III.
TINJAUAN PUSTAKA
A. SUSU Menurut segi kimia, susu merupakan cairan kompleks yang mengandung lebih dari 100 senyawa kimia terpisah (Chandan, 1997). Komponen utamanya berupa air, lemak, laktosa, kasein, protein whey, dan mineral yang jumlahnya beragam disetiap spesies hewan. Menurut sudut pandang psikologis, susu merupakan sekresi yang dihasilkan dari kelenjar mamal mamalia betina yang diproduksi sebagai sumber nutrisi awal bagi spesies baru. Sedangkan menurut sudut pandang fisikokimia, susu merupakan cairan putih dari fase multidispersi. Dipandang dari segi gizi, susu merupakan makanan yang hampir sempurna dan merupakan makanan alamiah bagi binatang menyusui yang baru lahir (Buckle et al, 2009). Susu menyediakan nutrisi yang baik bagi manusia. Pada dasaranya susu terdiri dari air, lemak susu, dan padatan non-lemak. Padatan non-lemak terbagi menjadi protein, laktosa, dan mineral. Total lemak susu dan padatan non-lemak disebut total padatan. Hingga saat ini, susu yang paling banyak dikonsumsi oleh manusia berasal dari sapi. Secara kimiawi, susu sapi tersusun atas air (87 %), dan substansi kering, yaitu lemak (4 %), protein (3.5 %), laktosa (4.7 %), serta abu (0.8 %) (Bylund, 1995). Tabel 2. Syarat mutu susu segar No Karakteristik Satuan Syarat o 1. Berat jenis minimum (pada suhu 27,5 C) g/ml 1,0270 2. Kadar lemak minimum % 3,0 3. Kadar bahan kering tanpa lemak minimum % 7,8 4. Warna, bau, rasa, kekentalan Tidak ada perubahan o 5. Derajat asam SH 6,0 – 7,5 6. pH 6,3 – 6,8 7. Uji alkohol (70 %) v/v Negatif 8. Cemaran mikroba maksimum: Total plate count CFU/ml 1 x 106 Staphylococcus aureus CFU/ml 1 x 102 Enterobacteriaceae CFU/ml 1 x 103 9. Jumlah sel somatis maksimum sel/ml 4 x 105 10. Residu antibiotik (golongan penisilin, Negatif tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida) 11. Uji pemalsuan Negatif o 12. Titik beku C -0,520 s.d. -0,560 13. Uji peroksidase Positif Cemaran logam berat maksimum: Timbal (Pb) μg/ml 0,02 Merekuri (Hg) μg/ml 0,03 Arsen (As) μg/ml 0,1 Sumber: (SNI, 1998)
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3141-1998 susu segar adalah susu murni yang tidak mendapatkan perlakuan apapun kecuali proses pendinginan dan tanpa memengaruhi kemurniannya. Pada Tabel 2, ditunjukan bahwa syarat susu yang baik meliputi beberapa faktor seperti berat jenis, kadar lemak minimum, kadar bahan kering tanpa lemak minimum, warna, bau, rasa, kekentalan, derajat asam, pH, uji alkohol, cemaran mikroba maksimum, jumlah sel somatis maksimum, residu antibiotik, uji pemalsuan, titik beku, uji peroksidase, serta cemaran logam berat. Warna susu bergantung pada beberapa faktor seperti jenis ternak dan pakannya. Warna susu normal biasanya berkisar dari putih kebiruan hingga kuning keemasan. Warna putih merupakan hasil dispersi cahaya dari globula lemak, koloid misel kasein, dan mineral kalsium fosfat yang ada di dalam susu (Goff dan Hill, 1993). Susu juga mengandung pigmen karoten dan xantofil yang memberikan warna kuning keemasan pada lemak susu. Susu terasa sedikit manis dan asin (gurih) yang disebabkan adanya kandungan gula laktosa dan garam mineral di dalam susu. Globula lemak juga bertanggungjawab atas pembentukan rasa krim pada susu (Walstra et al., 2006). Rasa susu sendiri mudah sekali berubah bila terkena bendabenda tertentu, misalnya makanan ternak penghasil susu, kerja enzim dalam tubuh ternak, bahkan wadah tempat menampung susu yang dihasilkan nantinya. Susu segar memiliki sifat amfoter, artinya dapat berada di antara sifat asam dan sifat basa. Secara alami pH susu segar berkisar 6,5–6,7. Bila pH susu lebih rendah dari 6,5 berarti terdapat kolostrum ataupun aktivitas bakteri.
