Mirwansyah : Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Masyarakat Diera Reformasi (Suatu Tinjauan).
HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI ERA REFORMASI (SUATU TINJAUAN) Oleh: Mirwansyah Dosen Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Ketenangan dan ketentraman hidup manusia tidak akan tercapai tanpa kesadaran untuk berubah, perubahan tersebut hendaknya dilandasi dari masyarakat itu sendiri dengan menyediakan perangkat kontol, pengawasan sosial, baik berupa peraturan tertulis maupun tidak tertulis.. Agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka hukum yang diciptakan harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan masyarakat dan pemerintah sebaiknya bersikap peka membaca aspirasi rakyat di dalam penyusunan perundang-undangan sehingga hukum dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Adapun fokus kajian dan masalah yaitu bagaimanakah upaya yang dilakukan untuk mewujudkan hukum sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat di era reformasi ? Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pendekatan yuridis normatif dengan sumber data sekunder dengan cara kualitatif untuk menjawab permasalahan hingga dapat ditarik kesimpulan dan memberikan saran. Adapun tujuan penelitian untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam mewujudkan hukum sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat di era reformasi, hasil penelitian diketahui kontruksi hukum dibangun berdasarkan akumulasi realitas sosial selalu memberikan hasil yang berbeda sekalipun demikian memiliki komitmen terhadap supremasi hukum sebagai pengendali perilaku masyarakat yang secara sengaja direncanakan untuk merespon berbagai perubahan sosial dalam segala aspek sosial, ekonomi dan teknologi disamping mendorong terbentuknya masyarakat sipil yang mampu menekan dan prilaku dominan negara. Akhirnya dapat disimpulkan perlunya pelembagaan komitmen terhadap doktrin-doktrin hukum yang tidak terbatas pada hukum positif, melainkan hukum yang menjadi bagian dari masyarakat dan saran ysng dapat diberikan hendaknya penegakan hukum tidak diskriminatif dan komoditas politik belaka, partisifasi publik perlu diperluas dalam pembentukan hukum yang berorientasi pada kepentingan masyarakat serta mengedepankan demokrasi untuk menjadikan hukum sebagai pangllima yang memayungi masyarakat.
_________________________________ Keywords : Hukum, Pemberdayaan,Reformasi PENDAHULUAN Sejak awal pembentukan umat manusia dalam konteks interaksi masyarakat, masalah kaidah/norma merupakan jelmaan yang dibutuhkan sebagai upaya mencapai harmonisasi kehidupan, kendatipun interaksi kehidupan manusia dalam masyarakat sepanjang perjalanan hidupnya tidak berjalan lurus, mulus dan aman-aman saja. Persengketaan, kejahatan, ketidakadilan, diskriminasi, kesenjangan sosial, konflik SARA dan sebagainya adalah warna-warni dari realitas yang dihadapi. Persoalan-persoalan tersebut semangkin berkembang dalam
modifikasi lain akibat pengaruh teknologi globalisasi akan semangkin cangkih setua usia bumi. Manusiapun menyadari bahwa ketenangan dan ketentraman hidup tidak akan tercapai tanpa kesadaran pada diri untuk berubah, memperbaiki perilaku selain dukungan masyarakat untuk memulihkannya. Secara kodrati, hal esensial ini akan tercapai apabila masyarakat menyediakan perangkat kontrol, pengawasan sosial, baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang kemudian dikukuhkan dalam bentuk kepastian hukum berupa satu kesatuan dalam suatu sistem hukum.
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, No.1, (1-13), Januari 2013
1
Mirwansyah : Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Masyarakat Diera Reformasi (Suatu Tinjauan).
Sekalipun kehidupan manusia dalam masyarakat diatur oleh hukum, akan tetapi dalam satu hal hukum sebagai suatu perangkat kaidah yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Apabila diuraikan lebih lanjut hubungan manusia dalam masyarakat berarti hubungan antar-manusia, hubungan antara manusia dengan masyarakat dan sebaliknya hubungan masyarakat dengan anggota masyarakat itu, baik yang berdasarkan pertalian darah (kekerabatan), kampung/desa atau suatu negara menurut nilai-nilai yang sama-sama mereka anut (shared values), atau juga bisa karena mereka sama-sama mempunyai tujuan tertentu. Apabila di dalam masyarakat tidak ada rasa aman akan perlindungan hak-hak asasinya, tidak ada jaminan perlakuan yang adil, tidak ada saling kepercayaan dan kasih sayang antar sesama, banyak ketidak jujuran, ketidak benaran, dan penyalahgunaan kekuasaan diberbagai bidang kehidupan maka kondisi masyarakat demikian jelas bukan kondisi masyarakat yang berkualitas/menyenangkan. Agar hubungan ini berjalan dengan baik dibutuhkan aturan berdasarkan mana orang melindungi kepentingannya dan menghormati kepentingan dan hak orang lain sesuai hak dan kewajiban yang diperlukan adalah aturan (hukum), dan aturan yang mengatur kepentingan umum (publik) dan menyangkut negara dan penyelenggaraan pemerintahan dinamakan hukum publik, sedangkan aturan yang mengatur hubungan di antara orang-perorangan dinamakan hukum perdata (sipil). Karena hukum merupakan suatu sistem atau tatanan asas-asas dan kaidah-kaidah yang tidak lepas dari masalah keadilan yang mengatur
kehidupan manusia di dalam masyarakat, salah satu fungsi terpenting adalah tercapainya keteraturan kehidupan manusia di dalam masyarakat. Keteraturan ini yang menyebabkan orang dapat hidup dengan berkepastian, artinya orang dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, mengadakan perhitungan tentang apa yang akan terjadi atau apa yang bisa diharafkan. Agar peraturan hukum itu dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, meskinya hukum diciptakan bersifat responsif, murni dari intervensi politik, ekonomi dan kepentingan kelompok orang, artinya peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas keadilan dari masyarakat serta menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat maka hukum harus bersendikan pada keadilan, yaitu asasasas keadilan dari masyarakat itu, karena tanpa keteraturan dan ketertiban pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem tersebut yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari dan disalah gunakan karena tanpa kultur hukum, maka sistem hukum itu sendiri tak berdaya, seperti ikan mati yang terkapar dikeranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di laut. “Solus Populis Suprema Lex, Sic Salus Populi Suprema Lex” suara rakyat adalah suara keadilan, kesejahtraan rakyat adalah merupakan hukum tertinggi. Untuk mencapai tujuan mulia tersebut, maka hukum memerankan dirinya sebagai kendali sosial atau kontrol sosial yang sekaligus merupakan tujuan pembentukan hukum di dalam masyarakat. Tanpa hukum menjalankan fungsi ini maka aspek ketertiban, keadilan dan ketentraman maupun stabilitas dinamis sosial tidak
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, No.1, (1-13), Januari 2013
2
Mirwansyah : Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Masyarakat Diera Reformasi (Suatu Tinjauan).
