4
TINJAUAN PUSTAKA Kualitas dan Keamanan Susu Susu merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri dan dapat menjadi sarana bagi penyebaran bakteri yang membahayakan kesehatan manusia.
Susu mudah tercemar mikroorganisme bila penanganannya tidak
memperhatikan aspek kebersihan (Balia et al. 2008, diacu dalam Gustiani 2009). Upaya memenuhi ketersediaan susu harus disertai dengan peningkatan kualitas dan keamanan produk susu karena seberapa pun tinggi nilai gizi suatu bahan pangan akan menjadi tidak berarti bila bahan pangan tersebut berbahaya bagi kesehatan (Murdiati et al. 2004, diacu dalam Gustiani 2009). Pada umumnya, bakteri merupakan penyebab utama penyakit yang ditularkan dari ternak ke manusia melalui pangan. Bakteri yang menyerang ternak saat di kandang dapat menular ke manusia karena pemeliharaan dan proses panen yang tidak higienis. Pemerahan susu yang tidak sesuai anjuran dapat menyebabkan susu tercemar mikroorganisme dari lingkungan sehingga kualitas susu menurun (Gustiani 2009). Proses pencemaran mikroba pada susu dimulai saat susu diperah, bakteri yang berada di sekitar ambing juga terbawa dalam susu saat pemerahan. Menurut Rombaut (2005), diacu dalam Gustiani (2009), pencemaran susu terjadi sejak proses pemerahan, dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia, peralatan, dan udara. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 3141.1 2011 tentang Susu segar-bagian 1: Sapi, syarat susu segar antara lain adalah: (1) tidak ada penyimpangan pada uji organoleptik seperti warna putih kekuningan, bau dan rasa khas susu serta konsistensi normal, (2) kandungan protein minimal 2.8% dan lemak minimal 3%, (3) cemaran mikroba maksimum 1 juta cfu/ml (BSN 2011). Susu segar yang halal, aman, sehat dan utuh (HASU) dapat dihasilkan dari sapi perah yang sehat serta pemerahannya baik dan benar (Gustiani 2009). Susu yang akan dikonsumsi sebaiknya diperhatikan terlebih dahulu kondisinya. Susu segar yang baik adalah yang memenuhi kriteria halal, aman, sehat, utuh (HASU), yaitu: (1) tidak mengandung atau tidak bersentuhan dengan barang atau zat yang diharamkan, (2) tidak mengandung agen penyebab penyakit,
5 misalnya mikroba patogen (Salmonella sp., Mycobacterium sp.) dan residu bahan berbahaya (antibiotik, logam berat, pestisida, hormon), (3) mengandung zat gizi dalam jumlah yang cukup dan seimbang, dan (4) tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apa pun (Gustiani 2009). Mikroorganisme yang berkembang dalam susu dapat menurunkan kualitas dan mempengaruhi keamanan produk tersebut apabila dikonsumsi oleh manusia. Beberapa kerusakan pada susu yang disebabkan oleh cemaran mikroorganisme antara lain: (1) pengasaman dan penggumpalan, yang disebabkan oleh fermentasi laktosa menjadi asam laktat sehingga pH susu turun dan kasein menggumpal, (2) susu berlendir karena terjadinya pengentalan dan pembentukan lendir oleh beberapa jenis bakteri, (3) penggumpalan susu tanpa penurunan pH yang disebabkan oleh bakteri Bacillus cereus (Gustiani 2009). Bakteri yang dapat mencemari susu terdiri atas dua golongan, yaitu bakteri patogen dan bakteri apatogen (bakteri pembusuk).
Bakteri patogen dapat
menyebabkan penyakit yang ditimbulkan oleh susu (milkborne disease), seperti tuberkulosis, bruselosis, dan demam tifoid. Mikroorganisme lain yang terdapat di dalam susu yang dapat menyebabkan penyakit adalah Salmonella, Shigella, B.cereus, dan S. aureus (Buckle et al. 1987). Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam susu melalui udara, debu, alat pemerahan, dan manusia. Bakteri apatogen merupakan bakteri yang berkembang dalam susu dan menyebabkan terjadinya perubahan dan penyingkiran susu sehingga kualitas susu menurun. Beberapa kerusakan pada susu yang disebabkan oleh bakteri tersebut antara lain pengasaman dan penggumpalan susu yang disebabkan oleh Bakteri Asam Laktat (BAL).
