11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Sistem Sosial dengan Ekosistem Hubungan manusia dengan alam terbentuk sebagai upaya manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup dan mempertahankan eksistensinya melalui eksploitasi terhadap alam. Eksploitasi atas sumberdaya alam ini telah berlangsung selama ribuan tahun, dan manusia dengan kemampuan ilmu pengetahuannya juga semakin merasa berkuasa atas alam.
Pada kondisi
seperti ini berkembanglah hubungan dominasi manusia atas alam dan sebagai penyedia segala kebutuhan manusia alam dianggap tidak memiliki otonomi sedikitpun untuk mengatur dirinya sendiri.
Bahkan pada perkembangan
selanjutnya manusia semakin berupaya untuk meningkatkan dominasinya terhadap alam.
Meningkatnya berbagai kerusakan dan bencana alam yang
mengancam eksistensi kehidupan umat manusia telah memunculkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
Pandangan bahwa
lingkungan juga mempunyai hak-hak untuk mengatur hidupnya sendiri dan eksploitasi yang berlebihan terhadap alam justeru dapat berdampak negatif bagi semua kehidupan mendorong berkembangnya pandangan ecocentric globality. Pandangan ini menganggap perlunya upaya-upaya mempertahankan bumi tanpa kompromi dari aktivitas degradatif yang berlanjut (Duarte 2001). Eksploitasi yang berlebihan ini ternyata telah membawa dampak yang semula tidak diperhitungkan secara cermat. Degradasi sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana bahkan dalam lingkup global (seperti perubahan iklim global yang mengiringi proses deforestrasi, dan pencemaran udara lainnya) telah mengancam kehidupan umat manusia. Oleh Moran (2006), kondisi seperti ini terjadi karena adanya pandangan manusia yang salah tentang alam, perubahan perilaku konsumsi serta perubahan pola hidup. Dalam konteks etika ekologi, semua makhluk memiliki hak-hak hidup yang sama.
Oleh karena itu keseimbangan lingkungan merupakan konsep
filosofis penting dalam menciptakan keberlanjutan kehidupan semua makhluk di bumi ini. Ini membuktikan bahwa bagaimanapun manusia sebagai bagian dari ekosistem memiliki ketergantungan dengan komponen ekosistem yang lain. Bahkan dalam konteks yang lebih luas lagi menurut Gonese dalam Millar, (2004)
12 manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling tinggi kedudukannya di muka bumi ini mempunyai kewajiban utama untuk menjaga kelestarian ekosistem tersebut. Terkait dengan adanya dikotomi antara masyarakat modern dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, masyarakat lokal dianggap lebih mengetahui kondisi lingkungannya secara lebih baik. Mereka mengatur dan mengelola alam dengan cara yang mereka anggap sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka menggunakan rasionalitas dengan caranya sendiri yang dalam pandangan masyarakat modern sering dianggap tidak rasional. Dalam pandangan mereka terdapat hubungan saling ketergantungan antara manusia dan alam/lingkungan dan menganggap bahwa alam merupakan dunia kehidupan bagi mereka, sehingga merusak alam berarti merusak kehidupan mereka (Little 2000).
Oleh karena itu
dalam segala
tindakannya selalu mengarah pada strategi bertahan hidup dan hidup selaras dengan alam. Pemaknaan terhadap alam dengan cara demikian melahirkan bentuk pengetahuan yang disebut pengetahuan lokal (local knowledge).
2.2 Sistem Sosial dan Ekosistem Petani Lahan Rawa Pasang Surut Lahan rawa pasang surut merupakan wilayah yang tergenang dan berhubungan dengan adanya pengaruh pasang surut tinggi muka air laut. Lahan rawa pasang surut umumnya berada pada daerah dataran, dimana air pasang surut masih cukup mempunyai pengaruh terhadap tinggi rendahnya permukaan air di daerah tersebut (Suhardjono 1994).
Widjaja Adhi (1986)
mengelompokkan lahan pasang surut menjadi empat tipologi utama menurut macam dan tingkat masalah fisiko-kimia tanahnya, yaitu : (1) lahan potensial, (2) lahan sulfat masam (bisa berupa sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual, (3) lahan gambut (bisa berupa lahan bergambut, gambut dangkal, gambut sedang, gambut dalam dan gambut sangat dalam), dan (4) lahan salin. Selain pembagian menurut tipologi di atas, lahan rawa pasang surut juga dibedakan menurut tipe luapan airnya. Berdasarkan tipe luapan atau jangkauan air pasang, lahan rawa pasang surut dibedakan menjadi empat tipe, yakni (Suhardjono 1994; Noor 1996): a) Tipe A , yakni lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pasang besar (spring tide) maupun pasang kecil (neap tide)
13 b) Tipe B, yakni lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar. c) Tipe C, yakni lahan yang tidak pernah terluapi walaupun pasang besar. Air pasang mempengaruhi secara tidak langsung, air tanah berada dekat permukaan tanah kurang dari 50 cm. d) Tipe D, yakni lahan yang tidak terluapi air pasang dan air tanah lebih dalam dari 50 cm dari permukaan tanah. Menurut Noor (1996) hampir semua lahan rawa pasang surut yang terdapat di Kalimantan, Sumatera, dan Irian Jaya mempunyai faktor pembatas berupa kendala tata air yang sukar dikendalikan dan tingkat kesuburan lahan yang rendah. Sifat kimia tanah berupa kemasaman tanah yang tinggi (pH 3,0 4,5), kahat hara makro, pada lahan gambut kahat hara mikro (Cu dan Zn), adanya ion atau senyawa yang meracuni (Al, Fe, dan SO4), dan bahan organik atau gambut yang mentah merupakan faktor yang menghambat bagi pertumbuhan tanaman.
