TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Secara taksonomi domba termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Ovis dan spesies Ovis aries. Dari sisi genetik domba memiliki jumlah kromosom sebanyak 54 buah (Hafez dan Hafez 2000). Domba garut merupakan hasil persilangan antara domba lokal, domba merino (Australia) dan domba kaapstad (Afrika) (Setiadi 2010). Domba garut merupakan nama lain yang lebih populer dari domba priangan (Mulyono 2003).
a
b Gambar 1 Domba garut jantan (a) memiliki tanduk besar melingkar ke belakang dan domba garut betina (b) tidak memiliki tanduk. Ciri khas domba ini terletak pada pangkal ekornya yang terletak agak lebar dengan ujung runcing dan pendek. Dahi domba ini lebar dengan kepala pendek dan profil sedikit cembung serta memeliki mata yang kecil.
Bentuk umum tubuh domba ini relatif besar dengan badan berbentuk persegi panjang. Ciri khas domba ini terletak pada pangkal ekornya yang terletak agak lebar dengan ujung runcing dan pendek. Dahi domba ini lebar dengan kepala pendek dan profil sedikit cembung, bermata kecil dan memiliki tanduk besar melingkar ke belakang dengan bentuk bervariasi. Tanduk besar merupakan ciri kegagahan domba jantan, sedangkan domba betina kalaupun memiliki tanduk biasanya berukuran kecil. Warna rambut domba ini bervariasi, mulai dari putih,
cokelat, hitam atau campuran ketiganya. Domba ini memiliki daun telinga yang pendek yang berbeda dibanding daun telinga jenis domba lokal lainnya. Kuping pendek ini dalam tatanan bahasa Sunda disebut ngedaun hiris. Walaupun ada domba garut yang berkuping panjang, sesuai standar sertifikasi nasional tidaklah boleh lebih dari 8 cm dan disebut kuping rumpung (Setiadi 2010). Secara umum, sistem beternak domba garut saat ini masih dilakukan secara tradisional terutama dalam manajemen reproduksinya. Peternak masih banyak kehilangkan waktu untuk menghasilkan anak. Hal pertama yang harus diperbaiki adalah ketepatan waktu perkawinan. Syarat agar terjadi kebuntingan pada domba betina yang dikawinkan adalah domba betina harus berada dalam kondisi estrus. Sebenarnya sudah ada beberapa metode yang diterapkan dalam menentukan waktu perkawinan yang dijelaskan oleh Setiadi (2010) seperti pengamatan siklus estrus, penggunaan pejantan pengusik dan perkawinan koloni, tetapi metode ini masih perlu di tingkatkan lagi efisiensinya. Estrus domba betina muncul pada pagi hari dan mencapai puncaknya antara siang sampai malam hari. Oleh karena itu metode pengamatan siklus estrus yang mengandalkan tampilan visual ini akan kurang berhasil apabila peternak kurang teliti atau lalai dalam melakukan pengamatan. Kemudian penggunaan metode pejantan pengusik mungkin jauh lebih mudah dilakukan dibandingkan metode pengamatan siklus estrus. Metode ini dilakukan dengan cara meliarkan sekelompok domba betina pada suatu lahan penggembalaan setiap pagi dan sore hari yang diikutkan juga domba jantan. Apabila terdapat domba betina yang sedang estrus, domba jantan akan mendekati dan mengawani domba betina secara alami. Meskipun begitu metode ini masih memiliki kelemahan mengingat puncak estrus domba betina berlangsung antara siang sampai malam hari. Metode terakhir yang sering digunakan adalah metode koloni. Metode ini dilakukan dengan memasukkan seekor domba jantan ke dalam sekelompok induk domba betina yang berjumlah 10 sampai 15 ekor, sehingga bila ada domba yang estrus bisa langsung dikawini oleh pejantan saat itu juga. Kegiatan ini dilakukan minimal selama 1 bulan sampai terlewati 1 sampai 2 siklus estrus, sehingga masih ada waktu yang terbuang dan hasilnya belum tentu maksimal.
