BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Kebangkrutan Menurut Weston and Copeland (1992), kebangkrutan diartikan sebagai
kegagalan
perusahaan
dalam
menjalankan
operasi
perusahaan
untuk
menghasilkan laba. Kebangkrutan juga sering disebut likuidasi perusahaan atau penutupan perusahaan atau insolvabilitas. Definisi lain dari kebangkrutan di kemukakan oleh Adnan (2001), yang menyatakan bahwa kebangkrutan adalah sebagai suatu kegagalan yang terjadi dalam perusahaan dan kegagalan tersebut dapat di bedakan menjadi Kegagalan ekonomi (Economic distressed) dan Kegagalan keuangan (Financial distressed). Kegagalan dalam arti ekonomi di artikan sebagai perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak mampu menutupi biayanya sendiri, hal ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus kas sebenarnya dari perusahaan tersebut jauh di bawah arus kas yang di harapkan. Kegagalan juga terjadi karena tingkat pendapatan atas biaya historis dari investasinya lebih kecil dari biaya modal perusahaan yang di keluarkan untuk investasi tersebut. Kegagalan keuangan juga dapat diartikan sebagai insolvensi arus kas, insolvensi atas dasar arus kas tersebut ada dua bentuk, yaitu: a. Insolevensi teknis, yaitu terjadi apabila perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo walaupun total aktivanya sudah melebihi total hutang
10
b. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan, yaitu didefinisikan sebagai kekayaan bersih neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban Sementara itu, menurut Sunarto (2006:37) kebangkrutan adalah : “Kebangkrutan atau kepailitan adalah kegagalan bisnis yang terjadi apabila kewajiban / hutang hutang perusahaan lebih besar daripada nilai pasar yang wajar dari aktiva-aktivanya”. Menurut Hadad (2003:10) pengertian failure (kepailitan) di Indonesia mengacu pada peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No.1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang kepailitan, yang menyebutkan : 1.
Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur atau tidak membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri, maupun permintaan seorang atau lebih krediturnya.
2.
Permohonan sebagaimana disebut dalam butir diatas, dapat juga diajukan oleh kebijaksanaan untuk kepentingan umum. Undang-undang kepailitan pada dasarnya menyatakan bagaimana menyelesaikan sengketa yang muncul dikala satu perusahaan tidak bisa lagi memenuhi kewajiban utang, juga bagaimana menangani pertikaian antara individu yang berkaitan dengan bisnis yang djalankan. Ada beberapa kriteria penting : a) Pembukuan harus jelas. Penilaian aktiva harus transparan dan dengan cara yang diakui umum (international standart). b) Tingkat gradasi utang piutang berdasarkan tanggungan menentukan siapa yang boleh didahulukan dalam menyelesaikan masalah hutang
11
misalnya : sebuah perusahaan bangkrut, siapa yang berhak memproleh pembayaran terlebih dahulu dan siapa yang kemudian. c) Acara hukum perdata mengatur siapa yang berkepentingan, pihak pengatur kebangkrutan, pengadilan mana yang kompeten dan bagaimana cara atau proses yang harus dilakukan untuk menyelesaikan perkara ini. d) Penentapan sanksi oleh pengadilan yang berwenang andai kata satu pihak tidak memenuhi janji beberapa aktual yang diberikan kepada perusahaan yang merasa mampu membereskan utang-utangnya. e) Sekalipun dinyatakan pailit, tentunya perusahaan masih bisa berjalan sementara dalam hal ini ditetapkan persyaratan-persyaratannya dan siapa yang harus mengawasi proses penyehatannya. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit tidak perlu langsung menghentikan semua kegiatannya, mereka harus diberi kesempatan untuk membereskan keuangan dan kegiatan yang lain demi kepentingan penagih utang. f) Penyelesaian sengketa boleh dijalankan lewat arbitrase di luar pengadilan. g) Perusahaan dinyatakan pailit atau bangkrut apabila dalam jangka waktu tertentu tidak bisa melakukan pembayaran pokok dan atau bunganya. Kepailitan juga bisa diminta pemilik perusahaan juga oleh para penagih utang. Berdasar penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kebangkrutan merupakan suatu kegagalan yang ditunjukkan oleh ketidakmampuan suatu perusahaan
dalam
melanjutkan
kegiatan
kewajibannya lebih besar daripada aktivanya.
operasinya
dikarenakan
Sehingga dapat dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri, maupun permintaan seorang atau lebih krediturnya.
