TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Ekonomi Pada pembangunan ekonomi keberhasilan pembangunan diukur dalam perspektif waktu (mempertimbangkan kepentingan antar generasi) yang dikenal dengan model pembangunan ekonomi berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, akhirnya dapat menjadi bumerang jika biaya harus dibayar mahal oleh generasi mendatang karena rusaknya lingkungan. Generasi mendatang juga memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti generasi sekarang (Adiningsih, 2002). Tujuan pembangunan ekonomi harus diupayakan dengan keberlanjutan. Pembangunan
menimbulkan
transformasi
progresif
pada
ekonomi
dan
masyarakat. Suatu jalur pembangunan yang berkelanjutan dalam pengertian fisik, secara teoritik dapat ditelusuri, akan tetapi keberlanjutan fisik tidak mungkin dicapai bila kebijaksanaan pembangunan memberikan perhatian pada hal-hal seperti berubahnya akses ke sumberdaya serta berubahnya distribusi biaya dan keuntungan Dalam definisi ekonomi, modal adalah “cadangan” atau persediaan dari barang nyata, yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan barang atau fungsi pemanfaatan dalam kurun waktu mendatang. Lebih lanjut, sumberdaya alam, yang merupakan cadangan barang dan jasa, serta memiliki kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa serta fungsi lain diklasifikasikan sebagai modal dalam faktor produksi. Sumberdaya buatan, atau biasa disebut kapital fisik, kapital alami (sumberdaya alam), serta kapital manusia bersama-sama berkontribusi kepada kesejahteraan umat manusia melalui dukungan terhadap produksi barang dan jasa dalam suatu proses ekonomi. Termasuk ke dalam kapital buatan manusia/kapital fisik seperti mesin, peralatan, bangunan, alat dan semua yang berkaitan dengan barang yang digunakan dalam proses produksi. Kapital alami, yang berarti sumberdaya alam, digunakan sebagai input materi dan energi ke dalam input produksi, berfungsi sebagai “sink” untuk menampung emisi limbah yang
13
dihasilkan oleh proses ekonomi, dan juga sebagai penyedia beragam jasa ekologis untuk mendukung dan memelihara proses produksi. Sebagai suatu contoh adalah daur ulang nutrisi, perlindungan terhadap daerah aliran sungai, dan pengaturan iklim. Kapital manusia, atau sumberdaya manusia mencakup pengetahuan, ketrampilan dan keahlian yang diperlukan untuk meningkatkan proses produksi serta untuk kegiatan riset dan pengembangan yang memicu inovasi teknologi. Namun demikian, masing-masing sumberdaya ini memberikan kontribusi langsung kepada kesejahteraan manusia, sehingga hubungan sediaan kapital ini dapat digambarkan pada Gambar 3.
PROSES EKONOMI
Kesejahteraan Manusia Estetika Pendukung Kehidupan
Produksi Barang dan Jasa Warisan Terbagun
Pengetahuan
Kapital Fisik (Kp)
Kapital Alami (Kn)
Kapital Manusia (Kh)
Gambar 3. Sediaan kapital total dan kesejahteraan manusia (Pearce and Barbier, 2000). Pada konteks pembangunan ekonomi berkelanjutan, tidak hanya melihat dari ukuran-ukuran tradisional yang selama ini digunakan, seperti tingginya pendapatan per kapita untuk mengukur kesejahteraan suatu bangsa atau masyarakat. Namun, kita perlu memasukkan dimensi lain seperli lingkungan hidup dan sosial dalam mengukur kualitas hidup suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Keberlanjutan ekonomi dari perspektif pembangunan memiliki dua hal utama yang keduanya mempunyai keterkaitan yang erat dengan keberlanjutan aspek lainnya (Djajadiningrat, 2001), yaitu : 1. Keberlanjutan ekonomi makro yang mempunyai tiga elemen utama : efisiensi ekonomi, kesejahteraan ekonomi yang berkesinambungan dan meningkatkan pemerataan dan distribusi kemakmuran.
14
2. Keberlanjutan ekonomi sektoral mempunyai dua eleman penting : (a) sumberdaya alam yang nilai ekonominya dapat dihitung harus diperlakukan sebagai kapital yang “tangable” dalam kerangka akunting ekonomi dan (b) koreksi terhadap harga barang dan jasa perlu diintroduksikan. Dalam konteks pembangunan ekonomi kita dihadapkan pada persoalan membangun ekonomi daerah yang komprehensif dan efisien. Pembangunan ekonomi juga meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang pesat, membawa tingkat kemakmuran masyarakat lebih tinggi dan menurunkan kemiskinan (Adiningsih, 2002). Namun kiranya perlu juga diperhatikan bahwa dalam bidang ekonomi, pemerintah mempunyai empat macam peran yaitu (Maschab, 2002) : 1) alokasi, 2) distribusi, 3) regulasi dan 4) stabilisasi. Apabila pemerintah daerah bisa menjalankan peranan ekonominya dengan baik, maka bukan saja akan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya tetapi juga akan mendukung stabilitas dan kemajuan ekonomi regional dan nasional.
Makna Pembangunan atau Pengembangan Wilayah Pertanyaan pertama yang perlu diajukan adalah : apa yang dimaksud dengan pembangunan wilayah? Atau, bagaimana kaitannya pembangunan nasional
dengan
pembangunan
wilayah?