BAL memfermentasi laktosa menjadi asam laktat sehingga pH susu
menurun dan kasein menggumpal.
Bakteri yang termasuk BAL diantaranya
Lactococcus sp., Lactobacillus sp., Streptococcus sp., dan Staphylococcus sp. Menurut data the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat pada tahun 1998-2005 yang dikutip oleh Omiccioli et al. (2009), sebanyak 45 wabah foodborne illness disebabkan oleh susu yang tidak dipasteurisasi atau keju yang dibuat dari susu yang tidak dipasteurisasi, menyebabkan 1007 orang sakit, 104 orang dirawat di rumah sakit dan 2 orang meninggal. Susu mentah atau yang tidak dipasteurisasi (raw/unpasteurized milk)
6 merupakan wahana pemindah (vehicle of transmission) dari mikroorganisme seperti Salmonella spp., E. coli O157 dan Listeria monocytogenes. Beberapa wabah foodborne illness terjadi setelah mengkonsumsi susu mentah yang tercemar dan produk-produk susu, seperti yang disebabkan oleh Shiga-toxin yang dihasilkan E. coli. Bakteri dalam Susu Umumnya bakteri dalam susu dapat berasal dari saluran puting (teat canal), jaringan ambing yang terinfeksi (mastitis subklinis) atau melalui kontaminasi dari hewan, pemerah, kotoran dan air yang tercemar (Altalhi & Hassan 2009). Elmoslemany et al. (2010) menambahkan bahwa kontaminasi mikroorganisme pada susu bisa terjadi di tangki penampungan (bulk tank milk) melalui tiga sumber utama, yaitu kontaminasi bakteri dari permukaan luar ambing dan puting, permukaan peralatan susu, dan dari mikroorganisme penyebab mastitis di dalam ambing. Artinya bahwa jumlah bakteri pada susu dimulai dari peternakan dan dipengaruhi oleh banyak prosedur yang berkaitan dengan praktik manajemen di peternakan. Chye et al. (2004) melaksanakan studi tentang keamanan mikrobiologik susu mentah yang berasal dari 360 peternakan sapi perah di Peninsular, Malaysia. Sampel susu dianalisis terhadap total plate count (TPC), S. aureus, koliform dan E. coli, serta prevalensi L. monocytogenes, E. coli O157:H7 dan Salmonella. Jumlah rata-rata koliform, E. coli dan S. aureus yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah berturut-turut 1.7 x 105, 6.8 x 103 dan 1.2 x 104 cfu/ml (Tabel 2). Tabel 2
Jumlah rata-rata koliform, E. coli dan S. aureus dalam susu di Peninsular, Malaysia (Chye et al. 2004)
Zona/Wilayah Selatan (n=381) Pusat (n=201) Timur (n=126) Utara (n=222) Jumlah rata-rata abc
Jumlah bakteri (cfu/ml) 4
Koliform (x10 )
E. coli (x103)
S. aureus (x103)
28.0a 23.0a 11.0b 7.5b 17.0
15.0a 5.4b 4.8b 1.9c 6.8
8.4b 18.0a 17.0a 6.3b 12.0
perbedaan huruf pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0.05).
7 Susu mentah atau yang tidak dipasteurisasi (raw/unpasteurized milk) merupakan wahana pemindah (vehicle of transmission) dari mikroorganisme seperti Salmonella spp., E. coli O157 dan L monocytogenes (Omiccioli et al. 2009).