12
B.
Manfaat Informasi Prediksi Kebangkrutan Informasi tentang prediksi kebangkrutan suatu perusahaan akan sangat
bermanfaat bagi beberapa kalangan. Menurut Mamduh dan Halim (2003: 261) informasi prediksi kebangkrutan dapat bermanfaat untuk: 1. Pemberi pinjaman Informasi kebangkrutan digunakan untuk pengambilan keputusan tentang pemberian pinjaman dan monitoring 2. Investor Informasi
kebangkrutan
digunakan
untuk
pengambilan
keputusan
terhadap surat berharga Perusahaan. 3. Pihak pemerintah Informasi kebangkrutan digunakan untuk melakukan tindakan awal yang bisa dilakukan terutama terhadap perusahaan BUMN. 4. Akuntan Informasi kebangkrutan digunakan untuk menilai kemampuan going concern suatu perusahaan 5. Manajemen Informasi kebangkrutan digunakan untuk melakukan langkah-langkah preventif sehingga biaya kebangkrutan bisa di hindari dan atau diminimalisir.
C.
Faktor-faktor Penyebab Kebangkrutan Kebangkrutan bisa disebabkan oleh banyak faktor. Dalam beberapa
kasus alasannya bisa dikenali setelah analisis laporan keuangan. Tapi ada beberapa kasus dimana perusahaan sedang mengalami penurunan, namun
13
beberapa item dalam laporan keuangan masih menunjukkan kinerja jangka pendek yang baik (Kordestani, et.al; 2011). Ada beberapa perusahaan yang mengalami tahapan kebangkrutan. Namun ada juga yang tidak mengalami tahapan kebangkrutan. Faktor – faktor penyebab kebangkrutan perusahaan berasal dari dalam dan
luar perusahaan.
Menurut Darsono dan Ashari (2005), faktor yang
menyebabkan kebangkrutan perusahaan dari sisi internal yaitu: a.
Penyalahgunaan
wewenang
oleh
karyawan
maupun
pemilik
perusahaan yang merugikan perusahaan baik secara finansial maupun struktural perusahaan. Penyalahgunaan wewenang tersebut dapat berupa pemecatan karyawan demi kepentingan pribadi, bukan karena ketidakmampuan karyawan tersebut mengikuti tujuan perusahaan. b. Manajemen yang buruk dapat merugikan perusahaan karena arah dan tujuan perusahaan ditentukan oleh manajemen. Ketika manajemen salah dalam mengambil kebijakan atau tidak mampu menganalisa kebutuhan pasar maka hal tersebut akan dimanfaatkan oleh pesaing untuk mengambil keuntungan sehingga mengakibatkan kerugian. Sementara itu, menurut Weston dan Copeland (1992), faktor – faktor penyebab kebangkrutan perusahaan yang berasal dari luar perusahaan yaitu : a. Ekonomi. Faktor-faktor penyebab kebangkrutan dari sektor ekonomi adalah gejala inflasi dan deflasi dalam harga barang dan jasa, kebijakan keuangan, suku bunga dan devaluasi atau revaluasi uang dalam hubungannya dengan uang asing serta neraca pembayaran, surplus atau defisit dalam hubungannya dengan perdagangan luar negeri.
14
b. Sosial Faktor
sosial
sangat
berpengaruh
terhadap
kebangkrutan
cenderung pada perubahan gaya hidup atau trend yang sedang terjadi di masyarakat yang mempengaruhi permintaan terhadap produk perusahaan. Faktor sosial yang lain yaitu kerusuhan atau kekacauan yang terjadi di masyarakat. c. Pemerintah Pengaruh
dari
sektor
pemerintah
berasal
dari
kebijakan
pemerintah terhadap pencabutan subsidi pada perusahaan dan industri, pengenaan tarif ekspor dan impor barang, kebijakan undangundang baru bagi perbankan atau tenaga kerja dan lain-lain.
