). Anak usia prasekolah adalah anak usia 3-5 tahun saat dimana sebagian besar sistem tubuh telah matur dan stabil serta dapat menyesuaikan diri dengan stres dan perubahan yang moderat. Selama periode ini sebagian besar anak sudah menjalani toilet training (Wong, 2008).Anak usia prasekolah adalah anak berusia 3-6 tahun yang merupakan sosok individu, makhluk sosial kultural yang sedang mengalami suatu proses perkembangan yang sangat fundamental bagi kehidupan selanjutnya dengan memiliki sejumlah potensi dan karakteristik tertentu (Snowman, 2003). Menurut Hurlock (2001), mengatakan bahwa usia prasekolah adalah usia 3-5 tahun dan merupakan kurun yang disebut sebagai masa keemasan (the golden age). Di usia ini anak mengalami banyak perubahan baik fisik dan mental, dengan
Universitas Sumatera Utara
karakteristik sebagai berikut, berkembangnya konsep diri, munculnya egosentris, rasa ingin tahu, imajinasi, belajar menimbang rasa, munculnya kontrol internal (tubuh),
belajar
dari
lingkungannya,
berkembangnya
cara
berfikir,
berkembangnya kemampuan berbahasa, dan munculnya perilaku (Wong, 2008). Dengan demikian anak usia prasekolah adalah usia 3-5 tahunanak mengalami banyak perubahan baik fisik dan mental, dengan karakteristik sebagai berikut,yang berada pada tahap perkembangan awal masa kanak-kanak, yang memiliki karakteristik berpikir daya imajinasi yang kaya dan munculnya perilaku. 2.1.2. Karakteristik ciri-ciri Anak Prasekolah Menurut Hurlock (2001) ciri-ciri anak prasekolah meliputi fisik, motorik, intelektual dan sosial. Ciri fisik anak prasekolah yaitu : a. Otot-otot lebih kuat dan pertumbuhan tulang menjadi besar dan keras. b. Anak prasekolah mempergunakan gerak kasar seperti berlari, berjalan, memanjat, dan melompat sebagai bagian dari permainan mereka. c. Kemudian secara motorik anak mampu memanipulasi obyek kecil, menggunakan balok-balok dengan berbagai ukuran dan bentuk. d. Selain itu juga anak mempunyai rasa ingin tahu, rasa emosi, iri, dan cemburu. Hal ini timbul karena anak tidak memiliki hal-hal yang dimiliki oleh teman sebayanya. e. Sedangkan secara sosial anak mampu menjalani kontak sosial dengan orang-orang yang ada diluar rumah, sehingga anak mempunyai minat yang lebih untuk bermain pada temannya, orang-orang dewasa, dan saudara kandung di dalam keluarganya.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Aspek-Aspek Perkembangan Pada Usia Anak Pra Sekolah Perkembangan adalah perubahanpsikologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi psikis dan fisik pada diri anak, yang ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar dalam peredaran waktu tertentu menuju kedewasaan. Perawatan dan pendidikan merupakan rangsangan dari lingkungan yang banyak berpengaruh dalam kehidupan anak menuju kedewasaan.Sumber rangsangan tersebut terhadap wawasan.Sumber rangsanan tersebut terdapat di lingkungan hidup dimana orangtua merupakan faktor pertama-tama yang bertanggung jawab dalam mengatur,mengkoordinasi rangsangan-rangsangan tersebut (Yanti, 2011). Menurut Santrock (Rahman, 2009) adapun karakteristik perkembangan anak usia dini dapat dilihat sebagai berikut: 1. Perkembangan Fisik-Motorik Pertumbuhan fisik pada setiap anak tidak selalu sama. Ada yang mengalami pertumbuhan secara cepat, ada pula yang lambat. Pada masa kanakkanak pertambahan tinggi dan pertambahan berat badan relatif seimbang. Perkembangan motorik anak terdiri dari dua, ada yang kasar dan ada yang halus. a. Perkembangan motorik kasar Perkembangan motorik kasar seorang anak pada usia 3 tahun adalah 1. melakukan gerakan sederhana seperti berjingkrak, 2. melompat, berlari ke sana ke mari dan ini menunjukkan kebanggaan dan prestasi. 3.
