TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Manusia dengan Lingkungan Dalam ekosistem, interaksi antara manusia dengan organisme lainnya bersifat dinamis. Interaksi tersebut seringkali terjadi dalam bentuk kompetisi, contohnya interaksi antara petani dan hama. Hama dipandang merugikan oleh petani karena dapat menyebabkan kegagalan panen. Kekhawatiran terhadap serangan hama mendorong petani menggunakan pestisida secara intensif. Sebagian besar petani berkeyakinan bahwa pestisida dapat menghindarkan tanaman dari serangan hama, sehingga memicu penggunaan pestisida dari waktu ke waktu. Berbeda dengan petani, pada isu hama permukiman, ukuran tingkat kerugian tidak hanya diukur dampak ekonominya saja, tetapi juga diukur dampak kesehatan dan tingkat gangguan atas kenyamanan hidup manusia. Keberadaan hama permukiman di lingkungan tinggal manusia tidak dapat terlepas dari aktivitas manusia itu sendiri. Namun sulit bagi manusia untuk berbagi ruang hidup dengan hama tersebut. Manusia menganggap bahwa hama permukiman merupakan kelompok hewan yang menjijikkan, merugikan kesehatan manusia serta mengganggu kenyamanan hidup. Hal ini disebabkan kekhawatiran manusia terhadap penyakit yang ditularkan oleh hama permukiman, diantaranya penyakit demam berdarah dengue yang ditularkan oleh nyamuk dari genus Aedes spp. DKI Jakarta merupakan propinsi dengan jumlah penderita DBD terbanyak. Pada tahun 2003, jumlah kasus serangan DBD sebanyak 14.071 orang. Jumlah penderita ini meningkat pada tahun 2004 menjadi 20.640 orang (Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta 2004 dalam Sungkar 2007). Serangan tersebut cenderung menurun pada tahun 2005 yang mencapai 874 orang dan meningkat lagi pada tahun 2009 dengan jumlah penderita mencapai 18.343 kasus. Pada tahun 2010 terjadi serangan sebanyak 8.388 kasus. Kekhawatiran terhadap penyakit tersebut menyebabkan masyarakat tidak bisa menerima kehadiran hama permukiman dan organisme lainnya, termasuk organisme musuh alami. Oleh sebab itu masyarakat mempunyai keinginan yang kuat untuk mengendalikan hama. Sebagian besar masyarakat menggunakan
8 pestisida untuk mengendalikan hama permukiman. Walaupun dikhawatirkan membawa dampak kesehatan dan dampak lingkungan, namun penggunaan pestisida yang intensif pada area permukiman menjadi kebutuhan masyarakat guna mendapatkan rasa aman dari kekhawatiran atas serangan penyakit yang ditularkan oleh hama permukiman. Manusia dengan Lingkungan Fisik Menurut Istamar Syamsuri et al. 2004, lingkungan fisik atau abiotik adalah salah satu komponen dalam ekosistem. Komponen abiotik adalah segala sesuatu yang tidak bernyawa. Beberapa contoh lingkungan fisik yang berkaitan dengan hama permukiman yaitu suhu, kelembapan, iklim, ketersediaan makanan, konstruksi bangunan, sarana sanitasi dasar permukiman, dan topografi. 1.
Suhu Secara umum serangga memiliki kisaran suhu tertentu untuk hidupnya,
misalnya nyamuk mempunyai kisaran suhu optimum antara 25–27 oC. Di luar kisaran suhu tersebut, perkembangan populasi nyamuk akan terganggu. 2.
Kelembaban Kelembaban tanah, udara, dan tempat hidup serangga merupakan faktor
penting yang mempengaruhi distribusi, kegiatan, dan perkembangan serangga. Menurut Mardihusodo dalam Yudhastuti (2005), kelembaban udara yang berkisar 81.5–89.5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses pembentukan embrio dan ketahanan hidup embrio nyamuk. 3.
Iklim Iklim sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasi serangga.
Contoh yang menarik adalah peledakan populasi ulat bulu di beberapa wilayah di Indonesia pada tahun 2011. Boer (Boer dalam Kompas 2011) mengatakan bahwa ledakan populasi ulat bulu dipengaruhi oleh terjadinya fenomena perubahan iklim. 4.
Ketersediaan makanan Untung (2006) mengatakan bahwa penanaman satu komoditas secara terus-
menerus tidak memutuskan siklus hidup hama. Hal ini karena makanan hama tersebut tersedia sepanjang musim. Dalam konteks hama permukiman, manusia
9 memproduksi makanan setiap hari, padahal sisa makanan dan sampah organik merupakan media perkembangbiakan lalat. Sepanjang ketersediaan makanan dan ruang untuk hidup tersedia, maka hama permukiman akan tetap ada. 5.
Konstruksi bangunan Keberadaan hama permukiman merupakan hasil perilaku manusia. Manusia
membangun rumah tinggal untuk dirinya, sekaligus membuatkan habitat bagi hama permukiman. Bahkan beberapa jenis serangga tertentu seperti lalat dan kecoa telah beradaptasi dengan kehidupan manusia semenjak manusia membentuk rumah tinggal. Hama permukiman menyukai ruangan yang kurang ventilasi, kurang cahaya, lembab, kotor dan penuh barang, seperti dapur, saluran air, dan gudang. Sementara kondisi di luar bangunan rumah tinggal yang banyak terdapat sampah, selokan air macet dan berisi air comberan, penuh dengan gulma dan semak-semak, seringkali dimanfaatkan hama sebagai tempat berlindung dan beristirahat serta berkembang biak. 6.