Susu yang baru dikeluarkan dari ambing sapi yang sehat biasanya
mengandung jumlah mikroorganisme yang rendah (< 1000/ml), namun jumlahnya dapat meningkat mencapai 100 kali lipat atau lebih saat disimpan lama pada suhu normal. Penyimpanan susu dalam wadah yang bersih pada suhu dingin segera setelah pemerahan dapat menunda perkembangan mikroorganisme. Cemaran susu mastitis pada susu segar sehat adalah salah satu penyebab tingginya jumlah mikroorganisme dalam susu secara keseluruhan (bulk milk). Keberadaan bakteri koliform dalam susu merupakan indikator praktik higiene dan sanitasi yang buruk selama pemerahan dan penanganan serta mengindikasikan kemungkinan pencemaran dari manur, tanah, air yang tercemar (Chye et al. 2004).
Karakteristik Escherichia coli E. coli termasuk famili Enterobacteriaceae, Gram negatif, tidak membentuk spora, dan biasanya memiliki flagela yang bertipe peritrichous, serta berbentuk batang yang memiliki fimbria.
Sering pula dilengkapi dengan kapsul atau
mikrokapsul. E. coli merupakan bakteri yang terdapat pada usus dan merupakan bagian dari flora intestinal yang juga berfungsi sebagai sumber penghasil vitamin. Beberapa jenis E. coli mempunyai kemampuan untuk menimbulkan penyakit pada manusia.
Kebanyakan penyakit yang disebabkan E.coli berhubungan dengan
mukosa usus. Penyakit yang biasa disebabkan oleh E. coli adalah diare. E. coli dibedakan menjadi
lima
golongan
berdasarkan
mekanisme
virulensinya,
yaitu
enteropathogenic (EPEC), enterotoxigenic (ETEC), enteroinvasive (EIEC), enterohemorrhagic (EHEC), dan enteroaggregate (EAggEC).
Strain E. coli
dibedakan serotipenya berdasarkan tiga permukaan antigen, yaitu O (somatik), H (flagela), dan K (kapsula). Masing-masing memiliki 175 antigen yang berbeda untuk mengenalinya.
Kombinasi yang spesifik dari O (175) dan H (56)
menentukan jenis serotipe E. coli (Eslava et al. 2003).
8 Menurut Baylis (2009) telah dikenal dua kelompok E. coli patogenik, yaitu extraintestinal pathogenic E. coli (ExPEC) dan intestinal pathogenic E. coli (IPEC). ExPEC mewakili E. coli yang berkaitan dengan infeksi saluran kemih dan meningitis pada bayi yang baru dilahirkan, sedangkan IPEC bertanggung jawab pada sejumlah penyakit diare. Dalam kelompok IPEC saat ini terdapat 6 kelompok E. coli yang berbeda dikaitkan dengan foodborne disease, yaitu verotoxigenic E. coli (VTEC), enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enteropathogenic E. coli (EPEC), enteroaggregative E. coli (EAggEC) dan diffusely adherent E. coli (DAEC). Bakteri E. coli termasuk dalam grup koliform.
Istilah koliform tidak
termasuk dalam taksonomi, tetapi ia merupakan grup spesies dari beberapa genera diantaranya, Escherichia, Enterobacter, Klebsiella, Citrobacter, dan mungkin Aeromonas, dan Serratia. Alasan utama penggolongan ini dikarenakan kemiripan karakteristik dari beberapa genera tersebut. Semua genera merupakan bakteri Gram negatif, tidak membentuk spora, hampir semuanya motil, anaerob fakultatif yang resisten terhadap berbagai macam bahan penurun tegangan permukaan (surface active agent) dan mampu memfermentasi laktosa menjadi asam dan gas dalam 48 jam pada suhu 32 atau 35 °C. Beberapa spesies bisa tumbuh pada suhu tinggi (44.5 °C), sedangkan spesies lainnya pada suhu 4 sampai 5 °C. Semua bakteri koliform bisa tumbuh pada makanan, kecuali pada pH < 4.0 dan pada aktivitas air (aw) < 0.92. Semua koliform sensitif terhadap suhu rendah dan mati dengan pasteurisasi. Koliform dapat ditemukan pada feses manusia, hewan berdarah panas dan burung, beberapa bakteri dapat ditemukan di lingkungan. Bakteri Klebsiella spp. dan Enterobacter spp. ditemukan di tanah dan dapat memperbanyak diri sampai jumlah yang banyak. Beberapa koliform ditemukan di air dan tanaman. Dikenal pula bakteri koliform fekal selain bakteri koliform, yang mencakup bakteri koliform yang memiliki spesifisitas lebih tinggi sebagai pencemar fekal. Grup ini meliputi E. coli, Klebsiella dan Enterobacter spp. (Ray 2001). Chye et al. (2004) melaporkan jumlah rata-rata E. coli yang ditemukan pada susu dalam penelitiannya 6.8 x 103 cfu/ml dan E. coli O157:H7 dideteksi dalam 312 (33.5%) sampel.