Kendala dan faktor pembatas ini berupa tata air yang
sukar dikendalikan dan tingkat kesuburan lahan yang rendah akibat adanya tanah sulfat masam dan gambut (Sarwani 1994; Noor 1996; Widjaya Adi 1997). Karena itulah, memanfaatkan lahan rawa pasang surut untuk kegiatan pertanian membutuhkan ketekunan dan usaha yang sungguh-sungguh. Pemanfaatan lahan rawa pasang surut
untuk kegiatan pertanian
merupakan salah satu bentuk adaptasi masyarakat petani terhadap kondisi biofisik lahan rawa pasang surut yang spesifik. Proses ini telah berlangsung selama ratusan tahun dan telah melembaga dalam kehidupan sosial masyarakat petani di lahan rawa pasang surut.
Melalui pengalaman dan berbagai uji coba
(trial and error) dalam menangani kendala dan keterbatasan lahan rawa pasang surut, para petani mampu memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya dan hidup selaras dengan alam.
Petani setempat juga mengembangkan kelembagaan
sosial spesifik sebagai bentuk adaptasi sistem sosial dengan ekosistem terutama dalam upaya mengatasi kendala pengaturan tata air. Kondisi seperti inilah yang digambarkan oleh Marten (2001) sebagai bentuk koadaptasi (fitting together) antara sistem sosial dengan ekosistem. Pada tahapan lebih lanjut penyesuaian-penyesuaian kedua subsistem ini akan menciptakan mekanisme koevolusi, yakni suatu bentuk perubahan bersama (changing together). Terjadinya perubahan-perubahan pada ekosistem lahan rawa pasang surut oleh aktivitas manusia yang merubahnya menjadi lahan pertanian diikuti dengan pembentukan kelompok-kelompok petani yang
14 menyesuaikan dengan kondisi spesifik lahan rawa pasang surut. Terbentuknya kelompok handil merupakan bentuk adaptasi sistem sosial agar mereka mampu menjalin kerjasama dalam mengelola lahan tersebut. Kelompok petani yang tergabung dalam suatu handil ini selanjutnya berkembang sebagai sebuah kelembagaan sosial yang bukan hanya mengatur aspek-aspek teknis dalam bidang pertanian, tetapi juga nilai dan norma kehidupan petaninya. Koadaptasi antara sistem sosial dengan ekosistem lahan rawa pasang surut juga terlihat dalam model pengelolaan lahan yang berbeda pada masingmasing tipe luapan lahan. Pengembangan pola usahatani yang mengarah pada sistem tanaman campuran antara padi dengan tanaman tahunan (multiple cropping)
dengan
sistem
surjan
(tembokan)
merupakan
suatu
bentuk
pengetahuan mereka dalam upaya mengurangi resiko kegagalan dalam usahatani.
Sistem tanaman campuran antara padi dengan tanaman kelapa
merupakan model dominan di lahan rawa pasang surut tipe A, sedang di tipe B dan C tanaman tahunannya seperti jeruk, rambutan dan mangga (Hidayat 2000; Suhardjono 1994). Faktor
lainnya
menyangkut
penanganan
gambut,
kandungan bahan organik tinggi dan selalu dijenuhi air.
yang
memiliki
Gambut memiliki sifat
khas yakni ’kering tak balik’ dan penyimpan air yang besar. Artinya apabila terjadinya drainase berlebihan akan menyebabkan hilangnya kemampuan daya dukung gambut bagi pertanian dan sebagai penyuplai air yang besar bagi pertanian sekitarnya (Hardjowegeno 1997; Azwar 1997). Berdasarkan hal ini, petani setempat sangat berhat-hati dalam menangani lahan yang mengandung gambut dan tidak melakukan pembakaran habis lapisan gambut tersebut. Pengelolaan lahan sawah dilakukan dengan menanam padi lokal yang toleran dan telah beradaptasi dengan kondisi ekosistem setempat. Padi varietas lokal ini umumnya berumur panjang (9-11 bulan) dan produksi yang relatif rendah (2-3 ton/ha) tetapi rasa nasinya sesuai dengan selera masyarakat setempat. Padi variteas lokal ini umumnya tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif dan kurang responsif terhadap pemupukan sehingga petani memiliki banyak waktu luang serta biaya produksi yang relatif rendah. Oleh karena itu tanaman padi umumnya diusahakan secara subsisten dan untuk keperluan uang tunai biasanya diperoleh melalui kegiatan mencari ikan maupun hasil tanaman tahunan atau sumber lain di luar sektor pertanian. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana adaptasi sistem sosial dilakukan masyarakat untuk menjaga
15 kelangsungan hidupnya dalam mengatasi berbagai kendala dan faktor pembatas di lahan rawa pasang surut. 2.3 Pengetahuan Lokal 2.3.1 Makna Pengetahuan Lokal Menurut Forsyth (2004), makna lokal dalam pengertian pengetahuan lokal merujuk pada pengetahuan yang dibatasi ruang dalam suatu wilayah tertentu, atau mungkin juga didasarkan pada aspek budaya dan etnis tertentu. Ini berarti bahwa pengetahuan lokal merupakan sesuatu yang secara khusus terikat dengan orang atau tempat tertentu. Menurut Chamber (1987), pengetahuan lokal sering juga disebut sebagai ilmu rakyat, ethnoscience, ilmu pedesaan, dan ada juga yang menggunakan istilah ilmu pengetahuan teknis asli. Tidak ada definisi tunggal tentang terminologi pengetahuan lokal (local knowledge).
