TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Reproduksi Rusa Sambar Betina Rusa sambar termasuk dalam kategori hewan liar dengan ukuran tubuh yang paling besar dibanding dengan spesies rusa Indonesia yang lain seperti rusa timor (Cervus timorensis), rusa bawean (Axis kuhlii), muncak (Muntiacus muntjak). Rusa sambar merupakan rusa terbesar untuk daerah tropik dengan sebaran terbanyak di Indonesia terutama di pulau Sumatera dan Kalimantan (Whitehead, 1994).
Klasifikasi rusa Sambar berdasarkan tata nama ilmiah
menurut Eco India (2008) sebagai berikut, kingdom: animalia, pilum: chordata, class: mamalia, ordo: artiodactyla, sub ordo: ruminantia, famili: cervidae, sub famili: cervinae, genus: cervus, spesies: C. unicolor, zoological name: Cervus unicolor. Famili cervidae merupakan kelompok kompleks terbagi atas 57 spesies dan hampir 200 sub spesies. Rusa sambar (sambur, sambhur, Tamil: Kadaththi man) adalah nama umum untuk beberapa rusa Asia. Warna bulu rusa sambar jantan umumnya coklat dan variasinya agak kehitaman (gelap), kasar dan tidak terlalu rapat. Warna coklat semakin gelap pada rusa yang sudah tua. Perubahan warna bulu dari coklat cerah menjadi lebih gelap, khususnya pada yang jantan dominan, sering terlihat bersamaan dengan masuknya pejantan ke musim kawin (Semiadi, 2004). Ekor rusa sambar agak pendek dan tertutup bulu yang cukup panjang. Karakteristik rusa jantan mempunyai tinggi gumba mencapai 160 cm, tinggi pundak mencapai 102 – 160 cm, dengan berat badan antara 136 – 320 kg bahkan ada yang mencapai 546 kg (Nugent et al., 2001). Ada kecenderungan sub spesies rusa sambar yang berasal dari India dan Sri Lanka merupakan yang terbesar dan tertinggi (Awal et al., 1992, Lewis et al., 1990). Tinggi rusa betina mencapai 115 cm dengan berat badan 135 – 225 kg, tergantung pada sub spesies. Berat rusa sambar betina yang dipelihara di Australia dapat mencapai berat badan 228 kg (Anderson, 1984). Rusa sambar berpotensi untuk dikembangkan karena tidak saja sebagai penghasil daging yang berkualitas (venison), tetapi juga beberapa produk untuk pengobatan tradisional Cina. Produk bahan obat tradisionil Cina yang telah diproduksi dari hasil tambahan peternakan rusa di Selandia Baru yaitu: royal deer
Universitas Sumatera Utara
velvet liqueur, dried deer antler velvet, deer horn and ginseng capsules, versatile venison jerlly, deer blood powder capsules, deer tails, dried pizzle and sinew (Bellaney, 1993). Produk peternakan rusa tersebut dihasilkan dari negara Selandia Baru diekspor ke Cina, Hongkong, USA, Taiwan, Jepang dan Australia. Nilai jual yang tinggi membuat produk rusa dapat diandalkan sebagai sumber devisa negara. Peminat produk rusa mempunyai segmen pasar tertentu dan hal ini membuka peluang untuk menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk rusa. Bila ditinjau dari segi reproduksi, rusa termasuk satwa yang produktif, masa aktif reproduksi rusa dimulai dari umur 1,5 tahun – 12 tahun dan umur
maksimum
yang
dapat
dicapai
sekitar
15
–
20
tahun
(Garsetiasih dan Herlina, 2004). Rusa mampu beradaptasi pada lingkungan dengan iklim yang mempunyai empat musim (temperate) contoh di negara China (Li et al., 2001). Rusa yang hidup di daerah temperate, musim kawinnya sangat dipengaruhi oleh iklim contoh rusa white-tailed (Odocoileus virginianus). Bila rusa temperate dipindahkan ke daerah tropis maka setelah melewati masa adaptasi, maka untuk selanjutnya dapat kawin sepanjang tahun mengikuti siklus ranggah rusa jantan. Ketika memasuki musim kawin, rusa jantan akan berkompetisi dengan pejantan lain untuk menguasai kelompok betina yang dapat dikawininya. Sifat kompetisi ini akan membentuk suatu susunan kekuatan penguasaan yang disebut hierarki, pejantan yang dapat menguasai kelompok betina disebut pejantan dominan. Sedangkan sifat
rusa jantan mengumpulkan beberapa ekor betina
disebut pengumpulan harem (Semiadi dan Nugraha, 2004). Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada beberapa spesies rusa tropis yaitu rusa sambar (Schroder, 1976) dan rusa totol (Hadi, 1984), pada saat musim kawin akan menunjukkan tingkah laku antara lain: mengeluarkan suara yang khas, lebih agresif, berguling-guling dan berendam dalam lumpur. Rusa sambar betina memperlihatkan estrus ditandai dengan tingkah laku yang lebih jinak dan banyak berinteraksi dengan rusa jantan. Untuk mencapai kesuburan yang tinggi, perkawinan harus dilakukan saat rusa jantan berada pada fase ranggah keras, pada periode ini rusa jantan menghasilkan spermatozoa dengan kualitas yang tinggi (Handarini, 2006). Puncak
Universitas Sumatera Utara
musim kawin pada rusa sambar di habitat asli (di Indonesia) belum diketahui secara jelas namun pada rusa timor telah diketahui pada musim kemarau terjadi peningkatan aktivitas seluler di testes dan konsentrasi sperma (Handarini, 2006). Rusa sambar yang dipelihara di Australia mengalami puncak musim kawin pada bulan Mei sampai Juni dan September sampai November. Di New Zealand musim kawin terjadi pada bulan Mei atau awal Juni (Semiadi et al. 1994; Semiadi, 1995). Hasil penelitian Imelda (2004) memperlihatkan bahwa tingkah laku kawin rusa sambar muncul antara bulan Juni hingga Agustus. Angka kebuntingan tertinggi pada rusa betina dicapai saat pejantan menunjukkan
tingkah
laku
rutting
dan
berada
pada
tahap
keras.
Lincoln (1992) mengemukakan bahwa pada rusa merah perkawinan atau introduksi rusa jantan pada kelompok rusa betina dilakukan selama musim panas (bulan September sampai Februari), pada tahap ini ranggah velvet sudah mulai digantikan dengan ranggah keras. Pejantan sangat agresif untuk memperebutkan rusa betina dan perhatian rusa jantan secara khusus diberikan pada rusa betina yang sedang estrus. Mayoritas kebuntingan rusa betina di Scotlandia terjadi pada bulan Oktober dan kelahiran pada bulan Mei tahun berikutnya. Maka dapat dikatakan bahwa pola reproduksi berkorelasi dengan tahap pertumbuhan ranggah. Berbagai kemungkinan penyebab rendahnya produktivitas rusa sambar, antara lain: pertama, rusa sambar betina bersifat non seasonal polioestrus artinya estrus dapat terjadi sepanjang tahun dan bila tidak bunting akan menunjukkan estrus kembali pada siklus berikutnya, sehingga dapat melahirkan sepanjang tahun (Semiadi, 2001). Menurut English (1992), bila rusa betina melahirkan pada musim dimana ketersediaan pakan terbatas, maka induk mempunyai beban yang sangat berat yaitu berkurangnya produksi air susu, pengembalian kondisi tubuh setelah melahirkan lebih lama dan lambat kembali estrus yang menyebabkan postpartum anestrus yang panjang. Pertumbuhan anak yang dilahirkan lambat dan berdampak pada peningkatan angka kematian anak (mortalitas) karena air susu tidak mencukupi kebutuhan anak
(Nelson dan Wolf, 1987; English dan
Mulley, 1992). Penyebab rendahnya reproduktivitas rusa yang kedua adalah karena rusa jantan mempunyai masa aktif reproduksi, yaitu pada saat ranggah luruh dan atau ranggah sedang dalam masa pertumbuhan, produksi spermatozoa
Universitas Sumatera Utara
mencapai titik terendah dan dalam kondisi infertil (Haigh and Hudson, 1993; Dradjat, 2000; 2001; 2002; Handarini et al., 2004; 2005). Handarini (2006) melaporkan bahwa pada tahap ranggah velvet abnormalitas sperma pada rusa timor secara individu mencapai 96%.
Masa Kebuntingan Rusa Sambar Betina Menurut Frandson (1992), menyatakan bahwa kebuntingan berarti suatu keadaan dimana embrio sedang berkembang didalam uterus seekor hewan betina. Secara visual, periode kebuntingan pada umumnya dihitung mulai dari perkawinan yang terakhir sampai terjadinya kelahiran anak secara normal. Satu periode kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi sampai terjadinya kelahiran normal (Partodihardjo, 1980). Peleburan spermatozoa dengan ovum mengawali reaksi kimia dan fisika yang majemuk, bermula dari sebuah sel tunggal yang mengalami peristiwa pembelahan diri yang berantai dan terus menerus
selama
hidup
individu
tersebut.
