TINJAUAN PUSTAKA Peningkatan efisiensi reproduksi dapat ditempuh dengan memperbaiki kondisi kehidupan anak sejak periode di dalam kandungan (selama kebuntingan) dan setelah anak tersebut dilahirkan (Dziuk, 1992)
Melalui pengamatan yang sudah pernah
dilakukan pada domba ataupun kambing, pertumbuhan dan perkembangan anak selama dalam kandungan dibagi menjadi dua yaitu fase uterus (fase embrional, sejak blastosis sampai awal pembentukan fetus) dan fase plasenta (fase fetus, sejak pembentukan fetus sampai dilahirkan) (Tomaszewska et al., 1991; Manalu dan Sumaryadi, 1996a). Dalarn perkembangannya selama di dalam uterus, embrio atau fetus mempunyai beberapa kemungkinan yaitu embrio/fetus dapat melangsungkan hidupnya di dalam uterus secara normal sampai saatnya dilahirkan, embrio/fetus yang sedang berkembang tidak dapat melanjutkan hidupnya karena sesuatu hal atau ernbrio/fetus tersebut dapat hidup
sampai
dilahirkan
(Hardjopranjoto,l995).
dengan
pertumbuhannya
yang
menyimpang
Banyak faktor yang memegang peranan penting dalam
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan embrio/fetus di dalam uterus induk. Faktor-faktor penyebab kematian embrio dini pada berbagd spesies hewan diantaranya faktor genetik, yang t ejadi karena adanya perkawinan inbreeding, dapat menyebabkan 33 % kematian dini (King and Linarcs, 1983); faktor ketidakseimbangan hormonal antara estrogen dan progesteron dapat rnempengaruhi perjalanan embrio dari tuba falopii ke uterus.
Pada induk domba, menurut Davies dan Beck (1992) tejadi
kematian embrio yang tinggi selama 3 minggu pertarna kebuntingan, sehingga
pregnancy rates berkisar antara 16 % sarnpai 76 % dan jumlah anak yang Iahir juga
makin menurun
Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa kekurangan korpus luteum
yang terbentuk diakibatkan kekurangan nutrisi dan stress.
Berdasarkan laporan
Randell (1986), faktor infeksi menyebabkan hampir 90 % dari induk sapi perah yang barn melahirkan masih memperlihatkan adanya bakteri di dalam uterus 10 hari setelah melahirkan yang kemudian dapat bersarang dalam alat kelamin.
Faktor suhu
lingkungan juga sangat menentukan dalam mempertahankan embrio.
Edwards dkk
(1968) melaporkan bahwa embrio babi sangat peka terhadap peningkatan suhu pada usia kebuntingan dua minggu
Embrio domba akan dapat mengalami kematian dini
sebesar 75 % bila berada dalam suhu yang terus menerus meningkat tanpa mengganggu timbulnya birahi yang berikutnya.
Sedangkan pada sapi dilaporkan
terjadi kematian dini setiap ada peningkatan suhu tubuh sebesar 1,5 "C. Faktor pakan juga dapat menyebabkan kematian dini pada ternak secara langsung, terutama karena kandungan zat-zat di dalamnya. Faktor kapasitas uterus dapat menyebabkan kematian dini embrio karena keterbatasan tempat untuk bersarang pada uterus ataupun
persaingan dari embrio (pada hewanlternak multipara/politokus) untuk mendapatkan nutrisi dari induk melalui sirkulasi di dalarn tubuh induk.
Ribeiro et al., (1996)
melaporkan bahwa jumlah anak yang dilahirkan oleh seekor induk sangat tergantung dari status fisiologis induk tersebut yaitu pada kecepatan ovulasi (ovulation rate), ketahanan hidup prenatal (prenatal survival), aan kapasitas uterus.
Semua ha1
tersebut tidak lepas dari peranan estrogen dan progesteron. Selama
dalam
kandungan,
zat-zat
makanan
yang
dibutuhkan
pertumbuhan anak diperoleh dari jaringan uterus dan sirkulasi induk.
untuk
Pada fase
embrional sumber zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan berasal dari kelenjar uterus, sedangkan pada fase fetus sumber zat makanan berasal dari sistem sirkulasi induk
Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan jaringan uterus dan
plasenta sangat penting untuk meningkatkan sekresi zat-zat makanan yang diperIukan oleh fetus domba ataupun kambing sejak dalam kandungan (Manalu dan Sumaryadi, 1996b).
Perkembangan kelenjar uterus dan plasenta yang kurang baik ,kan
menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan embrio yang rendah atau terjadi kematian embrio dan fetus sehingga secara keselumhan akan menyebabkan rendahnya jumlah anak yang dilahirkan
Akibat lain yang bisa terjadi adalah bobot lahir anak
rendah sehingga kemarnpuan bertahan hidupnya sangat kurang dan akan terjadi kematian pada awal kelahiran Pertumbuhan dan perkembangan jaringan uterus dan plasenta berada di bawah pengaruh hormon yang sekresinya bembah drastis seiring dengan umur kebuntingan, jumlah korpus luteum, dan jumlah anak yang dikandung.