Beberapa ahli memberikan terminologi yang berbeda untuk
menjelaskan definisi ini dan cenderung mengalami perluasan terminologi seperti : pengetahuan yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge), pengetahuan tradisional (traditional knowledge),
pengetahuan teknis yang berasal dari
pribumi (indigenous technical knowledge), sistem pengetahuan yang berasal dari pribumi (indigenous knowledge system). Beberapa pengertian dari masingmasing terminologi ini antara lain (Muyungi and Tillya 2003) : a. Vlaenderen (1999) menggambarkan indigenous knowledge sebagai suatu koleksi gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi yang digunakan untuk memandu, mengendalikan dan menjelaskan tindakan-tindakan di dalam suatu pengaturan yang spesifik berdasar pada sistim nilai (religi dan kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib) dan epistemologi. Ia selanjutnya juga memberikan tentang pengertian indigenous knowledge system sebagai pengetahuan yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat asli/pribumi dengan cara yang sistematis. b. Brouwer
(1998)
menggambarkan
kemampuan-kemampuan
kuno,
traditional
adat-istiadat
knowledge
yang
asli
dan
sebagai khusus,
konvensi-konvensi dan rutinitas-rutinitas yang mewujudkan suatu pandangan statis dari kultur masyarakat. Traditional knowledge beroperasi pada level praktis tindakan-tindakan yang diulangi yang didasarkan pada pendapatpendapat dan kepercayaan-kepercayaan.
16 c. Kajembe (1999) mendeskripsikan indigenous technical knowledge meliputi pengetahuan tentang perkakas dan teknik-teknik untuk penilaian/penaksiran, kemahiran, perubahan bentuk dan pemanfaatan sumber daya yang spesifik untuk lokasi tertentu. Terkait dengan karakteristik pengetahuan lokal ini, Ellen and Bicker (2005) menyebutkan beberapa hal, diantaranya : a) merupakan sekumpulan pengalaman, dan berakar serta dihasilkan oleh orang-orang yang tinggal pada suatu tempat tertentu b) ditransmisikan secara oral, melalui peniruan dan demontrasi c) merupakan konsekuensi dari praktik langsung dalam kehidupan sehari-hari dan terus menerus serta diperkuat melalui pengalaman dan trial and error d) cenderung empiris daripada pengetahuan teoretis dalam arti sempit. e) pengulangan merupakan ciri khas dari tradisi, bahkan ketika pengetahuan baru ditambahkan. f)
selalu berubah, diproduksi serta direproduksi, ditemukan juga hilang, sering direpresentasikan sebagai sesuatu yang statis
g) bersifat khas h) terdistribusi tidak merata secara sosial i)
bersifat fungsional
j)
holistik, integratif dan terdapat di dalam tradisi budaya yang lebih luas Sistem pengetahuan lokal juga membentuk dasar untuk pengambilan
keputusan,
yang
diterapkan
melalui
organisasi-organisasi
lokal,
dan
menyediakan pondasi bagi inovasi-inovasi dan percobaan lokal. Sistem pengetahuan lokal berupa keterampilan-keterampilan adaptif dari masyarakat setempat, biasanya diperoleh dari pengalaman yang lama, yang sering dikomunikasikan melalui "tradisi-tradisi lisan" dan pembelajaran melalui para anggota keluarga dan generasi ke generasi.
Oleh karena itulah dalam
pandangan Kalland (2005), pengetahuan lokal sebenarnya bukan merupakan mitos, karena juga memiliki sifat sebagai pengetahuan empiris (menyangkut persepsi tentang lingkungan), pengetahuan paradigmatik (pemahaman), dan pengetahuan institusional (keterlekatan dengan institusi sosial). Pengetahuan lokal adalah informasi dasar bagi suatu masyarakat yang memudahkan komunikasi dan pengambilan keputusan. Pengetahuan lokal adalah bagian sistematis dari pengetahuan yang diperoleh oleh masyarakat
17 lokal melalui akumulasi pengalaman-pengalaman informal, dan pemahaman mendalam tentang lingkungan sebagai suatu kultur. Kadang-kadang persepsi tentang pengetahuan lokal ini berbeda dengan orang luar (di luar komunitas bersangkutan).
Menurut
Geertz (2003), bahasa sebagai sistem simbol dan
dialektika diperlukan untuk memahami tentang pengetahuan lokal ini karena pengertian ‘benar’ dan ‘salah’ haruslah dipahami dalam konstruksi kebahasaan mengenai apa yang ‘benar’ dan apa yang disebut ‘salah’ dalam konteks komunitas lokal. Senada dengan hal tersebut Warren dan Rajasekaran (1993), menyatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan sesuatu yang unik yang terdapat dalam suatu kultur atau masyarakat. Dalam konteks antropologi, Wahyu (2007) menggunakan konsep kearifan lokal, yang dalam terminologi budaya dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Dengan kata lain, merupakan pengetahuan lokal yang unik, berasal dari budaya masyarakat setempat serta menjadi dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa pengetahuan lokal meliputi tradisi-tradisi dan praktik-praktik sudah berlangsung lama dan berkembang di wilayah tertentu, asli berasal dari tempat tersebut atau masyarakat-masyarakat
lokal
yang
terwujud
dalam
kebijaksanaan,
pengetahuan, dan pembelajaran masyarakat. Dalam banyak hal pengetahuan lokal ini disampaikan antar generasi secara lisan dari orang ke orang dan dapat berbentuk kisah-kisah, legenda-legenda, dongeng-dongeng, upacara agama, lagu-lagu, dan bahkan hukum. 2.3.2 Perkembangan Pengetahuan Lokal Sifat dinamis pengetahuan lokal yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungannya membuat pengetahuan lokal dapat berkembang dan eksis
dalam
kehidupan
sosial
masyarakat.
Menurut
Sundar
(2005),
pengetahuan lokal bukan merupakan entitas abadi dan stagnan, tetapi mengalami perubahan sesuai dengan kondisi-kondisi material pengetahuan tersebut, perubahan lingkungan di mana mereka berada dan bagaimana mereka menempatkan penggunaannya. Oleh karena itulah Nababan (1995) menyatakan
18 bahwa pengetahuan masyarakat tentang lingkungan lokalnya berkembang dari pengalaman
sehari-hari.