D.
Klasifikasi Saham Perusahaan Pada umumnya efek yang diperdagangkan di bursa diklasifikasikan ke
dalam beberapa kelompok oleh para pelaku pasar. Saham ,misalnya diklasifikasikan berdasarkan nilai kapitalisasinya,yakni jumlah saham yang beredar dikalikan harga pasarnya.Menurut Cahyono (2000),
nilai kapitalisasi
saham terbagi menjadi: 1. Blue Chip Sekelompok saham yang dinamakan blue chip atau sering juga disebut Alpha stocks. Saham ini umumnya diterbitkan oleh perusahaan besar dan jumlahnya sangat banyak.Karena jumlah saham yang beredar banyak,saham ini dimiliki oleh banyak investor. Banyaknya jumlah lembar saham
dan
pemegangnya
membuat
saham
ini
sangat
mudah
15
diperdagangkan (likuid). Likuiditas saham itu sendiri pada gilirannya menjadi daya tarik tersendiri bagi calon investor. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan kalau kelompok saham ini mendominasi perdagangan dan kontribusinya terhadap total perdagangan sangat besar. 2. Second liner Ada yang menamakan kelompok dibawah blue chip sebagai kelompok Second liners (saham barisan kedua) atau beta shares. Dari segi kapitalisasi dan frekuensi perdagangan, kelompok ini umumnya lebih kecil dibandingkan blue chip. Umumnya saham kelompok ini diterbitkan oleh perusahaan yang sedang berkembang dan mempunyai potensi pertumbuhan yang besar untuk menjadi saham blue chip, kinerja saham dan keuangan saham kelompok ini belum cukup teruji. 3. Third liners. Kelompok
saham
yang
lebih
kecil
dan
lebih
jarang
ditranksaksikan. Kelompok ini ada yang menamakan saham third liners atau gamma stock. 4. Saham tidur. Saham yang jarang ditranksaksikan. Kalaupun ada transaksi, sering kali dibuat oleh pihak yang berkepentingan di dalam perusahaan agar tetap bisa dicatatkan di bursa
efek tempat saham tersebut
dicatatkan. Menurut Sulistyastuti ( 2002), Kapitalisasi perusahaan yaitu suatu harga saham perusahaan yang merujuk kepada nilai perusahaan tersebut. Klasifikasi
16
saham berdasarkan nilai kapitalisasi perusahaan terbagi atas tiga jenis yaitu Big Capitalization, Mid Capitalization, Small Capitalization a. Big Capitalization Merupakan kelompok saham yang berkapitalisasi besar dengan nilai di atas satu triliun. Saham-saham yang termasuk big Capitalization biasanya disebut juga dengan saham bluechip atau saham papan atas atau saham lapis pertama. Saham-saham yang berkapitalisasi besar memberikan kontribusi 75% - 80% dari seluruh kapitalisasi pasar di BEI. b. Mid Capitalization Merupakan kelompok saham yang berkapitalisasi besar dengan nilai kapitalisasi Rp.100 milyar–Rp. 1 triliun. Saham yang termasuk middle Capitalization disebut juga saham baby blue chip atau saham lapis kedua. Saham yang berkapitalisasi menengah ini memberikan kontribusi 15% - 17% dari seluruh kapitalisasi pasar di BEI. c. Small Capitalization Merupakan kelompok saham yang memiliki nilai kapitalisasi kecil di bawah seratus milyar. Biasanya saham-saham yang termasuk dalam small Capitalization adalah saham yang jarang diperdagangkan yang bersifat tidak stabil dalam pergerakan harga sahamnya. Saham dengan kapitalisasi kecil, memberikan kontribusi sekitar 3% dari seluruh kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia.
17
E.