Sarana sanitasi dasar pada lingkungan tinggal Pertambahan penduduk seringkali berkaitan dengan menurunnya kualitas
sanitasi lingkungan. Pertumbuhan jumlah penduduk tidak diimbangi dengan pembangunan fasilitas sanitasi dasar yang tidak memadai, misalnya selokan yang mampet dan tidak tersedia tempat pembuangan sampah. Kaleng atau ember bekas yang dibuang sembarangan karena tidak adanya fasilitas pembuangan sampah akan terisi air hujan dan menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. Akibatnya terjadinya epidemi penyakit yang ditularkan oleh hewan, misalnya penyakit DBD. Manusia dengan Lingkungan Biotik Lingkungan biotik adalah segala mahluk hidup yang ada di sekitar individu baik tumbuhan, hewan, manusia dan mikroorganisme. Dalam suatu ekosistem, tiap unsur biotik berinteraksi antar biotik dan juga dengan lingkungan fisik/abiotik (Supardi 2003). Suatu ekosistem akan menjamin keberlangsungan kehidupan apabila lingkungan itu dapat mencukupi kebutuhan minimum dari organisme.
10 Hama permukiman merupakan bagian dari faktor biotik yang juga dapat mempengaruhi kualitas lingkungan. Interaksi manusia dengan hama permukiman meliputi ambang toleransi dan monitoring status hama. 1.
Manusia dengan Hama Permukiman a. Ambang Toleransi. Istilah hama dalam ekosistem permukiman tergantung
pada nilai ambang toleransi manusia yang menempati ekosistem tersebut. Ambang toleransi tersebut kerapkali dihitung bukan hanya dalam nilai ekonomi semata, melainkan juga nilai kesehatan, rasa aman, dan estetika. Nilai ambang setiap manusia tergantung pada status sosial, tingkat pendidikan, dan budaya (Flint dan Bosch 2002). Menurut Sigit et al. (2006) ambang batas atau toleransi masyarakat terhadap hama rumah tangga berbeda-beda, bahkan hotel atau ruang perkantoran memberlakukan toleransi nol atau zero tolerance terhadap keberadaan hama permukiman. Kondisi zero tolerance ini juga berlaku bagi serangga/ hewan yang berperan sebagai musuh alami bagi hama permukiman, misalnya laba-laba, cicak, dan tokek. Walaupun aktivitas manusia memberikan ruang hidup bagi manusia, tetapi sulit bagi manusia untuk berbagi ruang hidup dengan hama-hama tersebut. Manusia menganggap bahwa hama permukiman merupakan kelompok hewan yang menjijikkan, merugikan kesehatan manusia serta mengganggu kenyamanan hidup. Masyarakat mendefinisikan hama berdasarkan faktor-faktor berikut: 1) tingkat bahaya, kerugian atau gangguan yang mungkin ditimbulkan oleh hama tersebut; 2) tingkat populasi hama di lingkungan permukiman; 3) tingkat toleransi pemukim terhadap keberadaan hama di lingkungannya. Meskipun ambang toleransi masyarakat tergantung pada individu, namun tetap diperlukan penetapan ambang batas, terutama untuk pengendalian pengendalian kimiawi. Sebagai contoh fogging terhadap nyamuk demam berdarah dilakukan ketika terjadi KLB atau ketika dalam penyelidikan epidemiologis ditemukan penderita DBD lainnya (satu atau lebih) atau menemukan minimal tiga orang diduga DBD dan ditemukan jentik minimal 5% dari jumlah rumah yang diperiksa.
11 b.
Monitoring Status Hama. Untuk mengetahui batas ambang kendali
tersebut, diperlukan monitoring populasi hama. Monitoring untuk hama permukiman, lebih diperuntukkan untuk menentukan jenis pengendalian fogging untuk hama nyamuk, misalnya berdasarkan hasil monitoring tersebut dapat diputuskan perlu atau tidaknya dilakukan pengasapan atau fogging. Salah satu contoh kegiatan monitoring yang lain yaitu melakukan kegiatan pemeriksaan jentik berkala atau PJB. Pemeriksaan jentik berkala ini dimaksudkan untuk memantau dan mendata keberadaan jumantik di rumah-rumah yang ada di sekitar lingkungannya. Pemantauan status hama ini telah dilakukan di beberapa wilayah di Jakarta dan sekitarnya seperti Bekasi, Bogor, Depok dan Tangerang. 2. Faktor biotik yang mempengaruhi perkembangan hama permukiman a. Tumbuhan. Dalam ekosistem, tumbuhan berperan sebagai produsen atau penyedia makanan bagi organisme konsumen tingkat terendah hingga tertinggi. Contohnya nyamuk jantan memakan nektar dari tumbuhan. Selain itu, tumbuhan juga dapat bermanfaat bagi hama permukiman sebagai tempat istirahat atau tempat perlindungan. b. Musuh alami. Musuh alami adalah organisme yang memakan serangga permukinan. Musuh alami terdiri dari predator, parasitoid, maupun patogen. Dalam sebuah ekosistem, keberadaan musuh alami dan organisme netral inilah yang menjaga keseimbangan populasi hama. c. Organisme non-musuh alami (netral). Organisme netral yaitu organisme yang tidak berperan sebagai mangsa, predator ataupun parasitoid tetapi ia berada di dalam ekosistem tersebut. Dalam konteks sebuah ekosistem, keberadaan hewan netral ini berpengaruh terhadap persaingan atas ruang hidup, misalnya perebutan oksigen, tempat untuk hidup, serta menjadi mangsa bagi organisme lainnya. d. Manusia. Faktor manusia mempengaruhi kondisi permukiman melalui pertambahan jumlah penduduk dan kebiasaan masyarakat. Pertambahan jumlah penduduk akan membutuhkan fasilitas yang meningkat pula. Pertumbuhan penduduk yang meningkat tanpa diimbangi oleh perencanaan tata ruang dan sarana sanitasi yang baik akan meningkatkan wilayah kumuh