Dengan melihat permasalahan yang ada, dirasa perlu sebuah upaya pengaturan siklus estrus guna memperbaiki efisiensi dalam perkawinan yaitu dengan cara melakukan induksi estrus. Dengan induksi estrus dimungkinkan untuk memprediksi waktu munculnya estrus sesuai dengan yang kita kehendaki. Induksi Estrus Induksi estrus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi manajemen perkawinan, sehingga angka kebuntingan dapat ditingkatkan. Dasar fisiologis induksi estrus adalah hambatan pelepasan LH (Luteinizing Hormone) dari adenohipofise yang menghambat pematangan folikel de graaf, atau penyingkiran korpus luteum (CL) secara mekanik manual atau secara fisiologis dengan pemberian preparat-preparat luteolitik. Preparat yang paling mutakhir dipakai dalam induksi estrus adalah prostaglandin dalam bentuk Prostaglandin F2α (PGF2α) karena sifat luteolitiknya. PGF2α dikenal sebagai suatu vasokonstriktor dan pemberian PGF2α menyebabkan hambatan pengaliran darah secara drastis melalui CL beberapa spesies. Pengurangan pengaliran darah yang lama dapat menyebabkan lisisnya CL (Toliehere 1977). Plumb (1999) juga menjelaskan bahwa PGF2α merupakan agen luteolisis yang digunakan dalam menginduksi estrus. Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian Wildeus (2000) yang menjelaskan bahwa PGF2α berfungsi dalam pengaturan siklus estrus dengan mengakhiri fase luteal melalui pelisisan CL. Penjelasan yang sama juga dinyatakan oleh DeJarnette (2004) bahwa diproduksinya PGF2α berfungsi dalam melisikan CL. Setelah domba berhasil dikawinkan, selanjutnya yang harus dilakukan adalah pemeriksaan kebuntingan sedini mungkin. Hal ini dilakukan untuk menentukan apakah domba betina yang sudah dikawinkan berhasil bunting atau tidak. Pemeriksaan Kebuntingan Kebuntingan dini adalah kebuntingan yang dimulai dari periode ovum sampai terbentuknya embrio atau fetus (Hafez & Hafez 2000) atau kebuntingan yang terjadi kurang dari 60 hari (Manan 1981). Masa kebuntingan domba normalnya berlangsung sekitar 150 hari, masa kebuntingan tersebut bervariasi bergantung ras dan individunya. Herediter memberi pengaruh penting terhadap masa kebuntingan (Hafez dan Hafez 2000). Toelihere (1977) juga menyatakan
bahwa masa kebuntingan ditentukan secara genetik walaupun dapat dipengaruhi juga oleh faktor maternal, foetal dan lingkungan. Pada saat awal kebuntingan domba, pertumbuhan folikel antral tertekan dan CL terlihat jelas di ovarium (Bartlewski 2000). Pada saat bunting CL tetap bertahan yang menghasilkan progesteron dalam memelihara kebuntingan. Hafez dan Hafez (2000) juga menyatakan bahwa pada trimester pertama pemeliharaan kebuntingan bergantung pada CL, yang selanjutnya dilanjutkan oleh plasenta. Selama permulaan masa kebuntingan, plasenta juga bertambah besar melalui proliferasi aktif dari sel-sel trofoblas. Kemudian pada pertengahan kebuntingan plasenta mencapai ukuran yang hampir maksimal, yang bertepatan dengan pertumbuhan cepat fetus dan sesudah itu akan menetap relatif konstan (Toelihere 1977). Sampai saat ini metode pemeriksaan kebuntingan yang digunakan peternak di Indonesia hanya sebatas mengamati adanya estrus ulang dan melakukan palpasi per kutan. Metode ini terdapat kelemahan pada ketepatan dan kepekaan dalam mendeteksi kebuntingan dini termasuk dalam menentukan jumlah fetus yang dikandung. Beberapa metode lain yang sudah digunakan diantaranya adalah melakukan pemeriksaan imunologi, palpasi uterus melalui laparotomi dan teknik radiografi (x-ray). Semua ini memang telah berhasil digunakan dan memberi keuntungan, tetapi di dalam penggunaannya masih sangat terbatas. Metode pemeriksaan kebuntingan dini yang paling modern