Untuk
itu,
perlu
memahami
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pembangunan, pembangunan nasional dan pembangunan wilayah. Walaupun masih diperdebatkan, pembangunan dapat diartikan sebagai suatu peningkatan dalam pengertian normatif. Yuwono (2005) menjelaskan bahwa setiap terjadi peningkatan (dalam arti positif) dalam hal ekonomi, sosial, politik, disebut pembangunan. Dalam ukuran ekonomi, pembangunan dapat diartikan kenaikan pendapatan per kapita penduduk pada suatu tahun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam ukuran sosial, pembangunan dapat diartikan meningkatnya penduduk yang bekerja atau makin berkurangnya pengangguran. Dalam ukuran politis, pembangunan dapat diartikan makin meningkatnya demokrasi. Namun apakah dengan meningkatnya pendapatan per kapita, tetapi semakin banyak pengangguran atau semakin tidak meratanya distribusi
15
pendapatan dan menipisnya demokrasi merupakan pembangunan? Walaupun jawabannya dapat ya atau tidak dan masih menimbulkan perbedaan pendapat, namun untuk sementara pembangunan diartikan sebagai peningkatan secara ratarata dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Sehingga dengan demikian, pembangunan nasional atau pembangunan wilayah adalah suatu peningkatan secara rata-rata taraf hidup seluruh masyarakat di suatu negara atau wilayah. Perbedaan mengenai kondisi alam, kekayaan sumberdaya alam, kondisi sosial, struktur perekonomian suatu wilayah merupakan beberapa faktor dasar yang membedakan suatu wilayah dengan wilayah-wilayah lainnya. Perbedaanperbedaan tersebut memberikan efek terhadap pencapaian kinerja ekonomi-sosial suatu wilayah. Dengan perkataan ini, pembangunan merupakan suatu proses perubahan multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, ekonomi, kelembagaan dan oleh karena itu pembangunan merupakan suatu proses kerja yang tidak hanya mengukur kinerja dari satu sisi saja (Todaro, 2000). Oleh karena itu dibutuhkan suatu koordinasi yang baik untuk memadukan pembangunan nasional dengan pembangunan wilayah sebagai bagian dari perencanaan nasional dan untuk dapat memperoleh hal tersebut, maka pembangunan perlu disebarkan secara geografis (Yuwono, 2005). Perencanaan Pembangunan Wilayah Dalam mendukung pembangunan nasional atau wilayah, suatu perencanaan pembangunan dapat dilakukan melalui pendekatan wilayah, walaupun sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan pembangunan wilayah: apakah pembangunan wilayah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional secara keseluruhan, atau apakah pembangunan wilayah merupakan ukuran mini dari pembangunan nasional? Untuk menjawab hal tersebut perlu memehami pengertian mengenai wilayah. Terdapat beberapa pandangan mengenai wilayah. Menurut Isard (1975) melihat wilayah bukan sekedar areal dengan batas-batas tertentu, namun suatu areal yang memiliki arti karena adanya masalah-masalah yang ada didalamnya sedemikian rupa sehingga ahli regional memiliki interest di dalam menangani permasalahan tersebut, khususnya menyangkut masalah sosial dan ekonomi.
16
Johnston (1976) memandang wilayah sebagai bentuk istilah teknis klasifikasi spasial dan merekomendasikan dua tipe wilayah : (1) wilayah formal, merupakan tempat-tempat yang memiliki kesamaan-kesamaan karakteristik, dan (2) wilayah fungsional atau nodal, merupakan konsep wilayah dengan menekankan kesamaan keterkaitan antar komponen atau lokasi. Pendapat lain dari Murty (2000) mendefinisikan wilayah sebagai suatu areal geografis, teritorial atau tempat, yang dapat berwujud sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik (kabupaten), dan perdesaan. Namun, dari semua itu menyatakan bahwa perencanaan pembangunan wilayah merupakan proses memformulasikan tujuan-tujuan sosial dan pengaturan ruang untuk kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai tujuan ekonomi dan sosial tersebut. Berdasarkan pengertian di atas, unsur spasial merupakan dasar dan pegangan dari seorang perencana wilayah dalam membuat suatu rencana sektoral maupun wilayah termasuk program-program pembangunan wilayah, sekaligus merencanakan lokasi suatu kegiatan pembangunan tertentu. Sehingga secara konseptual, menurut Richardson (1969) dan Hagget, Cliff dan Frey (1977) wilayah dapat dibedakan : 1. Wilayah homogen yaitu wilayah-wilayah yang secara geografis dapat dikaitkan bersama-sama menjadi satu wilayah tunggal apabila wilayahwilayah tersebut mempunyai ciri-ciri yang homogeni atau seragam baik secara individu maupun gabungan dari beberapa unsur dimana ciri-ciri tersebut dapat bersifat ekonomi, geografis atau bahkan bersifat sosial atau politik. Wilayah homogeni dibatasi berdasarkan keserupaannya secara intern (internal uniformity), sehingga apabila terjadi perubahan dari suatu bagian wilayah akan mendorong terjadinya perubahan keseluruhan aspek wilayah. 2. Wilayah nodal, yaitu wilayah yang dilandasi oleh adanya faktor-faktor ketidakmerataan atau faktor heterogenitas. Akan tetapi satu sama lain dari faktor-faktor tersebut berhubungan erat secara fungsional. Struktur dari wilayah ini dapat digambarkan sebagai suatu sel hidup atau sebuah atom, dimana terdapat satu inti (pusat, central, metropolis) dan wilayah periferi (pinggiran, hinterland) yang merupakan bagian sekelilingnya yang bersifat
17
komplementer (saling melengkapi) terhadap intinya dan dihubungkan oleh pertukaran informasi secara intern. Sehingga integrasi fungsional merupakan dasar hubungan ketergantungan atau dasar kepentingan masyarakat. Dalam hal ini wilayah nodal terdiri dari bagian-bagian dengan fungsi yang berbeda-beda walaupun secara fungsional mereka berkaitan satu sama lain. 3. Wilayah
perencanaan
yaitu
merupakan
suatu
wilayah
yang
memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Dengan demikian konsep tentang wilayah perencanaan ini adalah suatu wilayah atau daerah yang secara geografis cocok untuk melakukan suatu perencanaan dengan pelaksanaan pembangunan guna memecahkan masalah regional atau wilayah yang dihadapi. 4. Wilayah administrasi yaitu wilayah yang dibatasi atas dasar kesatuan administrasi politis penduduk dari suatu wilayah. Batas wilayah administrasi ini tidak ditentukan oleh derajat interaksi antar komponen wilayah dan tidak pula dibatasi oleh kehomogenan komponen-komponen wilayah
yang
didominan
tetapi
terutama
dibatasi
untuk
dapat
mengakomodasikan kepentingan politik penduduknya. Pembangunan ekonomi merupakan keseluruhan proses politik dan ekonomi yang diperlukan untuk mempengaruhi tranformasi struktural dan kelembagaan dari seluruh masyarakat demi menghasilkan rentetan kemajuan ekonomi yang benar-benar bermanfaat dan melalui proses yang efisien bagi sebagian besar penduduk (Todaro, 2000). Konsep ekonomi neo klasik yang pernah diterapkan untuk mendorong percepatan pembangunan di negara-negara berkembang terbukti gagal, karena adanya perbedaan kondisi dan perimbangan kualitas sumber daya manusia pelaku ekonomi di negara maju dengan di negara berkembang. Hal ini terbukti dengan program perencanaan Marshal Plan yang berhasil membangun kembali negara-negara berkembang seperti India, Sri Langka, Philipina dan Indonesia. Marshal Plan yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan program investasi kapital, ternyata menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi diikuti oleh memburuknya tingkat distribusi pendapatan, sehingga hanya sebagian kecil masyarakat dapat menikmatinya (Todaro, 2000).
18
Perencanaan dalam rangka pembangunan wilayah memberikan makna sebagai upaya yang dapat dilakukan untuk menghubungkan pengetahuan atau teknik yang telah dilandasi kaidah-kaidah ilmiah ke dalam praktis (praktik-praktik yang dilandasi teori) serta dalam perspektif kepentingan orang banyak atau publik. Sementara pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi yang dilakukan dengan tujuan menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya secara manusiawi. Menurut Rustiadi et al. (2006), wilayah definisikan sebagai unit geografis dengan batasan-batasan spesifik (tertentu) dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat “meaningfull”, baik untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah). Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2006) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah
ke
dalam
tiga
kategori,
yaitu
:
(1)
wilayah
homogen
(uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Perencanaan pembangunan wilayah dalam hubungannya dengan suatu daerah sebagai wilayah pembangunan, merupakan suatu proses perencanaan pembangunan
yang
bertujuan
melakukan
perubahan
menuju
ke
arah
perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungannya dalam wilayah atau daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, serta harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, namun tetap berpegang pada asas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2004). Perencanaan telah didefinisikan secara berbeda-beda, namun dalam pengertian yang sederhana, perencanaan adalah suatu cara rasional untuk mempersiapkan masa depan (Kelly dan Becker, 2000). Sedangkan Kay dan Alder
19
(1999), menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai dimasa yang akan datang serta menentukan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Selama ini perencanaan pembangunan wilayah hanya ditinjau dari aspek sosial ekonomi dengan tekanan lebih kepada mewujudkan pertumbuhan ekonomi sehingga dalam menunjukkan pertumbuhan ekonomi sering over estimate akibat tidak adanya koreksi atas dampak negatif pertumbuhan ekonomi (Anwar dan Hadi 1996). Namun kemudian dengan adanya paradigma shift dalam pembangunan maka konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mulai muncul, seperti dikemukakan oleh The Brundland Commission
dalam Tunner
et al. (1994), yaitu pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan kepada prinsip bahwa pemenuhan kebutuhan pada masa sekarang hendaknya mempertimbangkan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya, oleh karenanya dalam perencanaan pembangunan wilayah mulai mempertimbangkan aspek wilayah atau tata ruang sebelum sampai kepada tahapan invenstasi. Dalam menyusun perencanaan pembangunan berbasis pengembangan wilayah menurut Rustiadi et al. (2006), memandang penting keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Salah satu ciri pentingnya pembangunan wilayah adalah adanya upaya mencapai pembangunan berimbang (balanced development), dengan terpenuhinya potensipotensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah maupun daerah yang beragam sehingga dapat memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal bagi masyarakat di seluruh wilayah. Sementara itu menurut Dahuri dan Nugroho (2004), perencanaan pembangunan wilayah dapat diartikan sebagai upaya untuk merumuskan serta mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi maupun program pembangunan yang di dalamnya juga mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintergrasikan aspek sosial dan lingkungan untuk mencapai kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan. Salah satu bentuk kegagalan pemerintah di masa lalu adalah kegagalan menciptakan keterpaduan inter-sektoral yang sinergis dengan kelembagaan lokal yang telah dipercayai oleh masyarakat di dalam kerangka pembangunan wilayah
20