B. NILAI GIZI SUSU Zat gizi adalah substansi pangan yang memberikan energi, diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan atau pemeliharaan kesehatan, serta bila terjadi kekurangan maka dapat menyebabkan perubahan karakteristik biokimia sehingga terjadi perubahan fisiologi tubuh (BPOM, 2004). Suatu pangan dapat dikatakan bergizi apabila mengandung lebih dari tiga macam zat gizi yang masing-masing dalam jumlah lebih dari 10 % Angka Kecukupan Gizi (AKG). Suatu pangan dapat dikatakan bergizi lengkap apabila pangan tersebut mengandung semua zat gizi seperti tercantum dalam AKG masing-masing dalam dalam jumlah minimum 50 % AKG. Suatu pangan dapat disebut mempunyai komposisi zat gizi yang seimbang apabila pangan tersebut memberikan kontribusi kalori dari karbohidrat 50 % sampai dengan 60 %, lemak 20 % sampai dengan 30 %, dan protein 10 % sampai dengan 15 %. Sedangakan Angka Kecukupan Gizi (AKG) itu sendiri merupakan suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Susu sebagai salah satu pangan bergizi, memiliki beberapa komponen zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh seperti lemak, protein, karbohidrat, vitamin dan mineral. 1. Lemak Lemak terdapat di dalam susu dalam bentuk jutaan bola kecil yang bergaris tengah antara 1 – 20 mikron dengan rata-rata garis tengah 3 mikron (Buckle et al, 2009). Biasanya terdapat sekitar 1000 x 106 butiran lemak dalam setiap ml susu. Butiran inilah yang menyebabkan susu mudah menyerap flavor asing. Menurut Buckle et al (2009), kerusakan yang dapat terjadi pada lemak susu merupakan sebab dari berbagai perkembangan flavor yang menyimpang dalam produk-produk susu, seperti: 1. Ketengikan, yang disebabkan karena hidrolisa dan gliserida dan pelepasan asam lemak seperti butirat dan kaproat, yang mempunyai bau yang keras, khas dan tidak
10
2. 3. 4.
menyenangkan. Ketengikan terutama ditimbulkan oleh enzim lipase yang terdapat secara alami di dalam susu. Tallowiness yang disebabkan karena oksidasi asam lemak tak jenuh. Flavor teroksidasi yang disebabkan karena oksidasi fosfolipid. Amis/ bau seperti ikan yang disebabkan karena oksidasi dan reaksi hidrolisa.
Lemak susu berkontribusi terhadap 48% total kalori pada susu. Lemak susu mengandung sekitar 66 % lemak jenuh, 30 % lemak tak jenuh rantai tunggal, serta 4 % lemak tak jenuh rantai banyak (Chandan, 1997). Komponen mikro dari lemak susu antara lain adalah fosfolipid, sterol, tokoferol (vitamin E), karoten, vitamin A, serta vitamin D. susu mengandung kira-kira 0.3 % fosfolipid terutama lesitin, sphingomielin dan sepalin. Pada waktu susu dipisahkan menjadi skim milk dan krim, sekitar 70 % fosfolipid terdapat pada krim. Fosfolipid dapat dengan cepat teroksidasi di dalam udara dan akibatnya ikut menyebabkan penyimpangan cita rasa susu (Buckle et al, 2009). 2.
Protein Secara garis besar, protein susu terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu kasein dan protein whey. Kasein merupakan protein utama susu yang jumlahnya mencapai 80 % dari total protein susu sapi. Kasein dapat diendapkan oleh asam dan enzim rennin. Homogenisasi yang biasa dilakukan dalam pengolahan susu menyebabkan sebagian dari partikel-partikel kasein menyatu dengan butiran lemak. Protein merupakan polimer kompleks dari asam amino (Ronzio, 2003). Asam amino dibedakan menjadi asam amino esensial dan non-esensial. Asam amino esensial merupakan asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh dan tidak dapat disintesis oleh tubuh manusia sehingga harus didapat dari bahan pangan. Asam amino esensial terdiri dari leusin, isoleusin, valin, lisin, treonin, triptofan, metionin, fenilalanin dan histidin. Sedangkan asam amino non esensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh. Asam amino ini terdiri dari arginin, alanin, aspargin, asam aspartat, sistein, glutamine, asam glutamate, glisin, prolin, serin, dan tirosin.
3.
Laktosa Laktosa merupakan karbohidrat utama yang terdapat dalam susu (Buckle et al, 2009). Laktosa berkontribusi terhadap 30 % dari total kalori susu. Laktosa merupakan disakarida yang terdiri dari glukosa dan galaktosa. Jika susu dipanaskan seperti pada produk susu UHT, laktosa dapat mengalami isomerisasi menjadi laktulosa. Jumlah laktulosa dalam produk susu yang dipanaskan dapat menjadi indikator kecukupan panas proses.
4.
Mineral Kalsium, fosfor dan magnesium merupakan makro mineral yang banyak ditemukan dalam susu dan ketiganya memiliki bioavaibilitas yang sangat baik. Selain ketiga mineral tersebut, susu juga menggandung beberapa mineral lain dalam jumlah yang sedikit (trace mineral). Contoh trace mineral yang terdapat dalam susu sapi segar adalah zat besi, tembaga, mangan, zink dan iodium. Kandungan mineral dari susu, kecuali iodium, bersifat relatif konsisten dan tidak dipengaruhi oleh makanan ternak. Kandungan mineral dalam susu sapi dapat dilihat pada Tabel 3.
11
Tabel 3. Kandungan mineral dalam susu sapi Mineral Kandungan (mg/ 100 ml) Natrium
35-50
Kalium
140-155
Kalsium
115-125
Magnesium
11-14
Fosfor
90-100
Klorida
95-110
Zat Besi
0,03--0,11
Tembaga
0,01-0,12
Mangan
0,003-0,037
Zink
0,22-1,9
Iodium
0,005-0,07
Sumber: (Chandan et al., 1992) 5.
