TINJAUAN PUSTAKA Domba Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku dua dan termasuk pada sub famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk ke dalam genus Ovis dan yang didomestikasi adalah Ovis aries (Johnston, 1983). Taksonomi domba menurut Blakely dan Bade (1985) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia (hewan) Phylum : Chordata (hewan bertulang belakang) Class
: Mammalia (hewan menyusui)
Ordo
: Artiodactyla (hewan berkuku genap)
Family
: Bovidae (memamah biak)
Genus
: Ovis (domba)
Spesies : Ovis aries (domba yang didomestikasi) Menurut Ensminger (1991) pada mulanya domba didomestikasi di kawasan Eropa dan Asia. Ciri khas pada domba domestikasi adalah tanduk yang berpenampang segi tiga dan tumbuh melilit seperti spiral yang terdapat pada domba jantan. Bobot badan pada domba jantan lebih tinggi dibandingkan domba betina. Domba Garut Berdasarkan asal usulnya domba garut merupakan hasil persilangan segitiga antara domba Merino, Lokal, dan Kaapsche (cape) dari Afrika Selatan (Sugeng, 1995). Menurut Budinuryanto (1991), domba garut pada awalnya terbentuk melalui suatu proses persilangan yang kurang terencana antara domba lokal dengan domba Merino dan domba Kaapstad sehingga dalam perkembangan selanjutnya terdapat berbagai bentuk fenotipe dan karakteristik yang relatif berbeda-beda. Menurut Sumantri et al., (2007) domba garut atau domba priangan merupakan domba lokal Indonesia yang banyak tersebar di Jawa Barat terutama di Kabupaten Garut. Domba garut terbagi menjadi tipe tangkas (aduan) dan tipe pedaging. Domba garut pedaging jantan maupun betina memiliki ciri-ciri garis muka lurus, bentuk mata normal, bentuk telinga hiris dan rubak, garis punggung lurus, bentuk bulu lurus 3
dengan warna dasar dominan putih, jantan bertanduk dan betina kebanyakan tidak bertanduk (Riwantoro, 2005). Domba garut tipe tangkas dan tipe pedaging memiliki bobot badan yang berbeda. Berdasarkan studi keragaman genetik DNA mikrosatelit dan hubungannya dengan bobot badan pada domba lokal di Indonesia, Sumantri et al., (2008) menyatakan domba garut tipe pedaging dan tipe tangkas mempunyai alel spesifik untuk marka bobot badan. Berdasarkan hasil penelitian Mansjoer et al., (2007), secara umum domba garut tipe tangkas mempunyai bobot badan lebih tinggi dari tipe pedaging. Domba tangkas jantan dewasa yang berumur lebih dari satu tahun, memiliki bobot badan antara 51-84 kg dengan rataan 66,78 ± 7,93 cm dan garut betina tipe tangkas memiliki bobot badan 42,33 ± 7,53 kg (Anang, 1992). Penelitian Salamahwati (2004) menyatakan bahwa domba garut pedaging jantan umur 1 tahun memiliki bobot badan 31,44 ± 5,22 kg. Nataatmaja (1996) menerangkan sifat ekor yang lebar dominan terhadap bentuk ekor sempit, khusus pada domba garut tangkas bagian pangkal ekor selain dominan ekor lebar (gemuk) juga merupakan tempat penimbunan lemak yang baik sehingga ekor tampak lebih lebar. Anang (1992) menyatakan bahwa bentuk ekor pada domba tangkas dikategorikan dalam dua bentuk yaitu bentuk segitiga dan pangkal gemuk dimana bentuk segitiga pada domba jantan diperoleh sebesar 78 % dan pangkal gemuk 22 %. Breeding Soundness Evaluation (BSE) Breeding Soundness Evaluation adalah metode evaluasi potensi dari ternak jantan untuk dijadikan pejantan. Breeding Soundness Evaluation terdiri atas evaluasi lingkar testis, kualitas semen, kemampuan fisik, dan kesehatan seluruhnya (Godfrey, 2004). Sasaran BSE adalah mengevaluasi dan mengklasifikasikan potensi kemampuan pembiakan (breeding). Pengujian ini tidak termasuk evaluasi pergerakan atau tingkah laku kawin karena tidak adanya kriteria standar untuk menilainya (Bagley, 1997). Pengujian BSE secara keseluruhan terdiri atas 1) pengujian fisik dengan mengamati keabnomalan yang dapat mengganggu keinginan dan kemampuan jantan untuk kawin. Pengamatan dilakukan pada saat ternak berjalan pada permukaan kasar serta ternak harus mempunyai penglihatan dan kesehatan yang baik, 2) Pengujian 4
organ reproduksi yaitu penis, lingkar skrotum, dan testis (keterabaan testis). Pengamatan pada penis dilakukan untuk melihat kecacatan yang dapat mengganggu saat
kopulasi.
