TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan Lahan Pertanian Tanah merupakan sumberdaya alam yang mudah mengalami kerusakanl degradasi. Kerusakan tanah tersebut menurut Requier (1977), disebabkan oleh empat hal, yaitu : (I) kehilangan unsur hara dan bahan organik pada daerah perakaran,
(2) terkumpulnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, (3) penggenangan air (water logging), dan (4) erosi. Lahan yang mengalami kerusakan dapat dikatagorikan menjadi lahan kritis sampai sangat kritis. Luas lahan kritis sampai sangat kritis secara nasional sebesar 23.608.081,22 ha, lahan akan h t i s seluas 3.311.942,89 ha dan lahan potensial kritis seluas 8.783.110,02 ha. Sehingga luas keseluruhan sebesar 35.703.134,13 ha (Ditjen
RRL, 1998). Manusia dalam mengusahakan lahannya berusaha untuk mendapatkan hasil yang maksimal clan jarang sekali memperhatikan kelestariannya, sehingga tanah akan mudah mengalami kerusakan (Utomo, 1989). Menurut Arsyad (1989) baik buruknya dan produktif tidaknya suatu tanah yang diusahakan sangatlah ditentukan oleh tindakan manusia.
Erosi Erosi adalah bentuk kerusakan tanah sebagai akibat dari hilangnya lapisan atas (top soil). Kehilangan lapisan atas tanah ini diakibatkan oleh terjadinya pengangkutan lapisan atas tanah dari suatu tempat ke tempat yang lain oleh media alam seperti air atau angin (Arsyad, 1989). Proses erosi terdiri atas tiga bagian yang
berurutan : pengelupasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation) (Asdak, 1995). Erosi dapat dibedakan dalam erosi percik (splash erosion), erosi lembar (sheet erosion), erosi alur (rill erosion), erosi parit (gully erosion), erosi tebing sungai (streambank erosion), longsor (landslide) dan erosi internal (Asdak, 1995; Suresh, 1993). Untuk melaksanakan konservasi tanah terlebih dahulu perlu diketahui besarnya erosi yang terjadi dan besarnya erosi diperbolehkan (Kusmiwati, 1996). Besarnya nilai erosi diperbolehkan (McCorrnack et al., 1979 dalam Utomo, 1989) menggunakan istilah "soil loss tolerance", yaitu : kecepatan maksimum kehilangan tanah pertahun agar produktivitas tanah dapat mencapai tingkatan optimum dalam waktu lama. Besarnya erosi yang diperbolehkan dapat dihitung berdasarkan kedalaman ekivalen tanah dan kelestarian sumber daya tanah yang diharapkan (Hammer, 1981 dalam Utomo, 1989). Besarnya erosi yang terjadi pada suatu DAS dapat didekati melalui metode persamaan umum kehilangan tanah (Universal Soil Loss Equation) atau lebih dikenal dengan persamaan USLE, yang dikemukakan oleh Wischmeier dan Smith (1978, dalam Asdak, 1995) dengan persamaan sebagai berikut :
Dimana : A
=
Besarnya kehilangan tanah persatuan luas lahan, diperoleh dari perkalian faktor-faktor tersebut pada persamaan (1). Besarnya kehilangan tanah atau erosi dalam ha1 ini hanya terbatas pada erosi lembar dan alur. Tidak termasuk erosi yang berasal dari tebing sungai dan juga tidak termasuk sedimen yang terendap di bawah lahan-lahan dengan kemiringan besar.
R
=
K
=
L
=
S
=
C
=
P
=
Faktor erosivitas curah hujan dan aliran permukaan (run ofA untuk daerah tertentu, urnumnya diwujudkan dalam bentuk indeks erosi rata-rata (EI). Faktor R juga merupakan angka indeks yang menunjukkan besarnya tenaga curah hujan yang dapat menyebabkan terjadinya erosi. Faktor erodibilitas tanah untuk horizon tanah tertentu, dan merupakan kehilangan tanah persatuan luas untuk indeks erosivitas tertentu. Dalam ha1 ini petak percobaan yang digunakan adalah panjang 72,6 ft (22,14 m) dan kemiringan lereng 9%, dengan periode tanpa dikerjakan (fallow period) yang panjang. Faktor K adalah indeks erodibilitas tanah, yaitu angka yang menunjukkan mudah tidaknya partikel-partikel tanah terkelupas dari aggregat tanah oleh gempuran air hujan atau aliran permukaan. Faktor panjang kemiringan lereng yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah untuk panjang lereng 72,6 ft (petak percobaan). Notasi L dalarn ha1 ini bukanlah panjang lereng yang sesungguhnya. Faktor gradien (beda) kemiringan yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah untuk tingkat kemiringan tertentu dengan besarnya kehilangan tanah untuk kemiringan lereng 9%. Notasi S dalam ha1 ha1 ini bukanlah kemiringan lereng yang sesungguhnya. Faktor pengelolaan lahan atau cara bercocok tanam yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah pada kondisi bercocok tanam yang diinginkan dengan besarnya kehilangan tanah bila diolah secara terus menerus. Faktor praktek konservasi tanah (cara mekanik) yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah pada kondisi usaha konservasi tanah ideal (misalnya : teknik penanaman sejajar garis kontur, penanaman dalam teras, penanaman dalam larikan) dengan besarnya kehilangan tanah pada kondisi penanaman tegak lurus pada garis kontur.