Keberadaan E. coli pada susu yang pernah dilaporkan
9 adalah 72.7% (8/11) di Peternakan Taif, Arab Saudi (Altalhi dan Hassan 2009) dan 64.5% (600/930) di Pusat Penampungan Susu, Malaysia (Chye et al. 2004)
Karakteristik Staphylococcus aureus S. aureus merupakan bakteri spherical yang bersifat Gram positif, aerob atau anaerob fakultatif dan memiliki sifat katalase positif. Beberapa strain bakteri S. aureus berkemampuan menghasilkan toksin protein yang tahan panas dan bisa menyebabkan penyakit pada manusia.
S. aureus bersifat aerob atau anaerob
fakultatif dan memiliki metabolisme melalui respirasi atau fermentasi (Bennet & Monday 2003). Bakteri S. aureus memerlukan asam amino sebagai sumber nitrogen, serta tiamin dan asam nikotinat. S. aureus yang tumbuh secara anaerob membutuhkan urasil.
Pada umumnya S. aureus bersifat mesofilik, namun beberapa strain
tumbuh pada suhu paling rendah 6-7 °C. Secara umum, suhu untuk pertumbuhan S. aureus antara 7 sampai dengan 47.8 °C dengan suhu optimum 35 °C. Derajat keasaman (pH) yang memungkinkan bakteri ini tumbuh antara 4.5 sampai dengan 9.3 dengan pH optimum 7.0-7.5. S. aureus tumbuh pada aktivitas air lebih dari 0.83 (tumbuh baik pada aw > 0.99). Hampir semua strain S. aureus memiliki toleransi tinggi terhadap keberadaan garam dan gula (Bennet & Monday 2003). S. aureus mampu memproduksi enzim ekstraselular, toksin, dan komponen kimia lainnya. Bakteri ini mampu memproduksi sekurang-kurangnya 34 jenis protein ekstraseluler.
Beberapa metabolit ekstraseluler digunakan sebagai
identifikasi dan diferensiasi dari jenis Staphylococcus lainnya. Dua metabolit penting yang digunakan untuk kunci identifikasi adalah koagulase, yang merupakan enzim terlarut yang mengkoagulasi plasma, dan termonuklease (TNase), yang merupakan enzim fosfodiesterase yang tahan panas yang dapat memecah DNA dan RNA untuk memproduksi 3´fosfomononukleosida (Bennet & Monday 2003). Enterotoksin S. aureus berbentuk protein rantai tunggal dengan berat molekul 260 000-290 000. Toksin S. aureus bersifat neutral-base protein dengan titik isoelektrik 7.0-8.6.