Rasio Keuangan untuk Memprediksi Kebangkrutan Salah satu aspek pentingnya analisis rasio keuangan suatu perusahaan
adalah kegunaanya untuk meramalkan kontinuitas atau kelangsungan hidup perusahaan. Prediksi akan kontinuitas sangat penting bagi manajemen dan pemilik perusahaan sehingga kebangkrutan dapat segara dianti sipasi. Analisis rasio merupakan bentuk atau cara yang umum digunakan dalam analisis laporan finansial. Dimaksud laporan financial adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagaialat untuk mengkomunikasikan data keuangan atau aktivitas perusahaan kepada pihak yangberkepentingan. Pihak berkepentingan tersebut, dibagai dalam dua bagian yaitu pihak interal dan pihak eksternal (Hery ; 2012) Analisis rasio dapat digunakan untuk menyingkap hubungan dan sekaligus menjadi dasar pembandingan yang menunjukkan kondisi atau kecenderungan yang tidak dapat dideteksi bila hanya melihat komponen komponen rasio itu sendiri. Analisis rasio bertujuan untuk menilai efektivitas keputusan yang telah diambil oleh perusahaan dalam rangka menjalankan aktivitas usahanya. Sedangkan analisis rasio keuangan menurut (Sartono, 1996) adalah “suatu analisis yang digunakan untuk menilai kondisi keuangan dan prestasi perusahaan” . Rasio menggambarkan suatu hubungan atau perimbangan antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain, dan dengan menggunakan alat analisis berupa rasio akan dapat memberikan gambaran kepada penganalisa tentang baik atau buruknya keadaan tentang posisi keuangan suatu perusahaan terutama apabila dibandingkan dengan angka rasio pembanding yang digunakan sebagai standar (Munawir, 2000:64).
18
Menurut
Riyanto (2001: 331) penggolongan rasio keuangan adalah
sebagai berikut: 1. Rasio likuiditas adalah rasio yang dimaksudkan untuk mengukur likuiditas perusahaan
misalnya current ratio, acid test ratio, cash
ratio, working capital to total asset ratio. Rasio likuiditas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan jangka pendek yang harus segera dipenuhi, atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat ditagih. 2. Rasio laverage adalah rasio-rasio yang dimaksudkan untuk mengukur sampai seberapa jauh aktiva perusahaan dibiayai dengan utang, misalnya total debt to total asset ratio, total debt to total capital asset, long debt to equity ratio, tangible asset debt coverage, time interest earned ratio. 3. Rasio aktivitas adalah rasio-rasio yang digunakan untuk mengukur sampai
seberapa
besar
efektivitas
perusahaan
dalam
mengerjakansumber-sumber dayanya, misalnya total asset turnover, receivableturnover, average collection period, inventory turnover, average daysinventory, working capital turnover.
F.
Beberapa Model Prediksi Kebangkrutan Beberapa model prediksi kebangkrutan, diantaranya model Zmijewski
(1984), model Springate (1978), model Altman Z-score (1968), model Fulmer (U.S. – 1984, Model Blasztk System(1984), dan Model CA-Score (1987).
19
1.
Model Zmijewski Zmijewski (1984) menggunakan analisis rasio yang mengukur kinerja,
leverage, dan likuiditas suatu perusahaan untuk model prediksinya. Zmijewski menggunakan probit analisis yang diterapkan pada 40 perusahaan yang telah bangkrut dan 800 perusahaan yang masih bertahan saat itu. Model yang berhasil dikembangkan yaitu: X = -4.3-4.5X1 +5.7X2 -0.004X3 Dimana: X1 = ROA (return on asset) X2 = Leverage (debt ratio) X3 = Likuiditas (current ratio) Jika skor yang diperoleh sebuah perusahaan dari model prediksi kebangkrutan ini melebihi 0 maka perusahaan diprediksi berpotensi mengalami kebangkrutan. Sebaliknya, jika sebuah perusahaan memiliki skor yang kurang dari 0 maka perusahaan diprediksi tidak berpotensi untuk mengalami kebangkrutan. 2.