Setelah
pembuahan,
yang
mengembalikan jumlah kromosom yang sempurna, pembelahan sel selanjutnya bersifat mitosis sehingga anak-anak sel hasil pembelahannya mempunyai kromosom yang sama dengan induk selnya. Pertumbuhan makhluk baru terbentuk sebagai hasil pembuahan ovum oleh spermatozoa dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: periode ovum, periode embrio dan periode fetus. Periode ovum dimulai dari terjadinya fertilisasi sampai terjadinya implantasi, sedang periode embrional dimulai dari implantasi sampai saat dimulainya pembentukan alat-alat tubuh bagian dalam. Periode ini disambung oleh periode fetus. Lamanya periode kebuntingan untuk tiap spesies berbeda-beda disebabkan oleh faktor genetik. Hewan yang tidak dalam masa estrus akan menolak untuk kawin. Hewan yang tidak bunting, periode estrus dimulai sejak dari permulaan estrus sampai ke permulaan periode berikutnya (Akoso, 1996). Proses awal dari kebuntingan adalah fertilisasi yakni pembuahan antara ovum dan spermatozoa, yang selanjutnya berlanjut hingga penyatuan inti sel diantara keduanya. Selama beberapa hari ovum yang telah dibuahi disebut sebagai zigot atau embrio yang hidup bebas di dalam oviduct (tuba fallopii) atau uterus induk. Pada saat embrio tersebut mencapai uterus, sel tunggal ini akan mengalami
Universitas Sumatera Utara
pembelahan sel selama beberapa kali tanpa pertambahan volume sitoplasma, proses pembelahan sel tanpa pertumbuhan ini disebut cleavage (Luqman, 1999). Gejala kebuntingan setelah pelaksanaan perkawinan, sangat penting diketahui. Rusa timor betina pada umur satu sampai dua tahun sudah dapat bereproduksi dengan lama bunting antara 7.5 bulan sampai 8.3 bulan. Bila ditangani secara intensif satu bulan setelah melahirkan rusa sudah dapat bunting lagi terutama bila dilakukan penyapihan dini pada anak yang dilahirkan. Setiap tahun rusa dapat menghasilkan anak, biasanya anak yang dilahirkan hanya satu ekor. Penangkaran rusa biasanya memiliki jumlah betina lebih banyak dibandingkan jumlah jantan karena satu ekor rusa jantan dapat mengawini beberapa betina. Rasio perkawinan rusa timor jantan dan betina 1:2 (Takandjandji, 1993) dan 1:4 menurut Garsetiasih dan Takandjandji (2007). Bainbridge dan Jabbour (1998), melaporkan bahwa angka kebuntingan hasil kawin alam pada rusa dapat mencapai 85 – 100%, bila dilakukan inseminasi buatan
angka
kebuntingan
yang
dihasilkan
hanya
mencapai
50-60%.
Toelihere et al (2005) tingkat keberhasilan kebuntingan dengan inseminasi buatan di penangkaran mencapai 60%. Lama kebuntingan pada rusa sangat bervariasi karena dapat terjadi embryonic diapause, yaitu embrio berada dalam uterus beberapa waktu berdiam dan tergantung hidupnya dari uterine milk sebelum terjadi implantasi pada endometrium (Bainbridge dan Jabbour, 1998). Lama kebuntingan pada rusa timor berkisar
antara 250 – 285 hari (Ariantiningsih, 2000), 217 – 277 hari
(Van Mourik, 1986), 253 hari (Woodford, 1991), 236 – 262 hari (Mylrea, 1991) dan menurut Toelihere (2005) 252 – 280 hari. Sedangkan menurut Semiadi (1995) lama kebuntingan pada rusa sambar yaitu 240 hari, axis axis 238 – 242 (Mylrea, 1991) dan pada rusa merah 231 hari (Clutton-Brock et al, 1982). Interval beranak atau selang beranak sekitar satu tahun dua bulan. Sistem Peternakan Rusa Sambar Habitat alamiah rusa terdiri atas beberapa tipe vegetasi seperti savana yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan hijauan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat), kawin dan menghindarkan diri dari
Universitas Sumatera Utara
predator. Habitat yang paling disukai oleh rusa terutama jenis Cervus timorensis adalah hutan sampai ketinggian 2.600 m di atas permukaan laut kecuali Cervus unicolor yang sebagian besar aktivitas hariannya dilakukan di daerah payau dan padang rumput (Garsetiasih dan Mariana, 2007). Daerah-daerah payau di Kalimantan dan Sumatera saat ini telah berkembang menjadi wilayah perkebunan kelapa sawit dan rusa sambar mampu bertahan dengan baik dengan habitat barunya (Semiadi, 2004). Kehidupan satwa dipenangkaran berbeda dengan habitat alaminya. Dari hasil-hasil pengamatan membuktikan bahwa rusa sambar mempunyai adaptasi yang tinggi dengan lingkungannya sehingga mudah untuk ditangkarkan. Rusa di penangkaran dicirikan dengan: adanya peningkatan nutrisi, bertambahnya persaingan intraspesifik untuk memperoleh makanan, berkurangnya pemangsaan oleh predator alami, berkurangnya penyakit dan parasit serta meningkatnya kontak dengan manusia (Grier dan Burk, 1992). Selain itu penangkaran juga dapat meningkatkan produktifitas dan reproduksi rusa sambar karena dengan penangkaran, maka pengukuran-pengukuran terhadap nilai satuan produksi dan reproduksi satwa yang didomestikasi dapat dilakukan. Salah satu strategi pengembangan
populasi
rusa
di
penangkaran
adalah
memahami
sifat
reproduksinya. Namun saat ini pengetahuan yang mendalam mengenai biologi reproduksi dari rusa tropik yang ditangkarkan pada habitat aslinya masih sangat terbatas. Pelestarian secara in situ dari keanekaragaman genetik ternak rusa pada kondisi agroekosistem setempat dapat dikembangkan melalui apa yang dikenal dengan on-farm conservation by management. Kendala yang mungkin akan dihadapi adalah peningkatan potensi tekanan silang dalam, penyakit, kontaminasi dari kelompok atau galur lain dan perubahan yang terjadi karena seleksi alam. Sistem ini secara tidak langsung banyak dilakukan di Indonesia, namun kurangnya penanganan manajemen zooteknis menjadi faktor kendala utama. Jika aplikasi teknologi dan manajemen agribisnis diterapkan di habitat rusa tersebut berkembang serta dikemas dalam ecoagriculture park maka pengembangan rusa yang bersinergi dengan pengembangan habitat akan memberikan prospek yang cukup menjanjikan. Pengembangan ternak rusa di Taman Safari Bogor adalah
Universitas Sumatera Utara
salah satu contoh pengembangan secara ex situ yang dipadukan dengan ecoagriculture park serta aplikasi teknologi yang sudah cukup baik. Kalaupun ada yang masih perlu dikembangkan adalah manajemen sistem produksi berkelanjutan terutama program pemuliaan atau reproduksi. Karena ada kemungkinan jika tidak dikelola secara baik maka frekuensi alelik (melalui migrasi atau aliran gen, mutasi, random genetik drift dan seleksi) akan mempengaruhi keragaman genetik. Pelestarian sumberdaya genetik ternak secara in situ dan ex situ seringkali gagal karena kurang perhatian dan keterlibatan masyarakat serta swasta dalam pengelolaan ternak dan lingkungan. Kebijakan pewilayahan ternak dan metode penangkaran seringkali tidak berjalan dan tidak berkembang karena kurangnya rekayasa sosial ekonomi masyarakat di lingkungan penangkaran. Pengaruh sosioekonomi
masyarakat
sangat
penting
sehingga
perlu
dilakukan
pengembangan manajemen partisipasi masyarakat sekitar penangkaran. Hormon Reproduksi Ternak Betina Siklus reproduksi merupakan suatu rangkaian kejadian biologis kelamin yang berlangsung secara sambung menyambung hingga terlahir generasi baru dari suatu mahluk hidup. Siklus reproduksi dapat dibagi menjadi beberapa tahapan seperti pubertas, estrus, musim kelamin atau saat yang tepat untuk inseminasi, kebuntingan dan kelahiran. Siklus reproduksi hewan ruminansia dapat dilihat dengan menentukan kandungan hormon progesteron dan estrogen, yaitu hormon steroid yang berperan sangat penting dalam menjaga kebuntingan (Senger, 1999). Pola reproduksi pada ternak merupakan faktor yang sangat penting dalam upaya meningkatkan produksi dan populasi ternak. Tingkat konsentrasi hormon progesteron pada hewan ruminansia dapat digunakan untuk mempelajari pola reproduksi pada individu hewan, apakah status hewan tersebut sedang dalam kondisi estrus normal, anestrus atau bunting. Tingkat konsentrasi hormon progesteron dapat juga membantu melihat keberhasilan dari inseminasi buatan (lB) ataupun kelainan reproduksi dari hewan (Wiryosuhanto, 1992). Menurut Scanlon dan Sanders (2003) bahwa hormon yang berperan dalam sistem reproduksi betina, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
