TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Ikan Redfin (Epalzeorhynchos frenatum) Menurut Fowler (1934) diacu oleh Murtejo (2010), susunan taksonomi dari Redfin adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Cypriniformes
Famili
: Cyprinidae
Subfamily
: Bilateria
Genus
: Epalzeorhynchos
Species
: Epalzeorhynchos frenatum
Ikan Redfin adalah salah satu ikan hias yang memilki tingkat permintaan tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Habitat Ikan Redfin adalah di bagian tengah dan dasar perairan. Ikan ini berasal dari daratan Asia Tenggara, yaitu berasal dari Sungai Mengkong di Thailand.
Gambar 2. Ikan Redfin (Epalzeorhynchos frenatum)
Universitas Sumatera Utara
Ikan Redfin memiliki ciri mulut yang tajam ke depan dan sepasang sungut pada bagian depan mulutnya, tubuhnya berwarna ungu coklat kehitaman kadangkadang bervariasi dengan warna violet. Siripnya berwarna orange kemerahan hingga merah, terdapat garis hitam dari bagian operkulum hingga bagian mulut terdepan (Murtejo, 2010). Kemampuan reproduksi redfin bisa mencapai 1000 butir telur. Induk jantan dan betina agak sulit dibedakan, namun bentuk tubuh yang agak gemuk dan sedikit panjang biasanya adalah betina, sedangkan yang jantan biasanya agak pendek dan langsing pada bagian perutnya. Ikan redfin termasuk jenis ikan yang agresif. Tempat pemeliharaannya memerlukan tempat persembunyian dan menginginkan lingkungan yang mempunyai ph mendekati normal antara 6.5 - 7.5 dengan
kesadahan
lunak
maksimum
1o
serta
suhu
24oC
–
28oC
(Priatama, 2009). Sedangkan menurut Murtejo (2010) Ikan ini dapat tumbuh mencapai panjang 14 - 15 cm. Ikan Redfin hidup pada pH 6.2 - 7.5 (optimum 7.0), dengan tingkat kesadahan 2 - 15 dH (optimum 10), dan suhu berkisar 23 - 26°C. Ikan Redfin menyukai jenis makanan berupa alga, pelet, sayuran, bayam, tubifex, dapnia dan serangga kecil. Ikan Redfin jantan dan betina dapat dibedakan berdasarkan melihat ciri morfologisnya, yaitu pada ikan jantan memiliki tanda hitam dibagian sirip anal dan memiliki bentuk tubuh cenderung lebih ramping sedangkan pada ikan betina tidak memiliki tanda hitam pada bagian sirip anal dan tubuhnya cenderung lebih terlihat gemuk dibandingkan jantan. Ikan ini memiliki sifat agresif atau teritori dalam mendapatkan makanan sehingga tingkat kompetisi makanan antara spesies sangat tinggi
Universitas Sumatera Utara
Padat Penebaran Padat penebaran ikan adalah jumlah ikan atau biomassa yang ditebar persatuan luas atau volume wadah pemeliharaan (Effendi, 2004). Menurut Bardach, dkk. (1972) tingkat padat penebaran akan mempengaruhi keagresifan ikan. Ikan yang dipelihara dalam kepadatan yang rendah akan lebih agresif, sedang ikan yang dipelihara dalam kepadatan yang tinggi akan lambat pertumbuhannya karena tingginya tingkat kompetisi dan banyaknya sisa-sisa metabolisme yang terakumulasi dalam media air. Padat penebaran berhubungan dengan produksi dan pertumbuhan ikan. Menurut Hepher dan Pruginin (1981) yang diacu oleh Effendi, dkk. (2006) peningkatan kepadatan akan diikuti dengan penurunan pertumbuhan (critical standing crop) dan pada kepadatan tertentu pertumbuhan akan berhenti (carrying capacity). Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, peningkatan kepadatan harus disesuaikan dengan daya dukung (carrying capacity). Faktor-faktor yang mempengaruhi carrying capacity antara lain adalah kualitas air, pakan dan ukuran ikan. Pada keadaan lingkungan yang baik dan pakan yang mencukupi, peningkatan kepadatan akan disertai dengan peningkatan hasil (produksi) Effendi, dkk. (2006).
Menurut Suresh dan Lin (1992) bahwa kualitas air menurun seiring peningkatan padat tebar yang diikuti dengan penurunan tingkat pertumbuhan. Namun jika kondisi lingkungan dapat dipertahankan dengan baik dan pemberian pakan yang cukup, kepadatan ikan yang tinggi akan meningkatkan produksi. Padat penebaran dan pertukaran air akan sangat mempengaruhi pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan efisiensi pakan. Oksigen yang semakin berkurang dapat ditinggkatkan dengan pergantian air dan pemberian aerasi (Goddard, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian Yudhistira (2010) dikatakan bahwa sampai saat ini, pendederan ikan redfin masih dilakukan secara tradisional dan tidak terkontrol sehingga produksi yang dilakukan belum optimal. Berdasarkan hasil survey kepada petani redfin didaerah Sawangan, Depok, petani biasanya menggunakan kepadatan 2 ekor/l dalam pendederan ikan redfin dari ukuran 3/4 inchi ke ukuran 1,5 inchi dalam kurun waktu 1 bulan. Dari pendederan ini didapatkan kelangsungan hidup sebesar 80 - 90 %.