karena pembangunan yang sangat sentralistik. Struktur insentif yang dibentuk tidak memungkinkan keterpaduan sektoral di tingkat wilayah dan antar daerah. Sebagai akibatnya pemerintah daerah dan lokal gagal menangkap kompleksitas pembangunan di wilayahnya (Rustiadi et al., 2006). Dalam kondisi pembangunan yang bersifat sentralistik, maka tujuan-tujuan pembangunan wilayah menjadi sangat bergantung kepada kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat. Bentuk-bentuk kegagalan masa lalu seperti investasi pembangunan nasional yang tidak memperhatikan keterpaduan dan kesimbangan antar wilayah membuat pemerataan dan keberlanjutan pembangunan antar wilayah menjadi persoalan serius. Oleh karena itu era otonomi daerah merupakan kesempatan memperbaiki kegagalan masa lalu menuju pembangunan wilayah yang menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Sebagai upaya mewujudkan pembangunan berimbang, maka seperti dikemukakan oleh Anwar (2005), bahwa dalam pembangunan wilayah perlu senantiasa diarahkan pada tujuan pengembangan wilayah, antara lain mencapai : (1) pertumbuhan (growth), yaitu terkait dengan alokasi sumber daya-sumber daya yang langka terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya buatan untuk hasil yang maskimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktivitasnya ; (2) pemerataan (equity), yang terkait dengan pembagian manfaat hasil pembangunan secara adil sehingga setiap warga negara yang terlibat perlu memperoleh pembagian hasil yang memadai secara adil, dalam hal ini perlu adanya kelembagaan yang dapat mengatur manfaat yang diperoleh dari proses pertumbuhan material maupun non material di suatu wilayah secara adil; serta (3) keberlanjutan (sustainability), bahwa penggunaan sumber daya baik yang ditransaksikan melalui sistem pasar maupun di luar sistem pasar harus tidak melampaui kapasitas kemampuan produksinya. Untuk dapat mencapai tujuan pembangunan wilayah dimaksud perlu adanya perencanaan pembangunan wilayah yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Perencanaan pembangunan wilayah yang berdimensi ruang menyangkut perencanaan dalam tata guna tanah,
21
tata guna air, tata guna udara, serta tata guna sumber daya alam lainnya sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sedangkan perencanaan pembangunan wilayah
dari
aspek
ekonomi
adalah
penentuan
peranan
sektor-sektor
pembangunan dalam mencapai target pembangunan yaitu pertumbuhan, yang kemudian diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan baik investasi pemerintah
dan
swasta.
Penentuan
peranan
sektor-sektor
pembangunan
diharapkan dapat mewujudkan keserasian antar sektor pembangunan, sehingga dapat meminimalisasi inkompabilitas antar sektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan antar sektor baik ke depan maupun ke belakang, serta proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju dan menghindari kebocoran maupun kemubaziran sumber daya (Anwar, 2005). Selanjutnya pengembangan suatu wilayah harus berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal, sekaligus mengantisipasi perkembangan eksternal. Faktor-faktor internal mencakup pola-pola pengembangan SDM, informasi pasar, sumber daya modal dan investasi, kebijakan dalam investasi, pengembangan infrastruktur, pengembangan kemampuan kelembagaan lokal dan kepemerintahan, serta berbagai kerjasama dan kemitraan. Sedangkan faktor eksternal meliputi kesenjangan wilayah dan pengembangan kapasitas otonomi daerah, perdagangan bebas dan otonomi daerah itu sendiri. Sehingga dalam konsep pengembangan wilayah paling tidak didasarkan pada prinsip-prinsip antara lain : (1) berbasis pada sektor unggulan; (2) dilakukan atas dasar karakteristik daerah; (3) dilakukan secara komprehensif dan terpadu; (4) mempunyai keterkaitan kuat ke depan dan ke belakang; serta (5) dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi (Bappenas, 2004). Lebih lanjut Ernesto (2006) menyatakan bahwa untuk mendorong perekonomian wilayah perlu memperhatikan iklim investasi di wilayah tersebut yang berhubungan dengan kinerja dan produktivitas ekonomi regional secara makro. Untuk itu perlu memperhatikan kondisi infrastruktur wilayah, kemudahan akses terhadap modal, ketersediaan tenaga kerja dan kemampuan daya saing dengan wilayah-wilayah lain.
22
Strategi Pembangunan Wilayah Sejalan dengan dilaksanakannya otonomi daerah, tiap-tiap pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan pengembangan wilayahnya, yang tentu tidak menutup kemungkinan timbulnya perbedaan kepentingan dan prioritas antar sektor dan antar daerah yang dapat memicu terjadinya konflik antar daerah. Oleh karenanya untuk mencegah munculnya benturan akibat egosektoral antar daerah terutama antara kabupaten dan kota perlu adanya suatu strategi pengembangan wilayah yang dapat meminimalkan friksifriksi yang mungkin timbul dengan adanya desentralisasi. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur kembali mengenai penyelenggaraan
urusan
pemerintahan
bahwa pemerintah
daerah
dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya, yang sebelumnya dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 disebutkan bahwa tidak ada hubungan antara daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota (Kusumawati, 2005). Salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka penyerasian pembangunan daerah untuk mengurangi disparitas, mewujudkan keterpaduan pembagunan, serta mempercepat kemajuan pembangunan daerah, dilaksanakan melalui pendekatan berbasis wilayah yang pada prinsipnya adalah meminimalisasi friksi dan memaksimalisasi sinergitas sehingga terwujud keserasian pembangunan daerah di wilayah pengembangan, yang mencakup tiga aspek, yakni : (1) keserasian pertumbuhan antardaerah, antarwilayah maupun antarkawasan yang berorientasi pada kepentingan bersama pengembangan potensi lokal, (2) keserasian kebijakan dan program-program pembangunan sektoral dan daerah dalam skenario pengembangan wilayah, serta (3) keserasian di antara stakeholder dalam dinamika pengembangan wilayah (Sumarsono, 2004).
