TINJAUAN PUSTAKA
Transfer Gen Strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki mutu genetik ikan nila antara lain, (1) introduksi jenis unggul dari luar untuk memperbaiki keragaan ikan nila lokal dan menggunakan ikan-ikan tersebut sebagai material dasar genetik, (2) persilangan/hibridisasi untuk mendapatkan sifat unggul yang lebih baik dari populasi asal, (3) memanfaatkan keunggulan jenis kelamin jantan melalui pembentukan galur jantan super (YY supermale) dan aplikasinya dalam produksi massal ikan nila jantan, (4) melalui seleksi terhadap karakter penting untuk budidaya, baik seleksi famili maupun seleksi massa, dan (5) melalui penerapan metode transfer gen (Gustiano 2007). Proses transfer gen (transgenesis) pada intinya merupakan kegiatan mengintroduksi gen-gen asing ke inang yang baru (Lutz 2001). komersial, dukungan terhadap teknologi ini tinggi terutama karena potensinya dalam mengefisienkan proses dan produksi perikanan budidaya. Hasil kajian pada karakter pertumbuhan misalnya (Maclean & Laight 2000; Galli 2002) mampu mempercepat proses pembesaran hingga ukuran pasar. Peningkatan laju pertumbuhan dengan teknik transfer gen biasanya sebesar 200% hingga 600%; tergantung spesies, struktur konstruksi gen, dan/atau sifat alami dari insersi. Sebagai pembanding, peningkatan pertumbuhan melalui teknik seleksi meningkatkan pertumbuhan hanya sebesar 5% hingga 10%. Penelitian transgenik pada beberapa ikan telah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti pada ikan mas Cyprinus carpio, channel catfish Ictalurus punctatus, salmon Atlantik Salmo salar, rainbow trout Oncorhynchus mykiss, ikan zebra Danio rerio dan medaka Oryzias latipes (Rahman & Maclean 1992). Beberapa metode yang dapat dilakukan untuk pelaksanaan transfer gen adalah mikroinjeksi, elektroporasi, transfer melalui sperma, biolistik, penggunaan vektor virus dan lipofeksi (Beaumont & Hoare 2003). Mikroinjeksi merupakan teknik transfer gen yang umum digunakan pada kegiatan transgenesis (Takagi et al., 1994; Volckaert et al., 1994; Kinoshita & Ozato 1995; Hamada et al., 1998; Galli 2002; Alimuddin et al., 2003; Kato et al., 2007). Konstruksi DNA ditransfer ke dalam sel embrio ikan dengan menggunakan jarum injeksi berukuran mikro, dengan bukaan jarum suntik sekitar 5-8µm (Alimuddin et al. 2007). Introduksi dilakukan di bawah mikroskop dengan bantuan mikromanipulator yang mengatur
Secara
posisi jarum suntik. Untuk memastikan material genetik masuk ke pronuklei, konsentrasi DNA yang tinggi (107-1010 copy) biasanya diinjeksikan ke telur yang telah dibuahi (Yoshizaki, 2001; Hwang et al. 2003). Meskipun injeksi dengan jumlah copy DNA yang tinggi meningkatkan integrasi transgen (DNA yang ditranfer), namun dapat meningkatkan resiko kematian pada embrio (Zbikwoska, 2003). Prinsip dasar teknik mikroinjeksi adalah memasukkan gen ke dalam sitoplasma embrio yang sudah dibuahi hingga terintegrasi dengan genom inang. Agar proses integrasi ini berjalan dengan baik, maka pelaksanan penyuntikan dilakukan sebelum mitosis satu. Namun demikian, beberapa masalah yang sering dijumpai saat mikroinjeksi akan dilakukan pada embrio ikan adalah (1) korion akan mengeras setelah pembuahan sehingga pelaksanaan injeksi relatif akan sulit dilakukan; (2) fase satu sel dari embrio berlangsung dalam waktu singkat (antara 30 hingga 40 menit setelah pembuahan), sehingga dengan waktu yang relatif pendek itu maka pelaksanaan injeksi telur juga berlangsung relatif cepat. Dengan demikian, jumlah telur yang memungkinkan untuk diinjeksi akan relatif sedikit (Rahman & Maclean 1992; Kinoshita & Ozato 1995). Menurut Zbikowska (2003), integrasi transgen pada DNA inang umumnya tidak terjadi pada fase satu sel, oleh karenanya maka tidak semua sel ikan membawa transgen. Kondisi ini disebut mozaik. Di
samping
masalah
di
atas,
ada
beberapa
keuntungan
jika
menggunakan embrio ikan sebagai inang dibandingkan dengan mamalia, yakni jumlah telur ikan yang relatif banyak sehingga memudahkan dalam penyediaan inang, dan fertilisasi terjadi secara eksternal sehingga memudahkan introduksi gen asing pengkode protein target.
