TINJAUAN PUSTAKA Kambing Ternak kambing berasal dari kambing liar yang didomestikasi sebagai ruminansia kecil dari ordo Ungulata, sub-ordo Artiodactila, family Bovidae, subfamily Caprinae, genus Capra dan spesies Capra hircus (Williamson dan Payne, 1993). Kambing adalah hewan bukit yang baik dan dapat menempuh perjalanan jauh untuk mencapai makanan kesukaannya baik berupa tunas, semak, perdu atau tanaman lainnya (Blakely dan Bade, 1991). Kambing berfungsi sebagai ternak penghasil daging, susu, kulit dan bulu serta kotoran (Devendra dan Burns, 1994). Menurut Sudono dan Abdulgani (2002), kambing tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, karena memiliki sifat toleransi yang tinggi terhadap hijauan pakan ternak, rerumputan dan dedaunan serta mampu memanfaatkan bermacammacam hijauan yang tidak dapat dimakan oleh ternak ruminansia lainnya seperti domba dan sapi. Kambing juga mempunyai kemampuan beradaptasi yang luas terhadap berbagai keadaan lingkungan. Kambing Etawah Bangsa kambing Etawah merupakan bangsa kambing yang paling popular dipelihara secara luas sebagai penghasil susu di India dan Asia Tenggara. Kambing Etawah berasal dari distrik Etawah daerah antara sungai Yamuna dan Chambal, propinsi Uttar Pradesh, India dengan nama kambing Jamnapari tetapi di Indonesia dikenal sebagai kambing Etawah (Mason, 1976). Kambing Etawah termasuk tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu. Kambing Etawah di Indonesia merupakan keturunan dari kambing Jamnapari yang diimpor dari India sekitar tahun 1920 (Devendra dan Burns, 1994). Bobot badan kambing Etawah jantan dewasa berkisar antara 69-90 kg dan betina 45-65 kg. Warna bulu tidak seragam, biasanya berwarna belang putih, merah atau coklat. Panjang daun telinga 31-40 cm dengan lebar 7-13 cm, telinga melipat dan terkulai dengan bagian pangkal menguncup. Profil muka cembung dengan rahang atas lebih pendek daripada rahang bawah. Ambing besar dengan puting berbentuk botol. Kaki panjang dan terdapat rambut panjang terutama pada paha dan bagian belakang (Benerjee, 1982). Berdasarkan kemampuannya menghasilkan susu
3
dan potensi pertumbuhannya, bangsa ini digunakan secara luas untuk meningkatkan mutu kambing yang lebih kecil diberbagai negara seperti Malaysia dan Indonesia (Devendra dan Burns, 1994). Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan ternak potong bermutu tinggi, subur dan cocok untuk daerah pedesaan yang masih jarang penduduknya dengan pola peternakan ekstensif (Sudono dan Abdulgani, 2002). Kambing Kacang merupakan kambing yang tahan derita, lincah, mampu beradaptasi dengan baik dan tersebar luas di wilayah Malaysia dan Indonesia (Devendra dan Burns, 1994). Menurut Mekir et al. (1986), kambing Kacang memiliki sifat fisik bertubuh pendek, kepala ringan dan kecil, telinga pendek dan tegak ke atas depan. Pada umumnya memiliki warna rambut tunggal yaitu putih, hitam dan coklat tetapi terdapat juga warna campuran dari dua atau tiga warna tersebut. Kambing Kacang betina mempunyai rambut pendek pada seluruh tubuhnya kecuali pada bagian ekor dan dagu sedangkan pada jantan selain di seluruh tubuh dan dagu juga tumbuh rambut panjang di sepanjang garis leher, pundak dan punggung sampai ekor dan pantat. Kambing Peranakan Etawah Kambing PE merupakan hasil kawin tatar (grading-up) antara kambing Kacang dengan kambing Etawah, sehingga mempunyai sifat diantara tetuanya (Atabany, 2001). Didukung oleh Heryadi (2004), kambing PE merupakan hasil persilangan yang tidak terarah dan kurang terpola antara kambing Etawah asal India dan kambing lokal yaitu kambing Kacang dengan karakteristik yang lebih mendekati ke arah performa kambing Etawah. Markel dan Subandriyo (1997) menyatakan, karakteristik kambing PE adalah kuping panjang antara 18-19 cm, tinggi badan antara 75-100 cm dan bobot jantan sekitar 40 kg dan bobot betina sekitar 35 kg. Kambing jantan PE berbulu di bagian atas dan bawah leher, pundak dan paha belakang lebih lebat dan panjang. Kambing PE betina mempunyai bulu panjang hanya terdapat pada bagian paha belakang. Warna kombinasi coklat sampai hitam abu-abu (Sudono dan Abdulgani, 2002) dan muka cembung (Hardjosubroto, 1994).