Toksin S. aureus sangat resisten terhadap enzim
proteolitik seperti tripsin dan pepsin, sehingga dimungkinkan toksin untuk
10 menyebar melalui perut mencapai akseptornya (site of action). Sifat dari enterotoksin S. aureus yang tahan panas berpotensi menimbulkan bahaya bagi kesehatan jika terdapat dalam makanan (Bennet & Monday 2003). Perbedaan antara beberapa jenis Staphylococcus terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3 Perbedaan berbagai jenis Staphylococcus (Bennet & Monday 2003) Sifat
S. aureus
S. intermedius
S. hyicus
S. epidermidis
Pigmen Koagulase DNase Hemolisis Manitol Aseton Clumping Hialuronidase Lisostafin
+ + + + + + + + ST
+ + + + ST
± ± ± + ST
± + SR
ST = sensitivitas tinggi SR = sensitivitas rendah
Bakteri S. aureus dapat ditemukan dalam susu. Dari penelitian André et al. (2008) diperoleh 16 positif S. aureus dari 24 sampel susu mentah (66.7%) yang diambil di industri pengolah susu skala kecil di Goiá State, Brazil dari Maret 2004 sampai Februari 2005. Jumlah rata-rata S. aureus di dalam susu mentah adalah 1.1 x 105 cfu/ml. S. aureus juga ditemukan pada saluran hidung dan tangan pekerja, masing-masing 32.6% (15/46) dan 30.4% (14/46) (Tabel 4). Tabel 4
Staphylococcus aureus yang diisolasi dari pekerja, susu mentah, dan keju Minas Frescal di industri susu, Brazil (André et al. 2008) Jumlah sampel
Jumlah sampel positif
%
Jumlah isolat
Jumlah rata-rata (kisaran) cfu/ml atau cfu/g
Hidung pekerja
46
15
32.6
15
TD
Tangan pekerja
46
14
30.4
14
Sumber
TD 5
Susu
24
16
66.7
24
1.1 x 10 (<1.0 x 101 – 7.5 x 105)
Keju
24
17
70.8
20
3.8 x 104 (<1.0 x 101 – 3.4 x 105)
Total 140 TD = tidak dapat ditentukan
62
44.3
73
11 Prevalensi S. aureus pada susu yang pernah dilaporkan adalah 60.7% (565/930) di Pusat Penampungan Susu, Malaysia (Chye et al. 2004) dan 66.7% (16/24) di industri pengolah susu, Goias State, Brazil (Andre et al. 2008).
Isolasi dan Identifikasi Escherichia coli dan Staphylococcus aureus Media selektif dan diferensial yang pertama kali digunakan untuk mengisolasi E. coli adalah MacConkey agar.
MacConkey agar mengandung
garam empedu yang berfungsi sebagai inhibitor bakteri Gram positif dan beberapa bakteri Gram negatif.
Bakteri penghasil asam kuat seperti Escherichia,
Klebsiella, dan Enterobacter memperlihatkan koloni berwarna merah, sedangkan bakteri yang tidak memfermentasi laktosa seperti Salmonella, Proteus, dan Edwardsiella memperlihatkan koloni yang tidak berwarna (Adams & Moss 2008). MacConkey agar tidak begitu selektif karena ternyata memungkinkan pertumbuhan non-Enterobacteriaceae, meliputi bakteri Gram positif seperti Enterococcus dan Staphylococcus. Agar eosin methylene blue (EMB) adalah media selektif yang biasa digunakan sebagai pengganti agar MacConkey, karena mengandung aniline dyes eosin dan methylene blue yang merupakan agen selektif dan mampu bekerja sebagai indikator pada fermentasi laktosa dengan membentuk endapan pada pH rendah. Pada agar EMB, bakteri yang memfermentasi laktosa dengan kuat akan memperlihatkan koloni berwarna hitam dengan kilauan hijau metalik (Adams & Moss 2008). Reaksi biokimiawi dari E. coli meningkat selama digunakan dalam media diagnostik berupa aktivitas b-glucuronidase yang dimiliki oleh 95% galur E. coli, tetapi pada bakteri lain jumlahnya terbatas.
Glukoronida fluorogenik atau
khromogenik merupakan media yang termasuk media konvensional yang mendeteksi aktivitas enzim melalui produksi warna fluoresen. Bahan yang biasa digunakan adalah fluorogen 4-methylumbelliferyl-b-D-glucuronide (MUG) yang dihidrolisis untuk menghasilkan fluorescent 4-methylumbelliferone. Koloni yang dicurigai dari media selektif dan diferensial sebagai E. coli bisa dikonfirmasi lebih lanjut dengan uji biokimia.
Deteksi dari E. coli O157:H7 didasarkan oleh
perbedaan fenotipe dari serotipe lainnya yaitu ketidakmampuan untuk memfermentasi sorbitol pada agar MacConkey dan tidak adanya aktivitas b-
12 glucuronidase pada beberapa galur E. coli. Hasil presumtif E. coli O157:H7 dari uji ini harus dikonfirmasi secara serologi dengan menggunakan latex agglutination kit yang beredar secara komersial (Adams & Moss 2008).