Selain itu, embrio ikan dapat dipelihara
dalam air tanpa suplemen, karena untuk perkembangan embrio cukup mengandalkan nutrien dari kuning telur (Dunham, 2004). Promoter Promoter berperan penting dalam pembuatan ikan transgenik. Promoter merupakan sekuen DNA yang terletak di bagian hulu (upstream, terminal 5) dari lokasi dimulainya transkripsi (Hackett 1993) yang berperan dalam mengatur letak, waktu dan tingkat ekspresi gen yang akan muncul (Beaumont & Hoare 2003). Daerah promoter adalah cis-acting; mereka mempengaruhi transkripsi dalam segmen DNA yang sama dimana mereka berada. Sekuen ini dikenali oleh RNA polimerase yang kemudian menempel dan mengendalikan proses
6
transkripsi (Hackett 1993; Glick & Pasternak 2003) dan promoter inilah yang menjadi kekuatan gen untuk mengekspresikan ciri-cirinya dan juga potensial dalam mempengaruhi gen lain dalam suatu organisme (Anderson 2004). Gen rekombinan (transgen atau gen fusi) perlu untuk dipadukan pada sekuen promoter, yang mengatur atau mengekspresikan DNA rekombinan. Jika gen diintroduksi tanpa adanya suatu promoter, maka gen tersebut sangat kecil kemungkinannya dapat terekspresi di dalam genom inang. Hal ini karena tidak ada yang mengontrol ekspresi gen tersebut. Mekanisme inilah yang sebenarnya diterjemahkan oleh beberapa peneliti untuk mendisain konstruksi gen dengan melibatkan promoter tiruan. Penggunaan promoter tiruan pada kenyataanya sesuai dan mengikuti mekanisme regulasi alami, berupa penghambatan dan aktivasi ekspresi (Dunham 2004). Menurut Liu et al. (1990), Gong et al. (1991) dan Chan & Devlin (1993), promoter yang umumnya dikaji pada awal pengembangan ikan transgenik berasal dari virus dan mamalia. Namun kedekatan secara biologis dan keamanan pangan, menjadi alasan yang menyebabkan bahwa promoter yang dikembangkan untuk ikan juga berasal dari ikan. Gen dan promoter asal ikan yang terbukti aktif dan digunakan pada awal pengembangan ikan transgenik antara lain antifreeze dari ikan flounder, β-aktin dari ikan mas, MethallothioneineB and histone H3 dari ikan salmon. Secara umum, promoter dari beberapa eukariotik dapat berfungsi dalam sel ikan. Namun jika berasal dari sumber yang non-homolog, ekspresi yang dihasilkan diduga akan menurun, demikian juga dengan efisiensi penggunaanya. Saat ini, tidak memungkinkan untuk menggeneralisasi aktivitas dari beragam promoter dan konstruksi gen pada spesies ikan yang berbeda, karena keterbatasan data hasil penelitian tentang hal ini (Dunham 2004). Berdasarkan sifat aktivitasnya, promoter dikenal sebagai constitutive, ubiquitous dan house keeping. Suatu promoter yang bersifat constitutive berarti promoter ini dapat aktif tanpa perlu rangsangan dari luar seperti suhu dan hormon (Volckaert et al. 1994). Promoter yang bersifat ubiquitous artinya dapat aktif pada semua jaringan otot. Sedangkan yang bersifat house keeping berarti bahwa promoter tersebut dapat aktif kapan saja bila diperlukan (Yazawa et al. 2005; Liu 1990). Lebih lanjut, Hackett (1993) juga mengatakan bahwa promoter ada yang bersifat aktif di mana-mana (ubiquitous) dan ada yang bersifat spesifik jaringan.