Konservasi Tanah dan Air Menurut Arsyad (1989), cara pendekatan dalam konservasi tanah yaitu: (1) menutup tanah dengan turnbuh-turnbuhan dan tanaman atau sisa-sisa tanaman agar terlindung dari daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, (2) memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar resisten terhadap penghancuran dan pengangkutan
aggregat serta kemarnpuan yang lebih besar untuk menyerap air dipermukaan tanah, dan (3) mengatur aliran permukaan agar mengalir dengan kecepatan yang tidak merusak dan memperbesar jumlah air yang terinfiltasi ke dalam tanah. Metode konservasi tanah dapat dibagi dalarn tiga golongan utama, yaitu (I) metode vegetatif, (2) metode mekanik clan (3) metode kimia (Arsyad, 1989). Konservasi tanah dengan metode mekanik adalah pembuatan bangunan-bangunan pencegah erosi dan memanipulasi sifat mekanik serta bentuk perrnukaan tanah. Termasuk dalam metode ini adalah pengelolaan tanah menurut kontur (contour farming), penanaman dalam strip, pembuatan guludan, teras, saluran pengalih, saluran pembuang, rorak, chek dam, dan sebagainya. Fungsi konservasi tanah secara mekanik adalah untuk memperlambat aliran permukaan dan mengalirkan dengan kecepatan yang tidak merusak serta memperbesar infiltrasi air kedalam tanah (Arsyad, 1989; Schwab et al., 1981).
Teras Bangku sebagai Bangunan Konservasi Tanah dan Air Menurut Arsyad (1989), terdapat dua tipe utama teras, yaitu ( I ) teras bangku atau teras tangga (bench terrace) dan (2) teras berdasar lebar (broadbase terrace). Schwab et al. (1981) membedakan teras menjadi tiga jenis, yaitu: (1) teras berdasar lebar atau teras gulud atau teras berlereng (broadbase terrace), (2) teras datar (level terrace or conservation terrace) dan (3) teras bangku ('bench terrace). Khusus teras bangku digunakan untuk daerah berlereng 20%
- 30%, dan Qbagi
lagi dalam tiga
bentuk, yaitu: (a) datar, (b) miring kedalam dan (c) miring keluar. Teras bangku atau tangga menurut Arsyad (1989) dapat dibuat pada tanah berlereng dua persen sampai
yang berlereng lebih besar. Teras tersebut dibuat dengan jalan memotong lereng dan meratakan tanah dibagian bawah sehingga terjadi suatu deretan berbentuk tangga atau bangku seperti ditunjukkan Gambar 1
Tanaman semusim Permukaan tan
Muka term ditutup mput atau batu-batuan
a. Teras tangga untuk tanaman semusin
-s.
*,
Rumput atau Iegumrnosa
%
"k
Permukaan tanah semula
b. Teras tangga atau bangku untuk tanaman pohon
Gambar 1 . Sketsa teras bangku atau teras tangga (bench terrace) (Arsyad, 1989) Menurut Suwardjo et al. (1986), teras bangku mempunyai nilai erosi yang paling kecil bila dibandingkan dengan teknik konservasi lainnya. Hal ini dapat dimengerti sebab pada teras bangku laju aliran perrnukaan dapat ditahan, sehingga
partikel-partikel tanah yang lepas karena pukulan butiran-butiran hujan hanya sedikit yang terangkut aliran perrnukaan dan mengendap kembali pada bidang teras tersebut. Bentuk penguat talud (riser) teras bangku pada umumnya terdiri dari dua jenis, yaitu (1) tampingan rurnput (vegetated) dan (2) tampingan batu (stone pitching) atau dinding penahan tegak (vertical retaining wall), terlihat pada gambar berikut ini (Carson, 1989; Hurni, 1980).
Tampingan rumput
Tampingan batu Dinding penahan
Gambar 2. bentuk penguat talud teras bangku (Matthee dan Russell, 1997)
Disain Teras Bangku Untuk menentukan dimensi teras bangku dan letak saluran teras di lapangan, dilakukan mula-mula dengan menentukan jarak vertikal atau jarak horizontal. Jarak vertikal adalah jarak arah vertikal dari puncak lereng atau suatu tempat yang ditentukan pada suatu lereng sampai dasar saluran pertama dan dari dasar saluran pertama sampai dasar saluran berikutnya (lihat Gambar 2). Jarak horizontal adalah jarak arah horizontal dari titik-titik yang sama seperti jarak vertikal (Arsyad, 1989).