12 di perkotaan. Kebiasaan masyarakat yang buruk, seperti membuang sampah secara sembarangan menambah kondisi kekumuhan suatu wilayah. Kondisi ini akan dan menciptakan lingkungan tinggal tidak teratur dan kotor sehingga menambah beban lingkungan di permukiman. Lingkungan tersebut disenangi oleh serangga hama. Manusia dengan Lingkungan Sosial 1. Sikap Manusia Sikap adalah penilaian positf atau negatif terhadap suatu obyek. Sikap atau attitude ini dapat dikatakan sebagai indeks pemikiran dan perasaan seseorang terhadap orang lain atau isu yang berkembang di lingkungannya (Deaux 1993). Umumnya definisi itu menggambarkan sikap sebagai kesiapan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu obyek. McGuire dalam Sarwono (1995) mendefinisikan sikap sebagai respon manusia yang menempatkan obyek yang dipikirkan ke dalam suatu dimensi pertimbangan. Obyek yang dipikirkan adalah segala sesuatu (benda, orang, dan lain–lain) yang bisa dinilai oleh manusia. Adapun dimensi pertimbangan adalah semua skala positif–negatif. Jadi, sikap adalah menempatkan suatu obyek ke dalam salah satu skala tersebut. Orang bisa bersikap bahwa menjaga kebersihan lingkungan bebas pestisida merupakan suatu tindakan yang baik, tidak menggunakan pestisida berlebihan sebagai tindakan yang baik, dan sebagainya. Dalam konteks penelitian ini pembentukan dan perubahan sikap merupakan hal yang penting. Sebagai contoh mengubah sikap dari kebiasaan mengotori dan mencemari lingkungan menjadi memelihara kebersihan lingkungan dengan mengurangi penggunaan pestisida berlebihan. Berdasarkan pendekatan psikologi, perubahan sikap biasanya diterangkan sebagai proses belajar atau proses kesadaran (kognisi). Dilihat dari proses kesadaran ada dua teori relevan dengan penelitian ini, yakni teori reaksi psikologik (psychological reactance) dari Bhrem dan teori disonansi kognitif (cognitive dissonance) dari Festinger (Sarwono 1992). Menurut teori yang pertama untuk membentuk atau mengubah sikap perlu diberikan berbagai pilihan dengan alasan, keuntungan dan kerugiannya. Orang akan mengubah sikapnya jika tersedia alternatif yang lebih baik. Jadi sikap dapat
13 dipengaruhi
oleh
bertambahnya
pengetahuan
menyangkut
obyek
sikap.
Pendekatan teori tentang sikap timbul karena adanya ketidakpuasan atas penjelasan mengenai inkonsistensi yang terjadi antara ketiga komponen kognitif, afektif, psikomotorik dan perilaku dalam membentuk sikap (Azwar 1995). Kognitif. Komponen
kognitif
berisi perasaan atau kepercayaan seseorang
mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Komponen kognitif juga menyangkut pengetahuan responden tentang sesuatu. Misalnya pengetahuan responden tentang serangga dan pestisida antara lain: jenis serangga yang dianggap sebagai pengganggu (hama); jenis formulasi pestisida rumah tangga; pengendalian hama yang diketahui selain menggunakan pestisida dan sebagainya. Menurut teori disonansi kognitif (Festinger 1957), dapat terjadi pengetahuan yang diperoleh ternyata saling bertentangan, sehingga terjadi kondisi disonan (tidak seimbang). Disonansi juga bisa terjadi antar sikap dan tingkah laku seseorang, ketika sikap tidak searah dengan tingkah laku. Manusia selalu berusaha agar mencapai keadaan seimbang dengan berbagai cara, misalnya mencari informasi baru untuk mendukung pengetahuannya atau merubah sikap atau tingkah laku. Walaupun sikap dan tingkah laku tidak selalu searah,
namun
manusia cenderung mengubah sikap sehingga konsisten dengan perilaku. Perubahan sikap pada diri seseorang akan terjadi karena adanya keadaan disonan dalam dirinya, yakni adanya elemen kesadaran yang saling bertentangan. Seseorang perlu mengubah sikap atau perilakunya agar terjadi keseimbangan kembali (keadaan konsonan) antar elemen kesadaran itu. Teori disonansi merupakan teori motivasi yang berasumsi bahwa disonansi antara perilaku dan sikap awal seseorang memotivasi dirinya agar mengubah sikapnya (Atkinson 1983). Selain disonansi kognitif terdapat pula konsep keajegan kognitif. Atkinson (1983) mengemukakan bahwa keajegan kognitif ialah bahwa semua orang berusaha agar keyakinan, sikap, dan perilakunya tetap ajeg dan tindakannya yang tidak ajeg berfungsi sebagai pengganggu atau stimulus yang memotivasi seseorang agar mengubah keyakinan, sikap, dan perilakunya.