GnRH (Gonadotropin-releasing hormone) Merupakan suatu neurohormon peptida yang disekresikan hipotalamus sebagai central nervus system dengan target organ kelenjar hipofisis anterior untuk mensekresikan FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone). Hormon GnRH terdiri atas 10 asam amino meskipun prekursornya terdiri atas 92 asam amino. Inaktivasi GnRH dilakukan dengan proteolisis. Pengaturan sekresi FSH dan LH dilakukan berdasar frekuensi sekresi GnRH sebagai umpan balik dari esterogen. Bila frekuensi sekresinya rendah maka akan mempengaruhi sekresi FSH dan bila frekuensinya tinggi maka akan memacu sekresi LH (memberikan feed back positif pada hormon LH). Follicle Stimulating Hormone (FSH) FSH memacu pertumbuhan folikel menjadi folikel matang (dewasa) yang disebut dengan folikel de Graff. Folikel de Graff melepaskan inhibin yang menghambat sekresi FSH (feed back negatif terhadap FSH). FSH merupakan hormon glukoprotein yang tiap monomernya terikat dengan gugus gula. Komponen gula mayoritas terdiri atas: frukosa, galaktosa, manosa, galaktosamin, glukosamin dan asam sialik. Komponen protein terdiri atas dua rantai yaitu rantai α yang terdiri atas 52 asam amino dan berperan sebagai protein struktural dan rantai β yang terdiri atas 118 asam amino yang merupakan sisi aktif dan berikatan dengan reseptor FSH. Esterogen Esterogen memacu perkembangan ciri kelamin sekunder, perkembangan endometrium uterus, meningkatkan kadar High-Density Lipoprotein (HDL) serta menurunkan kadar Low-Density Lipoprotein (LDL). Esterogen merupakan hormon steroid yang disintesis dari kolesterol. Sumber kolesterol utama didapat dari LDL dan asetyl Co-A. Sintesis esterogen dilakukan di folikel, korpus luteum dan plasenta. Pemacu sekresi dan produksi diinisiasi oleh FSH dan LH. Karena merupakan hormon steroid, esterogen mampu masuk ke dalam sel dan berikatan dengan reseptornya yang berada dalam sitoplasama. Struktur esterogen terdiri atas
Universitas Sumatera Utara
empat rantai cincin (A-D) dimana perbedaan gugus fungsional menentukan jenis esterogen. Esterogen paling umum antara lain: 1. Estriol (C18H24O3) ditandai dengan adanya 2 gugus hidroksil di cincin D dan disekresikan hanya selama kebuntingan di plasenta. 2. Estradiol (C18H24O2) merupakan jenis yang paling aktif dan paling umum ditemui saat pubertas hingga menopause (17β-estradiol). Ciri khusus struktur ditunjukan oleh adanya 1 gugus hidroksil di cincin D. Estradiol disintesis dari testosteron dengan enzim aromatase. Estradiol juga diproduksi dari estron sulfat (derivat estron) yang direaksikan dengan enzim reduktase 17β-hidroksisteroid. 3. Estrone disintesis dari androstenedione (derivat progesteron) yang dibantu enzim aromatase. Ciri khusus struktur adalah adanya 1 gugus keton pada cincin D.
Luteinizing hormone (LH) Fungsi utama LH adalah: memacu
ovulasi, proses perubahan folikel
menjadi korpus luteum dan menyiapkan endometrium untuk implantasi. Sekresi LH diatur oleh GnRH. Luteinizing hormone merupakan glikoprotein yang terdiri atas dua rantai dimana rantai α terdiri atas 92 asam amino sama seperti FSH dan rantai β yang terdiri atas 121 asam amino yang berfungsi sebagai sisi aktif yang berikatan dengan reseptor LH. Progesteron Hormon progesteron merupakan hormon steroid yang
disintesis dari
pregnenolone (derivat dari kolesterol). Progesteron merupakan prekursor esterogen dan androgen. Progesteron dihasilkan oleh korpus luteum induk, plasenta dan kelenjar adrenal. Fungsi hormon progesteron adalah untuk mempersiapkan uterus bila terjadi kebuntingan, menurunkan respon imunitas maternal yang dapat mengganggu kesehatan janin, menurunkan kontraksi otot uterus selama kebuntingan, menghambat proses laktasi selama kebuntingan.
Oxytocyn Hormon oksitoksin merupakan neurohormon peptida 9 asam amino (CysTyr-Ileu-Glu-Asp-Cys-Pro-Leu-Gly) yang dihubungkan secara siklik oleh
Universitas Sumatera Utara
jembatan disulfida. Oksitosin bertugas mempersiapkan kelahiran dan laktasi (memacu sekresi susu). Prolactine Fungsi hormon prolactin untuk menstimulasi kelenjar mammae dan produksi susu. Strukturnya berupa rantai tunggal polipeptida yang terdiri atas 199 asam amino. Molekul dipadatkan dan dimanfaatkan oleh tiga ikatan sulfida. Relaxin Hormon relaxin dihasilkan oleh corpus luteum, ovarium, plasenta dan korion. Hormon ini berfungsi untuk relaksasi tulang pubis, relaksasi servik dan relaksasi otot uterus untuk persiapan kelahiran. Struktur hormon relaksin berupa heterodimer dua rantai asam amino (masing masing sejumlah 24 dan 29 asam amino) yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Dua hormon steroid yang dihasilkan oleh ovarium yaitu hormon estrogen dan progesteron. Secara normal hormon estrogen dihasilkan oleh sel granulose dan sel teka dari folikel de Graaf di ovarium. Hormon ini mendorong munculnya gejala estrus secara klinis dapat ditandai dengan adanya warna kemerahan, bengkak dan hangat pada alat kelamin luar disertai keluarnya lendir yang kental dan jernih menggantung pada alat kelamin luar, induk tidak tenang dan bersifat homoseksual (diam bila dinaiki oleh betina lain) atau suka menaiki ternak betina lain yang sedang estrus (Hardjopranjoto, 1995). Proses pertumbuhan dan perkembangan folikel ovari sangat bergantung kepada kehadiran FSH dan LH, karena kedua hormon tesebut sangat essensial dalam sintesa estrogen sedangkan bila LH secara tunggal tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan folikel Level hormon reproduksi bersifat fluktuatif sesuai dengan pola reguler dan tetap, pola tersebut merupakan hasil interaksi dari sejumlah organ dengan hormon (Bindon dan Piper, 1982). Selama kebuntingan, pertumbuhan dan perkembangan uterus dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi hormon progesteron dan estradiol, selanjutnya kehadiran hormon-hormon tersebut berperan merangsang pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu guna mempersiapkan sumber makanan (produksi susu) bagi anak yang akan dilahirkan (Manalu, dan Sumaryadi, 1995a). Sumber
Universitas Sumatera Utara
utama penghasil hormon yang berkaitan dengan reproduksi seperti estrogren dan progesteron berasal dari folikel. Hewan-hewan betina sejak lahir ovariumnya dilengkapi oleh ratusan ribu folikel, namun selama hidupnya hanya sebagian kecil saja yang berhasil diovulasikan. Hormon yang Berperan selama Masa Kebuntingan Hormon Estrogen Estradiol merupakan estrogen primer yang dihasilkan oleh ovarium. Sebagaimana androgen, estrogen beredar didalam sistem sirkulasi darah melalui pengikatannya dengan protein. Secara kimiawi hormon estrogen terdiri atas 18 atom karbon dengan inti steroid cyclopentano perhydro phenanthrene (gonane dengan 17 karbon atom) sedang atom karbon yang ke 18 tertaut pada karbon nomor 13 dari inti tersebut (Gambar 1). Berdasarkan jumlah atom karbonnya, maka hormon estrogen merupakan hormon steroid yang paling sedikit jumlah atom karbonnya. Hormon estrogen merupakan produk sintesa kimiawi paling akhir dari seluruh hormon steroid yaitu hormon progesteron dan testosteron. Secara kuantitatif hormon estrogen dalam cairan tubuh, sekitar 100 sampai 1000 kali lebih sedikit dibanding dengan hormon progesteron. Hormon FSH dan testosteron menstimulasi sel sertoli yang nantinya dapat mensistesis kolestrol sehingga menghasilkan hormon progesteron dan hormon estrogen. Hormon FSH menstimulasi sintesis protein dan membantu aktivitas sel granulosa dalam pertumbuhan folikel. Sel dalam ovarium yang menghasilkan hormon estrogen yaitu sel granulose, sementara itu korpus luteum dan plasenta juga menghasilkan hormon progesteron.