Berdasarkan
sistem
pengetahuan
lokal
ini,
kebudayaan mereka beradaptasi dan berkembang dalam menjawab berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi.
Kedalaman penghayatan masyarakat
tradisional terhadap prinsip-prinsip konservasi alam tercermin dari sistem budaya dan sosial mereka yang memiliki rasa hormat kepada alam sehingga menjadi bagian darinya.
Prinsip ini juga tercermin dalam perangkat sistem
pengetahuan dan daya adaptasi penggunaan teknologi yang sesuai dengan kondisi alam serta nilai distribusi dan pengalokasian hasil alam yang menjamin kepuasan kepada semua pihak tanpa berlebihan. Melalui sifat dinamis dari pengetahuan lokal ini, masyarakat menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan di dalam
lingkungan mereka dan
menyerap dan mengasimilasi
gagasan-gagasan dari bermacam sumber yang berbeda. Pengetahuan lokal berkembang dari kemampuan masyarakat lokal beradaptasi dengan lingkungannya.
Seperti pandangan teori koevolusi
(coevolution) yang menyatakan bahwa pengetahuan lokal mengacu pada proses dinamis dan berkelanjutan dari adaptasi timbal balik antara lingkungan alamiah dan umat manusia. Teori koevolusi menunjukkan bagaimana sistem sosial (terutama sistem pengetahuan), dan ekosistem saling berhubungan, dan bagaimana mereka mempengaruhi satu sama lain (FAO 2004). Terkait dengan koevolusi antara sistem sosial dan ekosistem dari pertanian tradisional ke arah pertanian modern digambarkan oleh Marten (2001) sebagai perubahan bersama (changing together) kedua sub sistem tersebut dalam menanggapi proses modernisasi. Perubahan dalam sistem sosial, terutama pengetahuan lokal masyarakat terjadi sebagai tanggapan atas perubahan pada sistem pertanian, seperti perubahan dari sistem pertanian polikultur menjadi monokultur, skala usaha dan orientasi produksi, mekanisasi, serta pandangan tentang dunia pertanian sebagai sebuah bisnis (agribisnis). Pengetahuan lokal yang dimiliki petani bersifat dinamis, karena itu dapat dipengaruhi oleh teknologi dan informasi eksternal antara lain kegiatan penelitian para ilmuwan, penyuluhan dari berbagai instansi, pengalaman petani dari wilayah lain, dan berbagai informasi melalui media masa.
Meskipun
berbagai teknologi dan informasi masuk ke lingkungannya, tetapi tidak semua diterima, diadopsi dan dipraktikkan oleh petani lokal. Sebagai aktor yang paling mengenal kondisi lingkungan di mana ia tinggal dan bercocok tanam, petani
19 memiliki kearifan (farmer wisdom) tertentu dalam mengelola sumber daya alam. Kearifan inilah yang kemudian menjadi dasar dalam mengadopsi informasi dan teknologi sehingga menghasilkan pengetahuan lokal yang sesuai dengan kondisi pertanian setempat (Mulyoutami dkk. 2007) Pengetahuan lokal merupakan hasil dari proses belajar berdasarkan persepsi petani sebagai pelaku utama pengelola sumber daya lokal. Dinamisasi pengetahuan sebagai suatu proses sangat berpengaruh pada corak pengelolaan sumber daya alam khususnya dalam sistem pertanian lokal (Mulyoutami dkk. 2007).
Banyak praktik sistem pertanian lokal yang dapat memberikan ide
potensial dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya secara lestari. Petani mengembangkan pengetahuan baru dari pengetahuan dasar yang sudah mereka miliki ditambah dengan masukan eksternal. Apabila ada inovasi baru yang diperkenalkan kepada petani, maka mereka akan melakukan serangkaian penelitian sederhana untuk menguji efektivitas dan manfaat dari inovasi baru tersebut. Berdasarkan uji-coba yang mereka lakukan, kemudian mereka membuat keputusan apakah akan menerapkan inovasi baru tersebut atau tidak. Jika hasilnya seperti yang mereka harapkan maka mereka akan mengadopsi pengetahuan tersebut. Untuk memantapkan keberlanjutan pengembangan pengetahuannya,
masyarakat
dapat
menyerap
pengetahuan
luar,
memahaminya, dan menginterpretasikannya serta menyesuaikan dengan kebutuhan lokal dan selanjutnya menghasilkan pengetahuan lokal yang bersesuaian dengan hal tersebut. Oleh karena itu menurut Hans-Dieter Evers dan Gerke (2003), dalam interaksi dengan pengetahuan luar maka akan terjadi penyesuaian dengan persyaratan-persyaratan lokal sehingga menjadi suatu pengetahuan yang dapat diterima oleh masyarakat. Proses ini menunjukkan bahwa pengetahuan lokal bersifat dinamis dan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Di sisi lain, sistem dan kelembagaan sosial dalam kehidupan masyarakat sangat menentukan perkembangan pengetahuan lokal terutama sebagai perwujudan dan eksistensi pengetahuian lokal tersebut dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Yurisetou (2003), kelembagaan lokal ternyata dapat
menjembatani semua kepentingan dalam kehidupan masyarakat lokal. Bahkan peran pengetahuan lokal menjadi lebih efektif jika terdapat kerjasama dari berbagai pihak yang memberi penguatan terhadap peran lembaga adat. Hal ini ditunjukkan oleh Azhari (2006), di mana lembaga ’Tuah Bano Safakat” di
20 Kabupaten Simeulue sebagai sebuah organisasi lokal berfungsi sebagai pengatur masalah pertanian dan mediator antara petani dengan pemerintah untuk mengangkat permasalahan lokal dalam kebijakan pembangunan daerah. Hal ini bertujuan agar pembangunan pertanian yang dilaksanakan sesuai dengan kondisi daerah. Adanya mekanisme kerja yang tumpang tindih antara sistem dan kelembagaan sosial lokal dengan kelembagaan sosial modern, misalnya antara sistem pemerintahan desa dengan pemerintahan adat dapat menyebabkan terjadinya konflik. Menurut Achadiyat (1995), konflik ini dapat dihindarkan melalui penggabungan subsistem-subsistem dalam masyarakat ke dalam suatu kesatuan yang utuh (crafting institutions), yaitu menjalin hubungan sosial menjadi satuan yang utuh.