4
Pakan Zat makanan adalah komponen bahan makanan yang dapat dicerna, dapat diserap serta bermanfaat bagi tubuh (Sutardi, 1980). Zat makanan merupakan substansi kimia dalam bahan makanan yang dapat dimetabolisasi dan dimanfaatkan untuk hidup pokok, produksi dan reproduksi (Haryanto dan Djajanegara, 1993). Jika persediaan zat makanan cukup dan memenuhi persyaratan dari segi kualitas, kuantitas dan palatabilitas, maka kebutuhan akan hidup pokok, produksi dan reproduksi terpenuhi (Sudono, 1985). Kambing perah mempunyai potensi genetik untuk memegang peranan penting dalam menyediakan protein kualitas tinggi dari susu melalui konversi pakan dari sumber hijauan non kompetitif (Budiarto, 2006). Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya produksi susu adalah dari segi pemberian pakan dan minum. Pakan yang diberikan untuk ternak kambing harus dapat memenuhi kebutuhannya untuk hidup pokok dan reproduksi (Ensminger, 2001). Menurut National Research Council (NRC) (2006), kebutuhan nutrisi yang diperlukan kambing ialah energi, protein, mineral, vitamin dan air. Jumlah pakan yang diberikan tergantung ukuran tubuh, kondisi kambing (pertumbuhan, bunting dan laktasi), jenis kelamin (Sudono dan Abdulgani, 2002), umur dan kapasitas produksi (Gall, 1981). Pakan yang melebihi kebutuhan hidup pokoknya akan dimanfaatkan untuk produksi yang lebih tinggi (Devendra dan Burns, 1994). Kambing PE menyukai pakan beragam tanaman berupa daun kaliandra, mahoni, daun nangka, daun pisang, daun dadap, rumput Setaria dan rumput gajah (Astuti et al., 2002). Konsumsi Pakan Menurut Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor yang esensial dan merupakan dasar untuk hidup pokok dan menentukan produksi. Konsumsi pakan ruminansia dikontrol oleh faktor-faktor yang tidak sama dengan non ruminansia. Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik produktivitas ternak (Arora, 1995). Tingkat konsumsi zat makanan sangat mempengaruhi performa produksi ternak, sedangkan tingkat konsumsi suatu pakan mencerminkan tingkat palatabilitas pakan tersebut (Nursasih, 2005). Palatabilitas pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya rasa, bentuk dan bau dari pakan itu sendiri (Tillman et 5
al., 1989). Hewan ruminansia akan berhenti makan setelah kapasitas rumennya terpenuhi, meskipun sesungguhnya masih membutuhkan tambahan energi untuk metabolisme tubuhnya (Suryapratama, 1999). Menurut Parakkasi (1999), tingkat konsumsi ternak dapat dipengaruhi oleh ternak itu sendiri (bobot badan, jenis kelamin, umur, faktor genetik dan tipe bangsa), makanan yang diberikan dan faktor lingkungan (temperatur, kelembaban dan sinar matahari). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Atabany (2001) menunjukkan induk laktasi kambing PE dengan rataan bobot hidup 48 kg, mengkonsumsi 8,19 kg pakan segar per ekor per hari. Pakan konsentrat, ampas tahu dan singkong yang diberikan selalu habis dikonsumsi. Rataan banyaknya rumput yang dikonsumsi induk laktasi 76,63% dari pemberian atau 4,19 kg/ekor/hari. Pemberian rumput dilakukan tiga kali sehari, sedangkan konsentrat dua kali sehari. Menurut Budiarto (2006), konsumsi rata-rata pakan segar kambing PE pada penelitiannya di Kecamatan Kaligesing 7,19±0,65 kg/ekor/hari. Konsumsi Bahan Kering Konsumsi bahan kering (BK) kambing