Hormon yang dimaksud
adalah estrogen (diproduksi oleh korpus luteum dan plasenta), relaksin (korpus luteum), progesteron (korpus luteum dan plasenta ) dan laktogen plasenta (pIasenta) (Tomaszewska ei al., 1991) Peningkatan
sekresi
hormon
akan
meningkatkan
pertumbuhan
dan
perkembangan lingkungm uterus (kelenjar utems d m plasenta) dombz ztzupun kambing
sehingga
akan
lebih
banyak
menghasilkan
zat-zat
makanan
untuk
pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus, akan memperbaiki perkembangan uterus dan plasenta sehingga jumlah anak yang lahir akan lebih banyak (akibat
penunhan kematian prenatal) dan Iebih pesat pertumbuhannya sehingga bobot lahir yang optimum tercapai dan daya tahan hidup anak lebih baik (Manalu dan Sumaryadi,
Zat-zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan embrio disediakan oleh kelenjar yang terdapat pada dinding uterus yang dikenal dengan istilah kelenjar susu uterus (Mc. Donald, 1980).
Pertumbuhan kelenjar ini
berada di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron, namun hormon dan faktor pertumbuhan lain yang dihasilkan oleh korpus luteum maupun uterus itu sendiri tetap berperan bersama-sama dengan estrogen dan progesteron tersebut. Estradiol dan IGF (Insulin-like Growth Factor) dapat mempengaruhi kemampuan sel uterus
memberikan respons terhadap progesteron dengan meningkatkan aktivitas CAMP seluler (Aronica dan Katzenellenbogen, 1991). Pada babi, IGF-I yang dihasilkan oleh uterus akan meningkat pada awal kebuntingan dan mencapai puncaknya pada waktu umur kebuntingan yang ke-12 seiring dengan makin panjangnya blastosis (Letcher et a1.,1989).
IGF-I ini diduga akan merangsang aktivitas enzim aromatase pada
konseptus untuk meningkatkan biosintesis estradiol (Hofig et al., 1991). IGF-I dengan kadar yang rendah terdapat pada fetus tikus sedangkan IGF-11 pada fetus tikus dan serum tikus neonatus didapatkan pada kadar yang tinggi. Kadar ini akan menurun sesudah beberapa saat setelzh kelahir= seiring dengan meningk~tnyaIGF-I (Heath and Smith, 1989).
Progesteron dan estrogen mengalami banyak perubahan selama
siklus estrus dan kebuntingan mengiringi perubahan histologis dan kimiawi uterus. Pada saat menjelang ovulasi (fase folikuler siklus estrus), estrogen meningkat. Setelah
ovulasi (fase proliferasi dan sekresi), progesteron meningkat. Akibat pengaruh kedua hormon tersebut, aktivitas uterus berubah. Pada saat estrogen meningkat akan terjadi peningkatan aktivitas enzim yang berperan dalarn proses pembelahan sel, sintesis protein,
glikogen
dan
glikoprotein
(Norman
and Litwack,
1987).
Daiam
rnempersiapkan uterus menjadi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan embrio serta feras, estrogen bekerja dengan cara mempengaruhi sintesis kolagen
sehingga mengubah struktur
kolagen uterus (Pastore et al., 1992),
meningkatkan kandungan glikogen pada uterus dengan mempengaruhi aktivitas glikogen sintetase, meningkatkan metabolisme fosfolipid (Gould et aZ., 1978) serta meningkatkan sintesis DNA dan proliferasi sel-sel uterus (Yamashita et al., 1990) Secara histologis, pada awal kebuntingan akan tampak terjadinya pembelahan sel-sel kelenjar dan stroma endometrium, kelenjar menjadi memanjang membentuk lekukan, kemudian arteri pada endometrium tumbuh membentuk spiral @rickson, 1987; Berne and Levy, 1988; Keys and King, 1995)
Proses selanjutnya yang tejadi pada saat
progesteron meningkat adalah kelenjar uterus terus tumbuh membentuk lekukan yang semakin banyak dan mendalam, sel-sel kelenjarnya mulai mensintesis giikogen dan terbungkus pada vakuola besar di bagian dasar sel kelenjar.
Pada saat yang sama
pembuluh darah uterus juga tumbuh pesat membentuk lilitan.
Dengan semakin
meningkatzya sekresi progesteroc, sintesis glikcgen (Erickson 1987; Berne and Levy, 1988) dan senyawa glikoprotein dan protein (Norman and Litwack, 1987; Wheeler et
al., 1987) juga semakin pesat dan isinya dibebaskan ke d J a m lumen uterus. Secara umum susu uterus itu terdiri dari senyawa organik dan inorganik, ditambah dengan
unsur-unsur jaringan epitel dan darah yang keluar dari nodus limfa yang diperlukan untuk diferensiasi dan pertumbuhan embrio.