Pendeteksian
keabnormalan
juga
dilakukan
untuk
melihat
kemungkinan yang dapat mempengaruhi fertilitas. Keabnormalan yang terjadi umumnya antara lain ukuran testis kecil, testis yang lunak, dermatitis skrotum, cryptorchid dan keterabaan testis. Lingkar testis yang yang besar menggambarkan produksi semen yang tinggi, 3) motilitas dan morfologi spermatozoa adalah karakteristik yang berkorelasi paling tinggi dengan kesuburan dan mudah untuk diulang (Leamaster dan Duponte, 2007). Menurut Pezzanite et al., (2004), BSE dapat dibagi menjadi 3 kategori pengujian 1) pengujian fisik 2) pengujian organ reproduksi dan 3) evaluasi semen. Pengujian fisik terdiri dari dua kriteria utama yang meliputi kondisi tubuh pejantan dan kekuatan struktur tubuh. Kekuatan struktur tubuh sangat penting terutama kaki depan dan belakang untuk dapat melakukan mounting pada betina. Ternak harus mampu bergerak bebas tanpa ada rasa sakit. Pengujian kondisi tubuh dapat dilakukan melalui penilaian skor kondisi tubuh (Body Condition Score). Skor kondisi tubuh dinilai dengan melihat persentase lemak tubuh dan ditentukan dengan meraba tulang rusuk ternak. Tabel 1. Lingkar Skrotum Minimum pada Domba Umur ( bulan) 5-6
Lingkar Skrotum minimum (cm) 29
6-8
30
8-10
31
10-12
32
12-18
33
18 +
34
Sumber : Pezzanite et al., (2004)
Umur ternak juga menjadi pertimbangan. Umur optimal ternak yang digunakan berkisar dari 6 bulan hingga 4 tahun. Penilaian yang paling penting dari BSE adalah pengukuran lingkar skrotum. Pengukuran ini sangat kuat hubungannya dengan kapasitas produksi semen. Hal itu juga membuktikan ternak yang memiliki lingkar skrotum yang besar akan memproduksi semen yang lebih dan kelangsungan hidup
5
lebih besar. Lingkar skrotum bervariasi sesuai dengan musim dan kondisi tubuh. Domba dewasa saat dikawinkan harus memiliki lingkar skrotum minimum 33 cm untuk domba yang berasal dari bangsa luar (Tabel 1). Dalam BSE domba dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama menurut Bagley (1997), yaitu 1) diragukan (questionable), 2) Memuaskan (satisfactory), 3) Baik sekali (excellent) (Tabel 2). Pengklasifikasian ini menyulitkan secara ekonomi, karena membutuhkan kesempatan yang terbatas pada waktu dan fasilitas. Kategori memuaskan berarti ternak setara atau melebihi standar minimal untuk lingkar skrotum, motilitas dan morfologi spermatozoa, tidak terdapat masalah genetik, infeksi atau masalah yang dapat mengakibatkan menurunnya kesuburan. Kategori yang tidak memuaskan apabila parameter seperti lingkar skrotum, motilitas dan morfologi spermatozoa berada di bawah standar minimum yang telah ditetapkan atau ternak yang mengalami masalah genetik dan fisik yang menggangu kesuburan. Kategori yang diragukan apabila ternak yang digunakan tidak sesuai dengan standar. Pejantan yang termasuk adalah yang tidak memenuhi syarat tetapi memiliki kemampuan untuk diperbaiki dengan cara pengujian ulang (Rae, 1999). Tabel 2. Klasifikasi Domba berdasarkan Lingkar Skrotum, Motilitas, dan Morfologi Spermatozoa dengan Teknik BSE. Lingkar skrotum ( < 14 bulan) > 33
Lingkar Skrotum (> 14 bulan) > 35
Motilitas (%)
Morfologi (%)
> 50
> 90
Satisfactory
> 30
>33
> 30
> 70
Questionable
< 30
< 33
< 30
< 70
Kelas
Excellent
Sumber : Bagley (1997)
Organ Reproduksi Domba Jantan Organ kelamin domba jantan terdiri atas tiga komponen yaitu : (a) organ kelamin primer yaitu testis, (b) kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap yaitu kelenjar vesikularis, kelenjar prostat, kelenjar bulbourethralis (Cowper) dan saluran-saluran terdiri atas epididymis serta duktus deferen, (c) alat kelamin luar yaitu penis (Bearden et al., 2004).