Upaya-upaya ini dapat berupa penggabungan
institusi-institusi lokal dengan institusi-institusi yang berlaku dalam kehidupan bernegara. Senada dengan hal tersebut, Kusumaatmadja (1995) menyatakan bahwa untuk menjembatani agar pengetahuan lokal masyarakat tersebut dapat berfungsi dalam kehidupan modern salah satunya dengan membuat padanan organisasi-organisasi adat dengan organisasi modern. 2.3.3 Kendala Pengembangan Pengetahuan Lokal Ketika munculnya dikotomi antara tradisional dengan modern, maka sebenarnya terdapat pandangan yang berbeda mengenai alam.
Bagi
masyarakat tradisional umumnya mereka menganut pikiran harmoni dengan alam sekitar, sedangkan masyarakat modern dibentuk oleh jalan pikiran yang menyatakan bahwa manusia mempunyai hak untuk memanipulasikan dan mengubah alam.
Sistem pengetahuan lokal sebagai bagian dalam kehidupan
masyarakat tradisional sering diabaikan atau dianggap jelek perubahan yang mengintrodusir inovasi.
oleh agen
Kepercayaan yang kuat terhadap
keuntungan relatif dari ide baru sering membimbing para teknokrat untuk berasumsi bahwa dalam kenyataan praktis mereka dapat menanggulangi untuk mengatasi berbagai kekurangan tersebut.
Padahal dalam kenyataannya
berbagai inovasi tersebut diambil atau diperoleh dari praktik-praktik dalam kehidupan masyarakat tradisional (Rogers 2003). Adanya
anggapan
yang
membedakan
secara
dikotomi
antara
pengetahuan lokal dengan sains karena adanya beberapa perbedaan
21 karakteristik dasar antar kedua jenis pengetahuan tersebut.
Agrawal (1995)
melihat perbedaan ini baik dari aspek substansi, metodologis dan kontekstual. Secara substansi pengetahuan
lokal dalam kehidupan masyarakat sangat
terkait dengan adaptasi mereka untuk hidup berinteraksi dengan alam dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sedangkan sains lebih menekankan pada konstruksi dan eksplanasi atas fenomena yang terjadi secara global. Secara metodologis jelas tergambar bahwa pengetahuan lokal berkembang melalui pengalaman dan pemahaman terhadap gejala alam sehingga lebih banyak menggunakan cara trial and error dan tidak berdasarkan logika deduktif, lebih holistik daripada analitis, nonsistematis, dan relatif tertutup.
Sains justru
sebaliknya diperoleh melalui kerangka ilmiah yang objektif analitis dan dikembangkan melalui capaian-capaian rigorus sebelumnya, sistematis, dan terbuka. Secara kontekstual pengetahuan lokal sangat terkait dengan kondisi lingkungan sosial biofisik dengan konteks spesifik lokal, sedangkan sains atau sains lebih menekankan pada pengetahuan global dengan batasan-batasan epistemologi dalam mencapai validitasnya secara universal. Pengaruh luar terhadap masyarakat tradisional di Indonesia mencapai puncaknya
ketika
bangsa
Indonesia
menerapkan
pembangunan
yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Menurut Dove (1985), pembangunan di Indonesia diartikan sebagai perubahan yang dikehendaki dan dibutuhkan sehingga apa saja yang dianggap kuno dan tidak mengalami perubahan dengan sendirinya dianggap sebagai keterbelakangan, termasuk kebudayaan tradisional yang dipandang sebagai penghalang proses pembangunan. Pada konteks ini pembangunan diartikan sebagai modernisasi, sehingga semua yang tradisional harus disingkirkan
Padahal menurut Dove (1985), budaya tradisional tidak
harus ditafsirkan sebagai faktor penghambat pembangunan atau modernisasi, tetapi dalam batas-batas tertentu dapat berperan positif untuk mendorong terjadinya laju modernisasi di dalam kehidupan masyarakat Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan terutama pembangunan pedesaan, Narwoko dan Suyanto (2006), menyatakan bahwa kebijaksanaan pembangunan yang lahir dan serba dikendalikan oleh negara, bukan cuma menelikung pranata-pranata komunitas desa yang tradisional, tetapi dalam banyak kasus juga makin menambah beban kemelaratan golongan miskin desa dan mengakibatkan merebaknya polarisasi sosial di kalangan masyarakat desa. Demi efisiensi, stabilitas, dan ketertiban adminsitrasi, modernisasi dan kegiatan
22 pembangunan yang serba sama dan tersentralistik mungkin benar diperlukan untuk mendukung kelancaran tugas birokrasi. Namun campur tangan negara yang cenderung otoriter dan bersifat sangat sentralistis dalam pelaksanaan kebijaksanaan dikhawatirkan di saat yang bersamaan juga akan melahirkan berbagai masalah. Upaya penyeragaman kegiatan pembangunan nasional yang melalaikan eksistensi adat istiadat, kepercayaan, dan budaya lokal cenderung akan menimbulkan ketegangan daripada kelancaran pelaksanaannya. Bahkan menurut Sundar (2005), pengetahuan mereka akan terpinggirkan oleh retorika pembangunan melalui proses sosial ekonomi. Perspektif klasik pembangunan yang mendasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan hanya akan berlangsung kalau masyarakat desa dipenetrasi dari luar, yaitu dari kota, sektor industri atau dari sektor modern lainnya (Maliki 1999). Pembangunan atau modernisasi dalam hal ini dilihat sebagai proses yang berasal dari luar, yakni dari kota atau sektor modern.