Sehingga dapat dikatakan bahwa
perkembangan blastula menjadi embrio sampai terbentuk fetus sangat dipengaruhi oleh perkembangan kelenjar susu uterus (Miller and Zhang, 1984). Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu uterus dimuiai dari masa sebelum owlasi sampai periode implantasi sehiiigga pada periode ini diperlukan ketersediaan progesteron dan estrogen yang cukup. Pada periode ini estrogen dan progesteron dihasilkan oleh sel-sel teka folikel. dan sel-sel granulosa korpus luteum (Stubbing et al., 1986; Southee e f al., 1988; Schiewe et al., 1990; Schiewe et al., 1991). Estrogen akan meningkat sebelum owlasi kemudian turun selama fase luteal dan akan meningkat secara perlahan-lahan selama periode kebuntingan berikutnya sampai periode plasentasi dan akan meningkat drastis pada sisa kebuntingan selanjutnya (Umo et aE., 1976; Trounson et al., 1977; M c Donald, 1980; Refsal et al., 1991; Manalu e2 a!., 1995a;b; Sumaryadi dan Manalu 1995 a,b;c; Tuju dan Manalu, 1995).
Progesteron akan mulai meningkat setelah sel-sel granulosa korpus luteum
berkembang dan aktif mensintesis hormon tersebut (Umo et al., 1976; Trounson et aL 1977; Boulfekhar and Brudieux, 1980; M c Donald, 1980; Refsal et a!., 1991;
Manalu et al., 1995a;b; Sumaryadi dan Manalu 1995a;b;c; Tuju dan Manalu, 1995). Penelitian tentang penyuntikan estrogen secarz 1.M (intrc muscular) dengan dosis 5 ml pada awal kebuntingan (umur 11-15 hari kebuntingan) meningkatkan perkembangan sistem pembuluh darah subepitel uterus babi (Keys and King, 1995). Kelainan perkembangan jaringan
uterus akibat gangguan hormonal juga telah
dilaporkan menyebabkan peningkatan kematian ernbrional pada tikus (Halling el
aZ.,1993), dan penambahan progesteron telah ditunjukan rneningkatkan perturnbuhan uterus (Krauss and Katzenellenbogen, 1993).
Pada domba juga telah dilaporkan
bahwa penambahan progesteron pada awal kebuntingan rneningkatkan pertumbuhan fetus (Kleernann el al., 1994). Pada babi dilaporkan bahwa penambahan progesteron dapat meningkatkan pertumbuhan anak babi (Hard and Anderson, 1979; Ashworth, 1991).
Penarnbahan progesteron dari luar tubuh pada tikus dan babi yang bunting
ternyata dapat rneningkatkan jumlah anak yang dilahirkan dan bobot lahir (Kendall and Hays, 1960; Hard and Anderson, 1979; Ashworth, 1991). Pada mencit, estrogen yang dihasilkan sesaat sebelum ovulasi akan merangsang proliferasi sel-sel epitel uterus pada umur kebuntingan hari pertama dan kedua, sedangkan progesteron dari korpus luteum yang barn terbentuk akan meningkatkan proliferasi sel-sel stroma yang potensial dengan cara meningkatkan estrogen selama masa prairnplantasi (Parandoosh ei al., 1995) Ketersediaan zat-zat rnakanan di plasenta sangat erat kaitannya dengan mobilisasi zat-zat rnakanan dalam darah induk (Egan, 1984), juga selanjutnya sangat dipengaruhi oleh status hormonal induk terutama insulin, glukagon, kortisol, somatotropin, tiroksin, prolaktin dan laktogen plasenta (Fain, 1979; Baurnan et al., 1982; Lewis et aZ., 1988). .Uzn tetapi stztus fisiologis kebctingan iru sendiri terk&t dengan kebutuhan zat-zat makanan bagi embrio atau fetus dan peningkatan estradiol dan relaksin serta progesteron dan laktogen plasenta akan mempengaruhi sekresi
hormon-hormon metabolis seperti tiroksin dan kortisol pada kambing (Manalu et a]., 1995a; Manalu el al., 1997b) dan domba (Manalu dan Surnaryadi, 1996b). Pertumbuhan anak setelah lahir sangat dipengaruhi oleh berat lahir anak dan produksi susu induk. Berat sapih anak sangat dipengaruhi oleh produksi susu induk dan berat lahir anak (Sumaryadi dan Manalu, 1995b) yang merupakan akumuIasi pertumbuhan embrio sa;-.-ipai fetus
Berat lahir juga sangat menentukan daya tahan
hidup anak selama periode prasapih (Bell, 1984; Tiesnamurti, 1992) serta menentukan berat sapih. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan uterus, embrio dan fetus dipengaruhi terutama oleh konsentrasi horrnon reproduksi, khususnya estrogen dan progesteron dalam darah induk selama kebuntingan.