6
Testis Testis adalah sepasang organ reproduksi primer pada jantan yang berfungsi memproduksi spermatozoa, sekresi hormon dan protein, serta cairan. Selain itu diproduksi inhibin, esterogen, dan berbagai jenis protein yang berperan penting dalam fungsi spermatozoa. Testis juga memproduksi cairan yang berasal dari tubuli seminiferi yang berfungsi sebagai media untuk memfasilitasi pembuangan spermatozoa dari testis. Cairan yang diproduksi testis atau cairan rete testis juga merupakan hasil sintesis sel sertoli (Senger, 2005) Testis berbeda dari ovarium dan tidak tetap berada dalam rongga tubuh. Testis ditutupi dengan tunika vaginalis, jaringan serosa, yang merupakan perpanjangan dari peritoneum. Seminiferus terbentuk dari cord sex primer yang mengandung sel-sel germinal dan sel sertoli. Sel sertoli lebih besar dan lebih sedikit dari spermatogenia. Sel sertoli dengan stimulasi FSH, dapat menghasilkan ikatan protein androgen dan inhibin. Sel leydig dapat ditemukan di parenkim testis diantara jaringan seminiferus. Dengan di stimulasi oleh LH, sel leydig memproduksi testosteron dan sebagian kecil androgen. Testosteron dibutuhkan untuk perkembangan sifat kelamin sekunder dan tingkah laku kawin normal serta berfungsi penting pada kelenjar aksesoris, produksi spermatozoa dan perawatan sistem reproduksi jantan (Bearden et al., 2004). Dalam keadaan normal kedua testis mempunyai ukuran yang sama dan dapat bergerak bebas di dalam skrotum. Sekitar 60-90% dari jaringan testis ditempati oleh tubuli seminiferi sedangkan sisanya adalah jaringan interstisial, vaskuler dan jaringan ikat. Jaringan interstitial terdiri atas sel interstitial atau sel leydig yang menghasilkan hormon testosteron (Hafez, 2000) Garner dan Hafez (2000) menyatakan bahwa pada umur lebih dari 24 minggu domba mencapai dewasa kelamin dan ukuran panjang, diameter, dan berat testis domba dewasa adalah 10 cm, 6 cm dan 275 g. Menurut Noviana et al., (2000), domba yang mempunyai berat testis sebesar 74,77 g dan volume testis sebesar 84 ml ternyata hanya mampu menghasilkan konsentrasi spermatozoa sekitar 1500 x 106 sel/ml.