Vitamin Susu mengandung berbagai jenis vitamin yang diperlukan tubuh. Kandungan vitamin dalam susu segar dapat dilihat pada Tabel 4. Dipandang dari sudut gizi, susu merupakan sumber yang cukup baik dari vitamin larut air yaitu B dan C, serta vitamin larut lemak yaitu A, D, dan E (Buckle et al., 2009). Namun untuk beberapa vitamin yang sensitif terhadap panas seperti vitamin C dan B9, kandungannya dapat berubah secara signifikan untuk produk susu yang diolah menggunakan panas tinggi. Tabel 4. Kandungan vitamin rata-rata dalam susu Vitamin Kandungan per 100 g susu Vitamin A 160 IU Vitamin C
2,0 mg
Vitamin D
0,5-4,4 IU
Vitamin E
0,08 mg
Vitamin B1 (Tiamin)
0,035 mg
Vitamin B2 (Riboflavin)
0,17 mg
Vitamin B3 ((Niasin)
0,08 mg
Vitamin B5 (Asam Pantotenat)
0,35 – 0,45 mg
Vitamin B6 (Piridoksin)
0,05 - 0,1 mg
Vitamin B9 (Asam Folat)
3 – 8 μg
Vitamin B12
0,5 μg
Biotin
0,5 μg
Sumber: (Buckle et al., 2009)
C. SUSU UHT (ULTRA HIGH TEMPERATURE) Susu UHT (Ultra High Temperature) merupakan susu yang diproses dengan panas tinggi dalam waktu singkat (135-145o C) selama 2-5 detik (Amanatidis, 2002). Menurut kategori pangan BPOM (2006), Susu UHT merupakan susu segar atau susu rekonstitusi atau susu
12
rekombinasi yang disterilkan pada suhu tidak kurang dari 135 oC selama 2 detik dan dikemas segera dalam kemasan yang steril dan secara aseptis. Sistem UHT sendiri merupakan salah satu cara pengolahan yang berlangsung secara kontinyu dengan pemanasan yang tinggi dan dalam waktu singkat serta diikuti dengan pendinginan secara cepat untuk menghasilkan produk yang steril secara komersial (Von Bockelmann, 1998). Pemanasan dengan suhu tinggi bertujuan untuk membunuh seluruh mikroorganisme (baik pembusuk maupun patogen) dan spora. Waktu pemanasan yang singkat dimaksudkan untuk mencegah kerusakan nilai gizi susu serta untuk mendapatkan warna, aroma, dan rasa yang relatif tidak berubah seperti susu segarnya (Astawan, 2005). Karena pemanasan pada suhu tinggi dapat menyebabkan warna coklat akibat reaksi Maillard (Clare et al, 2005). Susu UHT ditemukan pada tahun 1960-an dan sudah mulai umum dikonsumsi pada tahun 1970-an (Elliot, 2007). Kelebihan-kelebihan susu UHT adalah masa simpannya yang relatif panjang pada suhu kamar walau tanpa penambahan bahan pengawet dan tidak perlu dimasukkan ke lemari pendingin. Jangka waktu ini lebih lama dari umur simpan produk susu cair lainnya. Selain itu susu UHT merupakan susu yang sangat higienis karena bebas dari seluruh mikroba baik mikroba patogen (penyebab penyakit) maupun mikroba pembusuk, serta spora sehingga potensi kerusakan mikrobiologis sangat minimal. Kontak panas yang sangat singkat pada proses ini menyebabkan mutu sensori (warna, aroma, dan rasa khas susu segar) dan mutu zat gizi, relatif tidak berubah. Selain itu susu UHT memiliki kandungan yang lebih murni dibanding susu bubuk maupun susu kental manis. Pengolahan susu cair segar menjadi susu UHT sangat sedikit pengaruhnya terhadap kerusakan protein. Di lain pihak kerusakan protein sebesar 30 % terjadi pada pengolahan susu cair menjadi susu bubuk. Kerusakan protein pada pengolahan susu dapat berupa terbentuknya pigmen coklat (melanoidin) akibat reaksi Mallard. Reaksi Maillard adalah reaksi pencoklatan non enzimatik yang terjadi antara gula dan protein susu akibat proses pemanasan yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama seperti pada proses pembuatan susu bubuk. Reaksi pencoklatan tersebut menyebabkan menurunnya daya cerna protein. Proses pemanasan susu dengan suhu tinggi dalam waktu yang cukup lama juga dapat menyebabkan terjadinya rasemisasi asam-asam amino yaitu perubahan konfigurasi asam amino dari bentuk L ke bentuk D. Tubuh manusia umumnya hanya dapat menggunakan asam amino dalam bentuk L. Dengan demikian proses rasemisasi sangat merugikan dari sudut pandang ketersediaan biologis asam-asam amino di dalam tubuh.. Reaksi pencoklatan (Mallard) dan rasemisasi asam amino telah berdampak kepada menurunnya ketersedian lisin pada produk-produk olahan susu. Penurunan ketersediaan lisin pada susu UHT relatif kecil yaitu hanya mencapai 0-2 %, sedangkan pada susu bubuk penurunannya dapat mencapai 510 %. Susu UHT dibuat dari susu cair segar yang diolah menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu yang sangat singkat untuk membunuh seluruh mikroba, sehingga memiliki mutu yang sangat baik. Secara kesuluruhan faktor utama penentu mutu susu UHT adalah bahan baku, proses pengolahan dan pengemasannya. Bahan baku susu UHT cair segar adalah susu segar yang memiliki mutu tinggi terutama dalam komposisi gizi. Susu UHT dikemas secara higienis dengan menggunakan kemasan aseptic multilapis berteknologi canggih. Kemasan multilapis ini kedap udara sehingga bakteri pun tak dapat masuk ke dalamnya. Karena bebas bakteri perusak, maka susu UHT pun tetap segar dan aman untuk dikonsumsi. Selain itu kemasan multilapis susu UHT ini juga kedap cahaya sehingga cahaya ultra violet tak akan mampu menembusnya, dengan terlindungnya dari sinar ultra violet
13
maka kesegaran susu UHT akan tetap terjaga. Teknologi UHT dan kemasan aseptik multilapis menjamin susu UHT bebas bakteri dan tahan lama serta tidak membutuhkan bahan pengawet. Tabel 5. Syarat mutu susu UHT (tawar dan berperisa) No
Jenis Uji
Satuan
1.