Universitas Sumatera Utara
Cholestrol OH C
Enzymatic Conversion
O
Pregnenolone CH3
OH
C
Enzymatic Conversion
O
Progesterone OH
O
Enzymatic Conversion
Testosterone O OH
Enzymatic Conversion
Estradiol OH Gambar 1. Rumus bangun hormon estradiol (Senger, 1999).
Hormon steroid berada dalam molekul nukleus yang menghasilkan cyclopentanoperhydrophenanthrene. Hormon steroid disintesis dari kolestrol menjadi beberapa bagian yang lebih sederhana dengan bantuan enzim. Langkah
Universitas Sumatera Utara
pertama kolestrol akan disintesis menjadi hormon pregnenolone kemudian disintesis lebih lanjut menjadi hormon progesterone (Gambar 2). Progesteron akan disintesis menjadi testosteron dan didapat dipecah lagi oleh enzim menjadi estrogen (Hafez dan Hafez, 2000). Secara alami hormon estrogen dihasilkan oleh folikel yang sedang berkembang, terutama di dalam sel sel granulosa folikel de Graff. Jika folikel de Graff mencapai ukuran maksimum sampai sesaat sebelum terjadi ovulasi, maka dalam waktu yang bersamaan jumlah sel sel teca interna mencapai maksimal. Estrogen merupakan hormon steroid yang berperan dalam merangsang perkembangan saluran kelamin betina, merangsang pelepasan Gn-RH dari hipotalamus dan LH dari hipofisis yang berperan dalam pematangan dan ovulasi folikel de Graff dan mensensitifkan sel sel granulosa untuk berespons terhadap gonadotropin dan merangsang proliferasi serta diferensiasi sel sel tersebut (Whittier et al., 1986). Estrogen dari teka interna dalam folikel pada ovarium, dapat mengumpan balik secara positif dan dapat pula secara negatif. Jika kadar estrogen rendah maka FSH disintesa dan bila estrogen tinggi kadarnya maka sintesa FSH terhenti, ini adalah umpan balik negatif. Sebaliknya dengan LH, estrogen merupakan perangsang positif. Semakin tinggi kadar estrogen, pelepasan LH makin dipercepat. Hal ini terjadi pada proses ovulasi. Folikel de Graff yang tumbuh menghasilkan estrogen. Semakin besar folikel semakin tinggi kadar estrogennya dan semakin tinggi pula kadar LH yang diperlukan untuk terjadinya ovulasi. Hormon estrogen mempunyai fungsi fisiologis yang paling luas dibandingkan semua hormon steroid yang ada dalam darah.
Estrogen
mempengaruhi susunan syaraf pusat untuk menginduksi tingkah laku estrus pada betina. Hormon estrogen mempunyai peran dalam proses ovulasi melalui umpan balik positif terhadap LH, mempengaruhi uterus untuk dapat meningkatkan endometrium perkembangan
dan sifat
miometrium
melalui
kelamin
sekunder,
hiperplasia
dan
merangsang
hipertrofi
sel,
pertumbuhan
dan
perkembangan kelenjar mammae, selanjutnya estrogen mempunyai efek negatif dan
positif
terhadap
hipotalamus
dan
pelepasan
FSH
dan
LH
(Jabour et al. 1993; McG Agro et al. 1994).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Biosintesis hormon estrogen (Murray et all, 1990).
Estrogen mempunyai banyak fungsi, pertama adalah merubah sifat sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis anterior. Estrogen berpengaruh pada otak yang ada hubungannya dengan tingkah laku estrus atau berahi. Estrogen juga mengontrol perubahan pada alat kelamin betina, produksi mucus, merubah aktifitas metabolisme uterus untuk menerima spermatozoa dan zigot. Estradiol yang diproduksi dari aktifitas gelombang folikel selama fase folikuler, menginisiasi luteolisis. Hal ini dimediasi dari pembentukan reseptor oksitosin didalam endometrium ternak yang sudah diinisiasi terlebih dahulu oleh hormon progesteron selama tujuh hari (Anonimous, 1996). Hormon estrogen dapat disekresikan oleh hewan betina dan hewan jantan. Pada hewan betina, hormon estrogen disintesa dan dibebaskan dalam sirkulasi darah oleh ovarium, plasenta dan adrenal korteks. Pada hewan jantan oleh testes dan adrenal korteks. Hormon estrogen tidak ditimbun dalam kelenjar endokrin,
Universitas Sumatera Utara
tetapi sekresinya terus berlangsung secara berkesinambungan namun efek biologik dalam jangka pendek. Estrogen merupakan hormon steroid yang berperan dalam: 1) merangsang perkembangan saluran kelamin betina, 2) merangsang pelepasan Gn-RH dari hipotalamus dan LH dari hipofisis, yang berperan dalam pematangan dan ovulasi ovum dari
folikel de Graaf dan 3) mensensitifkan sel-sel granulosa untuk
memberikan respon terhadap gonadotropin dan merangsang proliferasi serta diferensiasi sel-sel granulosa. Konsentrasi estrogen di dalam daerah meningkat seiring pertumbuhan folikel dominan gelombang pertama dan ketiga dalam siklus estrus (Kaneko et al., 1995),
sedangkan pada gelombang kedua ditemukan
konsentrasi estrogen yang rendah. Rendahnya konsentrasi hormon estrogen pada gelombang folikel kedua disebabkan oleh tingginya konsentrasi progesterone pada pertengahan fase luteal sehingga sekresi LH sebagai pemicu estrogen melalui kerjanya terhadap pematangan folikel terhambat, dengan demikian lonjakan sekresi LH sebagai umpan balik positif dari estrogen tersebut tidak terjadi. Alat kelamin betina tanpa ditunjang oleh adanya estrogen dalam tubuh akan terhenti aktifitasnya dan mengalami degenerasi. Sifat sifat mothering ability (sifat keindukan) ditandai dengan kemampuan induk memelihara anak, pertumbuhan kelenjar susu (terutama saluran saluran kelenjar susu). Pada akhir masa kebuntingan diperlukan hormon estrogen untuk mempertinggi sensitivitas urat daging uterus (miometrium) terhadap rangsangan hormon oxytocin. Tanpa estrogen uterus tidak peka terhadap hormon oxytocin dan akibatnya tak ada kontraksi uterus. Tanpa kontraksi dinding uterus, tidak terjadi kelahiran spontan. Pengaruh hormon estrogen pada uterus dapat dilihat melalui pertambahan beratnya jaringan. Pertambahan berat ini disebabkan oleh adanya pertumbuhan jaringan endometrium uterus. Hormon estrogen juga diperlukan untuk proses implantasi, disamping hormon progesteron. Pertumbuhan kelenjar endometrium tidak tumbuh tanpa inisisasi hormon estrogen.