Promoter yang bersifat spesifik jaringan, aktivitasnya lebih lemah
7
dibandingkan yang bersifat ubiquitous. Aktivitas promoter yang bersifat ubiquitous dapat aktif pada setiap jaringan, sedangkan yang bersifat spesifik jaringan hanya aktif pada jaringan tertentu. Salah satu promoter yang bersifat constitutive, ubiquitous dan sekaligus house keeping adalah β-aktin (Yazawa et al. 2005; Liu 1990). Promoter medaka β-aktin misalnya, telah terbukti aktif pada ikan rainbow trout (Yoshizaki, 2001; Boonanuntanasarn et al., 2002), ikan nila (Kobayashi, 2006), ikan zebra (Alimuddin et al., 2005). Hal ini didasarkan pada sifat promoter β-aktin yaitu constitutive promoter (Volckaert et al., 1994) yang berarti bahwa promoter ini bisa aktif tanpa diberikan rangsangan dari luar seperti suhu dan hormon. Promoter β-aktin ikan medaka berhasil diisolasi oleh Takagi et al. (1994) dan aktif setelah diujicobakan pada ikan medaka dengan gen penanda lacZ. Gen medaka β-aktin mempunyai regulatory element berupa CArG motif pada intron pertama. Selain itu, medaka β-aktin juga mempunyai sekuen CCATGG, yang terletak pada exon kedua dan termasuk kodon inisiasi translasi yaitu ATG. Konstruksi β-aktin ikan medaka pOBA-109 yang dibuat oleh Takagi et al. (1994) mengandung 3,8 kb sekuen upstream, exon 1, intron 1, kodon inisiasi ATG pada exon 2 dan polyadenilation signal. Promoter β-aktin dari ikan nila telah berhasil diisolasi oleh Octavera (2008) dengan panjang 1,2 kbp. Pada sekuens yang diisolasi terdapat faktor transkripsi yang konserf pada promoter β-aktin, yaitu boks TATA, motif CCAAT dan motif CArG (CC(A/T)6GG). Elemen CCAAT yang terletak pada nt. 16 – 20 dihitung dari ujung terminal 5, CC(A/T)6GG atau disebut motif CArG pada nt. 46 55 dihitung dari ujung terminal 5 dan nt. 225 – 234 dihitung dari ujung terminal 3, dan boks TATA pada nt. 79 – 83. Berdasarkan kemiripan asam amino, gen βaktin ikan nila memiliki homologi dengan ikan mas sebesar 88,24% dan ikan medaka sebesar 94,11% (Octavera, 2008). Aktivitas promoter dikendalikan oleh suatu sekuen faktor transkripsi, yaitu elemen yang menentukan aktivitas promoter. Sekuen faktor transkripsi yang berperan dalam aktivitas promoter β-aktin adalah boks TATA, boks CCAAT, dan CC(A/T)6GG atau motif CArG (Quitschke et al., 1988; Takagi et al., 1994). Motif CArG berada pada 2 tempat, yakni di antara boks TATA dengan boks CCAAT dan di posisi intron 1. Motif CArG yang terdapat pada intron 1 berfungsi sebagai pemacu (enhancer) aktivitas transkripsi (Liu et al., 1990; Noh et al., 2003). Boks TATA merupakan elemen yang umum dijumpai pada sekuen promoter, sebagai
8
tempat melekatnya RNA polimerase pada saat transkripsi RNA akan berlangsung (Glick & Pasternak, 2003). Secara in vitro penghapusan boks TATA membuat promoter tidak aktif dan pada in vivo aktivitasnya menurun. Selanjutnya dikatakan bahwa aktivitas promoter β-aktin tergantung pada keberadaan elemen CCAAT.
Elemen ini penting untuk terjadinya transkripsi
pada tingkat yang tinggi dari promoter β-aktin (Quitschket et al., 1989). Beberapa promoter yang spesifik jaringan, telah dicobakan pada ikan zebra (Gong et al., 2003), yakni epidermis - keratin8 (krt8)-, otot - myosin light polypeptide 2 (mylz2) dan eksokrin pankreas - elastase A (elaA)-. Ikan zebra – dua warna- telah dikembangkan dengan mengintroduksi promoter keratin 8–GFP dan myosin light polypeptide–pigmen merah berpendar (red fluorescent protein, rfp) (Gong et al., 2003).
