TINJAUAN PUSTAKA Masyarakat Desa Masyarakat merupakan kumpulan sekelompok manusia yang bergaul dalam satu ikatan pada jangka waktu yang lama dengan kemungkinan adanya batas-batas territorial (kewilayahan) dan genealogis (keturunan). I.L. Pasaribu dan B. Simanjuntak (Lumbanbatu, 1999)
menyatakan masyarakat desa dicirikan
dengan adanya hubungan yang lebih erat dan mendalam antar mereka dibandingkan dengan warga desa lain, permukiman didasarkan kepada kelompok sistem kekeluargaan, pada umumnya hidup dari bercocok tanam, terdapat budaya gotong royong yang makin lama makin melemah, dan tidak ada sistem pembagian kerja berdasarkan keterampilan. Pandangan tentang masyarakat di dalam dan sekitar hutansebagai bagian dari ekosistem hutan, menempatkan masyarakatpada posisi penting. Masyarakat tidak lagi hanya sebatas objek,tetapi juga sebagai subjek dalam pengelolaan hutan. Hal inidisebabkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan sesungguhnyabukanlah pendatang baru dalam pengelolaan hutan. Pada tahun1990, sebagaimana dikutip oleh Alhamid dan Bisjoe (1997), ITTOmemasukkan perhatian terhadap kepentingan masyarakat sebagaiindikator keberhasilan pengelolaan hutan, selain kepentinganfungsi
produksi
dan
kepentingan
konservasi.
Sejalan
denganpernyataan tersebut, Sardjono (2011) menyatakan bahwa sebagaibagian integral dari ekosistem hutan, masyarakat telahmemanfaatkan hutan dan hasil hutan secara tradisional sejakpurbakala. Vayda (1983) dalam CIFOR (2001) menyatakan bahwamasyarakat di dalam dan sekitar hutan dipandang sebagai bagiandari hutan yang keduanya memiliki hubungan saling ketergantungan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini masyarakat berkontribusi kepadahutan dan sekaligus mengambil manfaat dari hutan. Dipandangdari sudut hubungan antarmanusia dan proses yang timbul darihubungan tersebut, masyarakat, termasuk yang tinggal di dalamdan sekitar hutan merupakan objek sosiologi. Oleh karena itu,beberapa permasalahan terkait masyarakat dan pengelolaan hutandapat pula diupayakan solusinya dengan pendekatan sosiologi.
Persepsi dan Perilaku Masyarakat Menurut Harvey dan Smith (dalam Wibowo, 1988) menyatakan bahwa pesepsi adalah suatu proses untuk membuat penilaian (judgement) atau membangun kesan (impression) mengenai berbagai macam hal yang terdapat di dalam lapangan penginderaan seseorang. Sementara Rakhmat (dalam Erida,1999) menjelaskan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan pada stimulasi indrawi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Persepsi
manusia terhadap
lingkungan
(enviromental
perception)
merupakan persepsi spasial yakni sebagai interpretasi tentang suatu setting (ruang) oleh individu yang didasarkan atas latar belakang, budaya, nalar, dan pengalaman individu tersebut. Dengan demikian setiap individu dapat mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda terhadap objek yang sama karena tergantung dari latar belakang yang dimiliki. Persepsi lingkungan yang menyangkut persepsi spasial sangat berperan dalam pengambilan keputusan dalam rangka migrasi, komunikasi, dan transportasi (Umar, 2009). Respon manusia terhadap lingkungannya tergantung pada bagaimana
Universitas Sumatera Utara
individu tersebut mempersepsikan lingkungannya (Sarwono, 1992 dalam Boedojo, 1986). Persepsi terhadap lingkungan mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungannya. Menurut Walgito (1999) sikap individu terhadap lingkungannya dapat berupa: (1) Individu menolak lingkungannya, yaitu bila individu tidak sesuai dengan keadaan lingkungannya (2) Individu menerima lingkungan, yaitu bila keadaan lingkungan cocok dengan keadaan individu (3) Individu bersikap netral atau status quo, apabila individu tidak mendapat kecocokan dengan keadaan lingkungan, tetapi dalam hal ini individu tidak mengambil langkah-langkah yang lebih lanjut yaitu bagaimana sebaiknya bersikap. Ada dua jenis lingkungan dalam kaitannya antara manusia dengan kondisi fisik lingkungannya (Sarwono, 1990 dalam Boedojo, 1986). Pertama adalah lingkungan yang telah akrab dengan manusia yang bersangkutan. Lingkungan jenis ini cenderung dipertahankan. Kedua adalah lingkungan yang masih asing, dimana manusia terpaksa melakukan penyesuaian diri atau sama sekali menghindarinya. Setelah manusia menginderakan objek di lingkungannya, ia memproses hasil penginderaannya dan timbul makna tentang objek pada diri manusia yang bersangkutan yang dinamakan persepsi yang selanjutnya menimbulkan reaksi. Tahap paling awal dari hubungan manusia dengan lingkungannya adalah kontak fisik antara individu dengan objek-objek di lingkungannya. Objek tampil dengan kemanfaatannya masing-masing, sedangkan individu datang dengan sifatsifat individualnya, pengalaman masa lalunya, bakat, minat, sikap dan ciri kepribadiannya
masing-masing.