Gambar 1 Koloni E. coli pada media LEMB agar.
Media selektif yang terbaik dan biasa digunakan untuk menghitung S. aureus
dibuat
oleh
Baird
Parker
pada
awal
tahun
1960-an,
yang
mengkombinasikan media selektif terbaik dengan karakteristik reaksi diagnostik dan kemampuan untuk memperbaiki sel yang rusak, yang dikenal sebagai baird parker agar (BPA). BPA mengandung litium klorida dan telurit yang berperan sebagai agen selektif serta mengandung kuning telur dan piruvat yang membantu perbaikan sel bakteri yang rusak (injured).
Reduksi telurit oleh S. aureus
memberikan karakteristik berkilau, koloni berwarna hitam dan dikelilingi oleh zona yang jelas/terang (clear) yang dihasilkan oleh protein kuning telur lipovitellenin. Koloni tersebut juga sering memperlihatkan tepi dalam berwarna putih yang diakibatkan oleh presipitasi dari asam lemak (Adams & Moss 2008).
Gambar 2 Koloni S. aureus pada media BPA.
13 Penampilan koloni pada BPA memberikan identifikasi presumtif S. aureus yang sering dikonfirmasi oleh uji koagulasi dan thermostable nuclease. Koagulase adalah substansi ekstraseluler yang mengkoagulasi plasma darah hewan atau manusia yang tidak mengandung kalsium, memang tidak spesifik untuk mendeteksi S. aures, karena S. intermedius dan S. hyicus juga memiliki koagulase. S. intermedius tidak bisa memproduksi telurit sehingga menghasilkan warna koloni putih pada BPA. S. hyicus yang sering ditemukan pada kulit babi dan unggas, memerlukan beberapa tahapan lebih lanjut berupa uji biokimia untuk membedakannya dengan S.aureus (Adams & Moss 2008). Selektivitas bisa dicapai dengan memasukan bermacam-macam substansi seperti pada Tabel 5. Potasium telurite dan litium klorida bekerja sebagai selektif agen pada isolasi media padat (Vogel & Johnson 1960).
Tabel 5
Sistem selektif dan diagnostik yang digunakan pada media enrichment untuk Staphylococcus aureus (Baird & Lee 1995)
Enrichment broth Tryptone soya broth (TSB) dengan sodium klorida (TSBS)
Sistem selektif Sodium klorida
Sistem diagnostik
Referensi Buttiaux dan Brogniart (1947) Baer (1966) Gliden et al. (1966) Lancette et al. (1986)
TSB dengan sodium klorida dan sodium piruvat (PTSBS)
Sodium klorida
Giolitti dan Cantoni broth (GCB)
Potasium tellurite Litium klorida Glisin Inkubasi anaerobik
Potasium tellurite
Giolitti dan Cantoni (1966)
Liquid Baird-Parker (LBP)
Potasium tellurite Litium klorida Glisin Inkubasi anaerobik
Potasium tellurite
Baird dan van Doorne (1982)
Media agar selain mengandung agen selektif, juga ditambahkan substansi lain untuk meningkatkan produktivitas. Piruvat dan katalase ditambahkan untuk memperbaiki sel bakteri yang rusak pada kedua media isolasi baik padat maupun cair. Piruvat dan katalase mencegah kematian sel dari akumulasi H2O2 selama pertumbuhan aerobik dan perbaikan diri (Baird 1962). Beberapa substansi untuk penggunaan diagnostik di antaranya manitol, egg yolk, DNA dan plasma babi
14 serta fibrinogen digunakan untuk melapisi media (Baird & Lee 1995). Penampilan dari koloni S. aureus yang bervariasi pada beberapa media ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6
Penampilan Staphylococcus aureus pada beberapa macam media isolasi (Baird & Lee 1995)
Media plating Agar Baird Parker (BP)
Penampakan koloni Hitam, berkilau, konveks berukuran 1.0-1.5 mm dengan tepi putih dan dikelilingi zona luar yang jelas dengan luas 2-5 mm ke media opaque.