Model Springate Model ini dikembangkan oleh Springate (1978) dengan menggunakan
analisis multidiskriminan, dengan menggunakan 40 perusahaan sebagai sampelnya. Model ini dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan dengan tingkat keakuratan 92,5%. Model yang berhasil dikembangkan oleh Springate adalah: S=1.03A + 3.07B + 0.66C + 0.4D Dimana : A = working capital/total asset
20
B = net profit before interest and taxes/total asset C = net profit before taxes/current liabilities D = sales/total asset Model Springate ini mengklasifikasikan perusahaan dengan skor S > 0,862 merupakan perusahaan yang tidak berpotensi bangkrut, begitu juga sebaliknyajika perusahaan memiliki skor S < 0,862 diklasifikasikan sebagai perusahaan yangtidak sehat dan berpotensi untuk bangkrut. 3.
Model Altman Z-score Pada tahun 1968, Altman menerapkan Multiple Discriminant Analysis
(MDA) untuk pertama kalinya. Analisis diskriminan yang dilakukan Altman dengan mengidentifikasikan rasio-rasio keuangan menghasilkan suatu model yang dapat memprediksi perusahaan yang memiliki kemungkinan tinggi untuk bangkrut dan tidak bangkrut. Penggunaan sampelnya dilakukan pada 66 perusahaan, 33 gagal dan 33 sukses. Tingkat keakuratan yang dicapai oleh model Altman’s yaitu sebesar 95%. Bentuk formula yang digunakan pada model Altman’s adalah : Z = 1.2A + 1.4B + 3.3C + 0.6D + 0.999E Dimana: A= working capital/total asset B= retained earnings/total asset C= earnings before interest and taxes/total asset D= market capitalization/book value of debt E= sales/total asset Model Altman ini mengklasifikasikan perusahaan dengan skor Z > 2.675 merupakan perusahaan yang tidak berpotensi bangkrut, begitu juga
21
sebaliknyajika perusahaan memiliki skor Z < 2.675 diklasifikasikan sebagai perusahaan yangtidak sehat dan berpotensi untuk bangkrut. Model yang dikembangkan oleh Altman ini mengalami suatu revisi. Revisi yang dilakukan oleh Altman merupakan penyesuaian yang dilakukan agar model prediksi kebangkrutan ini tidak hanya untuk perusahaan manufaktur yang go publik melainkan juga dapat diaplikasikan untuk perusahaan-perusahaan di sektor swasta. Model yang dikenal sebagai Revised Altman’s Z-Score dengan fungsi diskriminan sebagai berikut (Altman, 2000): Z = 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,420X4 + 0,988X5 Dimana: X1 = Working Capital / Total Asset X2 = Retained Earnings / Total Asset X3 = Earning Before Interest and Taxes/Total Asset X4 = Book Value of Equity / Book Value of Total Debt X5 = Sales / Total Asset Model Altman Z-Score mengklasifikasikan perusahaan dengan skor < 1,23 berpotensi untuk mengalami kebangkrutan. Skor 1,23 – 2,90 diklasifikasikan sebagai grey area, sedangkan perusahaan dengan skor > 2,90 diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak berpotensi mengalami kebangkrutan. 4.
Model Fulmer Fulmer (1984) menggunakan MDA untuk mengukur 40 rasio
keuangan yang digunakan pada 60 sampel perusahaan, 30 gagal dan 30
22
sukses rata-rata ukuran asset yang dimilki perusahaan sebesar $455.000. Model ini menggunakan pendekatan sebagai berikut: H = 5.528(V1) + 0.212(V2) + 0.073(V3) + 1.270(V4) – 0.120(V5) + 2.335(V6) + 0.575(V7) + 1.083(V8) + 0.894(V9) – 6.075 Dimana : V1 = Retained Earning/Total Assets V2 = Sales/Total Assets V3 = EBT/Total Assets V4 = Cash Flow/Total Debt V5 = Debt/Total Assets V6 = Current Liabilities/Total Assets V7 = Log Tangible/Total Assets V8 = Working Capital/Total Debt V9 = Log EBIT/Interest Model Fulmer
mengklasifikasikan perusahaan dengan skor < 0
berpotensi untuk mengalami kebangkrutan. Perusahaan dengan skor > 0 diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak berpotensi mengalami kebangkrutan. Fulmer
melaporkan
bahwa
98%
tingkat
keakuratan
dalam
pengklasifikasian yang diuji pada perusahaan satu tahun menjelang kebangkrutan dan 81% dengan tingkat keakuratan lebih dari satu tahun menjelang kebangkrutan. 5.