Hasil
interaksi
individu
dengan
objek
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan persepsi individu tentang objek itu. Jika persepsi itu berada dalam batas-batas optimal maka individu dikatakan dalam keadaan homeo statis, yaitu keadaan yang serba seimbang. Keadaan ini biasanya dipertahankan oleh individu karena menimbulkan perasaan-perasaan yang paling menyenangkan. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan sebagai di luar batas-batas optimal (terlalu besar, terlalu kuat, kurang keras, kurang dingin, terlalu aneh dan sebagainya) maka individu itu akan mengalami stress dalam dirinya. Tekanan-tekanan energi dalam dirinya meningkat sehingga orang itu harus melakukan coping untuk menyesuaikan dirinya atau menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya. Sebagai hasil coping ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, tingkah laku coping ini menyebabkan stress berlanjut dan dampaknya bisa berpengaruh pada kondisi individu dan persepsi individu. Kemungkinan kedua, tingkah laku coping yang berhasil. Dalam hal ini terjadi penyesuaian antara diri individu dengan lingkungannya (adaptasi) atau penyesuaian keadaan lingkungan pada diri individu (adjusment). Dampak dari keberhasilan ini juga mengenai individu maupun persepsinya. Jika dampak dari tingkah laku coping yang berhasil terjadi berulangulang maka kemungkinan terjadi penurunan tingkat toleransi terhadap kegagalan atau kejenuhan. Disamping itu, terjadi peningkatan kemampuan untuk menghadapi stimulus berikutnya. Kalau efek dari kegagalan yang terjadi berulang-ulang, kewaspadaan akan meningkat. Namun pada suatu titik akan terjadi gangguan mental yang lebih serius seperti keputusasaan, kebosanan, perasaan tidak berdaya, dan menurunnya prestasi sampai pada titik terendah.
Universitas Sumatera Utara
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Menuru Makmuri Muchlas (2008) adabeberapa fator yangmempengaruhi persepsi, yaitu : 1.
Pelaku persepsi: penafsiran seorang individu pada suatu objek yang dilihatnya akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadinya sendiri, diantaranya sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan pengharapan. Kebutuhan atau motif yang tidak dipuaskan akan merangsang individu dan mempunyai pengaruh yang kuat pada persepsi mereka. Contohcontoh seperti seorang tukang rias akan lebih memperhatikan kesempurnaan riasan orang daripada seorang tukang masak, seorang yang disibukkan dengan masalah pribadi akan sulit mencurahkan perhatian untuk orang lain, dll, menunjukkan bahwa kita dipengaruhi oleh kepentingan/minat kita. Sama halnya dengan ketertarikan kita untuk memperhatikan hal-hal baru, dan persepsi kita mengenai orang-orang tanpa memperdulikan ciri-ciri mereka yang sebenarnya.
2.