Sedangkan usia 4 tahun, si anak tetap melakukan gerakan yang sama, tetapi sudah berani mengambil resiko seperti jika si anak dapat naik
Universitas Sumatera Utara
tangga dengan satu kaki lalu dapat turun dengan cara yang sama dan memperhatikan waktu pada setiap langkah. 4. Lalu, pada usia 5 tahun si anak lebih percaya diri dengan mencoba untuk berlomba dengan teman sebayanya atau orang tuanya. 5. Sebagian ahli menilai bahwa usia 3 tahun adalah usia bagi anak dengan tingkat aktivitas tertinggi dari seluruh masa hidup manusia. Sebab tingkat aktivitas yang tinggi dan perkembangan otot besar mereka (lengan dan kaki) maka anak-anak pra sekolah perlu olah raga seharí-hari. Anak-anak pra sekolah mengalami kemajuan yang luar biasa dalam kemampuan motorik kasar, seperti berlari dan melompat yang melibatkan penggunaan otot besar (Papalia,2009). b. Perkembangan motorik halus. Adapun perkembangan keterampilan motorik halus dapat dilihat pada usia 3 tahun yakni 1. kemampuan anak-anak masih terkait dengan
kemampuan
untuk
menempatkan dan memegang benda-benda. 2. Pada usia 4 tahun, koordinasi motorik halus anak-anak telah semakin meningkat dan menjadi lebih tepat seperti bermain balok, kadang sulit menyusun
balok sampai tinggi sebab khawatir tidak akan sempurna
susunannya. 3.
Sedangkan pada usia 5 tahun, mereka sudah memiliki koordinasi mata yang bagus dengan memadukan tangan, lengan, dan anggota tubuh lainnya untuk bergerak.
Universitas Sumatera Utara
4. Hal ini tidak terlepas dari ciri anak yang selalu bergerak dan selalu ingin bermain sebab dunia mereka adalah dunia bermain dan merupakan proses belajar. 5. Mulai sejak si anak membuka mata di waktu pagi sampai menutup mata kembali di waktu malam, semua kegiatannya dilalui dengan bergerak, baik bolak-balik, berjingkrak, berlari maupun melompat. Dalam kaitan ini, anak bukanlah miniatur orang dewasa karena mereka melakukan aktivitas berdasarkan kematangan dan kemampuan yang sesuai usianya. kemampuan motorik halus seperti mengancingkan baju, menggambar (Papalia,2009). 2. Perkembangan Sosio Emosional Para psikolog mengemukakan bahwa terdapat tiga tipe temperamen anak, yaitu: a. Pertama, anak yang mudah diatur, mudah beradaptasi dengan pengalaman baru, senang bermain dengan mainan baru, tidur dan makan secara teratur dan dapat meyesuaikan diri dengan perubahan di sekitarnya. b. Anak yang sulit diatur seperti sering menolak rutinitas sehari-hari, sering menangis, butuh waktu lama untuk menghabiskan makanan dan gelisah saat tidur. c. Anak yang membutuhkan waktu pemanasan yang lama, umumnya terlihat agak malas dan pasif,jarang berpartisipasi secara aktif dan seringkali menunggu semua hal diserahkan kepadanya Secara umum, aspek-aspek perkembangan pada usia anak pra sekolah ini dapat diuraikan sebagai berikut (Fitria, 2013);
Universitas Sumatera Utara
a. Perkembangan fisik Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya.Seiring meningkatnya pertumbuhan tubuh, baik menyangkut berat badan dan tinggi, maupun tenaganya, memungkinkan anak untuk lebih mengembangkan keterampilan fisiknya dan eksplorasi terhadap lingkungan tanpa bantuan orang tua. Pada usia ini banyak perubahan fisiologis seperti : 1) Pernapasan yang menjadi lebih lambat dan dalam serta denyut jantung lebih lama dan menetap. 2) Proporsi tubuh juga berubah secara dramatis seperti pada usia 3 tahun, rata-rata tingginya sekitar 80-90 cm dan beratnya sekitar 10-13 kg, sedangkan pada usia 5 tahun tingginya dapat mencapai 100-110 cm. 3) Tulang kakinya tumbuh dengan cepat dan tulang-tulang semakin besar dan kuat. 4) Pertumbuhan gigi semakin komplit. Untuk perkembangan fisik anak sangat diperlukan gizi yang cukup seperti protein, vitamin, dan mineral dsb. b. Perkembangan Intelektual Menurut Piaget, perkembangan kognitif pada usia ini berada pada periode preoperasional, yaitu tahapan dimana anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis. Periode ini juga ditandai dengan berkembangnya representasional atau symbolic function yaitu kemampuan menggunakan sesuatu untuk mempresentasikan sesuatu yang lain : 1) Menggunakan simbol-simbol seperti bahasa, gambar, isyarat, benda, untuk melambangkan sesuatu atau peristiwa.