Dalam disain lahan, telah dikembangkan beberapa formula untuk menentukan
VI, diantaranya : I. Metode US-SCS (United States - Soil Conservation Service) (ASAE, 1998; Schwab et al., 1981) VI = 0,3 (XS
+ Y) ................................................................................. (2)
Dimana: VI = jarak vertikal (m) X = konstanta penyebaran geografi curah hujan berkisar 0,4 untuk curah hujan sekitar 2000 mrnltahun sampai 0,8 untuk curah hujan sekitar 1000 mmltahun. Y = konstanta yang dipengamhi oleh erodibilitas dan penutup tanah berkisar dari 1 untuk tanah yang berkapasitas infiltrasi rendah dan sedikit tanaman sampai 4 untuk tanah yang erodibilitasnya rendah dengan diberi mulsa paling sedikit 3 tonha. S = kemiringan lereng (%). Bentuk dan perhitungan parameter disain teras USSCS lebih detail dapat dilihat pada Lampiran 1.
2. Metode yang dikembangkan oleh Hurni Hurni (1980) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mendasari perencanaan dimensi dan bentuk teras. Ketiga faktor tersebut adalah (1) kemiringan lereng asal (S), (2) kedalaman tanah (D), dan (3) faktor tofografi (LS) dari USLE. Besarnya nilai LS dihitung dengan persamaan (3) berikut ini.
LS = Dimana : T R K C P
= = = = =
1
RKCP
.......................................................
jumlah erosi maksimum yang diperkenankan (t/thn) erosivitas hujan (t/ha) erodibilitas tanah (thalthn) faktor pengelolaan tanaman faktor praktek konservasi yang diterapkan.
(3)
Untuk menentukan tipe teras terpilih digunakan Nomogram Hurni, terlihat pada Lampiran 2. Sedangkan perencanaan teras terpilih lebih detail disajikan pada Lampiran 3 sampai Lampiran 6. 3. Metode yang dikembangkan oleh Hudson (1981) di beberapa negara diantaranya :
a. Zimbabwe
Dimana : VI = jarak vertikal (fi) S = kemiringan lahan (%) f = konstanta yang tergantung kepada nilai erodibilitas tanah K, berkisar dari 3 sampai 6. b. Afrika Selatan
Dimana : VI = jarak vertikal (ft) S = kemiringan lahan (%) a = konstanta antara 1,5 untuk daerah hujan rendah sampai 4 untuk daerah hujan tinggi. b = konstanta antara 1 (satu) sampai 3 (tiga) tergantung sifat tanah.
c. Israel
Dimana : VI = jarak vertikal (m) S = kemiringan lahan (%)
Stabilitas Lereng Kemantapan suatu lereng tergantung kepada gaya penggerak dan gaya penahan yang ada pada lereng tersebut. Gaya penggerak adalah gaya-gaya yang berusaha untuk membuat lereng longsor, sedangkan gaya penahan adalah gaya-gaya yang mempertahankan kemantapan lereng tersebut. Jika gaya penahan ini lebih besar dari pada gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak akan mengalami gangguan atau berarti lereng tersebut mantap (Das, 1993; Notosiswojo dan Projosumarto, 1984) Kemungkinan bentuk longsor yang terjadi tertera pada Gambar 3. Kemantapan lereng biasa dinyatakan dalam bentuk faktor keamanan (Fs) sebagai berikut:
Fs =
gaya penahan gaya penggerak
... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
(7)
Faktor-faktor yang menyebabkan longsor secara umurn dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Notosiswojo dan Projosumarto, 1984) : I) Faktor-faktor yang menyebabkan naiknya tegangan geser, yaitu : naiknya berat unit tanah karena pembasahan, adanya tambahan beban eksternal seperti bangunan, bertambahnya kecuraman lereng karena erosi alami atau karena penggalian, dan bekerjanya beban goncangan.
2) Faktor-faktor yang menyebabkan turunnya kekuatan geser, yaitu : adanya absorbsi air, kenaikan tekanan pori, beban goncangan atau beban berulang, pengaruh pembekuan dan pencairan, hilangnya sementasi material, proses pelapukan, dan hilangnya kekuatan karena regangan berlebihan pada lempung sensitif.