Hormon
estrogen
yang
dihasilkan oleh plasenta ternak betina bunting pada akhir masa kebuntingan akan menginisiasi sekresi hormon relaxin. Serviks dan ligamen pelvis (tulang panggul) meningkat kepekaannya terhadap hormon relaxin bila diawali peningkatan konsentrasi hormon estrogen.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa spesies mamalia, fimbriae sangat aktif bergerak menyapu ovarium pada saat menjelang ovulasi. Aktivitas ini berlangsung dibawah pengaruh hormon estrogen. Gerakan ini disebabkan oleh adanya struktur kontraktil yang terdapat dalam fimbriae yang mengandung banyak pembuluh darah dan serabut urat daging. Adanya pengaruh hormon estrogen pada saat estrus, struktur kontraktil banyak dialiri darah dan terjadi proses peregangan dan ketegangan yang terjadi secara simultan. Tuba fallopi mempunyai unsur kontraktil yang sama seperti uterus, tetapi ritme kontraksinya sangat berlainan dengan kontraksi uterus, meskipun keduanya bekerja dibawah pengaruh estrogen, uterus pada umumnya berkontraksi secara peristaltik, sedangkan tuba fallopi disamping peristaltik diselingi oleh kontraksi antiperistaltik. Produksi estrogen pada saat estrus mencapai puncaknya dan efek biologiknya pun terlihat maksimal, ditandai oleh terlihatnya tingkah laku hewan betina estrus. Banyak pendapat yang cenderung mengatakan bahwa tingkah laku estrus tersebut disebabkan oleh rangsangan estrogen pada syaraf pusat. Hal ini ditunjang oleh percobaan yang membuktikan bahwa pemberian estrogen dosis rendah melalui ventrikel otak menyebabkan timbulnya estrus. Konsentrasi hormon estrogen di dalam darah meningkat saat pertumbuhan folikel
dominan
gelombang
pertama
dan
ketiga
dalam
siklus
estrus
(Kaneko et al., 1991), sedangkan pada gelombang kedua ditemukan konsentrasi estrogen yang rendah. Rendahnya konsentrasi hormon ini pada gelombang folikel kedua disebabkan oleh tingginya konsentrasi progesteron pada pertengahan fase luteal sehingga sekresi LH sebagai pemicu estrogen melalui kerjanya terhadap pematangan folikel terhambat. Dengan demikian lonjakan sekresi LH sebagai umpan balik positif dari estrogen tersebut jarang terjadi. Penggunaan hormon estrogen secara eksogen sering ditujukan untuk merangsang sekresi LH. Selain itu induksi hormon estrogen pada saat CL sedang aktif dapat memicu reseptor oksitosin, sehingga terjadi peningkatan sekresi konsentrasi oksitosin yang dapat memberi umpan balik secara positif terhadap sekresi prostaglandin F 2 α dari uterus, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya luteolisis. Tetapi induksi hormon estrogen eksogen yang diimplan bersamaan dengan hormon progesteron dapat berfungsi untuk memicu peningkatan sekresi
Universitas Sumatera Utara
LH sehingga menyebabkan ovulasi prematur atau mempercepat pematangan folikel. Folikel yang matang secara dini akan mengalami atresi. Hal ini merupakan alternatif yang tepat untuk menghilangkan folikel dominan pada saat implan progesteron, yang secara nyata telah terbukti sebagai penyebab rendahnya fertilitas ternak (Vargas et al., 1994) Estrogen yang beredar dalam darah sangat rendah kadarnya. Uji biologik tidak mampu menjangkau kerendahan itu. Hanya jika kadar estrogen telah mencapai bilangan mikrogram per ml uji biologik yang didasarkan atas perubahan yang terjadi pada uterus atau epitel vagina rodensia (tikus, mencit, marmot) mampu memberi hasil positif. Uji estrogen mengunakan bahan kimia biasanya digunakan untuk menentukan kebuntingan pada babi. Metode ini disebut Kuboni test, akan tetapi metode ini tidak sensitif dan untuk keperluan praktis dianggap tidak efisien. Cara kimia yang lain adalah dengan cara pemisahan melalui ekstraksi dan kromatografi. Metoda kromatografi cukup sederhana, sensitif dan dapat menentukan kadar hormon secara kuantitatif atau semi kuantitatif. Kelemahan metoda ini adalah tidak dapat dipakai untuk keperluan praktis dan pada umumnya hanya dipakai untuk keperluan riset. Uji hormon estrogen yang sering digunakan dan mempunyai kepekaan tinggi adalah penggunaan unsur radioaktif. Metoda ini disebut radioimmunoassay (RIA). Kekurangan metoda ini adalah karena hormon estrogen tidak dapat menimbulkan antibodi, sehingga perlu diikatkan lebih dahulu dengan protein dalam bentuk albumin serum sapi (Bovinae Serum Albumin = BSA). Setelah hormon estrogen dikaitkan pada kelinci untuk memperoleh antibodi. Antibodi ini sudah dibuktikan kepekaannya, sanggup member hasil positif pada kadar estrogen serendah bilangan picogram (1/1.000.000.000 gram). Uji estrogen yang masih terus disempurnakan adalah radioreceptorassay (RRA). Metode ini sebagai ganti antibodi digunakan reseptor dari estrogen. Teori dibalik metode ini adalah hormon dan reseptornya akan bereaksi secara lebih spesifik. Hormon yang tidak utuh tidak akan diperhatikan oleh reseptornya. Lain halnya dengan RIA dimana fragmen dari hormon dapat pula menyebabkan hasil positif. Kesulitan dari metode RRA adalah sulitnya mengasingkan dan memurnikan unsur reseptornya (Partodihardjo, 1980).
Universitas Sumatera Utara
Pengukuran hormon progesteron pada hewan dapat mengunakan sampel susu ataupun serum. Berbagai macam metode dapat digunakan untuk menentukan hormon progesteron antara lain teknik Radioimmonoassay (RIA). Teknik RIA merupakan metode deteksi yang paling sensitif berdasarkan interaksi antigen antibodi. Hormon (antigen) yang diberi label radio aktif dapat digunakan untuk medeteksi hormon dalam sampel, isotop yang digunakan untuk teknik RIA adalah I125 [3]. Deteksi progesteron bertujuan untuk mengetahui pola dari konsentrasi progesteron pada sapi,yang telah di IB sehingga dapat membantu peternak untuk melihat keberhasilan IB dengan cepat (Anonimous, 1989). Menurut hasil penelitian Semiadi et al (2001) bahwa pada rusa bawean bunting kosentrasi terendah hormon progesteron yang terdeteksi adalah 0,235 ng/ml dan yang tertinggi 3,359 ng/ml. Estrogen beredar dalam sirkulasi darah dan berkaitan dengan protein. Dari semua hormon steroid, estrogen mempunyai fungsi fisiologik yang paling luas. Estrogen dapat mempengaruhi susunan syaraf pusat untuk menginduksi tingkah laku estrus pada rusa betina. Kosentrasi estradiol pada rusa betina bunting rendah pada awal kebuntingan (5-10 pg/ml) dan meningkat menjelang kelahiran yaitu sekitar 35 ng/ml (Kelly et al, 1982). Hormon Progesteron Progesteron (4-Pregnene-3,20 dione) adalah steroid dengan 21 atom C. hormon tersebut dihasilkan oleh sel sel luteal dari korpus luteum, plasenta dan kelenjar adrenal. Sebagaimana 17β-estradiol, progesteron juga terbentuk dari inti siklopentanoperhidro-fenantren yang secara umum terdiri atas fenantren terhidrogenasi penuh dan cincin siklopentana yang beratom karbon lima (Revah dan Butler, 1996). Hormon progesteron adalah hormon yang dihasilkan oleh corpus luteum, tetapi juga didapati di adrenal, plasenta dan testis. Secara umum progesteron bekerja pada jaringan yang telah dipersiapkan oleh estrogen. Frandson (1992), sebagai hormon pertumbuhan yang berperan dalam proses pertumbuhan kelenjar mammary, bersama-sama dengan laktogen plasenta akan bertanggung jawab terhadap proses percabangan dan pembentukan sel-sel epithel kelenjar ambing
Universitas Sumatera Utara
(Manalu et al, 1998b) hormon progesteron pada ternak sapi dan domba disekresikan oleh plasenta selama stadium akhir kebuntingan, peran hormon progesteron secara fisiologis ada 3 kondisi yaitu selama proses siklus estrus, selama kebuntingan dan pasca lahir. Disebutkan oleh Hafez (1987), bahwa progesteron merupakan hormon kebuntingan karena akan menyebabkan penebalan endometrium dan perkembangan kelenjar uterin dalam persiapan terjadinya impalntasi ovum yang sudah dibuahi dan menjaga selama kebuntingan. Corpus luteum pada domba merupakan sumber progesteron utama sehingga kadar hormon progesteron sangat erat kaitannya dengan tingkat ovulasi. Semakin tinggi ovulasi, maka kadar hormon progesteron akan meningkat, terutama berkaitan dengan pemeliharaan kebuntingan (Mc Donald, 1980) Manalu et al, (1995), menyatakan bahwa progesteron dan estradiol adalah hormon yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing selama kebuntingan. Peningkatan hormon progesteron pada awal kebuntingan akan menyebabkan peningkatan fungsi uterus dalam menjaga proses kebuntingan dengan cara meningkatkan masa palasenta guna memproduksi susu uterus lebih banyak, sehingga mencukupi kebutuhan nutrient untuk pertumbuhan dan perkembangan foetus (Sudjatmogo, 1998). Secara alamiah hormon progesteron dihasilkan oleh corpus luteum (CL), plasenta dan kelenjar adrenal. Berdasarkan sifat kimiawinya hormon ini dapat mempersiapkan uterus untuk memelihara kebuntingan. Kasus kasus aborsi pada kebuntingan muda dibawah tiga bulan lebih banyak ditimbulkan oleh pengaruh kekurangan produksi hormon ini (Macmillan dan Peterson, 1993)
Universitas Sumatera Utara
Cholestrol OH C
O
Enzymatic Conversion
Pregnenolone
OH C
O
Enzymatic Conversion
Progesterone
O Gambar 3. Rumus bangun hormon progesteron (Senger, 1999).