Sistem Resirkulasi Resirkulasi merupakan sistem aliran air yang mengalir secara terus menerus dalam sebuah wadah pemeliharaan, terdapat filtrasi sebagai penyaring kotoran/limbah, dan menggunakan pompa sebagai energi penggerak (Sumpeno, 2005). Prinsip resirkulasi ditujukan untuk meningkatkan oksigen terlarut, mengurangi karbondioksida, ammonia dan limbah organik yang dihasilkan ikan. Dengan prinsip ini, kualitas air akan tetap baik untuk kehidupan ikan dan air tidak perlu diganti dalam waktu 3 bulan, kecuali bila dianggap perlu. Sistem ini cocok digunakan pada dibudidaya ikan secara intensif terutama di daerah dengan lahan dan air terbatas. Kegunaan sistem resirkulasi adalah untuk menghemat air, dan mempermudah pengontrolan lingkungan budidaya (Handajani dan Hastuti, 2002). Sistem budidaya resirkulasi termasuk sistem budidaya intensif. Sistem ini memanfaatkan ulang air yang sudah digunakan dengan meresirkulasinya melewati sebuah filter, sehingga sistem ini bersifat hemat air (Sidik 1996). Filter di dalam sistem ini berfungsi mekanis untuk menjernihkan air dan berfungsi biologis untuk menetralisasi senyawa amoniak yang toksik menjadi senyawa nitrat yang kurang
Universitas Sumatera Utara
toksik dalam suatu proses yang disebut nitrifikasi (Spotte 1979). Berhasil tidaknya budidaya ikan di dalam sistem resirkulasi tertutup sangat ditentukan oleh baik tidaknya fungsi nitrifikasi di dalam sistem tersebut (Sidik, dkk., 2002). Sistem resirkulasi terdiri dari beberapa bagian, yaitu filter mekanis (mechanical treatment), filter fisik, dan filter biologi (Handajani dan Hastuti, 2002). Filter Mekanik adalah untuk menurunkan turbiditas di air yang disebabkan oleh mikroroganisme dan partikel lain, untuk menurunkan tingat koloid organik, dan untuk menyingkirkan detritus dari filter biologi (Spotte, 1970 dalam Kiloes, 2004). Menurut Stickney (1979) diacu oleh Kiloes (2004) mengatakan, proses yang terjadi dalam filter biologi adalah proses nitrifikasi dari ammonia menjadi nitrat. Menurut Wills (1993) diacu oleh Sumpeno (2005) penggunaan zeolit dalam sistem resirkulasi dapat mengurangi ammonia terlarut di dalam air. Zeolit adalah alumina-silikat (SiO4 dan AlO4) dengan struktur kerangka berpori yang berisi kation dan molekul air. Dalam sistem resirkulasi, peranan zeolit sangat penting sebagai absorban, yang mengikat sejumlah molekul dan gas yang berbahaya dalam perairan budidaya (misalnya ammonia). Menurut Tanjung (1994) diacu oleh Diansari (2013) sistem resirkulasi adalah salah satu jawaban untuk menjaga kualitas air tetap optimal selama pemeliharaan ikan di dalam wadah tertutup. Resirkulasi adalah sistem yang menggunakan air secara terus-menerus dengan cara diputar untuk dibersihkan di dalam filter kemudian di alirkan kembali ke wadah budidaya. Memelihara ikan pada sistem resirkulasi selalu dihadapkan pada masalah penumpukan bahan
Universitas Sumatera Utara
organik (feses, sisa pakan), anorganik (ammonia, nitrit, nitrat) yang terlarut dan terbatasnya oksigen terlarut.
Pertumbuhan Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi adalah pertambahan jumlah. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang digolongkan menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam umumnya adalah faktor yan sukar di kontrol seperti keturunan sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan ialah makanan dan suhu (Effendie, 2002) Wedemeyer (1996) menyatakan bahwa peningkatan padat penebaran akan mengganggu proses fisiologi dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak yang pada akhirnya dapat menurunkan kondisi kesehatan dan fisiologis sehingga pemanfaatan makanan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup mengalami penurunan. Respon stres terjadi dalam tiga tahap yaitu tanda adanya stres, bertahan, dan kelelahan. Ketika ada stres dari luar ikan mulai mengeluarkan energinya untuk bertahan dari stres. Selama proses bertahan ini pertumbuhan menurun. Stres meningkat cepat ketika batas daya tahan ikan telah tercapai atau terlewati. Dampak stres ini mengakibatkan daya tahan tubuh ikan menurun dan selanjutnya terjadi kematian. Gejala ikan sebelum mati yaitu warna tubuh menghitam, gerakan tidak berorientasi, dan mengeluarkan lendir pada permukaan kulitnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Kimball (1994) diacu Dewatisari (2007), pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai perubahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu. pertumbuhan pada organisme dapat terjadi secara sederhana dengan peningkatan jumlah sel-selnya, dan juga dapat terjadi sebagai akibat dari peningkatan jumlah dan ukuran sel. Pada organisme agar pertumbuhan dapat terjadi maka laju sintesis molekul yang kompleks dari organism itu misalnya protein harus melebihi proses perombakan. Artinya harus ada tambahan molekul organik (asam amino, asam lemak, gliserol, dan glikosa yang diambil dari lingkungannya.