Biologi Reproduksi Tikus Putih
Tikus merupakan hewan yang bersifat politokus dengan jumlah anak berkisar antara 6 sampai 12 ekor setiap kali melahirkan (Harkness and Wagner, 1989). Tikus Iaboratorium bisa hidup 2 hingga 3 tahun, mencapai usia dewasa antara 40 sampai 60 hari dan biasanya akan melakukan perkawinan pertarna pada saat mencapai usia 10 rninggu yang akan dilakukan saat estrus (Smith dan Mangkoewidjojo, 1987). Masa pubertas (dewasa kelamin) dicapai pada umur 50 sampai 60 hari.
Tikus siap
dikawinkan pada saat umur 65 sampai 110 hari dimana tikus betina dan jantan masingmasing sudah mencapai bobot badan sekitar 250 gram dan 300 gram. Lama siklus estrus (birahi) sekitar 4 sampai 5 hari. Siklus estrusnya dapat dikelompokkan dalarn 4
kelompok yaitu 1) proestrus (sekitar I2jam) , 2) estrus (sekitar 12jarn) , 3) metestrus I (15 jam); metestrus I1 (6 jam) dan 4) diestrus (57jam) (Baker, 1979).
Masa
kebuntingan meliputi masa dari sejak terjadinya kopulasi, fertilisasi, implantasi sampai saat anak dilahirkan berkisar antara 22 sampai 23 hari. Setelah terjadi fertilisasi pada bagian ampula dari tuba falopii, sel telur yang telah dibuahi akan ditransportasikan ke dalam uterus. Pada mamalia perjalanan ini memerlukan waktu 2 sampai 4 hari. Pada tikus putih, ~embelahanmenjadi 2 sel terjadi pada hari pertama dan kedua, pembelahan menjadi 4 sel pada hari ke-2 dan 3 dan pembelahan menjadi 16 sel terjadi pada hari ke 4 kebuntingan. Pada mencit dan tikus, implantasi akan terjadi sehari setelah embrio
memasuki uterus. Pada tikus, waktu implantasi ini terjadi pada hari ke-5 kebuntingan yaitu pada saat tahap biastosis sudah dicapai.
Pada ternak, jarak antara waktu
fertilisasi dan proses implantasi bervariasi antara spesies, pada kambing dari hari ke-16 dan pada kuda dari hari ke-36 sampai dengan hari k e 4 0 kebuntingan (Hodgen dan Itskowitz,
1988). Perubahan yang terjadi pada area implantasi yaitu
adanya
peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah yang diikuti adanya oedema atau penebalan stroma yang mengelilingi blastosit.
Aksi dari otot-otot uterus sangat
penting untuk penyebaran embrio sepanjang uterus bagi hewan atau ternak politokus. Hal ini juga untuk mencegah tejadinya pengumpulan embrio pada satu daerah saja yang biasanya dapat menyebabkan ksmatian embrio pada akhir kebuntingan (hlc. Laren, 1982). (Baker, 1979).
Pembesaran abdomen biasanya terjadi pada hari ke-13 kebuntingan Tikus dapat menjalani perkawinan lagi (remaling) 24 jam setelah
melahirkan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1987)
16
Telah diketahui bahwa jumlah fetus yang dikandung erat kaitannya dengan jumlah folikel yang berovulasi dan plasenta (Bradford et a/.,1986; Piper and Bindon, 1984). Dengan demikian sekresi progesteron dan estradiol sangat tergantung pada
jumlah korpus luteum dan massa plasenta
Selama siklus estrus, uterus akan
mengalami vaskularisasi sarnpai 10 kali lipat sehingga dapat menyebabkan peningkatan aliran
darah dan menyebabkan
perubahan
keseimbangan
antara estrogen dan
progesteron pada saluran reproduksi (Schramm et al.,1984).
Pada tikus (Taya and
Greenwald, 1981), mencit (Pointis et nL, 1981) dan hamster (Edwards et al., 1994) korpus
luteum
merupakan
sumber
utama
progesteron
selama
kebuntingan.
Peningkatan ukuran korpus luteum pada tikus selama pertengahan kebuntingan ternyata mempengaruhi peningkatan sekresi progesteron (Ichikawa ef al.,1974). Berbagai galur tikus yang dipakai dalam penelitian antara lain adalah SpragueDawley, Wistar dan Long-Evans.
Sprague-Dawley merupakan galur tikus albino
dengan kepala ramping dan ekor lebih panjang dari badannya, sedangkan Wistar mempunyai kepala yang lebih lebar dan ekor yang lebih pendek. Galur Long-Evans mempunyai bulu yang lebih gelap pada bagian atas kepala dan anterior tubuhnya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1987) Berdasarkan pertimbangan bahwa siklus reproduksi tikus cukup pendek dan mudah peme!iharaannya maka tikus sangat iepat untuk digunakan sebagai hewan model dalam penelitian reproduksi.
-
Horrnon Reproduksi Estrogen dan progesteron adalah 2 hormon steroid yang paling banyak peranannya dalam mengendalikan siklus dan proses yang terjadi dalam reproduksi dengan perubahan yang terjadi pada konsentrasinya.
