TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Ayah-Anak Dalam kehidupan berkeluarga, ayah biasanya diidentikkan sebagai orang tua yang banyak meninggalkan rumah, menghukum, mempunyai pengetahuan yang lebih luas, berkedudukan lebih penting dari pada ibu (sebagai kepala keluarga), serta merupakan seorang pencari nafkah dalam keluarga (Hurlock 1999, diacu dalam Sukaesih 2001). Pada perkembangan selanjutnya, timbul kesadaran bahwa ayah merupakan orang tua yang ikut berperan bersama ibu dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, ayah seharusnya memegang tanggung jawab yang lebih untuk mengasuh anak (Kammeyer 1987). Ayah berperan dalam semua aspek perkembangan anak, mulai dari peran tradisional seperti pencari nafkah, sampai kepada teman bermain anak. Menurut Halle (1999), peran ayah tidak sama dengan ibu, mereka unik. Berikut adalah peran ayah: 1.
Ayah sebagai pencari nafkah Secara tradisional, ayah merupakan tulang punggung keluarga yang mempunyai peran sebagai pencari nafkah. Meski mereka tidak hidup bersama
keluarga,
tapi
ayah
tetap
berkewajiban
untuk
memberi
keluarganya makanan, jaminan kesehatan, pakaian, dan lain sebagainya. Bila ayah tidak mampu untuk memberi jaminan ekonomi, maka akan menyebabkan keterbatasan interaksi ayah dan anak di jangka pendek dan menghambat perkembangan anak pada jangka panjangnya. Selain itu, ayah yang mempunyai jam kerja panjang, akan membatasi waktu yang tersedia dalam berinteraksi dengan anak, meski mereka tetap menjadi role model bagi anaknya. 2.
Ayah sebagai teman dan teman bermain Beberapa orang mengatakan bahwa ayah adalah “orang tua yang menyenangkan” karena ayah lebih banyak bermain dengan anak dibandingkan anak bermain dengan ibu. Biasanya, cara bermain ayah lebih banyak melibatkan kegiatan fisik.
3.
Ayah sebagai pemberi kasih sayang Ayah
banyak
melakukan
cara
pemberian
kasih
sayang
yang
menyenangkan untuk anak mereka. Mereka juga merupakan tempat pengasuh utama anak saat ibu mereka bekerja di luar rumah. 4.
Ayah sebagai guru dan role model
8
Ayah, seperti ibu, menunjukkan tanggung jawab dalam mengajar anak tentang cara untuk bertahan hidup di dunia ini. Mereka mengajari tentang banyak hal yang harus diketahui mengenai kehidupan, tentang pelajaran di sekolah, sampai perasaan empati. 5.
Ayah sebagai pendisiplin Ayah mempunyai peran dalam memonitoring tingkah laku anaknya.
6.
Ayah sebagai pelindung Keamanan anak dimonitor oleh ayah dengan cara mengatur lingkungan rumah agar aman untuk anak. Selain itu, ayah juga mengajarkan anak tentang risiko kesehatan dan bagaimana membuat anak aman selama tidak bersama orang tua, misalnya jangan berbicara dengan orang asing.
7.
Ayah sebagai advokat Selain ibu, ayah juga berperan penting dalam pemilihan sekolah anak dan hal lainnya yang membutuhkan pemilihan.
8.
Ayah sebagai pendukung Sebuah studi mengatakan bahwa ibu yang mendapatkan dukungan penuh dari ayah untuk menyusui anaknya, maka akan meneruskan penyusuan pada anak lebih lama dibanding ibu yang tidak mendapat dukungan dari suaminya. Ayah juga membantu anak untuk lebih mengenal keluarga besar dan masyarakat sekitar melalui peran ini. Komunikasi Keluarga Keluarga memiliki berbagai macam definisi berdasarkan beberapa teori
yang dipelajari. Secara tradisional, keluarga didefinisikan sebagai unit terkecil dalam masyarakat terdiri dari dua orang atau lebih yang terikat oleh pernikahan, darah, maupun adopsi yang tinggal bersama dalam sebuah rumah tangga. Sedangkan definisi keluarga menurut Friedman, Bowden, dan Jones (2003) adalah dua orang atau lebih yang tinggal bersama atas dasar ikatan dan kedekatan emosi serta mengidentifikasikan diri mereka sendiri sebagai bagian dari keluarga. Komunikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengiriman dan penerimaan berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat sehingga dipahami apa yang dimaksud. Sedangkan menurut McCubbin dan Dahl (1985), diacu dalam Friedman, Bowden, dan Jones (2003), komunikasi mengacu pada proses dalam mempertukarkan perasaan, keinginan, kebutuhan, informasi