Follicle Stimulating Hormone dan hormon testosteron menstimulasi sel sertoli yang nantinya dapat mensistesis kolestrol sehingga menghasilkan hormon progesteron dan hormon estrogen. Follicle Stimulating Hormone menstimulasi sistesis protein dan membantu aktivitas sel granulosa dalam pertumbuhan folikel. Sekresi hormon progesteron dapat menimbulkan umpan balik negatif terhadap sekresi hormon lain terutama GnRH yang menghambat produksi FSH dan lonjakan sekresi LH. Konsekuensi dari mekanisme ini adalah tidak terjadi perkembangan yang sempurna dari folikel primordial sampai folikel de Graff dan pematangan serta ovulasinya. Atas dasar mekanisme kerjanya, hormon ini kemudian digunakan sebagai salah satu preparat untuk memanipulasi aktivitas reproduksi pada ternak (Bo et al., 1995). Selama kosentrasi hormon progesteron
Universitas Sumatera Utara
masih tinggi di dalam sirkulasi darah, folikel dominan dari gelombang pertama dan kedua sulit mencapai folikel ovulatori. Sekresi hormon hormon yang dihasilkan oleh ovarium dan plasenta, yaitu estrogen dan progesteron peningkatannya selalu linier sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing serta bertambahnya umur kebuntingan (Convey, 1974). Peningkatan konsentrasi hormon progesteron pada awal kebuntingan dengan cara meningkatnya fungsi uterus dalam menjaga proses kebuntingan dengan cara meningkatkan masa plasenta. Progesteron dan laktogen plasenta akan bertanggung jawab terhadap proses percabangan dan pembentukan sel-sel epitel kelenjar ambing (Manalu et al, 1998a). Peningkatan masa uterus akan meningkatkan produksi hormon laktogen plasenta dan secara bersama-sama membantu perkembangan kelenjar ambing. Progesteron dengan dosis tinggi atau kadar progesteron setara dengan kadar pada waktu bunting, akan meniadakan kemungkinan terjadinya ovulasi. Mekanisme peniadaan ovulasi ini terjadi ditingkat hipotalamus, tidak diatas membran folikel. Progesteron menekan terjadinya kontraksi uterus terhadap pengaruh estrogen maupun oxytocin. Penyuntikan progesteron dengan dosis tinggi
pada
menjelang
partus
memperpanjang
masa
kebuntingan
(Partodiharjo, 1980). Elisa (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay (ELISA) dapat diartikan penentuan kadar imunosorben taut-enzim. ELISA merupakan teknik pengujian serologi yang didasarkan pada prinsip interaksi antara antibodi dan antigen. Pada awalnya, teknik ELISA hanya digunakan dalam bidang
imunologi untuk mendeteksi
keberadaan antigen maupun antibodi dalam suatu sampel seperti dalam pendeteksian antibodi IgM, IgG dan IgA pada saat terjadi infeksi (pada tubuh manusia khususnya). Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ELISA juga diaplikasikan dalam bidang patologi tumbuhan dan kedokteran. Teknik ELISA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall. Mereka menggunakan teknik ELISA ini dalam bidang
Universitas Sumatera Utara
imunologi (ELISA konvensional) untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai pemberi signal (Anonimous, 2011). Secara umum, teknik ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu teknik ELISA kompetitif yang menggunakan konjugat antigen-enzim atau konjugat antibodi-enzim dan teknik ELISA nonkompetitif yang menggunakan dua antibodi (primer dan skunder). Pada teknik ELISA nonkompetitif, antibodi kedua (sekunder) akan dikonjugasikan dengan enzim yang berfungsi sebagai sinyal. Teknik ELISA nonkompetitif ini seringkali disebut sebagai teknik ELISA sandwich. Dewasa ini, teknik ELISA telah berkembang menjadi berbagai macam jenis teknik. Perkembangan ini didasari pada tujuan dari dilakukannya uji dengan teknik ELISA tersebut sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal. Beberapa macam teknik ELISA yang relatif sering digunakan antara lain adalah 1. ELISA Direct
Teknik ELISA ini merupakan teknik ELISA yang paling sederhana. Teknik ini seringkali digunakan untuk mendeteksi dan mengukur konsentrasi antigen pada sampel. ELISA direct menggunakan suatu antibodi spesifik (monoklonal) untuk mendeteksi keberadaan antigen yang diinginkan pada sampel yang diuji. Secara prosedur, microtiter diisi dengan sampel yang mengandung antigen yang diinginkan, sehingga antigen tersebut dapat menempel pada bagian dindingdinding lubang microtiter, kemudian microtiter dibilas untuk membuang antigen yang tidak menempel pada dinding lubang microtiter. Lalu antibodi yang telah ditautkan dengan enzim signal dimasukkan ke dalam lubang lubang microtiter sehingga antibodi dapat berinteraksi dengan antigen yang diinginkan, yang dilanjutkan dengan membilas microtiter untuk membuang antibodi tertaut enzim signal yang tidak berinteraksi dengan antigen. Lalu, ke dalam lubang-lubang microtiter tersebut ditambahkan substrat yang dapat bereaksi dengan enzim signal, sehingga enzim yang tertaut dengan antibodi yang telah berinteraksi dengan antigen yang diinginkan akan bereaksi dengan substrat dan menimbulkan signal yang dapat dideteksi. Pendeteksian interaksi antara antibodi dengan antigen
Universitas Sumatera Utara
tersebut
selanjutnya
dapat
dihitung
dengan
menggunakan
kolorimetri,
chemiluminescent, atau fluorescent end-point. ELISA
direct
memiliki
beberapa
kelemahan,
antara
lain:
immunoreaktivitas antibodi kemungkinan akan berkurang akibat bertaut dengan enzim, tidak memiliki fleksibilitas dalam pemilihan tautan enzim (label) dari antibodi, amplifikasi signal rendah, larutan yang mengandung antigen yang diinginkan harus dimurnikan sebelum digunakan untuk uji ELISA direct. Kelebihan dari ELISA direct antara lain: metodologi yang cepat karena hanya menggunakan 1 jenis antibodi, kemungkinan terjadinya kegagalan dalam uji ELISA akibat reaksi silang dengan antibodi lain (antibodi sekunder) dapat diminimalisasi.
2. ELISA Indirect
Teknik ELISA indirect ini pada dasarnya juga merupakan teknik ELISA yang paling sederhana, hanya saja dalam teknik ELISA indirect yang dideteksi dan diukur konsentrasinya merupakan antibodi. ELISA indirect menggunakan suatu antigen spesifik (monoklonal) serta antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal untuk mendeteksi keberadaan antibodi yang diinginkan pada sampel yang diuji. Pada ELISA indirect, pertama microtiter diisi dengan larutan yang mengandung antigen spesifik, sehingga antigen spesifik tersebut dapat menempel pada bagian dinding lubang microtiter. Selanjutnya microtiter dibilas untuk membuang antigen yang tidak menempel pada dinding lubang microtiter. Kemudian larutan sampel yang mengandung antibodi yang diinginkan dimasukkan ke dalam lubang lubang microtiter, sehingga terjadi interaksi antara antigen spesifik dengan antibodi yang diinginkan. Selanjutnya, microtiter kembali dibilas untuk membuang antibodi yang tidak berinteraksi dengan antigen spesifik. Lalu, ke dalam lubang microtiter dimasukkan larutan yang berisi antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal, sehingga pada lubang microtiter tersebut terjadi interaksi antara antibodi yang diinginkan dengan antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal. Selanjutnya microtiter dibilas lagi untuk membuang antibodi sekunder tertaut enzim signal yang tidak berinteraksi dengan antibodi spesifik. Kemudian pada tahap akhir ELISA indirect, ditambahkan substrat yang
Universitas Sumatera Utara
dapat bereaksi dengan enzim signal, lalu enzim yang tertaut dengan antibodi sekunder spesifik yang telah berinteraksi dengan antibodi yang diinginkan akan bereaksi dengan substrat dan menimbulkan signal yang dapat dideteksi. ELISA indirect memiliki beberapa kelemahan, antara lain: membutuhkan waktu pengujian yang relatif lebih lama daripada ELISA direct karena pada ELISA indirect membutuhkan 2 kali waktu inkubasi yaitu pada saat terjadi interaksi antara antigen spesifik dengan antibodi yang diinginkan dan antara antibodi yang diinginkan dengan antibodi sekunder tertaut enzim signal, sedangkan pada ELISA direct hanya membutuhkan 1 kali waktu inkubasi yaitu pada saat terjadi interaksi antara antigen yang diinginkan dengan antibodi spesifik tertaut enzim signal. Sedangkan kelebihan dari ELISA indirect antara lain: terdapat berbagai macam variasi antibodi sekunder yang terjual secara komersial di pasar, immunoreaktivitas dari antibodi yang diinginkan (target) tidak terpengaruh oleh penautan enzim signal ke antibodi sekunder karena penautan dilakukan pada wadah berbeda, tingkat sensitivitas meningkat karena setiap antibodi yang diinginkan memiliki beberapa epitop yang bisa berinteraksi dengan antibodi sekunder.
3. ELISA Sandwich
Teknik ELISA jenis ini menggunakan antibodi primer spesifik untuk menangkap antigen yang diinginkan dan antibodi sekunder tertaut enzim signal untuk mendeteksi keberadaan antigen yang diinginkan. Pada dasarnya, prinsip kerja dari ELISA sandwich mirip dengan ELISA direct, hanya saja pada ELISA sandwich, larutan antigen yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi. Namun, karena antigen yang diinginkan tersebut harus dapat berinteraksi dengan antibodi primer spesifik dan antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal, maka teknik ELISA sandwich ini cenderung dikhususkan pada antigen memiliki minimal 2 sisi antigenik (sisi interaksi dengan antibodi) atau antigen yang bersifat multivalent seperti polisakarida atau protein. Pada ELISA sandwich, antibodi primer seringkali disebut sebagai antibodi penangkap, sedangkan antibodi sekunder seringkali disebut sebagai antibodi deteksi.