Pada umumnya steroid
mempunyai struktur dasar yang sama yaitu eyelopenfano-perhydro-phenanhee. Perubahan daya kerja steroid tergantung dari jumlah atom karbon yang terdapat dalam struktur dan letak grup fungsionalnya, grup hngsional yang dimaksud adalah aldehide, hidroksil,
keton,
(Partodihardjo;l992)
klor,
hidrokarbon
yang
jenuh,
asam
karbon
dan
metil
Semua hormon steroid berasal dari kolesterol yang kemudian
akan diubah menjadi pregnenolon. Oleh enzim yang spesifik kemudian pregnenolon ini akan diubah langsung menjadi progesteron, dan melalui serangkaian proses/reaksi yang panjang pregnenolon juga akan menghasilkan estrogen Estrogen.
Estrogen adalah steroid yang secara kirnia maupun potensinya terdapat dalam berbagai bentuk yaitu estrone yang mempunyai potensi yang rendah, estriol yang berasal dari plasenta dan juga mempunyai potensi yang rendah, estradiol yang berasal dari ovarium yang mempunyai potensi yang paling kuat. atom karbon
Estrogen mempunyai 18
Pada bangsa mamalia betina indeks pertumbuhan dan perkembangan
dari folikel dapat diketahui dari produksi serum atau plasma estrogen, bila estrogen meningkat berarti ada pertumbuhan dan perkembangan folikel, dasar fisiologis dari hubungan ini adalah induksi dari aktivitas aromatase oleh FSH (Lasley et aL, 1988). Fungsi fisiologis dari estrogen yaitu pada protein anabolisme, pada percepatan
pertumbuhan tulang, pada pelunakan kulit, pada pertambahan berat jaringan uterus karena hipertrofi dan hiperplasia endometrium dan miometrium, pada aktivitas pergerakan fimbrie, pada kornifikasi vagina, pada pertumbuhan saluran-saluran dalam kelenjar susu. Pada hewan betina, estrogen disintesis dan dibebaskan dalam sirkulasi darah oleh ovarium baik oleh sel teka maupun oleh sel granulosa, plasenta dan adrenal kortek. Konsentrasi estradiol dalam cairan antrum a r i folikel Graafian yang sedang berkembang dilaporkan meningkat lebih dari 100 kali sebelum tejadinya ovulasi. Pada percobaan yang dilakukan secara in vivo dan in vifro peningkatan ini merupakan indikasi efek pengaturan kemampuan steroidogenesis sel-sel granulosa yang sedang berkembang (Veldhuis et a ] . , 1986). Pada umumnya sintesis estrogen tidak ditimbun dalam kelenjar penghasil tetapi tetap disintesis secara kontiniu dengan kadar yang sangat rendah sekali dalam darah dan efek biologis yang ditimbulkannya sangat pendek (Partodihardjo, 1992; Johnson dan Everitt, 1988). Banyak efek yang ditimbulkan oleh estrogen pada proses metabolisme yang tejadi pada uterus termasuk meningkatkan kandungan air uterus,
merangsang pembentukan asam lemak dari asetat dan
meningkatkan metabolisme fosfolipid serta meningkatkan konsentrasi dan jumlah total protein bukan kolagen.
Estrogen merangsang metabolisme glikogen, baik melalui
perangsangan glikogenesis maupun melalui pengharnbatan terhadap glikogenolisis tetapi
perangsangan
glzkogenesis Iebih ctamz.
Pengzcn~h estrogen
terhadap
metabolisme glikogen ini melibatkan enzim fosfirilase dan UDPG-glikogen sintetase.
UDPG-glikogen sinfefase dilaporkan banyak terdapat pada lapisan luar otot miometrium longitudinal pada tikus yang disuntik dengan estrogen dan progesteron.
19
Estrogen akan mengawali sejumlah perubahan kimiawi uterus yang berakibat adanya sintesis protein, karena adanya peningkatan kecepatan enzim (Williams dan Provine, 1966). ~ a d ahewan rnultiparafpolitokus seperti tikus dan rnencit, estrogen akan
menyebabkan perubahan vaskularisasi pembuluh darah dan pertumbuhan endometrium yang melibatkan adanya reaksi desidual di tempat terjadinya implantasi.
Estrogen
dapat menyebabkan peningkatan aliran darch secara tidak langsung yaitu melalui terjadinya peningkatan prostaglandin yang dapat menyebabkan vasodzlatasi pembuluh darah pada rniometrium maupun pada endometrium (Schramm et a l , 1984). Estrogen akan menyebabkan hiperemia uterus yang pada umurnnya berhubungan dengan peningkatan sekresi cairan lurninal sehingga tejadi distensi lumen uterus. Estrogen akan mengawali terjadinya implantasi pada bangsa rodensia melalui peningkatan pertumbuhan sel uterus dan reseptor progesteron (mekanisme up regulation) serta aksinya terhadap faktor-faktor pertumbuhan seperti EGF (epidermal growth factor) atau TGF-a (transforming growth factor a), dimana estrogen akan meningkatkan EGF dan TGF-a (Johnson dan Chatterjee, 1993). Reseptor dari EGF terdapat pada semua tipe sel-sel uterus, dan dilaporkan bahwa reseptor ini akan meningkat setelah adanya treatment estrogen pada tikus (Hanada et al., 1998). Estrogen secara spesifik meningkatkan IGF-I dan EGF pada bangsa rodensia (Ohtani et aL,1996). Pada sapi juga dilaporkan adanya perubahan distribusi dari IGF-I dan EGF endometrium se!arna siklus estrus (Ohtani et al., 1996). Dalam peranannya sebagai luteotropik, estrogen berfUngsi untuk memelihara korpus luteum agar tetap ada dan mensekresikan progesteron.