Keterkaitan dan Ketergantungan Antar Wilayah Banyak negara-negara menetapkan pertumbuhan berimbang sebagai strategi pembangunannya. Ditinjau dari analisis wilayah, strategi pertumbuhan seimbang diinterpretasikan bahwa wilayah-wilayah miskin berkembang lebih cepat dari
23
pada wilayah-wilayah kaya, sehingga tingkat pendapatannya cenderung menjadi sama pada masa yang akan datang. Dalam konteks pertumbuhan seimbang diupayakan keserasian dalam laju pertumbuhan antar wilayah dilancarkan untuk meratakan pembangunan ke seluruh wilayah. Hal ini berarti merangsang partisipasi dan keterlibatan masyarakat di seluruh wilayah dalam proses pembangunan. Pembangunan wilayah antar provinsi yang bertetangga akan dapat mengembangkan daya pertumbuhan yang kuat yang terdapat dalam lingkungan provinsi dan dapat mendorong pula perkembangan provinsi-provinsi lain yang relatif lebih terbelakang. Dalam hubungan ini perlu digairahkan kerja sama antar wilayah (provinsi) serta saling menguntungkan (mutual regional cooperation). Hal ini berarti bahwa produksi dan usaha-usaha pembangunan dikaitkan dengan keuntungan komparatif dan regionalisasi wilayah pembangunan (Anwar, 2005). Lebih
lanjut
ketidakseimbangan
menurut
pendapat
pembangunan
Anwar
inter-regional,
(2005), disamping
mengemukakan menyebabkan
kapasitas pembangunan regional menjadi sub-optimal, dan juga pada gilirannya sering
menurunkan
sampai
meniadakan
sumber-sumber
pertumbuhan
pembangunan agregat (makro). Oleh karena itu interaksi pembangunan interregional memerlukan kinerja yang komplementer dan mengurangi sejauh mungkin terjadinya persaingan (competitive) diantara satu wilayah dengan wilayah lainnya, sehingga akan menimbulkan kondisi wilayah-wilayah yang sinergis (saling memperkuat) dan diharapkan dapat menimbulkan sumbangan kepada ekonomi makro yang positif dan berkelanjutan. Untuk itu perlu adanya strategi pembangunan wilayah dari sisi pendekatan produksi (supply) yang dihasilkan oleh suatu wilayah pada akhirnya harus dapat mengatasi dampak terjadinya keterbatasan (demand trap) dari sisi permintaan baik secara domestik maupun dari luar wilayah. Untuk mencapai maksud tersebut, strategi pembangunan
wilayah
juga
harus
dikembangkan
atas
dasar
strategi
pengembangan sisi permintaan (demand side strategy). Strategi ini dapat dikembangkan melalui upaya-upaya yang mendorong tumbuhnya permintaan akan barang dan jasa secara domestik melalui peningkatan kesejahteraan,
24
khususnya yang menyangkut peningkatan tingkat pendapatan, pendidikan, sosial budaya dan lain-lain masyarakat wilayah. Walaupun demikian, kecenderungan pengembangan program-program pembangunan yang dilaksanakan sejauh ini masih didominasi oleh strategi pengembangan dari sisi pasokan (supply) tanpa pengembangan strategi sisi permintaan yang cukup memadai. Strategi pembangunan wilayah harus didasarkan atas prinsip strategi keterkaitan (lingkages) antar wilayah-wilayah. Lebih lanjut Anwar (2005) menyatakan bahwa strategi berbasis keterkaitan antar wilayah-wilayah pada awalnya dapat diwujudkan dengan mengembangkan keterkaitan fisik antar wilayah dengan membangun berbagai infrastruktur fisik (jaringan transportasi jalan, pelabuhan, jaringan komunikasi dan lain-lain) yang dapat menciptakan keterkaitan yang sinergis (saling memperkuat) antar wilayah. Keterkaitan fisik juga harus diikuti dengan pengembangan institusional dalam keterkaitan sinergi yang lebih luas, yakni dengan disertai kebijakan-kebijakan yang menciptakan struktur insentif yang mendorong keterkaitan yang sinergis antar wilayah-wilayah. Selain itu bahwa keterkaitan dan ketergantungan antar wilayah dapat diperlihatkan dari jaringan arus antar wilayah (termasuk didalamnya arus perdagangan)
Peranan Perencanaan Inter-Regional yang Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Terjadinya
disparitas
pembangunan
regional
merupakan
fenomena
universal, terjadi di semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat kemajuan pembangunannya. Disparitas pembangunan baik dalam aspek antar kelompokkelompok masyarakat maupun menurut aspek spasial antar wilayah-wilayah merupakan masalah pembangunan regional yang tidak merata dan harus memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh. Lebih-lebih dalam negara-negara berkembang, seperti Indonesia yang mempunyai struktur sosial dan kekuasaan (power) yang mengandung perbedaan yang tajam, akibat dari sisa-sisa penjajahan, sehingga strategi pembangunan semestinya diarahkan kepada peningkatan efisiensi ekonomi yang menyumbang kepada pertumbuhan yang sejalan dengan
25