Desa digambarkan
sebagai kelompok tradisional sehingga dengan demikian ditempatkan sebagai pihak yang harus menerima kekuatan perubahan.
Masyarakat desa secara
konstan ditempatkan sebagai masyarakat statik, marginal dan didominasi oleh kekuatan negara. Oleh karena itu dalam pandangan Fakih (1995), proses bagaimana modernisasi berhadapan dengan tradisi adalah proses penjinakan dan dominasi. Pembangunan pertanian yang dilaksanakan dalam konteks modernisasi melahirkan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, tetapi ternyata juga disertai berbagai persoalan kesenjangan bagi masyarakat di pedesaan. Keberhasilan modernisasi pertanian ternyata tidak banyak dinikmati oleh masyarakat petani di pedesaan, melainkan justru dinikmati oleh mereka yang terlibat proyek industrialisasi substitusi impor (Maliki 1999). Bahkan dalam perkembangannya tidak mengubah bargaining position para petani, baik secara ekonomi maupun politik dan petani tetap saja diposisikan sebagai komunitas statik, tertinggal, tidak siap menerima inovasi. Kendala yang dihadapi dalam perkembangan pengetahuan lokal juga karena terjadinya pemaksaan kepentingan para elit penguasa terhadap kelembagaan yang tumbuh dalam masyarakat petani. Menurut Gany (2002), kehadiran lembaga dan pranata formal yang sebenarnya dimaksudkan untuk membantu mereka, justru akan menumbuhkan dualisme format kelembagaan, tidak jarang saling bertentangan.
Oleh karena itu akibat pendekatan dan
intervensi yang arusnya lebih banyak dari atas, inisitatif petani justru mengalami
23 pemarjinalan. Bahkan Shiva (1997) menyatakan bahwa pengembangan sains di bidang pertanian melalui pembangunan pertanian dengan teknologi modern ternyata bukan hanya mengikis pengetahuan lokal masyarakat tetapi juga memarginalkan kaum perempuan. Hal ini sejalan dengan pandangan Giddens (2003), yang menyatakan bahwa modernitas dapat menghancurkan tradisi. Menurut
Nababan
(1995),
disintegrasi
sosial
dan
budaya
lokal
merupakan masalah yang umum ditemukan sebagai akibat pemaksaan nilai-nilai baru dari luar yang sudah berlangsung lama. Masuknya sistem pemerintahan yang baru di tingkat desa dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa semakin menjauhkan masyarakat dari adatnya. Hukum adat yang dulu sangat efektif mengatur penggunaan sumberdaya alam untuk kepentingan serta menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat menjadi kehilangan kekuatannya.
Sementara itu, sistem dan peraturan-peraturan baru dari
pemerintah belum bisa diterima dan ditegakkan dengan efektif. Terkait dengan kendala yang dihadapi pengetahuan lokal dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi, Blaike (1992) menyebutkan lima keadaan atau goncangan yang sangat menantang dalam penggunaan dan pemeliharaan pengetahuan lokal: (a) wilayah dengan pertumbuhan penduduk tinggi dan diiringi dengan penurunan sumberdayanya akibat tekanan eksternal memerlukan adaptasi khusus teknologi pertanian baru untuk meningkatkan produksi dan keanekaragaman pencarian nafkah; (b) pada keadaan di mana terjadi perpindahan penduduk yang cepat, dapat menyebabkan struktur sosial ekonomi yang membentuk pengetahuan lokal tidak sesuai dengan kondisi lingkungan yang baru; (c) pada keadaan di mana bencana dan kejadian ekstrim lainnya yang secara material dan budaya menghilangkan pengetahuan lokal karena banyak orang yang memiliki pengetahuan lokal meninggal; (d) adanya proses-proses yang secara perlahan bergerak merubah lingkungan (seperti perubahan
iklim),
meluasnya
deforestrasi,
dan
degradasi
lahan)
yang
menantang daya lentur dan kemampuan adaptasi pengetahuan lokal; dan (e) tekanan ekonomi dan komersialisasi yang berlangsung cepat dapat merusak pengetahuan lokal 2.3.4 Perpaduan Pengetahuan Lokal dengan Sains Pengetahuan lokal umumnya digambarkan sebagai romantika masa lalu, sebagai penghambat utama dalam pembangunan, bukan merupakan sebuah isu
24 penting dan bukan sebagai obat mujarab bagi transaksi dengan permasalahanpermasalahan lingkungan yang utama, dan juga bukan sebagai komponen kritis budaya alternatif dalam modernisasi. Oleh karena itu menurut Nygren (1999) dalam pandangan ahli-ahli pembangunan, pengetahuan lokal dianggap penghambat dalam kemajuan, dan penduduk lokal hidup dibatasi oleh gagasan atau pemikiran tradisional mereka. Dalam pandangan Sillitoe (1998), pengetahuan lokal merupakan pengetahuan praktis masyarakat yang diperoleh secara turun temurun dari nenek moyang mereka dan didasarkan atas pengalaman dan pembelajaran terhadap fenomena alam dan melekat dalam kehidupan sosial budaya mereka. Pengetahuan lokal ini bersifat spesifik secara budaya, lokasi geografi, dan sering meliputi regional ekosistem tertentu. Oleh karena itu dalam menyikapi krisis lingkungan dan pembangunan, pengetahuan lokal memiliki keterbatasan dalam memecahkan isu-isu global dan isu lingkungan atau isu pembangunan pada lokasi atau masyarakat yang berbeda. Sistem pengetahuan lokal sangat jarang dijadikan sebagai dasar dalam pertarungannya dengan sains. Masyarakat lokal akan menggabungkan dan menginterpretasi kembali aspek-aspek pengetahuan dan praktik modern ke dalam tradisi mereka sebagai bagian dari proses globalisasi yang sedang berlangsung. Melalui cepatnya perubahan ini dalam jangka panjang sistem pengetahuan lokal ini mengalami proses modifikasi ke arah perpektif ilmiah. Banyak orang menganggap bahwa pengetahuan lokal bersifat tidak logis, tidak ilmiah dan bahkan terkesan sebagai tahayul. Menurut Nygren (1999), hal ini karena pengetahuan lokal tersebut dianggap lahir dari kebiasaan masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam merubah sikap dan budaya (conformism), keterbatasan dalam inisiatif pemecahan masalah (fatalism), keterbatasan responsibilitas dan tergantung dengan pemerintah (parasitism), percaya dengan hal-hal
magis
(irrationalism)
dan
keterbatasan
dalam
pendidikan
(analphabetism). Oleh karena itu dalam pengembangannya pengetahuan lokal ini menurut Sillitoe (1998) memerlukan advokasi melalui peningkatan komunikasi antara ahli ilmu alam, ahli sosial, dan masyarakat lokal.