Kehadiran estradiol dalam korpus Iuteum yaitu untuk merangsang
biosintesis kolesterol, mengatur aktifitas asil Co-A: kolesterol asillransferase (ACAT) agar tetap tersedia kolesterol untuk pembentukan progesteron (Azhar ei al., 1989). Estrogen menyebabkan peningkatan berat dan fingsi korpus luteum selam pertengahan kebuntingan (Nakamura dan Ichikawa,
1978 ; Rodway dan Rothchild, 1980).
Konsentrasi estradiol pada tikus yang sedang bunting tidak berubah mulai dari hari ke2 ad-mpai hari ke-12 kebuntingan, setelah itu meningkat berangsur-angsur sampai akhir kebuntingan yaitu hari ke-22 (Taya dan Greenwald, 1981), sementara itu Tuju (1996) melaporkan bahwa konsentrasi estradiol tidak berubah dari hari ke-4 sampai dengan
..
.
hari ke-12 kebuntingan dan selanjutnya akan berangsur meningkat sampai akhir kebuntingan Progesteron.
Progesteron adalah steroid yang terdiri dari 21 atom karbon.
Progesteron
merupakan substansi intermedia dari sintesa androgen, estrogen atau kortisol, oleh sebab itu pada suatu keadaan keseimbangan yang terganggu pada organ tubuh yang menghasilkan steroid, seperti ovarium, testis, korteks adrenal dan plasenta maka akan dihasilkan progesteron (Turner dan Sagnara, 1988).
Fungsi fisiologis progesteron
yaitu mempunyai efek anti radang seperti kortisol, pada miometrium akan menghambat kontraksi dan menekan respons uterus terhadap pengaruh estrogen dan oksitosin, pada endometrium akan merangsang tumbuhnya kelenjar-kelenjar susu uterus, pada spesies tertentu
akan
merangsang
tumbuhnya
sel-sel
pada
permukaan
endometrium
(deciduoma) untuk implantasi, progesteron juga dapat menyebabkan tejadinya
pengentalan ekskresi epitel dari vagina atau serviks dan mengembangkan alveoli
kelenjar ambing pada spesies tertentu seperti kucing, tikus dan babi. Pada hewan yang bunting progesteron meniadakan kemungkinan terjadinya ovulasi (Partodihardjo, 1992; Nalbandov, 1976). Progesteron merangsang differensiasi sel-sel endometrium dan menyiapkan implantasi, bersamaan
dengan ini terjadi penurunan proliferasi dan
penurunan reseptor estrogen (down regulation) (Okulicz dan Balsamo,
1993).
Konsentrasi progesteron dalam serum saat siklus birahi pada domba lokal peranakan ekor kurus berkorelasi secara positif dengan jumlah korpus luteum artinya semakin banyak korpus Luteum yang terbentuk maka makin banyak kadar progesteron dalam serum (Satyaningtijas dan Isdoni, 1997). Demikian juga pada hewan yang bunting dilaporkan bahwa
serum progesteron berkorelasi positif dengan jumlah anak yang
dikandung (Manalu dan Sumaryadi, 1996a; Manalu et al., 1995b).
Konsentrasi
progesteron meningkat setelah terjadinya ovulasi dan akan semakin meningkat terutama setelah periode plasentasi (Manalu dan Sumaryadi, 1995; Sumaryadi dan Manalu, 1 9 9 5 ~ ) Tuju (1996) melaporkan bahwa konsentrasi progesteron pada tikus bunting tidak mengalami perubahan dari umur kebuntingan ke-4 sampai dengan umur kebuntingan ke-12
Sedangkan Rodway dan Rothchild (1980) menyatakan bahwa
dalam serum tikus bunting konsentrasi progesteron mulai meningkat mulai umur kebuntingan ke- 12 sarnpai ke- 18. Peningkatan konsentrasi progesteron dalam serum induk diikuti oleh peningkatan konsentrasi reseptor hormon tersebut (Vu Eai ef al., 1978). Peningkatan sekresi progesteron yang cepat selama kebuntingan merupakan
Kinerja Reproduksi Reproduksi adalah suatu proses yang ditujukan untuk menghasilkan keturunan, dimulai sejak bersatunya sel telur dan sel manilsperma sehingga menjadi mahluk hidup baru.
