II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kelembagaan Kelembagaan menurut Uphoff (1992) dan Fowler (1992) adalah “a complex of norm and behavior that persist overtime by serving some socially valued purpose” sedangkan organisasi adalah struktur peran yang diakui dan diterima. Mengacu pada konsep kelembagaan yang diajukan oleh Gilin dan Gilin (1954) tentang tingkat kemantapan tertentu dari kelembagaan, Horton dan Hunt (1984) tentang rutinisasi dari kelembagaan, dan Uphoff (1986) dalam Saptana (2006) yang menyatakan bahwa kelembagaan sebagai pola perilaku yang stabil, dihargai dan berlaku dalam waktu yang lama, maka bagian pokok lainnya yang penting untuk diperhatikan dalam pembahasan mengenai kinerja kelembagaan adalah tentang pola perilaku atau pola interaksi yang terjalin antar pelaku dalam suatu kelembagaan. Kata kelembagaan merujuk kepada sesuatu yang bersifat mantap yang hidup di dalam masyarakat (Koentjaraningrat 1997). Secara konseptual, kelembagaan berasal dari istilah pranata yang mengandung pengertian sebagai padanan institution dan pranata sosial sebagai social institution. Suatu kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku yang hidup pada suatu kelompok orang. Kelembagaan merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola, berfungsi untuk tujuantujuan tertentu dalam masyarakat, ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern atau bisa berbentuk tradisional dan modern, dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial. Mengacu pada pendapat Berger dan Luckman (1966) dalam Saptana (2006), untuk membahas kelembagaan ekonomi ada beberapa aspek yang harus dilihat
9
yaitu pelaku yang mendukung dan mengonstruksi kelembagaan ekonomi tersebut sekaligus dengan status dan perannya, juga aturan main yang berlaku dan dikonstruksi oleh para pelaku. Menurut North (1993) dalam Sudaryanto (2005) kelembagaan ekonomi dibentuk oleh aturan-aturan formal berupa rule, laws, dan constitutions, dan aturan informal berupa norma, kesepakatan, dan lain-lain. Seluruhnya merupakan penentu bagaimana terbentuknya struktur masyarakat dan kinerja ekonominya yang spesifik. Menurut Pakpahan (1989) dalam Elizabeth (2010), suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama, yaitu: (1) yurisdiction of boundary (batas yurisdiksi), (2) property right (hak kepemilikan), (3) rule of representation (aturan representasi). Perubahannya menghasilkan performance yang diinginkan, dan ditentukan oleh: (1) sense of community (perasaan sebagai satu masyarakat), (2) eksternalitas, (3) homogenitas, dan (4) economic of scale (skala ekonomi). Tiap kelembagaan memiliki tujuan tertentu, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma-norma yang sudah disepakati yang sifatnya khas. Tiap kelembagaan dibangun untuk satu fungsi tertentu. Karena itu kita mengenal kelembagaan pendidikan, kelembagaan ekonomi, agama, dan lain-lain. Jadi, dunia berisi kelembagaan-kelembagaan dan manusia pasti masuk kelembagaan tersebut (Sudaryanto 2005). Salah satu ciri umum kelembagaan adalah adanya suatu tingkat kekekalan atau kemapanan (Gilin dan Gilin 1954 dalam Saptana 2006) sehingga aturan main dalam suatu kelembagaan juga telah berlaku dalam waktu yang cukup lama, dan mungkin masih akan berlaku dalam jangka waktu yang lama lagi. Namun jika mengacu pada pendapat Granovetter dan Swedberg (1992) yang menyatakan
10
bahwa kelembagaan ekonomi dikonstruksikan secara sosial, maka juga tidak tertutup kemungkinan adanya konstruksi ulang mengenai aturan main yang berlaku. Mengacu pada pendapat di atas, maka pembahasan mengenai aturan main dalam kelembagaan ini akan mencakup tentang aturan main itu sendiri dan perubahan-perubahan yang terjadi pada aturan main, serta bagaimana dan oleh siapa aturan main tersebut dikonstruksi. Selain pengertian diatas, kelembagaan dapat diarahkan sebagai organisasi. Dalam aspek kelembagaan terdapat nilai, aturan, norma, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain. Sementara aspek keorganisasian berisi struktur, peran, hubungan antar pesan, integrasi antar bagian, struktur umum, perbandingan struktur tekstual dengan struktur riil, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas, keanggotaaan, klik, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain (Sudaryanto 2005). Pada intinya, kelembagaan adalah jejaring yang terbentuk dari sejumlah, mungkin puluhan sampai ratusan interaksi atau bisa disebut kelembagaan sebagai interaksi yang berpola. Dari interaksi inilah dapat dipahami sebuah kelembagaan hanya dengan memahami bagaimana pola, ciri, dan bentuk sebuah interaksi dan dalam satu kelembagaan, sebagian besar interaksi berbentuk sama. Dalam proses pengembangan kelembagaan, beberapa prinsip ini perlu dijadikan pegangan (Sudaryanto 2005), yaitu:
Pahami setting masyarakat setempat, karakteristik dan konfigurasi ekonomi, politik, dan sosial setempat, serta level kolektivitas dan individualitasnya.