Keadaan
1.1
Warna
-
1.2
Bau
-
1.3
Rasa
-
2 3
Persyaratan Jenis A*) Khas, normal, sesuai label Khas, normal, sesuai label Khas, normal, sesuai label Min. 2,7 Min. 3,0
Protein (N x 7) %, b/b Lemak %, b/b Bahan kering tanpa 4 %, b/b Min. 8,0 lemak 5 Total padatan Tidak dipersyaratkan 6 Pewarna tambahan Tidak dipersyaratkan 7 Cemaran logam 7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 3,0 7.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 20,0 7.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0 7.4 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0 7.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03 8 Cemaran arsen mg/kg Maks. 0,10 9 Cemaran mikroba 9.1 Angka lempeng total Koloni/g 0 *) Jenis A = Susu UHT tawar Jenis B = Susu UHT yang diberi perisa Sumber: SNI (1998)
Jenis B*)
Khas, normal, sesuai label Khas, normal, sesuai label Khas, normal, sesuai label Min. 2,4 Min. 2,0 Tidak dipersyaratkan Min. 12 Sesuai Maks. 3,0 Maks. 20,0 Maks. 40,0 Maks. 40,0 Maks. 0,03 Maks. 0,10 0
Tabel 5 menunjukan syarat mutu susu UHT tawar dan berperisa menurut SNI (1998). Syarat mutu untuk warna, bau, rasa serta cemaran logam dan mikroba adalah sama untuk jenis susu UHT tawar dan berperisa. Sedangkan nilai protein, lemak, bahan kering tanpa lemak, total padatan, serta pewarna tambahan untuk kedua jenis susu memilliki nilai yang berbeda-beda. Susu UHT tawar harus mengandung minimal 2,7 % protein (b/b), 3,0 % lemak (b/b) dan 8 % bahan kering tanpa lemak (b/b). Sedangkan untuk jenis susu UHT berperisa, dipersyaratkan untuk mengandung minimal 2,4 % protein (b/b) dan 2,0 % lemak (b/b). Jumlah bahan kering tanpa lemak pada susu UHT berperisa tidak dipersyaratkan nilainya. Dari persyaratan tersebut terlihat bahwa standar minimal lemak dan protein pada susu UHT tawar lebih tinggi dari susu UHT berperisa. Standar minimal protein pada susu UHT tawar (2,7 %) mendekati standar minimal protein pada susu segar (2,8 %). Bahkan standar lemak susu UHT tawar sama dengan standar minimal lemak pada susu segar, yaitu 3,0 %. Hal ini menunjukan susu UHT tawar memiiliki karakteristik yang sangat dekat dengan susu segar. Syarat lain yang membedakan jenis susu UHT tawar dan berperisa adalah adanya tambahan
14
bahan pewarna. Pada susu UHT tawar tidak dipersyaratkan adanya pewarna tambahan, sedangkan pada susu UHT berperisa pewarna tambahan harus sesuai dengan jenis rasa susu.
