TINJAUAN PUSTAKA
A. Kondisi Penutupan Lahan DAS Lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan (situs), yang diartikan berkaitan dengan jumlah karakteristik alami yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi dan biologi (Lo, 1995). Penutupan lahan adalah berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi seperti bangunan perkotaan, danau, salju dan lain-lain. Kegiatan klasifikasi penutupan lahan dilakukan untuk menghasilkan kelas-kelas penutupan yang diinginkan. Kelaskelas penutupan lahan yang diinginkan itu disebut dengan skema klasifikasi atau sistem klasifikasi (Lillesand dan Kiefer, 1990). Penggunaan lahan termasuk dalam komponen sosial budaya karena penggunaan lahan mencerminkan hasil kegiatan manusia atas lahan serta statusnya (Bakosurtanal, 2007). Adanya aktifitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan penutup/penggunaan lahan. Diperkotaan, perubahan umumnya mempunyai pola yang relatif sama, yaitu bergantinya penggunaan lahan lain menjadi lahan urban. Perubahan penggunaan lahan yang pesat terjadi apabila adanya investasi di bidang pertanian atau perkebunan. Dalam kondisi ini akan terjadi perubahan lahan hutan, semak, ataupun alang-alang menjadi lahan
perkebunan. Perubahan yang
dilakukan oleh masyarakat terjadi dalam skala kecil (Sitorus, 2006). Perubahan vegetasi penutupan lahan mempunyai dampak yang sangat berarti bagi lestarinya lingkungan sekitar. Perubahan penutupan lahan yang terjadi, terutama perubahan kawasan hutan menjadi penutupan yang lain, akan mengancam kondisi DAS dalam menjalankan fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial
Universitas Sumatera Utara
budaya. Perubahan areal pertanian menjadi kawasan pemukiman atau lahan terbangun termasuk di dalamnya industri, selain dapat mengurangi daerah resapan air, juga adanya limbah yang dibuang pabrik-pabrik ataupun limbah rumah tangga. Namun dilain pihak adanya kerusakan vegetasi terutama di wilayah hulu dan ancaman pendangkalan mengakibatkan kondisi ekologis DAS. Akibatnya pada saat curah hujan tinggi, badan air (sungai) tidak mampu menampung curahan air hujan sehingga seringkali menyebabkan banjir pada daerah sekitar. Pemerintah telah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan secara proporsional dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan pulau yaitu minimal 30% , seperti dituangkan pada pasal 18 UU No. 41 tahun 1999. Kawasan hutan dimaksud kemudian dideliniasi sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai hutan konservasi, lindung atau produksi (Dephut, 2008). B. Ekosistem DAS Pengertian DAS atau Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang menerima, menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkan ke laut atau danau melalui satu sungai utama. Dengan demikian suatu DAS akan dipisahkan dari wilayah DAS lain di sekitarnya oleh batas alam (topografi) berupa punggung bukit atau gunung. Dengan demikian seluruh wilayah daratan habis berbagi ke dalam uni-unit Daerah Aliran Sungai (DAS) (Asdak, 1995).