Target atau obyek persepsi: Gerakan, bunyi, ukuran, dan atribut-atribut lain dari target akan membentuk cara kita memandangnya. Misalnya saja suatu gambar dapat dilihat dari berbagai sudut pandang oleh orang yang berbeda. Selain itu, objek yang berdekatan akan dipersepsikan secara bersama-sama pula. Contohnya adalah kecelakaan dua kali dalam arena ice skating dalam seminggu dapat membuat kita mempersepsikan ice skating sebagai olah raga yang berbahaya. Contoh lainnya adalah suku atau jenis kelamin yang sama, cenderung dipersepsikan memiliki karakteristik yang sama atau serupa.
Universitas Sumatera Utara
3.
Situasi: Situasi juga berpengaruh bagi persepsi kita. Misalnya saja, seorang wanita yang berparas lumayan mungkin tidak akan terlalu ‘terlihat’ oleh lakilaki bila ia berada di mall, namun jika ia berada dipasar, kemungkinannya sangat besar bahwa para lelaki akan memandangnya Banyak sekali faktor pada diri perseptor yang dapat mempengaruhi
veridikalitas persepsinya sendiri atau menimbulkan perbedaan–perbedaan antara persepsinya dengan persepsi orang lain. Faktor- faktor tersebut menurut Wibowo (1988) adalah meliputi beberapa hal sebagai berikut: 1. Faktor pengalaman Semakin banyak pengalaman yang dimiliki seseorang mengenai suatu objek-stimulusnya sebagai hasil dari seringnya kontak antara perseptor dan objek. Semakin tinggi pula verdikalitasnya. 2. Faktor intelegensia Semakin tinggi intelegensia atau semakin cerdas orang yang bersangkutan semakin besar kemungkinan ia akan bertingkah lebih obyektif dalam memberikan penilaian atau membangun kesan mengenai objek stimulus. 3. Faktor kemampuan menghayati stimulus Setiap manusia dalam taraf yang berbeda-beda, memiliki kemampuan untuk menangkap perasaan orang lain sebagaimana adanya. Kemampuan ini dinamakan empatik. 4. Faktor ingatan Daya ingat seseorang juga menentukan verikalitas persepsinya.
Universitas Sumatera Utara
5. Faktor disposisi kepribadian Disposisi kepribadian diartikan sebagai kecenderungan kepribadian yang relatif menetap pada diri seseorang. 6. Faktor sikap terhadap stimulus Sikap secara umum dapat dinyatakan sebagai suatu kecenderungan yang ada pada diri seseorang untuk berpikir atau berpandangan, berperasaan dan berkehendak, dan berbuat secara tertentu terhadap suatu objek. 7.
Faktor kecemasan Seseorang yang dicekam oleh kecemasan karena suatu hal yang berkaitan
dengan objek-stimulusnya akan mudah dihadapkan pada hambatan-hambatan dalam mempersepsikan objek tersebut. 8. Faktor pengharapan Faktor ini sebenarnya merupakan kumpulan dari beberapa bentuk pengharapan yang bersumber dari adanya asumsi-asumsi tertentu mengenai manusia, perilaku dan ciri-cirinya, yang sampai taraf tertentu diyakini kebenarannya.
Tanaman Sukun Tanaman sukun (bread fruit) mermiliki nama ilmiah Artocarpus altilis(Parkinson) Fosberg yang bersinonim dengan Artocapus communis Forstdan Artocarpus
incisa
Linn
yang
termasuk
keluarga
Moraceae
dan
kelasDicotyledonae (Heyne, 1987; Ragone, 1997; Zerega et al, 2005). Taksonomi tanaman sukun (Artocarpus communis Forst) adalah sebagai berikut Kingdom: Plantae; Divisi: Magnoliophyta; Kelas: Magnoliopsida; Ordo: Urticales; Famili: Moraceae; Genus: Artocarpus; Spesies: Artocarpus communis Forst.
Universitas Sumatera Utara
Sukun adalah tumbuhan dari genus Arthocarpus dalam famili Moraceae yang banyak terdapat di kawasan tropik seperti Malaysia dan Indonesia. Di pulau Jawa tanaman ini dijadikan tanaman budidaya oleh masyarakat. Tanaman ini dikategorikan sebagai MPTS. Multipurpose Tree Species (MPTS) adalah sistem pengelolaan lahan dimana berbagai jenis kayu ditanam dan dikelola, tidak saja untuk menghasilkan kayu, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat
digunakan
sebagai
bahan
makanan
ataupun
pakan
ternak
(Suyanto dkk, 2009).