7
Epididymis Epididymis adalah saluran eksternal pertama dari testis yang berbentuk longitudinal dan menyatu ke permukaan testis serta terbungkus dalam tunika dengan testis. Caput epididymis adalah saluran berada paling atas di mana terdapat 12-15 saluran kecil vasa efferentia yang bergabung menjadi satu saluran. Corpus meluas sepanjang sumbu longitudinal testis yang merupakan saluran tunggal yang menyatu dengan cauda (Bearden et al., 2004). Epididymis dibagi menjadi tiga bagian yaitu caput, cauda dan corpus. Caput epididymis terdapat sejumlah ductus eferent bergabung dengan ductus epididymis membentuk struktur yang rata ke ujung testis. Kemudian berlanjut kepada cauda epididymis yang merupakan perluasan caput epididymis (Hafez, 2000). Epididymis mempunyai 4 fungsi utama yaitu transport, konsentrasi, maturasi dan penyimpanan spermatozoa. Cauda epididymis berfungsi sebagai tempat penyimpanan spermatozoa yang mengandung 75 % dari total epididymal spermatozoa diluar testis. Spermatozoa juga disimpan dalam ampula, meskipun hanya sebagian kecil dari total cadangan spermatozoa di luar testis (Hafez, 2000). Spermatozoa disimpan di dalam epididymis untuk mempertahankan kapasitas kesuburan selama beberapa minggu. Kemampuan cauda epididymis untuk menyimpan spermatozoa tergantung pada rendahnya suhu skrotum dan peranan hormon jantan (Hafez, 2000). Pada corpus epididymis maturasi spermatozoa terjadi. Pada saat diejakulasikan terlihat adanya perubahan secara kuantitatif dan kualitatif pada fosfolipid dan asam lemak, perubahan pada lemak seluler mendorong lemak tertentu untuk mematangkan spermatozoa. Konsentrasi spermatozoa terjadi di bagian cauda epididymis. Cairan testicular diabsorbsi di saluran efferrent dan caput epididymis menyebabkan konsentrasi spermatozoa menjadi berubah saat melewati epididymis (Pineda, 2003). Faktor yang Mempengaruhi Ukuran Skrotum dan Testis Ukuran lingkar skrotum pada domba garut jenis tangkas dan pedaging memiliki perbedaan. Sifat reproduksi jantan (skrotum) domba garut tangkas mempunyai ukuran lingkar dan panjang skrotum nyata (P<0,05) lebih besar dari domba lainnya pada setiap umur (1-3 tahun). Nilai korelasi lingkar skrotum terhadap bobot badan pada umur satu dan dua tahun lebih besar dibandingkan pada umur tiga 8
tahun (Nataatmaja, 1996). Domba garut tangkas umur satu tahun memiliki lingkar skrotum 26,67 ± 2,84 cm dan panjang skrotum 13,6 ± 2,1 cm (Nataatmaja, 1996). Penelitian Nataatmaja dan Arifin (2005) pada domba garut pedaging umur 1 tahun memiliki lingkar skrotum yaitu sebesar 24,74±3,06 cm dan pada umur 2 tahun memiliki lingkar skrotum 26,23 ± 2,32 cm serta pada umur 3 tahun ukuran lingkar skrotum domba garut pedaging yaitu 26,91±2,06 cm. Pada umur 1-2 tahun merupakan umur optimal perkembangan testis pada domba, pada umur tersebut perkembangannya sangat nyata (Nataatmaja dan Arifin, 2005). Rizal et al., (2003), menyatakan domba garut berumur 3-5 tahun memiliki panjang skrotum sebesar 12,71 cm dan lingkar skrotum yaitu 32,36 cm. Menurut penelitian Yunardi (1999), peningkatan umur berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan ukuran panjang, lingkar dan volume skrotum. Berdasarkan penelitian Sosa et al., (2002), yang dilakukan pada sapi american wagyu terdapat korelasi yang tinggi antara umur (r = 0,81) dan bobot badan (r = 0,82) terhadap lingkar skrotum. Menurut temuan Koyuncu et al., (2005), bobot badan mempunyai korelasi yang lebih tinggi terhadap lingkar skrotum dibandingkan terhadap umur. Berdasarkan penelitian Koyuncu et al., (2005) pada domba kivircik terdapat korelasi sangat nyata (P<0,01) antara ukuran testis terhadap umur dan bobot badan, korelasi antara lingkar testis dan umur sebesar 0,722 sedangkan antara lingkar skrotum dengan bobot badan sebesar 0,845. Hasil ini juga diperkuat oleh temuan Hastono dan Arifin (2006) yang menyatakan terdapat hubungan positif (P<0,05) antara bobot badan dengan lingkar skrotum sebesar r = 0,58. Ukuran testis dipengaruhi secara genetik. Ukuran testis dapat dijadikan kriteria seleksi untuk sifat reproduksi karena mempunyai nilai heritabilitas tinggi. Duguma et al., (2002), melaporkan heritabilitas lingkar skrotum sebesar 0,40 pada domba merino. Sedangkan Abbasi dan Kebsi (2011), melaporkan nilai heritabilitas lingkar skrotum pada domba Makooei sebesar 0,32 ± 0,10. Pertumbuhan bobot badan dan testis dipengaruhi oleh peranan hormon testosteron. Hormon testosteron dapat mempengaruhi pertambahan bobot badan karena hormon testosteron dapat menstimulasi sintesis protein otot dan hal ini dapat terjadi langsung dalam otot karena terdapat reseptor androgen (Buttery dan Smith, 1981). Domba garut yang memiliki agresifitas yang tinggi memiliki ukuran testis
9
yang besar, karena sifat agresif dipengaruhi oleh hormon testosteron yang dihasilkan oleh testis (Lumbritz et al., 1991). Ukuran testis tidak hanya berpengaruh terhadap sifat agresivitas, ukuran badan, produksi spermatozoa juga sebagai tolok ukur dalam seleksi terhadap sifat prolifikasi domba betina. Dwiyanto (1991) menjelaskan seleksi terhadap ukuran testis terdapat respon pada tingkat kesuburan pejantan, sementara ukuran testis termasuk lingkar testis mempunyai hubungan genetik kearah yang menguntungkan dan cukup erat kaitannya dengan parameter reproduksi betina. Nataatmaja dan Arifin (2005), menyatakan ukuran testis dapat dijadikan pendugaan dalam menentukan kesuburan pejantan, sehingga ukuran testis dapat dijadikan kriteria dalam seleksi. Brito et al., (2002) menyatakan bahwa ukuran testis secara positif berhubungan dengan produksi spermatozoa dan kualitas semen pada sapi-sapi di Brazil. Menurut Jainudeen dan Hafez (2000) pada sapi, produksi spermatozoa harian dan jumlah potensial produksi spermatozoa fertil perhari oleh testis sangat berkorelasi dengan ukuran testis yang dapat diperkirakan dengan mengukur panjang dan lebar atau lingkar skrotum. Sanford et al., (2000) menyatakan bahwa pada masa pubertas, ukuran testis sangat tinggi dan positif berkorelasi dengan berat badan pada domba suffolk dan korelasi antara ukuran testis dan berat badan ini tetap pada awal kedewasaan. Variasi ukuran testis diantara spesies atau individual diatas sering berhubungan dengan perbedaan jumlah sel sertoli dan aktivitas yang berpengaruh pada produksi spermatozoa sehari-hari (Morais et al., 2002). Menurut Kheradmand et al., (2006) bahwa terdapat hubungan fenotipik antara lingkar testis dengan kemampuan produksi ejakulat dan kualitas semen. Pendapat ini diperkuat oleh Aurich et al., (2002) yang menyatakan bahwa jumlah total spermatozoa dan produksi spermatozoa harian berhubungan positif dengan ukuran testis. Sesuai dengan pendapat Courot dan Ortavant (1980), yang menyatakan ukuran skrotum yang besar akan diikuti oleh ukuran testis yang besar pula sehingga sel-sel dalam testis baik pembentuk hormon (sel-sel leydig) maupun jaringan pembentuk spermatozoa (tubuli seminiferi) menjadi lebih banyak sehingga kemampuan produksi testosteron dan spermatozoa juga akan tinggi. Menurut Noviana et al., (2000) semakin banyak jumlah tubuli seminiferi yang ditemukan perluasan testis, berarti semakin panjang ukuran tubuli yang berarti semakin luas daerah spermatogenesis, semakin luasnya
10