Model Blasztk System Model Blasztk System (1984; dalam Grama, 2008) merupakan satu-
satunya metode prediksi kegagalan yang mana pada penguraiannya tidak
23
menggunakan MDA. Sistem ini dikembangkan oleh William Blaztk pada tahun 1984. Intisari dari sistem ini bahwa perhitungan rasio keuangan perusahaan yang akan ditaksir, berdasarkan bobot dan dibandingkan dengan rasio rata-rata perusahaan yang berada pada industri yang sama. Satu keunggulan dari metode ini dimana penilaiannya dilakukan dengan membandingkan antar perusahaan lain dalam industri yang sama. 6. Model CA-Score Model CA-Score (1987; dalam Boritz, et.al; 2007) dianjurkan oleh The Ordre des compattable sebagaimana yang diakui oleh Quebee (Quebee CA’s) dan menurut pengembangannya bahwa telah digunakan lebih dari 1,000 CA’s in Quebee. Model ini dikembangkan di bawah pimpinan Jean Legault University of Quebee di Montreal, menggunakan langkah Mulitiple Discriminant Analysis. 30 rasio keuangan dianalisis pada sampel dari 173 perusahaan manufaktur di Quebee yang mana memiliki kisaran penjualan antara $1-20 juta. Model ini menggunakan bentuk formulasi sebagai berikut : CA-Score = 4.5913 (*shareholders’investment(1)/total assets(1)) + 4.5080 (earnings before taxes and extraordinary items + financial expenses(1)/total assets(1)) + 0.3936 (sales(2)/total assets(2)) – 2.7616 Catatan: (1) Gambaran satu periode sebelum kebangkrutan (2) Gambaran dua periode sebelum kebangkrutan Model CA-Score mengklasifikasikan perusahaan dengan skor < -0.3 berpotensi untuk mengalami kebangkrutan. Perusahaan dengan skor > -0.3
24
diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak berpotensi mengalami kebangkrutan.
G.
Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan deteksi kebangkrutan
sehingga memunculkan berbagai model prediksi kebangkrutan yang digunakan sebagai alat untuk memperbaiki kondisi perusahaan sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan Penelitian Marcelinda, et.al; (2014) ingin menguji keakuratan prediksi kebangkrutan model Altman Z-Score ditinjau dari pendapat auditor pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Data yang digunakan pada penelitian inimerupakan data sekunder yang diperoleh dari laporan keuangan tahunan perusahaan manufaktur selama periode 20102012yang termuat dalam situs resmi Bursa Efek Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan memilih perusahaan manufaktur yangterdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode yaitu 2010-2012 dan yang mempunyai laporan auditor independen sesuaidengan tingkat kriteria pemberian pendapat auditor pada periode yaitu 2010-2012. Metode analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan metode Altman Z-Score dan meninjau akurasi model Altman ZScore dengan pendapat auditor. Hasilpenelitian ini menunjukkan bahwa prosentase keakuratan model Altman Z-Score ditinjau dengan pendapat audito rmenghasilkan tingkat akurasi prediksi sebesar 27,96%. Hal ini berarti bahwa model prediksi kebangkrutan Altman Z-Score mempunyai tingkat akurasi yang rendah.