14 Menurut Baron dan Byrne (2003) bahwa skema dapat mempengaruhi kognisi sosial seseorang melalui tiga proses dasar yaitu perhatian atau atensi (attention), pengkodean (encoding), dan mengingat kembali (retrieval). Atensi berkaitan dengan informasi yang diperhatikan. Pengkodean adalah proses dimana informasi yang menjadi perhatian disimpan di dalam ingatan. Mengingat kembali adalah proses di mana informasi dikeluarkan dari ingatan dan digunakan untuk keperluan tertentu. Dalam
hubungannya dengan atensi, skema sering kali
berperan sebagai sejenis penyaring; informasi yang konsisten dengan skema lebih diperhatikan dan lebih mungkin untuk masuk ke dalam kesadaran seseorang. Informasi yang tidak cocok dengan skema sering kali diabaikan (Fiske 1993), kecuali informasi tersebut sangat ekstrim sehingga mau tidak mau akan diperhatikan. Meskipun skema didasarkan pada pengalaman dan sering kali membantu, namun skema dapat mempengaruhi hal-hal yang diperhatikan dan yang masuk ke dalam ingatan. Hal ini sering terjadi distorsi pemahaman terhadap dunia sosial. Skema memainkan peran penting dalam pembentukan prasangka serta komponen dasar pada stereotipe tentang kelompok sosial tertentu. Seringkali skema sulit diubah karena memiliki efek bertahan (perseverance effect) atau tidak berubah bahkan ketika menghadapi informasi yang kontradiktif (Kunda dan Oleson 1995). Afektif. Komponen afektif, menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap, komponen ini melukiskan perasaan negatif terhadap obyek. Komponen afektif juga menyangkut aspek emosional responden pada pestisida yaitu: alasan penggunaan pestisida rumah tangga untuk kenyamanan; alasan penggunaan pestisida rumah tangga untuk menghindari penyakit menular; ada dampak buruk pestisida rumah tangga bagi kesehatan manusia (diri sendiri dan keluarga); pestisida rumah tangga adalah racun yang berbahaya; pestisida rumah tangga tidak berwawasan lingkungan; setuju ada progam penyemprotan hama rumah tangga dari petugas pengendali hama.
15 Psikomotorik. Komponen psikomotorik yaitu kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan obyek yang dihadapainya. Sebagai contoh seorang bersikap negatif terhadap ulat karena menganggap ulat sesuatu yang menjijikkan sehingga orang tidak menyukainya, dan mereka berusaha (bertindak) untuk menghindari atau membuang setiap ulat yang ditemui. Selain itu, komponen psikomotorik
juga didefinisikan sebagai kesediaan
responden dalam bertingkah laku yang mencangkup: memilih pestisida rumah tangga yang sesedikit mungkin menimbulkan pencemaran lingkungan atau berwawasan lingkungan walaupun harganya lebih mahal; rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli alat pengendali hama (selain pestisida rumah tangga) yang aman dan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya; memilih pestisida rumah tangga untuk mengendalikan hama rumah tangga dibandingkan cara-cara lain karena lebih mudah, murah, dan efektif; dan setuju rumahnya disemprot oleh petugas pengendali hama.
2. Perilaku Manusia Konsep perilaku ini awalnya diperkenalkan oleh Watson (1941, 1919 dalam Wiggins 1994). Konsep ini cukup banyak mendapat perhatian dalam psikologi diantara tahun 1920-an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi
instinktif
semacam
itu,
yang
menurutnya
bersifat
"mistik",
"mentalistik", dan "subyektif". Dalam psikologi obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang "dapat diamati" (observable), yaitu pada "apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)". Dalam hal ini pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya bahwa proses mental dan juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelesaikan perilaku sosial. Membahas tentang perkembangan kognitif berarti membahas tentang perkembangan individu dalam berfikir atau proses kognisi atau proses mengetahui. Dalam psikologi, proses mengetahui dipelajari dalam bidang psikologi kognitif. Bidang ini dipelopori oleh J. Piaget, yang terkenal dengan teori
16 pentahapan
kognitifannya
yang
disebut
perkembangan
kognitif.
Teori
Perkembangan kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, bagi Piaget berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata yaitu skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Skema merupakan struktur mental yang membantu seseorang mengorganisasi informasi sosial, dan yang menuntun pemrosesannya. Secara umum, skema berkisar pada suatu subyek atau tema tertentu.
Pengendalian Hama Permukiman Masalah hama permukiman di Indonesia dewasa ini semakin banyak dirasakan masyarakat. Dengan meningkatnya tingkat perekonomian masyarakat, tuntutan terhadap kenyamanan hidup dan bebas dari kekhawatiran karena hama permukiman juga meningkat. Oleh karena itu pengendalian terhadap hama permukiman menjadi salah satu kebutuhan hidup masyarakat. Taktik Pengendalian yang Tersedia Secara umum cara-cara pengendalian hama permukiman terdiri dari pengendalian secara fisik, mekanik, hayati dan pengendalian kimiawi. 1. Pengendalian Fisik Pengendalian fisik adalah perlakuan atau tindakan yang dilakukan untuk mengendalikan serangan hama dengan menggunakan tangan secara langsung atau memanipulasi lingkungan agar tidak disenangi oleh hama permukiman. Pengendalian secara fisik antara lain pembakaran, pemanasan, penggunaan suara, dan perangkap cahaya. Dalam aplikasi teknik pengendalian tersebut sebaiknya tetap mempertimbangkan organisme non target, misalnya musuh alami dan
17 mikroorganisme. Berbagai teknik tersebut biasanya cocok untuk hama permukiman jenis tertentu, misalnya teknik pemanasan cocok digunakan untuk pengendalian hama gudang atau teknik perangkap cahaya hanya cocok digunakan pada hama permukiman yang aktif pada malam hari serta tertarik pada cahaya. 2. Pengendalian Mekanik Pengendalian
mekanik