9
dan opini. Galvin, Bylund, dan Brommel (2004) mendefinisikan komunikasi keluarga sebagai proses berbagi dalam keluarga. Komunikasi yang jelas dan fungsional diantara para anggota keluarga merupakan alat yang sangat penting untuk memelihara lingkungan pengasuhan di mana perasaan yang perlukan tentang
harga
diri
dan
penghargaan
diri
berkembang
dan
menjadi
terinternalisasi. Proses komunikasi membutuhkan pengirim pesan, saluran untuk mengirim pesan, penerima pesan, dan interaksi (umpan balik) antara pengirim dan penerima pesan. Pengirim pesan adalah seseorang yang berusaha untuk mengirimkan pesan kepada orang lain; penerima pesan adalah target dari pesan yang dikirim oleh pengirim; saluran adalah rute untuk mengirim pesan (Friedman, Bowden, dan Jones 2003). Komunikasi
orang
tua
dan
anak
merupakan
hal
yang
dapat
mempengaruhi karakter dan perkembangan sikap seorang individu (Chaffee, McLeon, dan Wackman 1973, diacu dalam Huang 2010). Chaffee et al. (1973) pertama kali mengembangkan konsep pola komunikasi keluarga menjadi dua dimensi besar dalam pola komunikasi keluarga: socio-oriented dan conceptoriented. Dengan menggunakan dua dimensi ini, Chaffee dan McLeon (1972) diacu dalam Huang (2010) mendapatkan empat jenis tipe keluarga yang berbeda: protective, pluralistic, laissez-faire, dan consensual. Ritchie dan Fitzpatrick (1990) diacu dalam Huang (2010) merumuskan kembali socio-oriented dan concept-oriented menjadi dua pola komunikasi yang dinamakan conformity-orientation dan conversation-orientation. Keluarga yang memiliki ekspresi conformity tinggi mempunyai nilai dan perilaku yang sama untuk mempertinggi keselarasan dalam keluarga. Anak yang dibesarkan dalam ekspresi ini akan mempunyai rasa malu yang lebih tinggi dan kekurangan dalam menghargai diri sendiri (Huang 1999, diacu dalam Huang 2010). Keluarga yang rendah ekspresi conformity-nya lebih mudah untuk mengganti nilai, perilaku, dan pola interaksi sehingga akan terjadi individualitas yang tinggi di anggota keluarga. Anggota keluarga yang memiliki tingkat conversation yang tinggi akan membutuhkan sistem keluarga terbuka sehingga setiap individu dapat berbicara dengan bebas tentang konflik yang terjadi tanpa merasa takut dengan apa yang akan mereka katakan. Keluarga yang memiliki tingkat rendah dalam dimensi ini akan lebih sedikit berbicara pada setiap konflik yang terjadi.
10
Fitzpatrick dan Ritchie (1994), diacu dalam Galvin, Bylund, dan Brommel (2004), mendeskripsikan empat tipe komunikasi keluarga berdasarkan interaksi yang mereka gunakan dalam keluarga (conformity-orientation atau conversationorientation), dapat dilihat pada Gambar 1. 1.
Consensual, tinggi di conversation dan conformity yang mempunyai karakteristik memaksa untuk menjaga keharmonisan dalam keluarga meskipun anak juga diminta untuk mengutarakan ide dan perasaannya.
2.
Pluralistic, tinggi di conversation dan rendah di conformity, mempunyai komunikasi yang terbuka dan dukungan emosi di keluarga. Anak lebih diharapkan untuk memberikan opini yang berbeda tanpa takut akan diberi hukuman.
3.
Protective, rendah di conversation sedangkan tinggi di conformity, keluarga terlalu menegakkan peraturan dan menghindari konflik yang ada. Anak diminta untuk tidak memberikan opini yang berbeda dan lebih diharapkan untuk menjaga keharmonisan dalam keluarga.
4.
Laissez-faire, rendah di conversation dan conformity, keluarga ini jarang berinteraksi sehingga menyebabkan anak-anak mencari dukungan dari luar keluarga.