25
Hadi dan Anggraeni ( 2008) dalam penelitiannya ini untuk mengetahui prediktor delisting terbaik pada Bursa Efek Indonesia (BEI). Tiga prediktor kebangkrutan yang terkenal adalah Model Zmijewski, Model Altman, dan Model Springate. Penelitian ini menggunakan ketiga model tersebut untuk memprediksi delisting. Penelitian ini mengambil semua data delisting data BEI tahun 2003 – 2007 kecuali data delisting bank. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model Zmijewski tidak bisa memprediksi delisting. Sedangkan Model Altman dan Model Springate cukup mampu memprediksi delisting secara moderat. Penelitian ini menemukan bahwa model Altman merupakan prediktor delisting terbaik. Peter dan Yoseph (2011) menganalisis kebangkrutan dengan metode ZScore Altman, Springate dan Zmijewski pada PT. Indofood Sukses Makmur tbk periode 2005 – 2009. Hasil penelitiannya dengan mengunakan model Altman Zscore menunjukkan PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. untuk tahun 2005-2009 berpotensi bangkrut sepanjang periode tersebut. Analisis kebangkrutan dengan mengunakan model Springate PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. Pada tahun 2005, 2006, dan 2009 perusahaan diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak berpotensi bangkrut sedangkan untuk tahun 2007 dan 2008 perusahaan di klasifikasikan sebagain perusahan yang berpotensi bangkrut.
Analisis
kebangkrutan dengan mengunakan model Zmijewski PT. Indofood Sukses Makmur Tbk., pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009 perusahaan diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak berpotensi bangkrut. Fatmawati (2008) dalam penelitiannya pada perusahaan di BEI tahun 2003-2009 menunjukan
bahwa dari ketiga model prediktor delisting yang
digunakan model Zmijewski lebih akurat dalam memprediksi perusahaan delisting, dibandingkan dengan modelAltman dan model Springate. Hal ini karena
26
model Zmijewski lebih menekankan besarnya utang dalam memprediksi delisting. Semakin besar jumlah utang maka akan semakin akurat diprediksi sebagai perusahaan delisting, sedangkan model Altman dan model Springate lebih menekankan pada ukuran profitabilitas. Semakin kecil profitabilitas yangdihasilkan maka akan semakin tepat diprediksi sebagaiperusahaan delisting. Kondisi perusahaan delisting yang menjadi objek pengamatan memiliki kecenderungan masih mampu menghasilkan profit, namun memiliki jumlah utang yang relatif besar. Pratiwi dan Supriadi (2014) menganalisis kebangkrutan pada PT Indo Tambangraya Megah Tbk dan PT Bukit Asam Tbk. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hasil angka DER
(Debt Equity Rasio) dan WACC
(Weighted Average Cost Of Capital ) terhadap Prediksi Kebangkrutan perusahaan “tidak signifikan”/ tidak memberikan pengaruh, karena naik atau turunnya angka DER dan WACC tidak mampu mempengaruhi naik turunnya angka Z-Score. Hal ini membuktikan bahwa perusahaan telah mampu mengoptimalkan laverage operasional yang ada dalam perusahaan sehingga segala biaya-biaya yang harus dikeluarkan tidak melebihi dari laba yang diterma perusahaan. Tambunan, et al (2015) melakukan peneltian untuk mengetahui kondisi kesehatan keuangan subsektor rokok yang listing dan perusahaan delisting tahun 2009 – 2013 di Bursa Efek Indonesia, serta mengetahui tanda – tanda kegagalan bisnis yang mengarah pada kebangkrutan, jika ditinjau dengan menggunakan metode Altman (Z-Score). Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari situs www.sahamok.com dan www.idx.co.id. Penelitian ini dilakukan terhadap 3 perusahaan rokok yang
27