adalah
teknik
pengendalian
hama
dengan
menggunakan alat, misalnya alat pemukul, raket listrik, dan kipas angin atau exhause fan. Beberapa contoh pengendalian mekanik antara lain penggunaan alat sederhana, penggunaan penghalang fisik dan pengusir. Contoh penggunaan alat sederhana yaitu menggunakan alat pemukul untuk mengendalikan lalat atau nyamuk. Sementara itu beberapa tindakan yang termasuk dalam teknik penggunaan penghalang fisik yaitu menggunakan perangkap, misalnya kassa atau insect trap untuk menghalangi hama permukiman. 3. Pengendalian Hayati Pengendalian hayati dikenal sebagai suatu metode untuk mengendalikan atau mengurangi populasi hama dengan menggunakan mekanisme predasi, parasitisasi, dan mekanisme alami lainnya. Pelaksanaan teknik ini membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang bioekologi dan dinamika populasi hama serta musuh alami. Walaupun hasilnya tidak serta merta terlihat, tetapi pengendalian model ini lebih aman dibandingkan pengendalian dengan menggunakan pestisida kimia sintesis. Dalam pengendalian hayati, musuh alami memegang peranan yang penting, musuh alami yang biasanya berperan dalam pengendalian hayati ini yaitu predator, patogen dan parasit atau parasitoid. Predator merupakan musuh alami yang memangsa hama permukiman, contohnya cicak dan tokek yang memangsa nyamuk dewasa, beberapa jenis ikan (sejenis ikan guppy, ikan kepala timah, ikan mas, ikan mujair, dan ikan nila) yang memangsa larva nyamuk. Larva nyamuk Toxorhynchites juga berperan sebagai pemangsa jentik nyamuk lainnya yang lebih kecil, termasuk larva nyamuk A. aegypti. Patogen yaitu mikroorganisme yang bersifat antagonis terhadap hama permukiman, contohnya kelompok virus (misalnya virus yang bersifat cytoplasmic polyhedrosis), bakteri (Bacillus
18 thuringiensis), protozoa (Nosema vavraia, Thelohania sp.), dan kelompok fungi (Coelomomyces, Lagenidium, Culicinomyces) yang menjadi agen antagonis terhadap larva nyamuk. Parasit merupakan organisme yang metabolismenya tergantung kepada inang atau serangga vektor, contohnya nematoda seperti Steinermatidae
(Neoplectana),
Mermithidae
(Romanomermis),
dan
Neotylenchidae (Dalandenus) yang dapat digunakan untuk mengendalikan populasi jentik nyamuk. Parasitoid dari ordo Hymenoptera yaitu Spalangia spp. dan Pachycrepoideus vindamie juga dapat dimanfaatkan sebagai parasitoid pupa lalat (Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman 2006). 4. Pengendalian Kimiawi Pengendalian hama dengan cara ini biasa dilakukan dengan penyemprotan zat kimia pada sasaran hama. Pengendalian hama ini sering dilakukan oleh sebagian besar masyarakat, termasuk ibu rumah tangga. Bentuk formulasi pestisida yang sering digunakan yaitu padatan, cair maupun bakar. Penggunaan pestisida ditujukan untuk mengendalikan hama sehingga berada di bawah batas ambang ekonomi atau ambang kendali. Hama yang sering dikendalikan dengan cara ini yaitu pengendalian serangga vektor penyakit, binatang pengganggu, serta rayap yang merusak kayu pada rumah. Pengendalian dengan menggunakan pestisida menyangkut tiga hal penting, yaitu: 1) keefektifan senyawa kimia itu, 2) teknologi aplikasinya, dan 3) bahaya atau keracunan yang mungkin dihadapi oleh masyarakat. Pengendalian dengan cara ini membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang hama dan pestisida serta strategi pengendalian yang baik dan benar agar dapat meminimalkan dampak terhadap kesehatan dan lingkungan (Sigit et al. 2006).
Pestisida Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1973 yang dimaksudkan dengan pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk : 1.
Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;
19 2.
Memberantas rerumputan;
3.
Mematikan daun dan mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak;
4.
Memberantas atau mencegah hama-hama air;
5.
Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan, dan dalam alat-alat pengangkutan;
6.
Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah, atau air. Sementara itu dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 258 Tahun 1992
tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Pestisida memberi definisi khusus tentang pestisida hygiene lingkungan atau pestisida rumah tangga, yaitu pestisida yang digunakan untuk pemberantasan vektor penyakit menular, misalnya serangga dan tikus, atau untuk pengendalian hama di rumah-rumah, tempat kerja, tempat umum lain termasuk sarana angkutan dan tempat penyimpanan/ pergudangan. Bahaya Pestisida Pada umumnya di lapangan banyak dijumpai orang salah mengartikan “bahaya” dalam penggunaan insektisida sebagai “toksisitas”. Padahal bahaya dan toksisitas mempunyai pengertian yang berbeda. Bahaya mengacu pada potensi bahaya keracunan ketika suatu insektisida diaplikasikan. Adapun toksisitas mempunyai pengertian suatu kemampuan racun untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk ke dalam tubuh dan lokasi organ yang rentan terhadap racun tersebut (Soemirat J 2003). Berdasarkan hal ini bahaya dirumuskan: bahaya = toksisitas x paparan. Toksisitas biasanya dinyatakan dalam suatu nilai yang dikenal sebagai suatu anjuran atau konsentrasi mematikan (lethal dose atau lethal concentration) atau disingkat LD atau LC. LD50 adalah anjuran mematikan/ lethal yang mematikan 50% hewan percobaan jika diberikan melalui mulut (oral) atau diserap melalui kulit (dermal) atau bahkan terhisap melalui pernafasan (inhalasi), yang biasanya
20 dinyatakan dalam mg suatu insektisida per kg berat badan (mg/kg bb). Pengertian LC50 adalah konsentrasi suatu insektisida (biasanya dalam makanan, udara atau air) untuk mematikan 50% binatang percobaan. LC50 biasanya dinyatakan dalam mg/L atau mg/serangga. Semakin kecil nilai LD50 atau LC50, semakin beracun insektisida tersebut (Wirawan IA 2006).