pemerataannya atau equity yang mengacu kepada The Second Fundamental Theorem of Welfare Economics (Anwar, 2005). Menurut Mansury (2007) menyatakan bahwa integrasi ekonomi interregional mengalami perkembangan yang berawal dari riset empiris dan teoritis, dan berimplikasi terhadap wilayah yang tertinggal dalam hal pembangunan. Integrasi regional secara kontras terjadi di wilayah yang berbatasan atau berdekatan dimana dapat terbina suatu hubungan yang saling menguntungkan dan membentuk kerjasama antar wilayah satu dengan wilayah yang lain. Namun dalam banyak Negara berkembang termasuk Indonesia, strategi pembangunan masa lalu terlalu menekankan kepada efisiensi dan mengabaikan distribusi pemerataan ekonomi (distribution), sehingga melahirkan banyak kesenjangan dalam kehidupan masyarakat yang semakin melebar, yang menjadi sumber dari krisis yang satu kepada krisis yang lainnya. Oleh karenanya pada waktu akhir-akhir ini kebijakan salah arah pemerintah telah mendapat tekanan sosial dan politik yang besar. Kebijakan perekonomian dengan sistem ekonomi pasar dan ekonomi terencana secara terpusat semestinya mengikuti kebijakankebijakan yang bertujuan untuk mengurangi disparitas kinerja pembangunan diantara subregion sehingga dengan berkurangnya tingkat kesenjangan, pembangunan diharapkan menjadi lebih seimbang diantara wilayah-wilayah. Menurut pendapat Anwar (2005) menyatakan bahwa secara makro dapat terjadi ketimpangan pembangunan yang signifikan misalnya antara desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan luar Jawa dan sebagainya. Ketidakseimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah satu dengan lainnya. Wilayah hinterland menjadi melemah karena terjadi pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash) dan pengangguran yang besar yang mengakibatkan terjadinya aliran bersih (net-transfer) dan akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pusat pertumbuhan yang selanjutnya mengarah kepada proses terjadinya kemiskinan dan keterbelakangan di wilayah perdesaan. Akhirnya keadaan ini mendorong terjadinya migrasi penduduk keluar dari desa ke kawasan kota-kota, sehingga kota-kota besar yang menjadi pusat-
26
pusat pertumbuhan akhirnya menjadi diperlemah, disebabkan karena timbulnya berbagai “penyakit urbanisasi” yang luar biasa . Fenomena urbanisasi yang memperlemah perkembangan kota-kota, telah banyak menimbulkan biaya-biaya sosial (social costs), seperti dapat dilihat pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang mengalami “over-urbanization”. Perkembangan mega-urban seperti Jabotabek, Bandung Raya dan Gerbang Katosusilo (sekitar Surabaya) dicirikan oleh terjadinya berbagai bentuk ketidakefisienan dan permasalahan, seperti meluasnya daerah-daerah kumuh (slum area), tingginya tingkat pencemaran, terjadinya kemacetan lalu lintas, merebaknya kriminalitas dan sebagainya. Perkembangan perkotaan besar ini pada akhirnya sarat dengan permasalahan-permasalahan sosial, lingkungan dan ekonomi yang semakin kompleks dan sulit untuk di atasi. Pengembangan keterkaitan yang salah (tidak tepat sasaran) dapat mendorong terjadinya aliran backwash yang lebih massif yang pada akhirnya justru memperparah kesenjangan dan ketidakseimbangan pembangunan inter-regional (Anwar, 2005). Berlakunya kebijakan Otonomi Daerah merupakan upaya mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan antar wilayah (inter-regional), termasuk ketidakseimbangan kewenangan antara pusat dan daerah. Otonomi daerah diharapkan memotong proses backwash yang telah menyebabkan terjadinya keterkaitan-keterkaitan inter-regional yang bersifat eksploitatif, yang pada gilirannya dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah. Secara jangka pendek, pemberlakuan otonomi daerah dapat menumbuhkan eksesekses pembangunan dalam berbagai bentuk “ego-regional” berupa keengganan melakukan
berbagai
bentuk
kerjasama
inter-regional,
terutama
yang
dikoordinasikan oleh pemerintah pusat dan provinsi. Dengan demikian programprogram pengembangan kawasan yang ditujukan untuk mendorong keseimbangan pembangunan antar wilayah/kawasan menghadapi tantangan yang berbeda dengan di masa-masa sebelumnya. Sesuai dengan pendapat Anwar (2005), pembangunan regional yang berimbang merupakan suatu pertumbuhan yang relatif merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa suatu wilayah harus mempunyai perkembangan
27
yang sama, atau mempunyai tingkat industrialisasi yang sama atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat. Keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Untuk itu dibutuhkan kebijakan program yang mampu mengatasi permasalahan disparitas antar wilayah/kawasan, dan perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah/kawasan secara berimbang. Dalam paradigma keterkaitan, kemiskinan di suatu tempat akan sangat berbahaya bagi kesejahteraan di suatu tempat, sedangkan kesejahteraan di suatu tempat harus didistribusikan secara berkeadilan ke semua tempat (Rustiadi et al., 2006).