D. PROSES PRODUKSI SUSU UHT Teknik dasar proses UHT dihasilkan dari prinsip sterilisasi pada kombinasi suhu tinggi dan waktu singkat yang mampu memberikan tingkat inaktivasi mikroba sesuai dengan target yang diinginkan; tetapi sekaligus melindungi zat gizi sehingga hanya menyebabkan kerusakan mutu dan gizi yang minimum (Hariyadi, 2010). Menurut Bylund (1995) hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan reaksi perubahan selama proses panas. Laju inaktivasi mikroba memiliki nilai z yang lebih rendah sehingga kenaikan suhu akan menyebabkan penurunan nilai D yang lebih tajam. Sedangkan laju kerusakan mutu produk seperti kerusakan vitamin, citarasa dan perubahan kimia lainnya memiliki nilai z yang tinggi, sehingga kenaikan suhu akan mengakibatkan perubahan nilai D yang lebih lambat. Dengan kata lain, suhu yang lebih tinggi akan efektif mempercepat laju inaktivasi mikroba namun memberikan efek perlindungan yang lebih terhadap degradai mutu dan gizi. Sebaliknya jika proses pemanasan dilakukan pada suhu yang lebih rendah maka degradasi mutu juga akan terjadi lebih cepat daripada reaksi inaktivasi mikroba. Nilai D adalah waktu pemanasan pada suhu tertentu yang menyebabkan pengurangan jumlah mikroba sebesar 1 siklus log. Sedangkan nilai z adalah besarnya nilai suhu yang mengakibatkan perubahan nilai D sebesar 1 siklus log. Proses produksi susu UHT berperisa secara garis beras terdiri dari pemanasan awal susu berupa proses pasteurisasi susu, pencampuran bahan, sterilisasi, homogenisasi, serta pengisian produk secara aseptis. Pasteurisasi susu yang merupakan proses pemanasan awal bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroba awal. Homogenisasi dilakukan setelah sterilisasi dengan tujuan memperkecil ukuran globula lemak sehingga mencegah resiko pemisahan susu. Tahapan proses produksi susu UHT berperisa dapat dilihat pada Gambar 2.
15
Susu segar T < 10 º C Standarisasi susu Pemanasan awal (pasteurisasi) T: 80ºC t: 20 detik Homogenisasi
Bahan-bahan kering
Penampungan sementara T: 6-10 ºC
Pencampuran bahan kering
pencampuran
vitamin
Sterilisasi T: 135-145º C t: 2-5 detik
Homogenisasi
Kemasan steril
Pengisian aseptik
Produk Akhir
Gambar 2. Proses produksi susu UHT berperisa
E. BENCHMARKING Benchmarking adalah kegiatan untuk mengidentifikasi, memahami, dan menyesuaikan praktek bisnis yang sukses serta proses yang digunakan oleh perusahaan lain untuk meningkatkan kualitas kinerja perusahaan sendiri. American Productivity and Quality Centre (1993) mengartikan benchmarking sebagai proses dari suatu perusahaan untuk membantu meningkatkan kinerja perusahaan tersebut. Menurut Gani (2004) benchmarking adalah kegiatan untuk menetapkan sasaran perusahaan menggunakan praktik yang terbaik di kelasnya, dan merupakan instrumen manajemen kinerja yang efektif. Harrington (1995) menyatakan bahwa benchmarking dapat diartikan sebagai metode sistematis untuk mengidentifikasi, memahami, dan secara kreatif mengembangkan proses, produk, maupun layanan untuk meningkatakan kinerja perusahaan. Karakterisasi ini perlu komunikasi yang
16
baik. Tujuan dan keberhasilan implementasi sistem benchmarking sangat mengandalkan para karyawan yang melakukan proses tersebut. Brah et al. (1999) menunjukkan bahwa keberhasilan benchmarking diukur dengan sejauh mana praktisi pembandingan telah mencapai tujuan mereka. Benchmarking terdiri dari 2 jenis utama, yaitu : 1. Benchmarking kompetitif: merupakan uji pembanding terhadap pesaing langsung di pasar. Hal ini mungkin melibatkan pembandingan dari langkah strategis (misalnya, pangsa pasar serta kepuasan pelanggan), fungsi atau proses. Jika perusahaan dapat memperoleh informasi yang rinci mengenai kompetitor mereka, maka hal tersebut baik untuk merangsang proses perbaikan. Namun biasanya informasi ini sulit untuk didapatkan. 2. Benchmarking non-kompetitif: merupakan pembanding langkah strategis, fungsi atau proses perusahaan non-pesaing atau fungsi proses dalam organisasi yang sama (internal benchmarking) Secara rinci, Spendolini (1992) menyatakan bahwa berdasarkan jenis obyek yang digunakan, benchmarking dapat dibagi menjadi 4 macam yaitu: 1. Proses: proses benchmarking yang dilakukan terhadap proses bisnis ataupun tahapan proses lainnya. 2. Strategi: proses benchmarking yang dilakukan terhadap struktur organisasi, kegiatan manajerial maupun strategi bisnis yang dijalankan. 3. Performa: proses benchmarking yang dilakukan terhadap biaya, keuntungan, pendapatan maupun suatu indicator spesifik lainnya 4. Produk: proses benchmarking yang dilakukan terhadap produk maupun jasa yang dihasilkan suatu perusahaan Sedangkan berdasarkan jenis hubungannya, benchmarking terbagi menjadi 4 yaitu : 1. Internal: pengukuran dan perbandingan antar proses atau produk di dalam perusahaan sendiri. 2. Fungsional: pengukuran dan perbandingan operasional suatu perusahaan dengan praktek terbaik dalam suatu jenis industri tertentu. 3. Generik: pengukuran dan perbandingan yang dilakukan terhadap suatu praktek yang terbaik namun mengabaikan jenis industri yang diukur. 4. Kompetitif: pengukuran dan perbandingan yang berfokus pada produk atau proses yang dimiliki oleh kompetitor. Benchmarking kompetitif dapat membantu perusahaan untuk mengembangkan diri mereka. Untuk mendapat hasil yang maksimal, standar acuan yang digunakan pada saat benchmarking haruslah merupakan standar tertinggi di kelasnya. Benchmarking terhadap kompetititor memiliki beberapa keuntungan. Jika kita mengamati dan mengawasi produk kompetitor, maka secara tidak langsung kita telah mengawasi pasar. Semakin kita memahami apa yang terjadi di pasar, semakin mudah pula kita melihat peluang bagi produk baru ataupun cara baru untuk menyegarkan produk kita (Nicolino, 2001).