merupakan satu faktor yang sangat penting. Menurut Devendra dan Burns (1994), kapasitas mengkonsumsi pakan secara aktif merupakan faktor pembatas yang mendasar dalam pemanfaatan pakan. Kambing perah berproduksi tinggi karena mempunyai kemampuan mengkonsumsi bahan kering yang relatif tinggi. Despal et al. (2007) menambahkan, pakan dengan kandungan bahan kering tinggi berpengaruh terhadap intake, pada ruminansia intake dipengaruhi oleh tingkat penyerapan dan bentuk pakan. Kemampuan ternak untuk mengkonsumsi bahan kering berhubungan erat dengan kapasitas fisik lambung dan saluran pencernaan secara keseluruhan (Parakkasi, 1999). Menurut Blakely dan Bade (1991), kambing dapat mengkonsumsi bahan kering yang relatif banyak yaitu 5-7% dari berat hidupnya, jika dibandingkan dengan sapi hanya 2-3% dari berat hidupnya. Konsumsi bahan kering harian kambing perah yang memiliki anak tunggal dengan kadar lemak susu 4% dapat dilihat pada Tabel 1.
6
Tabel 1. Konsumsi Bahan Kering Harian Kambing Perah yang Memiliki Anak Tunggal dengan Kadar Lemak Susu 4% Status (produksi susu) Awal Laktasi (0,88-1,61 kg/hari)
Pertengahan Laktasi (0,63-1,15 kg/hari)
Akhir Laktasi (0,55-1,25 kg/hari)
Bobot Badan (kg)
Konsumsi (kg/hari)
% Bobot Badan
30
1,38
4,59
40
1,67
4,17
50
1,94
3,87
60
2,19
3,66
30
1,22
4,05
40
1,48
3,70
50
1,72
3,44
60
1,95
3,25
30
1,12
3,74
40
1,36
3,41
50
1,58
3,16
60
1,79
2,99
Sumber: NRC (2006)
Kambing lokal (bangsa kambing pedaging dan perah) di daerah tropis yang diberi pakan sekenyangnya mempunyai konsumsi bahan kering harian dalam kisaran 1,8-4,7% dari berat hidupnya (Devendra dan Burns, 1994). Menurut Jaelani (1999), kisaran konsumsi kambing PE pada penelitiannya adalah 446,51 gram/ekor/hari atau setara dengan 3,3-3,75% dari berat hidup, sedangkan menurut Atabany (2001) konsumsi bahan kering harian kambing PE dengan rataan bobot hidup 48 kg pada penelitiannya di peternakan Barokah adalah 1759 gram/ekor/hari atau setara dengan 3,7% dari berat hidup. Konsumsi Protein Kasar Protein adalah senyawa organik kompleks yang mempunyai berat molekul tinggi. Menurut Tillman et al. (1989) ruminansia mendapatkan protein dari 3 sumber, yaitu protein mikroba rumen, protein pakan yang lolos dari perombakan mikroba rumen dan sebagian kecil dari endogenus. Tubuh memerlukan protein untuk
7
memperbaiki dan menggantikan sel tubuh yang rusak serta untuk produksi. Protein dalam tubuh diubah menjadi energi jika diperlukan. Kebutuhan ternak akan protein biasanya disebutkan dalam bentuk Protein Kasar (PK). Kebutuhan protein ternak dipengaruhi oleh masa pertumbuhan, umur fisiologis, ukuran dewasa, kebuntingan, laktasi, kondisi tubuh dan rasio energi protein (Ensminger, 1991). Protein sangat diperlukan untuk pertumbuhan, reproduksi dan produksi susu (Sudono, 1999). Kondisi tubuh yang normal membutuhkan protein dalam jumlah yang cukup, defisiensi protein dalam ransum akan memperlambat pengosongan perut sehingga menurunkan konsumsi. Kebutuhan protein kasar dengan 20% tidak terdegradasi dalam rumen pada kambing perah yang memiliki anak tunggal dengan kadar lemak susu 4% dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kebutuhan Protein Kasar dengan 20% Protein tidak Terdegradasi dalam Rumen pada Kambing Perah yang Memiliki Anak Tunggal dengan Kadar Lemak Susu 4% Status (produksi susu) Awal Laktasi (0,88-1,61 kg/hari)