11
Bidang pekerjaan yang akan dilakukan, jenis, dan sifat interaksi yang ada di dalamnya, serta adanya motivasi sosial dan ekonomi yang tercampur didalamnya.
Pelajari kelembagaan yang sudah ada di masyarakat, aktivitas yang akan dijalankan, manfaat, dan masalah yang ada.
Kelompokkan basis kelembagaan yang sesuai untuk tiap aktivitas yang akan dijalankan, kecocokan, pola komunitas, pola pasar, pola pemerintah, dan basis pelayanan.
Pahami pula kekentalan kelembagaan yang sesungguhnya diperlukan, penguatan personal relation, personal network, dan organisasi. Kriteria kelembagaan untuk tujuan praktis yang dihubungkan dengan
pembentukan kelembagaan urutannya sebagai berikut (Suradisastra 2009): 1.
Terorganisir dan memiliki norma atau aturan yang ditegakkan.
2.
Memiliki cita-cita atau tujuan yang ingin dicapai.
3.
Secara konsisten melakukan suatu fungsi secara berulang dan telah dilakukan dalam jangka cukup lama.
4.
Melakukan interaksi dengan lembaga lain sebagai manifestasi saling ketergantungan antar lembaga.
2.1.1. Kelembagaan Petani Bentuk dan peran kelembagaan petani saat ini masih sangat dipengaruhi oleh tuntutan dan strategi kebijakan pembangunan pertanian. Pemahaman sosial budaya dan kelembagaan membantu memilah faktor-faktor tertentu kedalam suatu urutan kegiatan yang mendekati kondisi kultural petani yang melakukan kegiatan usahatani masing-masing. Pemahaman sosial budaya meliputi penguasaan pranata
12
sosial dan tatanan sosial setempat. Termasuk dalam pranata dan tatanan sosial tersebut antara lain adalah peran kelembagaan petani dalam kaitan dengan kegiatan usahatani dan pembangunan pertanian, peran kepemimpinan lokal, dan pola komunikasi yang menggambarkan arah dan arus informasi dalam suatu lembaga (Suradisastra 2009). Posisi, peran, dan fungsi kelembagaan petani seringkali disusun sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan pembangunan wilayah sesuai dengan kebijakan pembangunan setempat. Dalam kondisi demikian, kelembagaan petani diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan dan bukan untuk menyejahterakan petani. Pendekatan seperti ini secara langsung atau tidak langsung, terasa atau tidak terasa, telah mengubah, mengerdilkan, atau melumpuhkan kelembagaan tertentu. Namun di sisi lain tidak dapat disangkal bahwa kelembagaan petani yang dibentuk secara paksa juga dapat meningkatkan efisiensi dan kinerja kelembagaan petani ke arah yang lebih baik. Peran lain dari suatu kelembagaan petani adalah peran menggerakkan tindak komunal. Suatu lembaga struktur umumnya memiliki potensi kolektif yang berasal dari para anggotanya. Sikap kolektif sebagai suatu kesatuan kini merupakan tantangan tersendiri bagi para pelaksana pembangunan pertanian. Memahami dan memanfaatkan secara tepat sifat-sifat komunal dan social capital lain akan memberikan dampak yang diharapkan (Syahyuti 2007). Namun, kelembagaan petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar. Kedepan, agar dapat berperan sebagai aset komunitas masyarakat desa yang partisipatif, maka pengembangan kelembagaan
13