Referensi Baird Parker (1962)
Agar Vogel Johnson (VJ)
Hitam, konveks, berkilau dan dikelilingi zona berwarna kuning
Vogel Johnson (1960)
Modified Vogel Johnson dengan posfatidil kolin (PCVJ)
Hitam, konveks, berkilau dengan zona berwarna kuning yang jelas
Andrew dan Martin (1975)
Agar Manitol Salt (MSA)
Koloni dikelilingi zona kuning cerah
Chapman (1945)
Telah banyak studi komparatif mengenai penggunaan jenis media untuk isolasi dan perhitungan S. aureus (Terplan et al. 1982). Hasil perbandingan tingkat perbaikan (recovery) dari sel bakteri yang stres pada empat media selektif yaitu agar BP dan agar BP plasma (pig plasma) ternyata lebih baik dibandingkan potassium thyocianate actidione sodium azide egg yolk pyruvate agar dan modified Vogel Johnson agar (PCVJ).
Baird dan van Doorne (1982)
membandingkan tingkat perbaikan sel bakteri dari sampel makanan yang terkontaminasi secara alami dengan menggunakan teknik pelapisan langsung ke dalam BPA dan VJA serta teknik enrichment yaitu Triptone Soya Broth (TSB) dan Liquid Baird Parker (LBP) diikuti dengan pelapisan ke dalam agar BP. Hasil terbaik diperlihatkan oleh kombinasi LBP (liquid Baird Parker) untuk enrichment dan BPA untuk plating. LBP digunakan untuk perbaikan sel yang rusak (stress cell) dalam jumlah yang sedikit (Baird & van Doorne 1982). Hasil percobaan dengan menggunakan media isolasi yang berbeda, menunjukkan bahwa enrichment selektif di LBP diikuti subkultur ke dalam BP memberikan tingkat perbaikan sel (cell recovery) yang sangat tinggi.
15 Prinsip Pengujian Jumlah Bakteri Metode kultur merupakan sebuah metode untuk menumbuhkan bakteri di dalam media yang berisi kebutuhan nutrisi bakteri tersebut. Metode kultur dibagi menjadi dua jenis yaitu analisis kuantitatif (perhitungan) dan analisis kualitatif (ada atau tidaknya bakteri).
Metode kuantitatif merupakan metode untuk
menghitung jumlah bakteri pada sampel dengan menggunakan metode sebar (spread-plate), metode tuang (pour-plate) dan most probable number (MPN) (Stephens 2003). Metode sebar dilakukan dengan menggunakan inokulum yang kecil yang bertipe 100 µ1 pada cawan petri standar yang berukuran 90 mm. Metode ini memungkinkan hasil pengenceran sampai empat desimal yang dapat dihitung dari satu cawan.
Metode sebar bertujuan untuk menghindari terpaparnya media
dengan inokulum besar yang bisa menimbulkan sedikit panas seperti pada metode tuang (Stephens 2003). Berbeda dengan metode sebar, metode tuang (pour plate) menggunakan inokulum yang volumenya besar biasanya berukuran 1 ml. Sampel yang akan diuji langsung dituang ke dalam cawan petri kosong kemudian media agar yang sudah distandarisasi suhunya dituang ke dalam cawan sehingga keduanya bercampur kemudian akan memadat (Stephens 2003). Metode most probable number (MPN) digunakan jika menginginkan perhitungan bakteri yang jumlahnya sedikit atau terbatas. Hal ini dikarenakan jumlah media yang terlalu banyak (pada metode sebar dan tuang), sedangkan banyak sel yang rusak pada sampel sehingga kemungkinan sel dapat hidup sangat kecil. Metode MPN menggunakan perhitungan estimasi jumlah bakteri dengan pemeriksaan kultur lebih dari satu kali dan pengenceran bertahap untuk menentukan
proporsi
beberapa
kultur
yang
menunjukan
pertumbuhan.