High Conformity Orientation Low Conformity Orientation
High Conversation Orientation
Low Conversation Orientation
Consensual
Protective
Prulalistic
Laissez-faire
Gambar 1 Tipe Keluarga Berdasarkan Pola Komunikasi Keluarga Waktu merupakan salah satu sumber daya yang perlu dikelola supaya seluruh kegiatan dapat berjalan sesuai dengan rencana (Guhardja et al. 1992). Terdapat berbagai variasi dari setiap individu dalam memanfaatkan waktu, tetapi apabila dilihat dari jenis penggunaan waktu, terdapat empat tipe, yaitu: 1. Waktu produktif atau waktu bekerja. 2. Waktu subsisten, yaitu adalah waktu yang digunakan untuk makan, tidur, perawatan diri, dan kesehatan. 3. Waktu antara, yaitu waktu selama perjalanan ke tempat kerja. 4. Waktu luang. Ayah biasanya menggunakan banyak waktu untuk bekerja, sehingga ayah kurang meluangkan waktunya untuk mengurusi anak. Dari studi yang
11
dilakukan di Amerika dan Jepang, peneliti memprediksikan bahwa keterlibatan orang tua berhubungan negatif dengan jumlah waktu yang dihabiskan oleh ayah untuk bekerja. Dengan kata lain, semakin banyak waktu yang dihabiskan oleh ayah untuk bekerja, maka akan semakin sedikit waktu yang diluangkan untuk bermain bersama anak. Sedangkan, keluarga dengan ibu yang meluangkan sedikit waktu di rumah akan lebih terlibat dalam mengurus anak dibandingkan keluarga dengan ibu yang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah (IshiiKuntz et al. 2004).
Gaya Pengasuhan Setiap orang tua memiliki gaya pengasuhan tersendiri untuk anaknya. Gaya pengasuhan sendiri merupakan cara berinteraksi orang tua dengan anak. Dalam pengasuhan, terdapat elemen yang dapat membentuk kualitas, para peneliti kemudian mengidentifikasi dua unsur penting dalam pengasuhan (Hastuti 2008): a. Responsiveness or warmth and supportiveness merupakan tingkat responsif dari orang tua kepada anak, yang dapat berupa kehangatan serta dukungan dari orang tua untuk anak b. Demandingness or behavioral control merupakan sebuah tingkatan dan kontrol dari orang tua yang berkaitan dengan penerapan aturan, batasan, serta konsekuensi atas perbuatan yang dilakukakan oleh anak Baumrind (1987), yang melakukan penelitian ini menggunakan 139 anak berusia 4 dan 10 tahun, diacu dalam Baumrind (1991) kemudian menggunakan dimensi ini untuk mengklasifikasikan gaya pengasuhan sebagai berikut: 1. Gaya pengasuhan permissive Orang tua lebih responsif atau hangat, tapi tidak memiliki aturan yang jelas. Ciri-ciri dari gaya pengasuhan ini adalah kurangnya pemberian aturan dan batasan kepada anak, pemberian aturan yang terlalu longgar, tidak memperdulikan anak, terlalu memanjakan anak, serta kurang memberi penjelasan atau pengarahan kepada anak. 2. Gaya pengasuhan authoritarian (otoriter) Gaya pengasuhan ini ditandai oleh pembatasan dan pemberian aturan yang ketat, ketaatan yang bersifat tidak terbantah, otoritas orang tua yang sangat kuat, serta penerapan aturan dan batasan yang bersifat kaku dan tanpa penjelasan. Menurut orang tua dengan gaya pengasuhan otoriter, disiplin
12
merupakan sesuatu yang diharuskan dalam setiap aspek kehidupan anak. Kepatuhan dan pemberian hukuman adalah hal yang sangat mereka kedepankan. 3. Gaya pengasuhan authoritative (demokratis) Gaya pengasuhan ini merupakan gaya pengasuhan yang menerapkan keseimbangan antara kasih sayang dan disiplin. Dalam gaya pengasuhan demokratis ini, orang tua menjelaskan tentang batasan dan aturan yang telah keluarga sepakati bersama. Orang tua juga akan berdiskusi dengan anak tentang semua kepentingan anak. Selain penuh dengan disiplin yang dapat dijelaskan, mereka juga dikenal sebagai orang tua yang penuh kehangatan dan kasih sayang, sehingga kadang-kadang disebut sebagai orang tua yang moderat. Kelekatan Kelekatan emosi, secara spesifik, diartikan sebagai salah satu hubungan antara orang tua dan anak berupa pemberian perhatian, seperti kontak mata, kontak fisik, cara berbicara, serta ajakan untuk bersenang-senang melalui bernyanyi dan bermain (Alward 2002; Zeitlin et al. 1990 dalam Hastuti 2008). Masa depan anak sangat dipengaruhi oleh kedekatan emosional ini, karena hal ini akan menciptakan rasa aman serta dasar yang kuat untuk kesehatan mental yang positif (Hastuti 2008). Penelitian Bowlby pada tahun 1969, 1973, dan 1988 (Reese 2008) menyebutkan bahwa dalam tahap awal kehidupan, seorang bayi terikat dengan figur orang tua melalui sistem kelekatan yang akan membawa bayi tersebut lebih dekat dengan orang tua dalam menjalani kehidupan yang tidak aman, sehingga dia akan lebih percaya diri untuk menjelajahi dunia. Sejak awal, bayi lebih percaya untuk mengikuti pola perilaku pengasuh dan berusaha untuk mengembangkan mentalnya (Ma dan Huebner 2008). Menurut penelitian Bowlby pada tahun 1988 (Ma dan Huebner 2008) bayi yang memiliki kelekatan aman (secure) secara umum dapat lebih mengembangkan kepercayaannya kepada orang lain. Attachment menurut Henningsen (2004) diacu dalam Hastuti (2008) merupakan dorongan biologis untuk mencari kedekatan serta kontak dengan figur seseorang saat dalam ketakutan, sakit, lelah, yang relatif sepanjang waktu. Ikatan attachment memiliki beberapa elemen: a) ikatan tersebut merupakan