Morfologi Tanaman Sukun Tinggi pohon sukun dapat mencapai 30 m, dapat tumbuh baik sepanjangtahun (evergreen) di daerah tropis basah dan bersifat semi-deciduous didaerah
yang
beriklim
monsoon
(Rajendran,
1992;
Ragone,
1997).
Batangmemiliki kayu yang lunak, tajuknya rimbun dengan percabangan melebarke arah samping, kulit batang berwarna hijau kecoklatan, berserat kasardan pada semua bagian tanaman memiliki getah encer. Akar tanamansukun biasanya ada yang tumbuh mendatar/menjalar dekat permukaantanah dan dapat menumbuhkan tunas alami (Heyne, 1987; Pitojo,1992; Ragone, 2006). Berikut ini merupakan ciri morfologis dari tanaman sukun. 1. Pohon dan Cabang Pohon sukun berbentuk piramida, tingginya bisa mencapai 30 meter. Pohon sukun membentuk percabangan sejak ketinggian 1,5 m dari tanah. Percabangan melebar ke samping. Tekstur kulitnya sedang, dan warna kulitnya hijau kecoklat-coklatan. Pohon sukun yang dipangkas akan cepat membentuk cabang kembali (Pitojo, 1999).
Universitas Sumatera Utara
2. Daun Tajuk daun rimbun, bentuk daun oval panjang dengan belahan daun simetris karena didukung oleh tulang daun yang menyirip simetris. Panjang daun 65 cm dan lebar daun 45 cm dengan tangkai daun 7 cm. Ujung daun meruncing.Tepi daun bercangap menyirip, kadang-kadang siripnya bercabang. Muka daun bagian atas halus dan bagian bawah kasar berbulu. Warna bagian atas daun hijau mengkilap dan bagian bawah kusam, posisi daun mendatar dan lebar, dan menghadap ke atas. Jarak antar daun bervariasi antara 2-10 cm (Pitojo, 1999). 3. Akar dan Perakaran Perakaran sukun dapat dilihat dengan baik sejak di persemaian. Setelah bibit sukun ditanam di lapangan, akar akan tumbuh dari stek akar, kemudian membesar bulat dan memanjang diikuti dengan ranting-ranting akar yang mengecil, disertai adanya rambut-rambut akar (Pitojo, 1999). Letak akar masuk ke dalam tanah, ada pula yang tumbuh mendatar dan sering tersembunyi di permukaan tanah. Panjang akar dapat mencapai 6 meter. Warna kulit akar coklat kemerah-merahan. Tekstur kulit akar sedang, mudah terluka dan mudah mengeluarkan getah. Apabila akar terpotong atau terluka akan memacu tumbuhnya pertunasan (Pitojo, 1999). 4. Bunga Bunganya berumah satu. Bunga jantan berbentuk kecil memanjang dan bunga betina berbentuk bulat sampai bulat panjang. Kedua jenis bunga tersebut berwarna hijau disaat muda dan setelah tua berwarna kekuningan. Umur bunga jantan dan betina relatif pendek, bunga jantan 25 hari dan bunga betina + 90 hari,
Universitas Sumatera Utara
letaknya bunga jantan atau betina berada pada pangkal daun (Direktorat Reboisasi, 1995). 5. Buah Sukun termasuk buah yang berbuah sepanjang tahun. Pembentukan buah sukun tidak didahului dengan proses pembuahan bakal biji (partenocarpy), sehingga buah sukun tidak memiliki biji. Bakal buah terus membesar membentuk bulat atau agak lonjong. Buah akan menjadi tua setelah 3 bulan sejak menculnya bunga betina. Buah yang muncul awal akan menjadi tua lebih dahulu, kemudian diikuti buah berikutnya. Tanda-tanda buah sukun tua yang siap untuk dipetik adalah bila kulit buah yang semula kasar telah berubah menjadi halus, warna kulit buah berubah dari hijau muda menjadi hijau kekuningan kusam. Selain itu nampak bekas getah yang mengering. Sukun mempunyai kulit yang berwarna hijau kekuningan dan terdapat