Label Informasi Pestisida Cara yang paling mudah untuk menilai bahaya pestisida adalah dengan melihat kata-kata atau tanda peringatan yang tertulis/ tercantum pada label kemasan. Label pestisida harus memuat “kata-kata kunci atau simbol” yang tertulis dengan tebal, seperti: Berbahaya-sangat beracun, Peringatan-Awas, atau Hati-hati (Tabel 1). Urutan kategori untuk menilai tingkatan bahaya pestisida adalah sebagai berikut : a. Kategori I: Tanda Danger Poison. Kata kuncinya adalah Berbahaya Racun dengan gambar tengkorak dan tulang bersilang. Tanda ini harus dimuat pada label untuk semua jenis pestisida yang sangat beracun. Semua jenis pestisida yang tergolong dalam kategori ini mempunyai LD50 akut melalui mulut dengan kisaran antara 0-50 mg/kg berat badan. Artinya pestisida ini dapat membunuh manusia jika diteguk, walaupun jumlahnya hanya setetes. b. Kategori II : Tanda Warning. Kata-kata kuncinya adalah Awas Beracun. Tanda ini digunakan untuk senyawa-senyawa pestisida yang mempunyai kelas toksisitas pertengahan. Kategori ini mempunyai LD50 akut melalui mulut dengan kisaran 50-500 mg/kg berat badan. Artinya pestisida ini dapat membunuh manusia jika diteguk kira-kira sebanyak satu sendok teh. c. Kategori III : Tanda Caution. Kata-kata kuncinya adalah Hati-hati. Tanda ini digunakan untuk senyawa-senyawa pestisida yang mempunyai daya racun rendah dengan LD50 akut melalui mulut berkisar 500-5000 mg/kg berat badan. Artinya pestisida ini dapat membunuh manusia jika diteguk sebanyak kira-kira dua sendok makan sampai dua cangkir (Wirawan IA 2006).
21
K tooksisitas daan simbol baahaya pestissida Tabel 1 Klasifikasi Kelas Bahaya
Keterangan dan Gambar G yang g Tercantum m Pernyaataan Bahayaa
Ia Sangat Berbahayaa sekali
Sangatt Beracuun
Ib Berbahayaa Sekali
Beracuun
II Berbahayaa
Berbahhaya
W Warna
Simbbol Bahaya
Simbol Kata
Coklat Tua Sangat Beracun B M Merah Tua Beracun n K Kuning Tuaa Berbahaaya
III Cukup Berbahayaa IV Tidak Berbahayaa pada Penggunaaan Normal
Perhatiian Biru Muda
Perhatiaan
H Hijau
p belum mencanntumkan seemua jenis bahan b Sebaagian besar produsen pestisida aktif yangg digunakaan dalam pestisida yang y diperddagangkan. Dari hasiil uji laboratoriuum diketahhui bahwa 33.3% pestisida rumaah tangga yyang bered dar di pasar menngandung bahan b aktiff DDVP (d diklorvos) yang y dalam m kemasan tidak dicantumkkan nama bahan aktif. Dalam pen ngujian ini, laboratorium m hanya mampu menguji tiga t jenis bahan b aktiff (DDVP, DEET, D dann propoxur) yang dikeetahui mempunyyai daya raacun tinggi, akibatnyaa bahan akktif yang llain tidak dapat terdeteksi (Yayasan Duta Awam m 1998). Beberapa B peestisida yanng beredar untuk u keperluan rumah tanngga ada yaang mengan ndung kombbinasi dua aatau lebih bahan b aktif. Pesttisida denggan kombinnasi bahan aktif tersebbut, umum mnya mempu unyai
22 daya bunuh yang tinggi terhadap serangga, namun juga lebih beracun untuk manusia. Jenis Bahan Aktif Pestisida Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2004), jumlah pestisida yang dipasarkan di Indonesia untuk pertanian/ industri sebanyak 44% insektisida, 21% fungisida, 19% herbisida, 4% rodentisida, dan 12% pestisida lainnya. Dari sejumlah pestisida yang dipasarkan tersebut, terdapat 48 bahan aktif dan 208 merek dagang. Jumlah pestisida dan jenis bahan aktif yang didaftarkan pada Departemen Pertanian mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Departemen Pertanian, jumlah pestisida sudah meningkat menjadi 383 jenis dengan 71 kandungan bahan aktif dalam tahun 2011 (Tabel 2). Bahan aktif yang sering digunakan sebagai racun nyamuk antara lain DEET (diethyltoluamide) dengan konsentrasi 12-15%. Bahan aktif ini sering diaplikasikan dalam bentuk formulasi losion. Insektisida padat kering atau obat nyamuk bakar mengandung pralethrin, d-allethrin, atau transfluthrin. Insektisida cair dan aerosol mengandung salah satu atau kombinasi dari transfluthrin, propoxur, esbiothrin, pralethrin, cyphenothrin, bioalethrin, dichlorvos, d-allethrin, d-tetrametrin, d-phenothrin atau imiprothrin. Bahan aktif yang digunakan dalam insektisida rumah tangga umumnya termasuk dalam golongan organofosfat, karbamat atau pyrethroid (BPS 2004). Tabel 2 Perkembangan jumlah dan bahan aktif pestisida rumah tangga Tahun
Jumlah pestisida
Jumlah bahan aktif
2004
208
48
2007
254
56
2008
290
62
2010 2011
369 383
62 71
Sumber: Departemen Pertanian Jakarta (2004, 2007, 2008, 2010, dan 2011).