akan tercipta dan dipatuhi. Sebagaimana ajaran tori hukum dari Hans Kelsen, yang dikenal aliran Wina, menyatakan bahwa semua negara memiliki suatu perangkat asas dan kaidah yang menjamin keteraturan dan ketertiban hidup dalam masyarakat itu. Van Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot de studie van het Nederlendse recht mengatakan, bahwa hukum bertujuan mengatur pergaulan hidup manusia secara damai, hukum menghendaki perdamaian. Selanjutnya van Kan mengatakan, bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingankepentingan itu tidak dapat diganggu. Teori lainnya adalah Teori Pengayoman, menurut teori ini tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang berlangsung secara wajar. Sedangkan secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak. Secara umum, hukum tak hanya berfungsi sebagai pengendali sosial (social control), penyelesaian sengketa dan konflik, rekayasa sosial dan pengendali perubahan sosial (social engineering), melainkan diharafkan menjadi intrumen pemberdayaan masyarakat. Suatu kondisi sosial, dimana masyarakat dan negara samasama memiliki kepedulian untuk memelihara keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban, baik untuk pemenuhan kepentingan publik maupun pemenuhan kepentingan keperdataan (civil rights). Pada tataran personal, seorang manusia gampang mencurigai manusia lain, dia juga gampang berperilaku seenaknya sendiri seolaholah tidak ada lagi aturan-aturan yang
dapat dijadikan pegangan dan kebenaran. Tindakan-tindakan tersebut adalah seperti menghujat, memfitnah, menjarah, membunuh dan lain-lain, bahkan tindakan pembunuhan tampak gampang sekali dilakukan ditengahtengah definisi yang berlaku bahwa kita adalah bangsa yang beradab. Para pakar mengatakan bangsa Indonesia sedang menghidupkan hukum rimba yang sebenarnya telah diberlakukan sejak zaman orde baru dengan sosok-sosok bagian dari rezim lama yang otoriter, mau tidak mau menciptakan situasi konflik yang tak berkesudahan. Benturan keras terjadi antara kepentingan penguasa baru untuk menjalankan ide-idenya yang benarbenar baru dengan kepentingan sisa-sisa oteriter lama yang terikut kedalam pemerintahan baru ini, yang berkepentingan untuk melenyapkan track record mereka yang buruk. Keterpurukan aturan hukum menjadi pendorong keras bagi kalangan warga masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas yang tidak terpuji, melanggar hukum dan semangkin memperkeruh situasi bahkan muncul profesi baru yakni usaha pengelolaan bisnis penyediaan massa yang setiap saat siap untuk dikerahkan berdemo atau berunjuk rasa. Selain kekurangmampuan pemerintah membaca aspirasi rakyat dalam penyusunan perundangundangan, yang pada akhirnya terungkap it’s impossible to clean a dirty floor with it’s a dirty broom, mustahil membersihkan lantai kontor dengan menggunakan sapu kotor. Bahkan hukum gagal menjalankan fungsinya secara optimal (the disorder of law). Mungkin kalimat semacam itulah yang paling tepat untuk mengungkapkan keprihatinan terhadap nasib bangsa ini, suatu negara yang secara slogan menggunakan simbol “equal justice
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, No.1, (1-13), Januari 2013
3
Mirwansyah : Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Masyarakat Diera Reformasi (Suatu Tinjauan).
