TINJAUAN PUSTAKA Potensi Gizi Pati Garut (Maranta arundinaceae L) Tanaman garut (Maranta arundinaceae L) secara taksonomi dapat digolongkan ke dalam Kingdom Plantae, Divisio Magnoliophyta, Kelas Liliopsida, Ordo Zingiberalis, Familia Marantaceae, Genus Maranta, dan Spesies Maranta arundinaceae L (Van Steenis 1947 di dalam Astuti 2008). Umbi garut segar mengandung nutrisi yang cukup tinggi sebagai bahan pangan, yaitu 19.4 - 21.7% pati, 1.0 - 2.2% protein, 69.0- 72.0% air, 0.6 - 1.3% serat, 1.3 - 1.4% kadar abu, serta sedikit gula (Rukmana 2000). Umbi garut segar dapat menghasilkan pati dengan rendemen 15% - 20%. Pati garut merupakan hasil olahan utama dari umbi garut sebagai salah satu bentuk karbohidrat alami yang murni dan memiliki kekentalan yang tinggi. kekentalan dipengaruhi oleh keasaman air yang digunakan dalam proses pengolahanya (Kay 1973). Kandungan pati dalam umbi garut lebih dari 12% dan proteinnya 1-2% dari bobot kering (Rubatzky 1995 di dalam Herminiati 2005). Menurut Kay (1973) pati garut memiliki sifat-sifat, antara lain: 1) mudah larut dan mudah cerna sehingga cocok untuk makanan bayi dan orang sakit, 2) memiliki bentuk oval dengan panjang 15-17 mikron, 3) varietas banana memiliki granula lebih besar dibandingkan varietas creole, 4) suhu awal gelatinisasi adalah 70oC, 5) mudah mengembang jika kena panas dengan daya mengembang 54%, dan (6) ada beberapa syarat untuk kepentingan komersial, yaitu memiliki warna putih bersih, kadar air tidak boleh lebih dari 18,5%, kandungan abu dan serat rendah, pH 4,5-7, kekentalan 512-640 satuan Brabender. Pati garut dapat digunakan sebagai alternatif pengganti tepung terigu dalam penggunaan bahan baku olahan aneka macam kue, mie, bubur bayi, glukosa cair, dan diet pengganti nasi. Hal ini didukung oleh penelitian Susanty (2002), Puspowati (2003), dan Sitorus (2004) di dalam Herminiati (2005) bahwa pati garut dapat dimanfaatkan untuk membantu memenuhi kebutuhan gizi anakanak usia 6 sampai 36 bulan melalui pembuatan makan sapihan. Potensi Gizi Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Tanaman torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan tanaman yang biasa disebut dengan nama daun bangun-bangun. Menurut tradisi dan kepercayaan masyarakat Batak, torbangun mengandung makna bahwa tanaman ini mampu mengembalikan kondisi ibu ke kondisi seimbang setelah melahirkan.
5
Selain itu daun torbangun juga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI serta status gizi anak yang dilahirkan (Damanik 2005). Menurut Rumetor (2008), dalam tanaman daun torbangun ditemukan tiga komponen utama. Komponen pertama adalah senyawa-senyawa yang bersifat laktagogue, yaitu komponen yang dapat menstimulir produksi kelenjar air susu pada induk laktasi. Komponen kedua adalah komponen zat gizi seperti protein, kalsium dan zat besi serta komponen ketiga adalah komponen farmaseutika yaitu senyawa-senyawa yang bersifat buffer, antibakterial, antioksidan, pelumas, pelentur, pewarna, dan penstabil. Hasil uji fitokimia dalam daun torbangun terkandung alkaloid, flavonoid, dan tanin. Selain mengandung zat aktif, daun torbangun kaya akan kandungan zat gizi mikro khususnya Fe dan Ca. Kandungan kimiawi dalam daun torbangun antara lain kalium, minyak atsiri
(2%),
karvakrol,
isoprofil-o-kresol,
karvon,
limonen,
dihidrokarvon,
dihidrokarveol, asetaldehida, furol, dan fenol (Adi 2006). Semua zat kimia itu didapatkan di bagian daunnya. Efek farmakologis tanaman ini adalah berbau harum, getir, dan rasa tebal di lidah. Kandungan zat gizi tanaman torbangun dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kandungan gizi tanaman torbangun per 100 gram Kandungan gizi Energi kalori (Kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Zat Besi (mg) Magnesium (mg) Kalsium(mg) Potasium (mg) Abu (g) Serat (g)
Gram 27 1.3 0.6 4.0 13.6 62.5 279 52 1.6 1.0