harus dirancang sebagai upaya untuk peningkatan kapasitas masyarakat itu sendiri sehingga menjadi mandiri (Syahyuti 2007). Masalah utama pengembangan kelembagaan petani adalah fakta bahwa pemahaman terhadap konsep lembaga atau kelembagaan lebih terpaku pada organisasi, baik organisasi formal maupun organisasi non formal. Masalah lain dalam pengembangan lembaga organisasi petani adalah sikap sosial anggota kelembagaan dan masyarakat sekitarnya, terutama yang berkaitan dengan daya lenting sosial komunitas petani yang dilibatkan dalam pembentukan atau pengembangan lembaga petani di suatu wilayah. Tetapi saat ini, kelembagaan petani dalam hal ini adalah gapoktan, diberi pemaknaan baru, termasuk bentuk dan peran yang baru. Gapoktan menjadi lembaga gerbang (gateway institution) yang menjadi penghubung petani satu desa dengan lembaga-lembaga lain di luarnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk pertanian, dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani (Syahyuti 2007). Pengembangan gapoktan dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan aksesibilitas petani terhadap berbagai kelembagaan layanan usaha, misalnya lemah terhadap lembaga keuangan, terhadap lembaga pemasaran, terhadap lembaga penyedia sarana produksi pertanian, serta terhadap sumber informasi. Pada prinsipnya, lembaga gapoktan diarahkan sebagai sebuah kelembagaan ekonomi, namun diharapkan juga mampu menjalankan fungsi-fungsi lainnya. Terhadap pedagang saprotan maupun pedagang hasil-hasil pertanian, gapoktan
14
diharapkan dapat menjalankan fungsi kemitraan dengan adil dan saling menguntungkan. Setidaknya terdapat tiga peran pokok yang diharapkan dapat dimainkan oleh gapoktan. Pertama, gapoktan difungsikan sebagai lembaga sentral dalam sistem yang terbangun, misalnya terlibat dalam penyaluran benih bersubsidi yaitu bertugas merekap daftar permintaan benih dan nama anggota. Kedua, gapoktan juga dibebankan untuk peningkatan ketahanan pangan di tingkat lokal. Ketiga, mulai tahun 2007, gapoktan dianggap sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP) sehingga dapat menerima dana penguatan modal, yaitu dana pinjaman yang dapat digunakan untuk membeli gabah petani pada saat panen raya, sehingga harga tidak terlalu jatuh. 2.1.2. Kualitas Kelembagaan Petani Pengembangan kelembagaan bagi masyarakat petani dianggap penting karena beberapa alasan. Pertama, banyak masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga petani. Berbagai pelayanan kepada masyarakat petani seperti pemberian kredit, pengelolaan irigasi, penjualan bahan-bahan pertanian, dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut dapat berperan sebagai perantara antara lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga-lembaga swasta dalam rangka sebagai saluran komunikasi atau untuk kepentingankepentingan yang lain. Kedua, organisasi masyarakat memberikan kelanggengan atau kontinuitas pada usaha-usaha untuk menyebarkan dan mengembangkan teknologi, atau pengetahuan teknis kepada masyarakat. Ketiga, untuk menyiapkan masyarakat agar mampu bersaing dalam struktur ekonomi yang terbuka (Anantanyu 2009).
15
Menurut Esman (1986) dalam Anantanyu (2009) pengembangan kelembagaan dapat dirumuskan sebagai perencanaan, penataan, dan bimbingan dari organisasi-organisasi baru atau yang disusun kembali yang; a) mewujudkan perubahan-perubahan dalam nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi-teknologi fisik atau sosial, b) menetapkan, mengembangkan, dan melindungi hubunganhubungan normatif dan pola-pola tindakan yang baru, dan c) memperoleh dukungan
dan
kelengkapan
dalam
lingkungan
lembaga.
Efektivitas
pengembangan kelembagaan diukur berdasarkan berbagai kriteria, termasuk kemampuannya untuk menyediakan barang-barang dan jasa-jasa bagi orang dengan kategori tertentu dan kemampuannya mempertahankan hidupnya dalam suatu jaringan dari unit-unit yang saling mengisi yang memajukan tingkat pertumbuhan sosial-ekonomi (Eaton 1986 dalam Anantanyu 2009). Sumardjo (2003) mengungkapkan gejala-gejala sosial yang mendorong kelompok tani berfungsi secara efektif antara lain: 1.