under law”(semua orang sama kedudukannya di bawah hukum), bahkan dikatakan sebagai negara hukum, suatu negara dimana setiap harinya terdengar slogan-slogan tentang supremasi hukum yang dengan rajinnya di ucapkan oleh para penguasa dan petinggi hukum. Adapun fokus kajian serta masalah yang diuraikan di atas adalah :“Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mewujudkan hukum sebagai intrumen pemberdayaan masyarakat di era reformasi ? “ TINJAUAN PUSTAKA Beberapa pemikir telah menempatkan pertanyaan ini sebagai kerangka filosofis di dalam banyak karya mereka. Mungkin kita bisa memgatakannya semacam kegandrungan, meski apabila ditelusuri lebih jauh cakupannya menjadi lebih luas dari sekedar itu. Kapan pertanyaan itu muncul tidak pernah dipersoalkan, namun jejaknya dapat dilacak jauh kebelakang. Pertanyaan ini sangat popular bagi filsuf, akademisi ataupun praktisi (professional), meski bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Sejak Plato sampai Hart, dari Aristoteles hingga Dworkin, bahkan semua ahli hukum lain mencoba (bekerja keras) menjawab persoalan ini, namun tetap tidak memperoleh jawaban memuaskan. Sulit untuk dihitung, berapa banyak leteratur yang mencoba memecahkan persoalan ini. Dilihat dari perkembangan aliran pemikiran (hukum), suatu aliran pemikiran akan bergantung pada aliran lainnya, sebagai sandaran kritik untuk membangun kerangka teoritik berikutnya. Kita dapat mengambil contoh klasik, misalnya kritik positivisme terhadap aliran hukum alam, atau kritik kaum realis terhadap
positivistik, demikian pula kritik post modermis terhadap kemampuan modernism. Itulah dialektika yang tidak dapat ditolak (condition sine quanon). Suatu pemikiran atau aliran yang muncul kemudian tidaklah melenyapkan aliran’pemikiran yang sudah ada. Tetapi sebaliknya memperkaya khasanah keilmuan. Ilmu akan bergerak maju (transform) karena aliran pemikiran lebih dari sekedar mode atau gaya dan selera berpakian dan tak bisa dipungkuri bahwa kemunculan suatu teori disusul teori lainnya pada dasarnya merupakan keragaman (kekayaan) dalam sebuah program riset. Sulit untuk meramu seluruh ide yang berkembang dalam hukum, karena dua alasan. Pertama, hukum adalah objek kajian yang masih harus dikontruksi (dibangun) sehingga dengan demikian cara pandang seseorang tentang hukum akan ditentukan oleh bagaimana orang tersebut mengkontruksi, menciptakan atau menafsirkan mengenai apa yang disebut hukum. Kedua, satu pemikiran aliran tertentu akan memiliki latar belakang/sudut pandang berbeda dengan aliran pemikiran lain, ini merupakan ragam dari kelemahan dan keunggulan masing-masing. Kondisi ini pada dasarnya memberikan kekuasaan, karena hukum akan menjadi wilayah terbuka yang mungkin saja hasilnya lebih positif, baik dilihat dari sudut filosofis, metodologis juga kepentingan praktis. Kekhawatiran dan sikap was-was sangat tidak beralasan, hendaknya dibuang jauh-jauh karena dapat merusak dan mematikan kreativitas. Apabila keragaman diterima sebagai keindahan, perdebatan sebagai proses pendewasaan, kritik sebagai sanjungan, maka kita berada paling tidak pada tepi garis pencerahan. Seberapa besar perhatian ilmuwan
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, No.1, (1-13), Januari 2013
4
Mirwansyah : Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Masyarakat Diera Reformasi (Suatu Tinjauan).
untuk menjawab apakah hukum dan seberapa penting lintas kajian yang telah dikembangkan bagi disiplin yang bernama hukum itu serta gagasan bahwa hukum memiliki keterkaitan dengan budaya masyarakat Yahezkel Dror mengatakan atau sebagaimana dijelaskan Lawrence M. Friedman meski bukan yang pertama, namun pandangan itu telah membuka celah/katup dari pendekatan hukum yang bersifat dogmatis (murni) menjadi antrhopos sentries. Demikian pula Dicey, menjelaskan kaitan hukum dengan opini publik sebagaimana dikatakan, hukum harus dilaksanakan atas dasar kekuatan opini. Meski tidak berarti setiap hukum disetiap negara dengan sendirinya (pasti) merupakan perwujudan opini umum. Gagasan ini telah mengimbangi hegemoni penafsiran yang selalu ada pada wilayah steril. Bisa jadi kekuatan opini akan berpusat pada beberapa orang yang memiliki kekuasaan, uang dan kesempatan, tetapi harus diyakini bahwa gagasan ini memberikan ruang penafsiran lebih luas, apalagi disaat kemajuan dalam banyak hal menuntut kita untuk bersikap semangkin kritis. Ini merupakan komitmen dasar, bahwa masyarakat ilmiah bukan pengidap syndrome “scientism” yaitu sikap yang dapat menyeret seseorang keluar dari komitmen (sikap) kritis, sebagai tolak ukur kreativitas keilmuan. Diantara masing-masing pandangan yang berlainan tidak mustahil akhirnya akan mengarah pada kompromis metodologis, sekalipun hal ini banyak dilupakan terkait hal-hal teknis yang selalu dikedepankan oleh pemikir-pemikir hukum. Hukum dilihat sebagai mesin tua yang terus-menerus direparasi, dipreteli dan tambal-sulam. Hukum akhirnya akan diterima begitu saja (take for granted) sebagai sesuatu yang sudah ada bersifat permanen dan
tentu saja hukum menjadi seperangkat teknologi, sebuah mesin yang bergerak mekanis dan membosankan. Sekalipun kata hukum banyak digunakan orang dengan cara-cara yang umum serta sudut pandang yang paling umum, tetapi hukum mencakup banyak aktivitas dan ragam aspek kehidupan manusia. Penggunaannya merefleksikan terjadinya keragaman “permainan bahasa” (language game) sebagaimana dijelaskan dalam konsep Wittgensteinian dengan menempatkan penggunaan kata-kata dalam konteks inter aksi manusia dan kehidupan sosial secara umum. Sebuah permainan bahasa meliputi penggunaan suatu kata dan kegiatannya oleh pembicara serta lainlainnya yang menemani. Setiap language game menurut istilah Ludwig Wittgenstein dibedakan berdasarkan fungsinya dalam konteks sosial. Pada masing-masing makna hukum merupakan gambaran deskriptif yang digunakan untuk menunjuk beberapa ciri yang dirasakan atau ciri-ciri kehidupan sosial tempat permainan bahasa tersebut berlangsung.(Ciri-ciri ini bisa meliputi orang, objek, tindakan, gagasan-gagasan dalam lingkungan sosial) dari para peserta permainan bahasa tersebut. Gagasan ini kemudian berkembang lebih luas dan radikal dalam pandangan seperti filsuf W.V. Quine, seorang tokoh neo-pragmatisme, Saussure, seorang strukturalisme, dan Jacques Derrida, seorang Poststrukturalis, yang intinya mereka menghendaki agar bahasa tidak menjadi semacam pasung bagi kebebasan manusia Jangkauan permainan bahasa semacam ini, misalnya dari seorang anak kecil yang bertanya pada bapaknya, mengapa ia berhenti di lampu lalu lintas ? Dan katakan, bahwa demikianlah hukumnya, hingga dimainkan dalam ruangan legislatif,
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, No.1, (1-13), Januari 2013
5
Mirwansyah : Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Masyarakat Diera Reformasi (Suatu Tinjauan).