Pertengahan Laktasi (0,63-1,15 kg/hari)
Akhir Laktasi (0,55-1,25 kg/hari)
Bobot Badan (kg)
Kebutuhan (gram/hari)
30
77
40
93
50
109
60
124
30
70
40
86
50
100
60
114
30
67
40
81
50
95
60
108
Sumber: NRC (2006)
Kelebihan protein masih dapat ditolerir tanpa membahayakan ternak selama timbunan hasil fermentasi tidak meracuni jaringan tubuh, seperti halnya ammonia. Ginting (2000) menambahkan, kekurangan protein merupakan faktor pembatas
8
utama dalam produksi susu kambing karena pada musim kering kandungan PK rumput mengalami penurunan yang drastis, yaitu dibawah 4%. Konsumsi PK yang tinggi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah jenis bahan pakan khususnya bahan penyusun konsentrat. Konsentrat merupakan pakan penguat dengan kadar serat kasar rendah dan banyak mengandung protein dan juga energi. Palatabilitas pakan dan jumlah pakan yang dimakan akan meningkatkan konsumsi protein yang lebih banyak dari kebutuhan minimalnya sehingga dapat berguna untuk meningkatkan bobot badan. Protein dalam tubuh diubah menjadi energi jika diperlukan. Protein dapat diperoleh dari bahan-bahan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan yang berasal dari biji-bijian. Menurut Atabany (2001), konsumsi PK kambing PE pada penelitiannya di peternakan Barokah adalah 215 gram/ekor/hari. Konsumsi Lemak Menurut Parakkasi (1999), lemak merupakan zat tidak larut air, sistem organik yang larut dalam pelarut organik. Lemak mempengaruhi palatabilitas suatu pakan oleh karenanya mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Sutardi, 1980). Parakkasi (1999) menambahkan, ruminansia dewasa kurang toleransi terhadap lemak, kecuali anak ruminansia yang masih menggunakan makanan cair. Kadar lemak ransum ruminan yang melebihi 7-8% menyebabkan gangguan pencernaan, terutama
penurunan
konsumsi
yang
disebabkan
oleh
gangguan
fungsi
mikroorganisme dalam rumen. Jika dipandang dari segi energi lemak akan mengandung energi lebih kurang dua kali nilai energi biji-bijian yang baik (Parakkasi, 1999). Bahan makanan utama ruminan (hijauan) tidak banyak mengandung lemak (sekitar 3% saja), akan tetapi jika konsumsi hijauan tersebut cukup banyak maka konsumsi dari lemak akan relatif banyak pula, apalagi ditambah bahan makanan khusus (dari berbagai makanan konsentrat) yang banyak mengandung lemak (Parakkasi, 1999). Konsumsi Energi Energi sangat diperlukan pada setiap langkah makhluk hidup, tanpa adanya energi berarti tidak ada kehidupan. Sebagian besar porsi dari pakan yang dikonsumsi
9
oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan energi karena reaksi anabolik dan katabolik dalam tubuh memerlukan energi. Kebutuhan energi kambing perah yang memiliki anak tunggal dengan kadar lemak susu 4% dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kebutuhan Energi Kambing Perah yang Memiliki Anak Tunggal dengan Kadar Lemak Susu 4% Status (produksi susu) Awal Laktasi (0,88-1,61 kg/hari)
Pertengahan Laktasi (0.63-1,15 kg/hari)
Akhir Laktasi (0,55-1,25 kg/hari)
Bobot Badan (kg)
Kebutuhan (kg/hari)
30
0,73
40
0,89
50
1,03
60
1,16
30
0,64
40
0,78
50
0,91
60
1,04
30
0,59
40
0,72
50
0,84
60
0,95
Sumber: NRC (2006)