F.
LABEL PANGAN Label pangan adalah semua informasi mengenai makanan yang tertera pada kemasan produk pangan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan
17
Pangan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan dan atau pembuatan makanan dan minuman. Tujuan dari pelabelan pangan ini adalah agar masyarakat yang membeli dan mengonsumsi pangan memperoleh informasi yang benar dan jelas tentang setiap produk pangan yang dikonsumsinya. Undang-Undang Pangan No. 7 tahun 1996 menyebutkan label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan dalam pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan. Pada pasal 30 ayat 2 disebutkan bahwa sebuah label harus memuat sekurang-kurangnya keterangan tentang pangan yang bersangkutan, nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih, isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal, dan tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa. Moniharapon (1998) mengungkapkan tujuan pelabelan secara umum, antara lain : 1. Memberi info tentang isi produk yang diberi label tanpa harus membuka kemasan. 2. Berfungsi sebagai sarana komunikasi produsen kepada konsumen tentang hal-hal yang perlu diketahui oleh konsumen tentang produk tersebut, terutama hal-hal yang tidak kasat mata/tidak dapat diketahui secara fisik. 3. Sarana periklanan bagi produsen. 4. Memberi rasa aman pada konsumen. Pada label pangan sekurang-kurangnya tercantum keterangan mengenai: 1. Nama produk 2. Berat bersih atau isi bersih 3. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan pangan ke dalam wilayah Indonesia 4. Nomor pendaftaran 5. Komposisi atau daftar bahan 6. Keterangan kadaluwarsa 7. Tanggal atau kode produksi Menurut BPOM (2004), Secara garis besar label pangan terbagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Bagian Utama, merupakan bagian label yang memuat keterangan penting unuk diketahui masyarakat. Bagian utama label setidaknya memuat keterangan mengenai nama produk, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan pangan ke dalam wilayah Indonesia, nomor pendaftaran. 2. Bagian Informasi, merupakan bagian label yang tidak termasuk bagian utama label. Bagian ini dicantumkan keterangan mengenai daftar bahan atau komposisi, informasi nilai gizi, serta keterangan lain yang sesuai dengan bab II, pasal PP No 69 Tahun 1999 seperti kode produksi, tanggal kadaluwarsa, petunjuk penyimpanan dan petunjuk penggunaan. Keterangan tentang daftar bahan atau komposisi bahan yang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan dicantumkan pada label sebagai komposisi secara berurutan dimulai dari bagian yang terbanyak digunakan (bahan utama), kecuali vitamin, mineral dan zat penambah gizi lainnya. Bahan yang digunakan sebagaimana yang dimaksud
18
menggunakan nama yang lazim digunakan. Pangan yang mengandung bahan tambahan pangan, pada labelnya harus mencantumkan nama golongan bahan tambahan pangan. Pada label pangan yang mengandung bahan tambahan pangan golongan antioksidan dan pemanis buatan, pengawet, pewarna dan penguat rasa harus mencantumkan pula nama bahan tambahan pangan dan nomor indeks khusus untuk pewarna. Fungsi dari komponen label pangan dapat dilihat pada Tabel 6.
19
Tabel 6. Keterangan tentang label pangan dan fungsinya No Jenis Pengertian 1. Nama produk Tanda yang dipakai untuk membedakan atau merek makanan yang diperniagakan oleh dagang seseorang atau badan dari makanan yang diperdagangkan oleh orang atau badan lain. 2. Daftar bahan yang Susunan bahan penyusun dan/ atau digunakan komponen yang terdapat dalam makanan. 3. Berat bersih Berat produk di luar kemasan.
4.
Catatan: Produk yang menggunakan/ bercampur media cair harus disertai berat tuntas yaitu berat pangan dikurangi media cairnya. Nama dan alamat Alamat lengkap yang memproduksi produsen atau mengedarkan produk pangan tersebut.
5.
Tanggal kadaluwarsa
Keterangan yang mengindikasikan tahun, bulan, tanggal kapan makanan tersebut aman dikonsumsi dari produksi sampai diterima konsumen.
6.
Kode produksi
7.
Nomor pendaftaran
Keterangan berupa huruf atau angka atau perpaduannya yang menunjukkan riwayat barang diproduksi. Kode dan nomor yang diberikan Departemen Kesehatan RI untuk makanan yang telah terdaftar .
Fungsi Memudahkan pengenalan produk.
Lebih produk.
memahami
Mengetahui proporsi isi terhadap kemasan dan media.
Memudahkan konsumen melakukan pengaduan jika terjadi sesuatu merugikan. Antisipasi keamanan dan keselamatan konsumen saat mengonsumsi suatu produk. Memudahkan mendata serta mengidentifikasi produk. Mengetahui apakah produk tersebut telah melalui pemeriksa standar depkes sehingga aman dikonsumsi.