Secara umum bentuk penampang keruntuhan lereng dibedakan atas : ( 1 ) berbentuk rotasi lingkaran (circular rotational slps) untuk kondisi tanah
homogen, (2) tidak berbentuk lingkaran (non-circular) untuk kondisi tanah tidak homogen, (3) bentuk translasi (translational slip) untuk kondisi tanah yang mempunyai perbedaan kekuatan antara lapisan perrnukaan dengan lapisan dasar longsoran dan pada umumnya terletak pada lapisan tanah dangkal (shallow depth) serta longsoran yang terjadi berupa bidang datar dan sejajar dengan lereng, dan (4) bentuk kombinasi (compound s l p ) biasanya terjadi pada lapisan tanah dengan kedalaman yang besar (greater depth) dan bentuk keruntuhan penampangnya terdiri dari lengkung dan datar (Bhandari, 1995; Craig, 1992; McKyes, 1989; Terzaghi dan Peck, 1987). Bentuk penampang keruntuhan tersebut tertera pada Gambar 3.
Longsoran berbentuk rotasi lingkaran (circularrotational slip)
Longsor bentuk translasi (translationalslips)
Longsoran tidak berbentuk lingkaran (non - circular)
Longsor bentuk kombinasi (compound slip)
Gambar 3. Bentuk longsor pada lereng (Craig, 1992)
Faktor keamanan stabilitas lereng Fs = 1,O adalah lereng dalam keadaan akan longsor, Fs < 1,O lereng tidak stabil dan Fs > 1,O lereng stabil. Perhitungan lereng dapat dilakukan dengan anggapan bahwa: (1) tanah homogen dan kontinu, (2) perhitungan dalam dua dimensi, (3) kondisi tegangan efektif dan (4) bentuk longsoran ideal. Menurut Das (1993), metode perhitungan secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) metode potongan Fellenius (1927) dan Bishop (1955) dan (2) secara grafis oleh Taylor (1937) dan Cousins (1978), merupakan nomogramnomogram yang disusun berdasarkan empiris. Selanjutnya Fellenius (1927, dalam Das, 1993), mengemukakan longsoran terjadi karena rotasi dari satu blok tanah pada perrnukaan gelinciran yang berbentuk busur lingkaran dengan pusat di titik 0, yang selanjutnya disebut longsor rotasi.
%I '\
A
I I
-
- - I
'\
- 2
- 1 2
\
B
-*
-
2
H
w
Gambar
Diagram gaya analisis stabilitas lereng untuk longsor rotasi (Das, 1993)
Dalam analisis stabilitas lereng digunakan metode irisan. Untuk longsor rotasi terlihat pada Gambar 4 dengan AC merupakan lengkungan lingkaran sebagai bidang longsor percobaan. Tanah yang berada di atas bidang longsor dibagi dalam beberapa irisan tegak. Lebar dari tiap irisan tidak hams sama. W, adalah berat irisan, gaya-gaya N, dan T, adalah komponen tegak dan sejajar dari reaksi R. Sedangkan gaya-gaya
yang bekerja untuk longsor translasi dapat dilihat pada Gambar 5. Faktor keamanan (Fs) untuk longsor rotasi dihitung berdasarkan Gambar 4. Untuk kondisi muka air tanah tidak diperhitungkan nilai Fs sesuai dengan persamaan (8), sedangkan untuk kondisi muka air tanah diperhitungkan Fs sesuai dengan persamaan (9) (Das, 1993). Permukaan tanah dun air
,
Gambar 5. Diagram gaya analisis stabilitas lereng untuk longsor translasi (Das, 1993)
Fs =
E c ' l c w cosa tan41
ZWsinn
... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
(8)
Fs =
x c ' l + (W cosa - ul) tan 6 x ~ s i n a
...............................
Dimana :
W 1
=
u
=
4' c'
=
= =
berat total irisan tanah (kgf/m3) panjang segrnen beban W (m) tekanan air pori (kgf/m2) sudut gesek dalarn efektif (") kohesi efektif (kgf/m2)
Analisis longsor translasi dihitung berdasarkan Gambar 5. Untuk kondisi muka air tanah tidak diperhitungkan sesuai dengan persamaan (lo), sedangkan untuk analisis longsor translasi untuk kondisi muka air tanah diperhitungkan menurut persamaan (1 1) di bawah ini (Das, 1993). Fs =
Dimana : H
c' +-tan 4' .................................... flcos2 p.tan P tan /?
= Kedalaman tanah
efektif (m)
fl
= Kemiringan lereng (")
y'
=y
y,
= berat volume
y,,
= berat volume tanah jenuh
- yw(kgf/m3) air (kgf/m3) air (kgf7m3)
Analisis kemantapan lereng terdiri dari beberapa metode yang dapat digunakan, salah satunya metode grafis. Metode grafis ini cenderung untuk menghasilkan faktor keamanan yang kecil, karena faktor-faktor yang disebabkan oleh gaya-gaya normal dan geser antara irisan diabaikan (Bishop, 1955 dan Withrnan dan Balley, 1967 dalam Notosiswojo dan Projosumarto, 1984)