Kelangsungan Hidup Derajat kelangsungan hidup adalah persentase ikan yang hidup dari seluruh ikan yang dipelihara dalam suatu wadah (Effendie, 2002). Menurut Hepher dan Pruginin (1981) diacu oleh Setiawan 2009, tingkat kelangsungan hidup ikan adalah nilai persentase jumlah yang hidup selama masa pemeliharaan tertentu. Padat penebaran ikan yang tinggi dapat mempengaruhi lingkungan budidaya dan interaksi ikan. Peningkatan padat penebaran akan menggangu proses fisiologi dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak yang pada akhirnya dapat menurunkan kondisi kesehatan dan fisiologi ikan. Akibat lanjut dari proses tersebut adalah penurunan pemanfaatan makanan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Penyakit dan kekurangan oksigen akan mengurangi jumlah ikan secara drastis, terutama ikan yang berukuran kecil.
Universitas Sumatera Utara
Kualitas Air Sebagaimana makhluk hidup lainnya ikan membutuhkan lingkungan yang nyaman agar dapat hidup sehat. Kualitas air merupakan faktor utama yang mempengaruhi kelangsungan hidup serta pertumbuhan dari segala jenis ikan Menurut Effendie (2002) ada banyak parameter fisika dan kimia kualitas air yang mempengaruhi antara lain; Suhu Suhu merupakan salah satu faktor penting yaitu sebagai controling factor yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan. Ikan merupakan hewan berdarah dingin poikilothermal, yakni suhu tubuh dipengaruhi suhu lingkungan habitatnya sehingga metabolisme tergantung dari suhu lingkungannya (Panjaitan, 2004). Peningkatan Suhu dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10○C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering tidak mampu mempengaruhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan
proses
metabolisme
dan
respirasi.
Peningkatan
suhu
juga
menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi, 2003). Meningkatnya suhu air dan aktivitas metabolisme mengakibatkan DO menurun dan dapat akhirnya menyebabkan kematian pada ikan Redfin, sehingga perlu dilakukan pengaturan tingkat kepadatan ikan Redfin agar tetap sesuai dengan laju metabolisme di dalam wadah pemeliharaan.
Universitas Sumatera Utara
Oksigen Terlarut Menurut Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing), dan pergerakan (turbulance) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang mencemari air.
pH (Potensial of Hidrogen) Air merupakan kombinasi dari hidrogen (H) dan oksigen (O) dengan perbandingan dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Atom-atom tersebut membentuk muatan atau ion, yaitu ion H+ dan ion OH- . nilai pH meupakan perbandingan dari ion ion tersebut. Bila perbandingannya seimbang maka air dikatakan netral. Bila ion H+ lebih besar dibandingkan dengan OH- maka air dikatakan asam. Sementara bila dibalikkan maka air dikatakan basa. Nilai maksimal untuk derajat keasaman adalah 14. Skala pH dalam Logaritmik. Artinya, setiap satu unit yang terhitung meripakan 10x perubahan konsentrasi ion. Oleh karena itu, kalau terjadi sedikit perubahan pada nilai pH maka hal itu terjadi perubahan yang sangat besar terhadap perbedaan kandungan ion (Priatama, 2009). Kondisi air yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan
kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan
terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion Aluminium. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi ammonia yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004). Mackereth, dkk. (1989) dalam Effendi (2003) berpendapat bahwa pH juga berkaitan erat dengan
Universitas Sumatera Utara
karbondioksida dan alkalinitas. Pada pH <5, alkalinitas dapat mencapai nol. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas.
Ammonia Penguraian zat nutrisi dari sumber makanan yaitu protein dan lemak menjadi masalah dalam perairan terutama protein yang berupa amonium dan ammonia. Keseimbangan amonium dan ammonia di dalam air sangat dipengaruhi oleh nilai pH air. Semakin tinggi nilai pH akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi ammonia yang bersifat toksik bagi perairan (Barus, 2004). Menurut
Sumpeno (2005) meningkatnya konsentrasi ammonia selain
disebabkan oleh semakin tingginya padat penebaran, juga dipengaruhi oleh waktu (masa) pemeliharaan sampai dengan periode tertentu. Terjadinya penurunan kualitas air akibat melimpahnya kandungan ammonia dalam wadah budidaya dapat membahayakan organisme budidaya, karena bersifat toksik. Adanya sistem resirkulasi dapat membantu menjaga kualitas air dengan baik dengan filtrasi, ataupun debit air yang membantu suplai oksigen.
Universitas Sumatera Utara