Secara Hidrologis wilayah hulu dan hilir merupakan satu
kesatuan organis yang tidak dapat terpisahkan, keduanya memiliki keterkaitan dan ketergantungan yang sangat tinggi (Poerwanto, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Dalam mempelajari ekosistem DAS, Daerah Aliran Sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu tengah dan daerah hilir. Daerah hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase yang lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan kecil sampai sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan air). Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang sama pentingnya dengan daerah hilir karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS (Asdak, 1995). Saat ini pembangunan wilayah sudah menyatakan perkembangan pesat, hal ini dapat dilihat beragamnya permasalahan yang terjadi seperti kebutuhan akan lahan dan kebutuhan akan ruang yang terus meningkat, kurangnya sarana prasarana, banjir, pemukiman kumuh, yang mempengaruhi perkembangan suatu wilayah, dan akhirnya mengalami tekanan yang cukup signifikan yang harus diantisipasi penanganannya begitu juga keadaan yang berada di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS). Kebutuhan akan lahan yang terus meningkat perlu diatur dalam perencanaan wilayah demi terciptanya keseimbangan tata ruang yang cukup untuk kebutuhan. C. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan (land Use) diartikan sebagai setiap bentuk interaksi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spititual. Penggunaan lahan dapat ke dalam dua
Universitas Sumatera Utara
golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan dan dimanfaaatkan atau atas jenis tumbuhan dan tanaman yang terdapat atas lahan tersebut. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya (Arsyad, 2006). Wijaya (2004) menyatakan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penutupan lahan diantaranya adalah pertumbuhan penduduk, mata pencaharian, aksesibilitas, dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah. Tingginya tingkat kepadatan penduduk di suatu wilayah telah mendorong penduduk untuk membuka lahan baru untuk digunakan sebagai pemukiman ataupun lahan-lahan budidaya. Mata pencaharian penduduk di suatu wilayah berkaitan erat dengan usaha yang dilakukan penduduk di wilayah tersebut. Perubahan penduduk yang bekerja di bidang pertanian memungkinkan terjadinya perubahan penutupan lahan. Semakin banyak penduduk yang bekerja di bidang pertanian, maka kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini dapat mendorong penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbagai penutupan lahan. Saat ini banyak dilakukan usaha dalam pengelolaan DAS yang terkait perubahan tutupan lahan DAS. Rahmawaty (2011) melakukan observasi tentang tutupan lahan di DAS Besitang. Observasi mendapatkan hasil bahwa suatu DAS terkait langsung dengan peran serta manusia, tanah dan vegetasi yang berdampak langsung dengan keadaan suatu DAS baik itu dalam proses pengiriman air dan proses sedimen. Tutupan lahan di DAS dilihat
dari lingkungan fisik yang
didalamnya termasuk iklim, relief, tanah, hidrologi dan vegetasi yang
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi potensi penggunaan lahan. Adanya aktivitas manusia seperti reklamasi dari lahan sungai, pengelolaan vegetasi dan adanya salinisasi tanah berpengaruh besar terhadap terjadinya perubahan tutupan lahan. D. Pola - Pola Pemanfaatan Lahan Manusia sebagai komponen aktif dan pengelola lingkungan akan menentukan pola dan corak penggunaan lahan pada suatu wilayah. Demikian pula pertambahan penduduk identik dengan peningkatan kebutuhan. Hal ini akan menyebabkan bertambah besarnya tekanan kepada sumberdaya lahan dan perubahan penggunaan lahan ini juga dijumpai di kawasan lindung. Daerah berbukit dan terjal yang merupakan kawasan lindung yang digunakan penduduk menjadi areal pertanian tanpa menggunakan masukan agroteknologi yang sesuai. Tekanan ini akan menyebabkan pola penggunaan lahan dan proporsi lahan untuk areal pertanian akan bertambah besar sedangkan wilayah lindung akan semakin berkurang. Sandy (1982) menyatakan bahwa pola pemanfaatan lahan dalam sektor pertanian yang paling luas diperuntukkan bagi Tanaman Pangan, berupa; Sawah dan Kebun/Tegalan (15,57% dan 21,29%). Pemanfaatan yang paling sedikit diperuntukkan bagi sub-sektor perikanan, berupa kolam dan tambak. Faktor – Faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan terhadap perubahan tutupan lahan adalah: 1. Faktor kependudukan, kebutuhan lahan untuk kegiatan non- pertanian 2. Faktor ekonomi: tingginya land rent yang diperoleh aktifitas sektor nonpertanian dibandingkan sektor pertanian.
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor sosial budaya yaitu keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan 4. Otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor yang menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih tinggi guna meningkatkan Pendapatan asli Daerah (PAD) yang kurang memperhatikan kepentingan jangka panjang dan kepentingan nasional yang sebenarnya panting bagi masarakat secara keseluruhan. 5. Lemahnya
sistem
perundang-undangan
dan
penegakan
hukum
(law
enforcement) dari peraturan -peraturan yang ada. (Djaenudin dkk, 2003). E. Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhinya Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun industri (Munibah, 2008). Sementara menurut Muiz (2009), perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial, ekonomi masyarakat yang sedang berkembang baik untuk tujuan komersial maupun industri. Pertambahan jumlah penduduk berarti pertambahan terhadap makanan dan kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian meningkat dengan adanya pertambahan penduduk.