Pengembangan Kawasan Strategis Untuk dapat berperan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, menurut Warseno (2000), suatu kawasan perlu dikelola secara terpadu, komprehensif dan berkesinambungan agar perkembangannya lebih terarah dan teratur. Oleh karenanya perlu beberapa perencanaan yang dikembangkan dalam pengembangan kawasan, seperti penetapan rencana strategis kawasan (strategic plan), pengembangan spasial dan infrastruktur (spatial and infrastructure development), pengembangan investasi (investment development), pengembangan kelembagaan (institutional developmnent), dan pengembangan sumber daya manusia (human resource development). Menurut Firman (1992), dalam upaya pencapaian hasil-hasil pembangunan sektor-sektor secara optimal maka diperlukan adanya perencanaan tata ruang dimana sektor-sektor tersebut berlokasi, karena yang terjadi selama ini adalah perkembangan sektor-sektor pembangunan kurang diimbangi dengan penataan
28
ruang wilayah pengembangan. Salah satunya dengan membentuk kawasan strategis yaitu kawasan-kawasan yang akan menjadi lokasi atau area bagi pengembangan sektor-sektor pembangunan yang dipandang strategis dari segi penataan ruangnya, juga dapat mencakup kawasan-kawasan strategis yang diusulkan oleh daerah dalam hal ini adalah provinsi. Lebih lanjut dikemukakan oleh Firman (1992), bahwa yang menjadi kriteria kawasan strategis prioritas adalah : (1) Kawasan strategis yang pengembangannya mempunyai dampak nasional. (2) Kawasan strategis yang pengembangan sektor strategis di atasnya membutuhkan lahan dalam skala besar. (3) Kawasan strategis yang di atasnya akan dikembangkan sektor strategis dengan prioritas tinggi. (4) Kawasan strategis yang memiliki prospek ekonomi cukup cerah dengan minat dan kecenderungan investasi swasta dan pemerintah cukup tinggi. (5) Kawasan strategis yang dimaksudkan untuk memacu pembangunan wilayah yang terbelakang, miskin dan kritis. Selanjutnya yang dimaksud dengan kawasan strategis adalah kawasan yang mempunyai lingkup pengaruh yang berdampak nasional, penguasaan dan pengembangan lahan relatif besar, mempunyai prospek ekonomi yang relatif baik, serta mempunyai daya tarik investasi (Bappeda Provinsi Jawa Tengah, 2003). Pembentukan kawasan-kawasan pengembangan strategis dalam suatu wilayah adalah sebagai bagian dari penataan ruang yang dilakukan berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, serta kawasan tertentu. Pada dasarnya strategi pembangunan kawasan harus disusun atas prinsip strategi keterkaitan (linkages) antar kawasan. Strategi berbasis antar kawasan dapat diwujudkan dengan mengembangkan keterkaitan fisik antar kawasan melalui pembangunan berbagai infrastruktur fisik yang dapat menciptakan keterkaitan yang saling memperkuat (sinergis) antar kawasan. Sehingga keterkaitan antar wilayah yang diharapkan adalah bentuk-bentuk keterkaitan yang sinergis dan bukan saling memperlemah (Anwar dan Rustiadi, 2003).
29
Suatu wilayah atau kawasan dapat dijadikan sebagai pusat pertumbuhan apabila memenuhi kreteria sebagai pusat pertumbuhan baik secara fungsional maupun secara geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan merupakan lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah belakangnya). Sedangkan secara geografis, pusat pertumbuhan merupakan lokasi dengan fasilitas dan kemudahan yang mampu menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) serta menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi dan masyarakat pun memanfaatkan fasilitas yang ada di lokasi tersebut. Sehingga wilayah sebagai pusat pertumbuhan pada dasarnya harus mampu mencirikan antara lain : hubungan internal dari berbagai kegiatan atau adanya keterkaitan antara satu sektor dengan sektor yang lainnya, keberadaan sektor-sektor yang saling terkait menciptakan efek pengganda yang mampu mendorong pertumbuhan daerah belakangnya, adanya konsentrasi geografis berbagai sektor atau fasilitas yang menciptakan efisiensi, serta terdapat hubungan yang harmonis antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya (Tarigan, 2004b). Dalam hal ini upaya mewujudkan keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena pada dasarnya keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Selain karena kesenjangan antar wilayah selama ini telah menimbulkan banyak permasalahan baik sosial, ekonomi maupun politik, terlebih karena kemiskinan yang terjadi di suatu tempat akan berbahaya bagi wilayah lainnya dan juga ketika kesejahteraan di suatu tempat yang lain tidak terdistribusikan secara adil ke seluruh wilayah (Rustiadi et al., 2006). Upaya dalam hal promosi dan pengembangan kawasan yang bernilai strategis sebenarnya telah dimulai pada periode 90-an, yang tampak pada kebijakan pembangunan nasional pada masa itu, antara lain : (1) pertumbuhan sekaligus pemerataan pembangunan ekonomi dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor industri dan pemasaran yang saling menguatkan dengan sektorsektor pertanian, pertambangan, pariwisata, transportasi dan telekomunikasi; (2) peningkatan penanaman modal asing dan domestik; (3) peningkatan desentralisasi
30
serta peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan; (4) pengembangan kawasan strategis; (5) pembangunan berkelanjutan (Deni dan Djumantri, 2002). Lebih lanjut dikemukakan bahwa upaya tersebut diawali dengan pemanfaatan rencana tata ruang wilayah baik tingkat nasional mapun tingkat provinsi, terutama pada rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang yang menggambarkan keterkaitan kawasan dengan sarana dan prasarana wilayah, yaitu dengan adanya kawasan strategis serta sektor unggulan sebagai prime-mover dalam pengembangan kawasan tersebut. Pengembangan kawasan strategis merupakan alternatif dalam peningkatan perekonomian nasional selain sebagai upaya mengatasi kesenjangan pembangunan antar wilayah.