Dalam aplikasi lainnya, penggunaan promoter juga
diterapkan untuk mengatahui adanya ekspresi yang spesifik fase perkembangan suatu jenis ikan. Heat shock protein (hsp70) yang mengkodekan enzim yang berperan penting dalam metabolisme protein, dicobakan pada ikan mujair (Oreochromis mossambicus). Hasilnya menunjukkan adanya peningkatkan laju transkripsi mRNA secara dramatis (Molina et al., 2000). Promoter keratin dalam penelitian ini diisolasi dari ikan flounder Jepang, Paralichthys olivaceus dengan panjang fragmen 1288 pasang basa. Promoter ini diketahui memiliki aktivitas hampir di seluruh jaringan, walaupun aktivitasnya pada ikan zebra terkuat pada jaringan epitel dan hati (Yazawa et al., 2005). Yazawa et al. (2005) menjelaskan bahwa beberapa faktor transkripsi pada jaringan epitel embrio ikan zebra dapat berikatan dengan baik sehingga aktivitas promoter ini dapat meningkat. Promoter heat shock diisolasi dari ikan rainbow trout (Kawamura dan Yoshizaki, belum dipublikasikan) dan diketahui termasuk ke dalam golongan heat shock protein.
Promoter heat shock memiliki panjang fragmen 2759 pasang
basa. Jenis promoter lainnya yang termasuk ke dalam golongan heat shock protein antara lain adalah promoter hsp27. Promoter hsp27 merupakan jenis promoter yang bersifat dapat diinduksi (inducible) yaitu memerlukan faktor pemicu.
Promoter hsp27 memiliki aktivitas yang tinggi pada sel otot bahkan
dapat aktif di seluruh jaringan jika dipicu dengan tekanan suhu (Wu et al., 2008). Lebih lanjut dijelaskan oleh Wu et al. (2008) bahwa terdapat pengaruh waktu pemberian suhu terhadap munculnya ekspresi gen Green Fluorescent Protein. Semakin akhir stadia perkembangan embrio yang diberi induksi suhu, semakin
9
lama waktu yang dibutuhkan (lag time) untuk menginisiasi ekspresi gen Green Fluorescent Protein. Aktivitas seperti itu diduga juga dimiliki oleh promoter heat shock ikan rainbow trout. Protein heat shock dapat ditemukan di seluruh makhluk hidup untuk merespons adanya perubahan suhu dan menghindari kerusakan sel akibat panas.
Pada kondisi normal, heat shock ditemukan dalam konsentrasi yang
rendah.
Konsentrasi tinggi diperoleh ketika terjadi perubahan suhu secara
signifikan (Fang, 2003). Toyohara et al. (2005) juga menyatakan bahwa heat shock berperan sebagai respons terhadap perubahan kondisi suhu lingkungan. Mengingat bahwa promoter sangat berpengaruh terhadap ekspresi gen target, maka pemilihan dan penggunaan promoter yang tepat, perlu dilakukan. Beberapa promoter yang potensial untuk digunakan dalam transgenesis pada ikan nila adalah heat shock (HSC), Japanese flounder keratin (JFK), medaka βaktin (mBA) dan tilapia β-aktin (tiBA). HSC, JFK dan mBA merupakan promoter yang sudah dicobakan, masing-masing pada ikan rainbow trout, zebra, (nila dan zebra) dan zebra (Hwang et al. 2003). Gen Green Fluorescent Protein (GFP) Suatu
promoter
dapat
diketahui
efektivitasnya
dengan
cara
menyambungkan promoter tersebut dengan gen penyandi. Level ekspresi inilah yang akan memberikan informasi efektivitas suatu promoter. Menurut Iyanger et al. (1996), gen yang digunakan untuk tujuan ini adalah chloramphenicol acetyl transferase (CAT), neomycin phosphotransferase (NEO), β-galatosidase (lacZ), luciferase, green fluorescent protein (GFP), tyrosinase, melanin concentrating hormone dan red fluorescent protein (rfp). GFP telah umum digunakan untuk kajian tentang promoter dan ekspresi gen target.
Yoshizaki et al. (2000) telah mengklon dan mengkarakterisasi
promoter vasa-like gene dari rainbow trout dan kemudian disambungkan dengan gen GFP.