kantor polisi, kantor-kantor jaksa, pengadilan dan ruang-ruang seminar. Apabila ditanyakan, apakah hukum itu? Sebuah jawaban yang bisa saja mengarah kepada pemahaman metafisis, sosial dan bahasa yang seringkali dikacau-balaukan dan dicampur-aduk. Oleh karena sulitnya mendefinisikan apa itu hukum dalam satu definisi yang konkret maka dapatlah dikatakan bahwa hukum merupakan bagian yang menempatkan manusia sebagai subjek dan objek dalam kajiannya manusia mengkonstruksi hukum untuk kepentingan manusia karena dalam hukum manusia adalah aktor yang kreatif, manusia membangun hukum, menjadi taat hukum namun tidak terbelenggu oleh hukum. Hukum memberikan tata-tertib yang bersifat memaksa kepada penghidupan masyarakat, guna melindungi kepentingan-kepentingan orang, yang saling bersimpang-siur. Dalam setiap tata tertib dengan tiada kecualinya terdapat suatu kompromi atau perdamaian. Tidaklah mungkin semua kepentingan dari semua orang dapat dilindungi, dalam keseluruhannya. Karena itu setiap peraturan hukum harus memuat kompromi untuk kepentingan atau diadakan oleh pihak-pihak yang dicapai dengan jalan tawar-menawar, memberi dan menerima yang intinya yakni hasil pekerjaan manusia yang senantiasa berubah. Kompromi yang yang diciptakan guna perlindungan kepentingan mempunyai pokok pangkal dalam penilaian (penghargaan) kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain. Apa yang terungkap, ialah hak diatas memberi petunjuk bahwa kita dapat berbicara tentang hukum dalam berbagai arti, hal ini sering kita jumpai pada banyak istilah, terutama yang isinya
abstrak dan dalam berbagai arti, baik dalam bahasa sendiri maupun dalam bahasa orang lain Kita mengenal hukum sebagai suatu rumpun kaedah-kaedah yang bersifat memaksa atau dengan perkataan lain suatu rumpunan peraturan hidup yang bersifat memaksa. Peraturan-peraturan itu diadakan untuk melindungi kepentingankepentingan manusia, yang dalam kontak dari pergaulan hidup terancam akan tergencet. Ia memperingatkan orang untuk mentaati peraturanperaturan dengan jalan mengorbankan sebagian dari kepentingan sendiri dan menghormati orang lain, disinilah letaknya jaminan dari kepentingankepentingan yang terlindungi. Harapan yang dijamin itu menjadi dasar dan pokok pangkal dari tingkah laku orang dalam suasana yang aman, ia diangkat oleh tata hukum menjadi hak, jadi hak yang diakui oleh hukum, diakui sebagai suatu kekuasaan, jadi kekuasaan yang diakui oleh hukum. Kekuasaankekuasaan itu disebut juga hak. Hukum memberikan hak. Hukum dalam arti yang kedua, ini adalah suatu pertentangan antara hukum obyektif dan hukum dalam arti subyektif ialah hak. Kaedah hukum obyektif, tertuju kepada semua orang yang dikenakan peraturan itu, adalah hukum kekuasaan. Hukum dalam arti subyektif diberikan kepada setiap orang sebagai haknya, dan ditinjau dari sudut ini hak adalah pelaksanaan dari hukum obyektif. tetapi istilah hukum dalam arti subyektif dapat dipergunakan pula dalam arti abstrak sebagai kekuasaankekuasaan abstrak atau serumpunan kekuasaan yang tidak diberikan kepada orang-orang tertentu. Teranglah, bahwa arti dari pada kata hukum berubah apabila orang memaksudkan kaedahnya atau kekuasaan, tetapi tata hukum
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, No.1, (1-13), Januari 2013
6
Mirwansyah : Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Masyarakat Diera Reformasi (Suatu Tinjauan).