Ørskov (1998) menyatakan bahwa ternak membutuhkan energi untuk digunakan dalam pemeliharaan fungsi dalam tubuh, mengontrol temperatur tubuh dan untuk produksi. Energi bahan pakan pada umumnya dibagi menjadi 4 bagian yaitu energi bruto, energi dapat dicerna, energi metabolis dan energi netto (Anggorodi, 1994). Energi yang digunakan oleh tubuh hewan merupakan hasil dari metabolisme lemak, protein dan karbohirat. Besarnya konsumsi energi tergantung pada bobot badan, temperatur lingkungan, tingkat produksi, aktivitas dan umur. Jika ternak diberikan pakan yang mengandung energi dibawah kebutuhan untuk hidup pokok, maka ternak akan menggunakan lemak tubuhnya (Ørskov, 1998).
10
Rasio Pakan Hijauan dan Konsentrat Pemberian formula ransum yang tepat merupakan hal penting dalam efisiensi pemanfaatannya. Kekurangan satu atau kelebihan zat makanan akan menurunkan efisiensi produksi. Persentase pemberian hijauan dalam ransum tergantung pada kualitas hijauannya, bila kualitas hijauan tinggi maka persentasenya dalam ransum dapat ditingkatkan, sebaliknya bila kualitas hijauan rendah maka persentasenya dalam ransum harus diturunkan dengan ketentuan batas minimal serat kasar dan protein ransum tetap terjaga (Suherman, 2005). Menurut Basya (1983), untuk dapat memproduksi susu yang tinggi dengan tetap mempertahankan kandungan protein dan lemak dalam batas-batas normal, perimbangan itu haruslah 60:40. Namun hendaknya dipahami bahwa angka perimbangan itu belum merupakan suatu imbangan optimal yang mutlak karena perimbangan itu dapat bergeser ke kiri atau ke kanan sesuai dengan kualitas hijauan yang diberikan. Apabila hijauan yang diberikan berkualitas tinggi, maka perimbangan bergeser ke kiri yaitu ke arah pemberian yang lebih banyak. Sebaliknya apabila hijauan yang diberikan berkualitas rendah, maka perimbangan tadi bergeser ke kanan yaitu pemberian konsentrat ditingkatkan sedangkan pemberian hijauan diturunkan. Menurut Sudono et al. (2003), pakan yang terlalu banyak hijauan menyebabkan kadar lemak susu tinggi karena lemak susu tergantung dari kandungan serat kasar dalam pakan, sapi betina dewasa yang sedang laktasi dan kering membutuhkan kadar serat kasar dalam ransum minimal 17% dari bahan kering. Kadar lemak kasar susu dipengaruhi oleh rasio hijauan dan konsentrat, turunnya rasio hijauan dalam bahan pakan menghasilkan kandungan lemak susu rendah yang diikuti oleh peningkatan protein susu. Menurut Arora (1995), pemberian rasio pakan konsentrat lebih besar daripada hijauan menyebabkan pH rumen menurun yang disebabkan konsentrat akan menekan kerja buffer karena mastikasi berkurang akibat produksi saliva menurun dan meningkatkan produksi volatile fatty acid (VFA). Produksi Susu Produksi susu dipengaruhi oleh mutu genetik, umur induk, ukuran dimensi ambing, bobot hidup, lama laktasi, tatalaksana yang diberlakukan terhadap ternak (perkandangan, pakan dan kesehatan), kondisi iklim setempat, daya adaptasi ternak 11