Sumber: Moniharapon (1998)
G. INFORMASI NILAI GIZI Informasi nilai gizi adalah informasi mengenai kandungan zat-zat gizi yang terdapat di dalam suatu makanan kemasan. Informasi nilai gizi merupakan daftar kandungan zat gizi pangan pada label pangan sesuai dengan format yang dibakukan (Sandjaja, 2009). Informasi ini dapat berupa gram atau persen lemak, protein, karbohidrat, natrium, kalium, vitamin, dan mineral yang terkandung dalam suatu produk. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan ditetapkan bahwa sejumlah informasi tertentu merupakan keterangan minimal yang wajib dicantumkan pada setiap label pangan, misal nama produk, berat bersih, nama dan alamat produsen dan lain-lain. Informasi nilai gizi adalah contoh informasi yang wajib dicantumkan
20
apabila label pangan memuat sejumlah keterangan tertentu. Menurut BPOM (2005), pencantuman informasi nilai gizi diwajibkan pada label pangan yang memuat keterangan tertentu, yaitu label pangan yang: 1. Disertai pernyataan bahwa pangan mengandung vitamin, mineral, dan atau zat gizi lainnya yang ditambahkan; atau 2. Dipersyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang mutu dan gizi pangan, wajib ditambahkan vitamin, mineral, dan atau zat gizi lainnya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan zat gizi lain yaitu karbohidrat, protein, lemak, dan komponen serta turunannya, termasuk energi. Melalui informasi nilai gizi, produsen berkesempatan untuk menyampaikan informasi zat gizi yang terkandung dalam produknya yang kemungkinan merupakan keunggulan produk tersebut dibanding produk lainnya. Bagi konsumen informasi nilai gizi merupakan media yang berperan penting untuk mendapatkan informasi yang benar dan tidak menyesatkan dari label pangan. Dengan informasi tersebut, konsumen dapat melakukan pemilihan yang bijak terhadap produk pangan yang akan dibeli, terutama yang berkenaan dengan kandungan zat gizi di dalamnya. Berdasarkan luas permukaan label pangan, format „Informasi Nilai Gizi‟ dikelompokkan atas: 1. Format Vertikal, untuk kemasan dengan luas permukaan label lebih dari 100 cm2 2. Format Horizontal, untuk kemasan dengan luas permukaan label kurang dari atau sama dengan 100 cm2 3. Format untuk kemasan pangan dengan luas permukaan label kurang dari atau sama dengan 30 cm2
21
Gambar 3. Format Umum Informasi Nilai Gizi Format Vertikal merupakan jenis format informasi nilai gizi yang banyak digunakan. Format vertikal terdiri dari beberapa model yang sesuai dengan peruntukan masing-masing yaitu: 1. Umum 2. Pangan yang ditujukan bagi bayi atau anak usia 6 sampai 24 bulan 3. Pangan yang ditujukan bagi anak usia 2 sampai 5 tahun 4. Pangan yang berisi 2 atau lebih pangan yang dikemas secara terpisah dan dimaksudkan untuk dikonsumsi masing-masing. 5. Pangan yang berbeda dalam hal rasa, aroma atau warna 6. Pangan yang biasa dikombinasikan dengan pangan lain sebelum dikonsumsi 7. Pangan yang harus diolah terlebih dahulu sebelum dikonsumsi Keterangan minimal yang harus dicantumkan pada informasi nilai gizi merupakan keterangan yang wajib dicantumkan pada informasi nilai gizi. Keterangan ini ditunjukan oleh tulisan berwarna biru pada Gambar 3. Keterangan minimal yang wajib dicantumkan antara lain adalah: 1. Ukuran takaran saji. 2. Jumlah saji per kemasan. 3. Kandungan energi per takaran saji. 4. Kandungan protein per saji (dalam gram).
22
5. 6. 7. 8.
Kandungan karbohidrat per saji (dalam gram). Kandungan lemak per saji (dalam gram). Kandungan natrium per saji (dalam milligram) Persentase dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan.
Keterangan yang dicetak dengan warna merah pada Gambar 3 merupakan jenis keterangan yang wajib dicantumkan dengan persyaratan tertentu. sedangkan yang dicetak dengan warna hijau merupakan jenis keterangan yang secara sukarela dicantumkan. Menurut Kurniali dan Abikusno (2007), format umum label informasi nilai gizi (Gambar 3 ) terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Bagian pertama, memuat tulisan “INFORMASI NILAI GIZI‟ serta keterangan tentang „Takaran Saji‟ dan „Jumlah Sajian per Kemasan‟ 2. Bagian kedua, menyajikan keterangan mengenai kandungan zat gizi. Bagian ini dibagi menjadi tiga sub-bagian dan diawali dengan kalimat „JUMLAH PER SAJIAN”. Subbagian pertama memuat informasi yang berkenaan dengan energi. Sub-bagian kedua memuat keterangan yang berkenaan dengan lemak, protein, karbohidrat dan natrium. Sedangkan sub-bagian ketiga memuat keterangan tentang vitamin dan mineral lainnya. 3. Bagian ketiga, merupakan catatan kaki yang menerangkan bahwa perhitungan persentase AKG dilakukan berdasarkan energi kelompok konsumen tertentu (Tabel 7). Namun kebutuhan setiap individu mungkin berbeda-beda dari angka yang telah ditetapkan. Mayoritas jenis pangan yang dijual di pasaran merupakan pangan dengan kategori umum. Oleh karena itu digunakan nilai acuan sebesar 2000 kkal.