memberikan hak-hak, mengenakan pula kewajiban-kewajiban yang sama banyaknya. Setiap hak dari seseorang berarti semua kewajiban dari orang lain. Tetapi tata hukum tidak secara sepihak memberikan hak kepada yang satu dan mengenakan kewajiban kepada yang lain. Hukum dalam arti berikutnya adalah tata kesusilaan. Sekalipun erat sekali hubungan antara tata hukum dengan tata kesusilaan akan tetapi tidak boleh dipersamakan, juga tidak dalam arti, bahwa tata hukum merupakan bagian dari tata kesusilaan yaitu bagian yang membutuhkan alat-alat perlindungan yang lebih tajam. Sebab tata hukum tidak hanya ditentukan oleh suara dari kesusilaan. Ia ditunjang oleh dua sendi lain, ialah sifat mementingkan diri dan kegunaan. Pendekatan yang di lakukan dalam penelitian ini yaitu pendekatan yuridis normatif yang artinya pendekatan yang lebih menitikberatkan dengan cara menelaah kaedah-kaedah, norma-norma dan aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang di bahas. Adapun data yang di gunakan dalam menunjang penelitian adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang di dapat dari bahan-bahan perpustakaan, peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku serta teori-teori yang ada dalam literatur yang berkaitan dengan hukum sebagai intrumen masyarakat di era reformasi. Selain data sekunder peneliti mempergunakan data empiris dengan cara mengamati sikap dan prilaku masyarakat terhadap hukum di era reformasi. Tindaklanjut dari pengumpulan dan pengolahan data, dilakukan analisis data secara kualitatif yaitu dengan memberikan arti dan kemudian diuraikan dengan kalimat perkalimat secara jelas serta
dihubungkan untuk menjawab permasalahan yang ada untuk ditarik kesimpulan dan memberkan saran terhadap permasalahan yang dibahas. PEMBAHASAN Untuk menjawab persolaan yang dikemukakan di atas, dimulai dengan memberikan pandangan terkait tentang teori keos, dimana teori tersebut mencoba menjelaskan secara lebih baik suatu tantanan, bahwa suatu tantanan akan selalu bergerak dinamis, berubah terus-menerus, dan sulit untuk dipredeksi, ini merupakan kebalikan dari pandangan yang menjelaskan tentang tatanan yang lebih bersifat statis. Menurut lan Stewart, keos adalah tingkah laku yang sangat kompleks, iriguler dan random di dalam sebuah sistem yang deterministik yaitu keadaan dimana suatu sistem tidak bisa diprediksi, bergerak secara acak, sehingga sesuatu tidak akan pernah muncul dalam keadaan yang sama untuk kedua kali. Menurut Yasraf Amir Pilang, dunia keos adalah dunia yang dipenuhi oleh energi kegelisahaan, gairah, hasrat, kehendak, dan ekstase yang mendorong bagi penjelajahan, pencarian, serta sistesis-sistesis baru, sehingga menciptakan peluang kreativitas, dinamisitas dan produksivitas berbagai makna (tanda). Apabila ditelaah lebih jauh maka makna keos pada dasarnya bukan merupakan fenomena baru. Hesoid seorang Yunani dari abad ke-8 Sebelum Masehi, telah menulis Theogony, sebuah puisi yang menyatakan bahwa awal dari segala adalah keos, baru kemudian bumi serta keseluruhannya menjadi stabil atau dengan kata lain, keteraturan muncul dari ketidakaturan. Pada akhir tahun 1980-an Charles Sampford menerbitkan sebuah buku
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, No.1, (1-13), Januari 2013
7
Mirwansyah : Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Masyarakat Diera Reformasi (Suatu Tinjauan).
dengan judul The Disorder of Law ; A Critique of Legal Theory dalam bukunya Sampford memberikan pandangan baru apa yang selama ini banyak dipahami oleh teoritisi hukum, semacam tawaran dan kegairahan baru bahkan radikal dalam wilayah pemikiran yang cenderung persoalan yang demikian itu dianggap sebagai sesuatu yang sangat menakutkan. Sampford menjelaskan bahwa teori hukum tidak hanya muncul atau tidak mesti berasal dari sistem (sesuatu yang sistematis) , sebagaimana pandangan yang menganggap bahwa hukum selalu bersifat sistemik (teori sistem dalam hukum) , tetapi teori hukum dapat juga muncul dari apa yang disebutnya dari situasi keos, sehingga melahirkan apa yang disebut teori keos dalam hukum. Teori hukum muncul dan dibangun dari sesuatu keadaan atau kondisi masyarakat yang disebutnya sebagai Mellee mengapa demikian ? Menurut Sampford, masyarakat sesungguhnya (realitasnya) selalu berada dalam kondisi/situasi keos, bahwa masyarakat selalu berada pada jalinan hubungan-hubungan yang tidak dapat diprediksi dan tidak sistematis. Masyarakat terus menerus bergerak secara dinamis, hal demikian itu terjadi karena dalam masyarakat banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, misalnya kekuatan-kekuatan (kekuasaan) dan saling tarik-menarik dan berbenturam di dalamnya. Usaha untuk mewujudkan hukum sebagai instrumen perberdayaan masyarakat di era roformasi, memang menjadi sangat relevan ketika ada kemauan mewujudkan cita hukum itu dalam kenyataan, perlunya terlebih dahulu di lakukan pembenahan internal secara optimal baik pada aturan dan peraturan dan bahkan di dalam institusiinstitusi penegakan hukumnya, dengan tetap konsekuen menjunjung tinggi
martabat, integritas dan kejujuran serta harus terjun ketengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. “There is no a perfect law, but rather we should obey our promise” “Memang tidak mudah menemukan suatu peraturan hukum yang sempurna, namun demikian kita tetap di anjurkan lebih memilih untuk mematuhi janji.” Sehubungan dengan hal tersebut, sikap dan strategi yang perlu ditempuh dalam penegakan hukum di era transisi serta puluhan tahun supremasi hukum di negeri ini, yaitu berangkat dari konsep Lawrence Meir Friedman, tentang Three Elements of Legal System (tiga unsur sistem hukum), yaitu : Struktur (Structure), Substansi (Subtance), dan Kultur Hukum (Legal culture) Sebab persoalan mahaberat yang dihadapi bangsa Indonesia adalah keterpurukan dalam ketiga unsur sistem hukum tersebut. Ketiga unsur sistem hukum lebih lenjut menurut Friedman, the structure of a system is its skeletal framework; it is the permanent shape, the insstitutional body of the system, the tough, rigid bones that keep the process flowing within bounds, jadi stuktur kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia jika berbicara tentang struktur sistem hukumnya, maka termasuk didalamnya struktur institusiinstitusi penegakan hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Misalnya berbicara tentang hirarki peradilan umum di Indonesia mulai dari yang terendah adalah Pengadilan Negeri hingga yang terpuncak adalah Mahkamah Agung, juga termasuk unsur struktur adalah jumlah dan jenis pengadilan, yurisdiksinya (jenis kasus
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, No.1, (1-13), Januari 2013
8
Mirwansyah : Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Masyarakat Diera Reformasi (Suatu Tinjauan).