Universitas Sumatera Utara
2) Melalui kemampuan diatas, anak mampu berimajinasi atau berfantasi tentang berbagai hal. 3) Dapat menggunakan kata-kata, benda untuk mengungkapkan lainnya atau suatu peristiwa. c. Perkembangan Emosional Pada usia 4 tahun, anak sudah mulai menyadari akunya, bahwa akunya (dirinya) berbeda dengan Aku (orang lain atau benda). Kesadaran ini diperoleh dari pengalaman bahwa tidak semua keinginannya dapat dipenuhi orang lain. Bersamaan dengan itu berkembang pula perasaan harga diri. Jika lingkungannya tidak mengakui harga dirinya seperti memperlakukan anak dengan keras, atau kurang menyayanginya maka dalam diri anak akan berkembang sikap-sikap keras kepala, menentang, atau menyerah dengan terpaksa.Beberapa emosi umum yang berkembang pada masa anak yaitu : 1) Takut (perasaan terancam), 2) Cemas (takut karena khayalan), marah (perasaan kecewa), 3) Cemburu (merasa tersisihkan), 4) Kegembiraan (kebutuhan terpenuhi), 5) Kasih sayang (menyenangi lingkungan), 6) Phobi (takut yang abnormal), ingin tahu (ingin mengenal). d. Perkembangan Bahasa Perkembangan bahasa anak prasekolah, dapat diklasifikasikan kedalam dua tahap (sebagai kelanjutan dari dua tahap sebelumnya). Masa Ketiga (2,0-2,6 tahun) bercirikan: a. Anak sudah mulai bisa menyusun kalimat tunggal yang sempurna.
Universitas Sumatera Utara
b. Anak sudah mampu memahami memahami tetang perbandingan. c. Anak banyak menanyakan tempat dan nama; apa, dimana, darimana, dsb. d. Anak sudah mulai menggunakan kata-kata berawalan dan berakhiran 2.1.4.Teori-teori Perkembangan Anak Pra Sekolah Teori-teori perkembangan anak pra sekolah dapat dibagi menjadi : a. Perkembangan kognitif (Piaget) 1) Tahap pra operasional (umur 2-7 tahun) dengan perkembangan kemampuan sebagai berikut anak belum mampu mengoperasionalkan apa yang dipikirkan melalui tindakan dalam pikiran anak, perkembangan anak masih bersifat egosentrik, seperti dalam penelitian Piaget anak selalu menunjukkan egosentrik seperti anak akan memilih sesuatu atau ukuran yang besar walaupun isi sedikit. Masa ini sifat pikiran bersifat transduktif menganggap semuanya sama, seperti seorang pria dikeluarga adalah ayah maka semua pria adalah ayah, pikiran yang kedua adalah pikiran animisme selalu memperhatikan adanya benda mati, seperti apabila anak terbentur benda mati maka anak akan memukulnya kearah benda tersebut (Alimul, 2005). 2) Tahun kedua berada pada fase pereptual, anak cenderung egosentrik dalam berfikir dan berperilaku, mulai memahami waktu, mengalami perbaikan konsep tentang ruang, dan mulai dapat memandang konsep dari perspektif yang berbeda. 3) Tahun ketiga anak berada pada fase inisiatif, memahami waktu lebih baik, menilai sesuatu menurut dimensinya, penilaian muncul berdasarkan persepsi, egosentris mulai berkurang, kesadaran sosial lebih tinggi, mereka
Universitas Sumatera Utara
patuh kepada orang tua karena mempunyai batasan bukan karena memahami hal benar atau salah. 4) Pada akhir masa prasekolah anak sudah mampu memandang perspektif orang lain dan mentoleransinya tetapi belum memahaminya, anak sangat ingin tahu tentang factual dunia (Zae, 2000). b. Perkembangan psikosexual anak (Freud) 1) Tahap oedipal/phalik terjadi pada umur 3-5 tahun dengan perkembangan sebagai berikut kepuasan pada anak terletak pada rangsangan autoerotic yaitu meraba-raba, merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, suka pada lain jenis. Anak laki-laki cenderung suka pada ibunya dari pada ayahnya demikian sebaliknya anak perempuan senang pada ayahnya (Alimul, 2005). 