23
Tabel 7. Nilai Acuan Label Gizi untu Kelompok Konsumen
Sumber: BPOM (2007)
H. PRINCIPLE COMPONENT ANALYSIS Principle component analysis (PCA) merupakan metode yang dapat digunakan untuk memvisualisasikan seluruh informasi yang terkandung dalam data dan deskripsi suatu produk (Meilgaard et al., 1999). PCA pertama kali diperkenalkan oleh Karl Pearson pada awal tahun 1990-an. Metode ini cenderung digunakan utuk pengelompokan data dan mengetahui hubungan pengelompokan antara contoh dan variabel (Setyaningsih et al., 2010). PCA digunakan untuk menghitung kombinasi linier dan variabel yang menggambakan keragaman data asli sebanyak mungkin, dimana matriks multidimensi data asli dapat disederhanakan tanpa harus kehilangan informasi penting sehingga memudahkan intrepetasi matriks data yang kompleks. Pada dasarnya, Principle component analysis (PCA) bertujuan untuk Mereduksi dimensi data dengan cara membangkitkan variabel baru (komponen utama) yang merupakan kombinasi linear dari variabel asal sedemikan hingga varians komponen utama menjadi maksimum dan antar komponen utama bersifat saling bebas.
24
Pada analisis komponen utama, nilai rataan dari variabel pengamatan dihitung dan dikonversikan menjadi nilai baku (nilai Z) dengan rumus: Nilai variabel sampel − Rataan variabel Standar deviasi sampel Nilai baku selanjutnya diolah untuk menghasilkan plot analisis yang berupa loading plot, score plot serta biplot. 𝑍=
I.
ANALISIS BIPLOT Biplot merupakan teknik statistik deskriptif dimensi ganda yang dapat disajikan secara visual dengan menyajikan secara simultan segugus obyek pengamatan dan peubah dalam suatu grafik pada suatu bidang datar sehingga ciri-ciri peubah dan obyek pengamatan serta posisi relatif antara obyek pengamatan dengan peubah dapat dianalisis. Menurut Rawlings (1988), analisis biplot dapat menunjukan hubungan antar peubah, kemiripan relatif antar obyek pengamatan, serta posisi relatif antara obyek pengamatan dengan peubah. Pada prinsipnya, biplot merupakan upaya grafis terhadap tabel ringkasan dalam tampilan dua dimensi. Informasi yang diberikan oleh biplot mencakup obyek dan peubah dalam satu gambar, sehingga disebut biplot. Beberapa informasi penting yang didapat dari tampilan biplot adalah: 1. Kedekatan antara obyek Informasi ini dapat dijadikan panduan obyek mana yang memiliki kemiripan karakteristik dengan obyek tertentu. Dua obyek dengan karakteristik sama akan digambarkan sebagai dua titik yang posisinya berdekatan. 2. Keragaman peubah Informasi ini digunakan untuk melihat apakah ada peubah tertentu yang nilainya hampir sama untuk setiap obyek, atau sebaliknya bahwa nilai dari setiap obyek ada yang sangat besar dan ada juga yang sangat kecil. Dengan adanya informasi ini, bisa diperkirakan pada peubah mana strategi tertentu harus ditingkatkan, serta sebaliknya. Dalam biplot, peubah dengan keragaman kecil digambarkan sebagai vektor yang pendek, sedangkan peubah yang ragamnya besar digambarkan sebagai vektor yang panjang. 3. Hubungan (korelasi antar peubah) Informasi ini dapat digunakan untuk menilai bagaimana peubah yang satu mempengaruhi ataupun dipengaruhi peubah yang lain. Dua peubah yang memiliki korelasi positif tinggi akan digambarkan sebagai dua buah garis dengan arah yang sama atau membentuk sudut sempit. Sementara itu, dua peubah yang memiliki korelasi negatif tinggi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah yang berlawanan atau membentuk sudut lebar (tumpul). Sedangkan dua peubah yang tidak berkorelasi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan sudut mendekati 90o 4. Nilai peubah pada suatu obyek Informasi ini digunakan untuk melihat keunggulan dari setiap obyek. Obyek yang terletak searah dengan arah dari suatu peubah dikatakan bahwa pada obyek tersebut nilainya diatas rata-rata. Sebaliknya jika obyek lain terletak berlawanan dengan arah dari peubah tersebut maka obyek tersebut memiliki nilai di bawah rata-rata. Sedangkan obyek yang hampir ada di tengah-tengah memiliki nilai dekat dengan rata-rata.
25
Analisis biplot dapat digunakan untuk menilai suatu produk jika dibandingkan dengan produk kompetitornya. Berdasarkan hasil analisis biplot, dapat diketahui kedekatan antara suatu produk dengan kompetitornya. Selain itu juga dapat diketahui kekurangan dan kelebihan masing-masing produk sehingga dapat digunakan sebagai sarana pengembangan dan perbaikan produk.
26