yang berwenang mereka periksa, serta bagaimana dan mengapa), dan jumlah Hakim Agung dan Hakim lainnya. Jelasnya struktur bagaikan fhoto diam yang menghentikan gerak (a kind of still photograph, which freezes the action). Selanjutnya, menurut Friedman, the substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should be have. Jadi yang dimaksud dengan substansi menurut Fridman adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undangundang atau law books. Akhirnya, pemahaman Friedman tentang the legal culture, system their beliefs, values, ideas, and expectations, kultur hukum menurut Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harafannya. “ Legal culture refers, then, to those parts of general culture-customs, opinions, ways of doing and thinking that bend social forces to ward or away from the law and in particuler ways “ Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum. Dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Secara singkat, cara lain untuk menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah sebagaiberikut :Struktur diibaratkan sebagai mesin, Substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu, Kultur
hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Pemahaman tentang kepastian hukumpun hendaknya jangan sekedar dipahami sebagai kepastian undangundang, melainkan kepastian bahwa rasa keadilan rakyat akan selalu tidak diabaikan dalam setiap kebijakan dan keputusan para penegak hukum. Sebab sepanjang perjalanan umat manusia untuk terus berpikir, maka terbuka banyak sekali kemungkinan untuk timbul paradigma-paradigma baru dengan setting social yang berbeda. Adapun paradigma yang berkembang dalam memberikan format atas hubungan interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum; Hukum melayani kebutuhan masyarakat, agar supaya hukum itu tidak akan menjadi ketinggalan oleh karena lajunya perkembangan masyarakat, yang menjadi ciri-cirinya adalah : Perubahan yang cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi ketergantungan. Ketinggalan hukum di belakang perubahan sosial. Penyesuaian yang cepat dari hukum kepada keadaan baru. Hukum sebagai fungsi pengabdian. Hukum berkembang mengikuti kejadian berarti di tempatnya adalah di belakang peristiwa bukan mendahuluinya. Hal ini membuktikan bahwa hukum mempunyai peranan apabila masyarakat membutuhkan pengaturannya, jadi sifatnya menunggu. Setelah suatu peristiwa menimbulkan sengketa, konflik, bahkan korban yang berjatuhan maka kemudian dipikirkan, apakah diperlukan pengaturannya secara formal dalam peraturan perundang-undangan. Kondisi ini menampilkan posisi hukum
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, No.1, (1-13), Januari 2013
9
Mirwansyah : Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Masyarakat Diera Reformasi (Suatu Tinjauan).