Universitas Sumatera Utara
Demikian pula permintaan terhadap hasil non pertanian seperti kebutuhan perumahan dan sarana prasarana wilayah. Peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan material ini cenderung menyebabkan persaingan dalam penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Mansuri, 1996). Beberapa kajian dan penelitian telah dilakukan untuk menganalisis faktor faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan. Nastain dan Purwanto (2003) menyatakan beberapa hal yang diduga sebagai penyebab proses perubahan penggunaan lahan antara lain : 1. Besarnya tingkat urbanisasi dan lambatnya proses pembangunan di pedesaan 2. Meningkatnya jumlah kelompok golongan berpendapatan menengah hingga atas di wilayah perkotaan yang berakibat tingginya permintaan terhadap pemukiman (komplek-komplek perumahan) 3. Terjadinya transformasi di dalam struktur perekonomian yang pada gilirannya akan menggeser kegiatan pertanian/ lahan hijau khususnya di perkotaan 4. Terjadinya fragmentasi pemilikan lahan menjadi satuan-satuan usaha dengan ukuran yang secara ekonomi tidak efisien. F. Faktor Fisik Lahan dan Perubahan Penutupan Lahan Faktor fisik yang mempengaruhi penggunaan dan penutupan lahan adalah faktor-faktor yang terkait dengan kesesuaian lahannya, meliputi faktor-faktor lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan dan budidaya tanaman, kemudahan teknik budidaya ataupun pengolahan lahan dan kelestarian lingkungan. Faktor fisik ini meliputi kondisi iklim, sumberdaya air dan perairan, bentuk lahan dan topografi, serta karakteristik tanah yang secara bersama akan membatasi apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan pada sebidang lahan (Gandasasmita, 2001). Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah, termasuk didalamnya adalah perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Peranan topografi terhadap penggunaan lahan dibedakan berdasarkan unsur-unsurnya adalah elevasi dan kemiringan lereng. Peranan elevasi terkait dengan iklim, terutama suhu dan curah hujan. Elevasi juga berpengaruh terhadap peluang untuk pengairan. Peranan lereng terkait dengan kemudahan pengelolaan dan kelestarian lingkungan (Hardjowigeno, 1993). Tanah merupakan salah satu faktor penentu yang mempengaruhi penyebaran penggunaan lahan (Barlowe, 1986). Sehubungan dengan fungsinya sebagai sumber hara, tanah merupakan faktor fisik lahan yang paling sering dimodifikasi agar penggunaan lahan yang diterapkan mendapatkan hasil yang maksimal. Iklim merupakan faktor fisik yang sulit dimodifikasi dan paling menentukan keragaman penggunaan lahan. Unsur-unsur iklim seperti hujan, penyinaran matahari, suhu, angin, kelembaban dan evaporasi, menentukan ketersediaan air dan energi, sehingga secara langsung akan mempengaruhi ketersediaan hara bagi tanaman. Penyebaran dari unsur-unsur iklim ini bervariasi menurut ruang dan waktu, sehingga penggunaan lahan juga beragam sesuai dengan penyebaran iklimnya (Gandasasmita, 2001).