Keanggotaan dan aktivitas kelompok lebih didasarkan pada masalah, kebutuhan, dan minat calon anggota.
2.
Kelompok berkembang mulai dari informal efektif dan berpotensi serta berpeluang untuk berkembang ke formal sejalan dengan kesiapan dan kebutuhan kelompok yang bersangkutan.
3.
Status kepengurusan yang dikelola dengan motivasi mencapai tujuan bersama dan memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama, cenderung lebih efektif untuk meringankan beban bersama anggota, dibanding bila pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan secara sendiri-sendiri.
16
4.
Inisiatif anggota kelompok tinggi untuk berusaha meraih kemajuan dan keefektivan kelompok karena adanya keinginan kuat untuk memenuhi kebutuhannya.
5.
Kinerja kelompok sejalan dengan berkembangnya kesadaran anggota, bila terjadi penyimpangan pengurus segera dapat dikontrol oleh proses dan suasana demokratis kelompok.
6.
Agen pembaharu cukup berperan secara efektif sebagai pengembang kepemimpinan dan kesadaran kritis dalam masyarakat atas pentingnya peran kelompok. Disamping itu, yang dibutuhkan atas kehadiran penyuluh selain mengembangkan kepemimpinan adalah kemampuan masyarakat mengorganisir diri secara dinamis dalam memenuhi kebutuhan hidup kelompok.
7.
Kelompok tidak terikat harus berbasis sehamparan, karena yang lebih menentukan efektivitas dan dinamika kelompok adalah keefektivan pola komunikasi lokal dalam mengembangkan peran kelompok.
2.2.
Persepsi Persepsi adalah proses yang digunakan oleh individu untuk memilih,
mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti (Buzzell 1981 dalam Kotler et al. 2009). Sedangkan Herminta (2008) menyatakan bahwa persepsi adalah proses yang dilakukan individu dalam mengelola dan menafsirkan kesan indra mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka, meskipun demikian apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan obyektif. Persepsi tidak hanya bergantung pada rangsangan fisik, tapi juga pada rangsangan yang
17
berhubungan dengan lingkungan sekitar dan keadaan individu yang bersangkutan. Poin pentingnya adalah bahwa persepsi dapat sangat beragam antara individu satu dengan yang lain yang mengalami realitas yang sama. Setiap orang dapat memiliki persepsi yang berbeda atas objek yang sama karena tiga proses: perhatian selektif, distorsi selektif, dan ingatan selektif. Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain termasuk yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal (Rakhmat 1998). Rakhmat (1998) juga menjelaskan yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimulus, tetapi karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimulus. Persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan) yang mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan (Gibson 1986). 2.3.
Kemandirian Petani Kemandirian merupakan totalitas kepribadian yang perlu atau harus
dimiliki oleh setiap individu sebagai sumberdaya manusia (Nawawi dan Martini 1994). Kemandirian menunjuk pada individualitas bukan individualistis atau individualisme
atau
bahkan
egoisme.