Enrichment cair digunakan untuk mendukung perbaikan (recovery) dan pertumbuhan bakteri. Indikator tumbuhnya bakteri diperlihatkan oleh produksi reaksi yang sesuai pada medium misalnya perubahan pH, produksi indol, produksi gas dan lain lain. Prosedur MPN bisa juga termasuk proses uji kualitatif lengkap meliputi enrichment primer, selektif enrichment, dan plating. Penentuan jumlah pengenceran didasarkan atas perhitungan jumlah bakteri yang diinginkan sesuai
16 level kontaminasi pada tabung.
Kekurangan dari metode MPN adalah perlu
bekerja intensif dan bila jumlah penggandaan per pengenceran sedikit maka akurasinya lemah (Stephens 2003). Metode kualitatif digunakan untuk menentukan ada tidaknya bakteri. Berdasarkan tingkat sensitivitasnya, terdapat empat tahapan pada metode kualitatif dalam metode kultur, yaitu: pre-enrichment, selective enrichment, plating, dan konfirmasi. Inokulasi langsung dari sel yang rusak (injury cell) pada media selektif bisa menyebabkan matinya beberapa atau bahkan semua bakteri sehingga hasilnya negatif sehingga perlu dilakukan pre-enrichment dengan media non selektif untuk memungkinkan perbaikan sel dan pertumbuhan bakteri yang rusak. Hal yang perlu diperhatikan pada pre-enrichment adalah waktu (inkubasi) yang dibutuhkan pada media non selektif dan media yang memungkinkan perbaikan atau pertumbuhan berbagai bakteri yang rusak (injury cell). Jumlah target sel yang mencukupi untuk tumbuh akan tercapai bila pemindahan ke media selektif memungkinkan kemampuan bertahan hidup (survival) bakteri pada media selektif untuk tumbuh (Van Leusden et al. 1982).
Penggunaan waktu yang
singkat pada masa inkubasi dalam enrichment (misalnya 6 jam) ternyata tidak cukup untuk memungkinkan terjadinya perbaikan sel (recovery) sel dan multiplikasi dari sel (Stephens et al. 1997). Masa inkubasi yang biasa dilakukan adalah 16 jam sampai 20 jam. Tahapan kedua setelah pre-enrichment adalah selective enrichment. Tujuan dari enrichment selektif untuk melakukan perbandingan antara bakteri target yang berkompetisi dengan mikroba lainnya yang memungkinkan untuk hasil positif. Agen selektif dan kondisi inkubasi digunakan untuk menekan pertumbuhan mikroba kompetitif sehingga yang tumbuh hanya bakteri target.
Selective
enrichment dilakukan dengan pengenceran 1:10 atau 1:100 dari pre-enrichment diikuti dengan inkubasi selama 24-48 jam (Stephens 2003). Secara teori, plating (pemupukan bakteri pada media dengan teknik penggoresan) merupakan salah satu cara yang paling sensitif untuk mendeteksi bakteri dan rutin digunakan, namun dengan ukuran 10 µl yang ditransfer ke media memungkinkan adanya satu jenis koloni yang mampu untuk merangsang kontaminasi sampel yang sedang dianalisis.
Plating dengan asumsi tidak
17 hilangnya kemampuan untuk tumbuh dan cukupnya inhibisi untuk bakteri kompetitif lain bisa mendeteksi sebanyak 100 sel/ml dari enrichment broth. Teknik menggores yang baik dibutuhkan untuk memaksimalkan isolasi mikroba target dari enrichment ke dalam media agar. Media semisolid harus ada meskipun jumlah koloni yang terpisah dengan tampilan diagnostik khas bakteri target karena digunakan untuk melihat migrasi bakteri yang motil (De Smedt et al. 1986). Tahapan terakhir yang digunakan baik pada metode kualitatif maupun kuantitatif adalah tahap konfirmasi. Koloni yang dilihat dengan tampilan khas bakteri target masih harus dikonfirmasi sebelum analisis dikatakan sempurna. Konfirmasi bisa dilakukan dengan uji biokimia, uji antigenik, atau analisis asam nukleat (Stephens 2003).