Dalam pandangan Habermas
pengembangan pengetahuan lokal ini harus dilakukan dengan komunikasi melalui dialog-dialog yang emansipatoris sehingga terwujud masyarakat
25 demokratis radikal, yakni masyarakat yang berinteraksi dalam suasana komunikasi bebas dari penguasaan (Hardiman 1990). Berbeda
halnya
dalam
pandangan
Escobar
(1999),
di
mana
pengetahuan lokal dalam pertarungan politiknya dengan kepentingan kaum kapitalis dan pakar teknologi (scientist) akan membentuk suatu hibrid melalui proses hibridisasi budaya (cultural hybridization). Dengan kata lain masingmasing pihak yang memiliki basis budaya pemikiran dan basis kepentingan yang berbeda
pada akhirnya akan membentuk satu regim politik tunggal menuju
kesatuan pandangan politik tentang alam. Oleh karena itulah dalam pandangan Forsyth (2004), konsep hibridisasi antara pengetahuan lokal dengan sains merupakan pengintegrasian keduanya untuk mencari penjelasan secara lokal terkait dengan permasalahan lingkungan.
Tujuan hibridisasi ini bukan untuk
mengungkap perubahan biofisik secara lengkap, tetapi untuk mengungkapkan seberapa jauh wacana hegemonik permasalahan lingkungan tersebut sesuai dengan pengalaman orang-orang dalam wilayah tertentu. Terkait dengan penerapan sains ke dalam sistem sosial masyarakat yang memiliki pengetahuan lokalnya, Rogers (2003) dalam model adopsi mengemukakan beberapa sifat dari inovasi yang berpengaruh terhadap penerimaan inovasi itu sendiri antara lain
: a) keuntungan relatif (relative
advantage), kesesuaian (compatibility), kerumitan (complexity), kemungkinan dicoba (trialability), dan kemungkinan diamati (observability).
Kesesuaian
(compatibility) antara inovasi sangat terkait erat dengan pengetahuan lokal. Karena jika inovasi tersebut tidak sesuai dan bertentangan dengan cara-cara dan sistem pengetahuan lokal masyarakat setempat maka sulit untuk bisa diterima oleh masyarakat bersangkutan. Pengembangan model sistem pertanian sawit dupa di Kalimantan Selatan merupakan suatu bentuk perpaduan sistem pengetahuan lokal dengan sains di bidang pertanian padi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi padi sekaligus
pendapatan
petani.
Dalam
model
ini
petani
tetap
dapat
mengusahakan komoditas padi lokal yang memang kualitasnya (terutama rasa dan teksturnya yang sesuai dengan selera masyarakat setempat) dan harga yang tinggi serta sekaligus juga memproduksi padi unggul yang memiliki potensi produksi lebih tinggi dari padi varietas lokal (Abbas 1999). Ini memperlihatkan bahwa pengetahuan lokal bersifat dinamis, sehingga mampu berkembang menyesuaikan dengan kondisi yang ada (kemampuan adaptasi) serta
26 dikembangkan melalui pengalaman langsung di lapangan sehinggga dapat berkelanjutan (sustainable). 2.4 Pandangan tentang Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan Terkait dengan pandangan tentang ilmu pengetahuan yang bebas nilai, Habermas (1990), telah menegaskan bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya tidak bebas nilai atau kepentingan tetapi juga menyatakan bahwa ilmu-ilmu hanya dapat terbentuk dalam medium sebuah kepentingan.
Habermas
selanjutnya membedakan kelompok ilmu-ilmu ini berdasarkan kepentingannya menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok ilmu pengetahuan empiris analitis seperti ilmu-ilmu alam.
Kelompok ilmu-ilmu ini berupaya mencari hukum-hukum yang pasti
(nomologis) sehingga manusia dengan cara penyesuaian atas hukum-hukum alam dapat memanfaatkan alam untuk kepentingan hidupnya. Tujuan ilmu-ilmu empiris-analitis ini adalah untuk penguasaan alam. Kedua, adalah ilmu-ilmu historis hermeneutis, seperti ilmu sejarah. Kelompok ilmu-ilmu ini berupaya untuk pemahaman, di mana diusahakan adanya saling pengertian dengan tujuan tindakan bersama untuk menangkap suatu makna. Ilmu-ilmu ini mengorganisasikan obyeknya di bawah kepentingan perluasan intersubyektivitas. Ketiga, ilmu-ilmu tindakan atau ilmu-ilmu kritis seperti
ilmu ekonomi,
sosiologi, politik, kritik ideologi, filsafat, dan lainnya. Kepentingan ilmu-ilmu ini adalah
pembebasan, dan lingkungannya adalah kekuasaan.