sangat tergantung sebagai variabel yang dependent terhadap perubahan sosial yang terjadi. Hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat, dengan ciri-ciri sebagaiberikut : - Law as a tool of social engineering. - Law as a tool of direct social change - Forward looking (berorientasi kemasa depan) Ius Constituend hukum berperan aktif Tidak hanya sekedar menciptakan ketertiban tetapi menciptakan dan mendorong terjadinya perubahan dan perkembangan tersebut. Esensi dari paradigma ini adalah penciptaan hukum digunakan untuk menghadapi persoalan hukum yang akan datang atau diperkirakan akan muncul. Persoalan hukum yang akan datang dihadapi dengan merencanakan atau mempersiapkan secara matang, misalnya dari segi perangkat perundangundangan. Paradigma yang tersebut diatas pada akhirnya akan berujung pada keinginan untuk membuat produk hukum berupa peraturan perundangundangan, namum dilain sisi nilai positif yang bisa dipetik yaitu adanya aspek pengkajian hukum serta aspek pendidikan hukum. Didahului dengan observasi lapangan, dianalisis berdasarkan nilai kebutuhan riil masyarakat yang hasil risetnya dapat dijadikan parameter untuk menentukan produk hukum yang dikeluarkan telah belajar ditempat lain melalui studi komparatif, serta menjadi wadah penting bagi proses pembelajaran dalam pendidikan hukum. Karena orientasi pendidikan hukum sangat berhubungan dengan pola peningkatan intelektual hukum dengan menelaah kasus-kasus yang terjadi dalam
masyarakat yang nantinya dapat diambil konsep-konsep dasar pengembangan pendidikan hukum. Agar kepercayaan masyarakat terhadap hukum tumbuh, perlu diadakan perombakan paradigma visi dan misi profesi hukum dalam memandang nilainilai keadilan dan kebenaran hukum, dengan tidak memperbandingkan nilai keadilan dan kebenaran berdasarkan mata hati masyarakat dengan nilai keadilan dan kebenaran berdasarkan matahati aparat penegak hukum. Perumpamaan jika posisi nilai keadilan dan kebenaran berdasarkan mata hati aparat penegak hukum lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan masyarakat, maka seringkali timbul rasa ketidakpuasan masyarakat dengan melakukan tindakan anarkis, perusakan, pembakaran bahkan pembunuhan sebagai kausalitas dari puncak akumulasi masalah yang tidak terselesaikan dengan standar nilai keadilan dan kebenaran berdasarkan mata hati masyarakat. Tindakan masyarakat ini menjadi pertanda bahwa masyarakat mempunyai cara-cara sendiri dalam menyelesaikan masalah sosial. Dengan demikian, demokratisasi nilai keadilan dan kebenaran selalu berpihak pada essensi kodrati manusia. Sekalipun kontruksi hukum yang dibangun berdasarkan hasil akumulasi realitas sosial selalu memberikan hasil yang berbeda terhadap apa yang diinginkan oleh masyarakat dan apa yang diinginkan oleh hukum. Karena hukum merupakan suatu gejala yang mandiri dan terlepas dari struktur maupun masyarakat dimana hukum itu hidup. Situasi supremasi hukum yang sedang terpuruk ditanah air ini telah memberikan peluang dan ruang untuk melakukan evaluasi terhadap substansi hukum masa lalu, oleh karenanya situasi saat ini juga merupakan tantangan bagi
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, No.1, (1-13), Januari 2013
10
Mirwansyah : Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Masyarakat Diera Reformasi (Suatu Tinjauan).
ahli-ahli hukum untuk dapat merumuskan aturan-aturan hukum yang sesuai dengan semangat zaman, yaitu adanya tuntutan terciptanya masyarakat sipil (civil society) dengan sistem politik demokratis. Karena itu, pertanyaan menarik yang perlu dikemukakan dalam kaitannya dengan fungsi hukum sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat yaitu, bagaimana hukum yang ligitimit memiliki komitmen terhadap supremasi hukum, baik dalam arti penegakan hukum (enforcing law) maupun hukum sebagai harapan atau andalan (invoking law) dalam melindungi hak-hak masyarakat. Pertama, kriteria hukum dianggap sebagai intrumen pemberdayaan masyarakat, tidak sekedar menunjukkan adanya fungsi hukum sebagai pengendali perilaku masyarakat yang secara sengaja direncanakan untuk merespon berbagai perubahan sosial dalam segala aspek sosial, ekonomi, dan teknologi, melainkan juga harus mendorong terbentuknya masyarakat sipil yang mampu menekan peran dan perilaku dominan negara. Oliver Goldsmith, dalam karyanya The Laws Grind the Poor the Rich Men Rule the Law’ menunjukkan bukti yang signifikan atas perlunya hukum yang dibangun melalui asas kesederajatan dan keseimbangan. Pemujaan atas kekuasaan negara sebagaimana dikemukakan Hegel sebagai a single of state sovereignty, harus diganti dengan proses pembuatan keputusan atau peraturan hukum dengan melibatkan sebanyak mungkin partisipasi masyarakat. Karena itu, menciptakan fungsi hukum sebagai karekter instrumen pemberdayaan masyarakat tidak mungkin tercapai tanpa sistem politik yang demokratis. Terbentuknya bangunan masyarakat sipil berguna bagi arena
perjuangan dalam mencapai cita-cita dari tujuan bersama secara demokratis, dan kecenderungan perilaku negara totaliter atau oteriter menjadi amat bertentangan dengan semangat zaman atau kemauan rakyat (volkgeist), karena semangat rakyat menghendaki adanya harmonisasi nilai dan norma hukum lokal, nasional dan internasional. Perlunya mengakomodir pandangan baru mengenai identitas nasional, dimana entitas sosial-politik, seperti faktor kesukuan, keagamaan dan golongan dapat memainkan peranan penting dalam mengartikulasikan kepentingan hukum dan kebijakan negara. Sama halnya dengan lahirnya banyak organisasi pembebasan (environmentalist, women liberalism, selfdetermination) yang memiliki kepedulian terhadap hak-hak hukum, politik dan kebudayaan. Hukum dapat mengartikulasikan berbagai kepentingan dan kebutuhan masyarakat tanpa adanya diskriminasi. Menurut Michael Wazler, hubungan konsef masyarakat sipil dengan demokratisasi tersebut akan menjadi efektif, bilamana didukung oleh beberapa faktor. Dalam proses keputusan politik, aturan hukum memfungsikan pengawasan masyarakat terhadap kebijakan negara (LSM, Media Massa), kemudian menyediakan aturanaturan hukum yang membuka ruang kesetaraan antara peran laki-laki dengan perempuan dalam persoalan publik, bahkan efektifitas masyarakat sipil juga ditentukan oleh tingkat penyebaran peran dan fungsinya dengan adanya jaringan kerjasama sebagai mitra dan adanya tanggungjawab antara anggota yang satu dengan yang lain. Akan tetapi pemberdayaan masyarakat sipil ini akan menjadi bumerang, bilamana pada waktu yang sama negara tidak mampu menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, No.1, (1-13), Januari 2013
11
Mirwansyah : Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Masyarakat Diera Reformasi (Suatu Tinjauan).