Sumber: Mahmud & Zulfianto (2009) Cookies Berbasis Pati Garut Dengan Penambahan Torbangun Cookies berbasis pati garut dengan penambahan torbangun merupakan pangan sumber zat gizi mikro. Bahan dasar pembuatan cookies yakni pati garut. Pemilihan pati garut didasari pada daya cernanya yang tinggi sehingga baik untuk pencernaan. Selain kandungan di atas, garut juga memiliki kandungan zat kimia yang sering disebut dengan zat pati serta saponin dan flavonoid. Cookies kemudian ditambahkan tanaman torbangun yang kaya akan zat gizi mikro dengan penambahan 10% tepung torbangun (13 g). Cookies memiliki kekerasan yaitu 833.25 (gf), kerenyahan 605.85 (gf) serta aktivitas air aktivitas air
6
cookies torbangun (0.391). Kandungan zat gizi cookies kontrol dan cookies uji (dengan penambahan torbangun) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan gizi cookies dengan dan tanpa penambahan torbangun Kandungan gizi kadar air (%bb) kadar abu (%bk) kadar lemak (%bk) kadar protein (%bk) kadar karbohidrat (%bk) serat kasar (%bk) serat makanan (%bk) Fe (mg) Ca (mg) P (mg) Zn (mg) vit. C (mg) Sumber: Dewi (2011)
Kandungan Gizi Cookies Kontrol Cookies Uji 4.17 3.7 1.01 1.84 25.55 23.64 9.06 10.52 64.52 64.14 0.55 1.32 3.94 5.36 1.63 3.76 265.35 405.18 13.75 15.28 28.55 81.22 28.55 1.04
Pendugaan Umur Simpan Pangan Umur simpan pangan adalah selang waktu sejak produk pangan diproduksi hingga produk tersebut tidak layak diterima atau kehilangan sifat khususnya. Menurut Spiegel (1992), penentuan umur simpan secara umum adalah penanganan suatu produk dalam suatu kondisi yang dikehendaki dan di pantau setiap waktu sampai produk mengalami kerusakan. Umur simpan produk berkaitan dengan nilai kadar air kritis, suhu, dan kelembaban. Proses perkiraan umur simpan menurut Hine (1987), sangat tergantung pada tersedianya data seperti, 1) Mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas, 2) Unsur-unsur yang terdapat di dalam produk yang langsung mempengaruhi laju penurunan mutu produk, 3) Mutu produk dalam kemasanan, 4) Bentuk dan ukuran kemasan yang diinginkan, 5) Mutu produk pada saat dikemas, 6) Mutu minimum dari produk yang masih dapat diterima, 7) Variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan, 8) Rasio perlakuan mekanisme selama distribusi dan penyimpanan yang mempengaruhi kebutuhan kemasan, 9) Sifat barrier pada bahan kemasan untuk mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu produk. Menurut Syarief, Santausa dan Isyana (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan makanan yang dikemas adalah 1) Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, 2) Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volumenya, 3) Kondisi atmosfer dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, 4) Ketahanan
7
keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau, termasuk pendekatan, penutupan dan bagian yang terlipat. Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu Extended Storage Studies (ESS) dan Accelereted Storage Studies (ASS). ESS disebut juga metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluwarsa dengan jalan menyimpan produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadarluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang lama dan analisis parameter yang relative banyak. Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi penurunan mutu produk pangan. Kelebihan metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi. Metode ASS pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model yang diterapkan pada penelitian akselerasi menggunakan dua pendekatan yaitu: 1) Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air sebagai criteria kadarluwarsa dan 2) pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetik yang mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan (Syarief & Halid 1993). Pengemasan Bahan Pangan Kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat yang dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya (Syarief, Santausa & Isyana 1989). Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, menahan efek yang bermanfaat dari proses, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Pengemasan juga dapat melindungi dari pengaruh luar, yaitu fisik, kimia dan biologis. Perlindungan fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari goncangan dan getaran selama pendistribusian. Perlindungan kimia mengurangi perubahan komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan, seperti terpapar gas, uap air, dan cahaya. Perlindungan biologi mampu menahan mikroorganisme (pathogen dan agen pembusuk), serangga, hewan pengerat (Marsh & Bugusa 2007). Persyaratan kemasan untuk bahan pangan antaralain permeabilitas terhadap udara kecil, tidak menyebabkan penyimpangan warna dari produk, tidak