digunakan saat ini adalah ultrasonografi (USG). Penggunaan USG sudah terbukti keakuratannya dan kepraktisannya dalam mendeteksi kebuntingan dini. Sutian (1990) menyebutkan beberapa keunggulan dari USG antara lain adalah alat ini bersifat non-invasif atau tidak menimbulkan trauma fisik pada organ tubuh yang diperiksa, tidak memberikan efek samping terhadap pasien ataupun pemeriksa, dapat digunakan untuk memeriksa pada semua umur dan dalam kondisi apapun, tidak memerlukan ruangan dan persiapan khusus sehingga cocok untuk digunakan di lapangan serta mudah, cepat dan tepat dalam penggunaannya. Manfaat langsung yang dapat diperoleh peternak dari pemeriksaan kebuntingan dini antara lain: 1.) tingkat kesuburan ternak dapat dimonitor; 2.) pemotongan terhadap ternak produktif atau bunting dapat dihindari; 3.) pemberian
pakan terhadap ternak yang bunting dapat tercukupi dan 4.) bagi domba yang tidak produktif dapat segera dikawinkan kembali. Ultrasonografi (USG) Instrumen ultrasonografi (USG) modern merupakan sebuah peralatan yang sangat canggih. USG memakai prinsip echo, sebuah gambar dapat dihasilkan dan ditampilkan dari pengamatan yang berhubungan dengan impedensi akustik dari jaringan sorotan USG dan kedalaman dari jaringan. Alat ini bekerja dengan efek piezoelektrik, sebuah kristal di dalam transduser (probe) yang memberikan bentuk atau gambar ketika diberikan voltase elektrik yang tinggi pada USG (Goddard 1995). Transduser yang sering digunakan memiliki frekuensi 3,5 sampai 7,5 MHz dan untuk pemeriksaan transrektal pada domba biasanya menggunakan frekuensi 5,0 sampai 7,5 MHz (Hafez dan Hafez 2000). Penelitian yang pernah dilakukan oleh Doize et al. (1997) dan Martinez et al. (1998) juga menggunakan transduser dengan frekuensi 5,0 MHz. Sedangkan penelitian Schrick & Inskeep (1993) dan Romano & Christians (2008) menggunakan transduser yng berfrekuensi lebih tinggi yaitu 7,5 MHz. Pemilihan frekuensi pada transduser biasanya berdasarkan kedalaman jaringan dan metode yang digunakan. Teknik gambaran USG yang sekarang digunakan adalah real time B-mode, yang biasa dipakai untuk ternak ruminansia kecil (Fowler & Wilkins 1980, Tainturier et al. 1983 a dan b, diacu dalam Kahn 2004). Teknik ini memberikan gambaran dua dimensi dari potongan melintang sebuah jaringan. Teknik ini menampilkan gambaran berupa warna putih, abu-abu dan hitam serta memunculkan adanya pergerakan dari beberapa jaringan (Hafez dan Hafez 2000).
Gambar 2 Tiga jenis echo yang digunakan sebagai prinsip dasar dalam mendeskripsikan gambar pada sonogram (DesCoteaux et al. 2006), sistem Bmode menghasilkan tampilan warna hitam dan putih (grey scale).
Dalam mendeskripsikan gambaran USG terdapat tiga istilah yaitu hyperechogenic, isoechogenic dan hypoechogenic. Dennis et al. (2010)
menjelaskan bahwa hyperechogenic menghasilkan echo yang kuat dari jaringan yang memunculkan gambaran yang terang (putih) seperti pada tulang dan mineral, isoechogenic menghasilkan sedikit echo dari jaringan yang memunculkan gambaran abu-abu (grey) seperti jaringan fibrosa atau lemak dan hypoechogenic menghasilkan sangat sedikit echo atau tidak ada echo sama sekali yang memunculkan gambaran gelap (hitam) seperti pada cairan. Gambaran atau warna yang ditampilkan pada hasil ultrasonografi diukur berdasarkan jumlah gelombang suara yang dapat diterima kembali oleh transduser, semakin banyak gelombang suara yang diterima maka semakin terang pula (putih) gambaran yang dimunculkan pada monitor USG, sebagai contoh jaringan yang keras seperti tulang akan banyak memantulkan gelombang suara, sehingga gelombang suara yang diterima kembali oleh transduser akan banyak pula.