Metode dasar
ilmu-ilmu ini adalah refleksi kritis atas sejarah subyek manusia dan bentuk pengetahuan ini hanya dapat dicapai melalui refleksi atas proses pembentukan diri, sehingga dengan cara demikian pengetahuan reflektif tersebut bersifat emansipatoris. Secara sederhana pengelompokan ilmu-ilmu berdasarkan kepentingan ini oleh Hardiman (1990) disusun dalam matrik seperti Tabel 2. Habermas melihat proses interaksi dalam konteks tindakan dasar manusia yang terjadi dalam dunia sosial, yakni berupa tindakan strategis dan tindakan komunikatif.
Tindakan strategis memiliki orientasi pada sukses,
sedangkan tindakan komunikatif beorientasi pada pencapaian pemahaman. Tindakan-tindakan strategis ini adalah tindakan rasional bertujuan yang dikategorikan ke dalam interaksi sosial, tetapi tidak bersifat genuine.
Suatu
interaksi yang bersifat genuine adalah interaksi yang dilakukan dalam tindakan-
27 tindakan komunikatif. Tindakan rasional bertujuan ini ditentukan oleh aturanaturan teknis yang berdasarkan pengetahuan empiris. Tindakan ini juga bersifat strategis dalam arti tergantung pada penilaian yang tepat mengenai pilihanpilihan alternatif yang mungkin berdasarkan perhitungan nilai-nilai dan kaidahkaidah. Berbeda halnya dengan tindakan komunikatif yang mengacu pada tindakan
yang
diarahkan
oleh
norma-norma
yang
disepakati
bersama
berdasarkan harapan timbal balik di antara subyek-subyek yang berinteraksi (Hardiman 1990, 1993). Tabel 2 Pertautan antara ilmu pengetahuan dan kepentingan
Kepentingan
Medium Kerja Dimensi Kerja Teknis
Medium Bahasa Dimensi Komunikasi Praksis
Medium Kekuasaan Dimensi Kekuasaan Emansipatoris
Pengetahuan
Informasi
Interpretatif
Analitis
Tindakan
Rasional bertujuan
Tindakan komunikatif
Tindakan revolusioneremansipatoris
Ungkapan Linguistik
Proposisiproposisi deduktif nomologis (monologal)
Bahasa sehari-hari, permainan bahasa, ungkapan dialogal
Dialog emansipatoris
Metodologi
Empiris analitis
Historishermeneutis
Refleksi diri
Sistematika Metodis
Ilmu-ilmu empiris analitis (ilmu-ilmu pengetahuan alam)
Ilmu-ilmu historis hermeneutis (ilmuilmu pengetahuan sosial-budaya)
Ilmu-ilmu Kritis (Teori kritis)
Sumber : Hardiman, F.B. 1990. Kritik Ideologi. Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan.
Interaksi antara pengetahuan lokal dengan sains ini dalam teori tindakan Habermas
dapat
terwujud
dalam
kerangka
tindakan
strategis
yang
menghasilkan proses dominasi dan koeksistensi, maupun dalam kerangka tindakan komunikatif yang menghasilkan proses hibridisasi.
Dalam proses
dominasi terjadi hegemoni, terutama sains atas pengetahuan lokal, dimana dalam perkembangan masyarakat modern pandangan-pandangan tradisional akan diganti dengan pandangan produksi kapitalis. Begitu juga halnya pada proses koeksistensi, walaupun masing-masing bentuk pengetahuan ini tidak
28 saling mendominasi, tetapi akan ada proses marginalisasi, terutama terhadap bentuk pengetahuan lokal.
Eksistensinya dianggap kurang berperan dalam
mewujudkan kepentingan produktivitas dan efisiensi pada masyarakat modern. Dalam kerangka tindakan komunikatif yang menghasilkan hibridisasi terjadi perpaduan antara pengetahuan lokal dengan sains yang membentuk moda pengetahuan baru sebagai hasil dari pemahaman bersama. Konsep rasionalitas komunikatif yang ditawarkan oleh Habermas ini merupakan rasionalitas kritis untuk menciptakan masyarakat komunikatif yang bebas dominasi. Konsep rasionalitas komunikatif ini mengandung pengertian yang didasarkan pada pengalaman inti yang bebas kendala, padu, dan menjembatani konsensus yang melampaui pandangan subyektif partisipan yang terlibat (Habermas 2006). Dengan demikian melalui tindakan komunikatif inilah pembangunan pertanian berkelanjutan di lahan rawa pasang surut yang menekankan pada aspek ekologis, ekonomis dan sosial diharapkan dapat terwujud. Teori tindakan komunikatif yang diajukan Habermas ini berhubungan dengan rasionalitas tindakan yang terkait dengan sistem sosial masyarakat. Rasionalitas yang muncul ini bukan hanya menyangkut pemahaman atas perilaku berdasarkan tindakan yang disadari tetapi juga terkait dengan proses rasionalisasi masyarakat.
Proses rasionalisasi masyarakat ini menganggap
sesuatu bersifat rasional jika hal tersebut menyentuh aspek-aspek kehidupan serta dapat dipahami oleh masyarakat yang bersangkutan. Proses seperti ini hanya dapat tercapai jika tercipta komunikasi yang bebas dari dominasi. Mengacu
pada
pemikiran
Habermas
tentang
pertautan
antara
pengetahuan dengan kepentingan, maka dalam penelitian tentang pengetahuan lokal dan kontestasinya dengan sains akan diperoleh suatu pemahaman kritis tentang kedua entitas pengetahuan tersebut.
Dengan demikian, klaim-klaim
kebenaran dari kedua entitas pengetahuan tersebut dapat dipahami dan direfleksikan dalam kerangka membangun kesadaran untuk menuju masyarakat komunikatif yang bebas dari dominasi.