2) Sedangkan menurut teori Sigmund Freud, anak mulai mengenal perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Anak juga akan mengidentifikasi figur atau perilaku orang tua sehingga mempunyai kecenderungan untuk meniru tingkah laku orang dewasa di sekitarnya (Nursalam dkk, 2005). c. Perkembangan psikososial anak (Erikson) 1) Tahap inisiatif, rasa bersalah terjadi pada umur 4-6 tahun (prasekolah) dengan perkembangan sebagai berikut anak akan memulai inisiatif dalam belajar mencari pengalaman baru secara aktif dalam melakukan aktivitasnya, dan apabila pada tahap ini anak dilarang atau dicegah maka akan tumbuh perasaan bersalah pada diri anak (Hidayat, Aziz Alimul, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2) Menurut Erikson pada usia (3-5 tahun) anak berada pada fase inisiatif bertentangan dengan rasa bersalah. Pada masa ini, anak berkembang rasa ingin tahu (courius) dan daya imaginasinya, sehingga anak banyak bertanya mengenai segala sesuatu disekelilingnya yang tidak diketahuinya. Apabila orang tua mematikan inisiatif anak, maka hal tersebut akan membuat anak merasa bersalah. Anak belum mampu membedakan hal yang abstrak dengan konkret, sehingga orang tua sering menganggap bahwa anak berdusta, padahal anak tidak bermaksud demikian (Nursalam dkk, 2005). 2.2.Pola Asuh Orangtua 2.2.1.Pengertian Menurut Gunarsa (2000) Pola asuh orang tua merupakan “perlakuan orang tua dalam interaksi yang meliputi orang tua menunjukkan kekuasaan dan cara orang tua memperhatikan keinginan anak. Kekuasaan atau cara yang digunakan orang tua cenderung mengarah pada pola asuh yang diterapkan”. Menurut kamus bahasa indonesia (2005), pola asuh adalah suatu bentuk (standar), sistim dalam menjaga, merawat, mendidik, dan membimbing anak. Pola asuh orang tua yang baik dengan selalu mengekspresikan kasih sayang (memeluk, mencium, dan memberikan pujian), melatih emosi dan melakukan pengontrolan pada anak akan berakibat anak merasa diperhatikan dan akan lebih percaya diri, sehingga hal ini akan membentuk pribadi yang baik, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak sejak dini yang baik meliputi perkembangan personal sosial, motorik halus, dan motorik kasar. Anak yang merasa diperhatikan dan yang di sayangi oleh orang tuanya tidak ada rasa
Universitas Sumatera Utara
takut untuk bergaul dengan orang lain, anak lebih berekspresif, kreatif, tidak takut untuk mencoba hal-hal yang baru sehingga perkembangan anak terutama anakanak di bawah umur 5 tahun akan maksimal. Hal ini sesuai dengan penelitian (Borawitz,1986). Dalam bukunya (soejiningsih,2002) menyebutkan alat DDST (Denver Developmental Scrining Test) dapat mengidentifikasi 85-100% bayi dan anak-anak pra sekolah yang mengalami keterlambatan perkembangan dan pada follaw up selanjutnya ternyata 89% dari kelompok DDST abnormal mengalami kegagalan disekolah 5-6 tahun kemudian. Pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak,yaitu bagaimana cara sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak,termasuk cara penerapan aturan,mengajarkan nilai atau norma,memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi anaknya (Suparyanto,2010). Dari beberapa pengertian dan penelitian yang dikemukakan di atas oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa pengertian pola asuh orang tua mengandung pengertian suatu hubungan interaksi antara orang tua yaitu ayah dan ibu dengan anaknya yang melibatkan aspek sikap, nilai, dan kepercayaan orang tua sebagai bentuk dari upaya pengasuhan, pemeliharaan, menunjukan kekuasaannya terhadap anak dan salah satu tanggung jawab orang tua dalam mengantarkan anaknya menuju kedewasaan. 2.2.2.Bentuk Pola Asuh Orangtua Menurut Baumrind(Suparyanto,2010), terdapat 3 macam pola asuh orang tua :
Universitas Sumatera Utara
1) Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran.Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak.Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. Pola asuh demokratis di tandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan anaknya,membuat keputusan atau aturan-aturan yang disetujui bersama, anak diberi kebebasan mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginannya serta belajar untuk dapat menangapi pendapat orang lain (Petranto,2006). Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak dan dengan pola asuh ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat(Hurlock,2006). (Baumrind dikutip dari Yuniyati,2003) menyatakan pola asuh demokratis bercirikan adanya hak dan kewajiban orang tua dan anak yang saling melengkapi. anak dilatih untuk bertanggung jawab terhadap anak dimana orang tua yang berdisiplin mampu menunjukan tanggung jawabnya dalam bentuk berani menanggung resiko atas konsekwensi dari keputusan yang telah di ambil. 2) Pola asuh Otoriter Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman.Orang tua tipe ini cenderung
Universitas Sumatera Utara
memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah.Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya. Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang kaku, tegas, diktator, kurang ada kasih sayang serta simpatik, dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua tampa perlu menjelaskan kepada anak guna dan alasan dibalik aturan tersebut (Astuti,2002). Sedangkan menurut (Santrock,2003) pengasuhan otoriter adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk mengikuti petunjuk orang tua dan menghormatinya. Pola asuh otoriter biasanya berdampak buruk pada anak, dimana anak merasa tidak bahagia, ketakutan dan kemampuan komunikasi anak juga buruk (Astuti,2002). Selain itu menurut (Baumrind,1999) pola asuh ini meningkatkan ketergantungan anak, menghambat perkembangan kepercayaan diri pada anak karena tidak belajar mengatasi masalah dan tantangannnya sendiri atau segala sesuatu disediakan orang tua serta anak merasa rendah diri dimata saudara dan teman-temannya. 3) Pola asuh Permisif Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar.Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya.Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan
Universitas Sumatera Utara
oleh mereka.Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak. (Hurlock,1976 dalam Tarmuji,2004) menyatakan bahwa pola asuh permisif memiliki ciri-ciri adanya kontrol yang kurang. orang tua bersikap longgar dan bebas, bimbingan terhadap anak kurang. Sementara itu Bowomen, Elder dan Elder (dalam Tarmuji,2004) mengatakan ciri pola asuh ini adalah keputusan lebih banyak dibuat oleh anak dari pada orang tua. Anak diberi kebebasan untuk mengatur dirinya dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya. Pola asuh mengakibatkan anak kurung dalam belajar sehingga sulit mengetahhui mana yang baik mana yang buruk, akibatnya anak-anak akan terseret dalam hal-hal yang negatif(Clara, 2004). Menurut (Hasan,2002)hasil gaya pengasuhan yang permisif adalah anak-anak yang belajar menaruh hormat kepada orang lain dan mengalami kesulitan dalam mengendalikan perilaku mereka. 2.2.3.Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah: (Edwards, 2006). a. Pendidikan orang tua Pendidikan
dan
pengalaman
orang
tua
dalam
perawatan
akanmempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan.Ada
anak
beberapa
cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak.
Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya dalam mengasuh anak
akan lebih siap menjalankan peran asuh,
selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini, 2004). b. Lingkungan Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya. c. Budaya Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat
disekitarnya dalam
mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar,2000)
Universitas Sumatera Utara