Kemandirian
adalah
kemampuan
mengakomodasikan sifat-sifat baik manusia, untuk ditampilkan di dalam sikap dan perilaku yang tepat berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh seorang individu. Globalisasi tidak dapat dilepaskan dari suatu karya manusia yang unik, yaitu teknologi dengan segala perwujudan dan perkembangannya. Sukardi (1993) menyatakan bahwa menyatunya dunia, sebagai kata lain dari globalisasi, hanya dimungkinkan melalui pengembangan teknologi. Kehadiran ilmu pengetahuan
18
dan teknologi modern secara lebih lanjut memungkinkan manusia untuk mengeksplorasi, memanipulasi, dan mentransformasikan lingkungannya menjadi suatu lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya. Kesempatan dan pilihan muncul sebagai akibat pembangunan, dengan adanya globalisasi, hal tersebut tidak lagi hanya berasal dari lingkungannya, tetapi juga dari belahan dunia lain. Di dunia pertanian, kesiapan petani menghadapi era globalisasi adalah menyangkut kualitas perilaku petani dalam konteks kesiapan petani. Kesiapan petani akan menentukan sejauh mana petani mampu mandiri. Pengertian petani mandiri disini adalah petani terbebas dari kungkungan dan ketergantungan dan subordinasi dari pihak lain dalam mengambil dan melaksanakan keputusan hidupnya (Sumardjo 1999). Covey (1993) tentang kemandirian, petani yang mandiri adalah petani yang mampu menciptakan kesalingtergantungan dan duduk setara dalam pola kolegial (kemitraan) dengan pihak lain. Keputusan yang diambil petani idealnya adalah keputusan yang merdeka dan dinilai secara sadar oleh petani tersebut sebagai keputusan yang paling menguntungkan. Dalam konteks pertanian berkelanjutan di era globalisasi ekonomi, kemandirian petani tersebut akan mantap apabila potensi petani tersebut diwarnai dengan aspek-aspek perilaku petani yang berciri modern, efisien dalam bisnis pertanian dan daya saing yang menghasilkan keterkaitan yang berkesinambungan. Ciri-ciri kemandirian petani menurut Edward (1967), Inkeles dan Smith (1974), Covey (1995), Faulkner dan Browman (1995) dalam Sumardjo (1999) adalah sebagai berikut:
19
1.
Petani mandiri mempunyai rasa percaya diri dan mampu memutuskan atau mengambil suatu tindakan yang dinilai paling menguntungkan secara cepat, dan tepat dalam mengelola usahanya di bidang pertanian tanpa tergantung atau tersubordinasi oleh pihak lain, baik itu berupa perintah, ancaman, petunjuk atau anjuran.
2.
Senantiasa mengembangkan kesadaran diri dan kebutuhannya akan pentingnya memperbaiki diri dan kehidupannya, serta punya inisiatif dan kemauan keras untuk mewujudkan harapannya.
3.
Mampu bekerjasama dengan pihak lain dalam kedudukan setara sehingga terjadi kesalingketergantungan dalam situasi saling menguntungkan dalam suatu kemitraan usaha yang berkelanjutan.
4.
Mempunyai daya saing yang tinggi dalam menetapkan pilihan terbaik bagi alternatif usaha yang ditempuh dalam kehidupannya.
5.
Senantiasa berusaha memperbaiki kehidupannya melalui berbagai upaya memperluas
wawasan
berfikir
dan
pengetahuan,
sikap
dan
keterampilannya, sehingga berespon secara positif terhadap perubahan situasi dan berusaha secara sadar mengatasi permasalahan dengan prosedur yang dinilai paling tepat. 2.4.
Kesejahteraan Petani Salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat
perdesaan adalah melalui penerapan inovasi teknologi, khususnya teknologi pertanian. Menurut Bustanul (2000), perubahan sistem perekonomian perdesaan akibat inovasi teknologi akan merangsang inovasi kelembagaan, perubahan sistem
20
nilai, inovasi institusi, dan sebagainya yang mengarah kepada perputaran inovasi IPTEK. Kinerja indikator kesejahteraan ekonomi petani dapat digambarkan melalui lima aspek yang bisa menunjukkan penciri atau penanda kesejahteraan petani, yaitu: (1) struktur pendapatan rumah tangga (on farm, off farm, dan non farm), (2) struktur pengeluaran rumah tangga, (3) keragaan tingkat ketahanan pangan rumah tangga, (4) keragaan daya beli rumah tangga petani, dan (5) perkembangan nilai tukar petani (NTP) (Sadikin dan Subagyono 2008). 2.5.