segmen-segmen petak berbentuk poligonal pada kulitnya. Segmen poligonal ini dapat menentukan tahap kematangan buah sukun. Poligonal yang lebih besar menandakan buahnya telah matang sedangkan buah yang belum matang mempunyai segmen-segmen poligonal yang lebih kecil dan lebih padat (Alrasjid 1993 dalam LitBangHut, 2003). Buahnya terbentuk dari keseluruhan kelopak bunganya, berbentuk bulat atau sedikit bujur dan digunakan sebagai bahan makanan alternatif. Kulit buahnya berwarna hijau kekuningan dan terdapat segmen-segmen petak berbentuk poligonal. Segmen poligonal ini dapat menentukan tahap kematangan buah sukun (Mustafa, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Sebaran Alami danPersyaratan Tumbuh Sukun Sebaran tanaman sukun di Indonesia meliputi Sumatera (Aceh, SumateraUtara, Sumatera Barat, Riau, Nias, Lampung), Pulau Jawa (Kepulauan Seribu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Madura),Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi (Minahasa,Gorontalo, Bone, Makasar, Malino), Maluku (Seram, Buru, Kai, Ambon,Halmahera dan Ternate) dan Papua (Sorong, Manokwari, pulau-pulaukecil di daerah ”Kepala Burung” (Heyne, 1987; Pitojo, 1992; Widowati,2003; Hendalastuti dan Rojidin, 2006). Selanjutnya nama sukun seringdikaitkan dengan daerah asalnya, antara lain sukun Sorong, sukun Yogya,sukun Cilacap, sukun Pulau Seribu, sukun Bone dan sukun Bawean(Pitojo, 1999). Tanaman sukun dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 0-1100 meter di atas permukaan laut (Siregar, 2009). Tanaman Sukun dapat tumbuh pada semua jenis tanah (tanah podsolik merah kuning, tanah berkapur, tanah berpasir), namun akan lebih baik bila ditanam pada tanah gembur yang bersolum dalam, berhumus dan tersedia air tanah yang dangkal dengan pH 5-7. Tanaman sukun tidak baik dikembangkan pada tanah yang memiliki kadar garam tinggi. Tanaman sukun mulai berbuah pada umur 4 tahun bila ditanam di tempat terbuka dan umur tujuh tahun bila ternaungi (Alrasjid, 1993). Sukun juga toleran terhadap curah hujan yang sedikit maupun curah hujan yang tinggi antara 80-100 inchi per tahun dengan kelembaban 60-80%, namun lebih sesuai pada daerah-daerah yang cukup banyak mendapat penyinaran matahari. Tanaman sukun tumbuh baik di tempat yang lembab sampai tempat yang panas dengan kisaran temperature 150-380 C (Koswara, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Manfaat Tanaman Sukun Tanaman
sukun menghasilkan
buah yang memiliki kandungan gizi
tinggi, dan potensial dijadikan sebagai bahan makanan
pokok alternatif
pengganti beras. Buah sukun umumnya dijadikan makanan ringan/tambahan dengan cara dibakar, rebus, digoreng dan dibuat keripik.
Namun dapat pula
diolah menjadi gaplek sukun, tepung sukun dan patisukun yang selanjutnya dapat diolah menjadi beraneka ragam
masakan (Widowati, 2003; Departemen
Pertanian, 2003). Manfaat lainnya adalah tajuknya yang rindang dan perakaran yang dalam dan menyebar luas, menjadikan tanaman sukun sebagai tanaman yang cocok untuk kegiatan
penghijauan dan konservasi lahan. Kayunya yang sudah
tua, dapat digunakan untuk bahan bangunan (konstruksi ringan), papan yang dikilapkan, bahan pembuatan kotak/peti, mainan dan bahan baku pulp. Dalam pemanfaatan rumah tangga kayu sukun bisa dijadikan sebagai kayu bakar (Feriyanto, 2006; Purba, 2002).