Reproduksi merupakan serangkaian proses majemuk yang disebabkan oleh
banyak faktor baik itu faktor dari dalam tubuh ataupun faktor dari luar tubuh. Tidak munculnya salah satu faktor tersebut dapat menyebabkan terhambatnya reproduksi sehingga dapat terjadi gangguan reproduksi.
Proses reproduksi yang normal akan
diikuti produktifitas yang tinggi, dan sebaliknya bila daya reproduksi rendah akan menghasilkan produktifitas temak yang rendah pula. Salah satu faktor penyebab adanya gangguan reproduksi itu adalah ketidak-seimbangan hormonal
ini
mempengaruhi
erat
kaitannya
ovulasi,
dengan kinerja
fertilisasi, implantasi,
reproduksi
hormonal. karena
akan
Faktor dapat
hilangnya ovum serta mortalitas
embrional (Nalbandov, 1976) atau akan mempengaruhi pertumbuhan perkembangan anak setelah dilahirkan sampai anak tersebut mencapai usia lepas sapih. Fungsi fisiologis dari sistem reproduksi betina sangat kuat dipengaruhi oleh hormon steroid yang dihasilkan oleh ovarium (Pineda, 1989 dan Murray, 1992) dan hormon tersebut adalah estrogen dan progesteron yang menjalankan aksinya rnelalui reseptor intraselulamya pada sel target atau jaringan.
Reseptor bagi kedua macam
hormon ir.i sangat bervaiasi tergantung dslri s i k l ~ srepr~duksidan dsii konseiltrasi hormon tersebut yang berada dalam sirkulasi (Re et al., 1995). Produk sekretoris dari uterus yang dihasilkan akibat adanya steroid sangat penting untuk proses fisiologis yang terjadi pada uterus termasuk irnplantasi dan
plasentasi (Murray, 1992). Produk sekretoris tersebut termasuk protein dari susu yang dihasilkan oleh sel epitel dari kelenjar uterus. Murray (1992) melaporkan bahwa efek pemberian estrogen dan progesteron terhadap perubahan struktur pada sel epitelium kelenjar uterus domba yang sudah diovariektomi temyata menunjukkan adanya perubahan morfologi.
Penambahan
17-P
estradiol menyebabkan hipertrofi dari
epitelium uterus dan organel yang memproduksi protein.
Seperti dikatakan di atas
bahwa ada faktor lain yang dapat mempengamhi implantasi yaitu faktor pertumbuhan seperti EGF dan TGF-a.
Estrogen dan progesteron sangat dibutuhkan untuk
pengaturan reseptor dari keduanya (Hanada et al., 1998) Tingkat sekresi hormon gonadotropik juga menentukan banyaknya folikel yang masak dan jumlah ovum yang diovulasikan.
Secara genetik setiap jenis ternak
mempunyai kemampuan menghasilkan anak per kelahiran yang berbeda-beda. Jumlah anak per kelahiran dipengaruhi oleh progesteron yang bekerja sama secara sinergis dengan estrogen untuk menstimulasi ovulasi dengan menggertak pelepasan LH (Cole dan Cupps, 1969). Kadar estrogen yang rendah dan progesteron yang tinggi dalam proporsi yang tepat akan menyebabkan perpindahan sel telur yang telah dibuahi dari ampula menuju ke uterus.
Kematian embrional sebagian besar tejadi pada umur
kebuntingan dini dan daya hidup (survival) embrio selama periode tersebut tergantung pada kondisi lingkungan uterus yang ada di bawah pengaturan progesteron (Nalbandov, 1976 dan Betteridge, 1986). Manalu dan Sumaryadi (1995) melaporkan bahwa peningkatan sekresi progesteron dan estradiol selama kebuntingan dan akhir kebuntingan pada kambing PE menyumbangkan 80 % ke total pertumbuhan masa
fetus. Peningkatan sekresi ini erat kaitannya dengan fungsi kedua hormon tersebut pada endometrium sebagai wadah dan sumber nutrisi bagi fetus. Efek estrogen pada endometrium adalah meningkatkan pertumbuhan sel atau fase proliferasi mengawali
kerja progesteron
dengan meningkatkan
dan
reseptor bagi progesteron
sedangkan progesteron menghambat proliferasi sel dengan cara menurunkan reseptor untuk estrogen dan menyebabkan diferensiasi berbagai macam tipe sel endometrium untuk persiapan implantasi dan sekresi susu uterus (Okulicz dan Balsamo, 1993). Tanda-tanda
awaI
dari
adanya
implantasi
adalah
adanya
peningkatan
permeabilitas uterus yang terjadi secara lokal yang akan menyebabkan terjadinya oedema. Pembengkakan ini diduga merupakan suatu rangsangan untuk mitosis dari sel-sel stroma sekitarnya dan pertumbuhan uterus. Peningkatan kecepatan proliferasi sel endotel endometrium sangat jelas dari hari kebuntingan tikus yang ke 3 sampai dengan hari ke-5 yang menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah dan secara bersama-sama juga pertumbuhan jaringan uterus lainnya (Goodger dan Rogers, 1995).