8
bereaksi sehingga tidak merusak bahan maupaun citra rasa. Tidak mudah teroksidasi atau bocor, tahan panas, mudah dikerjakan secara maksimal, dan harganya murah (Winarno & Jenie 1983). Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas, dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk, akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada bubuk, dan pelunakan pada produk kering (Syarief, Santausa & Isyana 1989). Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut (Purnomo & Adiono 1987). Plastik merupakan bahan pengemas yang penting dalam industri pangan. Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan (multi lapis) dengan bahan lain seperti kertas dan alumunium foil. Menurut Robertson (1993), kombinasi antara berbagai kemasan plastik yang berbeda atau plastik dengan kemasan non plastik dimana ketebalan setiap lapisan utamanya lebih dari 6 mikron yang diproses baik dengan cara laminasi ekstrusi atau laminasi adhesif disebut sebagai kemasan laminasi. Dalam kemasan laminasi minimal ada dua jenis kemasan, dimana salah satunya harus bersifat thermoplastic. Kemasan laminasi yang sering digunakan industri pangan saat ini tidak hanya kombinasi antara berbagai macam plastik saja melainkan kombinasi plastik dengan aluminium. Kemasan seperti ini disebut metalized plastic. Kemasan seperti ini cocok digunakan sebagai pengemas kopi, makanan kering, keju, dan roti panggang. Metallized plastic bersifat tidak meneruskan cahaya, menghambat masuknya oksigen, menahan bau, memberikan efek mengkilap, dan mampu menahan gas (Brown 1992). Selain itu, metalized plastic mudah disobek sehingga memudahkan konsumen membuka kemasan. Kelebihan plastik dari kemasan lain diantaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk, dan dapat mengurangi biaya transportasi. Selain itu, plastik sebagai bahan pengemas memilki sifat ringan, transparan, kuat, termoplastis dan selektif dalam permeabilitasnya
9
terhadap uap air, O2, dan CO2. Sifat permeabilitas plastik terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu berperan memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Salah satu jenis plastik yang sering digunakan sebagai bahan pengemas diantaranya
polipropilen.
Menurut
Syarief,
Santausa
dan
Isyana.(1989),
Polipropilena termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilena. Sifat utama propilena yaitu, 1) ringan (densitas 0.9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernihdalam bentuk film, tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku, 2) mempunyai kekuatan tarikan lebih besar dari PE serta tidak dapat digunakan untuk kemasan beku, 3) lebih kaku dari PE tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan pendistribusian, 4) permeabilitas uap air rendah, gas sedang, dan tidak baik untuk makanan yang peka terhadap oksigen, 5) tahan terhadap suhu tingga hingga 150 0C, 6) titik lebur tinggi, sulit dibuat kantung dengan sifat kelim panas yang baik. Penyimpanan Pangan Penyimpanan pangan selama berbagai proses pengolahan merupakan hal yang utama dalam menentukan keamanan dan mutu dari aspek mikrobiologi. Kondisi penyimpanan produk pangan dapat menyebabkan susut zat gizi pangan tersebut, selain itu juga mempengaruhi spesies mikroorganisme yang mungkin berkembang dan menyebabkan kerusakan. Faktor penyimpanan yang perlu diperhatikan adalah suhu penyimpanan. Kondisi penyimpanan ini sedikit mempengaruhi aktivitas air dan potensial redoks. Aktivitas air dari bahan pangan dapat naik oleh keadaan penyimpanan yang lembab. Permukaan bahan pangan yang berhubungan dengan udara akan memungkinkan perkembangan jenis-jenis mikroorganisme
oksidatif,
sedangkan
pengemasan
secara
vakum
akan
memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme anaerob atau fakultatif anaerob. Waktu penyimpanan Pada kondisi optimal, hampir semua bakteri memperbanyak diri dengan pembelahan biner sekali setiap 20 menit.