daerah dimana spermatogenesis terjadi semakin banyak pula jumlah spermatozoa yang dihasilkan. Berbeda dengan hasil penelitian Hidayat (2002) menyatakan bahwa pada domba jantan lokal tidak terdapat korelasi antara berat badan, lingkar dan volume skrotum serta diantara ketiganya dengan volume ejakulat dan konsentrasi spermatozoa pada domba jantan lokal. Menurut penelitian Carrijo et al., (2008) rata-rata ukuran testis pada domba muda Santa Ines yang menggunakan perlakuan ransum berprotein tinggi memiliki ukuran lingkar testis yang lebih besar dari pada pemberian ransum berprotein rendah. Perbaikan pakan yang dikonsumsi diatas kebutuhan maintenance mempengaruhi ukuran skrotum dan meningkatkan konsentrasi spermatozoa secara signifikan (Kheradmand et al., 2006). Usia, bangsa, manajemen, nutrisi dan suhu juga berpengaruh pada skrotum, morfologi testis, suhu skrotum, produksi spermatozoa dan kualitas semen (Brito et al., 2002). Fisiologi Semen Semen adalah suatu suspensi cairan yang mengandung spermatozoa (sel kelamin jantan) dan cairan atau medium semi-gelatinous yang disebut plasma semen. Spermatozoa dihasilkan di dalam testes pada bagian tubuli seminiferi, sedangkan plasma semen adalah campuran sekresi yang dibuat oleh epididymis dan kelenjarkelenjar kelamin pelengkap yaitu vesikularis dan prostat yang mengandung protein, fruktosa, sorbitol, asam sitrat, inositol, Glyceryl Phosphoryl Choline (GPC), ergotionin, sodium, potassium, kalsium, magnesium dan klorida (Garner dan Hafez, 2000) Proses pembentukan spermatozoa di dalam tubuli seminiferi testis disebut spermatogenesis. Spermatogenesis adalah suatu proses komplek yang meliputi pembelahan dan diferensiasi sel. Selama proses ini berlangsung pada setiap sel akan mengalami perubahan jumlah kromosom yaitu mengalami proses reduksi dari diploid (2n) menjadi haploid (n) juga terjadi reorganisasi komponen inti sel dan sitoplasma secara
menyeluruh.
Spermatogenesis
atau
pembentukan
spermatid
dari
spermatogonia tipe A dan spermiogenesis atau pembentukan spermatozoa dari spermatid (Garner dan Hafez, 2000).
11
Karakteristik Semen Domba Garner and Hafez (2000) menyatakan bahwa volume per ejakulat pada domba adalah antara 0,20 ml sampai dengan 1,20 ml dan semen domba yang fertil secara normal tidak boleh memiliki spermatozoa abnormal lebih dari 15 %. Menurut Prasetyo (2008), tingginya volume per ejakulat semen pada umur tua kemungkinan disebabkan oleh tingginya pengeluaran cairan sekreta yang berasal dari kelenjar kelamin pelengkap (kelenjar vesikularis, prostat, dan bulbourethralis). Pada usia lanjut jumlah spermatogonia tipe A yang merupakan sumber spermatozoa akan menurun. Selain itu sel sertoli yang merupakan sumber nutrisi bagi spermatozoa dan sel Leydig yang memproduksi testosteron juga akan menurun jumlahnya seiring dengan bertambahnya umur (Prasetyo, 2008). Peningkatan produksi spermatozoa berhubungan dengan umur pada periode setelah pubertas (Garner dan Hafez, 2000). Semen domba mempunyai volume yang kecil dengan konsentrasi yang tinggi sehingga memberikan warna krem. Domba jantan dapat berejakulasi 42 kali dalam sembilan jam dan tetap masih menghasilkan 100 juta spermatozoa pada ejakulasi terakhir (Garner dan Hafez, 2000). Volume semen tergantung, breed, spesies, dan metode penampungan. Frekuensi penampungan semen akan memberi efek pada volume semen perejakulat dan konsentrasi spermatozoa (Parker, 2000). Menurut Herdis (2005), perbedaan kualitas semen segar tergantung dari umur, ukuran tubuh, perubahan kesehatan reproduksi, dan frekuensi penampungan. Herdis (2005) melaporkan konsentrasi semen domba garut adalah 3803 ± 478 juta spermatozoa per ml dan temuan lainnya pada kisaran 2000 – 3000 juta spermatozoa per ml. Sementara itu menurut Yotov et al., (2011), konsentrasi spermatozoa
yang
normal
berkisar
antara
2000
x106
sampai
dengan
3186,8±200.3x106/ml. Konsentrasi spermatozoa ini dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya umur, bangsa ternak, bobot badan, frekuensi penampungan dan waktu penampungan (Yotov et al., 2011). Derajat keasaman (pH) sangat mempengaruhi daya hidup spermatozoa. Semakin tinggi atau semakin rendah pH semen maka akan menurunkan daya hidup spermatozoa. Berdasarkan laporan Herdis (2005), pH semen domba garut yaitu sebesar 7,00 ± 0,08.