dan aktivitas pemerahan (Phalepi, 2004). Phalepi (2004) menambahkan, produksi susu pada ternak yang umur tua lebih tinggi dari pada ternak umur muda karena ternak umur muda masih mengalami pertumbuhan. Pendistribusian zat-zat makanan pada ternak muda hanya sebagian untuk produksi susu dan sebagian lagi untuk pertumbuhan, termasuk kelenjar ambing yang masih pada tahap perkembangan. Produksi akan meningkat sejak induk beranak kemudian akan turun hingga akhir masa laktasi (Blakely dan Bade, 1991). Puncak produksi akan dicapai pada hari ke 48-72 setelah beranak (Devendra dan Burns, 1994), menurut Atabany (2001), puncak produksi susu kambing di peternakan Barokah pada hari ke-11, menurut Sutama dan Budiarsana (1997), puncak produksi susu kambing PE akan dicapai pada hari ke-40 setelah beranak. Menurut Novita et al. (2006), produksi susu pada kambing PE dapat berkisar antara 567,1 gram/ekor/hari, hingga 863 gram/ekor/hari (Subhagiana, 1998) sedangkan menurut Atabany (2001), produksi susu harian kambing PE di peternakan Barokah 0,99 kg/ekor/hari. Perbedaan produksi susu tersebut menurut Phalepi (2004) karena produksi susu dipengaruhi oleh mutu genetik, umur induk, ukuran dimensi ambing, bobot hidup, lama laktasi, tatalaksana pemeliharaan, kondisi iklim setempat, daya adaptasi ternak, dan aktivitas pemerahan. Komposisi Susu Susu segar adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan tidak mendapat kondisi apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya (SNI, 1998). Secara alamiah yang dimaksud dengan susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan, yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain (Sudono, 1999). Susu kambing mempunyai karakteristik warnanya lebih putih, globul lemak susunya lebih kecil dan beremulsi dengan susu sehingga mudah dicerna, dan mengandung mineral (Ca, P), vitamin A, E, dan B kompleks yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi (Blakely dan Bade, 1991). Sutama dan Budiarsana (1997) menambahkan, susu kambing mempunyai karakteristik yang khas yaitu 12
warnanya lebih putih dari susu sapi, karena susu kambing tidak mengandung karoten, yang menyebabkan warna agak kekuningan seperti susu sapi. Kualitas susu ditentukan oleh (1) warna, bau, rasa, uji masak, uji penyaringan (kebersihan) dan (2) berat jenis, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak dan kadar protein (Sudono, 1999). Secara keseluruhan nilai gizi susu kambing lebih tinggi dibandingkan susu sapi kecuali kadar kolesterol sedangkan kandungan protein, vitamin C dan vitamin D mempunyai nilai yang sama. Apabila dibandingkan dengan air susu ibu (ASI), nilai gizi susu kambing lebih tinggi kecuali pada kandungan lemak, zat besi (Fe) dan kolesterol. Perbandingan susu kambing, susu sapi dan ASI menurut American Dairy Goat Association (2002) dapat dillihat pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi Susu Kambing, Sapi dan ASI Komposisi
Kambing
Sapi
ASI
Protein (%)
3,0
3,0
1,1
Lemak (%)
3,8
3,6
4
Kalori (/100ml)
70
69
68
Vitamin A (IU/gram)
39
21
32
Vitamin B (µg/100mg)
68
45
17
Riboflavin (µg/100mg)
210
159
26
2
2
3
Vitamin D (IU/gram)
0,7
0,7
0,3
Kalsium (%)
0,19
0,18
0,04
Fe (%)
0,07
0,06
0,2
Fosfor (%)
0,27
0,23
0,06
12
15
20
Vitamin C (mg asam askorbat/100ml)
Kolesterol (mg/100ml) Sumber : American Dairy Goat Association (2002)
Susu yang baik apabila mengandung jumlah bakteri sedikit, tidak mengandung spora mikroba petogen, bersih yaitu tidak mengandung debu dan kotoran lainnya, mempunyai citarasa atau flavour yang lebih baik dan tidak dipalsukan (Saleh, 2004). Komponen-komponen susu yang terpenting adalah protein dan lemak. Kandungan protein susu berkisar 3-5% sedangkan kandungan lemak berkisar 3-8%. Kandungan energi adalah 65 kkal dan pH susu adalah 6,7.