Universitas Sumatera Utara
G. Keterkaitan Antara Faktor Sosial Ekonomi, Dan Ekologi
Terhadap
Perubahan Lahan Kebijakan ataupun penegakan hukum
tidak dapat dialihkan dari satu
negara ke negara lain, bahkan dari satu kawasan ke kawasan lain, karena kebijakan itu merupakan cerminan kehidupan sosial, ekonomi, dan
ekologi
budaya setempat, termasuk panutan tradisi, kebiasaan, dan kepercayaan. Ini berarti bahwa tataguna lahan perlu dirumuskan dengan dua kerangka konteks yang saling terpadukan, yaitu kerangka konteks biofisik (sumberdaya alami) dan kerangka sosial-budaya ekonomi (sumberdaya manusia). Dengan tataguna lahan yang berkhususan tapak (site-specific) dan berkhususan masyarakat (people specific),
penggunaan
lahan
menjadi
ternilai
kelayakannya
(Notohadikusumo,2005). Faktor sosial-budaya masyarakat merupakan salah satu faktor penting yang ikut memberikan kontribusi bagi penentuan pemanfaatan lahan. Pada umumnya pola-pola pemanfaatan lahan yang ada di suatu wilayah tidak bertentangan dengan kondisi sosial-budaya masyarakatnya (Komarsa, 2001). Faktor sosial budaya yang dimaksud dalam tulisan ini meliputi: tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat usia, motivasi, persepsi dan interpretasi, pandangan/sikap hidup, adat-istiadat, idiologi dan tradisi lokal, hubungan dan jaringan sosial, institusi lokal. Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan
sumberdaya
lahan
seringkali
kurang
bijaksana
dan
tidak
mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (untuk jangka pendek) sehingga
Universitas Sumatera Utara
kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, sumberdaya lahan yang berkualitas tinggi menjadi berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya ketahanan pangan, tingkat dan intensitas pencemaran yang berat dan kerusakan lingkungan lainnya. Dengan demikian, secara keseluruhan
aktifitas
kehidupan
cenderung
menuju
sistem pemanfaatan
sumberdaya alam dengan kapasitas daya dukung yang menurun, dipihak lain permintaan akan sumberdaya lahan terus meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita (Rustiadi, 2001). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahrial (2009) di DAS Belawan kaitannya dengan perencanaan tata ruang adalah peruntukan lahan di DAS Belawan sangat dipengaruhi oleh desakan ekonomi masyarakat setempat dan adanya stake holder yang memanfaatkan lahan DAS. Konversi lahan seperti diadakannya perkebunan atau pun dibukanya kawasan hutan menjadi pertanian lahan kering seperi tanaman tebu dengan luasan yang luas. Selain itu faktor pendidikan masyarakat yang masih cenderung rendah mengakibatkan masyarakat memanfaatkan keahlian yang mereka miliki seperti bertani. Permintaan lahan untuk peruntukan DAS dalam kegiatan permukiman, perdagangan, dan jasa lainnya telah mengakibatkan berkurangnya daerah resapan termasuk ruang terbuka hijau (RTH). Demikian halnya dengan tingginya permintaan lahan untuk permukiman, perdagangan dan prasarana pendukung wisata di wilayah hulu telah menimbulkan tingginya perubahan penutupan lahan dari lahan berpenutupan vegetasi yang baik telah berubah menjadi semak, tegalan terbuka, maupun permukiman (lahan terbangun). Laju perubahan penutupan lahan
Universitas Sumatera Utara
yang tinggi telah mengakibatkan semakin buruknya kondisi DAS bagian hulu sebagai daerah resapan air (water recharge) dan sebagai pengendali aliran permukaan (run-off) yang menjadikan keadaan ekologi di kawasan DAS terganggu (Djakapermana, 2009). H. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem komputer yang memiliki 4 (empat) kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografis yaitu masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), analisis dan manipulasi data. Dengan keempat kemampuan tersebut maka Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah yang rawan terhadap bencana (Prahasta, 2005). Sistem Informasi Geografis merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Sistem ini merekam, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kepada
kondisi bumi. Teknologi SIG
mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query dan analisa statistik dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan Sistem Informasi lainnya yang membuatnya menjadi berguna dalam berbagai kalangan untuk menjelaskan kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang terjadi (Sukojo dan Diah, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Sinambela (2011), di Kabupaten Toba Samosir yang bertujuan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan di Kabupaten
Universitas Sumatera Utara