Kondisi Umum DTA Danau Toba Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI (2010) menyatakan profil Danau Toba adalah sebagai berikut:Danau Toba terbentuk sebagai akibat terjadinya runtuhan (depresi) tektonik vulkanis yang dasysat pada zaman Pleiopleistosen. Kaldera raksasa ini mempunyai ukuran panjang 87 km, lebar 27– 31 km;luas 1.100 km². Ketinggian permukaan air Danau Toba yang pernah diamati dan dicatat adalah sekitar ± 906 meter dpl (diatas permukaan laut) . Luas daerah aliran sungai Asahan (DAS Asahan) adalah ± 4000 km² dan 90% dari luas DAS ini adalah kawasan Danau Toba sendiri sebagai daerah tangkapan air (catchment area) yang
Universitas Sumatera Utara
dibatasi oleh pegunungan terjal, kecuali di daerah antara Porsea dan Balige terdapat daerah dataran. Di tengah-tengah danau terdapat pulau Samosir dengan panjang 45 km, lebar 19 km dan luas 640 km². Kedalaman air Danau Toba berkisar 400–600 meter dan bagian terdapat di depan teluk Haranggaol (± 460 meter) dan disamping Tao Silalahi yang relatif memiliki area yang luas (± 445 meter) (LIPI, 2010).
Letak Geografi Secara geografis Kawasan Danau Toba terletak di pegunungan Bukit. Danau Toba terletak di Pulau Sumatera 176 Km arah Selatan Kota Medan, merupakan danau terbesar di Indonesia dan di Asia Tenggara. Permukaan danau berada pada ketinggian 903 meter dpl. Luas Perairan Danau Toba yaitu 1.130 Km² dengan kedalaman maksimal danau 529 meter. Total luas Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba lebih kurang 4.311,58 Km² (LIPI, 2010).
Iklim DTA Danau Toba termasuk ke dalam tipe iklim B1, C1, C2, D2, dan  E2. Dengan demikian bulan basah (Curah Hujan 200 mm/bulan) berturut-turut pada kawasan ini bervariasi antara dari 3 bulan sampai dengan 7–9 bulan, sedangkan bulan kering (Curah Hujan 100 mm/bulan) berturut-turut antara 2–3 bulan. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Scmidt dan Ferguson maka DTA Danau Toba ini termasuk ke dalam tipe iklim A,B dan C (LIPI, 2010).
Curah Hujan Curah hujan tahunan yang terdapat di kawasan Daerah Tangkapan Air Danau Toba berkisar antara 1.700 sampai dengan 2.400 mm/tahun. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
puncak musim hujan terjadi pada bulan Nopember hingga Desember dengan curah hujan antara 190–320 mm/bulan dan puncak musim kemarau terjadi selama bulan Juni-Juli dengan curah hujan berkisar 54–151 mm/bulan (LIPI, 2010).
Suhu dan Kelembaban Udara Suhu udara selama musim kemarau cenderung agak lebih tinggi dibandingkan dengan selama musim hujan. Sedangkan angka kelembaban tahunannya berkisar antara 79%–95%. Pada bulan-bulan musim kemarau kelembaban udara cenderung agak rendah dibandingkan pada bulan-bulan musim hujan. Evaporasi bulanan di daerah tangkapan air Danau Toba ini berkisar antara 74 - 88 mm/bulan (LIPI, 2010).
Topografi dan Tata Guna Lahan Kondisi topografi DTA Danau Toba didominasi oleh perbukitan dan pegunungan,
dengan
kelerengan
lapangan
terdiri
dari
datar
dengan
kemiringan(0%–8%) seluas 703,39 Km², landai (8%–15%) seluas 791,32 Km², agak curam (15–25%) seluas 620,64 Km², curam (25–45%) seluas 426,69 Km², sangat curam sampai dengan terjal (>45%) seluas 43,96 Km². Eksisting penggunaan dan penutupan lahan di DTA Danau Toba terdiri dari hutan alam, hutan rapat, hutan tanaman, hutan jarang dan kebun campuran, semak belukar, resam, tanaman semusim, persawahan dan lahan terbuka (LIPI, 2010).
Universitas Sumatera Utara