13
Komposisi susu bervariasi tergantung bangsa, produksi susu, tingkat laktasi, kualitas dan kuantitas makanannya (Larson, 1981). Kandungan susu relatif tidak berubah untuk satu spesies kecuali kadar lemak. Asam lemak rantai pendek (C4-C14) disintesis dalam kelenjar ambing. Asam lemak ini berasal dari asetat dan beta hidroksi butirat yang diproduksi di rumen. Protein susu sebagian besar disintesis di kelenjar ambing dari asam amino dan sebagian lagi ditransfer langsung dari darah. Laktosa berasal dari glukosa yang ada di dalam darah sementara mineral dan vitamin ditransfer langsung dari darah (Schmidt, 1971). Tingginya kadar nutrien air susu kambing dipengaruhi oleh faktor bangsa yang berbeda, pakan, jumlah air yang diminum, tingkat laktasi, interval pemerahan dan iklim daerah setempat (Joesoep, 1986). Menurut Atabany (2001) komposisi susu kambing PE pada penelitiannya di peternakan Barokah yaitu berat jenis 1,0292, bahan kering 16,38%, lemak 6,68%, protein 2,93 %, Solid Non Fat (SNF) 9,69%. Menurut Subhagiana (1998) komposisi susu kambing PE pada penelitiannya adalah bahan kering 13,70-14,30%, protein 3,55-4,24% dan lemak 4,22-4,44%. Efisiensi Produksi Susu Efisiensi dapat diartikan sebagai peningkatan keluaran (output) satuan produksi dibandingkan dengan masukan (input) (Budiarsana et al., 2001). Efisiensi (produksi) dikatakan nol adalah bila ternak tidak menghasilkan produksi sama sekali. Terdapatnya variasi produksi di dalam spesies ternak yang sama disebabkan oleh faktor individu ternaknya yaitu besarnya ternak, tingkat konsumsi pakan dan produksi ternaknya (Devendra dan Mc Leroy, 1982). Efisiensi (E) dinyatakan dengan rumus : E = P/F x 100, dimana P adalah produk (dalam hal ini susu) yang dinyatakan sebagai energi dan F adalah energi (EM) dalam pakan yang dikonsumsi (Devendra dan Burns, 1994). Menurut Brody (1945), efisiensi produksi susu ditentukan dengan menggunakan rumus yaitu produksi susu dibagi konsumsi pakan dalam satuan kkal. Subhagiana (1998) melaporkan efisiensi produksi energi susu berkisar antara 17,9131,46% dan efisiensi produksi protein susu berkisar 21,48-36,98%. Menurut Budi (2002) efisiensi produksi energi susu berkisar antara 13,50-22,41%. Menurut Adriani (2003) efisiensi produksi bahan kering susu berkisar 6,2-11,6% dan efisiensi produksi protein susu berkisar 12,5-23,4%. 14