Toba Samosir pada selang waktu 2000 - 2005 - 2010 dengan menggunakan aplikasi SIG. Hasil yang diperoleh dalam bentuk data dan peta perubahan tutupan lahan. Perubahan tutupan lahan dapat dilihat dari monogram yang dilihat dari hasil citra yang telah ditentukan band -nya. Hasil pencitraan tersebut akan diperoleh tipe tutupan lahan yang berada di Kabupaten Toba Samosir dan tujuan kedua untuk mengetahui kawasan hutan menurut SK Menhut No. 44 tahun 2005 masih sesuai dengan kondisi di lapangan Tahun 2010. Dalam pemantauan perubahan secara digital, respon spektral suatu piksel pada dua waktu akan berbeda jika penutupan lahan berubah dari penutupan lahan satu menjadi penutupan lahan yang lainnya. Band yang sensitif terhadap perubahan dapat ditentukan dengan karakteristik reflektansi spektral masingmasing band terhadap vegetasi, tanah, dan air. Analisis perubahan lahan dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya: image overlay, diferensiasi citra (image differencing), analisis komponen utama (principal component analysis), dan perbandingan hasil klasifikasi (classification comparison). I. Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process yang diperkenalkan oleh Thomas Saaty adalah teori pengukuran yang menyediakan kemampuan untuk menggabungkan kedua faktor kualitatif dan kuantitatif dalam proses pengambilan keputusan. Metode pengambilan keputusan multi kritetia untuk penggabungan masalah yang kompleks dengan menguraikan masalah menjadi Hierarki struktural (Satty dan Vargas, 2001) dan menyediakan struktur hierarki dengan mengurangi beberapa variabel keputuasn menjadi serangkaian perbandingan dan mengembangkan prioritas subjektif berdasarkan penilaian ahli (weerakoon, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang dilakukan oleh Ritonga (2012) di Tangkahan yang bertujuan untuk mengetahui bentuk pemanfaatan gajah jinak yang paling sesuai di Tangkahan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian yang dilakukan adalah kriteria kesejahteraan dan keamanan masyarakat sebagai yang paling prioritas karena seluruh responden beranggapan bahwa kepentingan dari bentuk pemanfaatan gajah jinak yang ada di Tangkahan sudah seharusnya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan dan keamanan masyarakat. Fasilitas AHP dalam pengambilan keputusan dengan mengadakan persepsi, perasaan, penilaian dan memiliki nilai sejarah menjadi struktur hierarki dengan kekuatan yang mempengaruhi keputusan sebuah kasus yang paling umum. Pada struktur hierarki menunjukkan keterkaitan antara interaksi tujuan, kriteria, sub kriteria dan alternatif pada seluruh sistem. Untuk tujuan ini, pengukuran mutlak dan pendekatan pengukuran relatif digunakan dalam penerapan AHP. Hasil perbandingan umumnya digunakan ketika peringkat alternatif sesuai dengan standar yang dikembangkan oleh pengalaman ahli (Saaty, 1990). Namun, perbandingan relatif memerlukan prioritas untuk tujuan hierarki dengan membuat perbandingan berpasangan secara sistematis. Dalam Metode AHP dilakukan langkah- langkah sebagai berikut: Mendefenisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. Dalam tahap ini untuk menentukan masalah yang akan dipecahkan harus secara jelas, detail dan mudah dipahami. 1. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan utama
Universitas Sumatera Utara
2. Mendefenisikan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah penilaian seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan 3. Menghitung nilai eigen dengan menguji konsistensinya 4. Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hierarki 5. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan Merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan prioritas elemen- elemen pada tingkat hierarki terendah sampai mencapai tujuan. 6. Memeriksa konsistensi hierarki Konsistensi yang diharapkan adalah mendekati sempurna agar menghasilkan keputusan yang mendekati valid. Walaupun sulit untuk mencapai sempurna, rasio konsistensi diharapkan kurang dari atau sama dengan 10 %. Pada struktur hirarkis AHP memberikan informasi untuk menguji antara interaksi tujuan, kriteria, sub kriteria dan alternatif pada seluruh sistem 1. Dekomposisi yang diterapkan untuk struktur masalah yang kompleks dalam hirarki 2. Pengambilan keputusan yang diterapkan untuk membangun perbandingan berpasangan pada semua elemen dalam sebuah hierarki 3. Sintesa prioritas yang diterapkan untuk menghasilkan prioritas keseluruhan sepanjang Hierarki dengan mempertimbangkan prioritas secara umum (Saaty, 1980).
Universitas Sumatera Utara