23 Dampak Pestisida Rumah Tangga Di satu sisi masyarakat ingin menyelamatkan diri dari penyakit yang ditularkan oleh serangga vektor, tapi di sisi lain penggunaan pestisida dapat menimbulkan dampak negatif terhadap manusia dan lingkungannya. Tidak seperti pada penggunaan pestisida dalam pertanian, dampak kesehatan dan lingkungan sebagai akibat dari penggunaan pestisida rumah tangga belum banyak dipublikasikan. Dampak pestisida terhadap lingkungan antara lain: resistensi hama, resurjensi, peledakan hama dan terbunuhnya serangga/hewan bukan sasaran. Sementara itu dampak kesehatan yang kemungkinan muncul, antara lain: keracunan dan timbulnya sejumlah penyakit yang berkaitan dengan pemaparan pestisida. Dampak pemaparan pestisida pada manusia dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti: janin cacat lahir, cacat pada anak-anak, kanker anak-anak, asma, alergi (peka terhadap bahan-bahan kimia), percepatan pengapuran tulang dan hipertensi (tekanan darah tinggi), pengaruh pada reproduksi, dan karsinogenesis (Schwab et al. 1995; Short 1994). Bahkan menurut Hileman & Bette (2001) dan Lelo (2003) bahwa pestisida dapat menyebabkan penyakit Parkinsons. Suatu penelitian mengungkapkan bahwa dampak pemaparan pestisida pada orang-orang dalam rumah atau kebun adalah 70% kemungkinannya lebih tinggi terserang penyakit Parkinson dibandingkan yang tidak terkena pestisida. Keterdapatan pestisida dalam rumah dan keterdapatan herbisida di kebun menunjukkan hubungan yang kuat dengan peningkatan resiko penyakit Parkinson. Seperti baru-baru ini, penelitian tentang penyakit Parkinson, mengesankan bahwa penyebab-penyebab penyakit Parkinson seperti keturunan, umur dan lingkungan, bisa semuanya menjadi faktor-faktor penting yang menyebabkan kerusakan sel-sel berpigmen di otak bagian tengah, tempat produksi dopamin (suatu senyawa neurotransmiter). Akibatnya kadar dopamin di otak menurun, dan ini dapat menyebabkan gangguan gerakan tubuh menjadi tidak teratur (Hileman & Bette (2001); Lelo (2003) dalam Kompas 2003). Pengaruh faktor luar terhadap Parkinson dapat disebabkan oleh beberapa bahan kimia seperti pestisida, insektisida dan herbisida yang dapat mengikat enzim kolinesterase yang berfungsi
24 melakukan metabolisme asetilkolin yang dilepaskan oleh syaraf. Akibatnya terjadi kelebihan asetilkolin pada reseptor syaraf dan menekan kadar dopamin. Hanya sekitar 10% penyakit Parkinson disebabkan oleh terdapatnya keturunan atau genetik (Tvedten 2000). Dampak Pestisida terhadap Lingkungan Resistensi hama. Bettini et al. (1970) dalam Hadiyani et al. (2005) menyatakan bahwa resistensi serangga hama terhadap insektisida adalah terjadinya penurunan respon kepekaan serangga terhadap insektisida yang semula efektif. Resistensi mengakibatkan individu serangga yang memiliki gen resisten terhadap insektisida tetap hidup, bahkan mampu berkembang biak. Contoh kasus ini yaitu Helicoverpa armigera di daerah pengembangan kapas Lamongan. Hama ini telah berkembang menjadi populasi yang resisten terhadap pestisida dari golongan piretroid sintetik, karbamat dan organoklorin (Hadiyani et al. 2005). Kasus resistensi hama permukiman terhadap pestisida memang belum banyak dipublikasikan, tetapi pernyataan seorang penduduk mengenai kebalnya nyamuk di Jakarta terhadap pestisida merupakan indikasi adanya gejala resistensi (Riza dan Gayatri 1993). Resurgensi. Resurgensi sangat mengurangi efektivitas dan efisiensi pengendalian dengan pestisida. Resurgensi adalah peristiwa yang terjadi apabila setelah aplikasi pestisida, populasi hama menurun dengan cepat dan kemudian justru meningkat lebih tinggi dari jenjang polulasi sebelumnya. Hal ini terjadi karena musuh alami juga ikut terbunuh oleh pestisida yang digunakan. Jika terdapat musuh alami yang bertahan hidup dari aplikasi pestisida biasanya akan mati karena tidak tersedia makanan dalam jumlah yang cukup atau bermigrasi ke tempat lain untuk mencari sumber makanan. Sementara itu bagi hama, makanan tersedia berlimpah dan tidak ada musuh alaminya yang berperan membatasi populasi serangga hama. Akibatnya populasi hama meningkat tajam. Menurut hasil penelitian IRRI, salah satu serangga yang mengalami resurgensi yaitu wereng coklat (Nilaparvata lugens). Ledakan populasi hama sekunder. Peristiwa ini terjadi karena meningkatnya populasi hama selain hama utama setelah aplikasi pestisida. Biasanya hama utama sebagai target penyemprotan pestisida mengalami penurunan populasi sedangkan
25 populasi hama sekunder meningkat, bahkan hingga pada tingkatan merusak. Peristiwa ini disebabkan karena terbunuhnya musuh alami sebagai akibat penggunaan pestisida yang berspektrum luas. Pestisida tersebut tidak hanya membunuh hama utama yang menjadi sasaran, tetapi juga membunuh serangga berguna, yang dalam keadaan normal secara alamiah efektif mengendalikan populasi hama sekunder, contoh terjadinya peledakan hama ulat bulu di beberapa daerah termasuk di Jakarta (Rauf 2011). Terbunuhnya serangga/hewan bukan sasaran. Aplikasi pestisida dapat membunuh serangga atau organisme yang statusnya bukan hama. Musuh alami merupakan organisme yang sering terbunuh dan menurun populasinya setelah aplikasi pestisida (Flint dan Bosch 2002).