Universitas Sumatera Utara
Dalam aplikasinyaa, ELISA sandwich lebih banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan antigen multivalen yang kadarnya sangat rendah dalam suatu larutan dengan tingkat kontaminasi tinggi. Hal ini disebabkan ELISA sandwich memiliki tingkat sensitivitas tinggi terhadap antigen yang diinginkan akibat keharusan dari antigen tersebut untuk berinteraksi dengan kedua antibodi. Pada ELISA sandwich, pertama microtiter diisi dengan larutan yang mengandung antibodi penangkap, sehingga antibodi penangkap tersebut dapat menempel pada bagian dinding lubang microtiter. Selanjutnya microtiter dibilas untuk membuang antibodi penangkap yang tidak menempel pada dinding lubang microtiter. Kemudian larutan sampel yang mengandung antigen yang diinginkan dimasukkan ke dalam lubang lubang microtiter, sehingga terjadi interaksi antara antibodi penangkap dengan antigen yang diinginkan. Selanjutnya, microtiter kembali dibilas untuk membuang antigen yang tidak berinteraksi dengan antibodi penangkap. Lalu, kedalam lubang microtiter dimasukkan larutan yang berisi antibodi detektor, sehingga pada lubang microtiter tersebut terjadi interaksi antara antigen yang diinginkan dengan antibodi detektor. Selanjutnya microtiter dibilas lagi untuk membuang antibodi detektor yang tidak berinteraksi dengan antibodi spesifik. Kemudian pada tahap akhir ELISA indirect, ditambahkan substrat yang dapat bereaksi dengan enzim signal, lalu enzim yang tertaut pada antibodi detektor yang telah berinteraksi dengan antigen yang diinginkan akan bereaksi dengan substrat dan menimbulkan signal yang dapat dideteksi. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat sensitivitas dari hasil pengujian dalam ELISA sandwich, antara lain: banyak molekul antibodi penangkap yang berhasil menempel pada dinding lubang microtiter dan afinitas dari antibodi penangkap dan antibodi detektor terhadap antigen. Teknik ELISA sandwich ini merupakan pengembangan dari ELISA direct. Kelebihan teknik ELISA sandwich ini pada dasarnya berada pada tingkat spesitifitasnya yang relatif lebih tinggi karena antigen yang diinginkan harus dapat berinteraksi dengan 2 jenis antibodi, yaitu antibodi penangkap dan antibodi detektor. Namun demikian, teknik ELISA sandwich ini juga memiliki kelemahan, yaitu teknik ini hanya dapat diaplikasikan untuk mendeteksi antigen yang bersifat
Universitas Sumatera Utara
multivalent serta sulitnya mencari dua jenis antibodi yang dapat berinteraksi antigen yang sama pada sisi antigenik yang berbeda (epitopnya harus berbeda).
4.
ELISA Biotin Streptavidin
Pada perkembangan selanjutnya, teknik ELISA sandwich ini juga dikembangkan untuk mendeteksi antibodi dengan tingkat sensitivitas relatif lebih tinggi. Teknik ini dikenal sebagai teknik ELISA penangkap antibodi, dimana prinsip kerjanya sama dengan ELISA sandwich, hanya saja yang digunakan pada teknik ini adalah antigen penangkap dan antigen detektor (antigen bertaut enzim signal, bersifat optional apabila antibodi yang diinginkan tidak tertaut dengan enzim signal). Contoh dari aplikasi teknik ini adalah teknik ELISA untuk mendeteksi vitamin biotin yang tertaut dengan suatu antibodi avidin dengan mengubah antibodi avidin menjadi antibodi streptavidin, dimana satu molekul streptavidin dapat mengikat empat molekul biotin (pengembangan dari ELISA indirect), sehingga signal yang teramplifikasi menjadi semakin kuat akibat interaksi antara biotin dengan enzim yang menjadi semakin banyak.
5. ELISA Kompetitif
Prinsip dasar dari teknik ELISA kompetitif adalah dengan menambahkan suatu kompetitor ke dalam lubang microtiter. Teknik ELISA kompetitif ini dapat diaplikasikan untuk mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi. Pada pendeteksian antigen, pertama microtiter diisi antibodi spesifik yang dapat berinteraksi dengan antigen yang diinginkan maupun antigen spesifik tertaut enzim signal, sehingga antibodi spesifik tersebut dapat menempel pada bagian dinding-dinding lubang microtiter, kemudian microtiter dibilas untuk membuang antibodi spesifik yang tidak menempel pada dinding lubang microtiter. Lalu larutan yang mengandung antigen spesifik yang telah ditautkan dengan enzim signal dan larutan sampel yang mengandung antigen yang diinginkan dimasukkan ke dalam lubang-lubang microtiter sehingga terjadi kompetisi antara antigen spesifik tertaut enzim signal dengan antigen yang diinginkan untuk dapat berinteraksi dengan antibodi spesifik, yang dilanjutkan dengan membilas
Universitas Sumatera Utara
microtiter untuk membuang antigen spesifik tertaut enzim signal atau antigen yang tidak berinteraksi dengan antibodi spesifik. Lalu, kedalam lubang-lubang microtiter tersebut ditambahkan substrat yang dapat bereaksi dengan enzim signal yang tertaut pada antigen spesifik, sehingga enzim yang tertaut dengan antigen yang telah berinteraksi dengan antibodi spesifik akan bereaksi dengan substrat dan menimbulkan signal yang dapat dideteksi. Pada proses pendeteksian ini, pendeteksian positif ditandai oleh tidak adanya signal yang ditimbulkan, yang berarti bahwa antigen yang diinginkan telah menang berkompetisi dengan antigen spesifik tertaut enzim signal dan berinteraksi dengan antibodi spesifik. Sedangkan proses pendeteksian antibodi, langkah pertama microtiter diisi antigen spesifik yang dapat berinteraksi dengan antibodi yang diinginkan maupun antibodi spesifik tertaut enzim signal, sehingga antigen spesifik tersebut dapat menempel pada bagian dinding-dinding lubang microtiter, kemudian microtiter dibilas untuk membuang antigen spesifik yang tidak menempel pada dinding lubang microtiter. Lalu larutan yang mengandung antibodi spesifik yang telah ditautkan dengan enzim signal dan larutan sampel yang mengandung antibodi yang diinginkan dimasukkan ke dalam lubang-lubang microtiter, sehingga terjadi kompetisi antara antibodi spesifik tertaut enzim signal dengan antibodi yang diinginkan untuk dapat berinteraksi dengan antigen spesifik, yang dilanjutkan dengan membilas microtiter untuk membuang antibodi spesifik tertaut enzim signal atau antibodi yang tidak berinteraksi dengan antigen spesifik. Lalu, kedalam lubang-lubang microtiter tersebut ditambahkan substrat yang dapat bereaksi dengan enzim signal yang tertaut pada antibodi spesifik, sehingga enzim yang tertaut dengan antibodi yang telah berinteraksi dengan antigen spesifik akan bereaksi dengan substrat dan menimbulkan signal yang dapat dideteksi. Pada proses pendeteksian ini, pendeteksian positif juga ditandai oleh tidak adanya signal yang ditimbulkan, yang berarti bahwa antibodi yang diinginkan telah menang berkompetisi dengan antibodi spesifik tertaut enzim signal dan berinteraksi dengan antigen spesifik. Kelebihan dari teknik ELISA kompetitif ini adalah tidak diperlukannya purifikasi terhadap larutan sampel yang mengandung antibodi atau antigen yang
Universitas Sumatera Utara
diinginkan, tapi hasil yang diperoleh tetap memiliki tingkat sensitivitas tinggi akibat sifat spesifisitas dari antibodi dan antigen.