12
Menurut temuan Herdis (2005) pada daya hidup spermatozoa domba sebesar 85,67 ± 2,25 % dengan kisaran motilitas spermatozoa domba sebesar 60 – 80 % (Bearden dan Fuquay, 2004) dan untuk kelompok umur produktif motilitasnya sebesar 90,00 ± 0,00 %, sedangkan pada umur tua motilitasnya lebih rendah, yaitu sebesar 85,00 ± 5,77 % (Bearden dan Fuquay, 2004). Tabel 3. Karakteristik Semen Domba Garut Karakteristik semen Volume per ejakulat (ml)
1 1,11 ± 0,44
2 0,79 ± 0,04
3 0,98±0,16
4 0,82 ± 0,11
Warna Krem Krem Krem Krem Konsistensi Kental Kental Kental Kental pH 6,98 ± 0,13 7,18 ± 0,07 6,73±0,24 7 ± 0,08 Gerakan massa (%) 3,00 ± 0,00 3,00 ± 0,00 3,00 ± 0,00 3,00 ± 0,00 Motilitas (%) 72,50 ± 2,74 73,00 ± 2,45 79,62±3,98 74,17± 2,04 Konsentrasi (juta/ml) 3242 ± 535 4146,00 ± 872,89 3528,85±777,11 3803± 478 Daya hidup (%) 84,50 ± 2,51 83,60 ± 0,49 88,48±2,68 85,67± 2,25 Abnormalitas (%) 2,50 ± 0,84 2,92 ± 0,10 2,40± 0,55 Sumber : 1)Herdis et al., (2005) ; 2) Yulnawati dan Herdis (2009) ; 3) Sujoko et al.,(2009) ; 4) Herdis (2005).
Evaluasi Semen Evaluasi semen dilakukan dengan 2 cara yaitu pemeriksaan secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan semen secara makroskopis meliputi volume, warna, bau, konsistensi dan pH. Sedangkan pemeriksaan secara mikroskopis meliputi gerakan massa, konsentrasi, motilitas dan persentase hidup atau mati (Garner dan Hafez, 2000). Penilaian mikroskopis sifatnya subyektif yang tergantung pada masing-masing evaluator (Sophiahani, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas semen adalah: (1) genetik, genetik yang berpengaruh pada pertumbuhan alat reproduksi maupun pertumbuhan organ yang berhubungan dengan reproduksi, termasuk kualitas dan kuantitas spermatozoa misalnya kelainan pada testis yang biasa disebut dengan monorchyd dan criptochyd, (2) bangsa, setiap bangsa ternak mempunyai ciri yang spesifik dan mudah dibedakan satu dengan yang lainnya, demikian juga terhadap produksi semennya, (3) pakan, pembatasan pakan perlu dilakukan terhadap calon pejantan untuk menghindari penimbunan lemak yang dapat menghambat produksi spermatozoa sehingga diharapkan akan diperoleh pejantan yang berat badannya ringan tetapi kualitas spermatozoanya tinggi (Garner dan Hafez, 2000). 13
Pengukuran pH dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dengan kertas pH atau lebih teliti lagi diukur dengan pH meter. Derajat keasaman semen penting dalam motilitas dan daya tahan spermatozoa selama penyimpanan. Derajat keasaman dipengaruhi oleh faktor spesies, suhu, umur semen, variasi dalam cairan pelengkap, frekuensi ejakulasi dan musim. Karakteristik pH pada domba 5,9-7,3 ; sapi 6,4-7,8; babi 7,3-7,8; kuda 7,2-7,8 dan ayam 7,2-7,6. (Garner dan Hafez, 2000). Menurut Senger (2005), abnormalitas morfologi spermatozoa merupakan penyimpangan morfologi spermatozoa dari bentuk normalnya. Faktor yang mempengaruhi abnormalitas spermatozoa adalah lingkungan. Menurut Garner dan Hafez (2000) bahwa abnormalitas spermatozoa dikelompokan menjadi 3 yaitu abnormalitas primer, abnormalitas sekunder dan abnormalitas tersier. Abnormalitas