listing dan 3 perusahaan delisting di Bursa Efek Indonesia tahun 2009 - 2013. Peristiwa kebangkrutan pada pasar modal diindikasikan dengan dihapusnya saham perusahaan (delisting) dari Bursa Efek Indonesia, sehingga penelitian ini sejalan dengan dengan kinerja Altman yaitu membandingkan perusahaan yang belum bangkrut, dengan perusahaan yang telah dinyatakan bangkrut. Pada perusahaan listing terdapat 1 perusahaan yang masuk dalam kategori rawan yang terjadi pada tahun 2012, dan kemudian masuk dalam kategori bangkrut ditahun 2013, sedangkan 2 perusahaan lainya selalu masuk dalam kategori sehat selama 5 tahun berturut – turut. Perusahaan delisting yang terdiri atas 3 perusahaan menunjukkan, bahwa terdapat 1 perusahaan yang pernah masuk dalam kategori rawan selama 2 tahun berturut – turut, sedangkan 3 tahun analisis lainya masuk dalam kategori bangkrut. Dua perusahaan lainnya berbeda karena selalu masuk dalam kategori bangkrut selama 5 tahun analisis. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keakuratan metode Altman (Z-Score) tinggi. Prihanthini dan Ratna Sari (2013) memprediksi kebangkrutan Perusahaan Food and Beverage di Bursa Efek Indonesia dengan model Grover, Altman zscore, Springate dan Zmijewski. Penelitian dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan model Grover dengan model Altman Z-Score, model Grover dengan model Springate, dan model Grover dengan model Zmijewski serta untuk mengetahui model prediksi kebangkrutan yang terakurat. Kesimpulan hasil pengujian penelitian ini menunjukkan perbedaan signifikan antara model Grover dengan model Altman Z-Score, model Grover dengan model Springate, serta model Grover dengan model Zmijewski serta tingkat akurasi tertinggi yang diraih model Grover kemudian disusul oleh model Springate, model Zmijewski, dan terakhir model Altman Z-score.
28
H.
Kerangka Pemikiran Prediksi kebangkrutan perusahaan properti di Bursa Efek Indonesia dapat
menggunakan berbagai model di antaranya Altman Z-score, Springate,
dan
model Zmijewski. Model Altman Z-score menggunakan variable independen, yaitu
Working Capital to Total Assets, Retained Earnings to Total Assets,
Earnings Before Interest Tax to Total Assets, Market Value of Equity to Book Value of Debt, dan Sales to Total Assets. Kemudian menggunakan data kelima variable tersebut, dapat dihitung Z-Score, dan perusahaan properti dapat diklasifikasikan ke dalam perusahaan berpotensi mengalami kebangkrutan dan perusahaan yang tidak berpotensi mengalami kebangkrutan. Model
Springate menggunakan variable independen working capital to
total asset, net profit before interest and taxes to total asset, net profit before taxes to current liabilities, dan sales to total asset. Kemudian menggunakan data keempat variabel tersebut, dapat dihitung Springate Score. Berdasar Score ini, perusahaan properti dapat diklasifikasikan ke dalam perusahaan berpotensi mengalami kebangkrutan dan perusahaan yang tidak berpotensi mengalami kebangkrutan. Sementara itu, Model Zmijewski menggunakan analisis rasio yang mengukur kinerja, leverage, dan likuiditas suatu perusahaan untuk model prediksinya. Berdasar rasio tersebut, dapat dihitung probabilitas kebangkrutan perusahaan properti. Selanjutnya, berdasar hasil temuan ketiga model tersebut, dapat dibedakan secara statistik dengan menggunakakan Uji Chi-Square (KaiKuadrat).
29
Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Lapran Keuangan Perusahaan Properti Di Bursa Efek Indonesia
Prediksi Potensi Kebangkrutan Model Springate
Prediksi Potensi Kebangkrutan Model Altman Z-score
Analisis Uji Chi
Square
Prediksi Potensi Kebangkrutan Model Zmijewski
Tingkat Perbedaan Prediksi Kebangkrutan
Gambar II.1 Skema Kerangka Pemikiran a. Hipotesis
Hipotesis adalah
jawaban
sementara
masalah
penelitian.
Hipotesis
penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Terdapat hasil prediksi potensi kebangkrutan pada perusahaan properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesi berdasarkan
model
Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski. 2. Terdapat perbedaan signifikan hasil potensi prediksi kebangkrutan perusahaan properti
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesi
berdasarkan model Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski. 3. Terdapat tingkat perbedaan prediksi potensial kebangkrutan di antara model Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski dengan kenyataan yang ada.
30