6. ELISA Multiplex
Teknik ELISA ini ditujukan untuk pengujian secara simultan. Teknik ELISA ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain teknik pengerjaan relatif sederhana, relatif ekonomis (karena jenis antibodi yang digunakan hanya satu saja, sehingga menghemat biaya untuk membeli banyak jenis antibodi) hasil memiliki tingkat sensitivitas yang cukup tinggi, dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen walaupun kadar antigen tersebut sangat rendah (hal ini disebabkan sifat interaksi antara antibodi dan antigen yang bersifat sangat spesifik), dapat digunakan dalam banyak macam pengujian. Kekurangan dari teknik ELISA antara lain jenis antibodi yang dapat digunakan pada uji dengan teknik ELISA ini hanya jenis antibodi monoklonal (antibodi yang hanya mengenali satu antigen), harga antibodi monoklonal relatif lebih mahal daripada antibodi poliklonal, sehingga pengujian teknik ELISA ini membutuhkan biaya yang relatif cukup mahal, pada beberapa macam teknik ELISA, dapat terjadi kesalahan pengujian akibat kontrol negatif yang menunjukkan respons positif yang disebabkan inefektivitas dari larutan blocking sehingga antibodi sekunder atau antigen asing dapat berinteraksi dengan antibodi bertaut enzim signal dan menimbulkan signal, reaksi antara enzim signal dan substrat berlangsung relatif cepat sehingga pembacaan harus dilakukan dengan cepat. Akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan memberikan larutan untuk menghentikan reaksi (Anonimous, 2011). ELISA
telah
terbukti
cocok
untuk
menggantikan
teknik
Radioimmunoassay (RIA) yang memiliki berbagai kelemahan. Pendekatan ELISA ini memiliki berbagai keunggulan dibandingkan RIA antara lain: tidak perlu menggunakan bahan radioaktif, label yang stabil sehingga dapat disimpan lebih lama, deteksi aktivitas enzim hanya memerlukan alat fotometri, sensitivitas merupakan fungsi penanda serta sering kali dapat menghindari tahap pemisahan (Entwistle dan Ridd, 1995). Flynn et al. (1981) menyatakan bahwa teknik ELISA dapat digunakan untuk menggantikan teknik RIA dalam analisis hormon insulin.
Universitas Sumatera Utara
Secara singkat dapat dikatakan bahwa teknologi ELISA yang digunakan untuk pengujian hormon dalam cairan tubuh adalah sistem competitive enzyme immunoassay yang analog dengan teknik RIA. Antigen yang berlabel dan antigen yang tidak berlabel saling bersaing untuk berikatan dengan permukaan pengikatan antibodi yang terdapat dalam jumlah terbatas. Saturasi antibodi terjadi secara simultan bila semua reaktan diinkubasikan bersama–sama. Contoh reaksi seperti ini adalah ELISA untuk mengukur progesteron, estradiol, dan kortisol. Pengukuran hormon kortisol dalam saliva menggunakan teknik ELISA dapat mengetahui tingkat stres yang dialami oleh organisme (Haussmann et al., 2007). Sistem ELISA berikutnya yang paling umum digunakan untuk mengukur kadar hormon adalah metode sandwich. Vaysse et al. (1998) menggunakan teknik ini untuk menganalisa hormon kelamin atau Sex Hormon Binding Globulin (SHGB). Teknologi ELISA semakin tersebar penerapannya dalam baik bidang riset maupun penerapan komersial. Ada dua masalah lama dalam manajemen reproduksi sapi yaitu masalah deteksi estrus dan diagnosis kebuntingan awal, keduanya dapat ditanggulangi dengan pengukuran kadar progesteron baik dalam darah maupun air susu. Pada awalnya penelitian pada bidang ini menggunakan teknik RIA, tetapi kebutuhan akan kecepatan penanganan sampel menyebabkan berkembangnya teknik ELISA. Kebanyakan penerapan teknik ELISA ini untuk mengukur kadar progesteron dalam air susu pada peternakan sapi perah sebagai petunjuk diagnosis kebuntingan awal (Entwistle dan Ridd, 1995). Keberhasilan uji progesteron dalam air susu tergantung pada pengambilan satu sampel yang tepat waktu yaitu antara 21 dan 24 hari setelah inseminasi. Banyak hasil penelitian telah menunjukkan bahwa satu sampel susu telah terbukti tepat 100 % untuk menguji hasil tes negatif (tidak bunting) dan 85 % untuk hasil tes positif (bunting). Penerapan dalam penelitian lainnya adalah dalam uji mortalitas embrio sapi dan penelitian endokrinologi siklus estrus dalam kebuntingan. Agar diperoleh gambaran yang baik dari suatu profil hormon reproduksi, setidaknya dibutuhkan sampel antara 50 kali hingga 250 kali dalam koleksi jangka panjang waktu antara 5 sampai 12 bulan tergantung dari besarnya angka siklus estrus (Cockrem et al, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Pola Kelahiran Rusa Sambar Pengelolaan induk menjelang melahirkan, saat melahirkan dan beberapa saat setelah anak dilahirkan merupakan salah satu periode singkat namun kritis bagi pencapaian produktivitas seekor induk. Diperlukan berbagai tindakan persiapan yang mendetail ataupun tindakan pada saat melahirkan maupun setelah dilahirkan terutama untuk mencegah kematian baik induk maupun anak yang dilahirkan. Sehubungan dengan itu, maka kemampuan menduga secara akurat saat melahirkan seekor induk akan sangat membantu keberhasilan manajemen melahirkan secara keseluruhan. Beberapa tanda yang menunjukan bahwa seekor induk akan melahirkan perlu dipahami. Beberapa hari sebelum melahirkan maka terlihat ambing menjadi penuh , mengeras dan berkilat, walaupun dapat terjadi bahwa seekor induk tidak menunjukan perubahan pada ambing secara nyata saat menjelang melahirkan. Vulva mulai membengkak dan terjadi relaksasi otot didaerah pinggul. Tanda akan melahirkan semakin jelas beberapa jam sebelum melahirkan seperti induk sering berbaring dan berdiri, gelisah didalam kandang, sering memalingkan kepala kebagian belakang tubuh, keluarnya cairan putih dari vulva, mengangkat ekor dan mengeluarkan suara. Gejala tersebut dapat berlangsung singkat dalam beberapa jam atau berlangsung selama 12-24 jam. Pada umumnya seekor induk tidak membutuhkan pertolongan pada saat melahirkan kecuali pada kasus tertentu, misalnya posisi anak yang tidak normal. Penanganan kesehatan juga perlu diperhatikan apabila cairan yang keluar dari vulva berubah dari berwarna putih menjadi kemerahan (Ginting, 2009). Tahapan berikutnya dalam proses melahirkan biasanya ditandai dengan keluarnya kantong air yang dapat tetap utuh ataupun pecah. Kentong air kedua dapat juga muncul dengan warna cairan yang lebih gelap. Setelah kantong air ini keluar dari vulva induk biasanya membaringkan diri, kemudian berdiri lalu berbaring kembali. Hal ini dapat terjadi beberapa kali sebelum melahirkan. Anak biasanya lahir kurang lebih 30 menit setelah kantung air keluar atau pecah. Induk yang segera akan melahirkan seperti terlihat adanya cairan putih bening yang keluar dari vulva (Partodihardjo, 1987). Proses kelahiran tidak selamanya berjalan normal, banyak terjadi kelainan kelahiran yang menyebabkan kesulitan
Universitas Sumatera Utara
melahirkan (distokia) akibat posisi anak yang tidak normal. Posisi kelahiran yang normal adalah posisi anterior (kepala dan kaki depan keluar lebih dahulu), posisi posterior (kaki belakang keluar lebih dahulu), dan kembar normal (kedua anak pada posisi anterior). Jika posisi anak menjelang kelahiran normal, setelah ketuban pecah anak akan keluar dalam waktu paling lama 45 menit. Apabila lewat 45 menit setelah ketuban pecah anak belum keluar, maka induk mengalami kesulitan melahirkan dan harus segera ditolong.Kesulitan tersebut biasanya disebabkan oleh posisi kelahiran yang tidak normal. Posisi anak menjelang kelahiran yang tidak normal diantaranya adalah salah satu kaki depan ke belakang, kepala melipat ke belakang, tubuh melingkar, tubuh terbalik (sungsang), dan kembar yang tidak normal (posisi kedua anak tidak beraturan bahkan bisa saling melingkar). Kelainan-kelainan tersebut jika tidak segera ditangani akan menyebabkan kematian anak bahkan kematian
induk
karena
kehabisan
tenaga
untuk
mengeluarkan
anak
(Ronohardjo, 1984) Plasenta atau tembuni adalah suatu organ dalam kandungan pada masa kehamilan. Pertumbuhan dan perkembangan plasenta penting bagi pertumbuhan dan perkembangan janin. Fungsi plasenta adalah pertukaran produk-produk metabolisme dan produk gas antara peredaran darah ibu dan janin, serta produksi hormon. Retensi plasenta merupakan suatu kegagalan pelepasan plasenta fetalis (vili kotiledon) dan plasenta induk (kripta karunkula) lebih lama dari 8 hingga 12 jam setelah melahirkan. Retensi plasenta dapat terjadi pada mamalia. Terdapat tiga tahapan melahirkan normal pada mamalia yaitu pelebaran leher rahim (serviks) selama 2-6 jam, pengeluaran fetus setengah sampai satu jam dan pengeluaran plasenta 4-5 jam. Secara normal plasenta pada hewan ternak akan keluar 6-8 jam sesudah melahirkan (Hafez dan Hafez, 2000).
Universitas Sumatera Utara