Pertanian Berkelanjutan Selama ini indikator sukses pertanian kita adalah sekedar jumlah atau hasil
produksi pertanian, untuk memenuhi permintaan pasar. Dalam pertanian berkelanjutan, tujuan yang ingin dicapai bukanlah sekedar target produksi jangka pendek, tetapi lebih ditekankan pada upaya keberlanjutan sistem produksi jangka panjang. Sehingga inovasi yang dilakukan, dalam pertanian berkelanjutan adalah dalam rangka peningkatan secara optimal proses-proses biologi dan ekologi dalam ekosistem (Manuwoto 1998). Untuk inilah, kini saatnya terutama para penyuluh pertanian untuk mengajari petani tentang cara-cara mengembangkan kesuburan tanah, prinsip pengendalian hama alami dan pengoptimalisasi peran musuh alami, pengelolaan tanaman (memilih jenis, pola tanam, mengatur waktu tanam yang tepat) guna memanipulasi interaksi musim tanaman dan hama. Hal lain, harus dipikirkan pula pengembangan jenis-jenis kultiva tanaman yang tidak banyak membutuhkan pupuk dan relatif tahan terhadap hama dan penyakit. Pengembangan varietas
21
unggul lokal (yang sudah beradaptasi sesuai dengan kondisi setempat) perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan bibit unggul spesifik lokasi. Untuk menjamin keseimbangan agar terciptanya keberlanjutan ada tiga unsur yang harus diperhatikan. Pertama, kegiatan pertanian itu tidak menguras sumberdaya alam dan juga tidak merusak lingkungan. Kedua, kegiatan pertanian itu dilaksanakan secara efisien dan ekonomis sehingga memberikan keuntungan bagi pelaku-pelakunya tidak saja pada saat ini tapi juga bagi pelaku-pelaku pada generasi mendatang. Kemudian yang ketiga adalah harus dapat mengantisipasi perubahan karena perubahan itu pasti terjadi pada lingkungan yang dinamis ini (Manuwoto 1998). 2.6.
Biaya Transaksi Biaya transaksi adalah biaya yang ditimbulkan dalam melakukan transaksi
ekonomi. Dalam pengertian yang lain, biaya transaksi adalah biaya untuk menentukan dan memberlakukan hak-hak kepemilikan atas barang dan jasa (Coase 1960). Jenis biaya transaksi, yaitu: 1.
Biaya mencari informasi yaitu biaya yang ditimbulkan untuk memperoleh informasi mengenai barang yang diinginkan dari pasar (misalnya biaya untuk memperoleh harga termurah, kualitas terbaik, dan variasi jenis barang).
2.
Biaya membuat kontrak atau negosiasi (bargaining cost) yaitu biaya yang diperlukan untuk menerima suatu persetujuan/kontrak dengan pihak lain atas suatu transaksi (misalnya biaya notaris).
3.
Biaya monitoring yaitu biaya yang ditimbulkan karena adanya kegiatan untuk mengawasi pihak lain dalam
melaksanakan kontrak (misalnya,
22
biaya cek kualitas, cek kuantitas, cek harga, ketepatan waktu kirim, dan keamanan). 4.
Biaya adaptasi (selama pelaksanaan kesepakatan) yaitu biaya yang ditimbulkan karena dilakukannya penyesuaian-penyesuaian pada saat suatu kesepakatan transaksi dilakukan (misalnya penyesuaian biaya produksi karena kenaikan sebagian besar harga bahan baku). Penyebab terjadinya biaya transaksi adalah:
1.
Suatu kegiatan sering terjadi (frequent)
2.
Suatu kegiatan transaksi atas barang/jasa yang bersifat khusus (speciality)
3.
Kondisi ketidakpastian (uncertainty)
4.
Daya nalar yang terbatas (limited rationality)
5.
Perilaku spekulatif (opportunist) Pengelolaan
kelembagaan
pasti
memerlukan
biaya
transaksi.
Bagaimanapun untuk mencapai kesepakatan dalam kelembagaan memerlukan biaya transaksi. Minimumnya biaya transaksi akan mempunyai implikasi terhadap tercapainya komitmen kesepakatan bersama, yang pada akhirnya akan tercapai distribusi manfaat yang adil antar stakeholders dan kelestarian. Dalam notasi matematik:
Dimana: Xi
= Manfaat kelembagaan
Yj
= Biaya transaksi kelembagaan
i
= Jenis manfaat kelembagaan
j
= Jenis biaya transaksi
23
Biaya transaksi terdiri dari (i) pencarian informasi, (ii) manajemen stakeholders, dan monitoring, serta (iii) penegakan aturan dan kesepakatan, mencakup asuransi dan pencegahan konflik. Biaya informasi umumnya dilaksanakan pada tahap perencanaan, yaitu biaya mengenai stakeholders yang berkepentingan, lokasi, peran, tupoksi, dan lain sebagainya. Kartodiharjo (2004) menyebutkan bahwa informasi tentang peran setiap aktivitas institusi tersebut sangat penting terutama untuk menghubungkan dengan struktur insentif. Karena setiap pembuatan konsensus atau kesepakatan juga perlu banyak informasi. Biaya manajemen stakeholders mencakup biaya koordinasi, sosialisasi, pertemuan, monitoring, dan lain sebagainya. 2.7.
Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian Hermanto (2007), Prima Tani di Desa Kertosari,
Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Musi Rawas (Mura), Propinsi Sumatera Selatan merupakan model percontohan sistem dan usaha agribisnis di lahan sawah intensif dengan mengembangkan Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT). Kelembagaan tani yang telah ditumbuhkembangkan selama kurun waktu dua tahun berjalan (2005-2006) antara lain: (1) kelembagaan keuangan mikro perdesaan untuk mengatasi kelangkaan modal usaha dan kebutuhan konsumsi, (2) Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi
oleh
petani
dalam
mengembangkan
usaha
agribisnisnya,
(3)
kelembagaan klinik agribisnis yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat petani dalam mewujudkan sistem kehidupan yang lebih baik, dan (4) kelembagaan kemitraan bermediasi dalam rangka membantu peningkatan pendapatan petani melalui peningkatan efisiensi sistem pemasaran.
24
Dengan adanya pembinaan yang dilakukan secara intensif terhadap kelompok tani di Desa Kertosari, maka terciptalah suatu kelembagaan kelompok tani yang mampu memberikan suasana kepada anggotanya untuk masuk dalam sistem agribisnis. Hal ini juga ditunjukkan dari peranan kelompok yang semakin meningkat dalam pengembangan sistem agribisnis di perdesaan. Misalnya, beberapa kelompok tani telah menerapkan dan mempersiapkan sarana pertanian guna memenuhi kebutuhan anggotanya, baik bersifat barang maupun pendanaan (Hermanto 2007). Demikian halnya dengan gabungan kelompok tani (gapoktan) yang baru dibentuk pada bulan September 2006 dengan pengurus terdiri atas manajer, sekretaris, dan bendahara. Unit usaha yang baru dikembangkan, yaitu: unit Alsintan dan unit produksi/pemasaran (bidang tanaman pangan, peternakan dan perikanan). Dalam unit usaha alsintan/pasca panen dihimpun semua bentuk usaha yang menggunakan alsintan dalam mendukung implementasi sistem dan usaha agribisnis. Pada unit produksi/pemasaran difokuskan untuk mendukung pengembangan usahatani padi dan penangkaran benih, penggemukan sapi, produksi jamur, pupuk, dan produksi ikan (Hermanto 2007). Selanjutnya klinik agribisnis juga telah dibentuk untuk mengembangkan pelayanan informasi teknologi dan agribisnis, pusat pelatihan petani dan tempat pertemuan teknis. Materi kegiatan klinik yang dikembangkan meliputi: (1) penguatan fasilitator melalui kegiatan pelatihan di bidang tanaman pangan, peternakan dan perikanan, pengelolaan perpustakaan dan pengelolaan peta peragaan inovasi teknologi, (2) pelayanan informasi teknologi (inisiasi perpustakaan), (3) konsultasi teknologi, (4) peragaan inovasi teknologi, seperti
25
peragaan penangkaran benih VUTB/VUB, pembuatan pupuk kompos kascing, pembuatan fermentasi jerami, teknologi budidaya jamur, dan pembuatan pakan formulasi (Hermanto 2007). Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sehari-hari, klinik agribsinis di Desa Kertosari telah didukung oleh peneliti/penyuluh BPTP, staf dinas dan PPL. Keberadaan klinik tersebut telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di Desa Kertosari sebagai tempat untuk belajar, berkonsultasi dan mengetahui berbagai informasi inovasi teknologi pertanian dan pengembangan usaha agribisnis. Bahkan klinik ini juga telah dikunjungi oleh Bupati beserta rombongan dalam rangka penilaian PKK desa untuk diperlombakan. Dalam hal ini Desa Kertosari, tidak saja muncul sebagai pemenang PKK tingkat kabupaten, namun juga sebagai juara I untuk tingkat Propinsi Sumatera Selatan (Hermanto 2007).
26