Menurut Hayes (1998), mikroba
mempunyai tahapan atau fase pertumbuhan selama kurun waktu tertentu yang terdiri dari fase lambat (lag phase), logaritma (log phase), tetap (stationary phase), dan penurunan (decline phase). Pertumbuhan mikroba dapat dilihat pada Gambar 1.
10
Gambar 1 Kurva pertumbuhan mikroba yang terbagi dalam 4 fase Selama fase lag, sel melakukan metabolisme dengan cepat tetapi hanya menyebabkan sedikit kenaikan ukuran sel, bukan peningkatan jumlah sel. Selanjutnya,sel memperbanyak diri secara cepat tergantung pada organisme dan kondisi lingkungannya. Periode terjadinya perbanyakan yang cepat ini disebut fase log, karena nilai logaritmik jumlah organisme berbanding langsung dengan waktu. Koloni tersebut kemudian memasuki fase pertumbuhan stationer, jumlah sel yang hidup seimbang dengan jumlah yang mati. Akhirnya, laju pertumbuhan menurun disebut fase penurunan, biasanya disebabkan karena kekurangan faktor pertumbuhan (Gaman 1992). Suhu penyimpanan Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam laju pertumbuhan mikroorganisme. Suhu terendah dimana mikroba dapat tumbuh disebut suhu minimum, sedangkan suhu saat pertumbuhan mikroorganisme tidak mungkin terjadi disebut suhu maksimum. Antara kedua suhu tersebut, terdapat suhu dimana laju pertumbuhan mikroba sangat cepat (Hayes 1998). Menurut Buckle et. al. (1985), klasifikasi mikroorganisme berdasarkan reaksi pertumbuhannya terhadap suhu dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Klasifikasi mikroorganisme berdasarkan suhu Kelompok Psikrofil Psikrotrof Mesofil Thermofil Thermotrof
minimum (0C) -15 -5 5 smpai 10 40 15
Suhu pertumbuhan optimum (0C) 10 25 30 sampai 37 45 sampai 55 42 sampai 46
maksimum (0C) 20 35 45 60 sampai 80 50
Kerusakan Bahan Pangan Makanan kering pada umumnya termasuk cookies mengalami kerusakan apabila menyerap uap air berlebihan. Kerusakan akibat air ini cukup kompleks karena dapat melibatkan berbagai jenis reaksi kerusakan yang sensitif terhadap
11
perubahan aw. Beberapa reaksi dapat berlangsung secara spontan seperti reaksi pencoklatan non-enzimatis, perubahan organoleptik, kehilangan atau kerusakan vitamin, oksidasi lipida, dan reaksi pembentukan off-flavor. Cookies dapat mengalami penurunan mutu dikarenakan oleh faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor ekstrinsik (lingkungan) meliputi udara, oksigen, uap air, cahaya, dan suhu, sedangkan faktor intrinsik meliputi komposisi produk. Keadaan lingkungan akan memicu reaksi dalam produk, seperti reaksi kimia, reaksi enzimatis, dan penyerapan uap air atau gas. Biskuit memiliki kadar air dan aw yang rendah sehingga teksturnya menjadi renyah. Faktor utama yang menyebabkan penurunan mutu produk biskuit adalah meningkatnya kadar air yang sangat erat kaitannya dengan tingkat kerenyahan produk (Vail et al. 1978). Kerusakan produk cookies sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur. Kerenyahan produk kering akan menurun dengan meningkatnya aw produk. Apabila aw mencapai 0.35 - 0.50 maka kerenyahan yang menjadi kekhasan produk akan hilang. Hal ini disebabkan oleh kegiatan air yang melarutkan dan melunakkan matrik pati atau protein yang terkandung pada sebagian besar produk pangan (Vail et al. 1978). Kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh dan tetap hidup merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan, agar diperoleh bahan pangan yang bergizi dan aman bagi kesehatan. Faktor-faktor lingkungan hidup yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba antara lain suplai zat gizi, waktu, air dan activity water (aw), pH, RH, suhu, oksigen, serta mineral. Efek kerusakan oleh pertumbuhan mikroba, keaktifan enzim, kerusakan oleh serangga, pengaruh pemanasan atau pendinginan, kadar air, oksigen dan sinar semuanya dipengaruhi oleh waktu. Pada umumnya waktu yang lebih lama akan menyebabkan kerusakan bahan yang lebih besar (Purnomo 1995). Perubahan mikrobiologi disebabkan oleh pertumbuhan mikroba pada bahan pangan. Pertumbuhan mikroba tersebut akan menyebabkan timbulnya pembusukan yang akan mengakibatkan munculnya karakteristik sensori yang tidak diinginkan dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan bahan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (Singh 1994). Selanjutnya dijelaskan oleh Muchtadi (1989), kerusakan sensori yang diakibatkan oleh mikroba dapat berupa pelunakan, terjadinya asam, terbentuknya gas, lendir, busa, warna yang menyimpang, asam, dan toksin. Mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan antara lain bakteri, kapang dan khamir.