Pendekatan Sektoral dan Pendekatan Wilayah dalam Pembangunan Perencanaan wilayah menurut Glasson (1978), pada umumnya mencakup perencanaan fisik dan perencanaan ekonomi dalam suatu wilayah, dan perencanaan pada tingkat regional (wilayah) adalah perencanaan tingkat menengah yang merupakan penghubung antara perencanaan tingkat nasional dan perencanaan pada tingkat lokal. Dalam perspektif paradigma keterkaitan antar wilayah, perencanaan pembangunan wilayah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu melalui pendekatan sektoral dan pendekatan wilayah. Adapun pendekatan sektoral dilaksanakan dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut, pendekatan ini mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang seragam atau dianggap seragam. Sedangkan pendekatan wilayah dilakukan bertujuan melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah, sehingga terlihat perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang yang lainnya. Perbedaan fungsi tersebut terjadi karena perbedaan lokasi, perbedaan potensi, dan perbedaan aktivitas utama pada masing-masing ruang yang harus diarahkan untuk bersinergi agar saling mendukung penciptaan pertumbuhan yang serasi dan seimbang (Tarigan, 2004a). Lebih lanjut oleh Rustadi et al. (2006), dikemukakan bahwa keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor-sektor
31
pembangunan,
sehingga
setiap
program-program
pembangunan
dalam
kelembagaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Keterpaduan
sektoral
tidak
hanya mencakup
hubungan
antar
lembaga
pemerintahan tetapi juga antar pelaku-pelaku ekonomi secara luas dengan latar belakang sektor yang berbeda, dalam hal ini wilayah berkembang ditunjukkan dengan adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, sehingga terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang dinamis. Sedangkan keterpaduan spasial membutuhkan interaksi spasial yang optimal yang ditunjukkan dengan adanya struktur keterkaitan antar wilayah yang dinamis. Pendekatan sektoral dilakukan dengan menentukan sektor unggulan yang memiliki keterkaitan antar sektor dalam suatu perekonomian atau kontribusi berbagai
sektor
dalam
perekonomian
secara
keseluruhan,
sebagaimana
dikemukakan Arief (1993), bahwa suatu sektor dikatakan sektor kunci atau sektor unggulan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) mempunyai keterkaitan ke depan dan kebelakang yang relatif tinggi ; (2) menghasilkan output bruto yang relatif tinggi sehingga mampu mempertahankan final demand yang relatif tinggi pula; (3) mampu menghasilkan penerimaan bersih devisa yang relatif tinggi; dan (4) mampu menciptakan lapangan kerja yang relatif tinggi. Menurut Daryanto (2004), terdapat beberapa cara
atau teknik dalam
kualifikasi untuk mengidentifikasi suatu sektor atau komoditas disebut sebagai sektor atau komoditas unggulan. Antara lain adalah dengan menghitung besarnya indeks forward dan backward linkage, yang dikenal pada analisis input output. Suatu sektor atau komoditas akan menjadi unggulan apabila nilai forward linkage dan backward linkage lebih besar dari satu, dan backward spread effect dan forward spread effect lebih kecil dari satu. Kriteria ini dikenal dengan nama Rasmussen’s dual criterion, yaitu untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan sektor atau komoditas unggulan yang akan dikembangkan terhadap pembangunan sektor atau komoditas lainnya baik ke depan maupun ke belakang. Pendekatan wilayah merupakan cara pandang untuk memahami kondisi, ciri dan hubungan sebab akibat dari unsur-unsur pembentuk ruang wilayah seperti penduduk, sumber daya alam, sumber daya buatan, sumber daya sosial, ekonomi, budaya, fisik dan lingkungan serta merumuskan tujuan, sasaran, target
32
pengembangan wilayah. Pendekatan wilayah juga didasarkan pada suatu pandangan bahwa keseluruhan unsur manusia (dan mahluk hidup lainnya) dan kegiatannya berserta lingkungan berada dalam suatu sistem wilayah, sehingga perencanaan dengan pendekatan wilayah adalah suatu upaya perencanaan agar interaksi manusia dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk mengupayakan kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan (Deni dan Djumantri, 2002). Seperti dikemukakan oleh Anwar (1996), bahwa pendekatan analisis pembangunan wilayah yang lebih tepat harus mampu mencerminkan adanya kerangka berpikir yang menyangkut interaksi antara aktivitas-aktivitas ekonomi spasial dan mengarah kepada pemanfaatan sumber daya secara optimal antara kegiatan di kawasan kota-kota dan wilayah-wilayah belakangnya (hinterland), disamping interaksi tersebut berlangsung dengan wilayah-wilayah lainya yang lebih jauh. Karena antara kawasan kota dan wilayah belakangnya dapat terjadi hubungan fungsional yang tumbuh secara interaktif yang saling mendorong atau saling
menghambat
dalam
mencapai
tingkat
kemajuan
optimum
bagi
keseluruhannya.
Skala Prioritas dalam Pembangunan Wilayah Pengembangan wilayah yang berbasis sumber daya seperti dikemukakan oleh Zen (2001), merupakan usaha memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu daerah untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di sekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan serta bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan. Sehingga hubungan antara sumber daya manusia, sumber daya alam, teknologi serta lingkungan dalam konteks pengembangan wilayah dapat ditampilkan seperti pada Gambar 4.
33
Sumber Daya Manusia
Lingkungan Hidup
Lingkungan Hidup
Pengembangan Wilayah
Sumber Daya Alam
Gambar 4.
Lingkungan Hidup
Teknologi
Hubungan antara pengembangan wilayah, sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi (Zen, 2001).
Namun adanya keterbatasan (scarcity) dalam hal ketersediaan sumber daya, hendaknya menjadi pertimbangan pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam melaksanakan program-program pembangunan daerahnya sehingga dalam perencanaan pembangunan perlu ditetapkan adanya skala prioritas pembangunan, yang didasarkan pada pemahaman bahwa : (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan, (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainya dengan karakteristik yang berbeda-beda, serta (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik dimana beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat terkait dengan sebaran sumber daya alam, sumber daya buatan (infrastruktur) dan sumber daya social yang ada. Perkembangan sektor strategis tersebut memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan, dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak berkembangnya sektor-sektor lain dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah (Saefulhakim, 2004).