Asam Nukleat
Setiap sel mengandung dua macam asam nukleat, yaitu DNA (asam
deoksiribo nukleaf) dan R N A (asam ribo nukleat). DNA dan RNA merupakan polimer nukleotida, dimana monomernya terdiri dari 1 ) guIa deoksiribosa (cr,tuk
DNA) dan ribosa (untuk RNA) 2) posfat dan 3) basa yang terdiri dari adenin, sitosin, guanin dan timin atau urasil (timin pada DNA dan urasil pada RNA). DNA memegang peranan dalarn duplikasi kromosom sedangkan RNA bertugas sebagai pelaksana hngsi
DNA untuk menumbuhkan dan memelihara karakter lewat kedua proses replikasi dan transkripsi.
RepIikasi bertujuan untuk pembelahan atau perbaikan sel sedangkan
transkripsi untuk sintesis protein dan bahan organik lain dalam sel. Sintesis protein terjadi dalam suatu organel sel yang disebut dengan ribosom (Ashby et al., 1999). Proses sintesis protein ini dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya adanya kuman atau bahan kimia tertentu sehingga dapat menurunkan sintesis protein secara regular atau dapat meningkatkan sintesisnya. dalam inti
Sintesis protein diawali sejak tahap transkripsi di
Transkripsi bisa mulai jika lilitan DNA lepas terentang dari nukleosom.
Hal ini dipicu oleh hormon atau bahan pengaktif gen lain yang merangsang sel pada plasmalema. Disusul dengan lepasnya ikatan ke dua atas yang berpasangan kemudian transkripsi berlangsung dengan katalisis enzim IWA polimerase. Adanya penurunan ataupun peningkatan sintesa protein ini dapat terlihat dari kandungan DNA atau RNA sel tersebut. Untuk mengevaluasi adanya suatu pertumbuhan atau perkembangan dari suatu jaringan dapat dihitung dari kandungan DNA nya dengan asumsi bahwa kandungan DNA per nukleus adalah konstan atau tetap, walaupun pengukuran DNA ini bukan merupakan suatu indeks yang akurat tetapi dapat dipakai sebagai pengukuran pembanding dari suatu pertumbuhan selama tahap fisiologis yang berbeda. Manalu et al. (2000) melaporkan bahwa superovulasi pada domba akan meningkatkan kandungan total DNA kelenjar susu sebanyak 30
pada zkhir laktasi yang berarti
terjadi peningkatan jumlah sel-sel dalam kelenjar susunya Demikian juga kandungan total RNA nya tampak meningkat sebanyak 56 %.
Dalam ha1 ini superovulasi
bertujuan untuk meningkatkan jumlah sel telur yang diowlasikasn sehingga dengan
demikian akan jumlah korpus luteum yang terbentuk semakin banyak pula yang secara tidak langsung berarti akan terjadi peningkatan kadar estrogen dan progesteron yang dihasilkan oleh ovarium tersebut.
Dengan rneningkatnya kadar kedua hormon
tersebut, merupakan indikasi yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan uterus untuk mempersiapkan kebuntingan sehingga Iingkungan yang terbentuk sebagai wadah dari embrio atau fetus itu dalam keadaan yang optLnal dan fetus akan berkermbang dengan baik pula disamping hngsinya dalam meningkatkan pertumbuhan
dan
perkembangan kelenjar susu untuk anak yang akan lahir.
Mekanisrne K e r j a Hormon Steroid p a d a Ekspresi G e n Hormon steroid dari ovarium bersirkulasi dalam peredaran darah dalam bentuk bebas dan berikatan dengan protein pengikat (binding protein).
Dalam bentuk
bebasnya steroid akan dapat berdihsi keluar dan masuk sel, tetapi akan tertahan dalam sel targetnya melalui protein pengikat intranuklear yang disebut dengan reseptor. Konsentrasi reseptor hormon steroid dalam sel target berkisar antara 10.000 sarnpai dengan 60.000 molekul per sel (Spelsberg et ai., 1989).
Masing-masing reseptor
akan berikatan dengan steroid yang sesuai dengan afinitas yang tinggi.
Apabila
hormon steroid sudah berikatan dengan reseptor akan terjadi perubahan konformasi pada sel atau aktivasi sel yang dapat menyebabkan kompleks ini berikatan lagi dengan sisi yang spesifik pada kromatin dengan afinitas yang tinggi. Ikatan ini akhirnya akan menghasilkan perubahan pada transkripsi gen.
Hormon steroid yang menyebabkan
pembahan pada tingkat post-transkripsi adalah faktor yang mempengaruhi level
steady-state-speczfzc RNA dan protein. Oleh karena itu steroid mengatur fisiologis
sel target dengan cara mengontrol mRNA dan protein dalam sel. Mekanisme kerja steroid pada sel target dapat dilihat pada Gambar 1.
y- --
3
I
?
.-
I
m
TGZZL a
-
mRNA
Gambar 1 . Mekanisme k e j a hormon steroid pada ekspresi gen