primer terjadi pada testis saat proses spermatogenesis tepatnya di tubuli semiferi. Abnormalitas primer ditandai oleh kepala yang terlampau kecil (microcephalic) atau terlalu besar (macrocephalic), kepala yang lebar, ekor atau badan berganda. Abnormalitas sekunder terjadi di epididymis sewaktu ejakulasi. Abnormalitas spermatozoa ditandai dengan adanya butiran protoplasma pada pangkal ekor spermatozoa tepatnya di caput epididymis. Menurut Hafez (1993), fertilitas spermatozoa akan semakin rendah bila abnormalitas primer dan sekunder memiliki persentase yang tinggi. Menurut Bearden et al., (2004), fertilitas tidak akan berpengaruh bila tingkat abnormalitas bekisar 20 -25 %. Semakin tinggi persentase spermatozoa abnormal maka akan menurunkan motilitas spermatozoa progresif. Semen yang memiliki kualitas baik adalah yang memiliki morfologi normal sebesar 80 %. Menurut Herdis et al., (2005), motilitas merupakan kemampuan gerak maju individu spermatozoa di dalam lingkungan zat cair. Pergerakan tersebut penting dalam membantu spermatozoa menembus sel-sel pelindung yang mengelilingi sel telur. Bearden dan Fuquay (2004) menyatakan bahwa motilitas spermatozoa domba pejantan umur produktif lebih baik jika dibandingkan dengan umur tua untuk mencapai saluran reproduksi betina. Pengamatan motilitas spermatozoa mamalia dapat dilakukan dengan sederhana yaitu dengan pewarnaan diferensial mengunakan eosin 2%. Pergerakan spermatozoa bermacam-macam antara lain bergerak ke depan (progresif), bergerak berputar (circuler) dan tanpa perpindahan dan bergetar
14
ditempat. Gerakan berputar dapat disebabkan karena adanya kelainan pada ekor dan juga dapat disebabkan karena penuaan (Bearden et al., 2004). Persentase spermatozoa motil sebesar 60 % atau lebih mengindikasikan kualitas semen yang baik (Senger, 2005). Pengujian konsentrasi spermatozoa sangat penting karena merupakan parameter dari karakteristik semen yang paling tinggi (Ax et al., 2000). Konsentrasi spermatozoa menunjukkan jumlah sel spermatozoa dalam satu mililiter semen (Bearden et al., 2004). Secara umum, standar minimal semen sapi fertil adalah konsentrasi semen jika lebih dari 500 juta/ml (Ax et al., 2000). Penilaian persentase spermatozoa hidup dan mati bertujuan untuk mengetahui viabilitas membran spermatozoa. Teknik pewarnaan untuk melihat spermatozoa hidup menggunakan pewarna eosin nigrosin. Menurut Bearden et al., (2004), pewarna eosin dapat digunakan untuk membedakan sel yang hidup dan yang mati. Pewarna eosin tidak dapat menembus membran sel spermatozoa yang hidup dan dapat menembus membran sel yang mati. Menurut Hafez (1993), spermatozoa yang mati akan ditandai dengan warna dasar gelap karena pewarnaan nigrosin. Lebih lanjut Purwanti (2006) menyatakan bahwa daya hidup spermatozoa di luar tubuh sangat rendah dan mudah sekali mengalami kematian. Menurut Pineda (2003) suhu mempengaruhi aktivitas reproduksi. Spermatogenesis dipengaruhi oleh suhu. Spermatogenesis lebih tahan terhadap suhu dingin dari pada panas dan tunica dartos beserta otot cremaster berkontraksi untuk melindungi testis dari pengaruh dingin.
15