12
Konsentrasi ion hidrogen aktif yang umumnya dinyatakan dengan pH, sering digunakan untuk menentukan macam mikroba yang tumbuh pada makanan
dan
produk
yang
dihasilkan.
Setiap
mikroba
masing-masing
mempunyai pH optimum, minimum, dan maksimum untuk pertumbuhannya. Semakin tinggi pH, maka semakin bersifat basa substrat produk tersebut. Pada umumnya, semakin bersifat basa maka semakin stabil produk pangan tersebut (Winarno 1994). Salah satu kerusakan lainnya pada produk pangan adalah oksidasi lipid dari asam lemak tidak jenuh. Adanya oksigen bebas di bawah pengaruh sinar ultraviolet atau katalis logam pada suhu tinggi dapat secara langsung mengoksidasi asam lemak tidak jenuh (Purnomo 1995). Kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara akan bertambah dengan kenaikan suhu dan
berkurang
dengan
penurunan
suhu.
Selanjutnya
Ketaren
(1986)
menjelaskan bahwa cahaya dapat mempercepat reaksi oksidasi, cahaya berpengaruh terhadap akselerator pada oksidasi konstituen tidak jenuh dalam lemak. Sejumlah produk akan dihasilkan selama autoksidasi. Dekomposisi hidroperoksida menghasilkan pembentukan aldehid, keton, alkohol, hidrokarbon, dan produk-produk lainnya. Hidroperoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tetapi bersifat labil sehingga dapat terpecah menjadi senyawa yang lebih kecil yang dapat menyebabkan bau tengik (Purnomo 1995). Ketengikan terjadi bila komponen cita rasa dan bau yang mudah menguap terbentuk sebagai kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak yang tak jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan cita rasa yang tidak diinginkan dalam produk minyak dan lemak. Ketengikan dapat disebabkan oleh faktor kandungan air, udara, dan cahaya. Kandungan air yang tinggi dalam lemak dapat mempercepat timbulnya ketengikan (Connel 1975). Penyimpanan lemak pada tempat yang terhindar dari kontak dengan udara akan menghindarkan terjadinya proses kerusakan oksidatif. Penyinaran dengan cahaya dapat merusak lemak dan gugusan yang paling banyak terbentuk adalah hidroperoksida dan karbonil (Djatmiko & Widjaja 1973). pH dan Total Asam Tertitrasi Nilai pH dapat digunakan untuk menentukan produk bersifat asam, netral atau basa (Syarief 1989). Nilai pH merupakan minus logaritma dari konsentrasi ion H+ yang dinyatakan dalam satuan mol/liter. Kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh lebih bergantung kepada nilai pH dibandingkan dengan total asam tertitrasi (Nielsen 1994). Nilai pH berkaitan dengan umur simpan produk karena
13
mempengaruhi penilaian organoleptik dan kandungan mikroorganisme produk. Menurut Fardiaz (1989), nilai pH medium sangat mempengaruhi jasad renik yang dapat tumbuh. Perubahan nilai pH yang signifikan dapat merubah rasa dari suatu produk makanan. Intensitas rasa dalam makanan dapat dipengaruhi oleh beberapa parameter, yaitu aroma, pH, dan tekstur makanan (Egan, Kirk & Sawyer 1981). Total asam tertitrasi berbeda dengan nilai pH. Total asam tertitrasi menunjukkan potensi asam suatu produk (kandungan ion hidrogen), sedangkan pH menunjukkan konsentrasi hidrogen bebas suatu bahan pangan. Nilai TAT selalu berbanding terbalik dengan nilai pH (Eackles et al. 1957). TAT ditentukan oleh adanya asam dalam produk berdasarkan titrasi untuk mengukur total konsentrasi asam dalam produk. Asam-asam tersebut kebanyakan adalah asamasam organik (asam sitrat, maltat, atau laktat). Adanya