Ekspresi gen GFP pertama kali diamati pada fase mid-blastula,
namun tidak ditemukan ekspresi spesifik sel pada saat itu. Ekspresinya ditemukan sebesar 30% saat fase bintik mata dan meningkat menjadi 70% saat menetas. Pada saat itu, ekspresi GFP sudah berada di genital ridge. Hal yang sama juga ditemukan oleh Kinoshita & Tanaka (2002) pada medaka menggunakan promoter vasa medaka dan GFP. Ekspresi GFP terdeteksi pada daerah usus ventrolateral saat fase blood-circulation. Setelah menetas, ekspresinya pindah ke sekitar gonad.
10
GFP merupakan gen yang mengkodekan protein dan memiliki sifat berpendar hijau. Aktivitas gen ini dapat divisualisasikan dengan menggunakan sinar ultra violet. Ekspresi gen ini tidak memerlukan substrat tambahan, memiliki kandungan protein yang berpendar dan ekspresinya dapat divisualisasikan dengan menggunakan cahaya ultra violet (Chalfie, 1994 dalam Iyanger et al., 1996).
Awalnya gen GFP diisolasi dari ubur-ubur (Aequorea victoria); dan
dengan terjadinya mutasi, maka saat ini telah banyak mutan GFP yang digunakan. Enhanced GFP (EGFP) misalnya, digunakan oleh Arai et al. (2001). EGFP memiliki daya berpendar yang lebih kuat dibandingkan dengan GFP. Ekspresi Gen GFP DNA asing yang diinjeksikan ke dalam sitoplasma akan mengalami replikasi dan dapat terekspresi seiring dengan perkembangan embrio. Namun kemudian, ekspresi tersebut perlahan menghilang pada fase larva. Pola seperti ini dikenal pula dengan istilah ekspresi sementara/transient expression (Houdebine & Chourrout, 1991 dalam Dunham, 2004). Hal ini juga terjadi pada penelitian beberapa ikan transgenik, seperti ikan kakap Sparatus auratus (Garcio-Pozo et al., 1998), ikan zebra (Higashijima et al., 1997; Meng et al., 1999), ikan medaka (Winkler et al., 1991; Hamada et al., 1998; Chou et al., 2001), dan ikan lele (Volckaert et al., 1994). Umumnya waktu awal ekspresi gen eksogenus terjadi pada fase mid blastula transition (MBT) dimana terjadi proses transkripsi yang mengakibatkan akumulasi protein pada sitoplasma telur sehingga gen dapat terekspresi (Iyengar et al., 1996). Waktu ekspresi juga berhubungan erat dengan keberadaan DNA eksogenus yang diinjeksikan. Peningkatan ekspresi gen yang terjadi merupakan akumulasi dari replikasi DNA yang diinjeksikan pada fase pembelahan awal, dan dari enzim produk transkripsi pada fase MBT. Setelah itu, terjadi penurunan ekspresi gen yang diakibatkan oleh degradasi DNA. Hal ini juga diungkapkan oleh Winkler et al. (1991) bahwa peningkatan ekspresi gen yang terjadi dikarenakan adanya replikasi DNA yang diinjeksikan di dalam embrio. Hal ini bergantung pada jumlah plasmid DNA yang diinjeksikan dan umumnya terjadi pada fase gastrula. Pada perkembangan embrio selanjutnya diduga sejumlah DNA asing mengalami degradasi sehingga terjadi penurunan jumlah DNA asing dan mengakibatkan penurunan tingkat ekspresinya. Ekspresi sementara ini dapat ditemukan di seluruh jaringan (ubiquitous) atau hanya di jaringan tertentu dan
11
umumnya masih bersifat mozaik pada ikan transgenik keturunan nol (F0, founder) (Volckaert et al., 1994; Iyengar et al., 1996; Dunham, 2004). Kejadian ini diduga karena adanya replikasi DNA asing yang tidak tersebar merata di dalam sel embrio (Iyengar et al., 1996). Pengamatan ekspresi GFP dilakukan dengan bantuan mikroskop yang khusus mengamati pendaran yang dihasilkan, seperti mikroskop fluorescent yang digunakan oleh Wu et al. (2008). Seok et al. (2007) mengamati ekspresi EGFP dengan mikroskop Olympus LX70 yang dilengkapi dengan filter NIBA2. Sedangkan Gong et al. (2002) mengamati ekspresi GFP dalam penelitiannya menggunakan mikroskop fluorescent Zeiss Axiovert 25 yang dilengkapi dengan filter biru.
12