Dalam konteks tersebut hukum berfungsi bukan saja sekedar social engineering and social control, melainkan juga menyediakan ruang bagi partisipasi sebanyak mungkin entitas sosial atau masyarakat dalam memutuskan dan mengartikulasikan kepentingan yang pluralistik, dimana tanggungjawab dibebankan kepada satu sama lain sebagai anggota dari masyarakat global. Bilamana dilihat dari segi substansi, prosedur dan sistem sosial atau budaya, maka hukum diharapkan menjadi intrumen pemberdayaan masyarakat. Masyarakat mengharafkan suatu peraturan hukum yang secara harmonis menyediakan hukum bagi penegak hukum dalam menerapkan aturan-aturan hukum. Jauh lebih penting dari itu adalah memberikan kepastian, bahwa selain masyarakat dijamin dan dilindungi hakhak hukum, sosial, ekonomi, politik dan lainnya, juga tersedianya asas kemerdekaan dalam memilih dan menentukan cara terbaik dalam menyelesaikan suatu persoalan. Bagi masyarakat Indonesia, pandangan Scholten yang merumuskan bahwasanya hukum terdiri dari proses penalaran dan norma-norma, yang juga terkait dengan nilai-nilai rohaniah suatu masyarakat, dirasa sangat penting. Jika norma-norma hukum tidak mengakomodasikan nilai-nilai tersebut, maka akan berakibat disharmoni sosial. Secara ideal, substansi peraturan hukum harus dapat menimbulkan kepuasan bagi sebagian besar masyarakat. Tetapi tidaklah berarti bahwa hak-hak warga negara yang tergolong minoritas terabaikan. Karena itu, muatan hukum tidak saja harus mengandung nilai-nilai serta normanorma, moralitas dan ajaran-ajaran normatif keagamaan, tetapi juga mengandung asas-asas universal
mengenai hak dan kewajiban masyarakat. Menurut Roger Cotteral, pelembagaan komitmen terhadap doktrin hukum (institutional committmen, to legal doctrines), penegakan hukum, perlindungan dan peran individu akan menimbulkan efek positif atas kesadaran hukum, jika hukum juga menjadi andalan atau harafan masyarakat. Tuntutan seorang warga masyarakat menjadi sangat penting artinya untuk segera dilayani penegak hukum. Kelalaian pemenuhan hak-hak warga masyarakat berakibat timbulnya peran civil menjadi dominan dan cenderung anarkis. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa perlunya pelembagaan komitmen terhadap doktrin-doktrin hukum yang tidak hanya terbatas pada hukum positif, melainkan juga pada hukum yang menjadi bagian dari masyarakat. Untuk menghindarkan aspekaspek kekuasaan dan paksaan terhadap kepatuhan masyarakat, model fiksi hukum harus ditinggalkan dan sosialisasi berbagai peraturan hukum menjadi mutlak diperlukan. Dengan maksud dan tujuan agar peraturan dapat menjadi pengetahuan lokal masyarakat (local knowledge), sehingga tumbuhnya kesadaran hukum bisa dimulai dari peran individu. Adapun peran atau tindakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat, dalam mewujudkan hukum sebagai intrumen pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat mempunyai hak secara merdeka dalam memberikan masukan secara informal kepada lembaga-
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, No.1, (1-13), Januari 2013
12
Mirwansyah : Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Masyarakat Diera Reformasi (Suatu Tinjauan).
lembaga produk hukum. Pembentukan sebanyak mungkin lembaga yang mengawasi dan melindungi kepentingan rakyat banyak, dari kemungkinan adanya peraturan hukum yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat dalam segala aspek, mutlak diperlukan.
Johnson S Alvin, 1994. Sosiologi Hukum, Rineka Cipta. Jakarta
Saran
Maran Rafael Raga, 2007. Pengantar Sosiologi Politik. Rineka Cipta. Jakarta
Hendaknya penegakan hukum tidak dilakukan dengan cara diskriminatif, serta komoditas politik semata, para penegak hukum ketika menjalankan tugasnya berdasarkan pertimbangan moral serta memiliki hati nurani, integritas, kejujuran, keberanian bahkan ketegasan sehingga dapat menegakan keadilan dan kebenaran yang hakiki, di samping itu perlu diperluas kembali partisifasi publik dalam ruang gerak pembentukan aturan hukum yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat, mengedepankan demokrasi dan menjadikan hukum sebagai panglima yang memayungi masyarakat.
Kesumaatmadja Mochtar, Sidharta B Arief, 2000. Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum I. Alumni. Bandung
Otje Salman S, F. Susanto Anton, 2004, Teori Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung. Saifullah. 2007. Refleksi Hukum, Refika Bandung Sanit
Arbi .1995, Sistem Politik Indonesia Kesetabilan Peta Kekuatan Politik Dan Pembangunan.
Soekanto Soerjono, 1986. Mengenal Sosiologi Hukum. Alumni . Bandung Syani
DAFTAR PUSTAKA Ali Achmad. 2002. Ketepurukan Hukum Di Indonesia Penyebab dan Solusinya. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sosiologi Aditama.
Abdul, 2006. Masyarakat Dinamika Kelompok Dan Implikasi Kebudayaan Dalam Pembangunan. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Van Kan J, Beekhuis J.H, terjemah O. Masdoeki.Moh, 2000 . Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2, No.1, (1-13), Januari 2013
13