asam organik dalam produk mempengaruhi flavor (rasa pahit), warna, kestabilan mikroba, dan kualitas produk (Nielsen 1994). Kadar Peroksida Kadar peroksida merupakan nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Cara yang sering digunakan untuk menentukan kadar peroksida adalah berdasarkan pada reaksi antara alkali iodide dalam larutan asam dengan ikatan peroksida. Iod yang dibebaskan pada reaksi ini kemudian dititrasi dengan natrium thiosulfat. Penentuan peroksida ini mereaksikan sebagian peroksida jenis lain. Disamping itu dapat terjadi kesalahan yang disebabkan oleh reaksi antara alkali iodide dengan oksigen dari udara (Ketaren 1986). Peroksida digunakan hanya sebagai indikator dan peringatan bahwa lemak akan berbau tengik. Hal ini dikarenakan ketengikan disebabkan oleh aldehida bukan peroksida. Pengujian lemak dengan bilangan iod dapat digunakan sebagai indikator kerusakan lemak. Prinsip kerja bilangan iod adalah ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak tidak jenuh akan bereaksi dengan senyawa iod, semakin tinggi iod yang diikat maka jumlah asam lemak tidak jenuh juga banyak. Semakin banyak asam lemak tidak jenuh akan meningkatkan reaksi oksidasi lipid (Ketaren 1986).
14
Bilangan TBA (thiobarbiturat acid) Bilangan TBA merupakan salah satu penentu ketengikan pada bahan pangan. Uji TBA didasarkan pada terbentuknya pigmen berwarna merah sebagai hasik
kondensasi
antara
molekul
thiobarbiturat
dengan
satu
molekul
malonaldehid, intensitas warna merah tersebut menunjukkan tingkat ketengikan makanan yang diperiksa, yang ditentukan dengan alat pengukur intensitas warna (spektofotometer) pada panjang gelombang 528 nm (Syarief & Halid 1993). Persenyawaan malonaldehida secara teoritis dapat dihasilkan oleh pembentukan diperoksida pada gugus pantadehida yang disusul dengan pemutusan rantai molekul atau dengan cara oksidasi lebih lanjut dari 2-enol yang dihasilkan dari penguraian monohidro peroksida. TBA merupakan uji spesifik untuk hasil oksidasi asam lemak tidak jenuh (PUFA) dan baik diterapkan untuk uji terhadap lemak pangan yang mengandung asam lemak dengan derajat ketidakjenuhan lebih tinggi. Hal tersebut terjadi pada kasus bahan pangan yang mengandung asam
lemak dengan derajat
ketidakjenuhan yang lebih tinggi dari asam linoleat, yang dapat mempengaruhi stabilitas flavor (Ketaren 1986). Keuntungan dari uji ini adalah pereaksi TBA dapat digunakan langsung untuk menguji lemak dalam suatu bahan tanpa mengekstrasikan fraksi lemaknya. Kelemahan uji TBA adalah terdapatnya beberapa senyawa diluar hasil oksidasi lemak berupa asam yang ikut tersuling bersama uap dan selanjutnya terhadap destilat saat dialakuakn uji TBA. Ketaren (1986) menyatakan bahwa reaksi oksidasi lipida terdiri dari dua tahapan. Tahapan pertama adalah oksidasi spontan lemak tidak jenuh dengan penyerangan oksigen pada ikatan rangkap sehingga membentuk hidroperoksida tidak jenuh yang reaktif. Pada suhu kamar sampai dengan suhu 100 0C, setiap satu ikatan tidak jenuh dapat mengabsorbsi dua atom oksigen, sehingga terbentuk persenyawaan peroksida yang labil. Tahap oksidasi kedua adalah degradasi
hidroperoksida
hasil
produk
primer.
Proses
primer
adalah
persenyawaan hidroperoksida yang terbentuk dari hasil reaksi antara lemak tidak jenuh dengan oksigen. Hasil reaksi ini adalah persenyawaan alkohol, aldehida serta persenyawaan tidak jenuh dengan molekul rendah.