Dampak Pestisida terhadap Kesehatan Di beberapa negara berkembang penggunaan pestisida tetap merupakan sebuah resiko besar. Hal ini dikarenakan pengaturan sistem kesehatan dan pendidikan yang lemah. WHO memperkirakan bahwa di dunia setiap tahun ada 25 juta kasus keracunan pestisida dan sebanyak 20.000 orang mati karena kasus keracunan. Sebanyak 99% dari kasus tersebut terjadi di negara berkembang. Dampak negatif penggunaan pestisida yaitu mempengaruhi kesehatan manusia, walaupun orang tersebut tidak berhubungan langsung dengan pestisida. Hal ini terjadi karena efek residual dan akumulasi pestisida. Beberapa dampak pemaparan pestisida antara lain: Keracunan. Keracunan sangat mungkin terjadi apabila dalam penggunaannya tidak memperhatikan perlindungan dan perawatan kesehatan aplikator pestisida. Pemaparan pestisida pada tubuh manusia dapat terjadi pada saat mempersiapkan pestisida untuk diaplikasikan, pada saat aplikasi, setelah aplikasi dan ketika menyimpan. Gejala keracunan sering dialami antara lain mual, muntah, sakit kepala, peningkatan air liur, lesu yang amat sangat, letih, pusing-pusing, gejala seperti flu, peningkatan keringat, pandangan yang kabur, berbicara tidak terarah, kejang-kejang, air kencing keluar tidak terkontrol dan buang-buang air besar, tidak sadarkan diri, tekanan darah turun dan kematian yang disebabkan oleh kegagalan pernapasan, kegagalan hati, dan kerusakan paru-paru (Gorgen 1995).
26 Seringkali pestisida disimpan sembarangan sehingga mudah dijangkau oleh anakanak. Penyebab kanker dan penyakit lain. Kabut atau asap yang berasal dari pembakaran obat nyamuk bakar yang berbahan aktif campuran dikhlorvos dan propoksur sangat berbahaya bila terhirup. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro mengungkapkan bahwa 100% responden potensial terjangkit kanker laring akibat pestisida nyamuk bakar (Republika 15 Februari 1993 dikutip dari PAN 1993). Beberapa bahan aktif menunjukkan hubungan yang kuat sebagai penyebab kanker dan penyakit lain (Tabel 3). Tabel 3 Contoh beberapa bahan aktif pestisida dan potensi bahayanya pada kesehatan manusia Bahan aktif Asefat BHC DDT Diazinon Dimetoat Fenvalerat Karbaril Klorotalonil Malation Metidation Metomil Mevinfos Paration Permethrin
Potensi bahaya Kanker, mutasi genetik Kanker Reproduksi, kanker Neurobehavior Reproduksi, kanker Kanker Ginjal Kanker, mutasi genetik Reproduksi Kanker Mutasi genetik Mutasi genetik Kanker Kanker, reproduksi
Akumulasi pestisida pada tubuh manusia akan menyebabkan beberapa penyakit, seperti: janin cacat lahir, cacat pada anak-anak, asma, allergi, mempercepat pengapuran tulang dan hipertensi, berpengaruh pada reproduksi, karsinogenesis (Schwab et al. 1995; Short 1994) dan Parkinson (Hileman & Bette 2001 dan Lelo 2003). ASI mengandung pestisida. Sejak tahun 1951, para peneliti dari negara maju dan berkembang telah mendeteksi residu pestisida organoklorine dalam air susu ibu (ASI) (Ejobi et al. 1996; Heifetz dan Taylor 1989) dan menyatakan bahwa 96% ASI tercemar residu pestisida dieldrin, 93% oleh heptaklor epoxida, 73% oleh
27 lindan, 69% oleh klordan, dan 48% oleh DDT. Penelitian di Vietnam dan India membuktikan bahwa rata-rata pemasukan harian aldrin dan dieldrin ke tubuh manusia sebesar 19 μg/orang. Hal ini juga ditemukan di Mesir dan New Guinea (Fisher 1999). Di wilayah Jakarta juga ditemukan bahwa dalam ASI terkandung DDT (Azizah 2002). Sementara itu, Jasmaini et al. (2001) menemukan dieldrin, lindan, dan DDT dalam susu sapi perah di daerah Malang. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan tahun 2001 dan 2002 tersebut cukup mengejutkan mengingat pemerintah Indonesia telah melarang penggunaan DDT sejak tahun 1983. Dampak Lain Penggunaan Pestisida Dampak lain penggunaan pestisida rumah tangga yaitu sebagai penyebab kebakaran rumah, penyalahgunaan kemasan pestisida dan bahan untuk bunuh diri. Pemberitaan di media massa menunjukkan bahwa pestisida rumah tangga dengan formulasi padat lingkaran sering menyebabkan kebakaran rumah (Kompas 13 Oktober 1993 dalam PAN Indonesia 1993). Sementara itu penyalahgunaan kemasan terjadi pada makanan jajanan untuk anak-anak di Banjarnegara. Jajanan ini digemari karena, selain harganya murah, rasanya aneh dan gambarnya menarik (terdapat gambar nyamuk) pada kemasannya. Jajanan itu dijual dalam bungkus anti nyamuk dan bungkus shampo. Pada awal 1970-an, juga ditemukan kemasan racun nyamuk yang disalahgunakan untuk bungkus pisang sale di kawasan Puncak, Jawa Barat. Penyalahgunaan pestisida juga terjadi untuk kasus bunuh diri. Selama tahun 1992, lebih dari 65% kasus bunuh diri di Jakarta dilakukan dengan menggunakan pestisida (PAN Indonesia 1993).