13
hubungan emosi dengan seseorang yang spesial; b) hubungan tersebut menimbulkan rasa aman, nyaman, dan senang; c) ketiadaan ikatan akan menimbulkan perasaan kecewa dan kehilangan. Mary Ainsworth pada tahun 1978 (Perry 2001) melakukan sebuah percobaan simpel yang kemudian terkenal dengan sebutan “Strange Situation Procedure”, yang melibatkan anak dan ibunya di dalam sebuah ruangan. Percobaan dimulai ketika ibu dan anak sedang bermain di ruangan dan seorang yang tidak dikenal datang mendekati keduanya, kemudian ibu meninggalkan anak dengan orang asing tersebut. Orang asing berusaha
untuk
menenangkan
anak
sampai
ibu
datang
kembali
dan
menenangkan anak, sedangkan orang asing tersebut pergi. Setelah tenang, ibu kembali meninggalkan anak sendiri dan orang asing itu kembali datang kemudian menenangkan anak. Sampai akhirnya ibu datang kembali untuk menenangkan anak dan menjalin kedekatan lagi. Dalam penelitian ini digunakan kategori sebagai berikut (berdasarkan Hazan dan Shaver 1994 diacu dalam Reese 2008): 1. Secure, orang yang mempunyai kelekatan secure akan merasa percaya kepada orang lain, memiliki tingkat percaya diri yang tinggi, dan disukai banyak orang 2. Ambivalent, orang dengan kelekatan ambivalent akan merasa khawatir bahwa orang lain tidak akan membalas perasaannya dan rentan terhadap stres 3. Avoidant, orang yang memiliki kelekatan avoidant akan kesulitan dalam menjalani hubungan yang intim Kepuasan Kepuasan dapat diartikan sebagai perasaan senang atau bahagia ketika melakukan hal yang tepat atau telah berhasil memenuhi kebutuhan/keinginan (Worldnet Dictionary dalam Hanifa 2005). Sedangkan menurut Anorogo dan Widiyanti (1990) dalam Hanifa (2005) kepuasan merupakan hal yang bersifat individu, sehingga setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan berbeda yang sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam dirinya. Semakin banyak aspek yang sesuai dengan keinginan individu, maka akan semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan, begitupun sebaliknya.
14
Remaja Remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa anak-anak menuju masa dewasa yang memiliki perubahan besar pada fisik, kognitif, dan psikososial. Pencarian identitas (jati diri) yang meliputi kepribadian, seksual, dan pekerjaan merupakan tugas utama remaja.
Fase pubertas yang biasanya
menandai awal usia remaja merupakan suatu proses untuk mencapai kematangan seksual sehingga memiliki kemampuan untuk bereproduksi (Papalia, Old, dan Feldman 2008). Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 sampai masa remaja akhir (awal 20 tahun). Masa remaja menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan usianya, yaitu remaja awal (12-14 tahun), remaja madya (15-17 tahun), dan remaja lanjut (18-21 tahun). Pada umumnya, remaja awal masih bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Remaja pada masa awalnya merupakan sebuah periode ketika tingkat konflik dengan orang tua semakin tinggi melebihi pada saat masa anak-anak. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan ini antara lain: perubahan biologis, pubertas, perubahan kognitif meliputi peningkatan idealisme serta penalaran logis, perubahan sosial pada kemandirian dan identitas, dan perubahan kebijaksanaan dan harapan orang tua. Oleh karena itu, orang tua sebaiknya menyadari bahwa masa remaja merupakan periode transisi menuju masa dewasa yang membutuhkan waktu lama (Santrock 2003 dalam Saputri 2010). Orang tua dengan anak remaja, memiliki perasaan yang campur aduk. Satu sisi orang tua ingin anaknya menjadi mandiri, disisi lain orang tua menyadari bahwa sulit untuk melepaskannya. Orang tua harus mampu untuk memberikan kebebasan yang cukup kepada remaja sekaligus melindungi mereka dari ketidakdewasaan dalam menilai. Tekanan ini sering kali membuat keluarga berada dalam konflik. Bentuk dan hasilnya amat dipengaruhi oleh gaya pengasuhan dalam keluarga (Papalia, Old, dan Feldman 2008).